ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-14


Orang kedua adalah seorang kakek jangkung dan bungkuk. Kepalanya besar sekali akan tetapi tubuhnya kurus kecil, sehingga nampak amat lucu. Akan tetapi ketika melihat cara kakek aneh ini berlari, tahulah Im Giok dan Kim Lian bahwa kakek aneh itulah yang tak boleh dipandang ringan karena terang sekali memiliki kepandaian tinggi.

Kim Lian sama sekali tidak mengenal dua orang ini, jangankan melihat, mendengar pun belum pernah. Akan tetapi, ketika Im Giok melihat laki-laki berpakaian komandan tadi, ia merasa kenal akan tetapi lupa lagi di mana pernah bertemu dengannya. Ketika melihat golok besar yang tergantung di pinggang orang, tiba-tiba teringatlah ia bahwa komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, sute dari Pek Hoa Pouwsat!

“Suci, komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, kau sambutlah kalau mereka berniat buruk. Kakek aneh itu bagianku, ia lebih lihai,” kata Im Giok berbisik.

Kim Lian tersenyum mengejek. Biar pun ia belum pernah bertemu dengan Kam Kin, akan tetapi dia pernah mendengar cerita Im Giok tentang Golok Maut ini dan dia memandang rendah.

Memang betul apa yang dikatakan oleh Im Giok tadi, komandan itu adalah Kam Kin yang berjulukan Giam-ong-to Si Golok Maut. Sedangkan kakek yang aneh itu adalah Ceng-jiu Tok-ong (Raja Racun Tangan Seribu), yakni guru dari Kam Kin, juga pernah menjadi guru Pek Hoa Pouwsat sebelum wanita ini menjadi muridnya Thian-te Sam-kauwcu. Ia adalah seorang tokoh barat.

Dahulu ketika dia masih muda memang Ceng-jiu Tok-ong melakukan banyak perbuatan jahat, akan tetapi karena di Tiongkok terdapat Lima Tokoh Besar, yakni Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Thaisu, Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai (tokoh-tokoh dalam Pendekar Sakti), maka Ceng-jiu Tok-ong tidak berani muncul di pedalaman Tiongkok. Operasi kejahatannya hanyalah di sekitar perbatasan Tiongkok dan Tibet, atau di perbatasan Bhutan dan India saja. Sesudah puluhan tahun dia bersembunyi dan bertapa, sekarang tua-tua dia turun gunung lagi adalah atas hasutan muridnya, yaitu Giam-ong-to Kam Kin.

Semenjak masih muda, Kam Kin terkenal seorang mata keranjang. Sekarang mendapat laporan dari orang-orangnya bahwa anak buahnya banyak yang tewas dalam tangan dua orang gadis gagah, ia menjadi marah sekali.

Akan tetapi begitu sampai di tempat itu dan memandang kepada dua orang gadis yang cantik jelita jarang tandingannya, matanya pun bersinar dan mulutnya menyeringai. Apa lagi ketika melihat Im Giok, ia benar-benar merasa kagum bukan main.

Selama hidup belum pernah dia bertemu dengan seorang dara muda secantik ini. Bahkan Pek Hoa juga tak secantik ini, pikir Kam Kin. Akan tetapi karena sedang berada bersama gurunya dan juga di depan anak buahnya, ia berkata,

“Ahh, inikah dua gadis yang sudah berani mati membunuh tentara?”

Im Giok melangkah maju kemudian berkata dengan lesung pipit berkembang di kanan kiri mulutnya. “Bagus sekali! Semenjak kapankah Giam-ong-to Kam Kin menjadi komandan tentara? Apakah kedatanganmu ini hendak minta maaf atas kekejaman anak buahmu?”

Kam Kin melengak dan memandang Im Giok penuh perhatian. Dia telah berpisah dari Im Giok semenjak anak ini berusia sepuluh tahun. Tujuh tahun sudah lewat dan kini Im Giok telah menjadi seorang gadis dewasa. Akan tetapi dahulu pun pada waktu berusia sepuluh tahun, Im Giok telah memiliki dasar kecantikan yang mengagumkan. Biar pun kini ibarat bunga ia telah mulai mekar, akan tetapi garis-garis pada mukanya, bentuk mata hidung dan mulutnya tidak berubah dan akhirnya teringatlah Kam Kin.

“Kiang Im Giok! Kaukah ini?”

“Baru terbuka matamu,” kata Im Giok tenang dengan senyum mengejek.

“Kurang ajar! Kau berani bersikap begini terhadap susiok-mu sendiri?” bentak Kam Kin.

Ia marah sekali karena dihina oleh murid keponakan di depan gurunya dan anak buahnya sehingga untuk sekejap lupalah ia akan kecantikan luar biasa dari murid keponakannya itu.

“Kam Kin, siapakah Nona ini?” Ceng-jiu Tok-ong bertanya dengan suaranya yang seperti burung kakatua.

“Suhu, dia ini sebetulnya bukan orang lain, karena dia adalah murid Suci Pek Hoa. Akan tetapi memang wataknya buruk sekali. Biar teecu menghajarnya.” Kemudian ia berpaling lagi kepada Im Giok dan membentak, “Im Giok, andai kata kau tidak menaruh sungkan kepada susiok-mu, apakah kau juga tidak menaruh hormat terhadap sucouw-mu (kakek gurumu)? Hayo lekas berlutut memberi hormat kepada sucouw-mu ini, guru dari Suci Pek Hoa.”

Akan tetapi Im Giok memandang dingin dan menjawab, “Aku tidak mempunyai sucouw seperti ini. Jangan kau mengaco, lekas katakan apa maksud kedatanganmu ini.”

Kam Kin menjadi amat marah. Ia membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke muka Im Giok.

“Bocah tidak tahu aturan! Tidak saja kau sudah membunuh banyak anggota tentara, akan tetapi kau juga bersikap kurang ajar kepadaku dan kepada Suhu! Kau benar-benar telah bosan hidup!”

“Monyet bercelana, kau berani menghina sumoi-ku?” tiba-tiba saja Kim Lian membentak marah dan dia melangkah maju di depan Im Giok, menghadapi Kam Kin sambil bertolak pinggang. “Mentang-mentang kau berjuluk ‘Si Golok Maut’, lalu hendak menjual lagak di sini? Tidak laku, monyet!”

