PENDEKAR BODOH : JILID-18


“Ha-ha-ha-ha, Beng Kong Hosiang! Agaknya ketika engkau berangkat dari kelentengmu, engkau belum mencuci tubuh sehingga tertimpa kesialan! Sekarang pergilah mandi dulu!” Sambil berkata demikian ia mendesak hebat dengan dayungnya!

Ilmu pedang Ang I Niocu memang sudah hebat sekali. Apa lagi kalau yang menghadapi dia belum pernah melihat dan mengenal ilmu pedangnya, maka kehebatan itu akan jadi semakin mengerikan. Baru beberapa puluh jurus saja ia telah dapat mendesak dua orang perwira yang mengeroyok Nelayan Cengeng, dan akhirnya dengan sebuah gerakan tipu Bidadari Menyebar Bunga ia pun berhasil melukai tangan mereka hingga senjata mereka berdua terlepas dari pegangan! Kedua perwira ini berteriak kesakitan dan cepat meloncat mundur.

Dan pada saat itu pula Nelayan Cengeng juga telah berhasil menghantamkan dayungnya yang tepat mengenai paha Beng Kong Hosiang. Hwesio itu terhuyung-huyung dan sambil tertawa-tawa Nelayan Cengeng mendupak pantatnya sehingga hwesio itu menggelinding dan masuk ke dalam sungai!

“Ha-ha-ha-ha, mandilah! Mandilah biar bersih!” Nelayan Cengeng berkata sambil tertawa geli!

Lin Lin juga tidak mau tinggal diam. Pada saat melihat betapa pemuda yang tampan dan mempunyai ilmu pedang lumayan juga sedang dikeroyok oleh lima orang perwira yang berkepandaian tinggi hingga keadaannya terdesak dan berbahaya sekali, dara muda ini lalu menyerbu dengan pedang pendeknya yang lihai berputar-putar di tangannya!

Tadinya memang Lin Lin sudah memiliki ilmu pedang yang baik, maka ditambah dengan petunjuk dari Ang I Niocu yang diberikan kepadanya, sekarang kepandaiannya telah maju pesat dan gerakan pedang pendeknya semakin lihai dan dahsyat. Sebentar saja ia telah merobohkan seorang pengeroyok.

Sebaliknya, ketika melihat seorang gadis manis menyerbu untuk membantunya, Ma Hoa menjadi girang sekali dan sekarang timbul semangatnya. Gadis yang berpakaian sebagai laki-laki ini lalu membentak nyaring sedangkan pedangnya membuat gerakan kilat hingga kembali seorang perwira kena dirobohkan!

“Adikku yang manis! Terima kasih atas bantuanmu!” Ma Hoa berseru dan mengerling ke arah Lin Lin sambil memutar pedangnya menyerang terus.

Mendengar ini, Lin Lin merasa kaget dan marah karena ia menganggap bahwa ‘pemuda’ ini sungguh kurang ajar sehingga mukanya berubah merah karena malu dan marah.

Sementara itu, ketika melihat datangnya dua orang gadis kosen ini dan melihat betapa Beng Kong Hosiang telah dikalahkan bahkan dilemparkan ke dalam sungai, para perwira menjadi takut dan jeri. Mereka lantas membalikkan tubuh dan melarikan diri secepatnya, mengejar Beng Kong Hosiang yang melarikan diri terlebih dulu!

Nelayan Cengeng tertawa terkekeh-kekeh dan membiarkan semua perwira itu lari, malah yang terluka lalu merangkak-rangkak dan pergi tanpa diganggu sedikit pun.

“Ha-ha-ha, Beng Kong Hosiang! Baru sekarang kau tahu lihainya dayung butut Nelayan Cengeng!” nelayan tua itu berseru keras dengan tertawa geli sampai sepasang matanya mengeluarkan air mata.

Mendengar nama ini, Ang I Niocu terkejut sekali dan ia buru-buru memberi hormat. “Ah, tidak tahunya Cianpwe adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng! Terimalah hormat dari aku yang muda!”

Kembali Nelayan Cengeng tertawa senang. “Bagus, bagus! Ang I Niocu, namamu bukan kosong belaka. Ilmu pedangmu sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali!”

Sementara itu, melihat betapa Lin Lin memandangnya dengan mata tajam serta mulut cemberut, Ma Hoa tertawa dan berkata kepadanya, “Adik yang manis, ilmu pedangmu pun hebat sekali! Siapakah namamu?”

Kini Lin Lin tak dapat menahan marahnya lagi karena ia menganggap pemuda ini terlalu kurang ajar! Ia belum pernah mendengar nama Nelayan Cengeng maka ia tidak berapa menaruh perhatian pada kakek itu, dan sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Ma Hoa, ia berkata,

“Kau janganlah membuka mulut sembarangan dan berlaku kurang ajar! Kau kira aku ini siapakah maka kau berani bertanya sembarangan saja?”

Lin Lin menjadi semakin terheran dan marah pada saat melihat ‘pemuda’ itu tidak marah, bahkan tertawa bergelak dan nyaring. Akan tetapi anehnya, ketika tertawa ‘pemuda’ ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menutupi mulutnya, sedangkan suaranya juga nyaring dan merdu seperti suara ketawa seorang wanita!

Selagi ia berdiri memandang dengan mata heran tercampur marah, tiba-tiba saja Nelayan Cengeng juga tertawa dan berkata,

“Nona, dia ini adalah muridku dan bernama Ma Hoa! Memang seorang pemuda ceriwis yang layak dipukul! Ha-ha-ha!”

