PENDEKAR BODOH : JILID-05


“Jangankan baru kau pelajari delapan puluh jurus, biar pun kau bisa mempelajari sampai tamat yaitu seratus delapan jurus, tetap ilmu silat ini tak kan mampu mengalahkan Sian-li Kun-hoat.”

Cin Hai juga tersenyum. Dia maklum bahwa Ang I Niocu tidak akan melarangnya karena memang dara itu tidak berhak melarangnya. Ia bukan murid Gadis Baju Merah itu! Dan ia tetap mempelajari Liong-san Kun-hoat sampai dia hafal semua delapan puluh jurus yang telah dicatatnya.

Sudah lima tahun Ang I Niocu berkelana seorang diri dan hampir selalu bertemu dengan orang-orang jahat dan orang-orang yang membuat dia jemu. Hampir semua laki-laki yang berjumpa dengan dia selalu memperlihatkan pandangan mata yang mengandung maksud tidak baik, hingga ia benci melihat orang laki-laki.

Akan tetapi perasaannya terhadap Cin Hai lain lagi. Pandangan mata anak ini demikian jujur, demikian mesra dan demikian menimbulkan perasaan iba di dalam hatinya, hingga dia tertarik dan suka sekali kepada Cin Hai. Oleh karena ini, maka sungguh pun dia tidak menganggap Cin Hai sebagai muridnya, tapi dengan sungguh hati ia hendak menurunkan Sian-li Kun-hoat yang merupakan tarian indah dan sangat digemari oleh Cin Hai itu.

Juga Ang I Niocu sangat tertarik akan kepandaian Cin Hai meniup suling dan bakatnya mencipta lagu-lagu luar biasa. Pula, dia kagum akan pengertian Cin Hai tentang sastera, tentang sejarah kuno, dan tentang segala macam ujar-ujar yang sangat indah didengar. Apa lagi nyanyian To-tik-keng sangat menarik hatinya hingga setiap kali ada kesempatan tentu ia menghapalkan sebuah ayat dari pada kitab peninggalan Nabi Locu yang sangat bijaksana itu.

Sebaliknya, Cin Hai merasa sangat berterima kasih dan suka kepada Ang I Niocu, karena sikap gadis yang lemah lembut, kata-katanya yang halus merdu serta pandang matanya yang kadang-kadang sayu itu mengingatkan dia akan Loan Nio, Ie-ie-nya (bibinya), yang dianggap satu-satunya orang yang cinta padanya.

Akan tetapi bibinya terikat kepada keluarga Kwee-ciangkun sehingga dia maklum bahwa rasa suka di hati bibinya terhadap dia masih terbagi-bagi, sedangkan Ang I Niocu hidup sebatang kara seperti dia. Oleh karena inilah maka timbul rasa suka dan bakti yang besar sekali di dalam hati Cin Hai. Kini ia menganggap Ang I Niocu sebagai satu-satunya orang yang patut ia sayangi, patut ia bela dan patut ia ikuti.

Pernah pada suatu saat Dara Baju Merah itu bertanya tentang riwayatnya yang dijawab oleh Cin Hai dengan terus terang akan tetapi karena pengaruh ujar-ujar yang telah masuk ke dalam kepala, Cin Hai sama sekali tidak mau menyebut-nyebut segala kejahatan dan siksaan yang telah dilempar orang lain kepadanya.

Ia teringat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa keburukan orang lain tak perlu disebut-sebut, sedangkan kesalahan sendiri harus selalu diingat dan diperbaiki! Karena inilah, maka dia tidak pernah menceritakan kepada Ang I Niocu mengenai kenakalan-kenakalan Kwee Tiong beserta adik-adiknya, tidak menceritakan kebencian guru silat Tan Hok yang hampir saja membunuhnya.

Akan tetapi, pada waktu Cin Hai bertanya mengenai riwayat Ang I Niocu, gadis itu hanya tersenyum sedih dan untuk beberapa lama sinar matanya yang biasanya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.

“Ah, Niocu, kalau kau tidak suka mengenang kembali atau menceritakan riwayat hidupmu padaku, sudahlah. Lebih baik kita berlatih saja, engkau berlatih meniup suling, sedangkan aku berlatih menari.”

Ang I Niocu kembali tersenyum dan lenyaplah kenang-kenangan sedih tadi. Ia menatap Cin Hai dengan rasa terima kasih terkandung di dalam sinar matanya, lalu dia mengambil suling itu dan mulai meniupnya. Cin Hai juga segera meloncat dan menggulung lengan bajunya serta mengencangkan ikat pinggangnya, lalu mulai bergerak menari!

Memang berkat kerja sama mereka, maka tarian itu dapat disesuaikan dan diselaraskan dengan lagu tiupan suling hingga dengan demikian pelajaran menari menjadi lebih mudah diingat oleh Cin Hai. Biar pun pada saat itu ia telah mempelajari tari lebih dari setengah tahun, namun dia baru saja mampu memainkan beberapa belas jurus tarian dengan baik, sedangkan selanjutnya gerakannya masih sangat kaku dan tidak tepat! Karena itu dapat dimengerti betapa sukarnya mempelajari Sian-li Kun-hoat itu.

Juga karena sebagian besar dari tarian itu dilakukan dengan berdiri di atas ujung jari kaki, maka tentu saja membutuhkan tenaga kaki yang lebih besar sehingga bila orang kurang latihan tentu tidak akan sanggup menarikannya sampai lama.

Sehabis latihan, Ang I Niocu berkata,

“Gerakan yang ke tiga dan ke delapan masih kurang sempurna. Hanya jurus satu, dua, empat sampai tujuh dan sembiIan sampai lima belas yang sudah lumayan. Akan tetapi selebihnya, mulai jurus ke enam belas, masih sangat jauh untuk dapat disebut lumayan. Gerak-gerakkanlah jari tanganmu dengan hidup, karena gerakan-gerakan jari itulah yang akan menghidupkan jurus gerak tipu Burung Surga Membuka Sayap. Kau harus mengerti bahwa Burung Surga adalah burung yang biasa ditungganggi Bidadari, karena itu semua gerakannya mengandung arti dan maksud tertentu. Dalam gerakan ini jari-jari kita akan merupakan ujung-ujung sayap yang harus digerak-gerakkan dalam menghadapi lawan, maka gerakan-gerakan jari ini sangat penting karena dapat membingungkan lawan dan dapat menyembunyikan maksud gerakan satu serangan kita yang sesungguhnya. Kau tentu masih ingat bahwa sepuluh jari tangan kita dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah lawan dalam berpuluh macam gerakan. Apakah kau masih hafal semua?”

