ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-03


Tidak tahunya, baru saja dia tiba di luar dusun Sui-chun, dia sudah disambut oleh Kakek Song dengan segala kehormatan! Memang sudah berhari-hari kakek ini menunggu dari pagi sampai petang di luar kampung, ingat bahwa hari kedatangan pemuda yang pernah menolongnya itu sudah tiba.

Oleh karena itu, begitu melihat Kiang Liat, dia segera berlari menghampiri bersama para pelayannya, dan menyambut Kiang Liat dengan segala kehormatan.

“Kiang Taihiap, sudah tiga hari ini lohu selalu menanti di sini. Bagus sekali, kau kelihatan sehat-sehat saja dan lebih gagah!”

“Akan tetapi, aku telah menjadi pengemis yang miskin, Lopek.”

“Ha-ha-ha, dahulu pun aku seorang pengemis yang lebih miskin dari padamu, Taihiap. Sudah lupa lagikah kau akan hal itu? Marilah, kita bicara di rumah.”

Diam-diam Kiang Liat memuji kakek ini yang ternyata sikapnya tak berubah sama sekali. Memang dia suka mempunyai seorang mertua atau seorang kakek sebaik ini, akan tetapi dia masih belum melihat bagaimana macamnya cucu perempuan kakek ini yang hendak dijodohkan dengan dia.

Rumah gedung tempat tinggal kakek itu, sungguh pun untuk di Sui-chun termasuk paling baik, namun masih tidak sebesar dan sebaik rumah Kiang Liat sendiri di kota Sian-koan, maka pemuda ini sama sekali tidak merasa kagum atau kikuk ketika memasuki gedung ini.

“Suruh Siocia keluar menyambut tuan penolongku yang mulia!” kata Song Lo-kai dengan girang kepada seorang pelayan perempuan.

Berdebar hati Kiang Liat ketika ia mendengar suara tindakan kaki yang halus dari dalam, kemudian mulut pintu tersingkap dan segera muncul seorang bidadari dalam pandangan pemuda ini. Dia cepat bangun dari bangkunya dan merahlah muka Kiang Liat ketika dia teringat bahwa pakaiannya amat tidak baik.

Dia memandang wajah yang cantik jelita itu, yang mulutnya tersenyum manis dengan ramah tamah, yang wajah ayunya berseri-seri dengan sepasang matanya bersinar-sinar. Memang Bi Li sudah pernah diceritakan oleh kongkong-nya bahwa ketika menghadapi bencana maut kongkong-nya telah ditolong oleh seorang pendekar muda.

Tentu saja kini mendengar bahwa tuan penolong itu datang, sebagai cucu kongkong-nya dia harus menyatakan terima kasihnya. Hanya tak disangkanya bahwa tuan penolong itu ternyata adalah seorang yang masih muda dan luar biasa tampan serta gagahnya.

Kiang Liat menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada, memandang bagaikan dalam mimpi, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa pemuda itu amat kikuk, maka timbullah rasa sungkan dan malu pada Bi Li sehingga gadis ini pun hanya menjura memberi hormat.

“Bi Li, mengapa kau diam saja terhadap tuan penolongku? Tidak saja Tuan penolong, dia pun calon suamimu, Nak!”

Sesudah berkata demikian, kakek ini mengejap-ngejapkan kedua matanya yang terasa panas hendak menitikkan air mata saking terharu dan girangnya.

Mendengar ucapan itu, Bi Li merasa seakan-akan dua kakinya terjeblos ke dalam jurang. Kagetnya setengah mati dan seketika itu wajahnya menjadi pucat sekali. Akan tetapi dia buru-buru menundukkan muka dan membalikkan tubuh, terus berlari ke dalam kamarnya, diikuti oleh Ceng Si yang tadi juga mengikuti nona majikannya keluar.

Bagi anggapan Kiang Liat dan kakek Song, nona itu tentu lari karena jengah dan malu, maka kakek Song tertawa bergelak-gelak saking senang hatinya.

“Lopek, sungguh pun aku sebatang kara dan sudah yatim-piatu, namun aku mempunyai rumah di Sian-koan. Biarlah aku pulang lebih dahulu, baru kemudian aku akan mengirim wakil untuk membicarakan urusan perjodohan ini.”

Kakek Song mengerutkan keningnya dengan rasa khawatir. “Akan tetapi kau… kau telah setuju, bukan?”

Muka Kiang Liat menjadi merah, tak dapat menjawab, maka dia hanya menganggukkan kepalanya dengan pasti! Kakek Song tertawa bergelak, kemudian dengan suara keras ia memberi perintah kepada para pelayannya untuk menyediakan jamuan yang hebat bagi calon mantunya.

Sesudah minum arak serta menikmati hidangan-hidangan yang disuguhkan oleh Kakek Song, Kiang Liat lalu berpamitan dan sebagai tanda mata, ia meninggalkan pedangnya. Dengan hati gembira pemuda ini lalu melakukan perjalanan cepat sekali ke kota tempat tinggalnya.

Ia disambut dengan girang oleh inang pengasuhnya, ia memang sudah seperti neneknya sendiri saja. Kiang Liat gembira karena melihat rumahnya tidak berubah dan tidak terjadi sesuatu atas diri inang pengasuhnya.

Dia lalu menceritakan pengalamannya secara singkat, dan terutama sekali dia bercerita tentang maksudnya hendak menikah dengan Nona Song di Sui-chun. Inang pengasuh itu girang bukan main, sambil berlinang air mata inang pengasuh ini lalu mengurus hal itu, mencarikan seorang wakil untuk menyampaikan warta ke Sui-chun mengenai ketetapan hari pernikahan…..

********************

Sementara itu, di rumah Kakek Song terjadi keributan. Bi Li menangis dan menyatakan tidak mau menikah.

