PENDEKAR BODOH : JILID-24


Ketika melihat betapa ketiga orang Han itu tidak terpengaruh oleh pengakuannya, ia lalu melanjutkan, “Aku pergi sekarang ini pun oleh karena perintah Rajaku untuk membuka jalan sebagai perintis menuju ke pulau itu.” Sambil berkata begini, ia memandang tajam kepada Nelayan Cengeng untuk melihat perubahan muka pendengarnya.

Akan tetapi Nelayan Cengeng agaknya tidak tertarik sama sekali, bahkan ia lalu berkata, “Aku ingin sekali melihat binatang-binatang aneh itu.”

Juga Lin Lin dan Ma Hoa berkata. “Alangkah senangnya kalau dapat membawa pulang burung merak sakti itu.”

Maka gembiralah hati Yousuf melihat keadaan ketiga orang itu yang sama sekali tidak mau atau tak ambil peduli tentang segala urusan negeri. Saking girang dan lega hatinya, Yousuf lalu menyanyikan sebuah lagu Turki yang didengar oleh kawan-kawannya dengan penuh perhatian, kagum dan geli, oleh karena biar pun mereka harus mengakui bahwa Yousuf memiliki suara yang empuk dan merdu, namun lagu yang dinyanyikannya terasa asing bagi telinga mereka sehingga terdengar sumbang dan lucu.

Pada saat Yousuf selesai bernyanyi, hari telah menjadi gelap dan mereka telah sampai di dekat Pulau Kim-san-to. Tiba-tiba Yousuf menunjuk ke depan dan berkata, “Nah, kalian lihatlah baik-baik, bukanlah Kim-san-to benar-benar pulau yang menakjubkan?”

Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa menengok dan ketiganya menahan napas dengan mata terbelalak pada saat melihat pemandangan ajaib yang terbentang di hadapan mata mereka. Mereka telah melihat Kim-san-to di waktu malam, melihat bukit yang mencorong dan berkilauan seakan-akan bukit itu terbuat dari pada emas murni.

“Mungkinkah ini?” Nelayan Cengeng menggerakkan bibirnya.

“Apakah aku sedang bermimpi?” bisik Lin Lin sambil mengucek-ngucek kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada matanya sendiri. Ma Hoa juga terpesona hingga gadis ini berdiri diam bagaikan patung batu.

“Hebat bukan? Aku sendiri pada waktu melihat untuk pertama kalinya, telah berlutut dan menyebut nama Dewata, karena menyangka bahwa aku telah melihat Surga diturunkan di atas tempat ini. Tempat seperti itu, pantasnya menjadi kediaman para Dewata, bukan?” terdengar Yousuf berkata hingga ketiga orang itu tersadar dan menghela napas.

“Betul-betul hebat, Saudara Yousuf. Terus terang saja, tadinya aku masih ragu-ragu dan timbul persangkaanku bahwa kau berbohong atau melebih-lebihkan ceritamu. Akan tetapi melihat pemandangan ini aku menjadi percaya penuh kepadamu, juga tentang penghuni pulau yang aneh-aneh itu,” kata Nelayan Cengeng.

“Mari kita ke sana sekarang juga!” kata Ma Hoa dengan gembira.

Lin Lin juga mendesak supaya mereka segera pergi ke pulau indah dan ajaib itu. Akan tetapi Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,

“Jangan pergi sekarang. Aku belum tahu benar, apakah selain ketiga binatang sakti itu tidak ada makhluk lain yang berbahaya di pulau itu. Mendarat malam-malam adalah hal yang sembrono dan berbahaya sekali. Lebih baik kita menanti di perahu sampai besok pagi, barulah kita mendarat dengan hati-hati.”

Nelayan Cengeng yang dapat memaklumi hal ini dan dapat berpikir lebih luas, menyetujui ucapan ini sehingga terpaksa Lin Lin dan Ma Hoa yang sudah tidak sabar menanti itu menekan perasaan mereka dan semalam suntuk mereka tidak mau tidur, hanya duduk di atas perahu sambil menikmati pemandangan indah itu dan mengaguminya.