“Suhu, jangan membikin Nona ini menjadi semakin marah! Lihat, mukanya sudah menjadi merah dan mulutnya cemberut menambah manisnya!” kata Ma Hoa.

Lin Lin menjadi gemas sekali, akan tetapi sebelum ia menggerakkan tangan yang hendak menampar mulut ‘pemuda’ itu, sambil tersenyum mendadak Ang I Niocu yang bermata tajam berkata kepadanya,

“Adik Lin Lin, mengapa kau begitu bodoh? Pemuda ini adalah seorang wanita! Apakah kau tak dapat menduganya?”

Lin Lin terkejut dan memandang dengan tajam. sedangkan Ma Hoa segera melepaskan kopiahnya sehingga rambutnya yang hitam dan panjang itu terurai ke bawah menutupi pundaknya. Kini ‘pemuda’ itu berubah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan yang sedang tertawa manis padanya. Lin Lin juga tertawa dan mukanya menjadi makin merah karena malu akan kebodohannya sendiri. Ma Hoa menghampiri dan memeluk pundak Lin Lin.

“Adikku yang manis, maafkanlah aku yang menggodamu. Entah mengapa, melihat kau semanis ini, aku menjadi suka sekali! Siapakah namamu, Adik yang manis?” tanyanya.

“Enci, kau benar-benar nakal sekali! Siapa yang mengira engkau bukan seorang pemuda asli? Namaku adalah Kwee Lin.”

Sepasang mata Ma Hoa yang jeli itu bersinar mendengar ini. “Apa? Engkau she Kwee? Ehh, Adik, kenalkah engkau kepada seorang pemuda yang bernama... Kwee An?”

Lin Lin menangkap tangan Ma Hoa dan memegang tangan itu erat-erat. “Enci Hoa, apa engkau telah bertemu dia? Dia adalah kakakku dan sekarang aku sedang mencari dia!”

“Ha-ha-ha!” Si Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Ini namanya kebetulan sekali. Nona Kwee Lin, kau tadi tidak membantu orang lain oleh karena yang kau bantu itu merupakan calon Soso-mu (Kakak iparmu) sendiri!”

Lin Lin tercengang dan cepat-cepat memandang kepada wajah Ma Hoa yang menunduk kemalu-maluan. “Betulkah ini, Enci Hoa?”

Ma Hoa tidak dapat menjawab, hanya tertunduk sambil memegang-megang pedang yang tergantung di pinggangnya. Tiba-tiba Lin Lin mengenali pedang Kwee An dan dia segera memeluk Ma Hoa dengan girang sekali.

“Ahh, benar engkau telah menerima pedang Engko An! Ah, aku girang sekali! Ehh, calon enso-ku yang baik, sekarang beri tahukanlah kepadaku, di mana adanya calon suamimu itu?”

Ma Hoa mengerling sambil cemberut. “Kau nakal sekali, Adik Lin! Kalau kau tidak mau berhenti menggodaku aku takkan mau memberitahukan di mana dia sekarang berada!”

Sementara itu, Ang I Niocu juga merasa girang sekali mendengar bahwa benar-benar Cin Hai dan Kwee An pernah berada di sini dan bahkan Kwee An telah mengikat perjodohan dengan gadis murid Nelayan Cengeng yang cantik dan gagah itu.

Nelayan Cengeng segera menuturkan kepada Ang I Niocu dan Lin Lin akan pengalaman mereka dan pertemuan mereka dengan Cin Hai dan Kwee An beberapa waktu yang lalu. Mereka memberitahukan bahwa dua anak muda itu telah melanjutkan perjalanan mereka ke utara dalam usaha mereka mencari dan mengejar Hai Kong Hosiang.

Dalam kegembiraan mereka karena pertemuan ini, baik Nelayan Cengeng dan muridnya, mau pun Ang I Niocu dan Lin Lin sudah kurang hati-hati dan mereka tidak tahu bahwa di pinggir sungai masih ada seorang perwira yang tadi terpelanting ke dalam sungai dan kini sedang bersembunyi di dalam air sambil mengeluarkan kepala dari permukaan air yang disembunyikan di bawah rumput alang-alang. Perwira ini mendengar semua percakapan mereka dan alangkah kaget, heran dan marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa ‘pemuda’ itu adalah Ma Hoa, puteri dari perwira Ma Keng In yang ia kenal baik!

Ang I Niocu dan Lin Lin tidak menunda perjalanan mereka dan segera berpamit untuk melanjutkan penyusulan mereka kepada kedua pemuda kita. Sebetulnya di dalam hatinya Ma Hoa hendak ikut, akan tetapi dia malu untuk menyatakan hal ini dan pula dia khawatir kalau-kalau dia dikenali oleh para perwira sehingga kedudukan ayahnya sebagai seorang perwira akan terancam. Maka terpaksa mereka melepaskan kedua orang gadis pendekar itu pergi dengan hati berat.

Setelah semua orang pergi dari situ, perwira yang bersembunyi itu lalu merangkak keluar dan segera lari menuju kembali ke kota raja untuk membuat laporan. Beng Kong Hosiang yang merasa malu dan marah sekali karena kekalahannya, lalu mengumpulkan sejumlah besar perwira dan segera mengejar terus ke utara!

Pertemuan dengan Nelayan Cengeng dan Ma Hoa itu membuat Ang I Niocu dan Lin Lin merasa girang sekali, oleh karena tidak saja mereka girang mendengar bahwa Kwee An telah mendapat jodoh seorang gadis yang cantik dan gagah, juga mereka kini telah dapat mengikuti jejak dua pemuda itu dan mendapat kesempatan untuk ikut membalas dendam kepada Hai Kong Hosiang!