“Gadis liar kurang ajar!” Kam Kin marah sekali.

“Kau yang kurang ajar!” bentak Kim Lian. “Karena itu mulutmu harus ditampar. Lihatlah, akan kutampar mulutmu!”

Baru saja kata-kata ini diucapkan, tangan kanan kiri gadis ini bergerak. Kam Kin bingung melihat gerakan ini dan berlaku agak lambat.

“Plakk!” tangan kiri Kim Li menampar mulutnya sampai pecah bibirnya dan berdarah.

“Anjing betina, kubunuh kau!” bentak Kam Kin sambil mencabut goloknya.

“Kutempiling kepalamu, awas!” Kim Lian kembali berseru lagi, disusul oleh gerakan kedua tangannya.

“Plakk!”

Lagi-lagi terdengar suara keras. Topi di kepala Kam Kin sampai miring terkena tamparan telapak tangan gadis jenaka itu.

Kam Kin merasa kepalanya puyeng dan cepat dia melompat ke belakang, menggeleng-geleng kepala untuk mengusir rasa puyeng. Kemudian, sambil mengeluarkan suara keras seperti seekor harimau, ia menyerang Kim Lian dengan golok besarnya.

Tadi Kim Lian berhasil dengan tamparan dan tempilingannya, karena memang gadis ini telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kiang yang sangat lihai. Ilmu silat yang selain indah seperti tarian, juga mengandung gerakan yang membingungkan dan tidak terduga-duga. Apa lagi sesudah ilmu silat itu diperbaiki oleh nasehat-nasehat dan petunjuk Bu Pun Su, kelihaiannya mengagumkan orang.

Akan tetapi setelah Kam Kin mencabut golok, Kim Lian tak berani lagi berlaku main-main. Gerakan golok Kam Kin benar-benar amat berbahaya dan kuat, tidak seharusnya dilawan dengan main-main.

Berbeda dengan Im Giok yang sudah bermain pedang, Kim Lian mendapat pelajaran ilmu silat tangan kosong secara lebih mendalam. Gadis ini memang memiliki bakat yang besar sekali untuk menggerak-gerakkan tangan kakinya, karena itu Kiang Liat Si Dewa Tangan Seribu memberi pelajaran ilmu silat tangan kosong secara tekun kepada muridnya ini.

Menghadapi rangsekan golok Kam Kin, gadis ini segera mengeluarkan ilmu silatnya dan mainkan gerak tipu ilmu silat tangan kosong yang disebut Kong-jiu Sin-i (Tangan Kosong Menyambut Hujan). Kedua lengannya dipentang, demikian pula sepuluh jari tangannya dipentang dan bergerak-gerak seakan-akan orang menari, akan tetapi gerakan sepasang lengan itu demikian lemas dan tak terduga seperti dua ekor ular, ada pun jari-jari tangan itu masing-masing merupakan alat penotok jalan darah yang amat berbahaya.

Dalam beberapa kali gebrakan pertama saja, jalan darah di pergelangan lengan, siku dan pundak kanan Kam Kin hampir saja menjadi korban! Kam Kin terkejut sekali dan ia cepat berlaku hati-hati, maklum bahwa dia sedang menghadapi seorang gadis cantik jelita yang benar-benar lihai.

Pada jurus ke tiga puluh, terdengar Kim Lian menjerit nyaring, “Monyet tua, pergilah!”

Jari-jari tangan kiri Kim Lian menyambar cepat sekali, menangkis serangan golok dengan mendahului kecepatan lawan dan menyampok pergelangan tangan kanan Kam Kin yang memegang golok. Pada saat itu juga, jari-jari tangan kanan bergerak menusuk muka dan kaki kiri menyusul cepat menendang lutut!

Kam Kin terkejut sekali karena tidak mengira bahwa lawannya akan bergerak secepat itu dan berani menyampok pergelangan tangannya, kemudian mendadak jari tangan kanan gadis itu sudah menusuk dan hampir saja matanya menjadi korban. Cepat ia membuang tubuh bagian atas ke belakang untuk dapat menyelamatkan mukanya, akan tetapi segera serangan kaki Kim Lian sudah mengenai sasaran.

Kam Kin berseru kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang, jatuh bergebruk kemudian merintih-rintih karena sambungan tulang lututnya sudah terlepas! Anak buahnya cepat menolong dan menggotong tubuh komandan mereka ke pinggir.

Kim Lian tertawa-tawa mengejek, “Monyet tua, mana golok mautmu?”

“Bocah sombong, pergilah!”

Yang berseru ini adalah kakek tua aneh tadi, sambil melangkah maju mendekati Kim Lian yang masih bertolak pinggang dan tertawa-tawa.

Kim Lian maklum akan kelihaian kakek ini, maka cepat ia mengangkat tangan menangkis ketika melihat kakek itu menggerakkan ujung lengan bajunya yang panjang ke arahnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ujung lengan baju itu bagaikan hidup, tahu-tahu telah membelit lengannya yang menangkis tadi. Sebelum dia sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, ia merasa dirinya dibetot!

Kim Lian mengerahkan lweekang untuk menahan tubuh sambil menarik lengannya akan tetapi tiba-tiba ia berseru, “Celaka...!”

Tubuhnya terhuyung ke belakang dan pasti akan roboh terjengkang kalau saja Im Giok tidak cepat-cepat menggunakan kaki mencokel kaki Kim Lian sehingga gadis ini tidak jadi roboh, sebaliknya bahkan tercokel dan terangkat ke atas!

Ternyata bahwa Ceng-jiu Tok-ong tadi telah mengakali Kim Lian. Ketika melihat gadis itu mengerahkan tenaga menarik lengan, kakek ini cepat merubah tenaganya, kalau tadinya membetot sekarang dia mendorong. Tidak heran apa bila Kim Lian lantas terjengkang ke belakang, terbawa oleh tenaga betotannya sendiri ditambah tenaga dorongan Tok-ong. Gadis ini marah sekali, mukanya merah dan ia siap hendak menyerang.

“Kakek bangkotan, kau curang!” bentaknya.

“Suci, mundurlah.” Im Giok mencegah dan Kim Lian terpaksa menahan marahnya.