Melihat pemandangan indah sekali itu, Lin Lin dan Ma Hoa yang duduk berdua saja, lalu teringat kepada kekasih masing-masing. Dan mendadak wajah mereka menjadi berduka. Ma Hoa tahu akan perubahan pada muka Lin Lin, maka dia bertanya perlahan,

“Lin Lin mengapa tiba-tiba kau menghela napas dan seperti orang berduka?”

Lin Lin tiba-tiba menjadi merah mukanya dan dengan perlahan sambil memegang tangan Ma Hoa, ia bertanya, “Enci Hoa, apakah kau tidak teringat pada kakakku Kwee An?”

Ma Hoa memegang tangan Lin Lin erat-erat sambil bermerah muka, lalu berkata, “Jadi itukah yang mengganggu pikiranmu? Kita harus meneguhkan hati dan bersabar, Adikku. Aku yakin bahwa Saudara Cin Hai dan... dia akan selamat oleh karena mereka berdua memiliki kepandaian yang tinggi.”

Lin Lin maklum bahwa keadaan hati serta pikiran Ma Hoa pada saat itu sama dengan keadaan hati dan pikirannya maka dia tidak mau bicara mengenai hal kedua pemuda itu terlebih lanjut. Dalam berdiam, mereka seakan-akan mendengar bisikan jantung mereka masing-masing yang membuat mereka merasa saling tertarik lebih dekat lagi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sesudah matahari naik ke puncak bukit, Yousuf baru berani mendarat di pulau yang aneh itu. Dilihat pada siang hari, pulau itu merupakan sebuah pulau kecil yang berbukit satu dan yang kelihatan biasa saja seperti pulau-pulau lainnya.

Mereka berempat lalu mendarat dan bersiap sedia dengan senjata mereka kalau-kalau ada binatang luar biasa yang datang menyerang. Akan tetapi aneh sekali, dan terutama Yousuf merasa heran karena binatang yang dulu dilihatnya tak ada seekor pun kelihatan muncul.

“Apakah selama beberapa tahun ini mereka telah mati?” katanya pada diri sendiri akan tetapi diucapkan dengan mulut.

“Mungkin juga, karena benda atau makhluk apakah di dunia ini yang tidak akan menyerah terhadap kematian?” kata Nelayan Cengeng yang membawa dayungnya yang besar dan berat dipanggul di pundak.

Mereka lalu menjelajah di pulau itu dan ternyata bahwa selain burung-burung kecil yang berkicau di atas pohon, pulau itu nampaknya tidak ada makhluk yang berbahaya. Mereka kemudian mengunjungi danau yang pernah diceritakan oleh Yousuf, dan bersama-sama mengagumi danau yang berwarna macam-macam itu.

“Agaknya ada sesuatu yang mengerikan di bawah danau ini,” Nelayan Cengeng berkata sehingga Lin Lin dan Ma Hoa lalu saling mendekat dan saling berpegangan tangan oleh karena kedua gadis ini pun merasa betapa danau ini agak berbeda dengan danau biasa, seakan-akan ada sesuatu di dasarnya yang hitam dan mengerikan!

Yousuf lalu mengajak mereka memeriksa terus keadaan pulau itu dengan pengharapan untuk mendapatkan harta atau emas yang disangkanya berada di pulau itu, akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu yang berharga.

Matahari sudah naik tinggi pada saat mereka tiba di sebuah puncak lain yang ditumbuhi banyak bunga-bunga indah.

Tiba-tiba Lin Lin berseru, “Ada goa di sini!”

Pada saat semua orang menghampiri, benar saja, tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi terdapat pintu goa yang cukup besar dan tinggi. Goa itu tadinya gelap oleh karena terhalang oleh alang-alang, akan tetapi segera setelah Yousuf menggunakan pedangnya untuk membabat alang-alang itu, di dalam goa menjadi terang karena kebetulan sekali goa itu menghadap ke barat dan matahari yang sudah condong ke barat itu menyinarkan cahayanya ke dalam goa.