“Anak bodoh, usiamu sudah sembilan belas tahun mau menunggu apa lagi? Apakah kau mau menunggu kakekmu mati?” akhirnya Kakek Song berkata lemas.

Bi Li menubruk kakeknya. “Tidak demikian Kongkong, akan tetapi aku… aku belum suka menikah...”

“Bi Li, jangan kau membikin bingung dan susah hati kongkong-mu. Perjodohan ini sudah kujanjikan kepada Kiang-taihiap setahun yang lalu. Sebentar lagi kalau utusannya datang mewartakan tentang hari pernikahan, kita harus menerima dengan baik. Kau tidak boleh berkeras kepala lagi, kecuali jika kau suka melihat kongkong-mu mampus saking jengkel dan susah.”

Bi Li tidak dapat menjawab, hanya menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis terisak-isak.

Pada saat itu, Ceng Si turun tangan. Gadis pelayan ini memberi isyarat kepada Kakek Song untuk keluar. Kakek ini heran akan tetapi dia menurut saja. Akhirnya mereka bicara di dalam ruangan belakang dan tak seorang pun pelayan lain boleh mendekati mereka.

“Ceng Si, ada apakah? Agaknya ada sesuatu yang dirahasiakan kepadaku!” Kakek Song berkata kurang senang.

Ceng Si berlutut. “Mohon beribu ampun Lo-ya. Sebetulnya saya sudah banyak berusaha untuk mencegah hal ini terjadi, akan tetapi apa hendak dikata, sebelum saya menjadi pelayan di sini, hal itu sudah terjadi.”

“Hal ini, hal itu, apa maksudmu? Bicaralah yang jelas!” Kakek Song membentak dengan hati kurang enak.

“Siocia tidak mau menikah karena sesungguhnya Siocia sudah mempunyai pilihan hati sendiri.”

“Apa? Kau tahu akan hal ini tetapi tidak memberi tahukan kepadaku? Berani benar kau membiarkan Siocia merusak nama baik keluarganya sendiri? Jahanam benar...” Wajah Kakek Song menjadi pucat sekali.

“Tidak demikian, Loya, harap jangan salah sangka. Walau pun Siocia sudah mempunyai pilihan hati, namun Siocia tidak pernah bertemu dengan dia, hanya berkirim-kiriman saja dan sebagainya.”

“Bedebah…!”

“Jika Loya benar-benar sayang kepada Siocia, saya harap Loya sudi mempertimbangkan keadaan Siocia yang patut dikasihani. Dan harap Loya suka mendengar penuturan saya dengan hati sabar. Loya, sebelum Loya membawa Siocia pindah ke sini, di antara Siocia dan pemuda itu memang telah ada pertalian batin yang erat. Mereka saling mencinta dan saling bersumpah tidak akan menikah dengan orang lain. Ada pun menurut penglihatan saya, pemuda itu adalah seorang pemuda terpelajar yang amat sopan-santun dan baik, tulisannya indah dan juga orangnya tak kalah oleh Kiang-taihiap. Siocia pasti akan hidup bahagia selama hidupnya kalau Loya membatalkan pertalian jodoh dengan Kiang-taihiap dan sebaliknya menjodohkan Siocia dengan pilihan hatinya sendiri.”

“Cukup, tutup mulutmu, kau seorang pelayan tahu apa? Siapakah adanya jahanam yang berani menggoda cucuku itu? Hayo katakan siapa dia?”

“Dia adalah seorang Siucai dan namanya Cia Sun dari dusun Lee-hiang.”

Kakek Song termenung dan mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya. Dia lalu menyuruh Ceng Si pergi dan menghibur siocia-nya.

“Katakan kepada Siocia-mu bahwa aku akan memikirkan hal ini baik-baik,” katanya.

Kakek ini teringat akan pemuda she Cia yang dahulu pernah melamar Bi Li, dan menurut penglihatannya, memang pemuda itu cukup baik dan terpelajar. Akan tetapi, dulu ia telah menolak pinangan itu karena ia ingin menjodohkan Bi Li kepada seorang gagah supaya kelak dapat melindungi cucunya itu. Kakek Song sendiri adalah seorang ahli silat dan biar pun kepandaiannya tidak tinggi namun ia cukup tahu akan manfaat kegagahan pada jaman itu.

Apa lagi sekarang dia sudah menjodohkan cucunya kepada Kiang Liat, seorang pemuda gagah perkasa yang pernah menolongnya dan yang amat dikaguminya. Apa lagi karena pemuda itu kini menjadi murid dari seorang sakti.

“Sungguh menjemukan sekali, pinangannya sudah kutolak bagaimana dia masih berani mengganggu Bi Li? Sebenarnya apakah maksud pemuda she Cia itu?” Demikian Kakek Song berpikir-pikir.

Kemudian dia mendapatkan akal. Dia maklum akan keadaan keluarga Cia yang miskin, maka didatangilah rumah keluarga Cia di dusun Lee-hiang. Dia disambut oleh Janda Cia, yakni ibu dari Cia Sun dengan ramah-tamah dan penuh penghormatan, seperti biasanya seorang kaya-raya disambut oleh seorang dusun yang miskin.

Kakek Song minta kepada nyonya janda itu untuk memanggil puteranya dan Cia Sun lalu menghadap dengan muka pucat. Pemuda ini takut sekali karena ia telah dapat menduga bahwa kedatangan Kakek Song tentulah ada hubungannya dengan Bi Li, sedangkan dia selama beberapa hari ini belum mendapat berita apa pun dari Ceng Si. Hatinya gelisah sekali, akan tetapi dia menghadap Kakek Song dengan sikap sopan dan memberi hormat sebagaimana mestinya.

“Kedatanganku ini untuk membereskan persoalan yang ada antara Cia Sun dan cucuku,” kata Kakek Song kepada nyonya janda ibu Cia Sun. Tentu saja Nyonya Cia tidak tahu akan kelakuan puteranya, maka ia memandang dengan mata penuh pertanyaan.