Kemudian Im Giok menghadapi Ceng-jiu Tok-ong dan berkata tenang,

“Kalau tidak salah, Locianpwe ini adalah Ceng-jiu Tok-ong, tokoh yang kenamaan. Akan tetapi aku yang muda sungguh merasa amat heran kenapa Locianpwe mendiamkan saja, bahkan membela Giam-ong-to Kam Kin yang sesudah menjadi komandan membiarkan anak-anak buahnya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat. Aku dan suci-ku sedang bermain-main di hutan ini dan tadi kami melihat banyak tentara melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang tidak berdosa. Oleh karena itu, tanpa mengetahui bahwa tentara ini adalah anak buah Giam-ong-to Kam Kin, kami membela rakyat dan melakukan pembasmian. Sekarang kedatangan Locianpwe ke sini membawa sisa tentara mempunyai niat apakah?”

“Bocah, kau benar-benar menggemaskan. Kalau kau bukan murid Pek Hoa, agaknya aku akan mengagumi kata-katamu, sebagai seorang bocah kau ternyata memiliki pandangan yang luas dan kata-kata yang teratur baik. Akan tetapi kau adalah murid Pek Hoa, berarti kau adalah cucu muridku sendiri. Bagaimana sekarang kau berani sekali bersikap begini kurang ajar kepadaku? Andai kata sekarang juga kau menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun, belum tentu aku mau memberi ampun. Sikapmu sudah jauh melampaui batas. Mengapa?”

“Locianpwe, jangan salah sangka. Aku yang muda cukup mendapat didikan ayahku, tak nanti berani bersikap kurang ajar tanpa alasan. Pek Hoa Pouwsat bukan guruku yang sesungguhnya karena aku telah diculiknya dari orang tuaku, oleh karena itu aku pun tidak mungkin mengakui kau sebagai sucouw.”

“Suhu, bocah kurang ajar macam ini lebih baik lekas-lekas ditangkap saja, dia dan gadis liar satunya itu sudah membunuh banyak anggota tentara, mereka adalah pemberontak-pemberontak yang berbahaya!” tiba-tiba Kam Kin berteriak dari tempatnya.

Ia telah dirawat oleh anak buahnya, akan tetapi masih belum dapat berdiri, hanya duduk di atas rumput di kelilingi oleh anak buahnya.

“Benar, kau telah melakukan pelanggaran besar-besaran. Lebih baik kau dan suci-mu itu menyerah saja untuk kami jadikan tangkapan,” kata Ceng-jiu Tok-ong kepada Im Giok.

Agaknya dia merasa sungkan untuk turun tangan terhadap seorang gadis yang demikian muda. Betapa pun juga, dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang besar, seorang dengan kedudukan atau tingkat tinggi, karena itu dia agak segan dan malu untuk bertanding ilmu melawan seorang yang masih setengah bocah, apa lagi wanita pula.

Im Giok mulai panas hatinya. “Ceng-jiu Tok-ong, apa bila kau menurut saja akan hasutan Giam-ong-to Kam Kin, terserah saja. Kami telah melakukan perbuatan yang kami anggap sudah sewajarnya dilakukan oleh pendekar-pendekar pembela rakyat. Kalau kau hendak ikut-ikutan dan mau menangkap kami, silakan, terpaksa aku yang muda berlaku kurang ajar dan melawanmu!” sambil berkata demikian, Im Giok mencabut pedangnya dengan gerakan cepat dan gaya yang indah.

Terdengar Ceng-jiu Tok-ong tertawa geli.

“Bocah, kau sungguh-sungguh lucu sekali. Bagaimana kau hendak melawan sucouw-mu sendiri, orang yang menciptakan ilmu silat yang hendak kau mainkan untuk melawanku?”

“Ceng-jiu Tok-ong, awas serangan pedangku!” bentak Im Giok tanpa mau mempedulikan kata-kata kakek itu yang dianggapnya tidak keruan.

Ceng-jiu Tok-ong ialah seorang kakek yang memiliki julukan Raja Racun Tangan Seribu. Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa ia tentu mempunyai ilmu silat yang tinggi dan cepat sehingga seakan akan ia bertangan seribu. Oleh karena itu, dalam menghadapi Im Giok, ia sengaja bertangan kosong. Apa lagi kalau Im Giok murid Pek Hoa, bukankah yang akan diperlihatkan juga ilmu silat yang dahulu ia ajarkan kepada Pek Hoa?

Akan tetapi, baru pada gerakan pertama saja, Ceng-jiu Tok-ong sudah terkejut sekali dan cepat-cepat dia menggunakan dua ujung lengan baju untuk menangkis serangan pedang Im Giok yang gerakannya amat tak terduga-duga itu. Kakek ini benar-benar heran sekali.

Melihat gerakan yang indah itu, memang bocah ini hampir sama dengan Pek Hoa kalau bermain pedang. Akan tetapi, ternyata isi dari pada pedang itu jauh berbeda. Bukan main cepat dan kuatnya, bahkan sampokan ujung lengan bajunya tidak dapat membikin gadis itu melepaskan pedangnya.

Jurus-jurus berikutnya membuat Ceng-jiu Tok-ong tidak hanya terkejut, akan tetapi juga bingung dan ia terpaksa melompat ke sana ke mari kalau tidak ingin terluka oleh pedang Im Giok yang luar biasa lihainya.

“Ayaaa, kau lihai juga...!” kata kakek itu.

Pada jurus ke sepuluh Ceng-jiu Tok-ong sudah tidak kuat menghadapi Im Giok dengan tangan kosong. Dia melompat cepat ke kanan dengan ginkang yang luar biasa, kemudian ketika Im Giok maju mendesaknya, ternyata kakek ini sudah memegang sebatang golok berwarna hitam kehijauan!

“Bocah, lebih baik lekas kau menyerah. Sayang kalau Ceng-tok-to (Golok Racun Hijau) mengambil nyawamu yang masih muda,” berkata kakek ini, benar-benar merasa sayang kalau sampai terpaksa ia membunuh gadis yang demikian muda dan cantik jelitanya.

“Tak usah banyak cakap, monyet bangkotan. Kalau ada kepandaian majulah, kau pasti mampus oleh sumoi-ku!” teriak Kim Lian yang masih gemas kepada kakek itu.

