ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-05
Peristiwa ini membuat Bi Li semakin percaya bahwa dia sedang bercakap-cakap dengan seorang dewi tulen! Ia menurut saja ketika Pek Hoa mengajaknya duduk di atas bangku-bangku yang dipasang di dekat kolam ikan emas, di bawah penerangan lampu minyak yang berwarna merah.
“Bi Li, biarlah selanjutnya aku menyebut namamu saja, dan kau boleh menyebutku cici,” kata Pek Hoa.
Bi Li terkejut. Bagaimana dia boleh menyebut cici (kakak) kepada seorang bidadari?
“Akan tetapi...”
“Jangan membantah. Ini perintahku, mengerti? Aku lebih tua dari padamu.”
Mendengar kata-kata ini, Bi Li menjadi berani. “Akan tetapi, sesungguhnya kau kelihatan lebih muda dariku, maka lebih pantas kalau aku menyebut moi-moi.”
Pek Hoa memandang tajam sambil tersenyum girang sekali. “Adikku yang baik! Apakah kata-katamu ini betul?”
“Bagaimana aku berani berbohong? Begini cantik jelita, seperti bunga baru mekar, paling banyak usiamu tujuh belas tahun dan aku sudah delapan belas!” jawab Bi Li.
Pek Hoa tertawa geli, akan tetapi hatinya girang luar biasa. Dipuja oleh laki-laki, baginya tidak aneh dan dianggapnya bahwa semua laki-laki hanya tukang membohong untuk bisa membujuk dan mengambil hati. Akan tetapi dipuji oleh seorang gadis yang begini cantik, ini soal lain lagi.
“Tidak, Li-moi aku lebih tua. Usiaku sudah... sembilan belas tahun. Li-moi, sesungguhnya kedatanganku ini hendak memberi berkah dan pertolongan kepadamu dengan Siucai she Cia itu, akan tetapi aku lebih suka mendengar dari mulutmu sendiri. Sebenarnya, apakah yang terjadi antara kau dan dia?”
Bi Li terkejut sekali. Akan tetapi ketika ia teringat bahwa ia berhadapan dengan seorang bidadari, ia tidak merasa aneh, bahkan tidak malu-malu untuk membuat pengakuan.
“Aku sudah lama kenal dengan Cia-siucai, Cici Pek Hoa. Dan dia itu... dia menyatakan cinta kepadaku.”
“Apa kau tidak cinta kepadanya?”
Bi Li termenung dan merasa ragu-ragu. “Entahlah, Cici, kau lebih tahu tentunya. Aku tak mengerti tentang cinta ini.”
“Teruskan, lalu bagaimana?”
“Kemudian, atas kehendak Kongkong-ku, aku harus menikah dengan seorang she Kiang dari kota Sian-koan, yaitu seorang pemuda gagah perkasa yang pernah menolong nyawa Kongkong.”
“Dan kau tidak suka kepadanya?”
Kembali Bi Li termenung bingung. “Ini pun aku tidak bisa memastikan, Cici. Kelihatannya dia gagah dan baik budi, juga... tampan, bahkan jauh lebih tampan dari pada Cia-siucai. Karena aku tidak mungkin menolak kehendak Kongkong, tadi Cia-siucai datang dan dia menyatakan kehancuran hatinya, bahkan hendak nekat membunuh diri. Baiknya aku dan pelayanku Ceng Si dapat membujuknya supaya dia melanjutkan sekolah di kota raja dan akulah yang akan membiayainya sampai maksudnya tercapai. Calon suamiku itu orang yang amat kaya, sedangkan Kongkong juga bukan orang miskin, maka kiraku jalan inilah yang terbaik, yakni untuk menghibur hatinya.”
Pek Hoa mengangguk-angguk. “Kau anak baik, dan kau pun amat cantik jelita. Kau layak hidup bahagia dan mendapatkan seorang suami yang baik dan tampan. Kau bilang tadi calon suamimu lebih cakap dari pada Cia-siucai?”
Merah muka Bi Li, akan tetapi dia mengangguk. “Bukan hanya aku yang menganggap demikian, Cici, juga pelayanku Ceng Si menganggap demikian pula.”
“Dan kau bilang gagah perkasa? Apakah dia itu pandai ilmu silat?”
“Tentunya amat pandai. Kongkong pernah bilang kepadaku bahwa dia adalah murid dari seorang sakti dan aneh yang bernama Han Le yang menjadi murid dari orang sakti yang dipuja-puja Kongkong, yakni mendiang Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi aku sendiri tak kenal siapa adanya orang sakti yang bernama Han Le itu.”
Kalau Pek Hoa tidak tinggi ilmunya dan dapat mengerahkan lweekang serta menyalurkan darah ke mukanya, tentu Bi Li akan melihat perubahan air mukanya ketika ia mendengar nama Han Le ini.
“Jadi calon suamimu itu she Kiang dan tinggal di kota Sian-koan?” tanya Pek Hoa pula.
Bi Li mengangguk.
Pek Hoa berdiri dan memandang wajah Bi Li sekali lagi lalu berkata, “Adikku yang manis, kelak kalau kau sudah punya anak, mungkin kita bertemu lagi karena aku ingin sekali melihat wajah anakmu.”
Bi Li hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba dengan sekali menggerakkan kaki, Pek Hoa sudah melompat di depan Ceng Si, membebaskan totokannya kepada tubuh pelayan ini dan sekali berkelebat ia lenyap dari pandangan mata!
Ceng Si menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya seperti ayam sedang makan padi, sambil mengeluh panjang pendek, “Pouwsat yang mulia, ampunkan hamba... jangan mencabut nyawa hamba...”
Bi Li juga menjatuhkan diri berlutut, bibirnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada bidadari yang mengaku kakak kepadanya itu. Kemudian terpaksa dia menyeret Ceng Si berdiri oleh karena pelayan yang ketakutan ini masih saja terus berlutut sambil sesambatan…..
