PENDEKAR BODOH : JILID-21


“Niocu, terima kasih atas petunjuk dan nasehatmu tadi. Agaknya aku telah mendapatkan semacam ilmu silat ciptaanku sendiri.”

Ang I Niocu girang sekali dan berkata, “Coba kau sempurnakan ilmu itu dengan pedang, Hai-ji!”

Cin Hai lalu mencabut pedangnya dan berkata lagi,

“Ketika aku bersilat dan mengumpulkan tipu-tipu gerakan semua cabang persilatan yang pernah kulihat, tiba-tiba aku melihat bahwa memang selama ini aku terlalu lemah dan tak pernah mempunyai pikiran untuk membalas menyerang lawan. Aku tidak ingat bahwa aku tak perlu mengerahkan seluruh perhatian untuk pertahanan, karena sebetulnya aku telah memiliki daya tahan yang otomatis hingga tak perlu menggunakan seluruh perhatian lagi. Karena kesalahan itu, maka dulu aku tidak melihat lowongan-lowongan dan kesempatan-kesempatan yang sebenarnya dapat kumasuki untuk merobohkan lawan.”

Setelah berkata demikian, dia menghampiri serumpun bambu dan tetumbuhan lain yang tumbuh dengan suburnya di dekat situ. Tetumbuhan itu penuh dengan daun-daun hingga batang-batangnya yang kecil hampir tidak tampak dari luar dan oleh karena angin malam pada saat itu bertiup kencang, maka semua daun-daun yang berbentuk runcing itu bagai ratusan senjata menyerang ke depan dan melindungi batang-batang mereka yang kecil.

Cin Hai lalu membayangkan bahwa ratusan daun itu adalah senjata-senjata musuh yang melindungi tubuh musuh, dan bahwa ia harus berusaha menyerang tubuh-tubuh musuh yang kini dilindungi oleh ratusan pisau yang bergerak-gerak itu.

Dia lantas menggerakkan Liong-coan-kiam di tangan kanannya dan mulai bersilat dengan gerakan aneh. Gerakannya mula-mula lambat seakan mengintai rumpun itu, akan tetapi makin lama semakin cepat. Ia berusaha untuk melukai tubuh-tubuh yang bersembunyi di balik ratusan senjata itu tanpa mengadu pedangnya dengan senjata itu!

Hal ini tentu saja sukar bukan main oleh karena ratusan daun itu bergerak-gerak cepat dan tidak menentu karena tertiup angin hingga tubuh-tubuh atau batang-batang itu hanya nampak sekelebat dan sekilat saja! Akan tetapi, Cin Hai berlaku cepat dan hati-hati dan setiap kali daun-daun itu bergerak hingga sebatang pohon kecil nampak, biar pun hanya sekilas, namun dengan pedangnya sudah memasuki lowongan itu dan ujung pedangnya tepat menusuk batang itu tanpa mematahkannya!

Gerakan-gerakan pedangnya ini luar biasa sekali hingga Ang I Niocu yang masih duduk di dekat api, ketika melihat ini menjadi kagum sekali. Ia merasa begitu gembira sehingga diam-diam dia pun menggerakkan kedua tangannya, kemudian bersilat meniru-niru dan mengimbangi gerakan pedang Cin Hai!

Ia melihat betapa gerakan-gerakan anak muda itu masih nampak kaku, karena itu sambil menggerakkan kedua tangannya, dia berkali-kali menyerukan bahwa tangan kiri pemuda itu harus begini dan sikap tubuhnya harus begitu! Pendek kata, pada waktu itu Cin Hai bersama dengan Ang I Niocu sedang menciptakan semacam ilmu pedang. Cin Hai yang mencipta ilmu pedangnya, sedangkan Gadis Baju Merah itu memperbaiki gerak gayanya!

Setelah Cin Hai selesai bersilat, Ang I Niocu lalu menghampiri rumpun bambu dan ketika dia menyibakkan daun-daun yang menutupnya, ternyata batang-batang yang jumlahnya puluhan itu semua sudah berlubang bekas tusukan ujung pedang Ci Hai! Ang I Niocu bersorak girang dan menari-nari bagaikan anak kecil!

Cin Hai juga merasa girang sekali dan ia tidak menolak ketika Ang I Niocu mengajak dia sekali lagi bertanding dan dia diharuskan menggunakan ilmu pedangnya yang baru saja diciptakannya itu! Dan hasilnya benar-benar hebat!

Setiap jurus bila mana Cin Hai menyerang, selalu serangannya ini membingungkan Ang I Niocu. Dan kalau saja pemuda itu menyerang dengan sungguh-sungguh, dalam sepuluh jurus saja Pendekar Wanita Baju Merah ini pasti akan roboh!

Ternyata bahwa Cin Hai sudah menciptakan sebuah ilmu pedang yang benar-benar luar biasa, sebab ilmu pedangnya ini didasarkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan ilmu silat lain yang telah dilihatnya. Ia pergunakan kesempatan untuk mengisi lowongan-lowongan serta menyerbu bagian-bagian yang lemah dengan gerakan-gerakan aneh, bahkan kadang-kadang kedudukan kaki atau tangannya berbalik dan merupakan kebalikan dari pada gerakan ilmu silat biasa!

Ang I Niocu merasa gembira sekali dan minta Cin Hai bersilat pedang lagi seorang diri. Pada gerakan yang kaku, gadis yang memang ahli tari dan memiliki gerak gaya indah ini lalu memperbaiki tanpa merusak gerakan asli.

Sampai fajar menyingsing, kedua orang ini tiada hentinya berlatih, atau lebih tepat lagi Cin Hai melatih diri dan Ang I Niocu membantunya dengan nasehat-nasehat mengenai keindahan gerakannya. Semalam suntuk mereka tidak beristirahat.