Timbul amarah di dalam hati Ceng-jiu Tok-ong dan bangkit kembali sifat jahatnya yang dahulu.

“Sumoi-mu ini akan kubunuh lebih dulu, akan tetapi kau... kau akan kuhadiahkan kepada serdadu-serdadu kasar, siluman cilik!” makinya kepada Kim Lian, kemudian dengan cepat ia menyerang Im Giok dengan goloknya.

Bagi Im Giok, gerakan golok dari kakek itu tidak begitu hebat dan dengan amat mudah ia menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi, yang membuat Im Giok terkejut adalah bau busuk yang memuakkan perutnya ketika golok hitam kehijauan itu menyambar.

“Celaka,” pikirnya, “golok ini tentu mengandung bisa yang amat jahat.”

Ia mencoba menetapkan hatinya dan cepat membalas dengan serangan hebat. Memang segera terbukti bahwa setiap serangan pedangnya membuat Ceng-jiu Tok-ong sibuk dan bingung untuk melindungi tubuh, akan tetapi serangannya makin menjadi lemah.

Sebaliknya lawannya semakin ganas dan gerakan goloknya makin kuat. Kakek ini jelas sekali berusaha mendekatkan golok dengan muka Im Giok, buktinya ia selalu menyerang kepala dan leher. Hal ini diketahui pula oleh Im Giok dan gadis ini pun mengerti bahwa lawannya sengaja mendekatkan golok dengan hidungnya supaya dia mencium bau busuk yang mengandung racun itu!

Meski pun keadaannya semakin berbahaya, Im Giok yang berdarah muda dan panas itu merasa penasaran. Memang tak mengherankan jika gadis ini merasa penasaran, karena sebetulnya, dalam setiap pertemuan senjata, ternyata bahwa tenaga lweekang-nya dapat mengimbangi tenaga kakek itu.

Dalam hal ginkang dan kecepatan gerakan tubuh, dia menang jauh dan ilmu pedangnya juga selalu menindih ilmu golok lawan. Akan tetapi, dia kalah pengalaman, kalah gertak dan hatinya sudah bingung sekali ketika bau busuk dari golok itu semakin memusingkan kepalanya.

Tiba-tiba terdengar teriakan keras, “Lo-enghiong, harap jangan bunuh dia...! Bunuh saja aku yang tidak berharga, jangan kau ganggu kedua Li-hiap yang budiman itu...!”

Pemuda sastrawan yang tadinya duduk bengong sambil menonton semua itu, tiba-tiba kini menjadi nekat ketika melihat Im Giok menghadapi kakek yang kelihatannya demikian menyeramkan.

Bagaimana seorang dara sehalus itu akan dapat menang terhadap seorang kakek yang terlihat seperti iblis? Melihat pemuda itu dengan nekat mendatangi seakan-akan hendak menyerbu dan menyerang Ceng-jiu Tok-ong, Kim Lian cepat melompat maju dan sekali jari tangannya digerakkan, pemuda itu telah roboh terguling dalam keadaan tertotok jalan darahnya.

“Kakek siluman, jangan banyak lagak...!” bentaknya kemudian sambil menyerang dengan golok yang dipungutnya di atas tanah, yakni salah sebuah di antara senjata-senjata para serdadu yang bergeletak di situ.

“Suci, hati-hati...!” Im Giok memperingatkan dengan suara yang amat lemah sehingga ia terkejut sendiri. Kenapa suaranya hampir habis? Ia tidak tahu bahwa dirinya telah banyak terpengaruh oleh racun yang keluar dari golok lawannya.

Mendengar suara yang aneh dan amat perlahan dari Im Giok, Kim Lian merasa kaget dan mengerling ke arah sumoi-nya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ceng-jiu Tok-ong. Cepat tangan kirinya memukul ke arah dada Kim Lian. Biar pun pukulan itu dilakukan dari samping, namun amat berbahaya.

Kim Lian yang mendengar suara hawa pukulan dahsyat ini cepat miringkan tubuh sambil menangkis. Sepasang lengan bertemu, dan Kim Lian menjerit karena lengannya terasa panas sekali sehingga dia kurang dapat mempertahankan diri dan pukulan lawan masih mampir di pundaknya.

Gadis ini merasa pundaknya panas dan rasa nyeri menusuk jantung. Cepat sekali dia menggulingkan tubuhnya dan terus bergulingan menjauhkan diri dari kakek yang lihai itu. Ketika meraba pundaknya, ia kaget melihat baju di bagian pundak sudah robek dan kulit pundaknya ada tanda merah. Juga di pergelangan lengan yang bertemu dengan lengan kakek tadi, kini telah merah menghitam.

“Celaka, aku terkena racun, Sumoi, kau berhati-hatilah...”

Setelah berkata demikian, Kim Lian bersila dan mengatur napas, mengempos hawa di dalam tubuh untuk mengusir racun yang mengeram di pundak dan lengannya. Memang inilah satu-satunya cara yang sudah dia pelajari dari suhu-nya untuk menolak hawa racun itu menjalar makin hebat ke dalam tubuh.

Melihat dan mendengar keadaan suci-nya, Im Giok semakin bingung dan gugup. Baiknya ilmu pedang gadis ini memang lihai bukan main sehingga biar pun kini hampir tak berani bernapas dan pandang matanya telah berkunang-kunang, akan tetapi pedangnya secara otomatis masih sanggup melindungi tubuh dan menangkis setiap serangan golok lawan, bahkan kadang kala masih dapat membalas dengan serangan yang bukan tak berbahaya bagi Ceng-jiu Tok-ong.

“Lihai sekali... mengagumkan...!”

Beberapa kali Raja Racun itu memuji akan ketangguhan Im Giok. Namun, tanpa sedikit pun mengenal kasihan ia mendesak terus. Ia tidak mau mempergunakan senjata rahasia beracun lainnya karena melihat dengan golok saja ia sudah dapat mendesak lawannya. Tokoh ini masih malu untuk menggunakan seluruh kepandaian hanya untuk menjatuhkan seorang bocah.

Setelah Im Giok terdesak betul-betul, tiba-tiba saja terdengar bentakan halus, “Ceng-jiu Tok-ong, sungguh tak tahu malu engkau! Berani menghina cucu muridku?”

