ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-12
“Taihiap, seperti kukatakan tadi, sudah lama aku mendengar bahwa Pulau Pek-le-to yang menjadi tempat tinggalmu itu mengandung banyak rahasia, dan juga sangat indah seperti sorga. Bolehkah aku mengunjungimu? Bawalah aku ke sana, Taihiap.”
Han Le mengerutkan keningnya. “Pek Hoa Pouwsat, permainan apakah yang sedang kau keluarkan ini? Kau adalah murid Thian-te Sam-kauwcu, sedangkan kau tahu bahwa aku dan suheng-ku, juga kawan-kawan lain telah...”
Pek Hoa mengangkat kedua lengannya, digoyang-goyang seperti orang mencegah. Dari dalam lengan bajunya keluar keharuman bunga cilan!
“Han-taihiap, harap kau jangan menyebut-nyebut lagi soal itu. Yang sudah lewat, biarlah sudah. Terhadap seorang gagah seperti Taihiap, bagaimana siauwmoi berani menaruh dendam hati? Yang ada dalam hati siauwmoi bukanlah dendam dan marah, melainkan... kekaguman dan ingin sekali mempererat persahabatan...” Suaranya terdengar demikian merdu dan penuh gaya sehingga wajah Han Le sebentar merah sebentar pucat.
“Jembel busuk, lekas pergi dari sini!” Tiba-tiba Giam-ong-to Kam Kin yang semenjak tadi mendengarkan percakapan itu, serta melihat sikap genit suci-nya dengan hati sebal dan cemburu, lalu menggerakkan sepasang goloknya menyerang Han Le!
“Sute... jangan...!” Pek Hoa membentak Kam Kin, akan tetapi terlambat karena sepasang golok itu dengan ganasnya telah menyambar tubuh Han Le.
Bentakan ini sebenarnya bukan dikeluarkan karena Pek Hoa khawatir akan keselamatan Han Le, bahkan sebaliknya dia sangat khawatir akan keselamatan sute-nya. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Han Le jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian Kam Kin.
Memang betul apa yang dikhawatirkan oleh Pek Hoa Pouwsat itu, karena tidak saja Han Le mampu menghindarkan diri dari serangan sepasang golok Kam Kin, bahkan secara cepat dan tak terduga, rantingnya telah menotok pundak lawannya tanpa dapat dielakkan oleh Kam Kin. Giam-ong-to Kam Kin menjerit dan roboh berkelojotan.
Pek Hoa menghampiri dan sekali menepuk punggung dan leher sute-nya, Si Golok Maut itu terbebas dari rasa sakit yang luar biasa! Ia bangkit berdiri dan menyeringai, mukanya merah sekali. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, dia mengambil sepasang golok yang tadi terlempar di atas tanah ketika ia roboh, memasukkan sepasang golok itu ke dalam sarung golok, lalu ia melompat ke pinggir, ke dekat Im Giok yang memandang semua itu dengan kagum.
“Kam-susiok, kenapa baru sejurus kau mundur lagi?” tanya Im Giok kepada Giam-ong-to dengan nada suara mengejek.
Anak ini memang tidak suka kepada Kam Kin, maka kini ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kam Kin memandang kepada bocah itu dengan mata mendelik lebar. Im Giok menahan geli hatinya lalu menengok dan menonton apa yang akan terjadi antara gurunya dan pengemis sakti itu.
“Han-taihiap, kau makin gagah saja, benar-benar siauwmoi kagum dan tunduk. Siauwmoi ulangi lagi keinginan hati siauwmoi untuk pergi berkunjung ke pulaumu, di mana kita bisa saling menukar ilmu dan bercakap-cakap gembira tanpa gangguan orang lain.”
“Pek Hoa Pouwsat, kau bicara apa? Kau dan sute-mu sudah berlaku kejam, membunuh dua orang hwesio Siauw-lim-si dan menghina seorang tokoh Siauw-lim. Untuk perbuatan jahat ini mana bisa aku mendiamkannya saja?”
Sambil berkata demikian, Han Le sudah menggerakkan ranting di tangannya, mengirim serangan langsung ke arah leher Pek Hoa Pouwsat. Biar pun ia harus mengaku bahwa hatinya amat tertarik dan kejantanannya bangkit oleh kecantikan serta kelembutan yang demikian memikat hati, namun kesadaran Han Le masih penuh sehingga ia mengeraskan hati dengan anggapan bahwa wanita cantik menarik yang dihadapinya adalah seorang jahat dan keji dan sebagai seorang pendekar ia harus membasminya.
Pek Hoa Pouwsat mencelat ke belakang, tersenyum manis dan berkata menyindir, “Ayaa, Han-taihiap, galak sekali. Baiklah, mari kita main-main sebentar!”
Sambil berkata demikian, Pek Hoa Pouwsat cepat mencabut siang-kiamnya kemudian menghadapi Han Le dengan sikap gagah menarik.
“Awas serangan!” Han Le memusatkan semangatnya dan mulai melakukan penyerangan sungguh-sungguh.
Ia maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah, karena dahulu ia pernah menghadapi Pek Hoa Pouwsat dan tahu akan kelihaiannya. Akan tetapi, beberapa hari saja berkumpul dengan suheng-nya Bu Pun Su, Han Le telah memperoleh kemajuan yang amat banyak.
Sehari saja berkumpul dengan Bu Pun Su dan mendengar nasehat serta penjelasannya mengenai hal ilmu silat, sama halnya dengan berlatih satu tahun di bawah pimpinan guru pandai. Oleh karena itu, pertemuan akhir-akhir ini dengah Bu Pun Su membuat Han Le memperoleh kemajuan banyak dalam ilmu silat, dan Bu Pun Su telah membuka matanya untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekeliruan-kekeliruan sendiri.
Berdasarkan nasehat dari Bu Pun Su dia maklum bahwa orang seperti Pek Hoa Pouwsat mengandalkan kelihaiannya dengan kecepatan, kelincahan, serta siang-kiam-hoat yang tak terduga gerakannya, mengandalkan ginkang yang amat tinggi. Untuk melawan orang seperti ini dia harus berlaku tenang, tidak boleh mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawan, sebaliknya berlaku tenang dan mengandalkan lweekang membentuk pertahanan yang kuat dan melindungi tubuh dengan hawa pukulan dari rantingnya.