Pada keesokan harinya mereka hanya beristirahat sebentar, kemudian Cin Hai kembali melatih diri dengan ilmu silat pedangnya yang baru itu. Ang I Niocu melihat dari samping memberi petunjuk di bagian yang masih kaku gerakannya.

Walau pun ilmu pedang ini dapat dilihat dan ditirukan oleh Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena untuk menggunakan ilmu pedang ini sebelumnya harus memiliki kepandaian dan pengertian pokok tentang segala gerakan ilmu silat sebagaimana yang sudah dimiliki Cin Hai, maka ilmu pedang ini tidak akan ada gunanya bagi Ang I Niocu. Pendeknya, tanpa pengetahuan dasar yang diajarkan oleh Pun Su, orang lain tidak mungkin menggunakan ilmu ini dalam menghadapi lawan!

Demikianlah, setelah berlatih terus-menerus selama tiga hari tiga malam, akhirnya ilmu pedang ini mampu dimainkan secara baik sekali oleh Cin Hai hingga Ang I Niocu menjadi puas dan girang. Pada waktu dia mencoba untuk melawan ilmu pedang ini dengan ilmu pedangnya, maka dalam tiga jurus saja pedangnya telah dapat dirampas oleh Cin Hai.

“Aduh Hai-ji! Ilmu pedangmu ini benar-benar luar biasa dan jangankan Hai Kong Hosiang, biar Hek Pek Moko sendiri tentu akan roboh di tanganmu! Kionghi, kionghi! (Selamat).”

Tiba-tiba saja terdengar suara orang berkata dengan suara nyaring, “Ya, kionghi, kionghi! Akan tetapi berhati-hatilah kau, Cin Hai, agar ilmu jahat ini tidak merusak hatimu menjadi jahat dan kejam pula!”

Cin Hai dan Ang I Niocu terkejut sekali dan tahu-tahu Bu Pun Su sudah berdiri di dekat mereka!

“Cin Hai, ilmu pedang tadi memang baik sekali dan tak kusangka bahwa kau yang bodoh ini mampu mencipta ilmu pedang seperti itu! Akan tetapi oleh karena kau melatih dengan melukai batang-batang bambu dengan ujung pedangmu, maka ketika menghadapi lawan, kau baru akan dapat merobohkan dia dengan tusukan yang melukainya pula! Ini jahat sekali, muridku!”

Cin Hai merasa bingung dan terkejut sekali oleh karena kata-kata gurunya tadi memang betul semua. Tadi dia berhasil merampas pedang Ang Niocu oleh karena gadis pendekar itu terlalu terdesak oleh ilmu pedangnya sehingga memungkinkan dia menyambar lantas merampas pedang gadis itu. Sedangkan apa bila bertempur dengan lawan yang melawan dengan mati-matian, maka untuk merobohkannya dia harus mempergunakan pedangnya yang mengirim serangan-serangan maut itu!

“Mohon ampun, Suhu, dan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepada teecu,” katanya.

Bu Pun Su tersenyum dan tiba-tiba dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, “Coba cabutlah pedangmu itu dan seranglah aku!”

Cin Hai tidak ragu-ragu untuk melakukan hal ini oleh karena ia mempunyai kepercayaan penuh akan kesaktian suhu-nya. Karena itu, sesudah memberi hormat sekali lagi, dia lalu mencabut Liong-coan-kiam dan lantas menyerang dengan hebat. Pedangnya berkelebat merupakan sinar yang melenggang-lenggok dan dia sudah mempergunakan jurus ke lima yang dianggapnya cukup berbahaya.

Ia maklum bahwa suhu-nya memiliki mata tajam sekali dan telah hafal sekali akan segala gerakan pundak yang mendahului semua gerakan pukulan tangan dan juga sudah tahu akan pergerakan lutut yang mendahului semua gerakan kaki, maka ia lalu mengeluarkan serangan jurus ke lima ini.

Memang dalam menciptakan ilmu pedangnya, Cin Hai juga memikirkan kemungkinan apa bila menghadapi orang yang telah mempunyai kepandaian melihat gerakan orang seperti yang sudah dipelajarinya dari Bu Pun Su. Karena itu dalam beberapa gerakan ia sengaja membuat ilmu serangan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan terbalik!

Menurut gerakan ilmu silat biasa, jika pundaknya bergerak itu tentu menjadi tanda bahwa pedang di tangan kanannya akan ditusukkan ke depan, akan tetapi sebelum pedangnya menusuk, secepat kilat gerakan itu sudah dibalik dan menjadi sabetan pada kedua kaki lawan dan sebelum sabetan ini diteruskan, kembali telah dibalikkan pula menjadi sebuah serangan memutar ke arah leher!

“Ganas sekali!” Bu Pun Su berseru sambil meloncat ke belakang oleh karena guru yang lihai ini benar-benar tercengang dan terkejut melihat kehebatan serangan muridnya. “Ayo kau serang terus dan keluarkan semua ilmu pedangmu yang liar ini!” katanya.

Cin Hai tak berani membantah dan segera maju menyerang terus.

Akan tetapi, ilmu meringankan tubuh dari Bu Pun Su sudah sampai pada tingkat tertinggi sehingga boleh dibilang tubuhnya seperti sehelai bulu yang dapat bergerak pergi tiap kali angin pedang menyambar hingga biar pun pedang Cin Hai hampir menyerempet pakaian kakek itu, namun tetap pedang itu tak dapat melukainya!

Akan tetapi kali ini Bu Pun Su benar-benar menghadapi semacam ilmu pedang yang luar biasa dan hanya dengan mengerahkan seluruh ginkang-nya saja maka ia bisa mengelak bagaikan seekor burung beterbangan di antara sambaran pedang!