Demikianlah Ang I Niocu memberi petunjuk-petunjuk yang didengar dan diturut oleh Cin Hai dengan penuh perhatian. Dan dari uraian Ang I Niocu itu dapat diketahui betapa sulit dan lihainya Ilmu Silat Sian-li Kun-hoat itu, karena satu jurus saja mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat!

Setelah berlatih, mereka beristirahat di bawah pohon besar dan pada kesempatan ini Ang I Niocu menuturkan mengenai tokoh-tokoh besar yang pernah dijumpai Cin Hai. Memang Cin Hai menceritakan pengalamannya ketika ia berada di atas genteng Kuil Ban-hok-tong dan melihat Kanglam Sam-lojin berkelahi mati-matian melawan Hai Kong Hosiang!

“Kau sungguh mujur dan beruntung sekali dapat terlepas dari tangan Hai Hong Hosiang. Ketahuilah, hwesio ini memang jahat sekali dan berwatak kejam, walau pun ia bukanlah seorang penjahat kecil yang suka melakukan segala perbuatan jahat yang tidak berarti. Kalau ia melakukan sesuatu kejahatan, maka kejahatan besar dan hebat sekali. Dan kau sungguh boleh dibilang lebih-lebih beruntung lagi, oleh karena telah tertolong dan bahkan diterima menjadi murid oleh seorang kakek yang mengaku bernama Bu Pun Su atau Tiada Kepandaian itu. Tahukah kau siapa adanya kakek itu? Dia adalah Su-siok-couw-ku (Kakek Paman Guru) sendiri!”

Cin Hai sangat terkejut mendengar ini. “Astaga! Jembel tua itu adalah Susiok-couw-mu? Hebat, hebat dan tidak masuk akal. Kau yang berkepandaian begini tinggi hanya menjadi cucu muridnya? Kalau begitu, kepandaiannya tentu hebat sekali?”

Ang I Niocu menganggukkan kepalanya. “Memang beliau adalah Susiok-couw-ku, karena mendiang ayahku adalah murid keponakannya. Dan tentang kepandaiannya, ahhh, sukar untuk diukur sampai berapa tingginya. Kalau tidak ada Susiok-couw, maka tiga gerobak emas itu tentu telah dirampas oleh Hai Kong Hosiang atau Kanglam Sam-lojin, atau oleh beberapa orang gagah lain yang mengingini harta besar itu!”

“Tiga gerobak emas yang mana, milik siapa?” Cin Hai bertanya heran.

“Emas sisa simpanan ahala Beng yang belum terampas oleh Kaisar Boan dan berhasil dilarikan oleh beberapa orang patriot yang gagah berani, disimpan di sebelah kuil kuno di dekat kota Tiang-an, ternyata hal itu dapat diketahui oleh Pemerintah Boan yang segera berusaha merampasnya. Tapi hal ini sudah lama diketahui oleh orang-orang gagah yang masih setia pada Pemerintah Han sehingga mereka cepat-cepat mengambil harta itu dan berusaha mengungsikannya ke utara untuk dipergunakan bila mana saat pemberontakan tiba. Tetapi selain musuh-musuh dari pihak Kaisar, para patriot itu menghadapi musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang-orang kang-ouw semacam Hai Kong Hosiang dan lain-lain, karena mereka ini pun mempunyai telinga yang tajam sehingga mendengar pula tentang harta karun itu dan berusaha pula merampasnya! Karena inilah, maka mereka ini berkumpul di Tiang-an dan kebetulan sekali Hai Kong Hosiang yang pernah bermusuhan dengan Kanglam Sam-lojin berjumpa di depan Kuil Ban-hok-tong dan bertempur sebagai mana yang kau lihat itu. Sedangkan semua orang kang-ouw yang ingin merampas emas, semua ketakutan dan lari pada saat melihat Bu Pun Su yang sengaja turun gunung untuk membantu para patriot mengungsikan emas itu. Dan secara kebetutan sekali, kau dapat ditolong olehnya dan diaku sebagai muridnya, bukankah ini hal yang aneh sekali?”

“Dia orang pandai dan suka mengaku murid kepadaku apakah anehnya?”

Ang I Niocu tersenyum. “Mana kau tahu? Susiok-couw adalah orang yang adatnya sangat kukoai (ganjil) dan selama hidupnya belum pernah memiliki seorang murid pun. Menurut kata-kata Ayahku dulu, Susiok-couw benci sekali pada orang-orang yang berkepandaian silat, karena menurut beliau, kepandaian silat itu hanya mendatangkan mala petaka saja! Agaknya orang tua itu sudah pikun dan lupa bahwa dia sendiri adalah seorang di antara tokoh-tokoh yang tingkatnya paling tinggi di dunia ini! Dan sekarang secara tiba-tiba saja dia mengangkat engkau sebagai muridnya. Bukankah ini aneh sekali?”

“Tetapi aku tidak senang menjadi muridnya!” tiba-tiba Cin Hai berkata.

“He, mengapa?” Ang I Niocu bertanya.

“Entahlah, tetapi rasa hatiku, aku lebih senang belajar darimu dari pada harus belajar dari kakek jembel yang aneh adatnya itu. Bukankah kalau belajar padanya aku harus berpisah darimu?”

Ucapan ini dikatakan dengan hati jujur seorang kanak-kanak, akan tetapi Ang I Niocu mendengarkan dengan hati terharu sekali.

“Berjanjilah, Niocu, kau tak akan meninggalkan aku!” Cin Hai mendesak.