Maka, pada saat Han Le mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan suheng-nya, ia minta petunjuk untuk menyempurnakan ilmu pedangnya di bagian gerakan Jit-in To-goat (Tujuh Awan Membungkus Bulan), salah satu gerakan ilmu pedangnya yang merupakan benteng pertahanan kuat sekali.
Han Le melakukan gerakan ini dengan tenang dan nampaknya ia tidak banyak bergerak. Kedua kakinya hanya dipentang sedikit, hampir sama dengan kuda-kuda yang disebut Kung-si dengan tubuh agak dibungkukkan seperti dalam kuda-kuda Ci-kung-si.
Biar pun kedudukan tubuhnya sederhana saja, akan tetapi kedudukan ini memungkinkan dia untuk menggerakkan rantingnya ke mana saja sepasang pedang Pek Hoa meluncur. Tanpa banyak mengeluarkan tenaga, Han Le dapat menangkis semua serangan pedang Pek Hoa yang susul-menyusul ramai seperti sepasang ular berlomba.
“Han-taihiap, kau betul-betul mengagumkan sekali. Sekarang lihatlah ilmu pedangku yang baru, kau lihat bagus atau tidak!”
Perubahan hebat terjadi pada gerakan pedang Pek Hoa Pouwsat. Walau pun sepasang pedang itu masih saja melakukan serangan-serangan berbahaya sesuai dengan ilmu silat tinggi, akan tetapi gerakan-gerakannya demikian indah dan menarik, tak ubahnya seperti sedang menari saja.
“Indah sekali...!” berkali-kali Im Giok mengeluarkan seruan memuji.
Gadis cilik ini tadinya bersikap dingin dan kaku karena Kam Kin berada di dekatnya. Akan tetapi sekarang melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh gurunya, ia lupa sama sekali akan adanya Kam Kin di situ. Sepasang matanya bercahaya, wajahnya berseri dan tanpa berkedip ia menonton ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Im Giok memang mempunyai darah seni, suka sekali akan keindahan, maka tarian pedang itu benar-benar mempesonakannya.
“Aaiih, memalukan sekali...,” kata Kam Kin dan cemburunya makin menghebat.
Biar pun ia tidak terkena pengaruh langsung dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat, namun keindahan gerakan pedang, kelemasan gerakan tubuh Pek Hoa, tetap saja terasa olehnya sebagai gerakan-gerakan yang memikat hati, gerakan yang tak sopan. Pinggang Pek Hoa seakan-akan tidak bertulang, menggeliat-geliat bagaikan ular, menggerak-gerakkan tubuh bagian bawah, bibir tersenyum manis dan merah membasah, sepasang mata setengah redup dan berkaca-kaca, semua ini ditujukan kepada Han Le.
Pengemis sakti itu masih menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dari serangan dua batang pedang yang lihai itu. Namun ketika Pek Hoa Pouwsat merubah ilmu pedangnya dan mulai dengan ilmu pedang yang laksana tarian indah itu, hati Han Le terguncang hebat.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa lawannya sedang memainkan ilmu pedang Bi-jin Khai-i, ilmu silat yang sebenarnya merupakan setengah ilmu sihir sebab di dalamnya terkandung pengaruh mukjijat dari kecantikan wanita untuk merobohkan hati laki-laki. Inilah ilmu silat aneh yang selama ini dilatih secara mendalam oleh Pek Hoa Pouwsat, disediakan untuk merobohkan musuh-musuh besarnya yang tangguh dan sekarang untuk pertama kalinya, dia pergunakan dalam menghadapi Han Le!
Ilmu silat Bi-jin Khai-i ini memang hebat. Andai kata dimainkan oleh seorang perempuan yang berwajah buruk dan tubuhnya tidak menarik sekali pun, tetap akan mengeluarkan pengaruh yang bisa merobohkan hati laki-laki. Apa lagi sekarang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat yang cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh sepenuhnya wanita, tentu saja daya rangsangnya berlipat ganda.
Dalam belasan jurus saja, Han Le mulai terkena pengaruhnya. Dalam penglihatan Han Le, sepasang pedang itu tidak lagi mengancamnya, hanya merupakan tari pedang yang luar biasa indah. Tubuh yang berlenggak-lenggok dan menggeliat-geliat itu seakan-akan melambai dan mengajaknya bergembira dan menari.
Lebih hebat lagi, semakin lama gerakan Pek Hoa dalam mata Han Le semakin luar biasa sehingga nampak olehnya bahwa lawannya yang cantik itu benar-benar bagaikan sedang menanggalkan pakaian sedikit demi sedikit! Walau pun tidak sehelai pun pakaian tanggal dari tubuhnya, namun gerakannya menanggalkan pakaian demikian sewajarnya sehingga sebentar saja Han Le jatuh dalam pengaruh Pek Hoa.
Pendekar sakti yang selama hidup belum pernah berdekatan dengan wanita ini sekarang seluruh tubuhnya menjadi lemas, semangatnya seakan-akan telah terbang meninggalkan tubuhnya dan pertahanannya menjadi gempur karena caranya bersilat telah kacau sekali! Demikianlah lihainya ilmu silat Bi-jin Khai-i yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat.
Kalau sekiranya Pek Hoa menghendaki, sekarang dengan lemahnya pertahanan Han Le, dengan mudah dia akan dapat merobohkan dan menewaskan pengemis sakti itu. Akan tetapi Pek Hoa berpikir lain!
Wanita ini memang sudah mendengar tentang keadaan Han Le sebagai seorang laki-laki yang selamanya tidak pernah mau berdekatan dengan wanita, terkenal sebagai seorang laki-laki pembenci wanita, hidup seorang diri di Pulau Pek-le-to dan menjadi sute dari Bu Pun Su. Ini saja sudah menarik hatinya.
Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Han Le pada dasarnya mempunyai wajah yang tampan dan gagah. Maka timbullah hati suka dan ia ingin menjadikan pria pembenci wanita ini sebagai kekasihnya. Tidak saja demikian, bahkan juga ia mempunyai niat untuk mempelajari ilmu silat yang lihai dari Han Le. Disamping semua ini, ia pun ingin menarik Han Le ke pihaknya untuk membantunya menghancurkan musuh-musuhnya, kemudian setelah semua usahanya berhasil dan ia sudah merasa bosan, mudah saja baginya untuk melenyapkan Han Le dari muka bumi ini.