Ang I Niocu memandang demonstrasi yang dilakukan oleh guru dan murid ini dengan mata terbelalak saking kagum dan herannya. Selama hidupnya belum pernah dia melihat kelihaian seperti ini dan hatinya diam-diam girang sekali memikirkan bahwa Cin Hai kini telah menjadi seorang jago pedang tingkat tinggi!

Ilmu pedang Cin Hai seluruhnya ada tiga puluh sembilan jurus dan sesudah semuanya dia mainkan, akhirnya pemuda ini meloncat ke belakang sambil berkata dengan napas terengah-engah, “Sudahlah, Suhu, teecu tidak kuat lagi!”

Dia lalu berlutut dengan muka merah karena hatinya kecewa betapa dengan mudahnya kakek itu dapat mengelak dari serangannya. Ia anggap ilmu pedangnya ini tiada gunanya sama sekali dan bahwa ia telah menyia-nyiakan waktu tiga hari tiga malam!

“Ha-ha-ha-ha!” Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh karena kakek ini maklum dan dapat membaca isi hati Cin Hai dari muka pemuda itu, “Jangan kecewa, Cin Hai. Ketahuilah, bahwa ilmu pedang yang baru saja kau mainkan ini kelihaiannya jauh melebihi dugaanku semula!”

“Mohon Suhu jangan mentertawakan kebodohan teecu,” kata Cin Hai.

“Siapa yang mentertawakan kau? Anak bodoh, dengan ilmu pedangmu tadi, kau boleh menjelajah ke seluruh negeri dan mengharapkan kemenangan dari setiap pertempuran! Akan tetapi, jangan kira bahwa aku merasa senang atau bangga melihat ilmu pedangmu ini! Mungkin kau kira aku tidak percaya atau tidak suka kepadamu maka aku tidak pernah menurunkan ilmu kepandaian menyerang kepadamu? Ketahuilah, dan kau juga Im Giok, aku memang sengaja tidak mengajarkan ilmu serangan kepadamu, oleh karena apakah baiknya menyerang orang? Akan tetapi, memang segala apa sudah ditentukan oleh takdir sehingga kau yang tidak mempelajari ilmu menyerang, ternyata kini menghadapi banyak musuh yang lihai. Namun jangan kau anggap bahwa ilmu pedangmu ini saja akan cukup kuat untuk menghadapi Si Rangka Hidup Kam Ki Sianjin, supek dari Hai Kong Hosiang itu! Ahh, kau terlalu mengunggulkan diri kalau kau mempunyai pikiran demikian! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai dan mungkin kelak sewaktu-waktu engkau akan menemui musuh yang lebih lihai lagi! Sekarang engkau telah berhasil menciptakan semacam ilmu menyerang, maka biarlah supaya jangan kepalang tanggung, kau pelajari juga Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na beserta Ilmu Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih).”

Bukan main girang rasa hati Cin Hai dan segera mengangguk-anggukkan kepala untuk menghaturkan terima kasih.

“Juga kau yang telah banyak membuat jasa boleh mempelajari ilmu ini, Im Giok.” Ang I Niocu lalu berlutut dan mengucapkan terima kasih pula.

Demikianlah, selama dua pekan, Bu Pun Su memberi pelajaran dua macam ilmu silat itu kepada Cin Hai dan Ang I Niocu yang dipelajari dengan penuh perhatian oleh dua orang pendekar muda itu.

Pek-in Hoat-sut adalah ilmu sihir yang sebetulnya hanya sebutannya saja ilmu sihir, oleh karena ilmu ini merupakan gerakan ilmu silat yang sepenuhnya digerakkan oleh tenaga khikang sehingga dari kedua kepalan tangan yang memainkannya keluar uap putih bagai awan yang dapat menolak setiap hawa serangan dari lawan yang bagaimana jahat pun!

Uap putih ini terjadi dari keringat yang berubah menjadi uap sebagai akibat dari dorongan tenaga khikang yang panas dan disalurkan ke arah kedua lengan dalam setiap serangan. Meski lawan menggunakan ilmu hitam atau pukulan keji seperti Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) dan lain-lain, apa bila bertemu dengan orang yang mempergunakan Pek-in Hoat-sut ini akan mati kutunya, tenaga serangan mereka yang buyar dengan sendirinya. Oleh karena tenaga hebat inilah maka ilmu ini disebut ilmu sihir!

Ilmu ke dua adalah Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na atau Ilmu Silat Tangan Kosong Burung Merak. Gerakan-gerakan ilmu silat ini selain memukul juga menggunakan jari-jari tangan untuk mencengkeram dan merampas senjata musuh sehingga tepat sekali digunakan dengan tangan kosong apa bila menghadapi lawan yang bersenjata.

Setelah kedua orang itu mempelajari dua macam ilmu silat itu dengan sempurna, Bu Pun Su lalu berkata,

“Cin Hai dan Im Giok! Walau pun kalian tidak bertanya, akan tetapi aku maklum bahwa kalian ingin sekali mendengarkan tentang nasib Lin Lin.”

Cin Hai mendengarkan dengan wajah tiba-tiba berubah pucat, sedang Ang I Niocu juga mendengarkan dengan hati berdebar khawatir.