Ang I Niocu mengangguk-angguk dan berkata lirih, “Jangan kuatir, aku tidak akan pernah meninggalkan kau.”

Sebenarnya kurang pantas bagi Cin Hai untuk memanggil Ang I Niocu dengan sebutan ‘Niocu’ yang biar pun artinya ‘nona’ namun biasanya hanya dilakukan oleh seorang suami atau seorang kekasih. Akan tetapi, karena nona itu memang mempunyai gelaran Ang I Niocu, maka Cin Hai lalu menyebutnya ‘niocu’ begitu saja, karena hatinya yang jujur tidak dapat mencari lain sebutan yang lebih tepat. Sedangkan Ang I Niocu juga tidak peduli akan sebutan ini.

Ketika Cin Hai yang pernah mendengar dari Kanglam Sam-lojin tentang Giok-gan Kui-bo Si Biang Iblis Mata lntan yang pernah dilihatnya ketika bertempur melawan seorang yang berpakaian sasterawan, mengajukan pertanyaan kepada Ang I Niocu.

Kemudian Gadis Baju Merah itu menjawab, “Kanglam Sam-lojin berkata benar. Memang dia itu adalah cici-ku, yaitu Suci (Kakak Seperguruan), karena dia adalah murid Ayahku.”

Tetapi Cin Hai juga tidak mendesak lagi karena anak ini selalu kuatir kalau-kalau hati Ang I Niocu akan menjadi sedih. Dari pandang matanya yang amat tajam, anak yang berusia paling banyak sepuluh tahun ini dapat melihat keadaan orang dan seakan-akan ia dapat membaca isi hati gadis yang gagah perkasa itu!

Demikanlah, Cin Hai diajak merantau ke selatan sampai ke daerah Lam-hu yang panas. Ketika mereka memasuki kota Nam-tin, maka dua tahun sudah berlalu semenjak Cin Hai ikut Ang I Niocu merantau.

Anak ini sekarang tidak gundul lagi, rambutnya tumbuh dengan subur, tebal dan hitam sekali. Keningnya lebar dan tubuhnya makin tegap dan tinggi. Tadinya memang Cin Hai tidak berniat memelihara rambut, sebab setiap kali rambutnya sudah agak panjang, selalu timbul lagi kudis di kulit kepala.

Akan tetapi ketika ia hendak mencukur rambutnya, Ang I Niocu melarangnya.

“Kau bukan seorang hwesio, kenapa harus mencukur rambutmu?” tanya dara baju merah itu.

“Siapa yang tidak suka memelihara rambut yang hitam dan panjang? Aku pun tidak suka menjadi hwesio kecil, tapi apa daya, setiap kali rambutku memanjang, timbullah penyakit kudis yang gatal sekali di kepalaku!”

Dengan tertawa geli Ang I Niocu berkata, “Coba kau pelihara rambutmu baik-baik, kau cuci setiap hari sampai bersih, tentu penyakit gatal itu lenyap!”

Dan benar saja, setelah mendapat perawatan Ang I Niocu yang setiap hari menyikat kulit kepala Cin Hai dengan air panas sampai bersih, penyakit gatal itu tidak mau timbul lagi! Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali dan ia lalu memelihara rambutnya yang tumbuh subur dan hitam.

Juga Ang I Niocu mencarikan pakaian untuk Cin Hai, sebuah celana putih dan sepotong baju biru. Setelah mengenakan baju biru dan memelihara rambut, maka Cin Hai tampak cakap dan tampan sekali, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kejujuran itu membuat mukanya selalu nampak bodoh!

Ketika mereka tiba di kota Nam-tin, Cin Hai sudah berusia dua belas tahun, tetapi karena tubuhnya memang tinggi tegap, ia kelihatan seperti seorang pemuda berusia lima belas tahun lebih. Hubungannya dengan Ang I Niocu semakin mesra dan di dalam hati mereka terjalin rasa kasih murni yang putih bersih, seperti kasih sayang seorang antara ibu dan anak atau kakak beradik.

Ketika mereka berdua berjalan di depan sebuah toko obat-obatan di dalam kota Nam-tin, tiba-tiba Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu.

“Niocu lihat, itulah orangnya yang dulu dirobohkan Giok-gan Kui-bo!”

Ang I Niocu menoleh ke arah toko obat itu dan melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun sedang berdiri di dalam toko. Orang itu tampan dan berpakaian seperti seorang sasterawan.

Tiba-tiba Ang I Niocu menarik tangan Cin Hai pergi dari situ hingga Cin Hai merasa heran melihat sikap nona itu.

“Ehh, Niocu, apakah kau kenal kepadanya?” tanyanya.

“Hai-ji, tidak salahkah kau? Benar-benarkah orang yang berpakaian sasterawan tadi yang dirobohkan oleh Suci-ku?”

“Benar, benar dia. Mana aku bisa salah lihat?”

Ang I Niocu meremas-remas tangannya sendiri dan berkata perlahan, “Suci-ku memang keterlaluan! Kasihan Kang Ek Sian, tentu saja ia bukan lawan Suci...”

Melihat kegelisahan Ang I Niocu, Cin Hai maklum bahwa tentu gadis ini mengenal baik sasterawan itu dan ada sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Tetapi karena ia maklum akan kekerasan hati Ang I Niocu dan bahwa kalau tidak dikehendaki maka gadis itu tak akan menuturkan sesuatu, ia pun diam saja tidak mau bertanya.

Tiba-tiba Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berkata, “Hai-ji, aku harus pergi ke sana menemui dia!”

Tanpa menjawab Cin Hai mengangguk dan mengikuti Nona Baju Merah itu kembali ke toko obat tadi. Ternyata Kang Ek Sian sudah tidak tampak lagi di situ. Yang menjaga toko adalah seorang berpakaian pelayan.

Melihat yang datang adalah seorang gadis berpakaian merah yang cantik serta gagah, pelayan itu dengan sikap hormat bertanya maksud kedatangan mereka.

“Aku hendak bertemu dengan majikanmu,” jawab Ang I Niocu singkat.

“Apakah Nona maksudkan hendak berjumpa dengan Kang-taihiap?”