Dua hari kemudian, ketika dua orang gadis pendekar ini sedang berjalan di tempat yang sunyi, dari depan mereka melihat dua orang berjalan cepat mendatangi. Gerakan kedua orang dari depan itu demikian cepatnya sehingga Ang I Niocu dan Lin Lin maklum bahwa mereka tentulah orang-orang berkepandaian tinggi. Dan sesudah dekat ternyata bahwa kedua orang itu adalah Boan Sip, perwira musuh besar keluarga Kwee dan seorang tua yang kelihatan pucat dan berjubah hitam, dengan sepasang matanya mengeluarkan sinar kejam.

Ternyata bahwa Boan Sip adalah seorang perwira yang di samping cerdik, juga berwatak pengecut sekali. Saat ia mendengar bahwa semua teman-temannya telah tewas di dalam tangan anak-anak muda yang membalaskan dendam keluarga Kwee, dia lalu cepat-cepat pergi mengunjungi suhu-nya, yaitu Bo Lang Hwesio. Dengan amat pandai Boan Sip dapat membujuk suhu-nya untuk membela dirinya dari ancaman musuh-musuhnya.

Dan kebetulan sekali, ketika mereka sedang berjalan menuju ke kota raja, di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu dan Lin Lin. Ketika melihat Lin Lin, tentu saja Boan Sip menjadi girang sekali dan sebaliknya Lin Lin juga girang oleh karena tidak disangka-sangkanya dia dapat bertemu dengan musuh besarnya di tempat itu.

“Bangsat rendah, akhirnya dapat juga aku membalas dendamku!” teriak Lin Lin sambil mencabut keluar pedangnya dan melompat lalu menyerang Boan Sip dengan sengitnya.

Boan Sip tertawa besar, lantas menggunakan pedangnya menangkis sehingga sebentar saja mereka sudah bertempur dengan seru dan hebat.

Sementara itu, karena menyangka bahwa hwesio ini bukan lain tentulah kawan Boan Sip, Ang I Niocu segera mencabut pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, Dara Baju Merah ini terkejut sekali ketika pedangnya dengan mudah ditangkis oleh ujung lengan baju hwesio itu! Dia berlaku hati-hati sekali oleh karena maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi.

Sebaliknya, melihat gerakan pedang Ang I Niocu yang lain dari pada pedang biasa, Bo Lang Hwesio juga merasa kagum dan membentak,

“Nona yang gagah, siapakah namamu?”

Akan tetapi, Ang I Niocu mana sudi memberi tahukan namanya? Dan sambil menyerang terus dia pun berseru, “Hwesio jahat tak usah menanya nama! Awaslah pedangku akan menyambar lehermu!”

Boan Sip yang mendengar ini lalu berkata kepada suhu-nya, “Suhu, Nona Baju Merah itu adalah Ang I Niocu yang sombong!”

Bo Lang Hwesio pernah mendengar nama besar Ang I Niocu, maka sambil tertawa dia berkata, “Bagus! Ang I Niocu, pinceng Bo Lang Hwesio memang sudah lama mendengar nama besarmu. Nah, kau perlihatkanlah kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana tingginya!”

Sehabis berkata demikian, Bo Lang Hwesio lalu menghadapi Ang I Niocu dengan tangan kosong.

Akan tetapi setelah berkelahi dua puluh jurus lebih, diam-diam Ang I Niocu terkejut dan mengeluh. Ternyata kepandaian hwesio jubah hitam ini benar-benar tinggi dan setingkat lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Ang I Niocu menggigit bibir, kemudian memutar pedangnya secepatnya untuk menghadapi hwesio yang amat tangguh ini.

Sebaliknya, biar pun telah mendapat petunjuk dari Ang I Niocu dan kepandaiannya sudah banyak maju, namun Lin Lin masih belum dapat mengatasi kepandaian Boan Sip yang kosen. Makin lama, pedang Boan Sip semakin rapat mengurung dirinya sehingga Lin Lin menjadi bingung dan terdesak sekali keadaannya!

Ketika ia mengerling Ang I Niocu, ia menjadi semakin gugup oleh karena melihat betapa Ang I Niocu juga sangat didesak oleh hwesio itu. Karena bingung dan gugup, gerakannya menjadi lambat dan tiba-tiba sebuah tendangan Boan Sip mengenai pergelangan tangan kanannya membuat pedang pendeknya terlempar ke atas dan disambut cepat oleh Boan Sip yang tertawa bergelak-gelak.

Perwira muda itu lalu menyerang terus dan memutar-mutar pedangnya sehingga Lin Lin terpaksa harus mengelak sambil berloncatan ke sana ke mari menghindarkan diri dari tusukan pedang lawan! Dia tidak berdaya oleh karena pedangnya telah terampas lawan dan pada saat ia sudah amat terdesak, tiba-tiba ia kena ditotok pundaknya oleh Boan Sip sehingga roboh terguling dengan tubuh lemas tak berdaya!

Boan Sip tertawa lagi. “Ha-ha-ha! Hanya sebegini saja kepandaianmu dan kau mencari aku untuk membalas dendam? Nah, terimalah hadiahku ini!”

Dia mengangkat pedangnya ke atas. Akan tetapi ketika dia memandang wajah Lin Lin, perasaan cintanya yang dulu timbul kembali dan hatinya tidak tega. Dia lalu membungkuk dan menyambar tubuh Lin Lin yang terus dikempit dan dibawa lari!

“Bangsat hina dina, lepaskan adikku!” Ang I Niocu meloncat hendak mengejar.