********************
Kita ikuti perjalanan Pek Hoa. Setelah melompat keluar dari taman bunga keluarga Song, ia menghampiri Cia Sun. Sekali tepuk saja ia sudah membikin pemuda ini sadar kembali. Sebelum Cia Sun sempat membuka mulut, tahu-tahu ia merasa tubuhnya terapung tinggi dan ternyata ia telah dikempit dan dibawa lari oleh Pek Hoa.
Setibanya di tempat terang, yakni sudut jalan yang diterangi oleh lampu, Pek Hoa baru menurunkan pemuda itu, lalu memandangi wajah dan tubuhnya. Agaknya dia puas dan senyumnya manis sekali.
Di lain pihak, Cia Sun menjadi bengong. Ia terpesona oleh kecantikan gadis ini dan bau harum yang luar biasa mendebarkan jantungnya.
“Hemm... kau tampan juga...,” terdengar gadis itu berkata sambil meraba-raba pipinya.
Dari takut dan kaget, Cia Sun menjadi girang. Tak disangka bahwa orang yang dikiranya setan dan yang sudah mengganggu dirinya itu ternyata adalah seorang gadis muda yang demikian cantik jelitanya, bahkan jauh lebih cantik dari pada Ceng Si, juga lebih cantik dan menarik dari pada Bi Li yang pendiam dan malu-malu. Gadis ini sebaliknya kelihatan ‘berani’ sekali, berani memuji ketampanannya, bahkan berani membelai-belai pipinya.
“Aduh, Nona. Bukankah kau bidadari kahyangan yang turun dari bulan purnama? Apakah hendak mencabut nyawa hamba...?” katanya setengah bergurau.
Melihat pandangan mata Cia Sun, pandangan mata yang penuh arti, sekonyong-konyong Pek Hoa menjadi jemu. Semenjak usia belasan tahun wanita ini telah sering kali bertukar kekasih, hidupnya demikian busuk dan kotor, dan terkenal sebagai seorang wanita yang cabul.
Hubungannya dengan banyak sekali orang laki-laki membuat dia menjadi jemu apa bila melihat sikap laki-laki yang kurang ajar. Dan melihat laki-laki binal dan ceriwis, ia menjadi bosan dan mual. Apa bila sekiranya Cia Sun bersikap takut-takut atau malu-malu, atau marah-marah melihatnya, mungkin Pek Hoa akan jatuh hati pada pemuda yang tampan ini.
Pek Hoa tidak membutuhkan laki-laki yang ceriwis, karena dia telah bosan dengan sikap seperti ini. Dia membutuhkan laki-laki yang alim, laki-laki yang tidak mudah tergoda oleh kecantikannya. Maka dengan sebal hati dia melemparkan tubuh Cia Sun ke pinggir jalan, merampas kantung uang pemberian Bi Li tadi, lantas dengan cepat pergi meninggalkan pemuda itu yang terlampau kaget dan takut untuk dapat mengeluarkan suara!
Baru saja bayangan Pek Hoa berkelebat pergi, di belakangnya kira-kira sepuluh tombak jauhnya, berkelebat bayangan lain yang tidak kalah gesitnya, yang mengikuti perjalanan gadis itu secara diam-diam tanpa diketahui oleh yang diikutinya…..
********************
Kiang Liat merasa berbahagia sekali. Tidak pernah disangka-sangkanya bahwa nasibnya demikian baik dan menyenangkan. Tidak saja dia beruntung bertemu dengan pengemis sakti Han Le dan menjadi muridnya selama satu tahun, mewarisi ilmu kepandaian yang sangat tinggi sehingga kepandaiannya yang sudah lihai itu menjadi semakin maju, juga terutama sekali ia bertemu dengan Song Lo-kai dan diambil cucu mantu.
Yang membuat ia benar-benar merasa bahagia adalah ketika ia bertemu dengan Song Bi Li. Siapa pernah mengira bahwa cucu seorang kakek bekas pengemis demikian cantik jelitanya? Tidak hanya cantik, juga sikapnya demikian halus lemah-lembut, menimbulkan kasih sayang dan begitu bertemu muka, Kiang Liat terus saja jatuh cinta!
Ia sudah mempersiapkan segala keperluan untuk menghadapi pernikahannya yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Ia telah mengatur rumahnya yang selama ini hanya ia tinggali bersama inang pengasuhnya, sudah mengatur semua persiapan supaya isterinya kelak suka dan kerasan tinggal di rumahnya ini.
Kemudian ia menyuruh inang pengasuhnya dan beberapa orang pembantu dari kotanya untuk berangkat lebih dulu ke Sui-chun, ke rumah keluarga Song untuk membuat segala persiapan. Ia sendiri sibuk membagi-bagikan undangan kepada sahabat-sahabat baiknya supaya mereka suka datang kemudian ikut mengantarnya ke Sui-chun untuk menambah kegembiraan.
Persiapan terakhir telah dilakukan dan Kiang Liat merasa gembira sekali. Esok pagi-pagi ia akan berangkat ke Sui-chun, bersama beberapa belas orang kawan-kawan baik yang akan menjadi pengiringnya.
Seharian itu ia telah pergi jauh ke luar kota, mengunjungi kawan-kawannya yang paling jauh rumahnya. Ia merasa agak lelah ketika sore hari itu ia pulang, melompat turun dari kudanya yang indah, menuntun kuda itu dan menghampiri pintu depan.
Karena di rumahnya sudah kosong tidak ada orang lain, maka rumah itu pintunya selalu ditutup. Semua pelayan telah dikirim ke Sui-chun agar setelah pernikahan dilangsungkan bisa mengiringkan sepasang pengantin itu pulang ke Sian-koan. Oleh karena itu, selama beberapa hari ini, Kiang Liat tinggal seorang diri di rumahnya. Akan tetapi, kesepian ini takkan lama lagi, hanya tinggal semalam lagi dan besok pagi-pagi ia akan berangkat ke rumah calon isterinya!
Berpikir sampai di sini, terutama membayangkan wajah Bi Li yang cantik manis, Kiang Liat menjadi berseri wajahnya. Sambil tersenyum-senyum ia membuka pintu. Dia tidak tahu bahwa semenjak tadi, sepasang mata yang bening dan indah selalu mengintainya.
