PENDEKAR BODOH : JILID-02


“Itulah sukarnya, ie-ie, terus terang saja, aku lebih suka belajar silat dan meniup suling.”

“Anak tolol...”

Cin Hai mengangkat telunjuk ke atas.

“Nah, nah, lagi-lagi aku disebut tolol!”

“Sudahlah, aku lupa. Kau tidak boleh berkata demikian, Cin Hai. Kau harus belajar ilmu surat agar kelak menjadi seorang pandai yang memegang jabatan penting dan menjadi seorang pembesar. Alangkah akan bangga dan senangnya hatiku kelak kalau kau bisa menjadi seorang pembesar yang dihormati orang!” Sampai di sini suara nyonya muda itu terdengar parau karena keharuan hatinya membuat ia terisak.

Cin Hai memegang tangan bibinya, “Hatimu mulia sekali, ie-ie. Baiklah, aku akan belajar ilmu membaca dan menulis dari le-ie sendiri. Tapi, sekarang aku teringat bahwa sulingku telah lenyap, maka aku harus membuat lagi sebuah. Di hutan sebelah utara kota ada tumbuh bambu-bambu kuning gading yang kecil dan dapat dibuat suling. Bolehkan aku ke sana, ie-ie?”

“Baru saja datang mau pergi lagi! Bagaimana kalau le-thio-mu sewaktu-waktu bertanya tentang kau?”

“Apa bila le-thio (Paman, suami Bibi) bertanya beri tahukan saja, ie-ie, dan lagi, untuk apa le-thio menanyakan aku? Belum pernah ia mempedulikan aku!”

“Kau suka benar akan suling, Cin Hai?” tanya ie-ie-nya.

“Ie-ie, suling adalah satu-satunya kawan baikku. Kalau aku hendak menyatakan segala perasaan hatiku, aku nyatakan kepada seorang kawan baikku, sedangkan aku tidak... ya, kecuali kau, aku tidak mempunyai kawan baik lagi selain suling bambu yang dapat kutiup sesuka hatiku...”

Nyonya muda itu menghela napas dan menggunakan sapu tangan untuk menahan air matanya. “Pergilah, Cin Hai. Buatlah sulingmu tapi jangan terlalu lama di hutan.”

Cin Hai dengan girang hati lalu berlari-lari keluar.

“Engko Hai. Kau mau ke mana?” mendadak terdengar suara halus menegur dari sebelah kiri dan seorang anak perempuan muncul dengan rambutnya yang dikuncir bergantungan di kanan-kiri lehernya.

“Ehh, Lin Lin! Sampai kaget aku. Kau tahu, sesudah bertemu dengan para siluman dan setan itu, aku menjadi mudah kaget! Kukira kau siluman yang tadi!”

Anak perempuan itu mencibirkan mulutnya yang kecil manis, tetapi matanya yang lebar terbelalak, tanda bahwa ia tertarik sekali.

“Apa? Kau tadi melihat siluman? Di mana, bagaimana?” tanyanya ingin tahu sekali.

“Ahh, nanti saja lain kali kuceritakan. Sekarang aku mau pergi.”

“Engko Hai, kau mau ke manakah?”

“Mau ke hutan di sebelah utara itu mencari bambu.”

“Aneh benar, itu di belakang kan banyak bambu, mengapa mesti mencari jauh-jauh?”

“Ahh, kau tahu apa? Bambu yang kucari ini adalah bambu untuk suling.”

“Engko Hai, aku ikut! Nanti di jalan kau ceritakan tentang siluman itu.”

“Jangan!”

“Aku mau! Aku tidak minta kau gendong, aku jalan dengan kaki sendiri!” anak perempuan itu berkeras.

Oleh karena tak dapat menolak lagi, dengan muka ‘apa boleh buat’ Cin Hai lalu bertindak keluar, diikuti oleh Lin Lin yang sementara itu telah mengeluarkan topi milik kakeknya dan memakainya sehingga dari belakang dan dari jauh dia kelihatan seperti seorang laki-laki. Memang anak-anak dari Kwee-ciangkun sangat dimanja dan bebas sehingga boleh pergi ke mana mereka suka tanpa ada yang berani mencegah.

Kedua anak itu berjalan dengan tindakan yang pendek-pendek tapi cepat menuju ke jalan yang kecil. Jalan itu mengarah ke utara, menuju luar kota di mana terdapat sebuah hutan yang cukup besar.

Di sepanjang jalan Cin Hai kemudian bercerita tentang pengalamannya siang tadi, dan ia menambahkan betapa dengan suara sulingnya ia dapat mengusir semua ular siluman! Ia menambah-nambahi ceritanya dan menonjolkan diri sendiri sebagai jagoan hingga Lin Lin memandang padanya dengan matanya yang bagus itu setengah percaya dan kagum!

Memang di antara anak-anak Kwee-ciangkun, yang tidak membenci pada Cin Hai hanya Lin Lin seorang. Ini pun bukan berarti Lin Lin suka kepada Cin Hai, karena kalau mereka berdua dekat, sering mereka berbantah dan bercekcok membawa mau sendiri, tapi tidak sampai saling pukul atau saling membenci.

Sejak kecil Lin Lin memang telah memiliki sifat peramah dan suka bergaul serta memiliki perangai yang halus. Pula anak ini sangat cerdas dan mempunyai bakat dalam ilmu silat sehingga pada saat itu biar pun usianya belum lebih dari lima tahun, ia telah mempelajari dasar-dasar ilmu silat.

“Engko Hai, itu yang kita tuju sudah tampak. Hayo kita balapan lari ke sana!”

Cin Hai memandang Lin Lin dengan senyum mencemooh. Tapi ia menjawab juga, “Boleh, hayo kita mulai. Satu… dua... ti... ga!”

Dan larilah ia secepatnya untuk mendahului Lin Lin. Ia ingin meninggalkan Lin Lin sejauh mungkin supaya ia dapat sampai di hutan lebih dahulu dan menanti anak perempuan itu sambil mentertawakannya!

Pada waktu ia menengok, tidak tahunya ternyata Lin Lin telah lari di sebelahnya, bahkan perlahan-lahan tapi tentu mulai menyusulnya! Dan yang membuat ia heran adalah kedua kaki Lin Lin tampaknya begitu ringan dan langkahnya lebar dan tinggi!

Kini Lin Lin sudah mendahuluinya dan anak perempuan itu menengok sambil tersenyum manis tapi yang menyakiti hati Cin Hai karena dianggapnya senyum itu mengejeknya! Ia merapatkan gigi dan mempercepat larinya hingga benar-benar saja ia bisa menyusul lagi dan mereka lari berendeng.