Akan tetapi Bo Lang Hwesio mencegahnya dengan serangan berbahaya sehingga Ang I Niocu terpaksa melayani hwesio kosen ini lagi! Hati Dara Baju Merah ini tidak karuan rasanya dan permainan pedangnya menjadi kalut.

Setelah mendesak Ang I Niocu dengan hebatnya akan tetapi ternyata pertahanan pedang Gadis Baju Merah itu pun amat kuat hingga setelah bertempur lama belum juga dia dapat merobohkan gadis itu, tiba-tiba Bo Lang Hwesio meloncat pergi sambil berkata,

“Cukup, Ang I Niocu, sudah cukup kita bermain-main. Lain waktu kita boleh bertemu lagi!”

Ang I Niocu hendak mengejar. Akan tetapi gerakan hwesio yang gesit itu dan juga oleh karena merasa bahwa kepandaiannya kalah tinggi, membuat Ang I Niocu mengurungkan maksudnya mengejar. Apa gunanya mengejar kalau ia tidak dapat menangkan hwesio ini dan juga tidak dapat mengejar Boan Sip yang menculik pergi Lin Lin? Yang perlu adalah menolong Lin Lin, maka ia segera mengendurkan larinya dan bermaksud untuk mengikuti hwesio itu secara diam-diam agar mengetahui ke mana mereka membawa Lin Lin.

Akan tetapi ternyata bahwa waktu yang lama tadi sudah memberi kesempatan kepada Boan Sip lari jauh sekali! Dan juga Bo Lang Hwesio yang cerdik tidak mau diikuti olehnya sehingga hwesio itu lari secepatnya menyusul muridnya.

Ang I Niocu kehilangan jejak mereka, maka Gadis Baju Merah ini dengan hati sedih dan marah lalu berkeliaran di sekitar daerah itu mencari-cari jejak Boan Sip. Akan tetapi, oleh karena ia masih asing dengan daerah utara, maka usahanya ini sia-sia belaka, bahkan ia kemudian tersesat jalan dan tanpa disengaja, akhirnya dia bertemu dengan rombongan Pangeran Vayami dan kemudian dengan tipu dayanya menarik hati pangeran yang mata keranjang itu, dia berhasil menolong serta membawa lari Cin Hai yang keadaannya telah menjadi seperti boneka hidup itu.

Dapat dibayangkan betapa bingung dan sedihnya hati Ang I Niocu. Memikirkan keadaan Lin Lin yang terculik oleh Boan Sip, perwira jahat itu saja, hatinya sudah menjadi bingung dan sedih sekali. Apa lagi sekarang dia bertemu dengan Cin Hai dalam keadaan seperti itu, maka hatinya menjadi makin bingung dan sedih.

Cin Hai, satu-satunya orang yang dikasihinya, satu-satunya orang yang dapat diharapkan tenaga bantuan untuk mencari Lin Lin dan membasmi musuh besar keluarga Kwee, telah hilang ingatan menjadi orang tolol yang setolol-tololnya. Celaka betul!

Sambil melarikan kudanya keras-keras, kepala Ang I Niocu berputar-putar dan ia merasa jengkel bukan main mendengar betapa yang diingat oleh Cin Hai hanyalah bahwa nama pemuda itu adalah ‘Pendekar Bodoh’!

Ketika angin malam yang sejuk meniup mukanya dan muka Cin Hai yang duduk tepat di belakangnya, pemuda itu tertawa senang dan berkata, “Angin sejuk! Angin enak!”

Mendengar ini, Ang I Niocu menahan dan menghentikan kudanya, lalu melompat turun. Juga Cin Hai meniru perbuatannya dan melompat turun.

“Hawa sejuk, angin dingin! Sungguh nyaman!” kata Cin Hai.

Mendengar seruan dan melihat kegembiraan ini, timbul harapan Ang I Niocu. Dia segera memegang tangan Cin Hai dan berkata,

“Hai-ji! Ingatkah kau sekarang? Tahukah kau siapa aku?”

“Kau adalah sahabat baik, dan aku... aku Pendekar Bodoh!”

“Bukan bodoh, tetapi tolol! Tolol sekali!” Ang I Niocu membentak.

Tiba-tiba saja gadis itu menjatuhkan dirinya dan duduk di atas sebuah batu hitam sambil menangis. Hatinya sedih dan bingung, dan baru kali ini selama hidupnya ia merasa amat sengsara. Ia sedih dan bingung memikirkan nasib Lin Lin dan ia gemas melihat Cin Hai yang hanya tolal-tolol seperti boneka itu. Apakah yang harus dia perbuat?

“Sahabatku? Mengapa engkau menangis? Apakah engkau lapar?” tanya Cin Hai dengan penuh perhatian.

Agaknya dalam ingatannya yang kosong ini, Cin Hai teringat ketika dia masih kecil dan ketika dia merantau dan menderita kelaparan. Maka melihat orang menangis, otomatis ia teringat akan sengsaranya orang yang menderita kelaparan!

Ang I Niocu menjadi mendongkol dan gemas sekali. Ia menjadi makin bingung ketika ia teringat kepada Kwee An. Di manakah adanya pemuda itu? Hatinya terpukul dan dengan penuh kekhawatiran ia menduga bahwa tidak salah lagi Kwee An tentu telah mengalami kecelakaan. Pemuda itu tadinya bersama Cin Hai, ada pun Cin Hai tertawan oleh musuh dan keadaannya begini macam, tentu sekali keadaan Kwee An juga tak dapat diharapkan selamat.

“Hai-ji... Hai-ji, kau cobalah untuk mengingat-ingat! Di mana adanya Kwee An? Putarlah otakmu dan gunakan ingatanmu!” katanya gemas.