Pek Hoa memperhebat gerakan-gerakannya yang penuh gairah dan pengaruh ajaib. Han Le menjadi makin mabuk sehingga akhirnya dengan napas memburu pengemis sakti ini mengeluh,
“Pek Hoa Pouwsat... hentikanlah... aku tidak kuat lagi...”
Pek Hoa tersenyum lebar, gembira dan puas bukan main. Kalau ia mau, dengan sekali tusuk saja akan tembus dada Han Le. Dengan ilmu silatnya yang baru ini, ia akan dapat menjagoi dunia kang-ouw!
Tentu saja ilmu baru ini tidak begitu besar pengaruhnya terhadap lawan wanita, namun untuk menghadapi lawan wanita, ia cukup memiliki ilmu silat tinggi. Biar Bu Pun Su sekali pun ia tidak takut menghadapinya!
“Han-taihiap, tidak indahkah tarianku ini...?” tanya Pek Hoa dengan suara berlagu.
“Indah, indah sekali, Pek Hoa Pouwsat. Bukan main indahnya,” Han Le menjawab sambil berusaha menggerakkan. ranting sebab sepasang pedang itu masih saja menyambar dan mengancam, biar pun digerakkan dengan cara yang amat manis dan sedap dipandang.
“Sukakah kau melihat aku memainkannya?”
“Suka, Pek Hoa Pouwsat, aku suka sekali...”
“Han-taihiap,” suara Pek Hoa Pouwsat semakin merdu merayu sambil dia memperhebat gerakan-gerakan tubuhnya secara tidak tahu malu. “Sukakah kau kepadaku...?”
Agak lama Han Le tak dapat menjawab, akan tetapi kedua matanya tak pernah berkedip menelan semua gerakan tubuh lawannya dan dia laksana terkena hikmat, terpesona oleh keindahan dan kecantikan yang telah mencengkeram seluruh semangat dan perasaan jiwanya. Kini dia sudah tidak menggerakkan rantingnya lagi, berdiri bagaikan patung dan tidak ingat lagi bahwa ia tengah menghadapi lawan, tengah bertempur.
“Aku suka sekali kepadamu, Pek Hoa...,” akhirnya dia menjawab dengan suara perlahan, seperti bukan suaranya sendiri.
Terdengar suara ketawa Pek Hoa Pouwsat, suara ketawa yang terdengar nyaring serta merdu, penuh kegenitan, akan tetapi bagi orang yang pikirannya sadar, suara ketawa ini mengandung sesuatu yang mengerikan. Namun bagi Han Le terdengar merdu menarik.
Pada lain saat Pek Hoa Pouwsat telah menyimpan sepasang pedangnya, melompat maju dan menggandeng lengan kanan Han Le dengan gaya yang manja dan genit, tersenyum-senyum dan melirik-lirik ke arah wajah pengemis sakti itu, membetotnya dan berkata,
“Kalau begitu, Han-taihiap, marilah kita pergi ke pulaumu!”
Han Le yang sudah berada di dalam cengkeraman pengaruh jahat, sudah seperti orang mabuk atau orang bermimpi, hanya menurut saja pada saat dia ditarik-tarik oleh Pek Hoa Pouwsat. Pek Hoa berpaling kepada Kam Kin yang memandang semua itu dengan mata melotot marah.
Ia penuh dengan hati cemburu, akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? Ia tak berdaya di depan suci-nya atau kekasihnya yang memang lebih lihai dari padanya.
“Sute, kau pulanglah dulu, aku titip murid keponakanmu Im Giok, biar menanti kembaliku di rumahmu.”
Kemudian dengan suara ketawa seperti siluman, Pek Hoa Pouwsat yang menggandeng lengan Han Le menarik bekas lawannya itu. Han Le tidak membantah dan keduanya lalu berlari cepat sambil bergandengan…..
********************
“Tidak! Aku tidak mau ikut, jangan sentuh aku!” Dengan gerakan lincah Im Giok melompat dan mengelak menjauhi Giam-ong-to Kam Kin yang hendak menggandeng tangannya.
Kam Kin menyeringai dan memandang kepada Im Giok bagai seekor kucing memandang tikus. Tadinya dia marah dan jengkel sekali melihat sikap Pek Hoa yang pergi bersama Han Le. Laki-laki mana yang tak akan menjadi gemas menyaksikan kekasihnya main gila dengan lelaki lain?
Akan tetapi setelah ia memandang Im Giok, kegemasannya lenyap, bahkan terganti oleh kegembiraan. Meski pun Im Giok baru berusia sepuluh tahun lebih, namun gadis cilik ini sudah mempunyai kecantikan luar biasa. Dia hampir menyerupai Pek Hoa dan pantaslah kalau ia disebut Pek Hoa kecil atau seorang adik dari Pek Hoa Pouwsat.
Dalam pandang mata Kam Kin, Im Giok merupakan seorang calon bidadari, atau seperti sebuah kuncup kembang yang tak kalah menariknya oleh kecantikan Pek Hoa Pouwsat. Dan bocah mungil ini dititipkan kepadanya! Dengan girang ia lalu mendekati Im Giok dan hendak menggandeng. Akan tetapi siapa kira, bocah itu menolak dan menjauhinya.
“Im Giok, kau jangan banyak tingkah. Gurumu telah menyerahkan kau dalam rawatanku. Hayo ke sini dan ikut aku pulang!” berkata Kam Kin sambil melangkah lebar menghampiri gadis cilik itu.
“Aku tidak mau! Kau pergilah sendiri, aku tidak mau ikut denganmu.” Im Giok membandel.
“Ehh, ehhh, bocah bandel. Kalau kau tidak makin manis ketika membandel, tentu sudah kutempeleng kepalamu. Hayo ke sini, berani kau membantah susiok-mu?” Kini Kam Kin melompat dan tangannya diulur untuk menangkap pergelangan tangan Im Giok.
“Tidak, aku tidak mempunyai susiok seperti kau. Aku tidak mau ikut!” Im Giok mengelak, kemudian melihat Kam Kin berusaha menangkapnya, ia segera melarikan diri.
“Kurang ajar! Sekecil ini sudah berani kurang ajar dan keras kepala. Benar-benar calon kuda betina liar! Kuncup mawar berduri! Ke sini kau, Im Giok!” Kam Kin mengejar.