Mata ini bersinar-sinar ketika melihat potongan tubuh pemuda yang sangat ganteng ini. Tubuh yang tegap dan gagah, wajah yang amat tampan dengan kulit muka putih bersih, sepasang alis yang hitam tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang lebar dan bersinar-sinar penuh semangat. Memang Kiang Liat adalah seorang pemuda yang amat gagah dan tampan.
Setelah meninggalkan kudanya di depan pintu, Kiang Liat masuk ke dalam rumah sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Dia hendak mandi, berganti pakaian, kemudian pergi keluar lagi. Memang sungguh tidak enak duduk seorang diri di dalam rumah tanpa kawan, apa lagi menghadapi peristiwa yang demikian hebat, yakni pernikahannya dengan Nona Song Bi Li! Ia hendak pergi ke beberapa orang sahabat baiknya, mengajak mereka datang ke sini lalu memesan makan minuman dari rumah makan.
Akan tetapi, ia masih belum tahu bahwa pada saat itu, sepasang mata bening dan jeli terus mengintainya! Mata yang memandangnya penuh kekaguman, penuh nafsu, dan kadang-kadang penuh kebencian!
Kiang Liat melangkah tegap ke arah kamarnya, mendorong daun pintu kamar tidurnya, melangkah masuk dan...
“Siapa kau…?!” tanyanya terkejut sekali dan terheran-heran.
Di atas pembaringannya duduk seorang gadis yang berpakaian indah, seorang gadis sebaya dengan Bi Li yang cantik sekali, yang duduk menggoyang-goyangkan kedua kaki kecil yang tergantung dari pembaringan sambil miringkan kepala memandang kepadanya dan bibirnya tersenyum-senyum manis sekali!
Tadinya untuk sesaat Kiang Liat mengira bahwa inilah yang disebut orang siluman wanita, yang sering muncul dalam dongeng-dongeng. Kalau tidak demikian, bagaimana seorang dara juwita seperti itu tahu-tahu dapat memasuki kamar tidur seorang pemuda dan duduk di atas pembaringan dengan kakinya ongkang-ongkang dan senyum manis menantang?
Akan tetapi, ketika melihat gagang siang-kiam tersembul dari balik punggung gadis itu, Kiang Liat berpikir lain. Wanita ini tentu seorang gadis kang-ouw dan kedatangannya pasti mengandung maksud tertentu, entah baik entah buruk, akan tetapi lebih condong kepada maksud yang tidak baik.
“Kau siapakah, Nona? Dan apakah kehendakmu memasuki kamarku?” tanyanya lagi.
Kini suaranya tidak sekeras tadi karena pemuda ini cepat dapat menekan perasaannya. Ia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat gadis yang sedemikian cantiknya dan pandang mata kagum ini menyenangkan hati gadis itu yang segera memperlebar senyumnya.
“Jawab dulu, senangkah kau melihat aku di kamar tidurmu?” gadis ini bertanya, suaranya merdu merayu dan pandang matanya mencuri hati dengan kerling tajam menyambar.
Kiang Liat mengerutkan keningnya. “Bagaimana aku bisa menyatakan senang atau tidak kalau aku belum tahu siapa adanya kau ini dan apa keperluanmu datang ke sini?”
Gadis manis itu tertawa kecil. “Kau betul juga, sekarang jawablah pertanyaan yang lebih mudah. Cukup cantikkah aku dalam pandanganmu?”
Kini merahlah wajah Kiang Liat. Hatinya berdebar-debar. Selama hidupnya belum pernah dia melihat gadis secantik ini, kecuali Bi Li, dan gadis yang berani seperti ini. Akan tetapi, sikap genit dan kecabul-cabulan ini sama sekali tidak menyenangkan hatinya. Kiang Liat bukan sebangsa pemuda pemogoran yang mudah menjadi gila melihat wajah cantik!
“Nona, omongan apakah ini? Aku bukan orang yang biasa menilai kecantikan orang lain! Sekarang katakan siapa kau dan apa perlumu masuk ke kamarku?”
Meski pun jawaban ini ketus dan membayangkan kemarahan hati, namun aneh sekali, gadis ini tidak marah, bahkan sebaliknya ia kelihatan gembira sekali.
“Ha, kau gagah ganteng, tampan dan baik sekali, tidak seperti segala macam hidung belang yang menjemukan!” gadis itu berseru.
Kemudian, sekali menggerakkan tubuh dia sudah melompat turun. Gerakannya sangat ringan sehingga mengejutkan hati Kiang Liat.
“Kiang Liat, aku tahu siapa kau. Engkau adalah murid dari Han Le si pengemis hina itu, bukan? Dan kau akan menikah dengan Nona Song Bi Li yang cantik jelita, bukan?”
Kiang Liat kembali terkejut dan mengerutkan kening.
“Benar semua dugaanmu itu, sungguh pun aku sama sekali tak mengerti bagaimana kau bisa mengetahui semua itu. Akan tetapi, siapakah kau, Nona?”
“Orang-orang di dunia barat biasa menyebutku Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, akan tetapi bagimu, kau boleh memanggil aku Pek Hoa saja, atau Hoa-moi, bukankah itu lebih enak dan manis terdengarnya?”
Kiang Liat belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi sikap Pek Hoa yang semakin binal dan genit ini benar-benar menyebalkan hatinya. Ia tidak dapat menyangkal bahwa gadis ini amat cantik, lagi menyiarkan bau yang amat harum memenuhi kamarnya, akan tetapi kegenitan gadis ini melenyapkan kekagumannya. Alangkah jauh bedanya dengan Bi Li calon isterinya! Walau pun dalam kecantikan, agaknya Bi Li sendiri pun tidak akan menang dari gadis luar biasa ini yang memiliki kecantikan seperti bidadari.
“Jangan kau mengacau tidak karuan!” Kiang Liat membentak marah. “Aku tidak kenal kau siapa dan tidak peduli tentang semua panggilan itu. Lekas katakan, apa maksudmu datang ke kamarku?” Pemuda ini sekarang menjadi curiga dan juga amat marah.