“Kwee An? Siapakah dia? Aku tak kenal, tidak tahu... aku tidak tahu apa-apa!”

Ang I Niocu menghela napas, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya. Dia pikir dalam keadaan seperti ini ia harus menggunakan ketenangan dan mencari akal. Jika ia bingung dan sedih, hal ini takkan menolong bahkan akan semakin mengacaukan urusan. Ia harus terlebih dahulu mencarikan obat untuk memulihkan ingatan Cin Hai yang telah lupa akan segala apa ini.

Demikianlah dengan penuh kesabaran Ang I Niocu mengajak Cin Hai untuk melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Boan Sip dan gurunya yang melarikan Lin Lin. Setiap saat, tiada bosannya Ang I Niocu mengajak Cin Hai bercakap-cakap tentang hal-hal dulu untuk mengembalikan ingatan pemuda itu.

Akan tetapi pengaruh madu merah memang mukjijat sekali. Meski pun Cin Hai merasa senang sekali mendengar penuturan Ang I Niocu dan setiap kali gadis itu bercerita, dia selalu memandang wajahnya dengan mata berseri, akan tetapi, sama sekali pemuda itu tidak dapat mengingat hal yang terjadi pada masa lalu!

Sampai tiga hari mereka berkeliaran di daerah utara tanpa berhasil mendapat jejak Boan Sip penculik Lin Lin sehingga makin hari semakin gelisahlah hati Ang I Niocu. Dalam tiga hari ini, Gadis Baju Merah itu menjadi kurus dan pucat sekali!

Pada malam ke tiga, di waktu bulan bersinar penuh dan sebulatnya sehingga malam itu sangat indah dan romantis sekali, Ang I Niocu sambil menuntun kuda culikannya berjalan dengan perlahan. Cin Hai berjalan di sebelahnya namun keduanya tidak bercakap-cakap, melamun dalam pikiran masing-masing. Pada waktu mereka melalui daerah yang banyak terdapat batu-batu karang besar berwarna hitam sehingga nampaknya menyeramkan di bawah sinar bulan itu, tiba-tiba saja Ang I Niocu mendengar suara tertawa yang aneh dan menyeramkan dari tempat jauh!

“Bahkan setan dan iblis juga turut menggodaku!” gadis itu menggerutu dengan marah, karena siapakah orangnya yang akan tertawa seperti itu di tengah-tengah padang yang luas dan sunyi ini kecuali setan dan iblis?

“Bukan setan dan iblis, itu suara orang ketawa,” mendadak Cin Hai berkata, oleh karena biar pun telah kehilangan ingatannya, namun kepandaian dan ketajaman telinga Cin Hai tak menjadi berkurang karenanya.

Apa bila telinga Ang I Niocu tidak dapat menangkap suara ketawa itu dengan jelas oleh karena suara itu diliputi gema yang keras, adalah Cin Hai mampu menangkap suara itu dengan jelas dan tahu bahwa yang tertawa itu adalah manusia biasa, akan tetapi yang menggunakan tenaga khikang di dalam suara ketawanya sehingga terdengar dari tempat jauh dan amat menyeramkan.

Bagaikan tertarik oleh tenaga gaib, Cin Hai lalu menujukan tindakan kakinya ke arah suara ketawa tadi dan Ang I Niocu juga berjalan mengikuti pemuda itu. Setelah melewati beberapa gunduk batu karang, akhirnya mereka tiba di tempat terbuka di mana tanahnya rata dan luas merupakan sebuah tempat terbuka yang kering dan berumput serta terang karena mendapat sinar bulan dengan sepenuhnya.

Dan ketika mereka keluar dari belakang sebuah gunung karang, Cin Hai berdiri diam dan Ang I Niocu juga berhenti bertindak dan berdiri di belakang pemuda itu dengan hati terasa ngeri dan seram ketika melihat pemandangan yang dilihatnya di tempat itu.

Di tempat terbuka itu, di atas tanah, nampak dua tumpuk tengkorak-tengkorak manusia merupakan gundukan tinggi seperti batu-batu bundar dan putih, dan tumpukan tengkorak itu terpisah kira-kira dua tombak jauhnya. Di atas setiap tumpukan tengkorak terlihat dua orang dalam keadaan aneh, yang seorang berjongkok sambil meluruskan kedua tangan ke depan, sedang yang seorang lagi berdiri di atas puncak gundukan itu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas!

Dua orang ini saling berhadapan dan saling menggerak-gerakkan kedua tangan mereka seakan-akan sedang melakukan pukulan-pukulan dan nampaknya menyeramkan sekali. Apa lagi ketika Ang I Niocu melihat orang yang berjongkok itu, diam-diam ia bergidik oleh karena orang itu dapat disebut seorang rangka hidup!

Muka itu tua dan kurus sekali, mukanya tak berdaging sedikit pun juga hingga merupakan tengkorak terbungkus kulit. Rambutnya yang hanya tersisa sedikit di atas kepala itu diikat dengan sehelai kain dan pakaiannya seperti pakaian pendeta.

Orang kedua yang berdiri dengan kepala di bawah di atas tumpukan tengkorak itu adalah seorang hwesio tinggi besar dengan muka sangat menyeramkan dan ketika Ang I Niocu memandang dengan penuh perhatian, ternyata bahwa hwesio ini bukan lain adalah Hai Kong Hosiang!

Berdebarlah hati Ang I Niocu melihat hwesio kosen ini, akan tetapi oleh karena di situ ada Cin Hai, ia tidak takut sama sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan kakek tua renta yang bagaikan rangka itu menguji tenaga khikang secara aneh dan menyeramkan sekali.