Akan tetapi, tidak seperti kelihatannya, hutan yang di depan itu ternyata bukanlah dekat, jauhnya tak kurang dari setengah li hingga ketika mereka tiba di hutan dengan berbareng, Cin Hai membuka mulutnya dan dadanya turun naik karena ia terengah-engah bagaikan ikan dilempar di pasir panas! Sebaliknya, Lin Lin hanya mengeluarkan peluh di leher dan di dahinya, tapi napasnya biasa saja!

Tentu saja hal ini tidak mengherankan, karena anak perempuan itu semenjak kecil sudah dilatih oleh Tan-kauwsu (Guru Silat Tan) dan juga telah diberi latihan napas oleh ayahnya sendiri! Sedangkan Cin Hai hanya lari sekuatnya dan mempergunakan tenaganya tanpa disesuaikan dengan jalan napas, karena ia tak pernah diberi latihan dasar pelajaran silat.

Walau pun merasa penasaran tidak dapat mengalahkan Lin Lin, namun Cin Hai terhindar dari rasa malu karena mereka tiba di hutan berbareng.

“Tak kusangka, Lin Lin, larimu secepat kelinci!” katanya setelah napasnya pulih kembali.

Lin Lin tersenyum. “Dan larimu seperti kuda.” Keduanya tertawa.

“Di mana tempat bambu yang kau maksudkan itu?” tanya Lin Lin sambil memandang ke sekelilingnya, takut-takut karena hutan itu memang besar dan agak gelap sebab matahari telah mulai turun.

“Di sebelah kiri sana, hayo!” Cin Hai mengajak kawannya.

Betul saja, tidak jauh dari sana terdapat rumpun bambu kuning gading yang bagus dan kecil-kecil serta lurus batangnya. Tapi tiba-tiba Cin Hai teringat bahwa ia tidak membawa pisau atau senjata tajam lainnya! Bagaimana ia harus mengambil itu?

Sementara itu karena berada di bawah pohon-pohon besar, keadaan makin gelap hingga mereka menjadi cemas dan menyangka bahwa senja sudah tiba. Cin Hai tidak berpikir panjang lagi, maju dan memegang batang bambu yang diinginkan lalu mencabut sekuat tenaganya.

Namun sia-sia saja karena bambu itu banyak sekali akarnya dan kuat pula. Jangankan tenaga seorang anak-anak seperti Cin Hai, biar seorang dewasa sekali pun belum tentu akan dapat mencabut sebatang bambu dari rumpunnya.

Betapa pun juga, Cin Hai mempunyai kemauan keras dan pantang mundur. Ia mencoba dan mencoba lagi sampai akhirnya dia berteriak kesakitan karena tangannya penuh bulu bambu yang gatal!

“Biarkan aku mencobanya,” kata Lin Lin.

Ia ingat ketika ayahnya pernah memberi petunjuk kepadanya tentang dasar-dasar melatih sinkang. Saat itu ayahnya pernah mendemonstrasikan gerakan sinkang dan menendang sebatang pohon hingga pohon itu jebol berikut akar-akarnya.

Karena tangannya sudah gatal-gatal, Cin Hai mundur dan membiarkan Lin Lin mencoba. Dia menyangka bahwa anak perempuan itu tentu akan mencoba untuk mencabut seperti yang dilakukannya tadi, karena itu ia berkata memperingatkan, “Hati-hati, Lin Lin, banyak bulu-bulu gatal!”

Tapi alangkah herannya ketika Lin Lin tidak mencabut, tetapi memasang kuda-kuda, lalu berseru keras, “Haihhh…!”

Anak itu menggunakan kaki kanan menyapu sebatang bambu! Batang bambu bergoyang-goyang dan dua helai daunnya rontok, akan tetapi batangnya tidak dapat dijebolkan oleh tendangan Lin Lin tadi. Berkali-kali anak itu mencoba dengan kedua kakinya, tapi sia-sia.

Tiba-tiba terdengar seruan orang memuji, “Bagus betul!”

Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan menengok. Ternyata tanpa mereka ketahui, di belakang mereka telah berdiri seorang tokouw (pendeta wanita) yang berwajah buruk sekali. Kulit muka tokouw itu hitam seperti pantat kuali, sedangkan pipinya telah kisut berkerut-kerut dan matanya sebelah kanan buta. Tokouw itu pakaiannya panjang dan longgar berwarna putih dan pada tangan kanannya terdapat sebuah hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu panjang berwarna putih pula. Di punggungnya tampak gagang sebilah pedang.

Lin Lin dan Cin Hai terkejut sekali melihat tokouw yang buruk rupa itu, sedangkan Lin Lin merasa agak takut.

“Bagus, anak yang manis. Siapakah yang telah mengajarmu menggunakan ilmu Gerakan Menyapu Ribuan Tiang itu tadi?”

Biar pun agak takut-takut Lin Lin menjawab juga, “Ayah yang mengajarku.”

“Bagus! Sekarang kau lihat ini!”

Tokouw itu menggerakkan hudtim yang dipegangnya sehingga ujung bulu hudtim yang hanya beberapa lembar itu, yaitu bulu-bulu yang terpanjang, membelit beberapa batang bambu.

“Naik!” Tokouw itu berseru dan heran sekali, rumpun bambu dengan kurang lebih lima belas batang bambu itu dengan mengeluarkan suara keras jebol berikut akar-akarnya.

Tokouw itu kembali mengerakkan hudtim-nya dan rumpun bambu itu terlempar beberapa tombak jauhnya seperti dilontarkan oleh tenaga yang kuat sekali, lalu roboh ke arah lain sehingga daun-daunnya tidak menimpa mereka!

Lin Lin melongo dan terheran-heran, sedangkan Cin Hai tidak dapat ditahan lagi bertepuk tangan dan berseru, “Bagus! Bagus!”

Ia tidak saja girang menyaksikan kehebatan tenaga ini, tetapi juga girang karena bambu yang dikehendaki telah berada di situ, tinggal ambil saja!

“Nah, anak baik, sekarang kau turutlah padaku dan menjadi muridku!”

“Tidak mau, aku tidak mau!” Lin Lin berkata sambil melangkah mundur ketakutan.

Tokouw itu mengedikkan kepalanya sehingga mukanya yang buruk itu nampak semakin mengerikan.