Akan tetapi Im Giok mempercepat larinya. Dasar bocah ini memang lincah dan tubuhnya ringan, apa lagi ditambah oleh latihan ginkang yang ia terima dari Pek Hoa Pouwsat. Kini perasaan wanitanya memperingatkan bahwa dia sedang menghadapi bahaya besar yang mengancam sehingga membuat ia ketakutan, maka larinya cepat seperti rusa muda.
“Im Giok, berhenti kau...!” Kam Kin mulai marah dan mengejar secepatnya.
Betapa pun juga, dia seorang laki-laki dewasa dan ilmu silatnya sudah tinggi, maka tentu saja ia dapat mengejar dan menyusul Im Giok. Hanya kelincahan anak itu yang membuat ia mengkal sekali. Setiap kali dia telah mendekat dan hendak menangkap, tiba-tiba anak itu miringkan tubuh dan mengganti arah sehingga Kam Kin terpaksa harus membalikkan tubuh dan kembali telah tertinggal agak jauh.
Namun Im Giok maklum pula bahwa ia takkan dapat menghindarkan diri lebih lama. Kam Kin telah memiliki ilmu lari cepat yang tak dapat dilawannya. Ia berlari terus dan akhirnya Im Giok memasuki sebuah hutan.
Di sini ia justru lebih leluasa mempermainkan Kam Kin sebab hutan ini banyak pohonnya. Dengan cara melompat ke sana ke mari dari balik pohon yang ini ke pohon itu dia dapat terus menghindarkan diri.
“Manusia tak tahu malu!” makinya berkali-kali. “Mengapa kau tidak mau membiarkan aku pergi? Kau mau apakah? Cih, tak tahu malu. Namanya saja besar, Giam-ong-to, hemm, tak tahunya seorang laki-laki tiada guna, pengecut dan pengganggu anak kecil!”
Kam Kin makin marah. “Siluman cilik, kau tunggu saja dan rasakan nanti kalau kau sudah tertangkap olehku!”
Dengan sangat bernafsu ia menubruk lagi, akan tetapi kemball ia memeluk batang pohon karena Im Giok sudah melompat ke tempat persembunyian lain dengan cekatan seperti seekor kera.
“Awas kau, setan cilik, kulumat dagingmu, kugerogoti tulang-tulangmu...!” Kam Kin memaki-maki gemas.
Akan tetapi ia menjadi girang sekali pada saat melihat bahwa Im Giok makin mendekati lapangan terbuka yang tak ada pohonnya. Ada pun Im Giok saking sibuk dan gugupnya, tidak tahu bahwa di belakangnya adalah lapangan terbuka, tempat yang tidak ada pohon dan berarti ia tak akan dapat menyembunyikan diri seperti kalau berada di hutan yang lebat.
Kam Kin memaki-maki, mengancam-ancam dan mengejar terus. Dan akhirnya, Im Giok memekik kaget ketika dia melompat dari pohon terakhir. Dia tiba di padang rumput yang tiada berpohon.
“Ha-ha-ha, kupu-kupu cantik, kau hendak lari ke manakah? Lebih baik kau berlaku manis dan menurut saja pergi dengan susiok-mu. Jika kau menurut dan tak banyak membantah, aku takkan bersikap kasar kepadamu, Im Giok yang jelita,” kata Kam Kin sambil tertawa lebar.
Im Giok melompat dan melarikan diri lagi. Saking gugupnya kakinya terjerat rumput dan ia pun roboh terguling. Di belakangnya ia mendengar suara Kam Kin tertawa bergelak.
Dalam terguling itu, kedua tangan Im Giok menyambar batu dan kayu kering. Kemudian dia melompat berdiri, tangan kirinya digerakkan dan batu tadi melayang ke arah kepala Kam Kin yang hendak menubruknya.
“Eh, kau berani melawanku!” bentak Kam Kin yang mudah saja mengelak dari sambaran batu. Kemudian ia melangkah maju, tangan kanan digerakkan untuk menangkap.
“Jangan sentuh aku!” Im Giok berteriak keras dan ranting kering yang tadi diambilnya dari atas tanah ketika ia jatuh, cepat ditusukkan ke arah pusar susiok-nya.
Kam Kin terkejut, cepat mengelak. Meski pun yang menyerangnya hanya seorang gadis cilik yang berumur sepuluh tahun, akan tetapi serangan itu dilakukan menurut ilmu silat tinggi, dan sungguh pun masih kecil, tenaga Im Giok bukanlah tenaga biasa, akan tetapi tenaga yang sudah terlatih. Apa lagi kalau dilihat bagian yang diserang pun bukan bagian tubuh yang kuat.
Setelah mengelak Kam Kin lalu menubruk lagi, akan tetapi sia-sia. Im Giok yang sudah berlatih selama empat tahun tidak membuang waktu sia-sia. Ia telah memiliki dasar ilmu silat tinggi dan telah memiliki gerakan yang otomatis dan lincah sekali.
Tubrukan Kam Kin dapat ia hindarkan dengan lompatan ke kiri dan sebagai pembalasan, rantingnya kini meluncur cepat menusuk ke arah mata paman gurunya. Tusukan ke arah mata ini hanya pancingan belaka karena sebelum lawan mengelak, ujung ranting itu telah meluncur ke arah jalan darah di leher! Inilah serangan hebat dan luar biasa bagi seorang anak kecil itu.
“Kurang ajar!” Kam Kin membentak marah dan juga kaget karena kalau tangannya tidak cepat-cepat menyampok, hampir saja jalan darah pada lehernya terkena totokan ujung ranting, dan hal ini bukan merupakan hal yang tidak berbahaya baginya.
Saking marahnya, Kam Kin segera mengeluarkan kepandaiannya. Sepasang tangannya ditekuk merupakan kuku harimau, kemudian ia mengeluarkan ilmu silat Hauw-jiauw-kang. Beberapa kali saja ia bergerak, ranting di tangan Im Giok telah kena disambar dan dibetot terlepas dari pegangan Im Giok. Kemudian ia menubruk lagi.
Im Giok mencoba untuk mengelak.
“Breettt!”
Pakaian Im Giok bagian pundak kiri robek hingga nampak kulit pundak yang putih bersih dan halus. Melihat ini, Kam Kin semakin menggila dan sambil tertawa-tawa dia menubruk lagi.
