ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-07
Air muncrat tinggi dan Kiang Liat menelan air asin. Cepat ia menahan napas dan mumbul lagi ke permukaan air, menggerak-gerakkan kaki dan tangan sehingga ia dapat bertahan mengambang di atas air. Ia bukan seorang ahli renang, namun kalau hanya menahan diri agar jangan tenggelam saja, ia masih bisa.
Dengan hati dongkol dan juga terheran, Kiang Liat melihat bahwa yang membikin perahu kecilnya terdorong maju adalah seorang laki-laki setengah tua. Laki-laki ini tiba-tiba saja muncul di permukaan air bersama perahu kecilnya berikut layar tambal-tambalan dan dia ini bukan lain adalah lelaki yang tadi bernyanyi-nyanyi dan kemudian tenggelam bersama perahunya!
Dengan enaknya laki-laki itu menggunakan perahu mendorong perahu Kiang Liat. Ketika Kiang Liat melihat perahunya, dia bergidik. Perahunya sudah penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh badan perahu. Apa bila tadi dia berhasil melompat ke dalam perahu, dia bersangsi apakah dia akan dapat menangkis hujan anak panah itu.
Kini dia melihat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh kepadanya. Orang setengah tua ini rambutnya awut-awutan, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya penuh keriput. Akan tetapi bentuk mukanya masih tampan serta gagah. Dia hanya satu kali terkekeh kepada Kiang Liat, kemudian tubuhnya tiba-tiba saja melayang naik ke perahu besar.
Kiang Liat ternganga keheranan. Ia telah sering kali melihat ahli-ahli silat tinggi bergerak, akan tetapi baru sekali ini ia melihat orang melompat seperti kakek itu. Perahu kecil yang ditinggalkannya sama sekali tak bergoyang dan tadi pada waktu kakek itu melompat, dia seakan-akan memiliki sayap dan terbang ke atas begitu saja!
Terdengar suara gaduh di atas perahu, disambung oleh suara ketawa dan jerit kesakitan. Tidak lama kemudian, sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu kakek tadi telah berada di atas perahu Kiang Liat yang penuh anak panah.
“Locianpwe, harap tinggalkan nama!” terdengar suara Wi Wi Toanio dari atas perahu.
Orang tua itu tertawa bergelak-gelak. “Wi Wi Toanio, aku datang dan pergi tidak pernah memperkenalkan nama!”
“Kau sudah menghina dan merusak patung Sam-kauwcu!” terdengar suara lainnya, yaitu suara laki-laki.
Orang itu kembali tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, beri tahukan pada Thian-te Sam-kauwcu supaya mereka jangan terlalu sombong dengan patung-patungnya!”
Perahu besar itu tadinya tidak bergerak, akan tetapi kini perahu itu mulai bergerak pergi setelah orang-orangnya memasang layar. Agaknya mereka ketakutan sekali menghadapi orang aneh tadi. Orang itu pun hanya tertawa saja melihat perahu itu pergi dari situ.
Kiang Liat memandang kagum dan heran. Akan tetapi tak lama kemudian ia mendongkol sekali karena tanpa menoleh kepadanya, laki-laki itu mendayung perahu dan pergi dari situ.
Kiang Liat hendak memperingatkan orang itu bahwa perahu mereka tertukar, akan tetapi dia menahan niatnya. Agaknya orang itu sengaja menukar perahu yang butut itu dengan perahunya yang masih baik, akan tetapi mengingat orang itu telah menolongnya, apakah pantas kalau dia ribut-ribut urusan perahu tertukar? Kekuatan orang itu luar biasa sekali dan sebentar saja perahunya telah lenyap dari pandangan matanya.
Biar pun mendongkol, Kiang Liat merasa beruntung juga bahwa peristiwa itu lewat tanpa mendatangkan bencana padanya. Perahu yang ia duduki itu butut, akan tetapi layarnya yang tambal-tambalan masih ada. Ia benar-benar tidak dapat mengerti bagaimana orang itu tadi dapat menyelam bersama perahunya termasuk layar-layarnya!
Angin bertiup kencang. Kiang Liat cepat-cepat memegang tali layar untuk mengemudikan perahunya, menuju ke pulau kecil yang kelihatan samat-samar dari situ.
Tak lama kemudian sampailah ia di sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon liar. Ketika ia mendaratkan perahunya dan menurunkan layar, ia melihat sebuah perahu penuh anak panah di tepi pantai. Hatinya berdebar. Tidak salah lagi, orang setengah tua yang aneh tadi telah mendarat pula di pulau itu!
Baru saja Kiang Liat melompat ke darat, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan tahu-tahu dia telah berhadapan dengan seorang wanita baju putih yang kurus. Wanita itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya agak pucat akan tetapi masih terlihat cantik. Sepasang alisnya dikerutkan, ada pun bibirnya ditekuk sedemikian rupa sehingga nampaknya galak dan gagah bukan main. Tangan kanan wanita itu memegang sebatang cambuk yang ujungnya bercabang-cabang.
“Bocah lancang kurang ajar, berani sekali kau mendarat di pulau ini tanpa ijin!” wanita itu berseru marah dan cambuknya menyambar ke arah Kiang Liat.
Kiang Liat kaget sekali. Sambaran cambuk itu mendatangkan angin dingin dan dia cepat melompat ke belakang sambil mencabut pedangnya, karena ia tahu bahwa ia kini sedang berhadapan dengan seorang yang lihai.
Akan tetapi gerakan cambuk itu aneh sekali. Meski pun sabetan pertama tidak mengenai sasaran, namun lengan wanita itu seakan-akan bisa terulur panjang dan kembali cambuk itu menyerang lagi. Kini ujung cambuk yang begitu bercabang-cabang itu bergerak-gerak seperti ular, menyerang ke jalan darah di tujuh bagian!
Kiang Liat berseru keras dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, tiba-tiba dia merasa tubuhnya kaku. Pedangnya terlilit oleh sebatang ujung cambuk dan pundaknya kena ditotok, membuat tubuhnya seketika terasa kaku dan pada lain saat dia sudah rebah lemas dan pedangnya terampas!
Wanita itu tertawa mengejek, memasukkan pedang rampasan ke dalam sarung pedang yang tergantung pada pinggang Kiang Liat, kemudian menyeret tubuh Kiang Liat dengan menarik lengannya, dibawa naik ke atas bukit. Di atas bukit itu, seorang lelaki setengah tua sudah menantinya dan Kiang Liat melihat bahwa laki-laki itu adalah orang aneh yang tadi telah menolongnya di atas laut ketika ia dikeroyok orang-orang Mo-kauw.