Mendadak tubuh Im Giok terlempar ke samping dalam keadaan bersila! Gadis ini sendiri terheran karena dia tadi hanya merasa tubuhnya ditarik orang lalu dilemparkan jauh dari lawannya, akan tetapi ia terjatuh dalam keadaan bersila dengan pedang masih di tangan.

Pada saat membuka mata dan melihat siapa orangnya yang telah menolongnya, Im Giok menjadi girang bukan main, lalu meletakkan pedang di atas tanah dan bersila meramkan mata mengatur napas untuk mengusir hawa beracun yang tadi sudah memasuki lubang hidungnya ketika ia bertempur melawan Ceng-jiu Tok-ong!

Sementara itu, Ceng-jiu Tok-ong heran sekali melihat lawannya tiba-tiba terlempar jauh, kemudian dia melihat seorang laki-laki setengah tua telah berdiri di depannya.

Laki-laki ini berpakaian sederhana, sikapnya tenang, rambutnya sudah berwarna dua dan pada pinggangnya terselip sebatang suling. Melihat sikapnya, Ceng-jiu Tok-ong menduga bahwa dia ini tentulah seorang tokoh kang-ouw. Oleh karena ia sendiri telah sangat lama meninggalkan kang-ouw, maka dia tidak berani berlaku sembrono dan berkata membela diri,

“Engkau siapakah, sobat? Gadis liar itu adalah cucu muridku sendiri yang hendak kuberi hajaran, mengapa engkau mencampuri urusan kami dan mengapa kau berani mengakui dia sebagai cucu muridmu?”

Orang itu tersenyum tenang. “Raja Racun, dalam pengakuanmu tadi ada dua kesalahan. Kau mengakui gadis ini sebagai cucu muridmu karena kau anggap dia murid Pek Hoa Pouwsat? Kau mimpi, Ceng-jiu Tok-ong. Pertama karena gadis ini bukan murid Pek Hoa Pouwsat, melainkan pernah diculiknya dan dipaksa menjadi muridnya. Ke dua, andai kata benar dia pernah menjadi murid Pek Hoa, kau sekarang kiranya sudah tak patut mengaku guru Pek Hoa Pouwsat. Kepandaian Pek Hoa Pouwsat agaknya sudah jauh melampaui kepandaianmu sendiri, orang tua. Kau sudah baik-baik menyembunyikan diri, menjauhi kepusingan dunia, akan tetapi siapa kira, makin mendekati hari terakhir, kau malah makin lemah. Mudah dihasut orang, keluar dari tempat pertapaan yang tenang dan damai, lalu membela orang-orang sesat dan begitu keluar kau bahkan sudah hampir saja membunuh dua orang gadis. Alangkah sesat...!”

Ceng-jiu Tok-ong marah sekali. Betapa pun juga, dia bukan seorang yang takut digertak. Dahulu di waktu mudanya, hanya terhadap Lima Tokoh Besar saja ia gentar, kalau para tokoh lainnya dia tidak takut!

Akan tetapi, sebelum ia mengutarakan marahnya, tiba-tiba Kam Kin yang mengenal siapa adanya orang yang baru datang dan menjadi pucat telah berseru keras,

“Suhu, dia itu adalah Bu Pun Su! Dia bukan manusia biasa! Suhu... lari...!”

Setelah berkata demikian, Kam Kin mengajak berlari anak buahnya yang pada ketakutan seakan-akan seorang penakut melihat setan di tempat sunyi!

Akan tetapi Ceng-jiu Tok-ong belum lama turun dari gunung, belum pernah ia mendengar nama Bu Pun Su. Oleh karena itu ia tidak takut. Ia menduga bahwa orang ini tentu lihai, maka paling baik mendahuluinya. Sambil membentak keras ia mengayun tangan kiri dan tiba-tiba sinar hijau menyambar ke arah Bu Pun Su.

“Kau lebih patut menjadi ular, selalu bermain-main dengan bisa!” kata Bu Pun Su sambil menyampok dengan tangannya.

Sinar hijau itu ternyata adalah jarum-jarum beracun yang secara istimewa dilepaskan oleh Ceng-jiu Tok-ong. Akan tetapi Raja Racun tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu menyebar jarumnya, dia telah menubruk maju dan menyerang dengan goloknya, sengaja menyerang ke arah hidung Bu Pun Su!

Bu Pun Su memindahkan kaki miringkan tubuh, lalu berkata,

“Manusia ular, lebih baik kau pergi menyusul muridmu!” Kata-kata ini diucapkan sambil tangannya bergerak.

Tangan kirinya menyampok golok, hal yang amat luar biasa. Kecuali pendekar sakti ini, kiranya tidak ada orang ke dua yang berani menyampok golok dengan tangan kosong begitu saja, apa lagi kalau golok itu mengandung racun berbahaya sekali seperti golok yang dipegang oleh Tok-ong! Sementara itu, secepat kilat sehingga tak terlihat oleh mata, tangan kanannya sudah mencabut suling dan melakukan gerakan menotok ke arah iga lawannya.

Ceng-jiu Tok-ong hanya merasa betapa separuh tubuhnya pegal dan linu-linu. Sebagai seorang tokoh persilatan yang sudah mempunyai ilmu silat tinggi, tahulah ia bahwa jalan darahnya telah terkena totokan lawan dan ia telah mendapat luka di dalam, biar pun luka itu tidak berat akan tetapi ini menandakan bahwa kini ia menemui guru dalam ilmu silat!

Tanpa banyak cing-cong lagi Ceng-jiu Tok-ong menarik kembali goloknya, segera berlari terpincang-pincang menyusul Kam Kin. Kakinya yang kiri terasa kaku sehingga ia harus berlari terpincang-pincang.

Terdengar suara ketawa cekikikan. Bu Pun Su mengerutkan kening dan menengok ke arah gadis yang masih bersila akan tetapi menutupi mulutnya yang mungil sambil tertawa cekikikan, telunjuk menunjuk ke arah Ceng-jiu Tok-ong yang lari terpincang-pincang.

“Monyet bangkotan itu lucu sekali larinya...!” kata Kim Lian.