Im Giok menjadi bingung. Hanya dengan menjatuhkan diri kemudian bergulingan ia dapat menghindarkan tubrukan Kam Kin. Kemudian dia melompat lagi dan berlari secepatnya.
Diam-diam dia mengeluh karena sekarang habislah dayanya untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi ia pun mengambil keputusan nekat untuk melawan mati-matian, kalau perlu ia akan melawan dengan dua pasang kaki tangan dan juga giginya.
Sesudah mendengar derap kaki pengejarnya sudah berada dekat sekali di belakangnya sampai-sampai dia mendengar dengus napas Kam Kin, Im Giok memasang kuda-kuda dan membalikkan tubuh, langsung menyerang dengan menonjokkan kedua tangannya ke depan.
“Ha-ha-ha, kau kuda betina liar...!” Kam Kin tertawa sambil menggerakkan tangan kiri.
Di lain saat, tangan kirinya itu telah memegang erat-erat sepasang pergelangan tangan Im Giok, membuat gadis cilik itu tak dapat berkutik. Namun Im Giok sudah nekat.
“Lepaskan tanganku!” bentaknya dan kakinya menendang ke arah bawah pusar.
Biar pun kakinya kecil, namun sekiranya tendangan ini mengenai sasaran, biar pun Kam Kin berkepandaian tinggi, kiranya Kam Kin akan roboh binasa atau setidaknya pingsan!
Kam Kin cepat menangkap kaki kecil ini dengan tangan kanannya dan di lain saat tubuh Im Giok sudah diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil tertawa terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha, burung cilik, coba kulihat kau mau berbuat apa lagi sekarang, ha-ha-ha!”
Tiba-tiba Kam Kin merasa tubuh Im Giok meronta keras atau seperti juga direnggut orang dari tangannya. Dia tidak tahu betul apa yang telah terjadi, akan tetapi tahu-tahu kedua tangannya sudah kosong dan Im Giok sudah lenyap. Ketika dia membalikkan tubuh, dia melihat bocah itu telah berdiri di atas tanah dan di sebelahnya berdiri seorang kakek yang bermata bintang!
Sepasang mata kakek ini demikian tajam berpengaruh sehingga Kam Kin merasa gentar juga, maklum bahwa ia menghadapi seorang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, karena ia tidak mengenal siapa adanya kakek ini, Kam Kin memberanikan hatinya dan membentak keras,
“Anjing tua, siapakah kau berani bermain gila di depan Giam-ong-to Kam Kin?”
“Kakek, jangan takut. Nama Giam-ong-to hanya untuk menakut-nakuti belaka, sebetulnya dia seorang pengecut besar!” Im Giok berkata dan nona cilik ini kembali dengan nekat maju menyerang Kam Kin dengan pukulan ke arah lambung.
Dengan mudah Kam Kin menangkis, kini karena dia merasa gemas, tangkisannya keras hingga membuat tubuh Im Giok terhuyung lalu roboh tertelungkup di atas rumput. Namun gadis cilik itu tidak menjadi kapok atau takut, bahkan dengan marah dia bangkit kembali dan menyerang susiok-nya lagi.
“Bocah edan, apakah kau ingin aku marah dan memukul mampus padamu?” bentak Kam Kin dan kali ini ia kembali dapat menangkap tangan Im Giok.
“Boleh pukul mampus, siapa takut?” bentak Im Giok yang meronta-ronta.
“Lepaskan dia!” tiba-tiba kakek itu membentak keras.
Dan aneh sekali. Walau pun Kam Kin tidak melihat kakek itu bergerak, namun ia merasa tangannya yang memegang lengan Im Giok menjadi lemas sehingga gadis cilik itu dapat merenggut diri dan terlepas.
Kam Kin memandang kepada kakek itu dengan mata merah.
“Bangsat tua, kau berani mencampuri urusanku?”
Sepasang tangannya bergerak dan tahu-tahu golok besarnya telah berada di tangan dan di lain saat ia telah mengirim serangan hebat ke arah kakek itu. Golok itu dibacokkan ke arah kepala untuk kemudian disusul dengan babatan ke leher. Memang permainan golok dari Kam Kin sangat ganas dan kuat, dan tidak terlalu dilebihkan apa bila dia mempunyai julukan Golok Maut.
Akan tetapi, alangkah terkejut hatinya ketika tiba-tiba kakek itu dengan tenang dan cepat menggerakkan tangan kiri, lalu menyentil golok itu dengan jari tangannya.
“Cringg…!”
Terdengar suara yang nyaring dan golok itu menjadi somplak! Sentilan kedua menyusul dan kini golok itu terlempar jauh. Kam Kin tak kuasa menahan karena seakan-akan golok itu direnggut oleh tangan yang bertenaga raksasa.
“Ini untuk kekurang ajaranmu padaku, dan yang ini untuk kekejamanmu terhadap seorang gadis cilik!” kakek itu berkata sambil menggerakkan jari tangannya menyentil.
Kam Kin menjerit kesakitan sambil memegangi kedua telinganya yang daunnya sebelah bawah hancur terkena sentilan jari tangan kakek yang lihai itu. Walau pun luka itu tidak berbahaya sama sekali, akan tetapi sakitnya cukup membuat Kam Kin mengaduh-aduh. Darah mengalir di sepanjang lehernya kanan kiri.
“Setan tua, harap suka memperkenalkan nama. Kelak Giam-ong-to Kam Kin pasti akan membalas penghinaan ini!” Kata Kam Kin sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri.
Kakek itu tersenyum duka, mengeleng-geleng kepalanya lalu berkata perlahan, “Untuk dapat mencapai tingkat kosong, kau harus belajar puluhan tahun lagi, dan bila kau sudah mencapai tingkat itu, aku pun sudah mati. Akan tetapi kalau kau menghendaki, biarlah kau tahu bahwa aku kakek tua bangka ini tidak punya nama juga tidak punya kepandaian. Nah, kau pergilah!”
Mendadak wajah Kam Kin menjadi pucat bukan main. Dia melangkah mundur tiga tindak seakan-akan kata-kata itu merupakan pukulan yang menyambar mukanya.
“Bu Pun Su...!” katanya setengah berbisik, kemudian dia segera lari lintang pukang tanpa menghiraukan goloknya yang masih menggeletak di atas tanah.