“Sui Ceng, apakah benar-benar kau begitu tega hati dan tetap berkeras membiarkan aku bersengsara dan mati dalam keadaan hidup?” terdengar laki-laki itu berkata.
Kiang Liat menjadi kaget bukan main. Tak tahunya bahwa wanita yang ganas dan lihai ini adalah Bun Sui Ceng, orang yang sedang dicari-carinya dan yang oleh gurunya disebut sebagai wanita yang amat lihai. Memang ia wanita lihai sekali, akan tetapi jika wataknya demikian ganas, tipis sekali harapan untuk dapat minta tolong kepada orang macam ini, pikir Kiang Liat.
“Kun Beng, kau sudah tua, akan tetapi mengapa hatimu tetap muda? Cih, benar-benar tidak tahu malu!” jawab wanita itu.
Kun Beng menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. “Sui Ceng, jangan kau salah duga. Sudah lama aku dapat mengalahkan nafsu dan semua kata-kataku padamu sekali-kali bukan didorong oleh nafsu, akan tetapi didorong oleh hasratku hidup seperti manusia biasa. Apakah kau juga hendak mati dan meninggalkan dunia begitu saja tanpa meninggalkan keturunan yang akan menyambung riwayat hidupmu?”
Sui Ceng, atau lengkapnya Bun Sui Ceng murid Kiu-bwee Coa-li, membanting-banting kakinya dan keningnya dikerutkan.
“Menyebalkan, menyebalkan! Kun Beng, engkau seperti tidak tahu saja. Apa sih baiknya hidup ini? Penuh penderitaan, penuh kepalsuan, penuh penyesalan dan penuh keributan-keributan! Siapa ingin mempunyai keturunan untuk merasakan semua penderitaan ini? Tidak, cukup diderita oleh kita sendiri, jangan menurunkan nyawa lain untuk mengalami pahit getir seperti yang kita alami. Sudahlah mari kita habiskan hidup dengan berlomba, siapa yang lebih cepat maju!”
Kun Beng kelihatan sedih sekali. “Sui Ceng, tidak kusangka bahwa kau berhati batu yang dingin dan keras. Akan tetapi, aku tetap tidak percaya. Kau sengaja mengeraskan hati, padahal aku yakin bahwa kau masih mencinta padaku. Sui Ceng, apakah hingga puluhan tahun kau masih saja belum dapat mengampuni kesalahan-kesalahanku?”
Mendengar percakapan ini, Kiang Liat menjadi terharu dan juga jengah. Tanpa disengaja dia mendengarkan percakapan dari dua orang tua mengenai cinta kasih, dua orang yang berbicara mengenai hal demikian gawat secara begitu saja di hadapannya, tanpa tedeng aling-aling!
“Kun Beng,” suara Sui Ceng terdengar lembut, agaknya kata-kata Kun Beng tadi sudah mengharukan hatinya. “Bukan aku yang keras hati, melainkan engkaulah. Cinta kasihmu sampai puluhan tahun belum padam, sungguh-sungguh menandakan bahwa kau berhati sekeras baja. Akan tetapi, seperti juga dulu telah kukatakan kepadamu berkali-kali, kalau tidak salah sudah empat belas kali kau datang menyusul dan membujukku, aku hanya akan menuruti kehendakmu kalau kau sudah bisa mengalahkan cambukku!”
Kun Beng menundukkan kepalanya, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala itu. “Sui Ceng, ke mana saja kau pergi, aku selalu mencari dan menyusulmu. Sampai kau lari ke Go-bi-san, ke perbatasan Mongol, ke rimba raya di lembah Huang-ho, aku menyusulmu. Akan tetapi kau tahu bahwa aku tidak dapat menurunkan tangan untuk bertanding silat denganmu, aku tidak dapat mengalahkanmu. Andai kata aku dapat, aku pun tidak akan tega mengalahkanmu. Aku tidak ingin menjadi suamimu karena kekerasan, atau karena kau terpaksa, aku menghendaki supaya kau suka menerimaku sebagai suamimu dengan cinta kasih.”
“Jangan ngaco-belo!” Sui Ceng membentak marah, akan tetapi Kiang Liat maklum bahwa wanita sakti itu terharu sekali, buktinya dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya. “Kun Beng, sudah dua tahun kita tidak bertemu, mari kau melayani cambukku barang seratus jurus!”
Kun Beng menarik napas panjang. “Kau memang sangat doyan berkelahi. Biasanya aku melayanimu supaya kau gembira. Akan tetapi, kini aku akan berusaha mengalahkanmu. Siapa tahu kalau-kalau dengan kekalahanmu, akan kalah pula kekerasan kepalamu, Sui Ceng.”
Setelah berkata demikian, Kun Beng membuka baju luarnya dan mengeluarkan sebatang tombak yang kelihatannya butut dan kotor. Akan tetapi di antara batang yang kotor itu kelihatan kilauan dari logam aslinya.
Sui Ceng mengeluarkan seruan girang dan dengan kaki kirinya ia lalu menendang tubuh Kiang Liat yang tadi menggeletak di depannya karena orang muda ini masih tak berdaya dan berada dalam keadaan tertotok.
Tubuh Kiang Liat terguling sampai lima tombak lebih, namun dia dapat melompat bangun karena tendangan itu ternyata adalah obat untuk membebaskannya dari totokan. Ia tidak berani sembarangan bergerak, hanya duduk di atas tanah dan memandang dengan hati tertarik dan penuh perhatian.
Hatinya berdebar. Ia telah diutus oleh gurunya untuk mencari dan minta bantuan kepada dua orang aneh itu, akan tetapi sekarang ia menjumpai mereka dalam keadaan hendak bertarung untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing! Benar-benar aneh sekali dua orang ini.
Sui Ceng adalah murid tunggal terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja ilmu silatnya tinggi sekali. Kepandaian tunggal yang istimewa dari Kiu-bwe Coa-li, yakni permainan cambuk, telah diturunkan kepadanya, maka dalam hal permainan senjata aneh ini, Sui Ceng amat pandai dan tidak kalah lihainya dari mendiang Kiu-bwe Coa-li.
Cambuknya itu ujungnya bercabang sembilan dan setiap ujung merupakan senjata maut yang mengerikan. Jangankan sampai kena pukul, baru terkena totokan saja, setiap ujung cabang dapat mencabut nyawa lawan!