“Dengarlah, anak manis. Ribuan orang akan berlutut dan memohon-mohon di hadapanku untuk minta menjadi muridku. Tapi kau menolak begitu saja!”

Lin Lin sekali lagi memandang muka yang menyeramkan itu dan melihat betapa rambut tokouw itu dikuncir panjang dan membelit-belit pada lehernya bagaikan seekor ular yang menambah keburukan rupanya, anak itu melangkah mundur dan berkata lagi.

“Tidak, aku tidak mau...!”

Tapi tokouw itu tertawa ha-ha hi-hi lalu berkata lagi, “Kau berjodoh dengan aku, betapa pun juga kau harus menjadi muridku!” dan ia bertindak maju hendak memegang lengan Lin Lin.

Tetapi pada saat itu Cin Hai membentak keras, “Jangan kau paksa dia! Cih, tidak tahu malu, orang tidak sudi menjadi muridnya, dipaksa-paksa!”

Tokouw itu menggunakan mata kirinya untuk memandang Cin Hai dengan tajam, namun mulutnya tetap tersenyum dan berkata, “Kau boleh juga, tapi tak berjodoh dengan aku.”

Lin Lin yang merasa ketakutan karena hendak ditangkap, berubah menjadi marah dan ketika tokouw itu mendekat serta mengulurkan tangan, ia mengepal tangannya yang kecil lalu memukul tangan itu. Biar pun Lin Lin masih kecil, tapi ternyata ia sudah terlatih baik dan pukulannya itu dilakukan dengan gerakan yang baik.

Tokouw buruk rupa itu tertawa ha-ha hi-hi dan berkata, “Anak baik, anak baik... kau mau main-main? Boleh coba kau serang terus padaku agar dapat kuketahui sampai di mana kau telah mempelajari ilmu pukulan!” Ia lalu bergerak-gerak menghindari pukulan-pukulan Lin Lin.

Tiba-tiba saja Cin Hai membentak. “Tokouw jahat, kau mengganggu orang saja, apakah itu baik?”

Ia lalu menyerang. Tapi karena Cin Hai belum pernah belajar silat dengan baik, tentu saja pukulannya ngawur dan sekenanya saja!

Melihat kenekatan Cin Hai, tokouw itu segera menangkap tangan anak itu. Tapi tiba-tiba tokouw itu meringis dan mendongkol sekali karena Cin Hai tanpa dapat diduga lebih dulu telah menggunakan giginya dan menggigit tangan itu!

Dengan gerakan perlahan tokouw itu telah berhasil membanting Cin Hai hingga anak itu merasa tulang-tulang punggungnya seperti remuk dan merayap bangun sambil merintih-rintih. Baiknya tokouw itu hanya ingin melampiaskan kedongkolan hatinya saja dan tidak membanting sesungguhnya, hingga ia hanya menderita sakit di luar saja. Tapi dasar Cin Hai mempunyai ketabahan dan kenekatan luar biasa, sambil maju terpincang-pincang ia menyerang lagi!

Untuk kedua kalinya Cin Hai terbanting ke tanah setelah kena ditowel pundaknya oleh jari telunjuk tokouw itu, sementara itu Lin Lin yang menyerang sejak tadi dan selalu memukul dan menendang angin, telah mulai lelah dan berpeluh.

Kebetulan sekali pada waktu itu Tan Hok atau Tan-kauwsu (Guru Silat she Tan) lewat di situ, hendak kembali ke kota dari mengunjungi seorang kenalannya. Ia terkejut dan heran sekali melihat betapa Lin Lin sedang menyerang seorang tokouw yang bermuka seperti setan sedangkan Cin Hai merangkak-rangkak kesakitan.

“Hai, tahan dulu!” Tan-kauwsu membentak pertapa wanita itu yang segera menghadapi guru silat itu. “Kau seorang pendeta mengapa main-main dengan anak kecil?”

Tokouw itu tersenyum hingga wajahnya makin buruk saja. “Pinni hendak membawa anak perempuan ini untuk dijadikan murid,” katanya berterus terang.

Tan-kauwsu terkejut dan bertanya, “Siankouw siapakah?”

“Sicu (Tuan yang gagah) berdandan sebagai guru silat tapi belum kenal kepada pinni? Sungguh aneh! Ketahuilah Pinni she Biauw.”

Tan-kawsu makin terkejut karena dia teringat akan seorang pertapa wanita yang disebut Biauw Suthai dan yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan.

“Ahh, jadi siauwte berhadapan dengan Biauw Suthai yang terkenal itu?”

“Ha, agaknya namaku terdengar juga sampai ke Tiang-an,” kata tokouw itu senang.

Tan-kauwsu tidak berani berkata kasar lagi dan sesudah menjura, dia kemudian berkata, “Siankouw, tentang pemungutan murid kepada anak ini, kebetulan sekali siauwte adalah guru yang diserahi tugas oleh ayah anak ini untuk mendidiknya. Tentu saja siauwte tidak merasa keberatan apa bila Siankouw sudi memungut ia sebagai murid, akan tetapi hal ini harus dirundingkan dulu dengan Ayahnya. Karena itu, saya persilakan kepadamu untuk menjumpai Kwee-ciangkun dan merundingkan soal ini.”

“Sicu seperti tidak tahu saja kebiasaan kita orang-orang kang-ouw. Jika kita menghendaki sesuatu yang dirasa baik, maka kita lakukan saja tanpa banyak rewel dan pusing. Siapa yang sudi mengadakan rundingan dengan segala ciangkun? Aku hendak mengambil dia sebagai murid dan habis perkara!”

“Kalau begitu, terpaksa siauwte berlaku lancang dan melindungi anak ini.”

“Ha, kau hendak menghalangi maksudku membawa anak ini?”

“Biarlah kali ini siauwte melupakan kebodohan sendiri.”

Tokouw yang buruk rupa itu tertawa panjang dan mata kirinya memandang penuh ejekan. Melihat sikap pendeta perempuan itu Tan-kauwsu segera mencabut pedangnya. Suara ketawa Biauw Suthai terdengar makin aneh dan menyeramkan ketika ia melihat gerakan Tan-kauwsu, lalu tiba-tiba saja kebutan di tangannya menyambar ke arah guru silat itu!

Tan-kauwsu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi, maka ia tidak berani berlaku sembrono. Cepat ia berkelit, tapi sebelum ia sempat membalas serangan, ternyata ujung kebutan tokouw itu telah menyambar kembali, bahkan sudah mengirim serangan pula yang lebih berbahaya. Ujung kebutan itu selalu mengarah jalan darahnya, merupakan totokan yang lebih berbahaya sekali.