Tiba-tiba Bu Pun Su mengeluarkan suara terkejut dan terheran ketika anak perempuan yang baru saja ditolongnya itu menyerangnya kalang-kabut. Im Giok menyerang dengan nekat, sama nekatnya ketika ia tadi menyerang Kam Kin.
“Ehh, ehhh, bukan laku seorang gagah kalau menyerang orang tanpa memberi tahukan sebab-sebabnya. Bocah galak, kenapa kau menyerang aku?” Bu Pun Su bertanya tanpa mempedulikan tangan Im Giok yang memukul tubuhnya.
“Karena kau bernama Bu Pun Su dan menurut guruku, Bu Pun Su adalah seorang paling jahat di dunia ini dan harus dibasmi,” Im Giok menjawab sambil melompat mundur karena pukulannya yang mengenai tubuh kakek itu seolah-olah mengenai tumpukan kain belaka, membuat hatinya terheran dan gentar.
Bu Pun Su mengerutkan kening, lalu tertawa. “Gurumu memang betul, siapa sih nama gurumu yang mulia.”
“Guruku adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat,” jawab Im Giok bangga.
Dia memang selalu merasa bangga mengaku Pek Hoa sebagai gurunya, bukan hanya bangga karena ilmu kepandaian Pek Hoa yang tinggi, terutama sekali bangga karena Pek Hoa dianggapnya wanita paling cantik di dunia ini dan amat mengagumkan hatinya.
Akan tetapi, kalau biasanya setiap laki-laki mendengar nama Pek Hoa Pouwsat nampak kagum dan gembira, tidaklah demikian dengan kakek ini. Sepasang matanya yang seperti bintang itu lantas bercahaya dan menatap kepada Im Giok dengan tajam berapi seakan hendak membakarnya.
“Dan kau she Kiang?”
“Betul, aku she Kiang bernama Im Giok,” kata gadis cilik itu kini tiba gilirannya terheran.
“Sungguh tak baik! Kalau kau dipelihara dan diambil murid seekor serigala kiranya takkan begitu buruk. Dan kau bahkan girang dan bangga menjadi muridnya. Benar-benar tanda tak baik bagi keluarga Kiang. Ehh, bocah tolol, tidak tahukah kau bahwa kau telah diculik oleh siluman betina yang ganas dan jahat?”
“Enci Pek Hoa bukan siluman betina dan aku suka menjadi muridnya,” bantah Im Giok.
Wataknya yang keras masih berkata demikian, biar pun di dalam hatinya dia sudah mulai tidak suka kepada gurunya itu semenjak mereka turun gunung dan ia melihat perbuatan-perbuatan yang ganjil dan memalukan dari gurunya.
“Bodoh, tolol! Tak tahukah kau bahwa penculikan terhadapmu ini mengakibatkan matinya ibumu dan gilanya ayahmu?” Bu Pun Su membentak.
Wajah Im Giok seketika menjadi pucat. Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu terpentang menatap wajah Bu Pun Su tanpa berkedip, kemudian perlahan-lahan mata itu menjadi basah dan air mata mulai menitik turun.
“Ibu... meninggal?”
Anak ini telah lupa lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya yang telah pergi meninggalkan ibunya semenjak ia masih kecil sekali. Selama ia pergi ikut Pek Hoa, yang terbayang di depan matanya hanya wajah ibunya dan ia memang merasa amat rindu kepada ibunya.
Kini mendengar bahwa ibunya telah meninggal, tentu saja hatinya terasa seperti diiris-iris dan hanya kemauan dan perasaan yang keras saja yang dapat menahannya sehingga ia tidak menjerit-jerit. Sebaliknya, ia hanya menggigit bibirnya dan berusaha menahan pekik tangis sampai-sampai bibirnya terluka dan berdarah!
Pandangan mata Bu Pun Su menjadi berubah. Kini dia merasa kagum melihat bocah itu. Tadinya ia mengira bahwa Im Giok tentu akan menangis menjerit-jerit mendengar tentang ibunya meninggal dan ayahnya menjadi gila. Sebagian besar perempuan cantik biasanya mengandalkan tangisnya.
Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya bahwa gadis cilik ini tidak menangis, bahkan dia menunjukkan kekerasan hatinya dengan menggigit bibir sampai berdarah. Baru berusia sepuluh tahun sudah memiliki kekerasan hati seperti itu, benar-benar seorang anak yang berbakat untuk menjadi orang gagah, pikir Bu Pun Su senang.
Kakek ini mendengar tentang nasib Kiang Liat, merasa kasihan sekali. Maka, kini melihat puteri Kiang Liat ‘ada isinya’, ia ikut gembira.
“Kau tidak ingin bertemu dengan ayahmu?”
Kesedihan membuat Im Giok tak dapat berkata-kata sampai beberapa lama. Kemudian ia mengeraskan hati menindas perasaannya, dan bertanya.
“Di mana ayah? Mengapa ia menjadi gila dan mengapa ia dahulu meninggalkan ibu?”
Bu Pun Su mengerti bahwa anak ini sudah terkena pengaruh Pek Hoa. Ini dapat dilihat tanda-tandanya dari cara anak ini berpakaian, bersolek dan bergaya ketika bicara, maka ia sengaja hendak menjauhkan hati anak ini dari Pek Hoa.
“Ibumu meninggal adalah karena Pek Hoa telah menculikmu. Di depan ibumu, Pek Hoa mengaku sebagai dewi dan dipercaya penuh oleh ibumu. Tidak tahunya, di balik semua itu, Pek Hoa hendak membalas dendam pada ayahmu yang membencinya. Sengaja Pek Hoa membawamu untuk membikin duka ibumu. Betul saja, ibumu menjadi sedih, bingung dan akhirnya jatuh sakit lalu meninggal. Ayahmu lantas menjadi gila akibat melihat ibumu meninggal.”
Im Giok adalah seorang yang masih kecil, usianya baru sepuluh tahun lebih. Tentu saja ia mudah dibakar hatinya. Mendengar kata-kata Bu Pun Su, mukanya yang tadi pucat kini menjadi merah sekali.
“Kalau begitu, Suci Pek Hoa yang membunuh ibuku dan merusak hidup ayahku!”