Dengan didahului Yousuf dan Nelayan Cengeng, empat orang itu segera memasuki goa dengan perlahan dan hati-hati, dan tidak lupa mereka juga menyiapkan senjata di tangan masing-masing untuk menghadapi bahaya yang mungkin timbul. Kiranya goa itu memang cukup luas, akan tetapi dalamnya hanya kira-kira tiga tombak saja dan di dalam goa itu kosong tidak menampakkan sesuatu yang aneh.

Tiba-tiba saja Lin Lin menjerit perlahan dan melompat seakan-akan sudah diserang oleh sesuatu yang mengerikan dari bawah tanah! Semua orang terkejut dan bertanya, “Ada apakah?”

Dengan tangan menggigil Lin Lin menunjuk ke bawah, dan ternyata bahwa kaki gadis itu tadi sudah tersangkut oleh sebuah tulang tangan orang yang menonjol keluar dari tanah yang tertutup pasir itu! Tangan ini hanya kelihatan lima jarinya saja, sedangkan tulang rangka selebihnya terpendam di bawah pasir! Tentu saja melihat lima buah jari tangan yang sudah menjadi rangka itu di tempat yang mengerikan menimbulkan hati takut dan ngeri.

“Tentu ada apa-apanya di bawah ini,” berkata lagi Nelayan Cengeng dan ia segera mulai menggali pasir yang menimbun tangan rangka itu.

Setelah digali, maka tampaklah rangka manusia yang lengkap terpendam di pasir dan di sebelah rangka itu terdapat sebatang pedang yang telah habis dimakan karat dan pedang itu hanya tinggal sisanya sepanjang paling banyak satu kaki saja lagi. Sisa ini pun sudah merupakan besi berkarat dan gagangnya sudah tinggal sepotong kayu lapuk.

Sambil memegang pedang bobrok itu dan mengamat-amatinya dengan penuh perhatian, Nelayan Cengeng berkata sambil menghela napas.

“Ah, kalau saja pedang bobrok ini dapat bicara, tentu ia akan menceritakan riwayat orang ini yang tentu indah menarik sekali. Apa lagi tubuh manusia, sedangkan pedang yang aku percaya tadinya adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh, kini hanya tinggal sisanya saja yang sudah tidak berharga lagi!” Sambil berkata demikian, Nelayan Cengeng segera menaruh kembali pedang yang tinggal sepotong dan karatan itu di dekat rangka itu.

“Kita harus tanam kembali rangka ini dengan pasir,” katanya penuh kekecewaan karena tidak mendapatkan sesuatu di situ.

“Nanti dulu, Locianpwe!” tiba-tiba Lin Lin berkata. “Agaknya tidak percuma tangan rangka ini tadi menowel kakiku dan karena di sini tidak terdapat sesuatu, biarlah kusimpan sisa pedang ini sebagai kenang-kenangan kunjunganku ke pulau ini.”

Nelayan Cengeng tertawa. “Engkau ini memang aneh! Untuk apakah sisa pedang bobrok itu?”

Akan tetapi semua orang tidak melarang pada waktu Lin Lin dengan hati-hati mengambil pedang bobrok itu dan membungkusnya dengan baik-baik di dalam sapu tangannya, lalu menyelipkannya di ikat pinggang.

Setelah mengubur kembali tulang itu secara baik-baik, mereka lalu mengambil keputusan untuk bermalam di goa ini yang merupakan tempat yang baik sekali untuk berlindung dari serangan angin atau binatang buas yang mungkin menyerang di waktu malam.

Berhari-hari keempat orang itu tinggal di Pulau Kim-san-to dan setiap hari Yousuf keluar melakukan pemeriksaan dan mencari-cari harta yang disangkanya berada di pulau itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal dan sia-sia, karena yang didapatnya di pulau itu hanya batu-batu karang yang tidak berharga. Sedangkan Nelayan Cengeng serta kedua orang gadis itu yang tidak terlalu bernafsu untuk mencari harta terpendam, maka jarang ikut dan hanya berjalan-jalan menikmati pemandangan di pulau itu.

Pada hari ke tiga, mendadak terdengar jeritan Yousuf dari dekat. Ketiga orang kawannya menjadi kaget sekali dan cepat memburu ke arah suara jeritannya. Mereka kaget melihat Yousuf sedang mencekik seekor ular yang besarnya hanya selengan tangan orang, akan tetapi wajah orang Turki itu telah menjadi pucat sekali. Lin Lin memburu dengan pedang di tangan dan sekali bacok saja tubuh ular itu telah terpotong menjadi dua.