“Cia-hujin, seperti kau tentu masih ingat, dulu pinangan puteramu terhadap cucuku sudah kutolak karena memang cucuku itu sudah mempunyai tunangan. Akan tetapi akhir-akhir ini ternyata puteramu selalu mendesak dan bahkan berani mencoba untuk berhubungan dengan cucuku. Yang sudah lewat sudahlah, akan tetapi mulai sekarang, kuperingatkan agar puteramu ini jangan sekali-kali berani menghubunginya. Ingat bahwa cucuku sudah bertunangan.”

“Hal itu tidak betul,” Cia Sun memotong, “Aku mendengar bahwa Song-siocia sama sekali belum bertunangan.”

“Hemm, begitukah?” Kakek Song tersenyum, hatinya mendongkol bukan main. “Itu hanya dugaanmu belaka. Dia sudah tunangan dengan seorang she Kiang di kota Sian-koan dan dalam beberapa pekan ini pun pernikahannya segera akan dilangsungkan. Oleh karena itu, sekali lagi kuperingatkan bahwa apa bila kau mencoba untuk berlaku tidak patut dan mendekati rumah kami, aku akan turun tangan dengan jalan kekerasan atau aku akan menyuruh yang berwajib menangkap dan menahanmu. Sebaliknya, kalau kau berjanji tak mengganggu dan mendekatinya lagi, orang she Song akan berterima kasih sekali dan tidak akan melupakan kebaikan ini. Nah, biarlah sedikit bekal ini untuk keperluan kalian sehingga tak perlu keluar rumah.” Kakek Song meninggalkan sekantong uang perak dan meletakkan itu di atas meja yang reot di depan Nyonya Cia.

Nyonya janda Cia merasa terkejut dan juga girang. Ia buru-buru berlutut menghaturkan terima kasih dan berkata kepada Kakek Song,

“Song-loya, harap suka mengampunkan puteraku yang masih belum tahu aturan hingga mengganggu Loya. Percayalah, aku yang akan melarangnya pergi ke sana. Terima kasih banyak atas kemurahan hati Song-loya. Sun-ji (Anak Sun), hayo lekas ucapkan terima kasih kepada Song-loya.”

Cia Sun menjadi pucat dan hanya karena takut kepada ibunya maka ia terpaksa menjura dan mengucapkan terima kasih dengan suara perlahan. Kakek Song menjadi puas dan segera pergi dari situ, pulang ke gedungnya.

Cia Sun menjatuhkan diri di atas kursi, dua titik air mata turun membasahi pipinya. Kini hancurlah cita-citanya untuk menjadi suami Bi Li, untuk mewarisi seluruh harta benda itu!

“Anakku, bagaimana sih kau ini? Song-siocia tentu saja bukan jodohmu, bagaimana bisa katak mencapai bulan? Kau betul-betul amat lancang dan sembrono berani mengganggu gadis dari keluarga demikian hartawan. Masih untung bagi kita bahwa Song-loya berhati pemurah dan sabar sehingga sebaliknya dari pada marah kepada kita, ia hanya memberi peringatan secara halus dan malah memberi uang begini banyak.”

Namun Cia Sun masih terbenam di dalam lamunannya yang sedih. Apakah artinya uang sekantung ini bila dibandingkan dengan diri Bi Li berikut harta benda dan rumah gedung ditambah sawah ladang yang demikian banyaknya? Ia memutar-mutar otak mencari jalan yang baik, akhirnya ia berkata seorang diri,

“Hanya Ceng Si yang akan dapat memecahkan hal ini! Ceng Si manisku... kekasihku... sebenarnya engkaulah yang patut menjadi isteriku. Tanpa kau yang cerdik aku merasa tak berdaya...”

Ada pun Kakek Song yang pulang ke rumah gedungnya, diam-diam menyuruh beberapa orang pelayan untuk mengamat-amati dan menjaga agar jangan sampai ada orang luar yang dapat masuk ke dalam taman dan agar supaya mengusir setiap orang muda yang mendekati tembok sekitar gedung dan pekarangannya. Dengan penjagaan ini, maka baik Cia Sun mau pun Ceng Si sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk saling bertemu atau menyampaikan berita.

Sementara itu, sepekan kemudian datanglah utusan dari Sian-koan. Kakek Song terkejut bercampur gembira bukan main, juga dia merasa heran sekali. Utusan yang datang itu adalah seorang setengah tua yang berpakaian mewah, datang membawa sebuah kereta yang penuh dengan barang-barang berharga. Tadinya Kakek Song mengira bahwa yang datang ini tentulah seorang saudagar kaya, akan tetapi dia menjadi melongo ketika tamu ini memperkenalkan diri sebagai utusan dari keluarga Kiang di Sian-koan!

“Saya datang atas perintah dari Kiang-kongcu sambil membawa sekedar hadiah untuk Song-siocia, dan juga untuk membicarakan tentang hari pernikahan,” kata utusan itu.

Pada saat barang-barang hadiah itu dibongkar, semua orang terheran-heran dan kagum bukan main. Lima belas kayu kain sutera yang paling halus dan mahal dan yang jarang sekali dilihat oleh orang-orang seisi rumah itu, lima buah barang ukiran dari perak yang amat indahnya, untuk hiasan dinding kamar, empat peti besar terisi kain-kain untuk muili, kelambu, dan lain-lain keperluan rumah tangga, sekantung uang emas dan sekantung pula uang perak, kemudian yang terakhir, sebuah hiasan rambut terbuat dari emas dan dihiasi batu kemala yang amat indahnya, berbentuk seekor kupu-kupu yang hinggap di atas setangkai bunga Cilan.

Jangankan para pelayan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak sambil menahan napas, bahkan Kakek Song sendiri sampai melongo. Hanya orang yang kaya raya, bahkan jauh lebih kaya dari pada dirinya sendiri, yang akan sanggup mengirimkan hadiah kepada calon pengantin seroyal ini.