Gadis itu tadi membuka matanya dan menyaksikan pertandingan hebat antara Ceng-jiu Tok-ong dengan Bu Pun Su. Kim Lian sudah pernah mendengar nama besar Bu Pun Su yang terhitung masih susiok-couw-nya sendiri.

Tadinya melihat sikap Im Giok dan Kiang Liat yang selalu takut dan menghormat nama Bu Pun Su ia pun merasa takut dan mengira bahwa susiok-couw yang bernama Bu Pun Su itu orangnya tentu sangat dahsyat dan menyeramkan sekali. Akan tetapi siapa nyana, sekarang setelah Bu Pun Su muncul, kiranya orangnya hanya sedemikian saja, begitu sederhana, seperti seorang petani biasa saja. Maka lenyaplah rasa takutnya dan gadis ini saking girangnya melihat Ceng-jiu Tok-ong kalah, lalu tertawa-tawa.

“He, kau! Tahan lidahmu yang jahat!” Bu Pun Su menegur marah.

“Suciok-couw, kau tadi telah mengalahkan musuh secara hebat sekali, apakah teecu tak boleh bergirang?” Kim Lian membantah. Dia melihat wajah Bu Pun Su begitu ramah dan tenang, membayangkan watak yang sabar sekali, maka ia tidak takut.

“Suci, jangan kurang ajar terhadap Susiok-couw!” Tiba-tiba Im Giok menegur suci-nya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil berkata,

“Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan Suci Song Kim Lian.”

Bu Pun Su mengangguk-angguk. Diam-diam ia mengeluh ketika melihat Kim Lian berlutut pula sambil matanya mengerling dan bibirnya tersenyum manis.

“Hm, bagaimana Kiang Liat bisa mempunyai seorang murid seperti ini?” katanya di dalam hati. Kemudian katanya dengan suara rendah,

“Hm, ini suci-mu? Jadi ayahmu mempunyai murid? Tidak apa dia lancang asal dia tahu diri. Luka pada pundak dan lengannya adalah akibat pukulan Ang-tok-jiu (Tangan Racun Merah) dari Tok-ong, siapa terkena pukulan itu dalam tiga hari kalau tidak mati tentu akan cacad seluruh kulitnya, keluar bintik-bintik merah akhirnya menjadi bopeng-bopeng. Dia terancam bahaya hebat tapi masih menertawakan orang lain, sungguh tak tahu diri...”

Alangkah kagetnya Kim Lian mendengar ucapan ini.

“Susiok-couw, tolonglah teecu...,” ratapnya kemudian sambil membentur-benturkan jidat di atas tanah.

“Aku hanya akan menolong nyawamu, akan tetapi tentang bopeng itu...”

Kim Lian menjerit dan menangis sedih. “Susiok-couw, lebih baik teecu mati saja. Biarlah tak usah diobati, biar teecu mati saja dari pada harus menderita, bopeng seluruh tubuh... alangkah ngerinya...”

“Hanya kalau mukamu jelek kiranya watakmu yang genit ini akan berubah,” kata Bu Pun Su yang dengan suara dingin. “Sikapmu terlalu genit dan berani, kau sungguh-sungguh memalukan aku yang menjadi susiok-couw!”

Kini baru tahulah Kim Lian mengapa Im Giok dan Kiang Liat takut terhadap Bu Pun Su. Tak tahunya pendekar ini mempunyai hati yang keras dan suka sekali menghukum anak muridnya. Ketika ia mengangkat muka, hatinya berdebar ketakutan melihat sinar mata Bu Pun Su yang demikian tajamnya menembus dada memeriksa isi hati.

Benar-benar manusia aneh. Kim Lian bergidik. Belum pernah ia melihat sinar mata yang begitu berpengaruh!

Im Giok segera berkata kepada Bu Pun Su dengan suara memohon, “Susiok-couw, Suci memang bersalah. Mohon Susiok-couw sudi memberikan ampun. Susiok-couw, seorang gadis yang diandalkan hanyalah kebersihan muka dan hati, walau pun hati bersih kalau muka kotor dan bopeng, bukankah itu berarti hancurnya hidup seorang gadis? Karena itu, mohon Susiok-couw menaruh belas kasihan dan sudi mengobatinya.”

“Lebih baik muka bopeng asal hati bersih, dari pada muka cantik hatinya kotor!” kata pula Bu Pun Su, suaranya kini menggeledek, membuat Kim Lian gemetar sambil mendekam di atas tanah.

Im Giok tak berani banyak cakap lagi, hanya melirik ke arah suci-nya dengan hati merasa kasihan. Bu Pun Su melihat semua ini, akan tetapi sebelum sempat ia berkata, pemuda sastrawan yang semenjak tadi sudah sadar dari totokan ringan dan kini menjatuhkan diri berlutut pula, berkata,

“Boanseng Gan Tiauw Ki memohon kepada Lo-enghiong, sudilah menaruh kasihan dan mengobati Li-hiap yang terkena racun. Li-hiap sudah melakukan perbuatan gagah berani, kasihanilah kalau sampai menderita hidupnya. Kalau bisa, biarlah boanseng mengoper racun itu dan biar boanseng menjadi cacat untuk membalas budinya.”

Mendengar permintaan pemuda sastrawan yang bersedia menggantikan hukuman yang menimpa diri Song Kim Lian, Bu Pun Su mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada pemuda itu. Akan tetapi, Gan Tiauw Ki menentang pandang mata ini dengan tabah dan tidak takut-takut, karena memang pemuda ini rela untuk membalas budi Kim Lian.

“Hmm, kau tidak mengecewakan menjadi seorang terpelajar,” kata Bu Pun Su, pandang matanya melunak. “Baiklah, setelah dua orang memintakan ampun, biar aku sembuhkan dia. Kau maju ke sini!” katanya kepada Kim Lian yang maju dengan sikap takut-takut.

Bu Pun Su menggerakkan kedua tangan ke arah pundak dan lengan Kim Lian yang tadi terkena pukulan Ceng-jiu Tok-ong. Terlihat uap putih mengepul dan bergerak menyambar ke arah dua bagian tubuhnya, terutama sekali pada bagian yang terluka oleh racun. Rasa panas hampir tak dapat ditahannya sampai mukanya menjadi merah sekali dan berpeluh.