“Kalian jangan khawatir, menurut dugaanku Lin Lin telah selamat dan kalau tidak keliru ia sedang melakukan perjalanan bersama kawan-kawan baik. Sekarang ada hal yang lebih penting lagi. Orang-orang Turki dan orang-orang Mongol sedang berlomba untuk merebut sebuah pulau di laut timur dan apa bila pulau ini sampai jatuh ke dalam tangan mereka, maka bahaya besar mengancam seluruh negeri! Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa ratusan orang-orang Turki dan Mongol dengan diam-diam dipimpin oleh orang-orang berilmu dari kedua bangsa itu dan secara bersembunyi mereka menyerbu ke daerah timur untuk berlomba menemukan pulau itu. Oleh karena ini, kalian berdua segera berangkatlah ke laut timur melalui sungai yang mengalir di sebelah utara ini, oleh karena hanya di sana saja, maka kalian akan dapat bertemu dengan Lin Lin, bahkan mungkin dapat bertemu pula dengan musuh besarmu yang bernama Hai Kong Hosiang itu. Nah, sekarang aku hendak pergi!”

Cin Hai dan Ang I Niocu maklum akan sikap aneh dari orang tua ini yang bicaranya selalu mengandung rahasia. Mereka maklum pula bahwa secara membuta mereka juga harus menurut petunjuk ini, oleh karena petunjuk ini pasti betul dan biar pun tidak jelas, namun kalau tidak nyata tentu tak akan dikeluarkan dari mulut kakek luar biasa itu.

Tanpa menunda lagi, Cin Hai serta Ang I Niocu berlari cepat ke utara dan tidak lama kemudian mereka bertemu dengan sungai yang melintang dan mengalir ke arah timur itu. Di tempat itu tidak terlihat perahu dan keadaannya sunyi sekali, maka keduanya segera mempergunakan ilmu lari cepat dan mengikuti aliran sungai menuju ke timur. Akan tetapi, jalan di tepi sungai itu sukar sekali, penuh rawa dan hutan-hutan berbahaya, juga amat sukar dilalui.

Setelah mereka berlari selama dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun kecil dan mereka menjadi girang sekali saat melihat beberapa buah perahu diikat di pinggir sungai. Segera Cin Hai mencari pemilik perahu untuk disewa atau dibelinya.

Dua orang menghampiri mereka dan bertanya, “Jiwi membutuhkan perahu?”

“Betul,” kata Cin Hai dengan girang. “Kami berdua ingin menyewa atau membeli sebuah perahu.”

“Membeli?” kedua orang itu saling pandang “Ahh, Kongcu. Di sini tidak ada yang mau menjual perahunya. Pernah kau mendengar ada orang menjual isterinya?”

“Apa katamu?” Cin Hai bertanya heran dan tak senang, oleh karena menyangka bahwa nelayan itu hendak mempermainkannya.

“Kongcu ingin membeli perahu, sedangkan bagi seorang nelayan sebuah perahu adalah sama dengan seorang isteri. Siapakah yang mau menjual perahu atau isterinya? Tidak, Kongcu, kalau kalian berdua hendak menyewa, boleh kalian pakai perahuku ini. Biar pun kecil, tetapi kuat dan laju!”

Cin Hai tersenyum geli. “Boleh, aku hendak menyewa perahumu ini.”

“Jiwi hendak ke manakah?” tanya nelayan yang seorang lagi.

Ang i Niocu tidak senang melihat ada orang lain turut bicara, bahkan bertanya tentang maksud kepergian mereka.

“Apa perlunya kau ikut campur dan bertanya ke mana kami hendak pergi?” tanyanya tak senang.

Orang itu berkata sambil mengangkat dadanya, “Aku berhak penuh untuk turut campur, oleh karena perahu ini adalah milik kami berdua!”

Cin Hai tertawa. “Aha, kalau begitu isterimu ini mempunyai dua orang suami?”

Kedua orang nelayan itu tertawa. “Kongcu, kami adalah orang-orang miskin sehingga dua orang memiliki sebuah perahu saja.”

“Kami berdua hendak menuju ke laut dan hendak mencari sebuah pulau.”

Kedua orang itu nampak terkejut sekali. “Apa? Hendak mencari pulau? Apakah itu Pulau Emas?”

Cin Hai dan Ang I Niocu tercengang, akan tetapi mereka memang hendak menyelidiki pulau yang belum pernah meraka ketahui ini sedangkan Bu Pun Su juga tidak memberi penjelasan, maka Cin Hai lalu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ya, kami mencari Pulau Emas!”

Tiba-tiba salah seorang di antara kedua nelayan itu menjadi pucat dan berkata kepada kawannya, “Twako, marilah kita pergi dan jangan melayani mereka ini. Agaknya mereka ini pun sudah kegilaan emas dan mungkin akan timbul mala petaka kembali apa bila kita membawa mereka seperti hal kita tempo hari itu!”

Cin Hai menjadi tertarik, dan Ang I Niocu segera membentak,

“Apakah yang terjadi? Apa ada orang lain yang juga mencari Pulau Emas itu?”

Kedua nelayan itu saling pandang dan keduanya kemudian berdiri hendak meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak berani menjawab. Ang I Niocu cepat meloncat dan sekali tangannya bergerak, maka pedang yang tajam telah dicabutnya dan pedang itu sekarang menempel di leher seorang nelayan.

“Ke mana engkau hendak pergi? Jangan main-main, sebelum kalian menceritakan hal itu kepada kami, jangan harap akan dapat pergi dengan kepala menempel di lehermu!”

Nelayan itu menghela napas. “Apa kataku, Twako? Pulau Emas itu benar-benar pulau berhantu dan hanya setan-setan saja yang berani mengunjungi pulau itu! Toanio, harap kau berlaku murah dan jangan begini galak. Kami hanya nelayan-nelayan biasa saja dan kalau Toanio menghendaki, baiklah kami tuturkan pengalaman kami. Beberapa hari yang lalu, kami kedatangan seorang asing yang sangat murah hati dan royal dengan hadiah-hadiahnya. Ia minta kami suka mendayung perahunya yang besar, oleh karena ia berkata bahwa ia tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi ke laut dan mencari Pulau Emas seperti kalian pula. Tetapi pada suatu malam perahu orang asing bangsa Turki ini kedatangan seorang perwira yang galak dan gagah, sedangkan perwira ini ketika datangnya saja sudah sangat aneh dan menakutkan, yaitu ia mengempit tubuh seorang gadis muda yang cantik jelita!”