Kakek Song segera menjamu tamu itu dan dari tamu ini ia mendapat keterangan bahwa Kiang-kongcu merupakan ahli waris satu-satunya dari keluarga Kiang yang amat terkenal kekayaannya. Juga ia mendengar bahwa nenek moyang Kiang Liat adalah orang-orang ternama belaka, bangsawan-bangsawan tinggi yang bernama besar. Maka bukan main girangnya hati Kakek Song mendengar ini.

Mereka terus mengobrol sambil minum arak dan makan hidangan yang mahal. Kemudian utusan itu menyampaikan pesan dari Kiang-kongcu mengenai hari pernikahan yang akan dilangsungkan dalam bulan itu juga.

Sementara itu, Ceng Si yang cerdik segera mendengar bahwa pemuda she Kiang yang dahulu berpakaian sebagai seorang pengemis itu, ternyata adalah seorang pemuda yang kaya raya, bahkan lebih kaya dari pada keluarga Song sendiri! Apa lagi setelah ia melihat barang-barang hadiah yang dibawa oleh utusan keluarga Kiang, hatinya lantas berdebar dan matanya yang indah itu berseri-seri.

Diam-diam dia meremas-remas tangan sendiri dan mengatur siasat. Kemudian dia berlari menuju ke kamar Bi Li, diikuti oleh para pelayan yang memanggul barang-barang hadiah itu, sebab Kakek Song memberi perintah supaya barang-barang itu langsung dibawa ke kamar Bi Li.

“Siocia, kionghi!” Ceng Si berseru sambil memeluk nona majikannya.

“Ceng Si, apakah kau gila? Aku lagi berduka, kau datang-datang memberi selamat.”

“Kionghi, Siocia! Tidak tahunya, pemuda she Kiang yang kelihatan seperti pengemis itu, ternyata adalah seorang pangeran!”

“Apa katamu? Seorang pangeran?” Bu Li menggerakkan alis karena terheran-heran.

“Lihat saja, lihat saja semua barang-barang hadiahnya!”

Pintu terbuka dan mengalirlah barang-barang itu memasuki kamar.

Bi Li juga merasa kagum sekali melihat benda-benda mahal itu, apa lagi melihat hiasan rambut yang luar biasa indah itu, dia benar-benar amat suka, hanya merasa malu untuk menjamahnya. Ia hanya duduk dan melihat satu demi satu semua benda itu yang diambil dari tempatnya oleh Ceng Si. Gadis pelayan ini sambil memamerkan benda-benda itu, tiada hentinya bercakap-cakap.

“Siocia, sungguh kau gadis yang beruntung sekali. Memang orang baik selalu mendapat perlindungan dari Thian. Siapa sangka pemuda berpakaian tambalan itu ternyata adalah seorang yang kaya raya, bahkan jauh lebih kaya dari pada Song-loya sendiri? Lihatlah, begini indah dan mahalnya barang-barang ini.

“Ceng Si, aku bukan seorang yang haus akan benda-benda indah dan mahal.”

“Akan tetapi orangnya pun sangat gagah dan tampan! Siocia, terus terang saja, apa bila diingat-ingat, Kiang-kongcu itu malah lebih tampan dari pada... pemuda she Cia itu. Dan tentu saja jauh lebih gagah, ingat saja, ia pernah menolong nyawa Song-loya!”

“Ceng Si!” Bi Li membentak dan mukanya menjadi pucat. “Aku bukan orang yang begitu mudah lupa akan sumpah sendiri!”

“Siocia, dalam hal ini kita tak boleh menurutkan perasaan dan nafsu sendiri. Ingatlah dan pertimbangkan masak-masak. Memang betul Siocia sudah bersumpah, namun semua itu dilakukan dalam keadaan melamun dan tak sadar. Siocia juga tidak bersumpah di depan Cia-kongcu dan hubungan kalian juga hanya dengan surat-surat sajak saja. Sebaliknya, coba pikir baik-baik. Pemuda hartawan dan gagah perkasa she Kiang itu, pertama-tama dia telah menolong nyawa kongkong-mu, kedua kalinya dia memang patut menjadi suami Siocia karena ia memang tampan dan gagah sekali, ketiga kalinya, ia seorang hartawan besar, jadi seribu kali lebih cocok dari pada Cia-siucai yang miskin itu.”

“Ceng Si...! Aku... aku kasihan kepadanya, juga karena ia tidak berdaya dan miskin.”

Berseri wajah Ceng Si, memang inilah yang dinanti-nantinya. “Jika begitu, Siocia, mudah saja untuk menolongnya! Dia miskin, membutuhkan uang. Kalau Siocia selalu memberi sesuatu yang berharga kepadanya, bukankah itu berarti sudah menolongnya?”

“Ceng Si, bagaimana kau bisa bilang begitu? Kalau aku sudah menjadi isteri orang lain, bagaimana aku sudi dan berani mengadakan hubungan dengan laki-laki lain?”

“Mudah saja Siocia. Jika aku Ceng Si yang bodoh selalu menjadi pelayan pribadi Siocia, selalu berada di samping Siocia, apa sih sukarnya? Kalau Siocia masih selalu menolong pemuda she Cia itu, pendeknya mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan kalau perlu membiayai dia melanjutkan pelajarannya, di kota raja, bukankah itu berarti bahwa Siocia mempunyai pribudi yang tinggi?”

Bi Li berpikir dan ia berkali-kali menarik napas panjang. “Akan tetapi aku khawatir sekali, Ceng Si. Surat-suratku banyak yang berada di tangannya! Kalau kelak... orang yang menjadi suamiku mengetahui akan hal ini, bukankah ini akan mendatangkan mala petaka hebat!”