Tan-kauwsu cepat menggunakan pedangnya untuk menyabet putus ujung hudtim, namun tiba-tiba hudtim itu bagai bernyawa tahu-tahu telah melibat pedangnya dan sekali tokouw itu menggerakkan tangannya, pedangnya sudah terampas tanpa dia dapat bertahan pula! Dan pada saat itu juga, kembali ujung hudtim telah menyambar pundaknya.

Tan-kauwsu merasa betapa tubuhnya menjadi kesemutan akibat urat darahnya tersentuh sehingga tidak ampun lagi ia jatuh dengan tubuh lemas tak bertenaga. Ketika ia merayap bangun lagi, ternyata tokouw itu telah lenyap, begitu pun Lin Lin telah hilang pula!

Walau pun merasa benci kepada tokouw berwajah buruk itu, tetapi melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja guru silat Tan Hok itu jatuh bangun dan pedangnya terampas, Cin Hai merasa puas sekali. Ia memang sangat benci terhadap guru silat ini yang tidak pernah mengajar silat padanya, sebaliknya malah sering kali memukul dan mengadunya dengan Kwee Tiong sehingga ia sering dipukul sampai matang biru.

Maka, untuk menyatakan kepuasan hatinya, dia tersenyum-senyum dan berkata kepada Tan-kauwsu.

“Tan-suhu, sakitkah engkau? Tokouw siluman itu hebat dan lihai sekali, ya?”

Mendengar kata-kata ini, Tan-kauwsu merasa semakin gemas dan mendongkol sekali. Segala perasaan ini dikumpulkan menjadi satu di dalam dada dan menjadi kemarahan besar yang kini seluruhnya ditujukan kepada Cin Hai.

“Anak setan! Engkau sedang berbuat apa di sini dan mengapa kau ajak Nona Lin Lin? Tahukah kau bahwa kali ini engkau menimbulkan bencana yang hebat sekali? Nona Lin Lin diculik orang, dan tahukah engkau apa artinya ini? Batok kepalamu pasti akan diketok sampai pecah oleh Kwee-ciangkun!”

“Bukan aku yang membawa Lin Lin, akan tetapi dia sendiri yang memaksa untuk ikut. Aku hendak mencari bambu ini untuk dibuat suling dan ia ikut padaku. Salahkukah itu?”

“Anak tolol, kalau bukan salahmu, lalu siapa lagi?”

“Tan-suhu, aku sih bukan lawan tokouw siluman itu. Tetapi engkau adalah guru silat yang katanya mempunyai kepandaian tinggi, kenapa kau biarkan saja Lin Lin diculik olehnya? Mengapa baru satu gebrakan saja kau telah menyerah kalah?”

Baru saja bicara sampai di sini, tangan Tan-kauwsu melayang dan kepala yang gundul itu ditempeleng hingga Cin Hai merasa matanya gelap dan kepalanya terasa berputaran. Ia terhuyung-huyung dan sebuah tendangan membuat ia terlempar dan tertelungkup di atas tanah sampai mengeluarkan suara berdebuk. Malang baginya, sebuah batu menyambut mulutnya hingga bibirnya berdarah.

Anak ini marah sekali di dalam hati dan rasa sakit hatinya melenyapkan segala rasa sakit pada tubuhnya. Ia cepat merayap bangun dan berdiri dengan tegak sedangkan sepasang matanya memandang tajam, sedikit pun tidak takut dan jeri.

“Nah, kau baru tahu adat sedikit sekarang setelah kuhajar, ya?” Tan Hok berkata sambil uring-uringan.

“Tan-suhu memang beraninya hanya terhadap anak kecil yang tidak berdaya. Alangkah baiknya kalau kegagahanmu ini kau perlihatkan pada saat menghadapi Biauw Suthai tadi, sehingga Lin Lin tidak sampai terculik.”

“Bangsat kecil, kuhancurkan kepalamu!” Guru silat itu lalu melangkah maju dengan sikap mengancam. Tetapi Cin Hai tidak mundur sedikit pun.

“Boleh, boleh! Pukullah aku sampai mati. Sayang, Bibiku tak melihat kelakuanmu ini.”

Teringatlah Tan-kauwsu bahwa anak ini setidak-tidaknya masih menjadi kemenakan dari Kwee-hujin maka ia menahan tangannya yang telah terangkat di atas untuk menjatuhkan pukulan. Ia lalu meludahi kepala anak yang gundul itu sambil membentak,

“Hayo kita pulang dan kau menjadi saksi utama betapa aku telah membela Nona Lin Lin dengan mati-matian. Kau harus terangkan duduknya perkara yang sebetulnya di hadapan Kwee-ciangkun!”

Cin Hai tak menjawab, tapi segera memungut sebatang bambu kuning. Tan Hok menjadi marah dan ia menyambar tangan anak itu dan diseretnya sambil berlari cepat!

Alangkah terkejut dan marahnya Kwee In Liang ketika dia mendengar laporan Tan Hok. Mukanya sebentar merah sebentar pucat ketika Tan-kauwsu berkata,

“Hamba sudah melawan mati-matian untuk mencegah penculikan itu, tapi ternyata Biauw Suthai sangat lihai hingga akhirnya pedang hamba dapat terampas dan hamba dibikin tak berdaya. Sebelum hamba dapat mencegahnya, Nona Lin Lin sudah dibawa pergi cepat sekali.”

Karena sangat marah dan sedih, Kwee In Liang menggebrak meja di hadapannya sambil membentak kepada Cin Hai, “Cin Hai! Mengapa kau ajak Lin Lin ke hutan tanpa memberi tahu siapa-siapa? Kau anak tolol lancang sekali!”

Cin Hai merasa hatinya seperti tertusuk. Biasanya pamannya ini baik sekali terhadapnya, tidak pernah memukul tak pernah memaki, bahkan jarang sekali bertemu atau mengajak dia bicara. Sekarang ie-thio-nya membentak dan memakinya, sungguh menyakitkan hati.

“Ie-thio (Paman),” katanya dengan suara perlahan, “memang aku yang lancang. Biarlah sekarang aku pergi mencari Adik Lin Lin sampai dapat...”

Hampir saja Cin Hai mengeluarkan air mata karena hatinya merasa pilu. Dia meraba-raba kepala gundulnya yang masih merah karena ditempeleng oleh Tan Hok tadi.

Melihat betapa kepala anak itu merah serta bibirnya pecah-pecah, kemarahan Kwee In Liang lantas berkurang, “Apakah engkau juga dilukai oleh tokouw siluman itu?”