Ang I Niocu agak tercengang mendengar betapa pelayan itu menyebut ‘taihiap’ (tuan pendekar) terhadap Kang Ek Sian yang biasanya berlaku sangat sederhana serta tidak suka mengaku sebagai seorang pendekar silat. Akan tetapi karena menduga bahwa yang disebut Kang-taihiap tentu bukan lain Kang Ek ia mengangguk.

“Silakan menanti sebentar, Nona, akan saya sampaikan kepada Kang-taihiap.”

Pelayan itu masuk ke dalam dan tidak lama kemudian keluar pula sambil menjura dan memberi tahukan bahwa Kang-taihiap mempersilakan kedua tamu itu masuk ke dalam. Ang I Niocu tanpa ragu-ragu lagi lalu mengikuti pelayan itu masuk ke ruang belakang dan Cin Hai juga tidak ketinggalan ikut pula memasuki rumah yang bagian depannya dipakai sebagai toko itu.

Ternyata rumah itu besar juga dan mempunyai bagian belakang yang dua kali lebih besar dan lebar dari pada bagian depannya. Kedatangan mereka disambut oleh seorang lelaki setengah tua yang kurus dan mempunyai jenggot tipis kecil panjang dan sepasang kumis kecil panjang pula berjuntai ke bawah. Seorang anak laki-laki sebaya Cin Hai turut pula menyambut.

Laki-laki berkumis panjang itu bersikap dingin, angkuh dan menyambut kedatangan Ang I Niocu dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Juga anak laki-laki itu memandang kepada Cin Hai dengan mata mengandung ejekan sehingga baru bertemu muka satu kali saja Cin Hai telah merasa tidak senang kepada mereka ini.

Akan tetapi, dengan senyum manis di bibir Ang I Niocu segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan menjura. Tuan rumah segera membalas hormatnya.

“Maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Maksud kami hendak bertemu dengan Kang-enghiong sebentar,” kata Ang I Niocu.

“Orang she Kang adalah aku sendiri, Nona,” kata orang laki-laki berkumis panjang itu.

“Tuan salah sangka. Aku hendak bertemu dengan Saudara Kang Ek Sian,” berkata Ang I Niocu lagi.

Tuan rumah itu memandang tajam dan terutama ia memperhatikan pakaian Ang I Niocu yang berwarna merah itu dan gagang pedangnya yang tergantung pada pinggang kirinya. Kemudian tiba-tiba dia tersenyum dan pada waktu ia tersenyum, maka wajahnya berubah tampan dan hampir sama dengan wajah Kang Ek Sian.

“Oo, kau mencari Kang Ek Sian? Dia adalah adikku dan aku adalah Kang Bok Sian.”

Ang I Niocu yang tadi hanya menunduk saja kini mengangkat muka memandang. Kedua matanya tajam menyambar wajah orang itu dan ia berkata,

“Ahh, tidak tahunya aku yang bodoh berhadapan dengan Kang-taihiap!”

Mendengar pujian ini Kang Bok Sian tertawa tergelak dan ia pun berkata, “Lihiap sungguh berlaku sungkan. Apakah dikira bahwa aku tak mengenal Gunung Thai-san? Lihiap tentu Ang I Niocu yang terkenal bukan?”

Melihat sikap orang yang biar pun di mulut memuji tetapi sikap dan bibirnya menyeringai seakan-akan orang memandang rendah itu, Cin Hai merasa mendongkol.

Namun walau pun tak kurang gemasnya di dalam hatinya, Ang I Niocu tetap tersenyum ketika berkata, “Kang-taihiap, tolonglah kau panggil Saudara Kang Ek Sian, karena ada sepatah dua patah kata yang hendak kusampaikan kepadanya.”

“Ahh, mengapa terburu-buru benar, Li-hiap. Silakan duduk, silakan duduk. Kau juga, anak muda!”

Kang Bok Sian dan anak laki-laki itu lalu mendahului duduk di dekat sebuah meja yang pendek sekali. Mereka berdua tidak duduk di atas bangku karena meja itu memang amat rendah dan mereka hanya duduk bersila menghadapi meja!

“Lihiap, silakan duduk!” kata Kang Bok Sian dan anak itu segera mengambil empat buah cawan kosong dan sepoci air teh.

Namun ketika Kang Bok Sian menuang isi poci itu, ternyata bukanlah teh yang keluar tetapi arak wangi! Bau arak itu memenuhi ruangan. Dengan cepat cawan-cawan diisi arak dan Kang Bok Sian memberi Cin Hai secawan, sedangkan anak laki-laki tuan rumah itu pun mengambil secawan. Ketika hendak menyuguhkan arak kepada Ang I Niocu, Kang Bok Sian berkata,

“Ang I Lihiap, untuk menghormati kedatanganmu, silakan minum secawan arak!”

Tapi Ang I Niocu menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. “Kang Taihiap, terima kasih atas penghormatan besar ini. Tetapi sesungguhnya kedatanganku ini hanya untuk menemui Kang Ek Sian saja, bukan hendak minum arak!”

Tiba-tiba saja muka Kang Bok Sian berubah merah. “Apakah kedatanganmu ini hendak menghina lagi kepada Adikku?”

Ang I Niocu memandang heran. “Siapa yang menghina? Apa maksudmu?”

Kang Bok Sian tiba-tiba tertawa menghina. “Ah, jangan kau berpura-pura lagi. Bukankah kalau tidak kebetulan bertemu dengan Kanglam Sam-lojin, adikku Kang Ek Sian itu telah mati dalam tangan Suci-mu?”

Sekarang mengertilah Ang I Niocu mengapa sikap Kang Bok Sian memusuhinya. Ia lalu berkata perlahan,

“Harap kau tidak salah paham. Kedatanganku ini justru ingin minta maaf kepada Adikmu atas kelancangan tangan Suci-ku.”

Untuk beberapa lama kedua orang itu berpandang-pandangan lalu perlahan-lahan wajah Kang Bok Sian menjadi sabar kembali. “Baik, baik, aku percaya kepadamu. Nah, marilah minum!”