Yousuf melepaskan leher ular yang sedang dicekiknya itu ke atas tanah. Namun semua orang menjadi kaget sekali melihat bahwa bagian yang seharusnya menjadi ekor ular itu, ternyata merupakan kepala pula dan yang telah menggigit pundak Yousuf dan kini masih menempel di situ.

Ternyata bahwa ular itu adalah seekor ular kepala dua. Ketika Yousuf sedang memeriksa dan mencari-cari sambil menyingkap rumput alang-alang, mendadak ular tadi menyambar dan hendak menggigitnya. Yousuf tidak keburu berkelit, maka dia cepat mengulur tangan menangkap leher ular yang menyambarnya itu dan langsung menggunakan kekuatannya mencekik leher ular yang tak dapat melepaskan diri lagi.

Akan tetapi, mendadak Yousuf merasa pundaknya sakit sekali dan alangkah kaget serta herannya pada waktu melihat bahwa ekor ular itu dapat menggigit pundaknya. Dia tidak menyangka bahwa ekor ular itu pun merupakan kepala kedua sehingga dia tidak sempat mengelak dan pundaknya lalu kena tergigit. Yousuf merasa tubuhnya menjadi panas dan pundaknya sakit sekali, maka tanpa terasa pula dia menjerit sehingga kawan-kawannya datang menolong.

Sesudah melepaskan kepala ular yang dicekiknya, Yousuf lantas roboh pingsan dengan muka merah sekali. Ketika Nelayan Cengeng meraba jidatnya, ternyata tubuh orang Turki itu terasa panas sekali. Kong Hwat Lojin lalu mencabut kepala ular yang masih menggigit pundak walau pun telah mati dan melemparkannya jauh-jauh, kemudian dia memondong tubuh Yousuf ke dalam goa tempat mereka bermalam.

Lin Lin yang biar pun sedikit tapi pernah mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya yaitu Biauw Suthai, lalu memeriksa luka pada pundak Yousuf. Ia terkejut sekali melihat betapa pundak itu sudah menjadi matang biru dan maklum bahwa ular yang menggigit Yousuf itu adalah ular beracun yang berbahaya sekali.

Selagi mereka bertiga kebingungan, tiba-tiba di luar goa terdengar suara aneh. Mereka memburu keluar dan melihat seekor burung merak yang berbulu biru bercampur kuning keemas-emasan sehingga dari jauh nampak seperti hijau. Merak ini indah sekali dan juga besarnya melebihi merak biasa.

Mereka terkejut karena teringat akan cerita Yousuf tentang merak sakti yang amat lihai. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah siap dengan senjata mereka untuk menyerbu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru,

“Jangan ganggu dia! Lihat, dia membawa buah Pek-kim-ko (Buah Emas Putih). Buah inilah yang kubutuhkan pada saat ini untuk menolong jiwa Yo sian seng.”

Merak itu seakan-akan mengerti bicara Lin Lin, karena ia berhenti dan berdiri di depan Lin Lin sambil memandang ke arah gadis itu dengan kedua matanya yang merah dan indah. Lin Lin lalu melangkah maju tanpa kelihatan jeri sedikit pun, karena di dalam hatinya dia menganggap tidak mungkin seekor burung yang begini indahnya dapat mempunyai watak jahat.

Setelah dekat, Lin Lin tidak berani langsung mengambil buah itu dari mulut merak karena menganggap hal itu kurang patut dan tidak menghargai burung itu, maka dia kemudian mengulurkan tangan kanan seperti orang minta-minta. Dan benar saja, merak ajaib itu lalu mengulurkan lehernya ke depan dan menjatuhkan buah yang berwarna putih itu ke dalam telapak tangan Lin Lin. Lin Lin menerima buah itu dan ketika melihat bahwa itu adalah benar-benar buah Pek-kim-ko seperti yang ia duga, ia menjadi girang sekali dan tak terasa pula ia mengangguk kepada burung merak itu dan berkata,

“Sin-kong-ciak-ko (Saudara Merak Sakti), terima kasih banyak!”