Sebelum Cin Hai menjawab, Tan Hok yang merasa khawatir kalau-kalau anak itu akan mengadu, cepat berkata,

“Apa bila hamba tidak lekas-lekas datang, tentu kemenakan Ciangkun ini akan mendapat celaka pula.”

Cin Hai melirik kepada guru silat itu dengan pandangan mata mengejek.

“Benar, ie-thio, sayang sekali bahwa baru maju segebrakan saja, Tan-suhu yang lihai ini telah terampas pedangnya dan bahkan ia dibikin jatuh bangun oleh ujung kebutan tokouw siluman itu!”

“Begitu lihaikah dia?” tanya Kwee In Liang kepada Tan Hok.

“Memang dia luar biasa lihai, dan hamba bukanlah lawannya.” Tan Hok mengaku dengan muka merah karena malu, dan kebenciannya terhadap Cin Hai semakin bertambah.

Karena kejadian itu, Kwee In Liang merasa sedih sekali. Kwee-hujin yang diberitahu oleh pelayan akan peristiwa itu segera berlarian keluar dan sambil menangis tersedu-sedu ia duduk di sebelah Kwee-ciangkun. Loan Nio memang cinta sekali kepada Lin Lin dan telah menganggap anak itu sebagai anak sendiri, maka berita ini benar-benar menghancurkan hatinya.

“Cin Hai, kau... kau anak tolol! Bodoh dan lancang! Mengapa kau mengajak Lin Lin pergi ke hutan? Bukankah engkau berpamit padaku, tetapi mengapa engkau tidak menyatakan hendak pergi dengan Lin Lin?” Bibi ini menegur Cin Hai.

“Ie-ie, sungguh aku menyesal sekali, ie-ie... Bukan kusengaja membawa dan mengajak Lin Lin, tetapi ketika aku hendak keluar, Adik Lin Lin melihat dan bertanya. Aku mengaku terus terang bahwa aku hendak mencari bambu kuning di hutan dan ia memaksa hendak ikut.”

Sementara itu, melihat bahwa nyonya muda itu keluar, Tan Hok segera mengundurkan diri. Kwee In Liang segera memerintahkan para pengawalnya untuk mengejar tokouw itu, dan ia sendiri naik kuda mencari sampai jauh ke dalam hutan.

Biar pun kepada bibinya sendiri, Cin Hai tidak pernah menceritakan mengenai perlakuan Tan-kauwsu yang sewenang-wenang padanya. Anak ini memang tak suka mengadu dan segala hal yang menyakitkan hati hanya ia pendam di dalam dada sendiri saja.

Ia selalu ingat akan ujar-ujar yang bermaksud: Balaslah kebaikan dengan kebaikan pula dan kejahatan dengan keadilan! Maka dia menganggap kurang adil apa bila ia membalas kejahatan Tan-kauwsu dengan mengadukan hal itu kepada ie-ie-nya atau ie-thio-nya. Itu kurang adil dan kurang tepat karena ia yang dijahati, maka baru adil kalau ia sendiri yang membalasnya! Tidak dapat sekarang, tentu kelak akan tiba masanya ia membalas segala perlakuan tak pantas itu.

Hatinya telah merupakan sebuah buku catatan di mana ia mencatatkan segala perlakuan baik dan buruk yang dijatuhkan orang kepada dirinya, dan yang ia anggap sudah menjadi kewajibannya untuk membayar lunas semua perlakuan dan budi itu, baik yang jahat mau pun yang baik.

Ketika Ie-thio-nya sedang sibuk mencari-cari tokouw yang melarikan anaknya itu dibantu puluhan pengawal dan anak buahnya, sedangkan bibinya masih menangisi nasib Lin Lin di kamarnya, Cin Hai menyeret bambu kuning ke belakang. Ia duduk di kebun belakang sambil asyik menggosok bambu itu, menghilangkan bulu-bulu bambu dan mencabut daun dan cabang-cabangnya.

Tiba-tiba terdengar suara anak-anak memasuki kebun itu.

“Nah, itu dia Si Jahat!” terdengar seorang di antara mereka berkata.

Yang masuk adalah lima orang anak-anak, yakni putera-putera Kwee-ciangkun. Mereka ini tampan wajahnya dan indah-indah pakaiannya.

Yang sulung bernama Kwee Tiong berusia sepuluh tahun, ke dua bernama Kwee Sin berusia sembilan tahun, ke tiga Kwee Bun delapan tahun. Ke empat Kwee Siang berusia tujuh tahun dan ke lima ialah Kwee An berusia enam tahun.

Di antara mereka ini, hanya dengan Kwee An saja Cin Hai sering bergaul, karena selain Kwee An memiliki perangai yang baik dan halus, juga mereka ini sebaya, jadi lebih cocok. Yang empat lainnya sudah biasa menggoda dan memukul atau memaki Cin Hai.

Kini mendengar betapa adik perempuan mereka dibawa lari oleh karena tadinya ikut Cin Hai ke hutan, maka marahlah mereka. Bahkan Kwee An yang bersedih akibat kehilangan adiknya, juga merasa marah. Mereka mencari Cin Hai dan melihat Cin Hai duduk seorang diri membawa bambu kuning di dalam kebun, mereka segera menangkapnya!

Kwee Tiong lalu mengambil tali dan menyeret Cin Hai ke sebatang pohon lalu mengikat Cin Hai di situ dengan tali tadi. Cin Hai tidak dapat melawan sebab dia sudah lelah sekali, malah tubuhnya masih sakit-sakit bekas bantingan Biauw Suthai tadi dan terutama bekas tangan Tan-kauwsu. Sekarang diperlakukan kasar oleh kelima anak-anak itu, sama sekali dia tidak melawan, walau pun andai kata dia melawan juga tak akan berguna.

“Bangsat, mengakulah bahwa kau yang menjadi gara-gara atas lenyapnya Lin Lin!” Kwee Tiong membentak.

“Bukan, bukan aku!” jawab Cin Hai sambil membalas pandang mata Kwee Tiong dengan berani.

“Kepala anjing!” Kwee Tiong memaki sambil menempeleng kepala Cin Hai yang gundul itu.

“Bukan aku!” Cin Hai tetap berkokoh menyangkal.

Lima saudara yang sedang marah itu berganti-ganti memukul dan menempeleng kepala Cin Hai yang gundul, tetapi meski pun merasa kesakitan dan kepalanya pening, anak ini tetap berteriak-teriak, “Bukan aku... bukan aku!”