Berdebarlah hati Cin Hai dan Ang I Niocu. Bukankah gadis yang dimaksudkan ini Lin Lin adanya? Akan tetapi Cin Hai lalu mendesak, “Teruskan, teruskan ceritamu!”

“Setelah perwira galak ini naik ke dalam perahu kami, maka kami berdua lalu mendapat perintah untuk mendayung perahu dan sepanjang yang kami dengar, perwira itu tadinya hendak membunuh gadis yang ditawannya, akan tetapi maksudnya dihalangi oleh orang asing itu, dan agaknya Si Perwira takut dan tunduk kepadanya. Gadis itu lalu ditahan di dalam kamar perahu dan tidak diganggu. Akan tetapi, memang setan berkeliaran di atas sungai ini! Tiba-tiba perahu yang kami dayung itu bertumbuk dengan sebuah perahu lain yang biar pun kecil, akan tetapi maju dengan kuat hingga perahu kami terhalang. Dan yang lebih hebat lagi, ketika kami menegur nelayan tua yang berada di perahu kecil itu, ia menjadi marah dan sekali memukulkan dayungnya yang besar, perahu yang kami dayung menjadi pecah dan bocor hingga tenggelam!”

“Nelayan Cengeng!” tak terasa lagi Cin Hai berseru.

Nelayan yang bercerita itu menjadi terkejut karena menyangka bahwa dialah yang dimaki cengeng. Akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah kembali mendesaknya. “Teruskanlah, teruskanlah!”

“Penumpang-penumpang kami orang Turki yang aneh dan perwira yang galak itu menjadi marah kemudian melompat ke darat, sedangkan gadis cantik yang ditawan itu pun tak tersangka-sangka lihai juga dan dapat pula melompat ke darat! Kami berdua tak dapat melompat sejauh itu maka kami lalu menceburkan diri ke dalam air dan berenang ke tepi. Ternyata di tepi itu terjadi pertempuran hebat! Orang Turki bertempur melawan nelayan tua yang memegang dayung dan yang sudah memecahkan perahu kami, sedangkan Si Perwira dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang pemuda tampan kawan nelayan tua itu.”

“Ma Hoa!” kata Ang I Niocu dan kembali nelayan itu memandang heran karena tidak tahu maksud Dara Baju Merah yang berseru karena amat tertarik mendengar penuturan ini.

“Dan bagaimana hasil pertempuran itu?” Cin Hai mendesak dengan tak sabar, karena ia telah merasa pasti bahwa yang mengeroyok perwira itu tentu Lin Lin dan Ma Hoa dan yang bertempur melawan orang Turki tentu Si Nelayan Cengeng.

“Kesudahannya mengerikan sekali...” nelayan yang pandai bercerita itu sengaja berhenti sebentar untuk membikin pendengar-pendengarnya makin bernafsu dan ceritanya makin menarik, “perwira yang galak dan gagah itu tewas. Kepalanya remuk dipukul oleh dayung yang dipegang gadis tawanannya, sedangkan dadanya bolong-bolong tertembus pedang Si Pemuda tampan!”

Baik Cin Hai mau pun Ang I Niocu menghela napas lega. “Mampuslah si keparat!” seru Cin Hai dengan gembira, kemudian ia menegaskan, “Bukankah perwira itu masih muda, kira-kira tiga puluh tahun, dan bibirnya tebal?”

Nelayan itu memandangnya heran, “Betul sekali, apakah Kongcu kenal padanya?”

Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab pertanyaan ini, hanya bertanya lagi, “Dan bagaimana hasil pertempuran orang Turki melawan nelayan tua itu?”

“Mereka bertempur secara luar biasa sekali hingga kami berdua tidak dapat melihat siapa menang siapa kalah. Mendadak mereka berhenti bertempur dan agaknya lalu mengikat persahabatan. Si Nelayan Tua itu benar-benar setan air! Ia menyelam ke dalam air dan berhasil mencari dan mengambil perahu yang sudah tenggelam itu. Bukan main! Selama hidupku belum pernah aku melihat orang dapat melakukan hal semacam itu. Tentu ia iblis air sungai itu!”

“Hush! Jangan membuka mulut sembarangan saja. Sekali lagi kau memaki dia, kutampar mulutmu!” kata Cin Hai sambil mendelikkan matanya sehingga nelayan itu terkejut dan merasa ketakutan. “Teruskan ceritamu, bagaimana selanjutnya dengan mereka itu?”

“Selanjutnya? Tak ada apa-apa lagi. Setelah memperbaiki perahu, mereka berempat lalu berangkat pergi dan kami ditinggalkan dengan perahu kecil ini dan hadiah uang!”

“Jadi perahu kecil ini adalah perahu kepunyaan nelayan tua itu?” tanya Cin Hai dengan girang. Kedua nelayan itu menjadi pucat karena mereka telah kelepasan omong.

“Kalau begitu kami hendak memakai perahu ini,” kata Ang I Niocu yang merogoh keluar dua potong uang perak dari sakunya. “Nih, kalian ambillah seorang satu! Perahu ini kami ambil!”

Melihat bahwa perahu itu hanya diganti dengan dua potong uang perak, kedua nelayan itu menjadi bingung, “Ehh, Siocia, ehhh... Toanio, nanti dulu, perahu... perahu kami ini harganya lebih dari lima potong uang perak!”