Bu Pun Su menarik kembali dua tangannya. “Sudah sembuh, sudah sembuh...,” katanya perlahan.

Kim Lian berlutut menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Bu Pun Su justru mengeluarkan kata-kata ancaman, “Sebagai murid Kiang Liat, kau telah mewarisi kepandaian yang pada dasarnya datang dari aku. Oleh karena itu, berhati-hatilah kau menjaga gerak-gerik dan perbuatanmu. Aku sendiri yang akan menghukum anak murid yang menyeleweng!”

Kemudian Bu Pun Su menoleh kepada Gan Tiauw Ki dan bertanya secara tiba-tiba.

“Bukankah surat kaisar untuk Suma-huciang berada di tanganmu?”

Tiauw Ki sebetulnya kaget bukan main, akan tetapi pemuda ini tidak kelihatan berubah air mukanya, bahkan dengan tabah ia menatap wajah Bu Pun Su.

“Kepada Lo-enghiong yang menjadi susiok-couw dari kedua orang Li-hiap ini, boanseng tentu saja tak berani berbohong. Akan tetapi, mengenai pertanyaan tadi, harap maafkan, boanseng tidak dapat menjawab.”

Kim Lian mengangkat mukanya, memandang dengan kening berkerut. Alangkah kurang ajarnya pemuda itu, pikirnya marah. Kalau saja ia tidak takut kepada Bu Pun Su, tentu ia telah beri hajaran kepada pemuda itu.

Juga Im Giok mengerling ke arah Tiauw Ki dengan pandang mata heran. Akan tetapi, anehnya, Bu Pun Su sendiri tidak menjadi marah, bahkan sebaliknya pendekar sakti ini mengangguk-angguk dengan muka puas.

“Bagus, bagus! Tidak percuma kau menjadi orang kepercayaan Kaisar, Gan-sicu! Tidak usah kau takut-takut dan merasa curiga, kau boleh ketahui bahwa mendiang Menteri Lu Pin adalah kakekku.”

Mendengar ini, Gan Tiauw Ki lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su.

“Mohon Lo-enghiong sudi memaafkan boanseng yang kurang ajar. Memang sebenarnya boanseng yang telah menerima tugas itu dan boanseng betul-betul kagum sekali melihat Lo-enghiong yang begitu waspada. Untuk selanjutnya boanseng yang bodoh hanya dapat mengharapkan petunjuk dari Lo-enghiong.”

“Sesungguhnya, mana aku tahu mengenai urusan ini? Hanya secara kebetulan saja aku mendengar bahwa Kaisar sudah mengirimkan utusan untuk menghubungi Suma-huciang di Tiang-hai. Di antara mereka yang terbunuh oleh tentara Gubernur Lie Kong, hanya kau yang kelihatan paling cerdik dan mempunyai pribadi. Kebetulan pula kau seorang yang selamat, maka aku menduga tentu kau yang menjadi utusan itu.”

“Jadi mereka yang menyerang tadi adalah pasukan dari Gubernur Lie Kong?” pemuda itu bertanya dengan muka kaget.

“Apa kau kira Lie Kong demikian bodoh sehingga tidak tahu akan gerak-gerik Kaisar?” Bu Pun Su tertawa, “Bocah she Gan, hanya satu yang belum kau punyai, yakni pengalaman. Kau tentu tak pernah menyangka bahwa di antara orang-orang yang terlihat setia kepada Kaisar, yang tiap hari dekat dengan Kaisar di istana, terdapat kaki tangan pemberontak!”

Sekarang Gan Tiauw Ki benar-benar terkejut dan mukanya berubah. “Kalau begitu, tugas boanseng masih belum terlepas dari bahaya. Boanseng sendiri tidak takut akan bahaya yang dapat menimpa diri boanseng, akan tetapi surat ini... boanseng mohon petunjuk dari Lo-enghiong...”

“Kau harus dikawal sampai Tiang-hai. Im Giok, sekarang tiba saatnya kau menggunakan kepandaian yang selama ini kau pelajari guna kebaikan. Tugas yang dipegang Gan-siucai ini bukan urusan kecil dan kaulah yang kutugaskan mengawalnya sampai ke Tiang-hai. Aku sendiri yang akan memberi tahukan hal ini kepada ayahmu. Nah, berangkatlah kalian berdua!”

Kiang Im Giok memang takut dan tunduk kepada susiok-couw ini dan pula... tidak dapat disangkal lagi bahwa hatinya berdebar girang tercampur jengah menerima tugas ini. Dia sejak tadi sudah amat tertarik pada pemuda yang tampan ini, dan sekarang ia ditugaskan untuk mengawalnya ke Tiang-hai, berarti dia akan melakukan perjalanan sedikitnya tiga hari bersama pemuda itu!

“Teecu mentaati perintah Susiok-couw,” katanya sambil menundukkan mukanya.

“Berangkatlah dan ingat, bila sampai pemuda ini terbunuh orang, itu masih belum hebat, akan tetapi jagalah baik-baik supaya surat yang berada di saku baju dalamnya jangan sampai dicuri orang!”

“Baik, susiok-couw, teecu akan ingat dan menjaga surat itu baik-baik.”

Im Giok lalu menghampiri kudanya. “Suci, biar kudamu dipakai oleh Gan-siucai.”

Kim Lian tersenyum akan tetapi tak berani mengeluarkan kata-kata sembrono di hadapan Bu Pun Su, maka ia hanya berkata, “Baiklah, Sumoi, memang Gan-siucai habis terluka dan lemah, harus melanjutkan perjalanan naik kuda.”

Gan Tiauw Ki buru-buru berkata, “Tidak usah, Li-hiap. Mana berani aku mengganggu dan memakai kuda Li-hiap? Habis Li-hiap sendiri mau naik apa? Tidak usahlah, biarkan aku berjalan kaki saja...”

Tentu saja Tiauw Ki merasa amat sungkan untuk memakai kuda Kim Lian, karena meski pun gadis itu seorang pendekar gagah, tetapi tetap saja Kim Lian adalah seorang wanita. Mana patut seorang laki-laki mengambil kuda seorang gadis dan membiarkan gadis itu berjalan kaki?