Ia sendiri menenggak habis secawan arak, lalu memandang Cin Hai. Melihat betapa Cin Hai masih saja berdiam diri tidak hendak minum araknya, ia berkata,

”He, anak muda, apakah kau tidak biasa minum arak? Atau…, apakah kau takut minum racun? Kalau kau tidak mau minum arakku, mengapa kau memasuki rumahku?”

Mendengar ini anak laki-laki yang duduk di hadapan Cin Hai tertawa perlahan, kemudian mengangkat cawan lalu mengangguk kepada Cin Hai sambil berkata, “Sobat, mari minum arakmu!”

Terpaksa Cin Hai memegang cawannya, tetapi dia tidak segera minum karena melihat bahwa Ang I Niocu juga tidak mau minum!

“Ang I Niocu, apakah benar-benar kau tak mau menerima kebaikan dan penghormatanku berupa secawan arak?” Kang Bok Sian berkata dengan suara keras.

Lalu tiba-tiba ia melontarkan cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang I Niocu itu ke atas dan aneh! Cawan itu membentur langit-langit yang terbuat dari pada papan dan menempel di situ! Sambil duduk bersila di dekat meja, Kang Bok Sian mengangkat kedua tangannya seakan-akan menjaga agar cawan itu tidak jatuh.

“Beginikah caranya menghormat tamu?” tiba-tiba Ang I Niocu berkata menyindir.

Dia mengangkat tubuhnya hingga setengah berdiri, lalu menggunakan tangan kanannya memukul ke arah cawan yang masih menempel di atas itu. Sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya dia pun berseru,

“Kang-taihiap, kau terimalah kembali arakmu!”

Pertemuan tenaga yang keluar dari tangan kanan Ang I Niocu dan kedua tangan Kang Bok Sian yang sama-sama mengerahkan tenaga lweekang ini terjadi secara diam-diam tetapi tak lama berlangsung karena tiba-tiba cawan yang berisi arak itu bagaikan dilempar dan melayang kembali ke arah Kang Bok Sian!

Tuan rumah berkumis panjang itu segera menggunakan tangan kanan menyambut, tetapi tetap saja ada beberapa tetes arak memercik ke luar membasahi lengan bajunya yang lebar! Muka orang she Kang ini menjadi merah dan kedua matanya bercahaya, tanda panas hatinya.

“Hai-ji, mari kita pergi!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang masih duduk bersila sambil memegang cawan arak di tangan kirinya tanpa meminum arak itu.

Sejak tadi ia bengong melihat pertempuran tenaga lweekang yang hebat menarik itu! Kini mendengar suara Ang I Niocu, dia segera menaruh kembali cawan araknya di atas meja dan bangkit berdiri, lalu mengikuti Nona Baju Merah itu bertindak keluar.

“Ang I Niocu, tunggu dulu! Aku sudah merasakan kelihaian tenagamu, sekarang berilah sedikit petunjuk padaku!”

Tiba-tiba terasa ada sambaran angin dan tahu-tahu tubuh tuan rumah itu telah mengejar mendekat dan dia mengulurkan tangan kanannya hendak memegang lengan Ang I Niocu. Kelihatannya seperti seorang yang hendak menahan kepergian gadis perkasa itu, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya karena jari-jari tangan Kang Bok Sian bergerak dengan Tenaga Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) yang kalau saja sampai dapat menangkap lengan tangan orang maka tentu kulit lengan itu akan hancur berikut dagingnya!

Tetapi tanpa menoleh sedikit pun, Ang I Niocu berkata, “Orang she Kang, jangan banyak tingkah!”

Tiba-tiba lengan tangannya yang hendak dicengkeram itu bergerak cepat sekali mengelit serangan itu sehingga cengkeraman Kang Bok Sian tidak mengenai sasaran. Kang Bok Sian penasaran dan meneruskan serangannya dengan gerakan Pek-ho Tok-hi (Bangau Putih Menotol Ikan), menotok ke arah lambung Ang I Niocu.

Tetapi Dara Baju Merah ini dengan tenang sekali mendahului gerakan lawan dan sekali menyentil dengan jari tangannya, tangan kanan Kang Bok Sian menjadi lumpuh dan dia meringis kesakitan. Ternyata sentilan jari tangan itu tepat sekali mengenai jalan darah di lengannya sehingga lengannya terasa lumpuh tak bertenaga. Maka selain serangannya gagal sama sekali, juga ia sendiri menderita kesakitan!

Bagaikan tidak terjadi sesuatu hal, Ang I Niocu bertindak ke luar dari toko obat itu, diikuti oleh Cin Hai yang diam-diam menengok ke belakang melihat ke arah tuan rumah yang masih meringis kesakitan dan puteranya yang berdiri bengong terheran-heran! Cin Hai tertawa geli dan cepat menyusul Ang I Niocu yang berjalan cepat meninggalkan tempat itu.

“Niocu, mengapa Kang Bok Sian itu bersikap ganjil dan seakan-akan hendak memusuhi kau?” tanyanya kepada Dara Baju Merah itu.

Ang I Niocu menghela napas panjang. “Ini semua gara-gara Suci yang terlalu gegabah. Memang telah sering kali terjadi aku dimusuhi tanpa sebab oleh orang-orang yang pernah dijatuhkan dan dibuat sakit hati oleh Suci-ku!”

Gadis itu kemudian mengajak Cin Hai meninggalkan kota Nam-tin agar urusan itu jangan sampai terulang lagi. Tetapi pada waktu mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.

“Niocu, tunggu sebentar!”

Ang I Niocu berhenti dan memutar tubuhnya. Cin Hai juga cepat berpaling. Ternyata yang datang berlari cepat itu adalah Kang Ek Sian sendiri! Wajah sastrawan ini berseri-seri dan matanya bersinar gembira.

“Ahh, Niocu. Sayang sekali kita tidak bertemu ketika kau mengunjungi rumah kami tadi,” katanya setelah saling memberi hormat.

“Tidak apa, sekarang kita kan sudah bertemu di sini,” jawab Ang I Niocu sederhana.