Melihat betapa keadaan Cin Hai makin lemas dan suara teriakannya semakin parau dan lemah, Kwee An menjadi kasihan dan timbul sifat baiknya.

“Koko sekalian, aku jadi ingat akan perkataan Ayah bahwa di dalam segala hal kita harus berlaku gagah berani. Sekarang kita mengikat Cin Hai dan memukulinya tanpa dia dapat membalas, apakah ini adil? Kurasa ini bukan kelakuan gagah berani seperti yang sudah dianjurkan oleh Ayah, dan kalau Ayah melihat perbuatan kita ini tentu kita akan mendapat marah.”

“Ehh, pengecut, apa kau hendak membela dia?” Kwee Tiong membentak marah kepada adiknya.

“Dia bukan pengecut, juga bukan membelaku,” Cin Hai yang sudah matang biru mukanya dan lemas tubuhnya itu mewakili Kwee An menjawab, “tapi dia ini mempunyai kegagahan lebih besar dari pada kalian berempat yang terhadap seorang anak lebih kecil saja mesti melakukan pengeroyokan secara pengecut.”

“Plokk!”

Tangan Kwee Tiong terayun, menampar mulut Cin Hai hingga bibir yang sudah bengkak karena jatuh terpukul oleh Tan-kauwsu tadi, kini lukanya terbuka pula dan mengeluarkan darah baru.

“Twako, kalau memang kau hendak main pukulan dan berkelahi, lakukanlah secara jujur. Lepaskan dia lebih dahulu dan berkelahilah dengan adil!” Kwee An berkata marah melihat kekejaman kakaknya, lalu ia sendiri maju membuka belenggu tangan Cin Hai.

“Baik, baik! Kau bukalah ikatannya, biar ia coba menahan seranganku,” kata Kwee Tiong gembira.

Cin Hai merasa seluruh tubuhnya lemas dan tidak bertenaga, maka biar pun dia sudah dilepaskan dari ikatan, tetap saja dia tak berdaya. Sebaliknya, Kwee Tiong yang bertubuh tegap dan lebih besar darinya itu, lagi pula memiliki kepandaian silat yang sudah cukup lumayan, segera maju menyerang dengan sepasang kepalan dan tendangan kakinya.

Berkali-kali Cin Hai dipukul jatuh dan selagi anak itu dengan mata kabur hendak merayap bangun, sebuah tendangan Kwee Tiong tepat mengenai lambungnya sehingga ia kembali tersungkur lagi.

“Nah, rasakan ini, nah, ini lagi! Kau anak celaka, anak tolol, kau yang menjadi gara-gara sehingga Lin Lin terculik orang! Rasakan ini!”

Sambil menunggangi tubuh Cin Hai pada punggungnya, Kwee Tiong menghujani pukulan pada seluruh tubuh Cin Hai yang sudah tak berdaya. Karena rasa sakitnya, Cin Hai lalu meramkan mata dan mempergunakan kedua tangannya untuk balas menyerang. Ia tidak dapat memukul, tetapi menangkap apa saja yang dapat ditangkap.

Karena kebingungan dan putus asa dihujani pukulan-pukulan keras oleh Kwee Tiong, Cin Hai menjadi nekad. Dengan tenaga terakhir ia dapat membalikkan tubuhnya yang tadinya tertelungkup itu sehingga menjadi miring. Tangan kanannya lantas menyerang ke depan dan mencengkeram, dan seketika itu juga terdengar Kwee Tiong memekik ngeri karena tanpa disengaja tangan Cin Hai dapat mencengkeram anggota rahasia Kwee Tiong.

Mendengar jeritan ini barulah Cin Hai tahu bahwa Kwee Tiong kesakitan hebat. Alangkah senang hatinya mendengar anak itu menjerit-jerit kesakitan. Timbul niatnya untuk sekali remas membikin hancur anggota tubuh yang dicengkeramnya itu supaya anak jahat yang selama ini cukup banyak menghina dan cukup sering menyiksanya itu mampus seketika itu juga.

Tetapi entah kenapa, di dalam pikirannya yang telah kabur itu tiba-tiba terdengar ujar-ujar nabi yang dipelajarinya. Betapa pun hebat Kwee Tiong menyiksanya dan menghinanya, akan tetapi anak itu tidak sampai membunuhnya, apa bila sekarang ia membalas dengan membunuh, itu tidak adil namanya. Pula, ada ujar-ujar yang ia lupa lagi bunyinya, tetapi yang ia masih ingat bahwa orang tak boleh membunuh sesamanya hanya untuk sekedar melampiaskan kemarahan dan memuaskan perasaan. Teringat akan semua ini, tiba-tiba cengkeraman tangannya mengendur.

Tadinya Kwee Tiong sudah sambat, bahkan tanpa malu-malu lagi ia telah mengeluarkan kata-kata, “Cin Hai... lepaskan aku... ampun, Cin Hai...”

Tetapi ucapan ini agaknya tak terdengar oleh Cin Hai. Kini merasa betapa cengkeraman Cin Hai mengendur, kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Kwee Tiong yang segera merenggut tangan Cin Hai itu dan meloncat berdiri.

“Bangsat! Anjing! Pengecut hina, kau berlaku curang!” Kwee Tiong memaki-maki sambil menggunakan kedua kakinya menendang-nendang tubuh Cin Hai.

Namun anak gundul ini sama sekali tidak bergerak dan tidak mengeluh.

“Tahan, Twako, ia... ia... mati!” tiba-tiba Kwee An berseru sambil loncat berlutut.

“Hahh?! Mati...?!”

Kwee Tiong terkejut sekali dan seketika itu juga wajahnya berubah pucat. Juga semua adiknya yang tadi turut memaki-maki menjadi terkejut sekali dan beramai-ramai mereka berlutut untuk melihat dan memeriksa tubuh Cin Hai. Sebetulnya Cin Hai hanya pingsan saja, namun karena banyak mengeluarkan darah dan perutnya kosong, maka mukanya nampak pucat sekali seperti mayat.

Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan semua anak-anak itu makin terkejut karena yang datang bukan lain adalah Loan Nio, bibi Cin Hai! Ketika datang ke situ, Loan Nio menyangka bahwa kemenakannya itu sudah mati, maka dia berteriak kaget. Dua orang pelayan lalu diperintahkan untuk mengangkat tubuh anak itu ke dalam kamar, sedangkan Loan Nio memarahi kelima saudara Kwee.