Diam-diam Bu Pun Su menyesal karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang buruk, yakni menanam kebencian dalam hati seorang anak-anak. Akan tetapi semua ini adalah demi kebaikannya sendiri, pikirnya. Apa bila anak ini tidak membenci Pek Hoa, banyak bahayanya kelak ia akan meniru sepak terjang Pek Hoa yang dikaguminya.
“Kau boleh anggap begitu. Akan tetapi ibumu sudah meninggal, tak perlu diributkan lagi. Yang penting adalah ayahmu, sebab kalau tidak cepat-cepat kau hibur hatinya, kiraku tak lama lagi ayahmu akan menyusul ibumu.”
Bercucuran air mata dari sepasang mata gadis cilik itu ketika mendengar kata-kata ini. Akan tetapi tetap saja ia tidak memperdengarkan isak tangis.
“Kakek yang baik, harap kau suka membawaku kepada Ayah...”
Kata-katanya terhenti dan pada lain saat Im Giok telah ‘terbang’. Pergelangan tangannya dipegang oleh Bu Pun Su dan ketika kakek ini berlari, Im Giok merasa seakan-akan dia telah terbang.
Kedua kakinya tidak menginjak tanah, akan tetapi tubuhnya melayang demikian cepatnya sehingga dia terpaksa harus menutup kedua matanya. Hanya telinganya saja yang dapat mendengar suara angin menderu dan mukanya terasa dingin tertiup angin.
Diam-diam bocah ini merasa kagum dan juga terkejut bukan main. Dia tadi memang telah menyaksikan betapa lihainya kakek ini yang dengan mudah mengalahkan Kam Kin. Akan tetapi karena memang ia memandang rendah kepada Kam Kin, kemenangan Bu Pun Su tadi tidak dianggap istimewa. Gurunya sendiri pasti dengan mudah mengalahkan Kam Kin.
Akan tetapi berlari cepat seperti ini, benar-benar luar biasa sekali. Gurunya sendiri tidak mungkin dapat menirunya…..
********************
Di luar kota tembok Liong-san-mui terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah lama tidak pernah mengebulkan asap hio, tanda bahwa kelenteng itu tidak dipakai orang lagi. Sudah bertahun-tahun kelenteng itu tinggal kosong dan makin lama menjadi semakin rusak tidak terpelihara. Penghuninya hanyalah laba-laba yang membuat sarang pada setiap sudut, membuat kelenteng itu nampak menyeramkan sekali.
Tidak ada orang yang berani masuk ke dalam. Bahkan para jembel yang tak mempunyai tempat tinggal dan mempergunakan ruang depan kelenteng itu untuk tempat tidur atau berteduh, tidak berani sembarangan masuk ke dalam kelenteng itu.
Akan tetapi akhir-akhir ini, kurang lebih sudah seminggu, terjadi perubahan besar. Tidak ada lagi jembel yang berani tinggal di situ dan keadaan kelenteng itu tidak kosong lagi. Seorang laki-laki bertubuh gagah dan tampan, berpakaian bagai seorang pendekar, telah menjadikan kelenteng itu sebagai tempat tinggalnya.
Orang ini gerak-geriknya aneh sekali. Wajahnya selalu tampak muram dan berduka, akan tetapi tidak jarang orang mendengar gema suara ketawanya memecah kesunyian tengah malam. Sejak ia mengusir semua jembel dari ruang depan kelenteng, kemudian memukul kocar-kacir belasan orang pengemis yang datang hendak merampas kembali tempat itu, tidak ada lagi orang berani datang mengganggunya.
“Dia pendekar yang aneh,” kata seorang yang mengerti ilmu silat, “gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat tinggi. Lihat saja cara ia ketika menyarungkan pedangnya, tentu pedang pusaka.”
“Dia berotak miring,” berbisik orang ke dua, “Pernah di tengah malam aku mendengar dia tertawa bergelak seperti iblis, dan pernah aku mendengar dia menangis tersedu-sedu dan akhirnya memaki-maki.”
“Dia orang yang aneh, benar-benar pendekar aneh,” demikian akhirnya orang mengambil kesimpulan.
Tadinya penduduk Liong-san-mui mengatakan sebutan ‘pendekar aneh’ ini dengan nada mengejek dan menertawakan. Akan tetapi tiga hari kemudian semenjak orang itu berada di situ, sebutan ini berubah menjadi sebutan yang disertai rasa kagum, segan, dan sangat menghormat. Tidak seorang pun berani lagi menganggapnya ‘berotak miring’ betapa pun aneh kelakuan orang ini.
Hal ini terjadi setelah pendekar aneh yang dianggap gila ini pada suatu malam, seorang diri dan bertangan kosong, telah merobohkan serombongan perampok yang mengganggu kota Liong-san-mui, dan menyerahkan rombongan perampok terdiri dari tujuh belas orang ini kepada yang berwajib!
Tikoan, pembesar yang menerima tawanan perampok itu, menghaturkan ucapan terima kasih dan menanyakan nama orang gagah itu. Akan tetapi, benar-benar orang aneh. Dia tidak mengaku, bahkan nampak marah-marah ketika berkata,
“Kewajiban Taijin hanya menerima dan menghukum orang-orang jahat itu, habis perkara. Perlu apa tanya-tanya namaku? Aku tidak minta hadiah!”
Maka pergilah dia meninggalkan Tikoan yang menjadi bengong, akan tetapi tidak berani berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang bersikap aneh dan kurang ajar itu. Karena sikap yang kurang ajar inilah, maka selanjutnya para pembesar setempat tidak mau dan sungkan menghubunginya. Akan tetapi betapa pun juga, penduduk amat berterima kasih dan menganggapnya sebagai tuan penolong atau pendekar budiman.
Siapakah pendekar aneh itu? Untuk mengenalnya, mari kita melihat ke dalam kelenteng dan mengikuti gerak-geriknya.
Di ruangan yang paling dalam di kelenteng itu, ruangan yang gelap akan tetapi bersih dari sarang laba-laba karena ruangan ini dijadikan kamar tidur dan telah dibersihkan, nampak seorang laki-laki duduk bersila di atas lantai yang telah disapu bersih.
Seperti orang bersemedhi, laki-laki ini duduk bersila menghadapi meja sembahyang yang sudah tua dan sudah amat lama tak pernah dipakai orang. Kalau orang melihatnya dari belakang, tentu mengira bahwa ia sedang bersemedhi, tak bergerak seperti patung.