“Niocu, kau maafkan banyak-banyak Kakakku itu. Dia tidak tahu kelihaianmu sampai di mana, maka hendak mencoba,” Kang Ek Sian berkata dengan suara halus sehingga Cin Hai merasa suka kepada sastrawan yang bersikap sopan ini.

“Tidak apa, Kang-twako. Sebetulnya akulah yang hendak datang menyatakan penyesalan dan maafku, sebab aku mendengar bahwa kau telah dihina oleh Suci. Sebetulnya kenapa kau sampai bentrok dengan dia?”

Kang Ek Sian menghela napas. “Memang aku yang bernasib malang. Giok-gan Kuibo, suci-mu itu marah kepadaku karena aku dianggap terlalu lancang karena berani... jatuh cinta padamu! Ia menganggap aku menghinamu dan juga menghina dia, karena... orang macam aku tidak pantas dan tidak boleh mencintai seorang gadis seperti engkau. Ia lalu menantangku dan terpaksa aku melayaninya.”

Ang I Niocu menghela napas dan memandang sastrawan itu dengan rasa kasihan. “Ahh, Suci-ku memang terlalu angkuh dan sembrono.”

“Sudahlah, jangan kita bicarakan hal yang sudah lalu,” Kang Ek Sian memotong, “mari kita bicarakan hal kita sendiri. Bagaimana, Niocu, apakah sudah ada sedikit rasa kasihan dalam hatimu terhadap aku? Adakah harapan bagiku?”

Ang I Niocu menggigit bibir dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Niocu, kasihanilah aku yang menderita bertahun-tahun karena kau!”

“Siapa yang menyuruh kau menderita? Kau sendiri yang... lemah! Sudah, aku tak ingin lagi mendengar hal ini!” jawab Ang I Niocu.

“Niocu, begitu kejamkah hatimu terhadapku?”

Ang I Niocu tidak menjawab, tetapi memandang ke tempat jauh.

“Niocu, apakah hatimu terbuat dari pada batu karang?”

Akan tetapi Ang I Niocu tetap tak mau menjawab. Tiba-tiba gadis ini wajahnya pucat dan matanya dilingkungi warna merah, seakan-akan ia menahan keharuan hatinya. Kemudian ia lalu melihat Cin Hai yang memandangnya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih. Maka perlahan-lahan timbullah senyuman di sepasang bibirnya yang indah. Ia lalu memegang tangan Cin Hai dan berkata,

“Hai-ji, marilah kita pergi.”

Mereka lalu saling bergandeng tangan dan meninggalkan Kang Ek Sian.

“Niocu, begitu kejamkah kau?” terdengar suara sasterawan itu memilukan hati dan ia ikut bertindak di belakang Ang I Niocu. Ketika gadis itu tetap tidak mempedulikan dirinya dan bahkan mengajak Cin Hai berbicara gembira, Kang Ek Sia merayu-rayu dan membujuk-bujuknya sambil menyatakan perasaan hatinya yang hancur dan mencinta.

Ang I Niocu bersikap seakan-akan Kang Ek Sian tidak ada di situ dan melangkah terus. Tetapi Cin Hai tidak kuat mendengar terus. Ia tidak benci melihat sasterawan itu, bahkan ada perasaan kasihan di dalam hatinya, tetapi tidak puas melihat sikap orang.

Biar pun dia tidak tahu akan duduknya persoalan antara Ang I Niocu dan Kang Ek Sian namun dia dapat menduga bahwa dulu tentu ada pertalian yang erat antara ke dua orang ini. Hal ini mudah diduga karena dari panggilan mereka kepada masing-masing juga telah menyatakan eratnya hubungan mereka.

Ia menganggap sasterawan itu terlalu lemah, dan tak selayaknya seorang lelaki selemah itu. Karena itu sambil berjalan dia lalu menyanyikan sebuah lagu yang kuno yang pernah dibacanya dari buku.

Lima macam rupa indah membuat mata buta,
Lima macam suara merdu membuat telinga tuli,
Tetapi seorang laki-laki sejati,
memiliki keteguhan iman dan kekuatan hati,
untuk menentang godaan lima anggota tubuhnya!

Mendengar nyanyian ini, Kang Ek Sian merasa tersindir dan juga tertarik. Sejak tadi dia tidak memperhatikan anak muda yang hubungannya dengan Ang I Niocu tampak begitu erat dan mesra, karena tadinya ia menyangka bahwa anak itu adalah seorang pelayan atau seorang murid dari Dara Baju Merah itu. Tetapi kini melihat sikap dan mendengar lagu kuno yang dinyanyikan Cin Hai, ia kagum dan memandang dengan penuh perhatian.

Melihat betapa Kang Ek Sian menghentikan bujuk rayunya kepada Ang I Niocu dan kini hanya mengikuti mereka sambil memandangnya, Cin Hai maklum bahwa nyanyian tadi sudah mengenai sasaran dengan tepat, maka ia lalu mendongakkan kepala ke udara dan berkata kuat-kuat,

“Sungguh tak dapat dibenarkan sikap Cou Han yang membunuh diri hanya karena gagal dalam asmara! Padahal ia memiliki kepandaian bun dan bu (sastera dan silat) dan dapat menggunakan sisa hidupnya untuk mengabdi kepada negara dan bangsa! Tapi sayang... sayang... !” Ucapan ini adalah ucapan guru Cou Han yang menyayangkan muridnya itu membunuh diri karena gagal dalam asmara dan kisah ini adalah sebuah cerita kuno yang terkenal di masa itu.

Mendengar ini, karena sebagai sasterawan tentu saja ia mengenal baik nyanyian tadi dan cerita ini, sekali lagi Kang Ek Sian merasa betapa mukanya panas seolah-olah mendapat tamparan keras dan tiba-tiba insyaflah dia dari kelemahannya. Pantas saja Ang I Niocu menyebutnya lemah karena memang benar dia bersikap lemah sekali dan memalukan benar!

Kang Ek Sian lalu mengangkat dada dan berkata keras,

“Terima kasih, anak muda! Siapa pun adanya engkau, ternyata kau jauh lebih gagah dari padaku. Ang I Niocu, maafkan aku dan selamat berpisah!”