Watak Pek Hoa memang aneh. Kalau sekiranya Kiang Liat bersikap lemah seperti yang diperlihatkan oleh pemuda Cia Sun, kalau saja Kiang Liat terpesona oleh kecantikannya, memuji-mujinya dan mencoba untuk bersikap kurang ajar, mungkin sekali Pek Hoa akan menjadi sebal dan mungkin akan segera turun tangan membunuhnya, karena dia adalah murid Han Le yang amat dibenci oleh Pek Hoa. Di dunia ini hanya dua orang yang amat dibenci oleh Pek Hoa, yakni Bu Pun Su dan Han Le, terutama sekali Bu Pu Su.
Akan tetapi, oleh karena sikap Kiang Liat amat keras dan sama sekali tidak tunduk oleh kecantikannya, hati Pek Hoa menjadi runtuh! Baru sekarang gadis ini bertemu dengan seorang pemuda yang begini tampan dan gagah, yang tidak bertekuk lutut menghadapi kecantikannya.
Inilah pemuda yang diidam-idamkannya, pemuda yang dicari-carinya! Maka, menghadapi bentakan yang penuh kemarahan dari Kiang Liat, dia menjadi makin tertarik dan semakin gembira.
“Kiang Liat, kau menjadi makin gagah kalau marah-marah. Kau mau tahu mengapa aku datang ke kamar tidurmu? Karena ketika tiba di rumah ini aku tidak melihat seorang pun manusia, maka aku memilih kamar tidur ini untuk mengaso.”
“Apa maksudmu mengunjungi aku?” tanya Kiang Liat gemas melihat sikap genit dan mendengar jawaban melantur itu.
“Kau adalah murid pengemis tua bangka Han Le dan dia itu musuhku, maka tentu saja aku datang untuk mengambil nyawamu. Akan tetapi, melihat mukamu aku lantas merasa kasihan sekali sehingga aku akan mengampuni dan takkan mengganggumu, sebaliknya aku ingin sekali membikin kau bahagia. Permusuhan antara kita akan hilang kalau saja kau mau membatalkan pernikahanmu dengan Song Bi Li dan sebagai gantinya, kau bisa mengambil aku sebagai isterimu...”
“Tutup mulutmu yang kotor!” Kiang Liat marah sekali dan mencabut pedangnya. “Kau ini perempuan jalang berani sekali bermain gila di sini...?” Kiang Liat benar-benar marah sehingga ia mendamprat gadis itu.
“Kiang Liat, butakah matamu? Buka matamu baik-baik dan lihatlah, apakah aku tidak lebih muda dan jauh lebih cantik dari pada Bi Li. Selain lebih cantik, aku pun lebih gagah, lebih kaya! Apa bila kau menjadi suamiku, apa yang kurang bagimu? Ingin senang? Aku cukup cantik dan aku tahu bagaimana untuk menyenangkan hatimu. Kau hendak hidup mewah? Kekayaanku jauh lebih besar dari pada kekayaanmu atau kekayaan Bi Li. Atau kau menghadapi musuh-musuh besar? Tidak usah khawatir, kalau aku Pek Hoa menjadi isterimu, tanpa aku turun tangan semua musuh-musuhmu akan melarikan diri tunggang-langgang!”
“Jangan ngoceh lagi! Lekas kau minggat dari sini, aku tidak sudi melihat mukamu atau mendengar suaramu! Pergi...!”
Pek Hoa mulai marah. Pipinya yang halus dan putih itu kini menjadi merah. Ia tidak suka melihat laki-laki lemah yang mudah jatuh oleh kecantikan, akan tetapi ia pun tidak suka melihat laki-laki yang memandang rendah kecantikannya. Apa lagi hinaan yang keluar dari mulut Kiang Liat sudah melampaui batas.
Kalau menuruti kemarahannya, ingin dia sekali turun tangan merampas nyawa pemuda ini. Akan tetapi bila ia memandang muka yang tampan dan gagah itu, hatinya tidak tega. Bagaimana pun juga, ia harus mendapatkan laki-laki ini sebagai suaminya atau sebagai kekasihnya. Sukar mencari seorang pemuda seperti Kiang Liat ini.
“Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apa sih?” tanyanya sambil tersenyum mengejek.
“Aku akan memaksamu dengan pedangku!” Kiang Liat membentak.
“Aha, kau mau main-main senjata dengan nonamu? Mari-mari, anak manis, mari keluar, kita boleh main-main sedikit!” Sambil berkata demikian Pek Hoa melambaikan tangannya dan sekali berkelebat ia telah menerobos keluar dari jendela.
Diam-diam Kiang Liat terkejut sekali melihat ginkang yang luar biasa ini, akan tetapi ia bukan seorang penakut. Cepat ia pun melompat keluar melalui jendela, mengejar wanita aneh itu.
Ternyata Pek Hoa sudah menunggunya di luar rumah, di pekarangan yang lebar dan diterangi oleh lampu minyak yang tergantung di bawah genteng. Gadis ini memandang ringan sekali kepada Kiang Liat. Karena kepandaian Han Le saja ia tidak takut dan masih sanggup menangkan, apa lagi kepandaian muridnya, pikirnya! Ia tidak tahu bahwa Kiang Liat hanya satu tahun menjadi murid Han Le, dan bahwa sebelum menjadi murid Han Le pemuda ini telah memiliki kepandaian yang tinggi juga.
Melihat Pek Hoa telah berdiri dengan lagak menantang, sambil bertolak pinggang tanpa mengeluarkan senjata, Kiang Liat membentak, ”Perempuan rendah, keluarkan senjatamu kalau kau hendak mencoba kelihaianku!”
“Mengapa harus mengeluarkan senjata? Apa kau kira dapat mengalahkan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat biar pun aku hanya bertangan kosong? Orang muda, maju dan seranglah, tidak usah ragu-ragu, jangan takut kalau kulit tubuhku akan lecet terkena pedangmu yang tumpul!”
Kiang Liat marah sekali. “Lihat pedang!” teriaknya dan ia mulai menyerang.
Mula-mula, pemuda ini tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, karena betapa pun gemasnya melihat gadis genit dan cabul ini, ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada di antara gadis ini dengan gurunya, dan ia tidak tega serta merasa malu untuk melukai seorang gadis muda yang melawannya dengan bertangan kosong saja.