Lalu gadis ini berlari masuk ke dalam goa, diikuti oleh Nelayan Cengeng serta Ma Hoa yang memandang terheran-heran. Lin Lin segera menghampiri Yousuf yang masih rebah di atas pembaringan tanpa dapat berkutik lagi dan mukanya makin menjadi merah serta tubuhnya panas sekali bagaikan dibakar.

Tanpa banyak membuang waktu dan banyak bicara lagi, Lin Lin cepat-cepat mencabut pedangnya dan mempergunakan ujung pedang itu untuk digoreskan ke pundak Yousuf yang telah dibuka bajunya, yaitu di bagian yang bengkak dan matang biru, bekas gigitan ular tadi. Kulit pundak dan daging di situ terbuka dengan mudah oleh ujung pedang yang tajam dan runcing itu, lalu setelah menyimpan pedangnya, Lin Lin lalu memasukkan buah Pek-kim-ko itu ke mulutnya terus dikunyah dan dimakan.

Rasa buah itu pahit sekali dan di dalamnya mengandung getah yang melekat di seluruh lidah, gigi, dan kulit di dalam mulut. Lin Lin lalu menempelkan bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu ke arah luka bekas goresan pedang pada pundak Yousuf, lalu segera dihisapnya! Setelah menghisap, dia lalu meludahkan darah hitam yang dapat disedot dari luka itu.

Berkali-kali dia menghisap dan meludah sambil kadang-kadang berhenti untuk mengurut jalan darah di sekitar pundak yang tergigit ular itu. Dan akhirnya, habislah bisa ular yang meracuni darah Yousuf dan lenyaplah warna merah di mukanya dan warna matang biru pada pundaknya, sedangkan panasnya juga otomatis menurun.

Ternyata bahwa khasiat buah Emas Putih itu ialah untuk menjaga mulut dan tenggorokan Lin Lin, agar jangan sampai terpengaruh bisa yang jahat itu. Tanpa buah Pek-kim-ko, Lin Lin tidak akan berani melakukan penghisapan racun dengan mulutnya itu, karena hal ini berbahaya sekali dan dapat menewaskannya.

Setelah jiwa Yousuf tertolong dari ancaman racun ular, Lin Lin lalu keluar dari goa untuk mencari air dan mencuci mulutnya sampai bersih. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa saling pandang. Rasa haru yang mendalam terasa oleh hati kedua orang ini melihat ketinggian budi Lin Lin. Mereka memuji kemuliaan hati gadis itu.

Ketika Lin Lin sedang mencuci mulut dan tangannya di sebuah sumber air kecil di puncak gunung itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara geraman hebat di belakangnya dan ketika ia menoleh, terlihat olehnya seekor harimau yang besar sekali! Yang aneh adalah bahwa di tengah-tengah jidat harimau itu tumbuh sebuah tanduk yang melengkung ke atas laksana tanduk seekor badak.

Lin Lin cepat berdiri dan melompat ke tempat yang lebih lega dan rata, karena maklum bahwa binatang ini tentulah harimau jahat dan lihai yang pernah diceritakan oleh Yousuf di atas perahu dulu.

Memang benar bahwa harimau inilah yang dulu menyerang Yousuf dan kawan-kawannya dan binatang ini lihai dan kuat. Akan tetapi melihat Lin Lin, harimau ini agaknya ragu-ragu untuk menyerang, hanya memandang dan menggeram beberapa kali, lalu mengaum kecil seakan-akan menyatakan keraguannya apakah ia harus menyerang gadis ini atau tidak.

Mendadak terdengar suara pukulan sayap dari atas dan Lin Lin merasa datangnya angin menyambar kepalanya dari arah atas. Cepat gadis ini mengelak secara tepat oleh karena tanpa peringatan lagi, dari atas telah manyambar turun seekor Rajawali Emas yang amat besar! Kalau Lin Lin tadi tidak mengelak secara tepat, tentu kepalanya telah kena dipatuk oleh burung yang gelak itu!