Akan tetapi kalau orang melihat dari depan dan berada dekat dengannya, akan kelihatan jelas bahwa orang biar pun tubuhnya tidak bergerak, akan tetapi bibirnya bergerak-gerak dan terdengar dia bercakap-cakap dengan suara perlahan. Dari sepasang matanya yang dipejamkan itu bercucuran air mata. Kalau orang mendengar dia seperti bercakap-cakap tanya jawab dengan seorang yang tidak kelihatan, orang tentu akan menganggap ia gila.
“Bi Li, aku memang berdosa besar kepadamu, isteriku... Kini aku mengaku, sebenarnya akulah yang membunuhmu, akulah yang memaksamu meninggal dunia karena menyiksa hatimu. Aku orang berdosa besar, Bi Li. Kau ampunkan suamimu yang hina dan bodoh ini, isteriku…”
Mendengar ucapan yang berupa bisikan ini, tahulah kita bahwa orang itu tidak lain adalah Jeng-jiu-san Kiang Liat. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, setelah menerima pukulan yang hebat dari penuturan Ceng Si bekas pelayan isterinya bahwa sebenarnya isterinya itu tak berdosa apa-apa, dan bahwa isterinya meninggal dunia karena menyesal dan berduka ditinggal suaminya, Kiang Liat seperti orang gila.
Hatinya penuh penyesalan dan ia merantau ke sana ke mari. Hidupnya hanya bertujuan satu, yakni mencari puterinya yang diculik oleh Pek Hoa Pouwsat. Apa bila kiranya Bi Li tidak meninggalkan anak, tentu Kiang Liat sudah membunuh diri untuk menyusul isterinya yang tercinta.
Dia tidak peduli lagi keadaan tubuhnya yang menderita pukulan batin dan membuat dia kadang-kadang muntah darah. Akan tetapi ia mulai mengumpulkan uang. Sesuai dengan wataknya, ia selalu memberantas kejahatan. Setiap kali ia membasmi penjahat, selalu ia merampas milik penjahat itu sehingga sebentar saja ia sudah dapat mengumpulkan harta kekayaan yang besar juga, yang disembunyikan dalam sebuah goa. Selama empat tahun lebih ia merantau, mencari-cari Pek Hoa. Akan tetapi sia-sia belaka, tak seorang pun di dunia kang-ouw tahu ke mana siluman itu menghilang.
Kiang Liat mengumpulkan uang bukan sekali-kali dikarenakan dia ingin hidup bersenang-senang, akan tetapi dia sengaja mengumpulkan harta untuk kelak dipakai menyenangkan hidup Im Giok anaknya. Bahkan ia mulai pula mengganti pakaiannya yang kotor dengan pakaian bersih dan indah, karena dia ingin kelihatan gagah apa bila dia berhasil bertemu dengan puterinya.
Setiap malam dia teringat kepada isterinya itu. Keadaan pendekar ini benar-benar sangat memilukan hati. Benar-benar amat berat hukuman yang dideritanya akibat kecerobohan dirinya terhadap isterinya,.
Sesudah mengeluarkan kata-kata itu sambil memandang ke atas meja, Kiang Liat diam beberapa lama, sikapnya seperti sedang mendengarkan orang yang bicara kepadanya. Kemudian ia mengangguk-angguk dan berkata,
“Tentu saja, Bi Li. Aku pasti akan mencari Im Giok sampai ketemu. Aku akan mengadu nyawa dengan siluman Pek Hoa dan merampas kembali anak kita. Sudah empat tahun aku mencari jejaknya dengan sia-sia, akan tetapi aku tidak pernah putus asa. Sebelum putus nyawaku, aku tidak akan berhenti berusaha mencari Im Giok.”
Kiang Liat menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya dan berkata lagi, “Kau tidak percaya kepadaku, Bi Li? Sudah sepantasnya kalau kau tidak mempercayai seorang suami goblok seperti aku, seorang suami buta yang menuduh isterinya yang setia berlaku tidak patut. Memang kau berhak tidak percaya kepadaku, Bi Li isteriku. Akan tetapi, biarlah aku Kiang Liat bersumpah, aku akan mencari Im Giok sampai saat penghabisan. Biarlah rambutku menjadi saksi!”
Setelah berkata demikian, Kiang Liat mencabut pedangnya dan berlutut. Dengan tangan kiri dijambaknya rambutnya yang hitam panjang, dan tangan kanannya yang memegang pedang bergerak membabat rambutnya sendiri! Putuslah rambut di kepalanya dan kepala itu kini hanya tinggal ditumbuhi rambut pendek saja.
“Ayaaah...!”
Tiba-tiba saja bayangan merah melayang turun dan ternyata yang melompat turun adalah seorang gadis cilik berpakaian merah, sedangkan di belakangnya turun seorang kakek.
Kiang Liat memandang dengan mata bengong, tidak mengenal siapa adanya anak yang menyebut ayah kepadanya itu. Kemudian saat ia melirik ke arah kakek yang telah berdiri di belakang gadis cilik itu, ia terkejut sekali, melempar pedangnya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
Kiang Liat boleh jadi agak gendeng dan miring otaknya bila ia sedang tenggelam dalam lamunan sendiri dan mengingat akan isterinya. Akan tetapi pada lain waktu ia merupakan seorang manusia biasa yang sadar.
“Teecu tidak tahu akan kedatangan Suhu Bu Pun Su, mohon ampun kalau teecu tidak menyambutnya,” katanya penuh hormat dan segan.
Memang kalau ada orang di dunia ini yang disegani dan ditakuti oleh Kiang Liat, orang itu tak lain hanya Bu Pun Su dan mungkin juga Han Le.
Bu Pun Su memandang kepada Kiang Liat, sinar matanya penuh belas kasihan.
“Kiang Liat, jangan terlalu jauh dilarutkan oleh lamunan dan kedukaan. Inilah Kiang Im Giok puterimu, sengaja kubawa ke sini agar kau dapat hidup kembali bersama puterimu. Pergunakanlah sisa hidupmu sebaiknya untuk mendidik anakmu ini, Kiang Liat.”
Mendengar ini, dengan muka pucat Kiang Liat segera menengok ke arah Im Giok. Ayah dan anak berpandangan, dua pasang mata perlahan-lahan mengeluarkan air mata, dua pasang bibir bergerak-gerak dan bergemetar tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata.....
Komentar
Posting Komentar