Akan tetapi, segera ia menjadi terheran-heran dan kaget. Tak disangkanya bahwa gadis itu ternyata luar biasa dan selain gerakannya cepat sekali, juga ilmu silatnya sangat lihai. Hanya beberapa gebrakan saja, pedangnya sudah hampir kena dirampas oleh gerakan mencengkeram dari Pek Hoa!
Setelah melihat kelihaian lawannya, Kiang Liat tidak mau berlaku sungkan-sungkan lagi. Cepat dia menggerakkan pedangnya dan kini dia bersilat dengan ilmu pedang keluarga Kiang yang kini sudah diperkuat dan diperbaiki setelah dia belajar setahun lamanya pada Han Le.
Pek Hoa makin kagum melihat Kiang Liat. Tak disangkanya bahwa ilmu silat pemuda ini benar-benar hebat, tidak kalah jauh oleh Han Le. Bahkan kalau dilihat-lihat, ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda ini sama sekali bukan ilmu pedang Han Le.
Ilmu pedang yang dimainkan Kiang Liat sangat indah gerakan-gerakannya. Tentu saja seorang pemuda yang demikian ganteng dan tampan mainkan ilmu pedang yang indah ini, kelihatan seperti seorang penari ulung tengah menari, amat menarik hati dan indah dilihat. Makin sayanglah Pek Hoa kepada kepada pemuda ini, dan ia tahu bahwa kalau ia menghadapi dengan tangan kosong saja, akan sangat berbahaya baginya.
Timbul kegembiraan di dalam hati Pek Hoa untuk menguji terus sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Ia pun segera mencabut sepasang pedangnya.
“Kau lihai sekali, orang muda. Akan tetapi coba kau tahan siangkiam-ku!” Setelah berkata demikian ia memutar sepasang pedangnya dengan cepat, melakukan serangan balasan yang sesungguhnya, tapi bukan serangan benar-benar, hanya untuk menguji saja.
Kiang Liat kaget sekali. Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu juga hebat, apa lagi lawannya mempergunakan sepasang pedang yang tentu saja dapat menyerangnya lebih cepat dari pada sebatang pedang.
Pemuda ini diam-diam mengeluh dan merasa malu terhadap diri sendiri. Bagaimana dia yang sudah terkenal sebagai Jeng-ciang-sian (Dewa Bertangan Seribu), kemudian sudah mendapat gemblengan selama setahun oleh pengemis sakti Han Le, tetapi hanya dalam tenaga lweekang saja ia tidak kalah, akan tetapi ia kalah jauh dalam kecepatan gerakan, dan dalam hal ilmu silat, agaknya gadis ini memiliki kepandaian yang luar biasa sekali.
Namun Kiang Liat tidak mau menyerah kalah. Meski pun dia seakan-akan dikurung oleh laksaan ujung pedang lawan, dia masih terus mempertahankan diri, memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh tembok baja yang kokoh kuat.
Berkali-kali Pek Hoa memuji dan mulutnya mengoceh terus, “Kau gagah, ilmu pedangmu lihai... kau patut menjadi suamiku...”
Kata-kata seperti ini memperbesar api kemarahan Kiang Liat sehingga kini ia bertanding dengan nekat, sama sekali tidak takut mati. Ini membuat Pek Hoa kewalahan.
Memang ilmu pedang milik pemuda ini sudah tinggi, sulit baginya untuk merobohkan, apa lagi menawan. Sekarang ditambah pula oleh kenekatan pemuda itu. Maka Pek Hoa lalu mengeluarkan sapu tangannya yang berwarna merah, mengeluarkan seruan nyaring dan ketika sapu tangan itu dikebutkan, tiba-tiba Kiang Liat mencium bau harum yang amat keras dan tidak lama kemudian ia terhuyung-huyung dan roboh tak sadarkan diri dengan pedang masih di tangannya!
Pek Hoa tertawa girang. Ia cepat membungkuk, merampas pedang, mengelus-elus pipi pemuda itu, tertawa lagi lalu menotok jalan darah di pundak Kiang Liat untuk menjaga kalau pemuda itu siuman kembali. Biar pun siuman kembali, setelah ditotok, Kiang Liat takkan berdaya, tubuhnya sudah lemas dan ia tak akan dapat memberontak lagi.
Sambil kadang-kadang membelai rambut dan muka pemuda itu, Pek Hoa tertawa-tawa dan memanggul tubuh Kiang Liat dengan mudahnya. Kemudian berlarilah ia menghilang di dalam gelap malam yang mulai menyelimuti alam.
Akan tetapi, baru saja beberapa li ia lari, setelah ia keluar dari kota Sian-koan dan tiba di tempat sunyi, tiba-tiba Pek Hoa merasa pundaknya yang sebelah kanan ditowel orang. Ia memanggul tubuh Kiang Liat di pundak kirinya, maka merasa towelan ini, mula-mula ia tidak bercuriga dan berlari terus.
Sekonyong-konyong, pundaknya ditowel lagi dan terdengar suara perlahan,
“Siluman cabul, kau masih tidak mau melepaskan Kiang Liat?”
Pek Hoa amat terkejut, melompat ke depan sejauh empat tombak lebih lalu membalikkan tubuhnya. Di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki setengah tua yang pada saat itu ia harapkan berada di neraka. Satu-satunya orang yang tak ingin dilihatnya pada saat seperti itu, yakni bukan lain adalah Bu Pun Su Si Pendekar Sakti!
Karena tahu menghadapi lawan yang amat berat, yang biar pun dikeroyok dengan kedua sute-nya masih saja dia kalah, Pek Hoa tidak mempunyai nafsu untuk melawan Bu Pun Su. Ia melepaskan tubuh Kiang Liat yang dipanggulnya itu ke atas tanah, lalu mencabut pedang Kiang Liat yang dirampasnya.