Dalam hatinya, Ceng Si tersenyum laksana iblis. Akan tetapi pada wajahnya yang manis itu tersungging senyuman manis yang penuh hiburan. “Jangan khawatir, Siocia. Akulah yang akan minta kembali semua tulisan-tulisan itu.”

Akhirnya Bi Li dapat dibujuk dan dihibur. Gadis ini mengeluarkan surat-surat dari Cia Sun yang tadinya disimpannya, lalu menyerahkan semua surat itu kepada Ceng Si dengan perintah agar semua surat ini dibakar.

Ceng Si memang melakukan perintah ini, akan tetapi tidak semua surat dibakarnya, ada beberapa helai yang diam-diam ia sembunyikan dan simpan. Dua helai surat dari Cia Sun ini merupakan senjataku yang paling ampuh terhadap Song-siocia, pikirnya.

Kita tunda dulu dan membiarkan nona Song Bi Li melamun tentang pernikahannya yang dihadapi, dan mari kita mengikuti peristiwa lain yang amat hebat…..

********************

Di lembah Sungai Huang-ho, nampak dua orang setengah tua berjalan perlahan. Mereka ini adalah Bu Pun Su dan Han Le, dua kakak beradik seperguruan yang berilmu tinggi. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka berdua baru saja meninggalkan Kiang Liat dan kini mereka jalan bersama-sama sambil bercakap-cakap.

“Lu-suheng, mengapa kau sekarang banyak berubah? Kau kelihatan seperti orang yang menderita kesedihan besar,” pertama-tama Han Le menegur suheng-nya.

“Sute, sebelum kita berbicara lebih lanjut, kuperingatkan padamu, jangan sekali-kali lagi kau menyebut Lu-suheng kepadaku. Jangan sekali-kali nama Lu Kwan Cu disebut lagi. Nama itu sudah mampus dan sekarang aku adalah Bu Pun Su, tidak ada sambungannya lagi, mengerti?” Suaranya terdengar keras dan kaku, tanda bahwa dia benar-benar tidak suka mendengar nama kecilnya disebut-sebut.

Han Le beberapa kali memandang kepada wajah Bu Pun Su penuh perhatian. Biasanya, pandangan mata Han Le tajam sekali dan dengan melihat wajah orang, dia akan dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi tarikan wajah Bu Pun Su demikian sukar dimengerti, seolah-olah kulit muka orang sakti itu memakai kedok. Hanya garis-garis yang memenuhi muka dan rambut serta alis yang sudah tidak begitu hitam lagi saja yang bercerita bahwa selama ini, Bu Pun Su mengalami tekanan dan penderitaan batin yang hebat.

“Suheng, kau sudah banyak mengalami penderitaan. Maafkan Sute, meski Sute seorang yang bodoh dan lemah, namun Sute menyediakan raga dan nyawa untuk membantu Suheng memecahkan semua kesulitan itu.”

Bu Pun Su menoleh pada adik seperguruan ini. Untuk beberapa detik sepasang matanya hanya memandang, seakan-akan hendak mengalirkan air mata. Akan tetapi sepasang mata itu tiba-tiba berseri-seri dan meledaklah suara ketawa Bu Pun Su. Suara ketawanya demikian nyaring dan keras sehingga kalau di situ terdapat orang lain yang tidak berilmu tinggi, pasti orang ini akan lumpuh terkena daya tenaga lweekang-nya yang disalurkan dalam suara ketawa ini! Baiknya Han Le sendiri sudah memiliki tenaga lweekang yang tinggi, namun tetap saja ia merasa jantungnya memukul keras dan terpaksa ia menahan napasnya agar jangan terkena getaran hebat dan melukai jantungnya.

“Ha-ha-ha, kau masih tidak berubah, Sute! Kau masih dikuasai oleh perasaanmu, kau lemah dan baik hati. Tidak, Sute. Aku tidak menderita sesuatu. Bagaimana Bu Pun Su bisa menderita? Kalau si lemah Lu Kwan Cu yang sudah mampus, memang dia itu lemah hati, mudah dikuasai oleh nafsu, dia buta dan tuli, terlalu mengandalkan kepandaiannya yang tidak berarti, terlalu membanggakan tenaganya yang sebenarnya lemah. Ha-ha-ha, Lu Kwan Cu sudah mampus, demikian pula orang-orang yang seperti dia. Akan selalu mengalami suka duka dan hidup bagaikan benda mati yang dipermainkan oleh alam. Akan tetapi aku sekarang bukan seperti dia, aku sudah menguburkan Lu Kwan Cu. Aku Bu Pun Su hidup bukan sebagai bujang perasaan, aku hidup bebas, menggunakan akal budi dan pertimbangan, mengeluarkan segala yang pernah kupelajari untuk membantu pekerjaan alam!”

Han Le dapat mengerti akan kata-kata yang kedengarannya tidak karuan ini. Dia sendiri sudah banyak mengalami kepahitan hidup, sudah banyak menderita dan kecewa. Maka ia dapat menduga bahwa suheng-nya ini tentu telah mengalami hal-hal yang hebat luar biasa, hal-hal yang menghancurkan hatinya, mungkin sekali telah melakukan dosa yang dianggapnya terlalu berat dan besar sehingga suheng-nya ini mematikan dirinya sendiri, mematikan dan menghilangkan semua ingatan mengenai diri Lu Kwan Cu, seakan-akan dia memulai hidup baru menjadi seorang bernama Bu Pun Su atau Si Tiada Kepandaian, manusia aneh yang hidupnya hanya untuk membantu pekerjaan alam, yakni tegasnya membantu manusia lain.

Han Le menjura kepada suheng-nya dan berkata girang, “Jika begitu, aku mengucapkan selamat, Suheng. Dan demi Thian Yang Maha Kuasa, aku pun hendak mencoba sedapat mungkin untuk mencontoh perbuatanmu yang amat mulia ini. Tadi suheng bilang hendak menyampaikan sesuatu yang amat penting, apakah gerangan urusan itu?”