“An-ji, coba kau ceritakan, apakah yang sudah terjadi tadi?” Loan Nio atau Kwee-hujin itu sengaja bertanya kepada Kwee An, oleh karena ia yang telah mengenal perangai semua anak-anak itu sejak kecil, tahu bahwa hanya Kwee An yang boleh ia percaya.

“Cin Hai telah berkelahi dengan Engko Tiong,” Kwee An berkata terus terang, kemudian dia menceritakan mengenai sebab-sebab perkelahian, yakni bahwa mereka marah sekali karena menganggap bahwa Cin Hai yang menjadi biang keladi lenyapnya Lin Lin.

Loan Nio menghela napas, lalu dia berkata dengan suara kereng, “Anak-anak, memang perbuatan Cin Hai mengajak Lin Lin ke hutan itu adalah sangat lancang dan tidak baik. Seharusnya ia memberi tahu dulu kepada orang tua. Tetapi kurasa Cin Hai sudah cukup terhukum apa lagi jika diingat bahwa dia biar pun kecil juga telah membela Lin Lin hingga terpukul oleh penculik, maka kalian seharusnya bisa memaafkannya. Pula peristiwa telah terjadi, Lin Lin masih belum ketemu, sekarang kalian tambahi kepusingan orang-orang tua dengan perkelahian-perkelahian itu. Sungguh tidak baik sekali!”

Pada saat itu Kwee In Liang kembali dari pengejarannya kepada penculik itu. Wajahnya muram dan tampak lelah sekali.

“Bagaimana, terdapatkah?” Kwee-hujin bertanya dengan muka cemas.

Kwee-ciangkun menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas, nampaknya susah sekali. Kemudian melihat anak-anaknya yang berada di situ seperti orang ketakutan.

“Anak-anak ini sedang bekerja apa di sini? Mengapa tidak berada di kamar dan belajar?”

Terpaksa Loan Nio yang tidak pernah membohong segera menceritakan bahwa ia baru saja menegur mereka karena berkelahi dan mengeroyok Cin Hai sehingga anak itu jatuh pingsan. Muka Kwee In Liang semakin muram mendengar ini, lalu ia membentak mereka supaya pergi ke kamar masing-masing.

Melihat kemarahan serta kesedihan suaminya ini, dengan manis budi Loan Nio mencoba menghiburnya. Tapi ayah yang kehilangan anak kesayangannya itu hanya menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan berkali-kali menghela napas.

“Tadi aku mendengar bahwa Biauw Suthai yang menculik Lin Lin adalah seorang wanita gagah dan tokoh yang ternama sekali, maka kurasa pertapa wanita itu tidak mempunyai maksud buruk. Barang kali dia memang benar-benar senang kepada Lin Lin dan hanya bermaksud untuk menurunkan ilmu silatnya dan segala kepandaiannya pada anak kita.” Kwee hujin menghibur.

Sesudah berulang-ulang kali menghela napas, Kwee In Liang hanya menjawab perlahan, “Mudah-mudahan begitu. Karena apa bila siluman wanita itu sampai berani mengganggu selembar rambut saja dari anakku, maka dia harus mengganti dengan selembar jiwanya!”

Dan panglima gagah ini mengertak-ngertak gigi serta mengepal-ngepal tinju tangannya, sedangkan kedua matanya mengeluarkan sinar mengancam. Isterinya lalu menghiburnya lagi dan mengajak suaminya yang sedang bersedih itu masuk ke dalam gedung karena di luar sudah mulai gelap.

Malam itu keadaan di gedung keluarga Kwee sunyi saja. Biasanya pada malam hari terdengar suara anak-anak menghafal sastera mereka, tetapi malam ini sengaja dilarang mengeluarkan suara keras. Sore-sore Kwee Tiong dan keempat adiknya telah pergi tidur sambil membicarakan Cin Hai dengan suara berbisik.

Cin Hai sendiri berbaring terlentang dengan mata terbelalak memandang ke langit-langit kamar dan pikirannya melamun jauh sekali. Tubuhnya masih terasa sakit, namun hatinya telah terhibur sebab tadi bibinya datang dan menghiburnya, serta memerintahkan pelayan untuk menyediakan makan. Bahkan dengan kedua tangannya sendiri bibi yang baik hati itu membaluri seluruh tubuhnya yang bengkak-bengkak dan matang biru dengan minyak gosok.

Ketika tadi bibinya menggosok-gosok badannya dengan minyak gosok, ia merasa terharu dan diam-diam air matanya mengalir di kedua pipinya.

“Ie-ie, sebenarnya di manakah kedua orang tuaku?” tanyanya perlahan.

Tangan bibinya yang menggosok-gosok punggungnya itu mendadak menggigil dan untuk sesaat berhenti menggosok, tapi lalu terdengar jawabannya, “Anak, mengapa berkali-kali kau tanyakan hal ini? Bukankah sudah kuberitahukan padamu bahwa kedua orang tuamu telah kembali ke alam baka?”

“Tetapi di manakah makam mereka, ie-ie? Aku ingin sekali mengunjungi makam kedua orang tuaku.”

”Aku tidak tahu, Cin Hai.”

“Mengapa kau tidak tahu ie-ie, bukankah kau adik mendiang ibuku?”

“Sudah berapa kali kukatakan bahwa aku tidak tahu, Cin Hai! Sudahlah, jangan kau terus mendesak. Kau harus mengaso dan aku akan kembali ke kamar, ie-thio-mu masih sangat bersedih.”

Nyonya muda itu mengelus-elus kepala kemenakannya, kemudian meninggalkan kamar itu. Tetapi sebelum melangkah ke luar pintu, Cin Hai menegur,

“Ie-ie yang baik!”

Nyonya muda itu berhenti lalu menengok, dan Cin Hai sempat melihat betapa ie-ie-nya telah mengalirkan air mata!

“Setidak-tidaknya beritahukan padaku siapa nama dan she Ayahku!”

“Kau she Kwee juga, bukankah sudah pernah kuberitahukan padamu?”

“She... Kwee...? Ahh, tak mungkin... ahh, kenapa kau membohongi, Ie-ie yang baik? Aku bukan she Kwee...”

Tetapi Ie-ie-nya sudah melangkah keluar dari pintu dan Cin Hai mendengar suara sandal bibinya itu makin menjauhi kamarnya.

Demikianlah, setelah bibinya pergi, sampai jauh malam Cin Hai masih tak bisa meramkan matanya. Bibinya telah membohong padanya ketika menerangkan bahwa dia she Kwee! Juga bibinya telah membohong ketika bilang bahwa dia tidak mengetahui makam kedua orang tuanya.