Niatnya ingin menewaskan pemuda ini dengan sekali bacok, sebab kalau ada Bu Pun Su di situ, tak mungkin kehendaknya menjadikan pemuda itu sebagai permainannya dapat terlaksana. Setelah maksud ini digagalkan oleh Bu Pun Su, tidak ada jalan lain baginya kecuali membunuh Kiang Liat, sehingga dengan demikian, dia dapat melakukan sedikit pembalasan atas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su dan Han Le.
Akan tetapi, baru saja ia mencabut pedang rampasan itu, tiba-tiba pedang itu terlepas dari tangannya yang menjadi kaku. Dia mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa bahwa tidak hanya tangan kanan saja, malah setengah bagian tubuhnya sebelah kanan bagai lumpuh! Terdengar olehnya suara ketawa yang tenang dari Bu Pun Su.
Pek Hoa melompat mundur sambil menjerit. Tahulah ia sekarang. Pundak kanannya tadi sudah kena ditowel dua kali oleh Bu Pun Su dan ternyata bahwa towelan itu merupakan totokan yang amat lihai, yang baru terasa pengaruhnya setelah ia menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga.
Sambil berdiri, Pek Hoa cepat-cepat mengerahkan lweekang untuk membebaskan diri dari totokan itu, tetapi tidak berhasil. Terpaksa gadis ini menekan hawa kemarahan yang naik ke dadanya, lalu bersila di atas tanah.
Selagi dia berusaha membebaskan diri dari pengaruh tiam-hoat yang dilakukan secara lihai oleh Bu Pun Su, pendekar sakti ini menghampiri Kiang Liat. Dua kali tepukan pada pundak dan punggung membuat pemuda itu terbebas, dan Kiang Liat cepat berlutut di hadapan paman gurunya.
“Kiang Liat, aku bangga melihatmu. Kau memang patut menjadi murid Han Le. Sekarang lekas-lekas kau pulang dan langsungkan pernikahanmu. Kelak aku akan datang memberi hadiah dua tiga pukulan kepadamu.”
Kiang Liat girang sekali. Sesudah menghaturkan terima kasih, dia mengambil pedangnya dan pergi dari situ. Ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Pek Hoa, karena sebenarnya, betapa pun marahnya terhadap gadis itu, dia tidak tega melihat kalau-kalau Bu Pun Su akan membunuh Pek Hoa.
Akan tetapi, Bu Pun Su bukanlah seorang yang mudah saja membunuh orang. Dia lalu melangkah maju, tersenyum melihat gadis itu masih terus berjuang untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan.
“Pek Hoa, totokan itu tak akan dapat dibebaskan kalau tidak dengan suling ini,” katanya sambil mencabut keluar sebatan suling bambu yang sudah tua.
Tadi ia memang menotok pundak gadis itu dengan sulingnya, karena Bu Pun Su merasa segan untuk melakukan hal ini dengan tangannya. Pada saat ujung sulingnya menyentuh jalan darah pada pundak Pek Hoa, seketika gadis ini pulih kembali keadaannya. Dengan berang dia cepat-cepat melompat berdiri memandang kepada Bu Pun Su seperti seekor harimau betina hendak menubruk mangsanya, lalu berkata,
“Bu Pun Su, aku benci sekali kepadamu!”
“Bagus!” kata Bu Pun Su sambil tersenyum “Seribu kali lebih aman kau benci dari pada kau cinta. Kecantikan dan kasih sayangmu jauh lebih berbahaya dari pada watak buruk dan kebencianmu, Pek Hoa.”
Setelah berkata begitu, Bu Pun Su termenung. Ia teringat akan semua pengalamannya di waktu muda, betapa dia pernah menjadi korban dari kecantikan dan kasih sayang palsu dari seorang wanita yang cantik dan jahat seperti Pek Hoa ini.
Pek Hoa membanting-banting kaki saking gemas. “Jadi kau selalu mengintai aku selama ini? Sungguh tidak tahu malu! Kalau memang kau gagah berani, mengapa tidak melawan guru-guruku? Mengapa kau menghina seorang perempuan?”
Pek Hoa hampir menangis. Ingin sekali ia mencabut siangkiam-nya dan mempergunakan senjata rahasia atau senjata berbisa, namun dia cukup maklum bahwa semua ini takkan ada gunanya terhadap Bu Pun Su.
“Memang aku hendak mencari guru-gurumu, yakni Thian-te Sam-kauwcu yang ternama,” jawab lagi pendekar sakti itu.
“Jadi kau mengikuti aku untuk mengetahui di mana adanya guru-guruku?”
“Bukan hanya demikian, akan tetapi yang terpenting untuk melihat tingkah-lakumu, untuk menjaga agar supaya kau jangan sampai mengganggu orang-orang seperti yang tadi kau lakukan. Tentang guru-gurumu, agaknya mereka itu takut kepadaku maka tidak berani muncul.”
Kata-kata ini sengaja diucapkan oleh Bu Pun Su untuk dapat membakar hati gadis itu. Dan maksudnya ini berhasil karena Pek Hoa memandangnya dengan marah.
“Bu Pu Sun, kau sombong! Kau menggunakan kepandaian untuk menghinaku, seorang perempuan lemah! Awas kau, akan datang saatnya aku membalas semua ini, membalas kepadamu dan kepada Han Le! Akan tiba saatnya aku menghancurkan kau dan semua orang yang ada hubungannya denganmu! Apa bila kau memang berani, datanglah ke lembah Sungai Yalu-cangpo, tepat di mana sungai suci itu berbalik ke barat. Di sanalah kau akan kami tunggu dan kalau kau tidak berani datang, ternyata Bu Pun Su hanyalah seorang pengecut besar yang berani dan berlagak di tempat dan kandang sendiri saja!” Sehabis mengeluarkan kata-kata ini, Pek Hoa lalu melompat dan menghilang di dalam gelap.
Bu Pun Su tidak mengejar. Ia percaya bahwa keterangan itu tidak bohong. Memang ia pernah mendengar bahwa tempat tinggal tiga orang aneh dari barat itu adalah di sekitar barat Gunung Heng-tuan-san dan sebagai seorang perantau besar dia pun sudah pernah mengunjungi daerah ini. Ia pun tahu bahwa daerah ini amat dekat dengan daerah-daerah asing seperti Nepal, Bhutan dan India, karena itu sudah sepatutnya kalau tiga orang itu mendirikan markas pusat di sana…..