Karena dia sudah lupa lagi akan hal-hal dahulu mengenai diri Lu Kwan Cu, Bu Pun Su kembali pula kegembiraannya.

“Sute, aku perlu sekali bantuanmu, juga bantuan semua orang yang masih berbangsa dan berkebudayaan.”

“Eh, apakah yang terjadi, Suheng?” tanya Han Le terkejut, karena kata-kata suheng-nya ini terdengar menyeramkan.

Bu Pun Su mengajak sute-nya duduk di dekat pantai Sungai Huang-ho di mana tumbuh sebatang pohon besar yang akarnya bergantungan dan bermain-main di permukaan air sungai. Tempat itu amat indahnya dan setiap orang, apa lagi para pemancing ikan, pasti akan suka sekali duduk di situ.

“Sute, di dunia kang-ouw sudah terjadi hal yang hebat sekali dan amat membahayakan kedudukan orang-orang kang-ouw yang termasuk golongan putih. Apa lagi bagi mereka yang menganut sesuatu kepercayaan atau agama.”

“Kenapa, Suheng? Bukankah golongan Mo-kauw (Agama Sesat) pada hakekatnya tidak begitu kuat dan selalu dapat dikendalikan oleh golongan Beng-kauw (Agama Asli), ada pun golongan Beng-kauw walau pun agama dan kepercayaannya berlainan dan banyak sekali macamnya, akan tetapi dapat menjaga kerukunan dan menghormati kepercayaan masing-masing?”

“Betul kata-katamu itu, akan tetapi hal itu adalah keadaan pada beberapa tahun yang lalu. Memang jarang ada orang kang-ouw yang mengetahui kejadian ini, karena hal itu mereka sembunyikan dan selalu dijaga penuh rahasia agar jangan sampai bocor.”

“Eh, apa sih sebetulnya yang terjadi, Suheng? Aku menjadi tertarik dan ingin sekali lekas mendengar penjelasanmu.”

Bu Pun Su lalu menceritakan apa yang telah ia ketahui. Di dalam dunia kang-ouw terbagi menjadi dua golongan yang biasanya disebut golongan putih dan hitam. Golongan putih adalah para pendekar atau mereka yang memiliki kegagahan dan yang sepak terjangnya selalu bersih, sebaliknya golongan hitam adalah mereka yang selalu disebut pengikut hek-to (jalan hitam) atau lebih tepat lagi orang-orang yang mempunyai pekerjaan jahat seperti para perampok, bajak-bajak, maling, copet dan lain-lain. Antara kedua golongan itu telah dapat diselesaikan dengan kemenangan pihak golongan putih.

Untuk dapat mengendalikan golongan hitam ini banyak tokoh besar dunia kang-ouw yang sengaja menjadi perampok atau maling, yakni menjadi ketuanya dan selalu mengawasi sepak terjang anak buahnya sehingga mereka itu tidak menyeleweng, yakni dengan lain kata, tidak merampok atau mengganggu orang-orang yang dianggap tak patut diganggu. Bagi orang-orang gagah di waktu itu, merampok harta orang kaya yang pelit, membunuh mati orang yang berwatak jahat dan kejam, dianggap sebagai perbuatan yang bersih dan mulia juga.

Pendeknya, waktu itu golongan penjahat pun terpecah dua, yakni jahat yang dilakukan demi memberantas kejahatan, dan jahat sebab memang pada hakekatnya jahat dan keji.
Golongan-golongan ini hanya kecil saja, atau boleh disebut golongan perorangan yang meliputi tokoh-tokoh yang hidup menyendiri.

Tapi ada pula golongan-golongan besar seperti perkumpulan-perkumpulan, dan terutama sekali perkumpulan agama dan partai-partai besar persilatan yang tak lepas dari agama dan kepercayaan, dan justru golongan-golongan besar ini menjadi induk dari golongan-golongan kecil. Dan di dalam golongan-golongan besar ini terdapat perpecahan pula!

Perpecahan ini tadinya meluas sehingga antara satu partai dengan partai lainnya terjadi bentrokan dan permusuhan hebat, hanya dikarenakan kepercayaan atau agama mereka berlainan. Akan tetapi, ratusan yang lalu, ketika muncul tokoh-tokoh besar seperti Tiat Mouw Couwsu dan lain-lain tokoh dari See-thian (Dunia Barat), bentrokan-bentrokan ini dapat diselesaikan dengan jalan rukun, sungguh pun kepercayaan mereka, bahkan ajaran limu silat mereka berlainan. Dan oleh tokoh-tokoh besar itu diletakkan garis yang memisahkan antara golongan yang disebut penganut Beng-kauw serta mereka yang menganut Mo-kauw.

Golongan Beng-kauw atau agama asli ini tentu saja mempunyai anggota paling banyak. Partai persilatan seperti Siauw-lim-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain, semua menyebut diri sebagai golongan Beng-kauw. Hal ini tentu saja dapat dimengerti karena siapakah yang mau menyebut dirinya bukan penganut ‘agama asli’? Golongan ini terdiri dari partai-partai besar yang menganut Agama Buddha, ajaran Locu atau To-kauw, penganut ajaran Khong Hu Cu, penganut Kwan Im Pouwsat, dan lain-lain.

Siapakah gerangan yang termasuk agama Mo-kauw? Sebetulnya tak ada golongan yang mau mengaku sebagai penganut Agama Sesat, akan tetapi golongan-golongan yang tak beragama atau orang-orang kasar, atau mereka yang pernah melakukan pelanggaran dan dianggap jahat, mereka ini yang oleh golongan Beng-kauw disebut sebagai golongan Kaum Sesat!