Kini Ang I Niocu tiba-tiba saja memutar tubuhnya menghadapi Kang Ek Sian dan berkata dengan suara agak gemetar karena terharu,

“Kang-twako, kita saling memaafkan dan selamat tinggal!”

Gadis ini lalu memegang tangan Cin Hai dan menariknya cepat-cepat sehingga Cin Hai terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat supaya jangan tertinggal di belakang.

“Hai-ji, tahukah kau bahwa baru saja kau telah menolong jiwa seorang gagah?”

“Aku kasihan padanya, Niocu,” jawab Cin Hai. “Ia seorang baik.”

Tiba-tiba Ang I Niocu menghentikan larinya dan duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Ternyata mereka telah jauh dari kota Nan-tin, karena sebentar saja mereka telah berlari dua puluh li lebih!

Memang tadi mereka telah lari cepat sekali dan hal ini tidak dirasakan oleh Cin Hai yang masih tidak sadar akan kemajuan kepandaiannya yang cepat sekali dan tak terduga-duga olehnya sendiri. Cin Hai juga ikut duduk di depan nona itu.

“Hai-ji, kau berkata benar. Memang Kang Ek Sian adalah seorang laki-laki yang gagah dan baik.”

“Kalau begitu... mengapa kau... sia-siakan cintanya?” tanya Cin Hai dengan berani.

Wajah Ang I Niocu memerah. “Ahh, anak baik, jangan kau marah. Kau tidak tolol, sama sekali tidak!” Sambil berkata begini Nona Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai yang terpaksa tertawa juga mendengar godaan ini.

“Dengarlah, Hai-ji. Kini telah tiba waktunya aku menceritakan sedikit riwayatku padamu, karena aku telah mengetahui betul watakmu yang boleh kupercaya.”

Maka dengan singkat Ang I Niocu menceritakan riwayatnya. Ternyata Gadis Baju Merah ini sebenarnya bernama Kiang Im Giok, anak tunggal dari Kiang Liat yang dahulu sangat termasyur karena kepandaian silatnya yang luar biasa tingginya.

Kiang Liat ini dijuluki Manusia Dewa Tangan Seribu dan menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Ibu Im Giok meninggal dunia ketika Im Giok masih sangat kecil, disebabkan oleh serangan penyakit panas yang hebat.

Sejak kematian isterinya, Kiang Liat menjadi berubah ingatan dan dia menjadi setengah gila! Wataknya menjadi aneh sekali dan ditakuti semua orang gagah. Akan tetapi ia tidak lupa untuk menurunkan kepandaian silatnya yang istimewa kepada puteri tunggalnya.

Im Giok mempunyai seorang kawan perempuan sekampung yang bernama Kim Lian dan karena eratnya bergaul maka Im Giok mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk menerima Kim Lian sebagai murid pula. Hal ini disetujui oleh ayahnya dan Kim Lian lalu menjadi muridnya. Gadis ini lebih tua enam tahun dari pada Im Giok, akan tetapi Im Giok lebih cerdik sehingga sejak kecil kepandaian Im Giok lebih tinggi dari pada kepandaian Kim Lian.

Setelah dewasa, Im Giok bertemu dengan seorang pemuda tampan dan berbudi halus. Pertemuan ini terjadi ketika Im Giok sedang berjalan dalam sebuah hutan dan menolong siucai atau sasterawan muda itu dari serangan para perampok, dan semenjak itu mereka berkenalan dan di dalam hati masing-masing terbit rasa cinta suci.

Tetapi ketika Kiang Liat mendengar tentang perhubungan gadisnya ini, orang tua yang setengah gila itu menjadi marah sekali. Ia mencari pemuda itu dan membunuhnya!

Tentu saja Im Giok menjadi sakit hati dan gadis yang berwatak keras ini dengan terus terang menyatakan penyesalannya kepada ayahnya, bahkan ayah dan anak ini sampai saling menyerang! Akan tetapi, di tengah-tengah pertempuran, Im Giok teringat bahwa ia tidak boleh melawan ayahnya sendiri, maka ia lalu melempar pedangnya dan memasang dadanya untuk ditusuk mati oleh ayahnya sendiri.

Pada saat itu, ayahnya berteriak keras dan muntahkan darah segar lalu roboh! Ternyata orang tua itu mendapat serangan jantung yang sangat hebat. Tidak tahunya, semenjak ditinggal mati oleh ibunya, untuk bertahun-tahun lamanya yakni sedari dia berusia empat tahun sampai tujuh belas tahun, ayahnya telah menyimpan rasa kesedihan amat hebat di dalam dadanya yang membuat ia menjadi setengah gila dan menderita sakit jantung!

Perbuatan ayahnya yang membunuh pemuda kekasih Im Giok itu ternyata berdasarkan kekhawatiran kalau-kalau anaknya, satu-satunya di dunia ini yang dicintainya semenjak isterinya meninggal, akan kawin dan meninggalkan dia seorang diri! Karena pikiran tidak waras inilah maka ia membunuh pemuda itu.

Tetapi kemudian ketika melihat betapa anak yang dicintanya itu melawannya, jantungnya terserang kekecewaan dan kesedihan demikian hebatnya sehingga ia muntah darah dan roboh! Ternyata hal ini mengantarkannya ke lubang kubur dan membuat Im Giok menjadi yatim piatu!

“Demikianlah Hai-ji, kau mengerti sekarang kenapa aku tidak dapat menerima cinta Kang Ek Sian! Rasa cinta di dalam hatiku sudah terbawa mati oleh sasterawan itu dan oleh kematian Ayah yang menjadi seperti itu keadaanya karena ia terlalu mencinta lbu sampai berlebih-lebihan. Sastrawan itu mati terbunuh karena cintanya kepadaku. Ah, cinta hanya mendatangkan kepahitan belaka.”

Cin Hai menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap Ang I Niocu makin besar. Ketika teringat akan keadaan diri sendiri yarg juga sudah sebatang kara dan yatim piatu, tak terasa pula matanya yang lebar menjadi basah.