Harus diketahui bahwa tumpukan tengkorak itu licin dan mudah sekali runtuh, maka baru berdiri di puncak tumpukan saja membutuhkan kepandaian ginkang yang amat tinggi, apa lagi kalau harus mengerahkan tenaga untuk mengadu khikang! Lebih-lebih jika berdirinya dengan kepala di bawah dan kaki di atas seperti yang dilakukan oleh Hai Kong Hosiang, maka diam-diam Ang I Niocu merasa kagum dan ngeri melihat kemajuan dan kehebatan Hai Kong Hosiang.

Pada saat itu, biar pun Hai Kong Hosiang telah mengerahkan tenaga di kedua tangannya mendorong dan memukul ke depan, akan tetapi kakek tua renta yang berjongkok pada puncak tumpukan tengkorak ke dua itu tak bergerak sedikit pun juga. Sedangkan ketika kakek tua renta itu mengayun kedua tangannya, biar pun hanya dengan gerakan pelan saja, tetapi tubuh Hai Kong Hosiang telah bergerak-gerak dan terayun-ayun seakan-akan didorong-dorong dan hendak roboh! Dari sini dapat diduga bahwa tenaga khikang kakek itu lebih tinggi dari pada tenaga Hai Kong Hosiang!

Ketika Hai Kong Hosiang yang berdiri jungkir balik itu melihat kedatangan Cin Hai dan Ang I Niocu, hwesio ini lalu berseru keras,

“Hai, bagus sekali kalian datang mengantar kematian!” Dan ia lalu memberi tanda dengan kedua tangannya yang menggerak-gerakkan jari-jari tangan ke arah kakek tua renta itu.

Kakek ini lalu memutar tubuhnya menghadapi Ang I Niocu dan Cin Hai dengan gerakan ringan sekali dan dari atas tumpukkan tengkorak itu ia mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke arah Cin Hai dan Ang I Niocu!

Sungguh hebat tenaga pukulan kakek itu yang dilancarkan dari tempat jauh. Ang I Niocu merasa betapa angin tenaga raksasa mendorongnya dan cepat-cepat gadis ini meloncat ke samping agar jangan sampai terluka oleh tenaga pukulan maut ini.

Sebaliknya, Cin Hai yang dapat juga merasakan datangnya tenaga hebat ini, cepat-cepat menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga khikang-nya! Dua tenaga raksasa bertemu dari dorongan dua orang ini dan Cin Hai lalu terhuyung mundur sampai empat langkah! Sedangkan kakek itu kedudukannya menjadi miring, tanda bahwa ia pun kena dorong oleh tenaga Cin Hai yang tidak lemah!

Ang I Niocu terkejut karena maklum bahwa adu tenaga ini menyatakan bahwa kakek tua renta ini masih lebih kuat dan lebih lihai dari pada Cin Hai. Hal ini belum seberapa, akan tetapi kenyataan bahwa kakek ini mentaati permintaan Hai Kong Hosiang yang dilakukan dengan gerak tangan menandakan bahwa kakek ini berdiri di pihak Hai Kong Hosiang! Hal ini berbahaya sekali oleh karena dapat diduga betapa tingginya kepandaian kakek itu!

Akan tetapi pada saat itu, kakek tua renta dan Hai Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras sekali. Kemudian keduanya cepat bergerak dan meloncat turun dari tumpukan tengkorak bagaikan orang ketakutan!

Pada waktu Ang I Niocu memperhatikan, ia pun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia menjerit. Ternyata bahwa di antara sekian banyaknya tengkorak yang ditumpuk, yaitu di tengah-tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki Hai Kong Hosiang tadi, terdapat sebuah kepala yang bukan tengkorak, oleh karena kepala ini mempunyai sepasang mata yang dapat melirik ke sana ke mari dan masih berambut sungguh pun rambutnya telah putih semua! Sedangkan di tengah-tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki kakek tua renta tadi pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan.

Akan tetapi, tiba-tiba rasa ngeri dan takut di dalam hati Ang I Niocu berubah menjadi rasa gembira oleh karena dia segera dapat mengenali suara ketawa terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek gurunya yang luar biasa itu, entah dengan cara bagaimana sudah bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak yang diinjak oleh kakek tua renta itu.

Memang benar, ketika tiba-tiba di dalam tumpukan terjadi gerakan yang membuat semua tengkorak menggelinding ke sana ke mari, muncullah Bu Pun Su dari tumpukan itu sambil berseri mukanya dan mulutnya tertawa geli. Dengan gerakan sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat tumpukan yang satu lagi menjadi runtuh dan dari dalam tumpukan itu lalu muncullah seorang suku bangsa Jungar yang sudah tua sekali dan yang sama sekali tak dikenal oleh Ang I Niocu. Ternyata orang tua bangsa Mongol ini adalah dukun atau ahli pengobatan yang ikut dalam rombongan Pangeran Vayami dan yang telah diculik oleh Bu Pun Su dan dibawa ke situ serta dipaksa masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak.

Hai Kong Hosiang menjadi pucat luar biasa ketika melihat Bu Pun Su. Ia maklum akan kelihaian kakek jembel ini, akan tetapi oleh karena ia ditemani oleh kakek tua renta yang bukan lain adalah supek-nya (uwa gurunya) yang bernama Kam Ki Sianjin, orang yang sudah tua usianya sehingga telah gagu tidak dapat bicara pula, maka Hai Kong Hosiang berbesar hati dan mengandalkan tenaga supek-nya ini untuk melawan Bu Pun Su.