Ia dapat merasakan kebohongan itu, karena setiap kali bibinya diajak bicara tentang hal kedua orang tuanya, selalu nyonya muda itu mendadak menjadi sedih dan gelisah, dan jawabannya selalu ragu-ragu. Aku harus mencari kedua orang tuaku, dan aku harus tahu siapa sebenarnya diriku ini.

Cin Hai lalu turun dari pembaringan dengan maksud hendak pergi ke kamar bibinya dan mendesak keterangan dan penjelasan-penjelasan. Ia sengaja menanggalkan sepatu agar tindakan kakinya tidak menerbitkan suara dan mengagetkan atau membangunkan orang lain dari tidurnya. Ketika sudah tiba di dekat kamar bibinya, tiba-tiba ia mendengar suara bibinya terisak menangis, kemudian suara pamannya yang besar itu seakan-akan sedang memarahi bibinya.

Cin Hai bergerak hati-hati sekali ke arah kamar yang masih terang karena lampu di dalam belum dipadamkan. Ia mendekati jendela dan mengintai. Ternyata bibinya sedang duduk di pembaringan sambil menutup mukanya dengan selampai, menahan tangis. Pamannya berjalan mondar-mandir di dalam kamar itu.

“Ayahnya yang berdosa, dan Ayah serta seluruh keluarganya telah menebus dosa itu dan semua dihukum penggal leher. Sekarang janganlah kau ikut-ikutkan pula anaknya yang tak berdosa apa-apa.” Nyonya muda itu berkata sambil menangis.

“Kau kira aku manusia berhati sekejam itu? Kalau aku kejam, apakah aku mengijinkan anak pemberontak itu berdiam di rumahku sampai bertahun-tahun? Pemberontak she Sie yang menjadi iparmu itu sudah dihukum mati berikut semua keluarganya, dan aku sama sekali tiada sangkut-paut dengan perkara itu.”

“Tiada sangkut-paut, hanya engkaulah yang menangkap mereka semua,” kata Loan Nio.

“Apa salahnya? Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku? Jangankan orang she Sie itu yang tidak punya hubungan apa-apa dengan aku, biar pun andai kata adikku sendiri yang menjadi pemberontak, tentu aku akan menangkapnya. Inilah jiwa seorang gagah. Harus kau ingat bahwa yang tiap hari kita makan dan pakaian yang tiap hari kita pakai ini adalah hasilku mengabdi kepada raja. Apakah aku hanya boleh menerima hasil saja tanpa harus memenuhi kewajiban? Pula, bukan aku yang ingin dia dihukum, tetapi ini perintah atasan. Tugas tetap tugas, perasaan pribadi jangan dibawa-bawa!” Agaknya panglima itu marah betul karena terdorong kesedihan hatinya kehilangan Lin Lin.

Hening sejenak kecuali isak Loan Nio dan helaan napas Kwee In Liang, kemudian baru terdengar lagi nyonya muda itu berkata agak sabar,

“Aku tahu semua itu, dan aku tidak salahkan kau. Hanya mengenai anak ini, Cin Hai yang malang... kau berlakulah murah hati sekali.”

“Istriku, betapa pun juga kau pertimbangkanlah baik-baik. Engkau lebih sayang Cin Hai dari pada suamimu? Aku benci Cin Hai, juga aku tidak menghubungkan dia dengan orang tuanya. Akan tetapi, semenjak Lin Lin hilang....,” sampai di sini suaranya sember dan sedih, “...aku tak tahan melihat muka Cin Hai lagi. Betapa pun juga, Lin Lin diculik orang karena ikut pergi dengan Cin Hai! Perasaan ini tidak akan pernah hilang dari hatiku yang menuduh dan mempersalahkannya, maka tidak baik kiranya apa bila anak itu berada di depan mataku. Tidak baik untuknya dan tidak baik untukku sendiri. Dia harus pergi dari sini, titipkanlah kepada keluarga lain...”

Semenjak tadi, di luar Jendela Cin Hai mendengar dengan air mata turun bagaikan hujan membasahi kedua pipinya. Orang tuanya, juga semua keluarganya, mendapat hukuman penggal kepala! Alangkah hebatnya!

Ayahnya yang she Sie itu disebut-sebut sebagai pemberontak! Apakah pemberontak itu? Perasaannya yang terasa perih itu semakin hancur mendengar betapa bibinya sampai bertengkar dengan Ie-thio-nya karena dia! Pula, hatinya sakit sekali mendengar betapa ie-thio-nya kini membencinya karena hilangnya Lin Lin dan ie-thio-nya sudah mengambil keputusan supaya ia pergi dari situ!

Cin Hai menggigit bibirnya yang tadinya mewek menangis itu. Timbul perasaan angkuh di dalam kepalanya yang gundul. Orang tidak menghendaki dia di situ, untuk apa menanti lebih lama lagi? Ia tak perlu minta-minta ampun dan mohon agar diperkenankan tinggal terus di situ. Dia harus pergi karena dia bukan keluarga Kwee! Hanya ie-ie-nyalah yang selama ini menahan ia berada di tempat itu, karena itu ia amat mencinta ie-ie-nya yang berbudi baik itu.

Dengan pikiran kacau balau Cin Hai lalu pergi dari situ. Dengan hati-hati sekali ia hendak keluar dan minggat dari gedung keluarga Kwee. Dia benci sekali kepada Kwee In Liang, sebab dari mulut pamannya itu sendiri dia tadi mendengar bahwa yang menangkap orang tuanya adalah pamannya itu sendiri.

Ia memasuki kamarnya dan mengambil semua pakaiannya, lalu dibuntal. Tetapi tiba-tiba ia teringat akan kata-kata pamannya tadi yang menyatakan bahwa semua pakaian yang dipakai itu adalah hasil pengabdiannya kepada raja! Dan karena pengabdian kepada raja itulah yang memaksa pamannya itu menangkap dan membasmi seluruh keluarga Sie.

Tiba-tiba timbullah rasa jijik dan bencinya kepada semua pakaiannya dan dilemparkannya buntalan itu jauh-jauh dengan perasaan jijik. Dia tak akan membawa pakaian pemberian pamannya.

Lalu dia teringat akan pakaiannya sendiri. Yang dipakainya ini pun pakaian pemberian bibinya yang berarti pemberian pamannya pula! Dengan hati panas dan penuh marah ia lalu menanggalkan semua pakaiannya itu dan dengan telanjang bulat ia lari keluar.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)