Mereka ini sebagian besar merupakan kelompok orang yang menyembunyikan diri, yang bersakit hati dan karena mereka didesak ke sudut oleh golongan yang menganggap diri bersih, mereka ini dengan sengaja kemudian berlaku keaneh-anehan, sengaja mereka membentuk sekumpulan tokoh-tokoh yang lihai ilmu silatnya, memisahkan diri dan tidak mau peduli lagi dengan urusan agama.

Mereka lalu melakukan apa saja yang mereka suka, dan hidup berkeliaran tidak tentu tempatnya. Akan tetapi mereka tidak pernah mendengar atau mencari perkara dengan golongan Beng-kauw, karena maklum bahwa golongan ini memiliki banyak orang pandai.

Akan tetapi, jangan dikira bahwa golongan Mo-kauw ini sedikit jumlahnya anggotanya. Mereka makin lama makin banyak, sebagian besar terdiri dari orang-orang yang putus asa, sakit hati, dan orang-orang yang berwatak aneh.

Beberapa tahun yang lalu, muncullah tiga orang aneh dari See-thian (Dunia Barat) yang sebentar saja sudah dapat merebut kekuasaan di golongan Mo-kauw. Ketiga orang ini mempunyai kepandaian yang amat tinggi, tidak saja kepandaian ilmu silat mereka amat tinggi, juga mereka adalah ahli-ahli hoatsut (ilmu sihir) yang aneh. Dalam beberapa bulan saja mereka dapat mengangkat diri di dalam golongan Mo-kauw sehingga semua orang penganut agama sesat ini menganggap mereka bertiga sebagai ketua atau pemimpin.

Tiga orang aneh ini tahu akan keadaan orang-orang kang-ouw golongan Mo-kauw yang sangat terdesak dan dianggap orang-orang jahat oleh orang-orang kang-ouw umumnya. Maka, dengan menggunakan rasa dendam dan sakit hati ini, mereka sebentar saja dapat membentuk sebuah perserikatan yang amat kuat. Hal ini terjadi tanpa banyak ribut-ribut, karena memang kehidupan para penganut Mo-kauw ini tersembunyi, tidak diketahui oleh masing-masing orang kang-ouw.

Apa bila persoalannya sampai di situ saja, kiranya tidak akan ada perubahan dan tidak akan menggegerkan. Akan tetapi ternyata bahwa tiga orang aneh ini mempunyai niat dan cita-cita yang lebih besar. Mereka ingin menguasai seluruh dunia kang-ouw, juga ingin menaklukkan partai-partai besar dan ingin mengangkat diri menjadi ketua perkumpulan yang paling berpengaruh di Tiongkok!

Setelah orang-orang Mo-kauw ini berada di bawah pimpinan mereka, terjadilah hal-hal yang aneh di dunia kang-ouw. Kitab pelajaran limu silat yang amat dipuja-puja oleh partai Siauw-lim-pai, yakni kitab peninggalan dari Tiat Mouw Couwsu, pada suatu hari tiba-tiba telah lenyap tanpa meninggalkan bekas!

Selagi Siauw-lim-pai geger dan semua tokoh Siauw-lim-pai berusaha mencari kitab yang hilang ini, tiba-tiba saja puncak Kun-lun-pai juga geger karena hilangnya pedang pusaka Pek-kong-kam yang ditaruh di ruangan suci kelenteng partai besar itu!

Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merupakan partai-partai besar yang sudah berpuluh tahun terkenal sebagai partai persilatan yang berpengaruh dan memiliki banyak orang pandai. Oleh karena itu, kehilangan dua benda pusaka ini tentu saja membuat mereka menjadi amat penasaran dan juga malu.

Mereka menjaga rapat peristiwa ini agar jangan sampai tersiar di luaran, dan di samping itu mereka mengerahkan orang-orang pandai untuk mencari benda pusaka yang lenyap itu. Akan tetapi, betapa pun rapat mereka menjaga rahasia, berita itu tetap bocor juga dan sebentar saja seluruh kalangan kang-ouw mendengar bahwa kitab peninggalan Tiat Mouw Couwsu dari Sauw-lim-pai beserta pedang pusaka Pek-liong-kiam dari Kun-lun-pai telah dicuri orang.

Ini merupakan hal yang menggegerkan pula, karena biasanya tidak seorang pun anggota Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai yang berani membocorkan hal yang dirahasiakan. Maka timbullah dugaan bahwa kejadian ini memang sengaja dibocorkan oleh orang-orang atau seseorang yang melakukan pencurian itu. Akan tetapi apa kehendak mereka?

Tokoh besar di dunia persilatan, yang baru belasan tahun muncul akan tetapi namanya sudah dijunjung tinggi serta disegani dengan penuh kekaguman dan hormat oleh semua ketua partai besar, yakni Bu Pun Su mendengar pula akan hal ini. Ia cepat menyelidiki. Dengan kepandaiannya akhirnya Bu Pun Su menaruh pikiran curiga terhadap golongan Mo-kauw. Bahkan ia mendengar pula akan adanya tiga orang aneh di golongan Mo-kauw ini yang kabarnya memiliki kepandaian luar biasa tingginya.

“Demikianlah, Sute,” kata Bu Pun Su kepada Han Le sesudah menuturkan itu semua. “Kiranya tidak akan meleset terlalu jauh dugaanku bahwa tiga orang aneh itu mempunyai hubungan dengan kedua pencurian ini. Kalau bukan mereka, siapa lagi yang berani dan begitu gegabah mencuri dua barang pusaka keramat yang dipuja-puja oleh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai? Dan aku mendengar kabar pula bahwa Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, itu tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi dan bertabiat ganas, telah diambil murid oleh tiga orang itu. Apa bila Hek Pek Mo-ko dua bersaudara yang berkepandaian begitu tinggi masih menjadi murid mereka, dapat diduga bahwa kepandaian mereka memang benar tinggi sekali. Selain ini, aku masih mendengar kabar lagi bahwa kecuali Hek Pek Mo-ko, mereka bertiga masih memiliki seorang murid perempuan yang jauh lebih jahat, bahkan lebih pandai dari pada Hek Pek Mo-ko. Kalau pihak Mo-kauw mempunyai begitu banyak orang-orang pandai, sedangkan sepak terjang mereka selalu tersembunyi, aku merasa kuatir sekali.”