“Supek, inilah Bu Pun Su si manusia jahil yang telah berkali-kali menggangu teecu!” Hai Kong Hosiang berkata sambil menuding ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri sambil tertawa.

Kam Ki Sianjin masih dapat menggunakan kedua telinganya untuk mendengar, bahkan ia memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, akan tetapi lidahnya sudah membeku dan dia tak dapat berbicara lagi. Maka dia lalu menatap wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke arah Bu Pun Su dengan tangan kiri dan arah diri sendiri dengan tangan kanan, kemudian mengangkat kedua tangan itu ke atas kepala dengan jari-jari ke atas dan sama tingginya. Dia hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu karena tingkat kepandaian mereka sama tingginya.

Bu Pun Su tertawa lagi dengan hati geli, kemudian ia pun menepuk tangan, menuding ke arah tengkorak-tengkorak yang bergelimpangan di bawah dan ke arah Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua tangannya ke bawah, sama rendahnya. Ia hendak menyatakan kalau Kam Ki Sianjin memiliki tingkat yang sama rendahnya dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan semata-mata penghinaan yang tak berdasar oleh karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek tua renta itu berjuluk Si Tengkorak Hidup.

Kam Ki Sianjin menjadi marah sekali dan segera melompat maju menyerang Bu Pun Su. Gerakannya cepat bagaikan menyambarnya kilat hingga Ang I Niocu terkejut sekali oleh karena belum pernah dia menyaksikan ginkang demikian tingginya, lalu menepuk pundak Cin Hai yang memandang semua itu dengan bengong tapi nyata kelihatan tertarik sekali. Ketika ia menengok ke arah Ang I Niocu yang menepuk pundaknya, Ang I Niocu berkata,

“Hai-ji, hwesio tinggi besar itu adalah Hai Kong Hosiang dan dia adalah musuh besarmu. Hayo kita serang dia!”

“Aku tidak punya musuh. Apakah engkau bermusuhan dengan dia?” tanya Cin Hai.

Ang I Niocu menjadi gemas dan ia berkata keras, “Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang dia!”

“Baik! Kalau dia musuhmu, aku akan menyerang dia!” Dia lalu melompat dan menyerang Hai Kong Hosiang yang melayaninya sambil memaki-maki.

“Ang I Niocu! Perempuan rendah, perempuan curang!”

“Bangsat gundul, hari ini kau harus mampus!” Ang I Niocu berseru marah dan mencabut pedangnya, terus membantu Cin Hai mengeroyok hwesio itu.

Demikianlah, disaksikan oleh puluhan tengkorak yang bergelimpangan di atas tanah dan oleh dukun tua berbangsa Mongol yang berdiri tak bergerak bagaikan hantu malam, di tempat yang mengerikan itu terjadi perkelahian hebat sekali. Yang paling hebat adalah perkelahian yang terjadi antara Bu Pun Su dengan Kam Ki Sianjin, oleh karena di tempat mereka bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama sekali, yang ada hanyalah dua sosok bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan dua iblis sedang bertempur.

Tak terdengar suara tangan atau pun kaki mereka, akan tetapi di sekitar tempat mereka bertempur itu angin bertiup sangat keras hingga membuat tengkorak-tengkorak yang tadi menggelinding dekat, kini menggelinding lagi menjauhi seakan-akan tengkorak itu takut dan ngeri menyaksikan pertandingan yang dahsyat itu dari dekat!

Sementara itu, dikeroyok dua oleh Cin Hai dan Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang merasa sibuk sekali. Baru menghadapi salah seorang di antara mereka saja, terutama Cin Hai, ia tak akan dapat menang, apa lagi sekarang dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, bahkan ia telah memainkan tongkat ularnya dengan ganas, akan tetapi tetap saja terdesak hebat oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan tangan Cin Hai!

Sebetulnya, selama beberapa hari ini kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama lweekang dan khikang-nya, sudah naik dan maju pesat sekali oleh karena dia memperoleh latihan lweekang dengan berjungkir balik dari supek-nya, yaitu Kam Ki Sianjin! Akan tetapi oleh karena latihannya belum masak benar, maka kini menghadapi kedua orang muda yang tangguh itu, dia tak berdaya dan terdesak hebat. Keringat dingin mengucur dari jidatnya dan setiap saat jiwanya terancam bahaya maut.

Tiba-tiba saja terdengar suara Bu Pun Su tertawa bergelak dan dari tempat ia bertempur, nampak bayangan Kam Ki Sianjin melesat keluar dari kalangan pertempuran. Kakek tua renta ini langsung menyambar ke arah Hai Kong Hosiang dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan gerakan cepat sekali!

Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin tak kuat melawan Bu Pun Su dan ketika ia hendak kabur, ia melihat betapa Hai Kong Hosiang terdesak, maka ia mempergunakan kecepatan untuk menolong murid keponakannya itu dan membawa lari dari situ!

Bu Pun Su masih tertawa bergelak-gelak ketika Ang I Niocu menjatuhkan diri berlutut di depannya. Akan tetapi Cin Hai yang tidak ingat siapa adanya kakek tua kosen ini, hanya berdiri dengan bingung dan memandang dengan sinar mata kosong.

“Bagus, Im Giok. Kau sudah dapat menolongnya sebelum terlambat. Dan orang Mongol inilah yang akan menyembuhkannya!”

Bu Pun Su lalu memanggil dukun tua itu mendekat, lalu dia menunjuk kepada Cin Hai sambil berkata dalam bahasa Mongol, “Obatmu yang membuat dia menjadi seperti itu dan obatmu pula yang harus menyembuhkannya!”