Di lain pihak, kepandaian The Kun Beng sudah disaksikan oleh Kiang Liat. Pendekar ini adalah murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yang sudah mewarisi ilmu tombak dari mendiang suhu-nya. Maka ilmu tombaknya juga jarang ada yang dapat menandingi pada masa itu.
Pada saat digerakkan ujung tombak itu bergetar sehingga ujung itu seakan-akan berubah menjadi belasan banyaknya, mengeluarkan suara mendenging yang menyakitkan anak telinga. Setiap tusukan, tangkisan, atau pukulan dari tombak dan gagangnya disertai oleh tenaga lweekang yang luar biasa kuatnya.
Demikianlah, dua orang itu bertempur dengan amat hebatnya. Kadang-kadang keduanya lenyap dari pandangan mata, tertutup oleh selimut dari gulungan sinar senjata mereka. Bahkan Kiang Liat sendiri yang terhitung seorang ahli silat kelas tinggi, menjadi pening dan tidak dapat mengikuti gerakan-gerakan mereka dengan baik.
Akan tetapi, setelah bertempur dengan cepat sampai puluhan jurus, tiba-tiba saja mereka kelihatan lagi dan sekarang pertempuran dilangsungkan tanpa mengalihkan kedua kaki. Mereka berdiri berhadapan dengan jarak dekat dan hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak dan senjata mereka yang menyambar-nyambar pergi datang!
Kiang Liat melongo. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pertempuran sehebat ini. Memang pernah ia menyaksikan kepandaian istimewa dari gurunya, Han Le, terutama ia pernah pula mengagumi kehebatan supek-nya, Bu Pun Su. Pernah pula ia menghadapi orang-orang lihai seperti Pek Hoa Pouwsat dan lain-lainnya, akan tetapi belum pernah ia melihat dua orang sakti bertanding sehebat ini! Padahal pertandingan mereka itu hanya ‘main-main’ belaka, bukan untuk saling membunuh, hanya sekedar mengadu limu atau menguji tingkat saja.
Setelah beberapa puluh jurus dilewatkan dengan pertempuran lambat, kembali mereka bertempur cepat.
“Brettt!” tiba-tiba terdengar suara dan melayanglah sehelai robekan kain.
“Sui Ceng, aku mengaku kalah...,” kata Kun Beng yang melompat keluar dari kalangan pertandingan. Yang melayang tadi adalah robekan ujung bajunya, rupa-rupanya terkena sabetan cambuk Sui Ceng.
Sui Ceng merengut, mukanya yang agak pucat itu menjadi merah.
“Kau memang laki-laki tahu! Selalu menunjukkan sifat lemah dan mengalah. Siapa tidak tahu bahwa kau tadi sengaja memiringkan gagang tombakmu sehingga ujung cambukku dapat merobek ujung bajumu? Cih, kau selalu mengecewakan hatiku!”
“Aku memang kalah, Sui Ceng,” kata Kun Beng, wajahnya nampak berduka sekali.
Sui Ceng membanting-banting kedua kakinya. Tiba-tiba ia dan Kun Beng menengok ke arah Kiang Liat ketika mendengar orang muda itu berkata,
“Ji-wi sudah memperlihatkan kepandaian yang tiada duanya di kolong langit. Kepandaian Ji-wi Locianpwe seperti kepandaian dewa saja. Boanpwe Kiang Liat yang bodoh merasa beruntung sekali sempat menyaksikan kepandaian hebat itu.” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menjura dengan penuh penghormatan.
Sui Ceng tiba-tiba tertawa senang, “Ahh, benar juga, Kun Beng. Kau selalu sungkan dan mengalah kalau mengadu kepandaian denganku. Sekarang ada orang muda ahli pedang ini, biarlah dia yang menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita. Ehh, orang she Kiang, cabutlah pedangmu!”
Kiang Liat merasa ragu-ragu, akan tetapi melihat sinar mata wanita sakti itu, ia tak berani membantah. Dicabutnya pedangnya dan ia memandang kepada Sui Ceng dengan mata bertanya.
Kiang Liat tertegun. Selama hidupnya baru satu kali ini dia menghadapi perintah seaneh ini, yaitu ketika ia bertemu dengan Bu Pun Su, supek-nya. Namun sekarang, lagi-lagi ia menghadapi perintah serupa dari Bun Sui Ceng!
“Boanseng mana berani berlaku kurang ajar?” katanya perlahan.
“Bodoh! Aku sedang menguji kepandaian dengan Kun Beng. Hendak kami lihat di antara kami, siapa yang lebih dulu dapat merobohkanmu. Hayo serang!”
Panaslah perut Kiang Liat. Ia merasa dihina sekali, hendak dijadikan permainan oleh dua orang aneh itu. Oleh sebab itu, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia lalu menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerakan tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya, yakni Lian-cu Sam-kiam. Serangannya ini hebat dan ilmu pedang ini adalah petunjuk dari Han Le, maka tingkatnya sudah tinggi sekali.
Kalau tadi Kiang Liat dengan mudah ditawan oleh Bun Sui Ceng dalam segebrakan saja, itu adalah karena Kiang Liat diserang tiba-tiba dan ia tidak menyangka sama sekali akan kelihaian Sui Ceng. Akan tetapi, sekarang ia telah maklum bahwa ia tengah menghadapi seorang yang kepandaiannya jauh mengatasinya, maka begitu menyerang, dia langsung mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang istimewa serta mengerahkan semua tenaga lweekang-nya.
“Ayaaa... bagus sekali ilmu pedang ini!” Bun Sui Ceng berseru gembira.
Sui Ceng melompat, cambuknya terayun dan berkali-kali di tengah udara terdengar suara bergeletar dari ujung-ujung cambuknya. Dia benar-benar kagum karena ia tidak mengira bahwa orang muda itu mempunyai kiam-hoat yang demikian lihai.
Akan tetapi, betapa pun hebat ilmu pedang keluarga Kiang yang sudah disempurnakan oleh petunjuk-petunjuk Han Le, tingkat kepandaian Kiang Liat memang jauh lebih rendah. Baik dalam ginkang, lweekang, mau pun kemahiran gerakan silat, dia kalah banyak. Apa lagi memang senjata di tangan Sui Ceng itu benar-benar aneh dan hebat.