Ang I Niocu mengangkat tangan mengancam. “Perahu ini bukan perahu kalian! Memberi dua potong perak sudah terlalu banyak untukmu dan itu pun bukan untuk membeli perahu ini, akan tetapi sebagai upah kalian bercerita tadi!”

Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai. Kedua nelayan itu tidak berani berbuat sesuatu, hanya melihat perahu itu pergi makin jauh dengan hati memaki-maki kalang kabut, akan tetapi mulut tidak berani bersuara!

Dua hari kemudian, saat perahu melalui sebuah hutan, Ang I Niocu melihat pohon-pohon buah lenci di dekat pantai. Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak itu, timbul seleranya dan dia mengusulkan untuk berhenti dan beristirahat sebentar sambil mencari dan makan buah. Cin Hai setuju, oleh karena dia pun merasa ingin makan buah yang segar nampaknya itu.

Mereka kemudian mendayung perahu ke pinggir dan menarik perahu kecil itu ke darat. Kemudian, oleh karena melihat tempat itu sunyi dan indah sekali, timbullah kegembiraan mereka dan keduanya lalu melompat ke atas cabang pohon dan memilih buah sesuka hati mereka.

Akan tetapi tiba-tiba Cin Hai berseru kaget dan cepat melompat turun dan ketika Ang I Niocu memandang ke arah perahu mereka, ia pun terkejut sekali. Seorang tosu (pendeta penganut Agama Tao) sedang menarik perahu mereka ke arah air, dan agaknya tosu ini ingin menggunakan kesempatan itu untuk mencuri perahu mereka! Ang I Niocu menjadi marah sekali dan ia pun cepat melompat turun dari atas pohon.

Ketika Cin Hai dan Ang I Niocu berlari ke arah perahu mereka, tiba-tiba dari balik batang pohon besar melompat keluar seorang hwesio (pendeta penganut Agama Buddha) yang bertubuh pendek namun gemuk sekali. Hwesio ini kelihatan lucu sekali, mukanya seperti muka anak kecil yang gemuk, dan jika dilihat, ia persis seperti boneka besar atau Jilaihud yang berwajah baik dan peramah.

Mukanya yang bulat itu selalu tersenyum ramah. Tubuhnya bagian atas yang serba bulat dan gemuk dililit kain yang hanya menutupi kedua pundak dan lengannya saja, ada pun tubuh atas bagian depan terbuka sama sekali! Dadanya yang bergajih dan pusarnya yang besar kelihatan menambah kelucuannya.

Ia menghadang Cin Hai dan Ang I Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata, “Ai, aih, kalian sepasang burung dara yang bahagia! Kenapa melayang turun dari pohon dan berlari-lari. Bukankah lebih senang bermain-main di atas pohon?”

Bukan main marahnya Cin Hai mendengar ini, ada pun Ang I Niocu dengan muka merah lalu membentak, “Bangsat gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan minggirlah!”

Akan tetapi hwesio tadi memandang heran dan tertawa lagi, “Ehh, ehh, mengapa kalian malah marah-marah? Apakah aku mengganggu kalian?”

“Hwesio gemuk, jangan kau menghadang di depan kami!” kata Cin Hai yang lebih sabar, “Kami akan mengejar pencuri perahu itu!”

Si Hwesio tertawa terus dan berkata, “Pencuri perahu? Kau maksudkan tosu itu? Ahh, dia adalah saudaraku! Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!”

“Bagus, hwesio maling!” kata Ang I Niocu yang segera melompat maju sambil mengayun kepalan tangannya menghantam dada hwesio yang gemuk itu. Akan tetapi Ang I Niocu terkejut sekali karena tidak menyangka bahwa hwesio segemuk ini dapat bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan Ang I Niocu.

“Waduh, ganas... ganas...!” seru hwesio gendut itu yang masih saja tertawa-tawa meski pun Ang I Niocu menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat hingga ia harus mengelak ke sana ke mari dengan repot sekali.

Sementara itu, tosu yang hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa saudaranya diserang oleh Ang I Niocu dan terdesak sekali, cepat-cepat menarik kembali perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah tempat pertempuran.

“Jangan kau memukul Adikku!” teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu.

Melihat serangan ini hebat juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan keduanya lalu bertempur ramai! Keadaan tosu ini sama sekali berbeda dengan hwesio itu. Kalau hwesio itu gemuk dan pendek bermuka ramah dan mulutnya selalu tersenyum, adalah Si Tosu ini mukanya seperti orang sedang mewek dan menangis. Matanya yang sangat sipit itu seakan-akan memandang dengan sedih sehingga membikin sedih pula kepada orang yang melihatnya.

Walau pun Ang I Niocu sedang marah, akan tetapi melihat betapa hwesio itu biar pun terdesak sekali masih saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati untuk melukainya, dan hanya mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu Silat Kong-ciak Sin-na sehingga hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan dipermainkan oleh Ang I Niocu bagaikan seekor kucing. Ang I Niocu memang sengaja menggunakan hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu silatnya yang baru dan ia merasa girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya dari Bu Pun Su ini memang betul-betul luar biasa.

Sebaliknya, dengan mudahnya Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian, sebelah kakinya berhasil menggaet kaki tosu itu yang segera jatuh terguling-guling dan mengeluh kesakitan.

“Nah, biar kau kapok mendapat hajaran sedikit!” kata Cin Hai. “Dan supaya lain kali tidak berani mencoba untuk mencuri perahu lain orang.”

Dengan muka seperti orang menangis, Si Tosu itu menoleh ke arah hwesio yang masih diserang kalang-kabut oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru.