Dukun tua bangsa Mongol itu mengangguk-angguk dan dengan tenang ia mengeluarkan sebuah guci tanah kecil dari kantung dalam.

“Cin Hai, kau majulah dan terimalah pengobatan dari dukun sihir ini!” berkata Bu Pun Su dengan suara memerintah kepada Cin Hai yang tidak mengenal nama sendiri dan tidak mengenal pula kakek lihai itu.

“Anak tolol!” Bu Pun Su mencela dan tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah muridnya dan menyerang dengan sebuah totokan.

Akan tetapi Cin Hai cepat mengelak dan setelah tujuh kali menyerang dengan kegagalan, barulah ke delapan kalinya Bu Pun Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu roboh tak ingat orang! Di sini dapat diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian Cin Hai pula oleh karena biasanya setiap kali menyerang orang, jarang ada yang dapat mengelak dari serangan kakek jembel ini!

Setelah Cin Hai dibikin tidak berdaya, dukun itu lalu menuangkan isi guci yang berbau harum ke mulut Cin Hai, kemudian ia memijit-mijit dan mengurut-urut kepala pemuda itu. Agaknya dukun itu bekerja dengan sepenuh tenaga dan semangat oleh karena ternyata bahwa seluruh mukanya berpeluh, padahal malam itu hawa amat dingin!

Akhirnya, sesudah beberapa lama ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia pun berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu maju dan menepuk pundak Cin Hai yang segera sadar,

Pemuda ini seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi buruk. Ia memandang dan ketika melihat Ang I Niocu, ia lalu tersenyum. Sebaliknya ketika melihat suhu-nya berada di situ pula, ia cepat menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

“Maafkan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bahwa Suhu sudah datang ke sini dan... dan... sebenarnya teecu berada di manakah?”

Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh, tanda bahwa hatinya gembira sekali melihat betapa muridnya telah sembuh kembali. Juga Ang I Niocu tak dapat menahan keharuan hatinya sehingga dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.

Ang I Niocu lalu menuturkan betapa tadinya dia mendapatkan pemuda itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami dalam keadaan linglung dan hilang ingatan. Dukun bangsa Mongol itu kemudian melanjutkan cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa rombongan pangeran itu menolong Cin Hai dari dalam air dan memberinya madu merah. Maka kini teringatlah Cin Hai bahwa ketika itu dia berkelahi mati-matian dengan Hai Kong Hosiang dan akhirnya dia hanyut di dalam sungai dalam keadaan pingsan.

Cin Hai berlutut lagi di depan suhu-nya dan berkata, “Baiknya Suhu segera datang dan membawa dukun ini untuk menyembuhkan teecu. Kalau tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu.”

“Ha-ha-ha, kalau aku tidak mendengar tentang keadaanmu, tentu saja sampai sekarang kau masih menjadi pendekar tolol dan Im Giok masih bingung dan sedih. Hai, Im Giok, sesudah Cin Hai sembuh, mengapa kau masih saja berduka?” tanya Bu Pun Su kepada Ang I Niocu.

Mendengar pertanyaan ini, Gadis Baju Merah itu menahan air matanya dan dia pun lalu bertutut sambil berkata, “Susiok-couw, bagaimana teecu tak akan bersedih? Adik Lin Lin telah terculik oleh Boan Sip dan suhu-nya yang lihai, yaitu Bo Lang Hwesio!”

Cin Hai terkejut sekali dan menjadi pucat mendengar ini, dan Ang I Niocu lalu menuturkan pengalamannya. Tak tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai, ia lalu berdiri dan membanting-banting kakinya.

“Boan Sip, kalau kau sampai mengganggu Lin Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu walau pun kau lari sampai ke neraka sekali pun!”

Pemuda ini mengepal-ngepal tinjunya dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu Pun Su melihat ini lalu mengangguk-angguk maklum.

“Jadi Nona Lin Lin adalah puteri Kwee ciangkun? Bagus, bagus, Im Giok, sekali ini kau benar-benar harus dipuji!” Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak dimengerti oleh Cin Hai akan tetapi dapat dimengerti oleh Ang I Niocu itu, Bu Pun Su lalu mengempit tubuh dukun bangsa Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu berkata,

“Biarlah aku Si Tua Bangka melakukan sebuah tugas lagi. Akulah yang akan mencari tunanganmu itu, Cin Hai!”

Cin Hai dan Ang I Niocu cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika mereka mengangkat muka memandang, ternyata kakek jembel itu telah lenyap dari situ.

Sesudah suhu-nya pergi, kini mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan kembali Ang I Niocu menuturkan pengalamannya dengan lebih jelas dan panjang lebar. Kemudian Ang I Niocu bertanya,

“Dan di manakah adanya Kwee An? Aku telah bertemu dengan Ma Hoa dan mendengar akan perjodohan anak muda itu.”

Dengan sedih Cin Hai menuturkan pengalamannya bersama Kwee An ketika bertempur dengan Hai Kong Hosiang dan pengawal-pengawal Pangeran Vayami sehingga Kwee An tercebur ke dalam air sungai yang deras.

“Entah bagaimana dengan nasib Kwee An,” Cin Hai menutup ceritanya dengan penuh hati kuatir, “mari kita mencarinya dan sekalian mencari Hai Kong Hosiang si keparat itu!”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan ketika Ang I Niocu mencari kuda putihnya, ternyata kuda itu telah lenyap dan di atas tanah dapat dibaca coret-coretan di atas tanah yang berbunyi,

Kuda dan dukun yang dipinjam harus dikembalikan kepada pemiliknya!

Kedua anak muda itu maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu Pun Su yang berwatak aneh dan penuh rahasia. Maka mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan asyik…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)