“Suheng, urusan itu sebenarnya tidak amat besar, tetapi kenapa tadi Suheng menyebut-nyebut mengenai kebangsaan dan kebudayaan? Apa hubungannya kehilangan kitab dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai itu dengan kebangsaan dan kebudayaan?”

Bu Pun Su menarik napas panjang, “Belum kuceritakan semua keterangan yang dapat kukumpulkan, Sute. Aku mendengar berita yang tentu saja masih belum dapat dipercaya betul, bahwa tiga orang yang kini sudah menguasai golongan Mo-kauw itu, bercita-cita untuk menaklukkan semua orang kang-ouw di negeri ini. Mereka adalah orang-orang dari barat, dan kalau mereka berhasil menaklukkan semua orang kang-ouw, dan hal ini bukan tidak mungkin melihat kelihaian mereka yang kudengar memang luar biasa sekali, tentu saja urusan ini dekat sekali hubungannya dengan kebangsaan dan kebudayaan kita. Apa kau tidak ingat betapa orang-orang asing selalu mengilar dan ingin mencaplok negara kita? Kalau sampai orang-orang kang-ouw berada di bawah kekuasaan ketiga orang ini sehingga dapat mereka perintah dan pergunakan, apa sukarnya merampas negara kita? Dan kalau sampai kepandaian mereka itu dapat disebar dan menggantikan ilmu silat dari bangsa kita, bukankah berarti kebudayaan kita akan terpengaruh oleh kebudayaan asing pula? Ini bukanlah soal kecil, Sute, karenanya aku sengaja mencarimu supaya kau suka membantuku, demikian pula kita harus mendatangi semua ketua partai persilatan itu untuk bersama-sama menghadapi mereka itu.”

“Siapa sebetulnya mereka itu, Suheng? Dan orang-orang macam apakah mereka itu?”

“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi aku sudah rnendapat keterangan serba terbatas mengenai mereka. Konon mereka itu adalah saudara-saudara segolongan. Yang pertama bernama atau berjuluk Hek-te-ong (Raja Tanah Hitam), yang ke dua berjuluk Pek-in-ong (Raja Awan Putih) dan yang ke tiga berjuluk Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau). Mereka datang dari barat dan begitu datang mereka lalu merobohkan semua tokoh Mo-kauw sehingga para tokoh Mo-kauw itu takluk dan mengangkat mereka menjadi ketua serta menyebut mereka Thian-te Sam-kauwcu (Tiga Ketua Agama Bumi dan Langit). Selain itu, rnereka mengajar agama baru yang berpusat pada penyembahan dan pemujaan terhadap Bumi, Langit dan Laut. Selanjutnya aku tidak mendengar jelas dan karenanya aku ingin menyelidikinya sendiri.”

“Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Suheng?”

“Aku hendak mengajak engkau untuk membantuku membubarkan sarang murid-murid dari Thian-te Sam-kauwcu.”

“Sarang dari muridnya? Di sini?”

“Ya, di lembah Huang-ho di sebelah selatan itu. Kira-kira lima puluh li dari sini. Thian-te Sam-kauwcu menyebarkan anak buahnya untuk mendirikan cabang di mana-mana untuk membujuk dan mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw. Dengan secara kebetulan sekali aku mendengar bahwa muridnya, Hek Pek Mo-ko, bersarang di daerah ini. Aku tidak tahu sampai di mana kelihaian mereka, namun mendengar akan kehebatan kepandaian Thian-te Sam-kauwcu, aku tak mau berlaku sembrono, lebih menguntungkan kalau kau ikut serta.”

Han Le merasa agak terheran. Dia percaya akan kepandaian suheng-nya yang sepuluh kali lipat lebih tinggi dari pada kepandaiannya, tapi mengapa suheng-nya mengajaknya?

“Suheng, bukankah kau mengajak aku hanya untuk menjadi saksi agar sepak terjangmu terhadap mereka itu tidak akan disalah tafsirkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw?”

Bu Pun Su tersenyum. “Kau makin cerdik, Sute. Memang demikianlah. Kita tahu bahwa sejak dulu Hek Pek Mo-ko biar pun menjadi tokoh Mo-kauw yang amat terkenal, namun belum pernah dua orang itu mengganggu kita orang-orang kang-ouw, bahkan mereka dapat disebut sebagai tokoh-tokoh Mo-kauw yang selalu menjauhkan diri dan menjaga supaya jangan sampai timbul bentrokan antara mereka dengan Beng-kauw. Akan tetapi sekarang aku hendak menyelidiki dan kalau perlu membasmi sarang mereka, maka amat baik kalau kau ikut menyaksikannya.”

Berangkatlah dua orang sakti ini menuju ke tempat yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su. Tempat yang dimaksudkan itu adalah sebuah dusun di pinggir Sungai Huang-ho, yang dikelilingi oleh hutan-hutan kecil dan kelihatannya menyeramkan. Begitu kedua orang ini tiba di luar dusun, mereka berjalan biasa saja.

Berturut-turut beberapa orang dusun, ada yang berpakaian seperti petani dan ada pula seperti nelayan, bertemu dengan mereka. Setiap orang dusun ini melayangkan pandang mata dan mereka ini kelihatan curiga. Bahkan ada beberapa orang nelayan yang masih muda dan kelihatannya kuat-kuat diam-diam mengikuti Han Le dan Bu Pun Su. Tentu saja dua orang sakti ini mengetahui hal itu, akan tetapi mereka pura-pura tidak melihat dan berjalan dengan biasa dan tenang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)