Dengan mati-matian Kiang Liat membela diri dan membalas dengan jurus-jurus pilihan, namun pada jurus ke tiga belas ia tidak dapat mempertahankan diri lagi. Sebatang ujung cambuk di tangan Sui Ceng bagaikan seekor ular telah membelit kaki kanannya sehingga tanpa dapat dicegah lagi, Kiang Liat segera terpelanting roboh ketika Sui Ceng menarik cambuknya!
Kiang Liat bangkit berdiri dengan muka merah. Ia tidak merasa sakit sama sekali, hanya pakaiannya yang menjadi kotor. Setelah mengebut-ngebut pakaiannya, dia menjura pada Sui Ceng. “Terima kasih atas pelajaran dan petunjuk Locianpwe.”
Sebaliknya, Sui Ceng memandang kepadanya dengan tersenyum girang.
“Baru sekarang ini aku bertemu dengan seorang muda yang kepandaian ilmu pedangnya demikian tinggi. Tak malu aku mengaku bahwa sampai sekarang pun aku masih belum dapat mengenal ilmu pedangmu,” katanya.
Terdengar The Kun Beng tertawa terkekeh, “Sui Ceng, biar pun ilmu pedang bocah she Kiang ini sangat lihai, tetap saja dalam tiga belas jurus dia roboh olehmu. Aku mana bisa melakukan hal itu? Sudahlah, aku pun mengaku kalah dalam pertandingan ini.”
“Kau curang!” Sui Ceng membentak, “Mana bisa pertandingan dianggap kalah jika belum dilakukan? Ehh, orang she Kiang, sekarang kau pergunakan pedangmu, seranglah dia si tua bangka itu!”
Diam-diam Kiang Liat merasa kasihan dan terharu mendengar semua percakapan antara dua orang setengah tua ini. Dia sendiri sudah merasakan kebahagiaan berumah tangga, hidup penuh kasih sayang dan saling mencinta dengan Bi Li. Mengapa dua orang aneh ini tidak dapat mengecap kebahagiaan itu? Kalau saja aku dapat menjadi perantara atau jembatan agar supaya mereka saling mendapatkan, pikir Kiang Liat.
“Baik, Boanpwe akan menyerang. Awaslah, Locianpwe!” katanya dan pedangnya segera bergerak cepat menyerang Kun Beng.
“Eh, ehh, lihai sekali...” Kun Beng juga memuji dan suaranya gembira.
Ahli silat manakah yang tidak gembira pada saat menghadapi pertandingan ilmu silat? Ia cepat menggerakkan tombaknya dan terdengar suara berdencing ketika tombak bertemu dengan pedang. Biar pun Kun Beng menangkis perlahan saja, namun Kiang Liat merasa telapak tangannya pedas dan tergetar hebat. Ia terkejut sekali dan bersilat lebih hati-hati. Ia tidak membiarkan pedangnya bertemu dengan tombak.
Akan tetapi setelah bertanding beberapa jurus, tahulah Kiang Liat bahwa lagi-lagi kakek ini mengalah terhadap Sui Ceng. Bila tadi dengan cambuknya, Sui Ceng menyerangnya secara hebat dan penuh nafsu untuk cepat-cepat merobohkan, adalah Kun Beng ini lebih banyak bertahan dari pada menyerang.
Kiang Liat tidak mau membiarkan hal ini terjadi. Maka, pada jurus ke sepuluh, dia tidak menarik kakinya yang kena diserampang oleh tombak sehingga tergulinglah dia!
Kun Beng berdiri terpaku, Sui Ceng tertawa geli, dan Kiang Liat merayap bangun.
“Kun Beng, kali ini kau menang!” kata Sui Ceng.
“Benar, dan Ji-wi Locianpwe sekarang dapat melanjutkan perjodohan itu!” berkata Kiang Liat.
“Bocah lancang, apa maksudmu?” Sui Ceng membentak dan ia telah melompat ke depan Kiang Liat dengan sinar mata bernyala penuh ancaman.
Kiang Liat kaget sekali, tak disangkanya bahwa wanita sakti ini akan marah. “Bukankah tadi Ji-wi Locianpwe hendak mempergunakan Boanpwe sebagai ujian? Bukankah tadi Locianpwe menyatakan bahwa kalau Locianpwe kena dikalahkan, maka perjodohan baru dapat terjadi? Boanpwe hanya mengatakan apa yang tadi boanpwe dengar, maka mohon banyak maaf apa bila boanpwe tanpa disengaja berkata lancang.”
“Sui Ceng, orang muda pun merasa kasihan kepada kita, kenapa kau tidak mau kasihan kepada diri sendiri?” Kun Beng berkata, suaranya gemetar.
Akan tetapi Sui Ceng marah sekali. Cambuknya diayun ke atas kepala, mengeluarkan suara yang nyaring, “Kau bocah lancang mulut, berani sekali bicara tentang urusan orang lain. Kau harus diberi hajaran!”
Baiknya sebelum cambuk itu meluncur ke tubuh Kiang Liat, Kun Beng sudah melompat dan menahan Sui Ceng.
“Sabar Sui Ceng. Bocah she Kiang ini datang ke sini karena diutus oleh Lu Kwan Cu!”
“Apa...? Utusan Lu Kwan Cu...?” Sui Ceng menurunkan tangannya yang tiba-tiba terlihat lemas, matanya terbelalak memandang kepada Kiang Liat.
Kiang Liat tidak tahu bahwa Lu Kwan Cu adalah nama asli dari Bu Pun Su, maka ia tidak mengerti. Hanya ia ingat akan pesan suhu-nya bahwa di depan dua orang ini, ia harus banyak-banyak menyebut nama Bu Pun Su, oleh karena itu ia segera menjawab,
“Ji-wi Locianpwe… boanpwe Kiang Liat diutus Suhu Han Le dan Supek Bu Pun Su untuk mencari Ji-wi.”
“Hem, Bu Pun Su menyuruh kau mencariku, ada urusan apakah?” tanya Sui Ceng sambil mengerutkan keningnya.
Dengan singkat Kiang Liat lalu menuturkan apa yang ia dengar dari Han Le, yakni bahwa di dunia persilatan muncul tiga tokoh asing yang lihai dan yang kini menguasai dunia kang-ouw, mengancam semua orang gagah yang tidak mau menggabungkan diri dengan Mo-kauw. Dan bahwa pada bulan enam yang akan datang, pihak Mo-kauw menantang Bu Pun Su beserta orang-orang gagah lainnya untuk mengadakan penentuan siapa yang berhak menguasai dunia kang-ouw, di sebelah barat bukit Heng-tuan-san.
Mendengar ini, Sui Ceng nampaknya tidak tertarik sedikit pun juga.