Bu Pun Su yang melihat semua ini lalu berkata, “Gan-siucai, tidak usah sungkan-sungkan dalam saat seperti ini. Kau pakailah kuda itu dan cepat berangkat!”

Mendengar ini, Gan Tiauw Ki tak berani membantah lagi. Ia menjura kepada Bu Pun Su, lalu kepada Kim Lan. Setelah itu ia lalu menunggangi kuda Kim Lan. Biar pun gerakannya lemah, namun dapat dilihat bahwa dia sudah biasa menunggang kuda.

Hal ini melegakan hati Im Giok. Karena kalau pemuda itu tidak biasa menunggang kuda, nanti bisa repot juga di jalan! Sesudah Im Giok memberi hormat kepada Bu Pun Su dan berpamit kepada Kim Lian, ia lalu berangkat bersama Tiauw Ki.

Di dalam perjalanan ini, Tiauw Ki secara terus terang menuturkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya kepada pengawalnya yang cantik jelita itu. Dan penuturan Tiauw Ki singkatnya sebagai berikut…..

Semenjak pemberontakan dari perusuh An Lu Shan, Sie Su Beng dan yang lain-lain bisa dihancurkan kemudian ibu kota Tiang-an jatuh kembali kepada Kerajaan Tang, keadaan di seluruh negeri sudah tidak seperti biasa lagi. Kembalinya pasukan-pasukan Tang yang merebut kota raja bukanlah atas kekuatan sendiri, akan tetapi dengan bantuan dari suku bangsa-suku bangsa dari utara dan barat, terutama sekali mendapat bantuan dari suku bangsa Uigur yang terkenal kuat dan gagah berani.

Setelah pasukan pemberontak dihancurkan, para pembantu ini merasa keenakan tinggal di Tiongkok dan tidak mau keluar lagi, bahkan mereka ini memperebutkan harta benda dan kekuasaan. Negara menjadi kacau balau, keamanan tidak terjamin lagi dan di sana sini para pembesar hidup laksana raja kecil. Banyak gubernur dari propinsi-propinsi yang berjauhan dari kota raja, mulai tidak taat lagi kepada Kaisar.

Bahkan lambat-laun Kaisar hampir hilang pengaruhnya dan sering kali harus menurut apa yang diusulkan oleh para gubernur, yang sesungguhnya bukan merupakan usul lagi akan tetapi lebih mendekati perintah! Kaisar seakan-akan menjadi boneka belaka, sedangkan yang berkuasa adalah para pembesar tinggi yang memiliki pasukan-pasukan kuat.

Betapa pun juga, sampai begitu jauh belum ada pembesar yang secara terang-terangan berani menentang Kaisar, karena masih banyak juga pembesar-pembesar yang setia kepada Kaisar. Sebetulnya kesetiaan ini bukan karena memandang kepada Kaisar, akan tetapi kepada Kerajaan Tang sendiri.

Para pembesar dan juga rakyat memang setia terhadap pemerintah Tang dan apa pun juga yang menjadi alasan, mereka ini tak akan membiarkan orang memberontak terhadap pemerintah Tang. Oleh karena itu, Kaisar juga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan Kaisar menghubungi pembesar-pembesar yang setia untuk dapat berjaga-jaga terhadap pemberontakan yang mungkin timbul.

Gan Tiauw Ki adalah seorang siucai yang baru saja lulus dalam ujian di kota raja. Dia merupakan putera seorang janda petani di dusun Lee-siang-chung di Propinsi Hok-kian. Semenjak kecilnya dia memang amat rajin belajar. Waktunya sejak kecil sampai dewasa dihabiskan untuk mempelajari semua buku-buku kuno hingga akhirnya dengan mendapat dukungan ibunya yang bangga melihat puteranya, Gan Tiauw Ki berangkat ke kota raja untuk mengikuti ujian yang diadakan setiap tahun.

Selain pandai ilmu kesusastraan, di dalam dada pemuda ini menyala api cinta bangsa dan cinta negara yang amat besar. Oleh karena itu, dalam menempuh ujian, ia mendapat angka tertinggi sehingga pembesar tua yang menjadi ko-khoa (kepala examinator) kagum sekali.

Kemudian, sesudah pemuda ini ditanya asal-usulnya, jawaban-jawabannya bersemangat sehingga pembesar itu membawanya ke depan Kaisar. Memang Kaisar telah memesan kepada ko-khoa ini supaya mencarikan seorang kepercayaan yang setia, bersemangat, dan pandai.

Demikianlah, setelah diuji dengan banyak pertanyaan oleh Kaisar yang ingin mengetahui isi hatinya, Gan Tiauw Ki lalu diangkat menjadi utusan Kaisar untuk menghubungi para pembesar dan gubernur-gubernur di daerah lain yang masih setia kepada Kaisar. Bahkan pemuda ini kadang-kadang mendapat tugas untuk menghubungi gubernur-gubernur yang tidak tunduk kepada Kaisar untuk mencoba membujuknya.

Sekali ini Gan Tiauw Ki mendapat tugas dari Kaisar untuk menyampaikan surat kepada Suma Huciang, seorang berpangkat huciang di kota Tiang-hai. Dan dalam perjalanan ini, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Gan Tiauw Ki yang menyamar sebagai pengungsi dan melakukan perjalanan bersama para pengungsi lain, sudah dihadang dan hampir saja menjadi korban keganasan para tentara pemberontak, yakni tentara di bawah perintah gubernur Liok yang tidak tunduk kepada Kaisar, dan pasukan ini dipimpin oleh Giam-ong-to Kam Kin yang dibantu oleh suhu-nya, yakni Ceng-jiu Tok-ong.

Begitulah penuturan Gan Tiauw Ki pada Im Giok dalam perjalanan mereka ke Tiang-hai. Makin lama mereka bercakap-cakap, makin tertariklah Im Giok kepada pemuda ini. Di lain pihak, Tiauw Ki juga kagum dan tertarik sekali kepada Ang I Niocu sehingga biar pun bibir mereka tak mengeluarkan sepatah kata pun mengenai perasaan hati mereka dan bahkan sinar mata mereka selalu hendak menyembunyikan pancaran rasa hati karena keduanya adalah orang-orang muda yang sopan.

Akan tetapi mereka sama-sama tahu apa yang terkandung dalam hati masing-masing.....

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)