Lin Lin makin terkejut oleh karena dia telah mendengar akan kelihaian burung ini dan kini setelah dua macam binatang lihai ini berada di depannya, apakah yang dapat ia lakukan? Sedangkan Yousuf yang begitu gagah dan dibantu oleh dua orang kawannya pun masih tidak kuat melawan dua ekor binatang ini, apa lagi dia kini berada seorang diri dan tidak memegang senjata pula?

Namun gadis ini memang mempunyai hati yang tabah dan pada mukanya tidak terlihat rasa takut sedikit pun. Bahkan ketika itu dia memandang kepada harimau dan rajawali sakti itu dengan pandangan mata kagum dan senang.

Setelah menyambar turun rajawali itu lalu berdiri di dekat harimau bertanduk dan ternyata bahwa tubuh rajawali itu jauh lebih tinggi dari pada tubuh harimau itu! Dua ekor binatang ini memandang kepada Lin Lin dan agaknya mereka keduanya merasa ragu-ragu melihat seorang manusia cantik yang tidak mengambil sikap bermusuhan dengan mereka, malah tidak mengeluarkan senjata untuk melukai mereka.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi nyaring dari atas dan ketika Lin Lin memandang, ternyata merak yang luar biasa tadi telah melayang turun dan berdiri di atas tanah di depan kedua binatang itu. Harimau bertanduk lalu menggoyang-goyangkan ekornya dan menundukkan kepala, ada pun Rajawali Emas itu lalu mengebut-ngebutkan sepasang sayapnya sambil menunduk pula, seakan-akan keduanya memberi hormat kepada merak ini.

Merak Sakti itu mengangkat dadanya dengan bangga, lalu memutar menghadapi Lin Lin dan gadis ini gembira sekali oleh karena ternyata bahwa merak ini berdiri hanya dengan sebelah kakinya sedang kakinya sebelah lagi mencengkeram serumpun daun Coa-tok-te, yaitu sejenis daun yang merupakan obat khusus untuk menyembuhkan luka akibat gigitan ular beracun. Lin Lin dengan girang melangkah maju dan sambil tersenyum manis gadis itu berkata,

“Ah, Saudara Merak Sakti. Sungguh kau benar-benar baik hati dan amat pandai.” Sambil berkata demikian Lin Lin mengulurkan tangan menerima rumput atau daun-daun panjang itu dari kaki merak. Kemudian dengan mesranya Lin Lin mengelus-elus bulu merak yang indah sekali serta halus dan bersih itu.

Merak itu menjulurkan lehernya yang panjang untuk dibelai-belaikan pada lengan tangan gadis yang mengelus-elusnya itu, seolah-olah ia merasa gembira sekali. Sikapnya seperti seekor binatang peliharaan yang amat jinak. Sedangkan harimau bertanduk dan Rajawali Emas itu pun melangkah maju perlahan-lahan dengan mata mengeluarkan pandangan mengiri.

Lin Lin tertawa dan dengan tabahnya dia pun lalu menghampiri kedua binatang buas itu dan mengelus-elus punggung mereka. Si Harimau bertanduk itu menggoyang-goyangkan ekornya dan mengeluarkan keluhan perlahan seperti seekor kucing yang merasa senang dan manja, sedangkan Rajawali Emas itu pun kemudian mengembangkan sayapnya dan merendahkan diri sambil membuka paruhnya bagaikan seekor burung murai yang dibelai oleh pemiliknya dengan kasih sayang.

Tiba-tiba harimau itu mencium-cium ke arah pinggang Lin Lin dan tiba-tiba ia menggeram keras sehingga gadis itu terkejut, juga Rajawali Emas dan Merak Sakti nampak kaget. Lin Lin teringat akan pedang karatan yang berada di pinggangnya dan otomatis ia mencabut pedang itu, dan sungguh aneh. Ketika melihat pedang karatan itu, ketiga binatang itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan sedih dan ketiganya lalu mendekam di hadapan Lin Lin seakan-akan berlutut.

Lin Lin adalah seorang gadis yang cerdik dan dapat mengerjakan otaknya cepat sekali. Ia dapat menduga tepat bahwa ketiga binatang sakti ini tentulah murid-murid atau binatang-binatang peliharaan orang sakti yang telah meninggal dunia di dalam goa dan kini ketiga ekor binatang ini mengenal pedang pusaka orang sakti itu!