“Serombongan tikus-tikus busuk macam itu saja, apa artinya bagi Bu Pun Su? Aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa Bu Pun Su seorang diri pun akan sanggup membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Mengapa pula orang seperti aku dan Kun Beng harus ikut turun tangan membantu?”
”Akan tetapi sekarang keadaannya lain lagi, Sui Ceng,” kata Kun Beng, menggirangkan hati Kiang Liat yang tadinya sudah kecewa, “sekali ini musuh-musuh Bu Pun Su agaknya betul-betul hendak berusaha merebut kekuasaan di dunia kang-ouw. Malah kedatangan Kiang-enghiong ke sini tak terluput dari perhatian mereka sehingga Kiang-enghiong telah dihadang di tengah samudera. Tahukah engkau siapa yang menghadangnya dan hendak membunuhnya agar dia jangan minta bantuan kita?”
“Siapa? Anak buah Mo-kauw?” tanya Sui Ceng acuh tak acuh.
“Benar, akan tetapi bukan anak buah sembarangan, melainkan An Kai Seng sendiri dan isterinya, siluman betina Wi Wi Toanio!”
Mendengar kedua nama ini, mata Sui Ceng bercahaya. “Apa? Dan kau tidak membunuh mampus mereka?”
Kun Beng tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak mau membikin kau kecewa, Sui Ceng. Membasmi mereka adalah tugasmu, bukan?”
“Di mana mereka?” Sui Ceng menggerakkan cambuknya.
“Kau dapat bertemu dengan mereka kelak pada awal bulan enam di Yalu Cangpo, pada tikungan sebelah barat Gunung Heng-tuan-san,” jawab Kun Beng.
“Bulan enam kurang tiga bulan lagi, Heng-tuan-san tidak dekat, mari kita berangkat!” kata Sui Ceng tiba-tiba sambil berlari ke pantai.
Kun Beng memegang lengan Kiang Liat. “Orang muda, mari kita berangkat!”
Kiang Liat tak dapat menahan ketika tiba-tiba ia ditarik dengan cepatnya oleh Kun Beng. Akan tetapi hatinya merasa girang sekali karena tak disangka-sangkanya, tugasnya bisa dipenuhinya demikian mudah. Lebih gembira lagi hatinya ketika dalam perjalanan menuju ke Heng-tuan-san itu, Sui Ceng dan Kun Beng yang suka sekali melihat orang muda ini, berkenan menurunkan beberapa jurus ilmu silat tinggi sehingga Kiang Liat mendapatkan kemajuan yang luar biasa.
Bahkan ia juga telah menerima pelajaran ilmu lari cepat dari Sui Ceng sehingga ia dapat melakukan perjalanan dengan leluasa bersama kedua orang tokoh ini, tidak perlu lagi ia digandeng oleh Kun Beng. Ilmu berlari cepat dari Sui Ceng yang disebut Yan-cu Hui-po (Tindakan Seperti Walet Terbang) memang luar biasa sekali, dan berkat dari besarnya bakat dasar dalam diri Kiang Liat, pendekar muda ini dapat mempelajarinya dengan amat cepat…..
********************
Awal bulan Lak-gwe di lembah Sungai Yalu Cangpo!
Lembah ini biasanya sunyi sekali, tak pernah didatangi manusia karena memang daerah ini masih liar dan sukar didatangi. Binatang-binatang buas yang aneh dan jarang terlihat di hutan-hutan yang sudah dijajah manusia, masih berkeliaran di tempat ini. Orang tanpa memiliki kepandaian tinggi jangan harap dapat keluar dari hutan ini dengan selamat.
Akan tetapi, pada pagi hari itu, di lembah sungai, tepat di mana sungai itu membelok dan kembali mengalir ke arah barat, keadaannya ramai sekali. Di sebuah tempat terbuka di pinggir sungai, kelihatan banyak orang yang duduk di atas rumput.
Di depan mereka juga duduk beberapa orang di atas batu karang. Mereka seakan-akan menanti datangnya orang lain. Bekas-bekas tempat pohon ditebang menunjukkan bahwa tempat ini memang sengaja disediakan untuk pertemuan ini.
Jumlah orang yang duduk di atas rumput ada tiga puluh orang lebih. Pakaian mereka bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mempunyai air muka penjahat. Banyak di antara mereka yang tubuhnya tinggi besar dengan muka bengis, kasar gerak-geriknya, duduk sambil minum arak atau mengobrol dengan kata-kata yang kotor dan kasar. Akan tetapi ada pula yang gerak-geriknya halus dan bermuka tampan, namun sinar matanya tetap membayangkan kekejaman dan kebuasan.
Di depan sekali, di atas batu karang, duduk Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang dari barat yang kini menguasai Mo-kauw. Memang mereka ini adalah orang-orang terpenting dari Mo-kauw, yang berkumpul di situ untuk menghadapi musuh. Tak jauh dari tiga ketua ini, duduk pula Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, sepasang manusia iblis yang terkenal lihai dan keji sekali.
Selain mereka ini, masih terdapat banyak tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, bahkan di antaranya terdapat pula Kiam Ki Sianjin, seorang yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya! Karena dulu pernah menderita kekalahan ketika menghadapi Bu Pun Su, Kiam Ki Sianjin terpaksa bergabung dengan Thian-te Sam-kauwcu untuk memperkuat kedudukannya.
Akan tetapi yang paling mencolok di antara mereka semua adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari yang duduknya terpisah, di sebelah kiri dari tiga ketua itu. Dia ini kelihatannya masih muda, seperti seorang gadis dua puluh tahun, cantiknya benar-benar membuat semua orang laki-laki yang berada di sana menelan ludah dengan hati kagum dan penuh gairah.
Akan tetapi tidak seorang pun berani memperlihatkan kekagumannya secara berterang, karena gadis ini bukanlah orang sembarangan. Dia ini adalah murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu dan dia bukan lain adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat.
Melihat setangkai bunga putih di rambutnya, orang akan mengenal Dewi Jelita ini, akan memandang dengan penuh kekaguman. Akan tetapi apa bila melihat gagang sepasang pedang yang tersembul di pundak kirinya, orang itu akan merasa ngeri karena sepasang pedang itu entah sudah makan berapa banyak nyawa orang-orang tak berdosa!
“Mengapa sampai sekarang dia belum muncul?” terdengar Hek-te-ong, orang pertama dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh tinggi besar, bertanya. Suaranya besar seperti tambur dan kulitnya yang hitam itu mengkilap tertimpa sinar matahari pagi.