“Niocu, nasibmu buruk sekali. Sungguh Thian tidak adil, orang sebaik kau bisa memiliki nasib seburuk itu...,” katanya sambil memandang wajah Ang I Niocu dengan mesra.

Gadis Baju Merah itu memegang tangan Cin Hai dengan terharu. “Hai-ji, kau juga baik sekali, dan nasibmu juga buruk...”

Untuk beberapa lama keduanya diam saja tak dapat berkata, hanya duduk melamun.

Tiba-tiba Cin Hai menepuk kepala dan berkata, “Aih, aih... mengapa kita menjadi begini? Ujar-ujar kuno menyatakan bahwa melamun dan bersedih hanya diperbuat oleh orang yang bodoh dan lemah. Dan kita bukanlah orang bodoh, apa lagi lemah!”

Kata-kata ini pun menyadarkan Ang I Niocu. Tiba-tiba wajah manis yang tadinya muram itu bersinar dan berseri kembali dan senyumnya segera tampak membayang menambah kecantikannya.

“Kau lagi-lagi benar, Hai-ji. Ahh, sungguh baik apa bila hafal akan semua ujar-ujar kuno seperti kau.”

“Niocu, tadi kau belum bercerita tentang diri Kang Ek Sian. Bagaimana dulu kau bisa mengenalnya?”

“Kang Ek Sian adalah anak murid dari Bu-tong-pai dan kepandaiannya sebetulnya juga tidak lemah, karena dia adalah murid Lo Beng Hosiang dari Bu-tong-pai. Empat tahun yang lalu, pada waktu orang-orang gagah mengadakan pertemuan di Puncak Thai-san, Bu-tong-pai mengutus wakil dan di sanalah kami bertemu dan berkenalan. Dia memang seorang baik dan kalau saja hatiku belum terluka oleh asmara, mungkin aku akan dapat membalas perasaan hatinya itu,”

“Niocu, kiranya sudah cukup kita berbicara tentang hal-hal yang mendatangkan kenangan tidak menggembirakan. Tempat ini sunyi dan indah, bagaimana kalau kita berlatih?”

“Baik, coba kita berlatih gerakan ke sembilan belas karena gerakanmu masih amat kaku,” jawab Ang I Niocu yang lalu menerima suling Cin Hai dan mulai meniupnya.

Cin Hai telah beberapa lama menerima latihan Ngo-lian-hwa Kiam-hoat atau Tari Pedang Lima Kembang Teratai. Ilmu pedang ini merupakan pecahan dari Sian-li Kiam-hoat yang digubah oleh Ang I Niocu sendiri untuk disesuaikan dengan pemain laki-laki. Gerakannya tetap indah bagaikan orang menari, tetapi tidak begitu membutuhkan kelemasan tubuh. Ternyata bahwa ilmu silat ini lebih mudah dipahami oleh Cin Hai dan ia mainkan pedang dengan bagus sekali.

Pada saat mereka berlatih dengan gembira, tiba-tiba datang serombongan orang lewat di jalan itu. Karena mereka sedang asyik berlatih, baik Cin Hai mau pun Ang I Niocu tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan mereka.

Rombongan itu terdiri dari sembilan orang yang berpakaian seragam. Melihat di pinggir jalan ada seorang wanita cantik sedang meniup suling dan seorang anak muda tanggung sedang menari pedang, mereka ini berhenti dan menonton.

Tiba-tiba seorang dari mereka tertawa bergelak, “Eh, ehh, sungguh lucu. Apakah mereka ini sedang membarang tarian? Tetapi mengapa di tempat sunyi tanpa ada penontonnya?”

Cin Hai menghentikan permainannya dan Ang I Niocu menunda sulingnya. Ketika Ang I Niocu menengok, ia agak heran karena dari pakaian rombongan itu ia maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seregu pasukan Sayap Garuda, yakni para pengawal istana kaisar yang terkenal lihai dan ganas!

Ang I Niocu yang sudah berpengalaman dan telah mendengar akan kekejaman pasukan Sayap Garuda, tidak mau mencari perkara dan berkata kepada Cin Hai,

“Hai-ji, mari kita pergi dari sini.”

Cin Hai memandang rombongan orang itu dengan heran dan penuh perhatian. Dia tidak tahu siapakah mereka itu, karena biar pun pakaian mereka seragam biru tetapi keadaan mereka sungguh bermacam-macam. Ada yang masih muda, ada pula yang sudah seperti kakek-kakek. Ikat kepala mereka berupa topi Boancu yang dihias dengan sayap burung garuda di atasnya.

Sebetulnya Cin Hai ingin mencari tahu tentang keadaan mereka. Tapi mendengar ajakan Ang I Niocu untuk pergi dari situ, ia tidak berani membantah dan tanpa berkata sesuatu ia mengikuti Dara Baju Merah itu.

Akan tetapi sebelum mereka pergi, tiba-tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan berusia kurang lebih empat puluh tahun telah meloncat dengan gerakan cepat sekali dan tahu-tahu sudah berada di depan Ang I Niocu sambil memalangkan kedua lengannya yang dipentang lebar-lebar. Kumis tipisnya bergerak-gerak ketika ia tersenyum-senyum dengan sikap yang menjemukan sekali.

“Ahh, Nona manis, mengapa terburu-buru hendak pergi? Bukankah kau memang hendak mempertontonkan tarian? Menarilah untuk kami, tetapi jangan suruh bujang ini menari, lebih baik kau sendiri. Kami ingin sekali melihat tarianmu!”

Ang I Niocu memandang dengan mata setengah terkatup serta pelupuk mata gemetar sedikit sehingga bulu mata yang lentik itu bergerak-gerak. Hal ini dilihat jelas oleh Cin Hai yang memperhatikannya dan anak ini maklum bahwa Ang I Niocu sedang menahan rasa marahnya.

Dulu ketika bertemu di rumah Kang Bok Sian, pernah dia melihat getaran bulu mata ini, maka ia kini dapat mengetahui perasaan Ang I Niocu. Orang ini mencari penyakit sendiri, pikirnya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)