********************
Upacara pernikahan antara Kiang Liat dengan Song Bi Li dilangsungkan dengan meriah. Banyak sekali tamu yang datang memberi selamat, dan di antaranya bahkan terdapat Han Le Si Pengemis Sakti.
Oleh karena Cap-si Kaipangcu, empat belas orang ketua perkumpulan pengemis yang lihai juga hadir, maka para tamu tentu saja terheran-heran melihat begitu banyak orang tua berpakaian pengemis, akan tetapi mendapat penghormatan terbesar dari pihak tuan rumah! Tentu saja mereka yang terheran-heran ini adalah orang-orang biasa, karena orang-orang kang-ouw yang hadir di situ tentu saja mengenal tokoh-tokoh besar ini.
Siapakah yang tidak mengenal It-gan Sin-kai pengemis tinggi kurus yang bermata satu itu, yang pernah membikin geger istana karena mencuri masuk ke dalam dapur istana untuk menikmati hidangan-hidangan kaisar. Siapa pula tidak mengenal Pat-jiu Siauw-kait pengemis kate berperut gendut seperti orang cacingan itu, yang kini duduk menghadapi meja sambil minum arak begitu saja dari guci yang besarnya hampir sama dengan tubuhnya?
Masih banyak sekali tokoh-tokoh besar, seperti Tiat-tho Mo-kai dan terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Pendeknya, empat belas orang pemimpin pengemis yang dinamakan Cap-si Kaipangcu, hadir semua. Juga masih ada belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah kenal dengan Kiang Liat, hadir di situ. Mereka semua ini, termasuk Cap-si Kaipangcu, menghormati Han Le yang merupakan tokoh tertinggi di tempat itu.
Sesudah upacara pernikahan selesai, Han Le mendengar dari muridnya tentang Bu Pun Su, maka dia segera meninggalkan tempat itu untuk mencari suheng-nya. Han Le sudah menyelesaikan tugasnya, sudah memberi tahu kepada tokoh-tokoh pimpinan partai besar untuk berhati-hati dan siap siaga menghadapi pengaruh-pengaruh asing dari barat…..
********************
Semenjak saat pertemuan kedua mempelai, Bi Li yakin bahwa dia sudah mendapatkan seorang suami yang benar-benar baik. Dan dugaannya ini ternyata tepat sekali, karena memang Kiang Liat amat mencintanya. Tak mengherankan apa bila suami isteri ini hidup penuh kerukunan dan saling mencinta. Sangat sedap dipandang mata, betapa sepasang suami isteri yang keduanya sama-sama elok ini setiap hari berjalan-jalan di taman bunga sambil tersenyum-senyum dan mengeluarkan kata-kata bermadu.
Karena Kiang Liat sudah tidak ada ayah bundanya, maka Kakek Song, dibantu pula oleh Bi Li membujuknya agar sepasang suami isteri itu jangan buru-buru pindah ke Sian-koan. Kiang Liat tidak keberatan, karena baginya tidak ada perbedaannya. Hidupnya sekarang hanya untuk isterinya seorang. Di mana saja dia tinggal, asalkan bersama isterinya, dia sudah puas dan bahagia.
Juga ia tidak keberatan ketika isterinya menyatakan kesayangannya kepada Ceng Si dan hendak menjadikan gadis ini pelayannya dan juga kawannya bercakap-cakap apa bila Kiang Liat sedang keluar rumah. Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat tidak suka kepada gadis pelayan ini.
Sikap gadis ini mengingatkan dia kepada Pek Hoa, wanita siluman itu. Senyuman dan lirikan mata Ceng Si yang juga manis sekali itu, apa bila ditujukan kepadanya, bukan lagi merupakan senyum dan kerling sopan dari seorang pelayan wanita terhadap majikannya, tetapi senyum dan kerling seorang wanita muda yang berusaha memancing hati seorang pria!
Di bagian depan telah dituturkan betapa lihai dan licin adanya pelayan muda ini. Ceng Si telah melihat keadaan Kiang Liat, tentu saja memilih majikannya ini dari pada Cia Sun. Ia pikir lebih baik memikat hati majikannya ini yang terang-terangan sudah menjadi suami nona majikannya.
Kalau dia bisa menarik hati Kiang Liat dan menjadi kekasih atau bini mudanya, hidupnya tentu terjamin dan dia pun akan menjadi seorang nyonya ke dua yang terhormat. Dengan kecantikannya yang lumayan ia berdaya upaya untuk menarik hati Kiang Liat.
Akan tetapi betapa kecewa dan mendongkolnya hati gadis pelayan ini ketika pada suatu hari, dalam pertemuan empat mata dengan Kiang Liat di ruang belakang, majikannya ini membentaknya perlahan,
“Ceng Si, jangan kau main gila! Aku tak suka kau tersenyum dan memandang kepadaku seperti itu. Nyonyamu akan menjadi salah mengerti dan akan marah kepadamu. Jangan kau berani ulangi lagi, mengerti?”
Tentu saja Ceng Si merasa seakan-akan mukanya ditampar. Sambil menangis ia berlari masuk ke dalam kamarnya, di mana ia membanting diri di atas pembaringan kemudian menangis terisak-isak. Hatinya perih sekali, apa lagi kalau ia teringat bahwa impiannya buyar seperti asap tertiup angin. Ternyata suami nonanya itu bukan laki-laki biasa, bukan laki-laki mata keranjang seperti kebanyakan laki-laki di masa itu.
Akan tetapi Ceng Si tidak kehilangan akal. Dia mulai membujuk Bi Li, bahkan akhirnya berani mengancam dengan menyindir bahwa kalau Bi Li tidak mau membantunya, maka ia akan membuka rahasia tentang hubungan nonanya ini dengan Cia Sun dulu sebelum menikah!
Akhirnya, Bi Li menjumpai suaminya dan ketika mereka bercakap-cakap gembira, Bi Li berkata perlahan,
“Suamiku, kelak kalau kau mempunyai niat untuk mengambil seorang isteri ke dua, aku baru merasa rela dan senang hati kalau kau mengambil Ceng Si sebagai bini mudamu.”