“Ha-ha-ha, agaknya Bu Pun Su sudah kehilangan nyalinya dan takut kepada kita...!” kata Pek-in-ong, orang ke dua yang tinggi kurus seperti cecak kering dan mukanya seperti tengkorak. Suaranya tinggi dan nyaring menusuk telinga.
Mendengar ejekan ini, semua orang lalu tertawa dan bergemalah suara ketawa mereka sampai di permukaan air sungai Yalu Cangpo.
Tiba-tiba suara ketawa mereka itu terhenti. Mereka terkejut mendengar suara ketawa lain yang parau dan keras, yang keluar dari permukaan air sungai!
Cheng-hai-ong, orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh kurus bongkok dan bermata sipit menggerakkan tangan. Sebatang hui-to (golok terbang) meluncur ke arah permukaan air.
Air itu bergelombang dan hui-to itu tenggelam, tidak ada tanda sesuatu. Apa bila betul di permukaan air tadi ada sesuatu, jelas bahwa hui-to itu tidak mengenai sesuatu.
“Bedebah, berani main gila dengan Cheng-hai-ong!” seru kakek kurus bongkok ini sambil berbangkit dari tempat duduknya. Dia hendak melompat dan terjun ke dalam air karena orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini memang merupakan seorang ahli dalam air, maka julukannya juga Cheng-hai-ong yang berarti Raja Laut Hijau!
Akan tetapi, ia membatalkan niatnya karena tiba-tiba dari dalam hutan muncul seorang kakek berusia empat puluh tahun lebih bertubuh sedang dan berpakaian sederhana.
“Thian-te Sam-kauwcu, aku sudah datang, tak perlu gelisah!”
Semua orang memandangnya. Bu Pun Su berjalan lambat-lambat naik ke tempat terbuka itu, tongkat kecil di tangan kiri, dipukul-pukulkan di atas tanah ketika ia berjalan. Ia tidak terlihat membawa senjata, hanya di pinggangnya terselip sebatang suling bulat. Setelah tiba di depan Thian-te Sam-kauwcu, kurang lebih sepuluh tombak jaraknya, dia berhenti dan berdiri tegak.
Thian-te Sam-kauwcu sudah lama mendengar nama Bu Pun Su yang menggemparkan dunia kang-ouw dan yang diakui oleh para tokoh kang-ouw sebagai jagoan nomor satu, akan tetapi baru kali ini mereka bertemu muka dengan pendekar sakti itu.
“Ha-ha-ha!” Hek-te-ong tertawa bergelak sambil memegangi perutnya, menahan kegelian hatinya. Ia tidak hanya geli, akan tetapi juga sengaja mentertawakan orang yang baru datang untuk menguji perasaan Bu Pun Su.
“Inikah yang bernama Bu Pun Su? Lucu sekali! Agaknya sudah tak ada lagi orang gagah di Tiong-goan sehingga bocah macam ini menjadi jago nomor satu. Ha-ha-ha!”
“Siluman hitam, sombong sekali mulutmu!” terdengar bentakan nyaring seorang wanita dan nampak bayangan berkelebat cepat, tahu-tahu Bu Sui Ceng telah berdiri di dekat Bu Pun Su, cambuknya bergoyang-goyang di tangan kanannya.
Thian-te Sam-kauwcu tercengang. Gerakan wanita yang baru datang ini benar-benar hebat, membuktikan bahwa ginkang dari wanita ini sudah sampai di tingkat tinggi sekali. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Bu Pun Su memang sengaja tidak memperlihatkan kepandaian, berbeda dengan Bu Sui Ceng yang wataknya keras.
Di belakang Sui Ceng, juga menyusul datang The Kun Beng yang diikuti oleh Kiang Liat. Melihat Sui Ceng, Bu Pun Su memandang dengan muka yang tidak berubah, akan tetapi wajahnya berseri ketika ia melihat Kun Beng datang bersama Sui Ceng.
“Bagus, kalian datang, ini tanda bahwa kiamat sudah tiba bagi Thian-te Sam-kauwcu,” kata Bu Pun Su kepada Sui Ceng dan Kun Beng.
Belum habis gema suara Bu Pun Su ini, berturut-turut muncul Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin, diikuti pula oleh Han Le!
Sui Ceng tidak mau membuang banyak waktu. Ia melangkah maju menghampiri tempat duduk Thian-te Sam-kauwcu. Di hadapan tiga orang Ketua Mo-kauw ini, di atas tanah, terbentang sehelai kain dan di atas kain berwarna hitam itu tergeletak sebuah kitab dan sebatang pedang. Sekali melihat saja, Sui Ceng sudah dapat menduga dan ia berkata nyaring,
“Apakah ini kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun-lun-pai yang dicuri oleh kaum siluman?” Kembali ia melangkah maju.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang lambat dan perlahan, akan tetapi menyeramkan. Yang tertawa adalah Cheng-hai-ong. Tangannya lalu bergerak dan belasan benda warna hijau menyambar ke arah kitab dan pedang.
Ketika Sui Ceng melihat, ternyata bahwa sekeliling kain tempat kitab dan pedang itu telah terkurung oleh anak-anak panah berwarna hijau yang menancap di atas tanah, begitu rapi seperti ditancapkan dan diatur dengan tangan. Dengan adanya anak-anak panah itu, maka kitab dan pedang itu terkurung rapat!
Demonstrasi kepandaian ini tak aneh jika orang tahu bagaimana cara menggunakannya. Pada umumnya, anak panah hanya diluncurkan dengan bantuan sebuah busur, namun melepaskan belasan batang anak panah sekaligus hanya dengan lontaran tangan dan dapat mengenai sasaran demikian tepatnya, jarang sekali ada orang dapat menirunya. Selain membutuhkan latihan, juga membutuhkan lweekang yang amat tinggi.
“Hah, pertunjukan kanak-kanak macam itu siapa sih yang menghargai?” kata Sui Ceng.
Cambuknya bergerak. Terdengarlah suara bergeletar beberapa kali dari sembilan ujung cambuknya dan tanpa mengenai kitab dan pedang, anak-anak panah yang tertancap di sekeliling kain hitam itu lenyap beterbangan ke kanan kiri!
“Heh-heh-heh, terima kasih atas pertunjukan ini. Kau tentu murid Kiu-bwe Coa-li!” kata Cheng-hai-ong dengan senyum mengejek, meski pun di dalam hatinya ia merasa kagum sekali.