“Ceng Tek, sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!”

Mendengar kata-kata ini, hwesio gemuk itu cepat melompat mundur dan berkata sambil tertawa, “Sudahlah Nona, pinceng mengaku kalah!”

Ang I Niocu menjadi geli hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus.

“Siapakah kalian dua orang tua ini, dan mengapa kalian hendak mencuri perahu kami?” tanyanya.

Kedua pendeta itu saling pandang dan sambil menjura, tosu itu berkata. “Kami dua kakak beradik adalah pendeta-pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng Tek Hwesio ada pun pinto sendiri bernama Ceng To Tosu. Tadinya kami mengira bahwa kalian berdua adalah sepasang orang muda yang hendak berpelesir di sini, maka kami berani mengganggu dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya, melihat pakaian serta kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apa bila kau mengaku wanita yang berjuluk Ang I Niocu!”

Ang I Niocu tersenyum. “Memang dugaanmu tepat sekali, Totiang. Memang aku adalah Ang I Niocu dan saudaraku ini adalah Pendekar Bodoh!”

Kedua mata Ceng To Tosu yang sipit itu dipentang lebar. “Apa? Dengan kepandaiannya seperti itu, ia masih disebut Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh saja kepandaiannya setinggi ini, apa lagi yang pintar?”

Biar pun tosu ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja mukanya mewek seperti mau menangis! Dan hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum dengan muka sesenang-senangnya!

Cin Hai tertarik sekali melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu bertanya. “Harap kau dua orang suci suka berkata terus terang saja. Sebenarnya mau meminjam perahu kami hendak pergi ke manakah?”

Kini hwesio gemuk itu yang menjawab dan ucapannya penuh kejujuran. “Kami hendak pergi ke laut dan mencari sebuah pulau.”

“Pulau Emas?” Cin Hai cepat menyambung dan kedua pendeta itu tercengang.

“Kau... sudah tahu?”

“Tentu saja! Kami hendak pergi ke sana!”

“Aha! Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana letaknya Kim-san-to (Pulau Gunung Emas)?”

Secara terus terang saja Cin Hai menyatakan belum tahu. Kedua pendeta itu lalu saling pandang dan akhirnya Si Tosu berkata,

“Baiklah, sekarang diatur begini saja. Perahu ini cukup lebar untuk ditumpangi oleh empat orang. Kami berdua membonceng kalian dan sekaligus menjadi penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu akan tetapi tidak mengenal jalan, sedangkan kami berdua yang kenal jalan tidak mempunyai perahu! Bukankah kita dapat saling menolong?”

Cin Hai dan Ang I Niocu kini saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai mengangguk dan berkata,

“Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita bersama-sama mencari pulau itu dan kalian berdua menjadi penunjuk jalan!”

“Akan tetapi perahu kita kecil dan hwesio gemuk ini tentu berat sekali! Asal saja kau tidak banyak bergerak hingga jangan-jangan perahu kita akan terguling dan tenggelam!” kata Ang I Niocu sambil tertawa sehingga mereka berempat sama-sama tertawa gembira.

Cin Hai dan Ang I Niocu merasa suka pada dua orang aneh itu. Mereka dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.

Beberapa hari kemudian, empat orang dalam perahu kecil itu sudah sampai di samudera dan mulai dengan usaha mereka untuk mencari Pulau Kim-san-tho. Atas petunjuk kedua pendeta itu, perahu lalu didayung ke kiri melalui pantai yang curam dan batu-batu karang yang tinggi.

Ketika perahu mereka bergerak perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan hitam, dari atas tiba-tiba saja menyambar turun bayangan yang gerakannya cepat sekali! Bayangan ini menyambar ke arah dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang telanjang.

Empat orang di dalam perahu itu terkejut sekali ketika melihat bahwa yang menyambar adalah seekor burung rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya burung ini tertarik oleh kegemukan dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang bergajih dan montok itu, hingga ia menyambar turun dan hendak mencengkeram daging gemuk itu!

Ceng Tek Hwesio merasa kaget dan hendak berkelit, namun berat badannya membuat perahu itu berguncang!

“Hai, jangan bergerak!” Ang I Niocu mencegah.

Gadis ini dengan cepat lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan alangkah kagetnya ketika burung itu dengan cepat mampu mengelak dari tendangannya dan melayang ke atas lagi!

Cin Hai yang berdiri di kepala perahu dan memandang tajam, juga merasa kagum melihat ketangkasan dan kecepatan burung yang besar itu. Sedangkan hwesio pendek gemuk itu melihat bahwa dirinya diserang oleh burung rajawali, hanya tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha hi-hi saja, dan biar pun hatinya berdebar ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum. Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin nampak sedih dan mewek bagaikan betul-betul hendak menangis tersedu-sedu oleh karena ia merasa kuatir dan juga marah kepada burung pemakan manusia itu.

Sekarang burung rajawali itu dengan cepatnya menyambar turun dari atas. Ang I Niocu yang merasa mendongkol melihat tendangannya tadi dapat dikelit oleh burung besar itu, berkata kepada kawan-kawannya,

“Jangan bergerak dan biarkan aku bikin mampus burung celaka itu!”

Ketika burung itu mengulur cakarnya dan kembali hendak menyerang hwesio gendut itu, Ang I Niocu cepat menghantam sekerasnya dengan tangan kanannya! Namun kembali ia tertegun oleh karena burung itu dapat miringkan tubuh dan mengibas dengan sayapnya seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu!