Maka Lin Lin lalu ikut berlutut pula dan mengangkat pedang itu tinggi-tinggi, seakan-akan hendak memperlihatkan kepada ketiga binatang itu bahwa dia juga menjunjung tinggi dan menghormat pemilik pedang itu. Kemudian ia berdiri dan memasukkan pedang bobrok itu ke dalam ikat pinggang lagi. Kini ketiga binatang itu nampak girang sekali dan mereka menjadi begitu jinak seperti tiga ekor anjing yang amat menurut.

Pada saat itu terdengar seruan heran dan ketika Lin Lin memandang, ternyata bahwa Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah berdiri mengintai dari belakang pohon dengan mata terbelalak heran. Lin Lin tersenyum lalu berkata kepada binatang itu dengan suara keras tapi halus,

“Sin-kong-ciak (Merak Sakti), Sin-kim-tiauw (Rajawali Emas Sakti), dan kau It-kak-houw (Harimau Tanduk Satu). Lihatlah baik-baik kepada dua orang itu. Mereka adalah sahabat-sahabat baikku dan janganlah kalian mengganggunya. Juga kawan yang sedang terluka oleh ular berbisa itu adalah kawan baikku!”

Ketiga ekor binatang sakti itu mengangguk-angukkan kepala seakan-akan mereka dapat mengerti ucapan Lin Lin sehingga Nelayan Cengeng dan Ma Hoa menjadi terheran dan girang sekali. Kini mereka tidak ragu-ragu lagi dan melangkah maju serta mengelus-elus pundak ketiga ekor binatang itu yang menjadi heran sekali. Terutama Ma Hoa, gadis ini merasa suka benar kepada Sin-kong-ciak dan mengagumi bulu merak itu tiada habisnya.

Kemudian mereka lalu kembali ke goa, diikuti oleh tiga ekor binatang itu. Ternyata bahwa tadi Nelayan Cengeng dan Ma Hoa juga mendengar suara binatang-binatang itu hingga mereka lalu memburu keluar karena khawatir kalau-kalau Lin Lin berada dalam bahaya. Akan tetapi mereka berdiri tercengang sambil mengintai dari balik pohon ketika melihat peristiwa yang aneh dan menakjubkan yang terjadi antara Lin Lin dan ketiga binatang itu.

Lin Lin lalu meremas-remas daun Racun Ular, dan obat ini digunakan untuk mengobati luka Yousuf, dibalurkan di tempat bekas gigitan dan sebagian airnya diminumkan.

Tak lama kemudian Yousuf siuman kembali dan keadaannya baik sekali. Ketika melihat betapa Lin Lin merawatnya dengan telaten dan open, tak terasa pula air mata mengalir turun dari kedua matanya. Apa lagi ketika Ma Hoa menceritakan betapa Lin Lin menyedot keluar semua racun yang ada di dalam tubuhnya dengan menggunakan mulutnya, orang Turki ini tidak dapat lagi menahan keharuan hatinya dan dia menangis terisak-isak di atas pembaringannya. Dia tak dapat mengucapkan kata-kata, hanya memandang kepada Lin Lin dengan pandangan penuh mengandung pernyataan terima kasih yang besar.

Lin Lin tersenyum dengan muka merah.

“Enci Ma Hoa,” katanya kepada gadis itu, “mengapa kau menceritakan hal itu? Kau hanya melebih-lebihkan hal yang tidak ada artinya.” Kemudian kepada Yousuf ia berkata,

“Yo-sianseng, kita adalah sahabat-sahabat baik yang sedang berada di tempat asing dan berbahaya. Bila kita tidak saling menolong, bagaimana kita bisa hidup? Aku yakin bahwa kau pun tentu tidak akan ragu-ragu lagi melakukan hal ini apa bila aku yang mendapat kecelakaan.”

Yousuf hanya mengangguk-anggukkan kepala, tapi ia masih belum dapat mengeluarkan kata-kata oleh karena hatinya merasa terharu sekali dan penyesalan besar membuat ia tak kuasa membuka mulut. Dia ingin sekali membenturkan kepalanya pada dinding goa karena menyesal kepada diri sendiri dan diam-diam ia memaki pada diri sendiri.