Pada saat itu pula terdengar suara orang datang ke tempat itu, dan ketika semua orang memandang, ternyata sudah datang pula dua rombongan orang di mana masing-masing rombongan terdiri dari sepuluh orang.
Rombongan pertama adalah rombongan hwesio dari Siauw-lim-pai yang dikepalai oleh dua orang hwesio tua bertubuh gemuk. Rombongan ke dua adalah rombongan tosu dari Kun-lun-pai yang dikepalai oleh seorang tosu tua yang kurus dan tinggi.
Pada saat semua orang memandang pada rombongan ini, dari pihak Mo-kauw meloncat keluar seorang wanita setengah tua yang cantik. Wanita ini adalah Wi Wi Toanio yang memegang sebuah tusuk konde perak, dipegang di tangan kanannya kemudian diangkat tinggi-tinggi.
Dia lalu melompat ke depan dan memandang ke arah rombongan Bu Pun Su, matanya mencari-cari dan ia berseru heran,
“Di mana dia...?”
Tak seorang tahu apa yang dimaksudkan oleh Wi Wi Toanio, akan tetapi pada saat itu, Bun Sui Ceng dan yang lain-lain juga merasa heran karena tanpa mereka ketahui, Bu Pun Su sudah menghilang dari situ. Tak seorang pun tahu ke mana perginya pendekar sakti ini!
Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu maklum mengapa Bu Pun Su melenyapkan diri. Pendekar sakti ini tadi melihat Wi Wi Toanio berada di antara rombongan Mo-kauw, maka melihat wanita itu muncul sambil mencabut tusuk konde, ia lekas-lekas melarikan diri dengan cepatnya.
Sebagaimana diketahui, dalam cerita Pendekar Sakti Bu Pun Su pernah terlibat dalam urusan asmara dengan Wi Wi Toanio dan pernah bersumpah di depan wanita ular yang berbahaya ini bahwa dia akan selalu menuruti kehendak Wi Wi Toanio. Ada pun tusuk konde itu adalah hadiahnya kepada Wi Wi Toanio dan di depan tusuk konde itulah dia bersumpah! Oleh karena itu, apa bila Wi Wi Toanio mengeluarkan benda ini di depannya, apa pun juga yang terjadi, Bu Pun Su selalu akan tunduk dan menyerah, sesuai dengan sumpahnya yang tak mungkin ia langgar sendiri.
Di antara semua orang yang berada di situ, yang tahu penyebab perginya Bu Pun Su, hanyalah Han Le seorang. Kepada sute ini saja Bu Pun Su sudah membuka rahasianya dan menceritakan dengan terus terang akan kebodohannya sehingga di waktu mudanya dahulu ia masuk ke dalam perangkap Wi Wi Toanio. Oleh karena itu, kini Han Le tampil ke muka, mewakili Bu Pun Su dan berkata kepada Thian-te Sam-kauwcu,
“Thian-te Sam-kauwcu, kiranya kalian sudah tahu betul apa maksud kedatangan kami, terutama sekali mengapa rombongan saudara dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai datang ke sini. Tak perlu bicara panjang lebar, kitab dan pedang itu adalah milik kedua partai itu yang sudah kalian curi secara tidak tahu malu. Kini kalian menghendaki kami datang, sebenarnya apakah kehendak kalian?”
Hek-te-ong berdiri dari batu karang yang didudukinya tadi. Wajahnya yang hitam itu menyeringai lebar, sama sekali tidak memandang mata kepada Han Le.
“Ha-ha-ha, entah ke mana perginya Bu Pun Su, akan tetapi kiranya dia takut kepada kami. Kami tak perlu pula bicara panjang lebar, tak perlu menyembunyikan maksud kami. Memang kitab Siauw-lim-pai dan po-kiam (pedang pusaka) Kun-lun-pai telah kami bawa ke sini, karena tanpa mengambil dua benda ini, kiranya kalian tidak akan mau menerima undangan kami. Ketahuilah, sudah lama kami mendengar betapa golongan kalian sangat memandang rendah kepada kami kaum Mo-kauw, banyak penghinaan telah kami alami. Akan tetapi sekarang tiba waktunya kami untuk memperlihatkan, siapa sebetulnya yang lebih kuat. Kitab dan pedang dapat kami ambil tanpa kalian mengetahui, ini saja sudah membuktikan bahwa kami kaum Mo-kauw juga tidak boleh dipandang rendah. Sekarang, terus terang saja kami menuntut agar kalian suka berjanji bahwa selanjutnya pihak kalian tidak boleh mengganggu kami dan mau mengakui kami sebagai sebuah partai persilatan terbesar di dunia kang-ouw. Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai adalah partai-partai terbesar, maka kedua partai itulah yang kami tuntut supaya sekarang juga mengakui kami sebagai pimpinan partai terbesar!”
Han Le tersenyum mengejek, “Hek-te-ong, kau bicara sombong sekali. Belum pernah orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengganggu siapa pun juga, kecuali mereka yang jahat dan sesat. Kalau Mo-kauw merasa terganggu, itu tandanya bahwa sepak terjang anggota Mo-kauw memang tidak patut. Bagaimana kau menghendaki kami berjanji tidak akan mengganggu? Lebih baik kalian yang berjanji selanjutnya akan memperbaiki sepak terjang, tentu kami tak akan sudi mengganggu.”
“Betul, betul sekali!” kata hwesio tua dari Siauw-lim-pai.
“Memang tepat, Kun-lun-pai hanya membasmi orang-orang jahat tak peduli dari golongan apa,” kata tosu tua dari Kun-lun-pai.
Pek-in-ong yang tubuhnya tinggi kurus laksana tengkorak itu melompat maju dan ketawa dengan suaranya yang amat tinggi menusuk telinga. “Aha, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merasa diri sebagai orang-orang bersih di dunia ini dan memandang orang lain sebagai orang-orang jahat. Apakah anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tiada yang berbuat jahat?”
“Kalau pun ada, kami selalu menangkap dan menghukumnya,” kata hwesio Siauw-lim-pai dengan suaranya yang keras.
“Bagus! Bicaralah seperti kau sendiri yang menjagoi di dunia! Hendak kulihat apakah kau sanggup mengambil kembali kitabmu!” kata Pek-in-ong menantang. Memang di antara Thian-te Sam-kauwcu, orang ke dua ini paling berangasan.