Akan tetapi pukulan itu bukanlah pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga lweekang sehingga biar pun burung itu menangkis dengan sayap, tetapi tubuh burung itu terlempar jauh dan oleh karena sakitnya, tiba-tiba sambil memekik keras burung yang terlempar ke atas itu mengeluarkan kotoran yang jatuh berhamburan menimpa ke arah perahu seperti hujan. Kebetulan sekali kotoran itu jatuh tepat ke arah Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu sehingga muka dan baju kedua pendeta itu menjadi kotor kena kotoran burung itu.

Ang I Niocu makin gemas dan marah karena burung itu agaknya tidak terluka dan hanya terpental serta kaget saja. Juga burung itu kini terbang berputaran di atas perahu sambil mengeluarkan suara nyaring. Ang I Niocu mencabut keluar pedangnya dan dengan muka merah karena gemas ia berkata,

“Burung keparat, turunlah kalau kau berani!”

Seakan-akan mengerti dan dapat mendengar tantangan gadis itu, burung rajawali yang berbulu kuning emas dan berparuh merah itu memekik panjang dan kembali menyerang turun. Kini dia bukan menyerang kepada hwesio gendut, akan tetapi langsung menyerang Ang I Niocu, oleh karena agaknya dia marah sekali kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali menyerangnya itu.

Burung ini adalah sejenis Kim-tiauw atau Rajawali Emas yang jarang terdapat dan yang disebut raja segala burung. Ketika dia menyerang Ang I Niocu, gerak tubuhnya cepat dan tak terduga oleh karena ia bukan menyerang langsung dari atas, akan tetapi turun sambil bergerak-gerak ke kanan kiri dengan cepatnya.

Ang I Niocu bukanlah sembarang gadis yang takut akan segala macam burung. Dengan seruan keras, sebelum burung itu menyambar, Ang I Niocu sudah mendahului melompat ke atas sambil menyambar dengan pedangnya.

Kembali burung Kim-tiauw itu secara aneh mampu mengelak dan mumbul lagi ke atas, kemudian berkali-kali dia menyerang turun. Terjadilah pertempuran yang hebat dan indah dipandang antara Ang I Niocu di atas perahu dengan burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas.

Beberapa kali pedang Ang I Niocu yang hampir saja dapat memenggal leher burung itu, tiba-tiba dapat disampok dengan sayap atau cakar dengan kuku burung itu, hingga Ang I Niocu menjadi semakin marah dan penasaran saja. Biar pun Ang I Niocu belum berhasil membunuh Kim-tiauw, akan tetapi banyak bulu burung itu sudah rontok ketika sayapnya menyampok pedang, sedangkan burung itu sama sekali tak mendapat kesempatan untuk menyerang gadis perkasa itu.

Sebenarnya, apa bila dia berada di atas tanah keras, tentu Ang I Niocu sudah berhasil membunuh Kim-tiauw itu. Akan tetapi kini dia berada di atas perahu yang bergerak-gerak sehingga membuat gerakannya tidak leluasa sekali.

Sesudah berkali-kali serangannya gagal, bahkan hampir saja pedang tajam menembus dadanya dan memenggal leher, akhirnya Kim-tiauw itu agaknya mengakui kelihaian Ang I Niocu dan sambil mengibaskan sayapnya yang lebar dan kuat serta mengeluarkan bunyi seperti orang mengeluh panjang, ia kemudian terbang pergi dengan cepat sekali hingga sebentar saja tubuhnya hanya merupakan titik kuning emas di langit biru.

Ang I Niocu menyimpan kembali pedangnya dan duduk dengan muka merengut. Hatinya tidak puas sekali karena kegagalannya membunuh burung besar itu, akan tetapi Ceng To Tosu lalu berkata sambil menghela napas panjang,

“Baiknya kau tidak membunuhnya Lihiap.”

“Ehh, mengapa kau berkata baik sedangkan hatiku kecewa sekali karena tidak berhasil membunuhnya?” kata Ang I Niocu sambil memandang heran.

“Burung itu adalah burung Kim-sin-tiauw atau Rajawali Sakti Berbulu Emas, dan burung itu di daerah ini terkenal sebagai burung pembawa rezeki dan kebahagiaan. Kita sudah bertemu dengan dia dan memusuhi kita, hal ini tidak baik sekali, apa lagi kalau kau tadi sampai salah tangan dan membunuhnya!”

Diam-diam Cin Hai terkejut sekali mendengar ini, akan tetapi Ang I Niocu lantas berkata, “Burung jahat itu mana bisa membawa kebahagiaan?”

Biar pun Cin Hai tidak setuju mendengar ucapan gadis ini akan tetapi oleh karena ia telah maklum bahwa gadis ini tidak takut apa pun juga, ia diam saja dan tidak menyatakan kekuatirannya, hanya berkata memuji,

“Kim-sin-tiauw itu lihai sekali dan gerakannya tangkas dan cepat.”

“Kalau di darat ada harimau menjadi raja dan di laut ada naga, maka Kim-sin-tiauw boleh dibilang menjadi raja di angkasa!” kata Ceng Tek Hwesio yang masih tersenyum-senyum seakan-akan kejadian tadi adalah hal yang menyenangkan hatinya!

“Dan raja angkasa itu hampir saja berpesta pora menikmati kelezatan dagingmu yang gemuk!” kata Cin Hai.

Semua orang tertawa geli, kecuali Ceng To Tosu yang agaknya selama hidup tak pernah tertawa. Dia hanya mengutarakan kegelian hatinya dengan mewek makin menyedihkan!

Kita tinggalkan dulu perahu kecil yang dinaiki empat orang yang sedang mencari Pulau Emas itu, pulau yang aneh dan mengandung rahasia dan yang pada waktu itu menjadi sebab terjadinya hal-hal yang hebat karena ada tiga bangsa sedang berusaha merampas pulau itu…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)