Kiang Liat terkejut sekali dan ia membelalakkan matanya. “Ehh, apa yang kau ucapkan ini? Bagaimana kau bisa bicara seperti ini, isteriku? Bagaimana kau bisa bicara tentang aku mengambil bini muda?”
Bi Li memeluk suaminya dan terseyum. “Kenapa begitu saja kau kaget? Bukankah sudah menjadi kebiasaan umum di kalangan bangsawan dan hartawan untuk mengambil isteri muda sampai tiga empat orang? Tentu saja aku lebih bersukur bila kau tidak melakukan ini, akan tetapi kalau terpaksa... ambillah Ceng Si, pelayanku yang setia itu.”
“Omongan apa ini? Aku takkan menikah lagi dengan siapa pun juga! Aku cinta kepadamu dan kau seorang bagiku sudah cukup. Mengapa mesti menurut kebiasaan gila itu? Apa lagi harus mengambil Ceng Si? Ah...! Tidak, seribu kali tidak!” kata-katanya ini diucapkan keras-keras.
Mereka tidak tahu bahwa Ceng Si mendengarkan di luar jendela. Gadis ini menjadi pucat mendengar ucapan keras dari Kiang Liat sehingga untuk kedua kalinya, dia menangis di kamarnya.
Setelah yakin bahwa usahanya mendekati Kiang Liat tidak berhasil dan harapannya untuk menjadi isteri ke dua dari Kiang Liat sudah tidak mungkin lagi, Ceng Si mengambil jalan ke dua. Sekarang dia mengalihkan perhatiannya kepada Cia Sun dan mulailah dia mengadakan hubungan dengan siucai itu. Mulailah pula ia memeras Bi Li untuk memberi uang dan perhiasan kepada Cia Sun melalui dia. Bahkan ia berani menyampaikan pesan Cia Sun, minta perhiasan rambut kupu-kupu dan bunga cilan yang amat indahnya itu.
Bi Li tidak berani menolak. Nyonya muda ini maklum bahwa dia sudah berada dalam kekuasaan Ceng Si dan Cia Sun. Sekali saja ia menolak permintaan mereka dan mereka menyampaikan rahasianya kepada suaminya, akan celakalah dia! Bi Li terlalu mencinta suaminya dan baru sekarang terbuka matanya bahwa dahulu dia tertipu. Bahwa Cia Sun mencintanya karena dia cantik dan terutama sekali karena dia kaya.
Dan ia pun kini tahu pula bahwa antara Cia Sun dan Ceng Si terdapat perhubungan yang kotor. Baru terbuka matanya betapa rendah dan jahatnya siasat dua orang itu terhadap dirinya, dan dia pun menyesal.
Pernikahannya dengan Kiang Liat membuat Bi Li merasa berbahagia sekali. Akan tetapi dia menjadi gelisah kalau teringat akan ancaman-ancaman dari Ceng Si dan Cia Sun. Ia tahu bahwa nasibnya terletak di dalam genggaman tangan Ceng Si. Pelayan ini sudah berhasil mendapatkan surat yang dahulu ia tulis untuk Cia Sun, dan dengan surat inilah Ceng Si selalu mengancamnya apa bila minta sesuatu.
Bi Li tidak berani membuka semua rahasia ini kepada suaminya. Kalau saja dia berani melakukan hal ini, kiranya semua akan beres dan takkan timbul urusan besar. Ia belum dapat menyelami jiwa yang gagah dari suaminya, tak mengenal akan watak orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang menjunjung tinggi kegagahan dan menghargai kejujuran.
Bi Li merasa ngeri untuk menceritakan mengenai urusannya dan kesulitannya itu kepada suaminya. Ia takut kalau-kalau disangka yang bukan-bukan, disangka telah berlaku tidak senonoh di waktu dahulu. Padahal, kalau ia bercerita terus terang, Kiang Liat akan dapat mempertimbangkannya dengan bijaksana.
Sayang seribu sayang bahwa Bi Li tidak berani membuka rahasia, bahkan menutupinya dengan penuh rasa khawatir, dan dia memberikan apa saja yang dikehendaki oleh Ceng Si dan Cia Sun sehingga banyak uang dan perhiasan mengalir keluar!
Keadaan ini berlangsung terus tanpa diketahui oleh Kiang Liat sampai beberapa bulan kemudian Kiang Liat mengajak isterinya pindah ke Sian-koan. Tadinya Kiang Liat segan mengajak Ceng Si, akan tetapi atas desakan Bi Li, terpaksa Ceng Si ikut juga, menjadi pelayan pribadi Bi Li.
Setahun kemudian, Bi Li melahirkan seorang anak perempuan yang mungil sekali. Suami isteri itu merasa girang dan Kiang Liat memberi nama puterinya itu Kiang Im Giok. Pada mulanya Bi Li memang khawatir kalau suaminya kecewa, sebab pada masa itu para ayah ingin melihat anaknya lahir laki-laki.
Namun ternyata Kiang Liat berbeda dengan orang lain. Dia sama sekali tidak kelihatan kecewa dan untuk ini Bi Li merasa amat berterima kasih. Cinta kasih terhadap suaminya semakin menebal. Hidup nyonya muda ini tentu akan penuh kebahagiaan kalau saja ia tidak diganggu oleh Ceng Si dan Cia Sun.
Cia Sun sudah mendapatkan banyak uang yang diperasnya dari Bi Li melalui Ceng Si, dan berubah menjadi seorang pemuda pemogoran dan pemalasan. Uang itu cepat sekali habisnya, dihambur-hamburkannya seperti orang membuang pasir belaka.
Setelah Bi Li dan suaminya pindah ke Sian-koan, ia pun menyusul ke kota itu, menyewa kamar di dalam sebuah hotel. Ia membeli seekor kuda yang bagus dan kerjanya setiap hari hanya berpesiar! Hubungannya dengan Ceng Si dilanjutkan tanpa ada halangan.....
Komentar
Posting Komentar