Hwesio Siauw-lim-pai yang gemuk bundar itu melangkah maju dan mengebutkan lengan bajunya. “Omitohud, datang-datang langsung ditantang oleh tuan rumah. Siapakah Sicu? Apa kedudukanmu dalam Mo-kauw? Pinceng Kok Beng Hosiang dari Siauw-lim-pai ingin belajar kenal.”
“Aku adalah Pek-in-ong, ketua nomor dua dari Mo-kauw. Tak perlu banyak aturan, kitab Siauw-lim-pai telah tergeletak di depan kita. Kalau kau memang berkepandaian, cobalah kau ambil kembali.”
Kok Beng Hwesio adalah tokoh ke tiga dari Siauw-li-pai, atau murid ke dua dari Ketua Siauw-lim-pai, yakni Hok Bin Taisu. Dengan tenang ia bertindak maju dan membungkuk, tangan kanannya menyambar ke arah kitab yang terletak di atas kain hitam itu. Biar pun tubuhnya membungkuk mengambil kitab, namun sesungguhnya ini adalah gerakan dari Siauw-lim-pai yang disebut Tit-ci Thian-te (Jari Menuding ke Tanah), suatu sikap bhesi yang amat kuat, siap-sedia menghadapi serangan lawan.
Secepat kilat Pek-in-ong melangkah maju. Sekali dia menggerakkan tangan, yang kanan menepuk ke arah ubun-ubun kepala hwesio gundul itu, ada pun tangan kiri menyambar ke arah pundak dengan totokan yang lihai.
“Bagus!” seru Kok Beng Hosiang. Hwesio ini membatalkan niatnya mengambil kitab dan cepat merubah kedudukan tubuh, dua tangan diayun menangkis.
“Plakk!”
Dua pasang lengan yang penuh dialiri tenaga lweekang bertumbukan. Pek-in-ong tidak bergeming, akan tetapi Kok Beng Hosiang mundur dua tindak! Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa tenaga lweekang dari tokoh ke dua kaum Mo-kauw itu jauh lebih tinggi.
Pihak Siauw-lim-pai terkejut sekali. Kok Beng Hosiang juga merasa kaget dan cepat dia meloloskan senjatanya yang tadi dililitkan di perutnya yang gendut, yakni sebuah rantai baja.
“Omitohud, kau kuat sekali. Kini terpaksa pinceng minta bantuan pian untuk merampas kembali kitab pusaka!”
Rantai itu dipukulkan ke tanah dekat kitab dan aneh! Kitab itu mencelat ke atas. Selagi Kong Beng Hosiang hendak menyambar kitab dengan tangan kirinya, Pek-in-ong sudah mendahuluinya, menyambar kitab dengan tangan kanan, lalu melemparkannya kembali ke atas kain dan cepat kedua tangannya bergerak menyerang ke arah iga dan lutut!
Kok Beng Hosiang cepat melangkah mundur. Kini tanpa sungkan-sungkan lagi rantainya menyambar dengan serangan hebat yang dinamakan Sin-coa Wi-jauw (Ular Sakti Melilit Pinggang). Rantainya menyerang dengan kuat, membabat pinggang lawan.
Pek-in-ong yang masih bertangan kosong itu tidak mengelak sama sekali, membiarkan rantai itu mengenai pinggang dan sekejap kemudian pinggangnya sudah terpukul dan terlibat rantai! Akan tetapi alangkah kagetnya Kok Beng Hosiang ketika merasa betapa rantainya mengenai benda yang amat lunak sehingga tenaga sabetannya tertelan habis, kemudian tiba-tiba ia melihat sepasang lengan yang menyerang cepat sekali ke arah ulu hatinya, disusul oleh tendangan ke arah anggota rahasia!
“Ayaa...!” Kok Beng Hosiang terpaksa melepaskan rantainya dan melompat jauh-jauh ke belakang, karena hanya jalan inilah yang dapat membebaskan dia dari maut.
“Ha-ha-ha-ha, hanya demikian saja kepandaian tokoh Siauw-lim-pai? Ha-ha-ha!” Sambil berkata demikian, Pek-inong menggunakan jari-jari tangannya yang kurus panjang untuk mematahkan rantai itu menjadi berkeping-keping, seperti orang mematahkan sebatang hio saja!
Han Le dan yang lain-lain kaget sekali. Bukan main hebatnya lweekang dari Pek-in-ong. Kun Beng sendiri harus mengakui bahwa kepandaian Pek-in-ong tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri!
Bok Beng Hosiang, suheng dari Kok Beng Hosiang melompat maju dengan toya terbuat dari kuningan pada tangannya. Ia marah sekali dan membentak,
“Pek-in-ong, kau terlalu menghina Siauw-lim-pai! Biar pinceng mencoba untuk merampas kembali kitab pusaka!”
Pek-in-ong tertawa, “Hwesio gundul, nanti dulu. Jangan bergerak sembarangan, harus diadakan perjanjian dahulu. Kau siapakah? Apakah kau memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada Kok Beng Hosiang?”
Bukan main gemasnya hati Bok Beng Hosiang. “Orang sombong, dengarlah, Pinceng adalah Bok Beng Hosiang, barusan sute-ku sudah kau kalahkan, biar sekarang pinceng yang mencoba kelihaianmu.”
“Nanti dulu, harus dengan perjanjian. Apa bila aku kalah, kau boleh mengambil kitabmu yang butut, akan tetapi kalau kau kalah, kau sebagai wakil Siauw-lim-pai harus bertekuk lutut dan mengakui kami sebagai orang-orang yang lebih berkuasa, dan juga mengakui Mo-kauw sebagai partai yang lebih tinggi dan kuat dari pada Siauw-lim-pai. Bagaimana?”
Muka Bok Beng Hwesio sebentar merah dan sebentar pucat. “Keparat, kami orang-orang Siauw-lim-pai tidak takut mati demi membela kebenaran dan membasmi siluman-siluman seperti kau! Meski pun harus mati, pinceng tidak akan sudi bertekuk lutut dan selamanya Siauw-lim-pai tidak akan mengakui Mo-kauw yang sesat sebagai partai besar. Terimalah senjataku!” Sambil berkata demikian, Bok Beng Hosiang langsung menyerang dengan toyanya.
Harus diketahui bahwa Bok Beng Hosiang adalah murid pertama dari Hok Bin Taisu, kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada sute-nya, ada pun senjata yang ia pergunakan adalah sebuah toya. Semua orang tahu bahwa ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat kuat dan lihai, maka pengharapan semua orang diletakkan kepada tokoh ini.....
Komentar
Posting Komentar