“Ahh, Yousuf! Kau manusia tersesat dan gila! Mengapa kau biarkan setan menguasai hati dan pikiranmu hingga kau pernah tergila-gila dan memiliki pikiran buruk terhadap seorang gadis yang demikian mulia hatinya? Kalau kau mempunyai seorang anak perempuan pun belum tentu ia akan semulia dan sebakti gadis ini!”

Demikianlah Yousuf menyesali diri oleh karena memang ia pernah mengandung maksud untuk mengambil Lin Lin sebagai permaisurinya apa bila cita-citanya tercapai. Semenjak saat itu rasa cintanya kepada Lin Lin sama sekali berubah dari cinta seorang lelaki pada seorang wanita menjadi cinta kasih seorang ayah terhadap seorang anak perempuannya!

“Lin Lin,” katanya ketika gadis itu menyiapkan obat untuknya dan mereka berada berdua saja, karena Ma Hoa beserta Nelayan Cengeng dengan ditemani oleh harimau bertanduk dan Rajawali Emas sedang keluar mencari buah-buahan yang enak dimakan. “Setelah apa yang kau lakukan untuk membelaku, sudilah kiranya kau menyebut Ayah kepadaku? Kau kuanggap anakku sendiri, Lin Lin, dan oleh karena kau tak berayah ibu lagi, biarlah aku menjadi pengganti Ayahmu. Sukakah kau, Nak?”

Mendengar suara yang diucapkan dengan menggetar, juga melihat betapa wajah Yousuf memandangnya dengan penuh harapan, Lin Lin menjadi amat terharu dan teringat pada ayahnya. Maka dia segera berlutut di depan pembaringan Yousuf dan tanpa ragu lagi dia menyebut, “Ayah!” sambil menangis.

Yousuf yang sudah kuat kembali tubuhnya lalu bangun dan duduk. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kepala gadis itu dan berkata,

“Lin Lin, semenjak saat ini kau adalah anakku dan aku akan membelamu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, semoga Dewata Yang Agung memberkahimu.”

Ketika Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendengar tentang pemungutan anak ini, mereka berdua juga merasa girang sekali. Nelayan Cengeng sudah percaya penuh akan ketulus ikhlasan dan kejujuran hati orang Turki itu, maka ia pun tidak merasa keberatan apa-apa, sedangkan Ma Hoa yang juga telah kehilangan ayahnya, lalu menangis dengan terharu sekali sambil memeluk leher Lin Lin.

Nelayan Cengeng menghela napas, “Ma Hoa, aku tahu apa yang menjadikan kau merasa sedih, akan tetapi kau ingatlah, Ma Hoa, bahwa semenjak saat kau merantau denganku, aku Kong Hwat Lojin sudah menjadi guru dan ayahmu sendiri! Walau pun kau menyebut Suhu kepadaku, tapi kau kuanggap anak sendiri dan hal ini pun tentu kau maklumi, maka janganlah kau bersedih, Anakku.”

Ma Hoa menjatuhkan diri berlutut di hadapan suhu-nya dan berkata, “Terima kasih, Suhu, dan demi Tuhan, sedikit pun tak pernah teecu meragukan kemuliaan hati Suhu.”

Setelah Yousuf sembuh kembali, mereka melanjutkan pemeriksaan dan mencari harta di pulau itu, akan tetapi kalau dulu Yousuf mencari dengan cita-cita hendak mengangkat diri menjadi kaisar dan mengawini Lin Lin, kini cita-citanya itu diubah sedikit. Dia masih ingin menjadi kaisar dan memiliki harta besar itu, akan tetapi semua itu demi kemuliaan Lin Lin yang akan dijadikan seorang puteri kerajaan yang agung.

Akan tetapi, sesudah beberapa hari tinggal di pulau itu, ternyata belum juga didapatkan tanda-tanda bahwa pulau itu betul-betul mengandung banyak emas seperti yang tadinya disangka.

Pada suatu hari, ketika Yousuf dan kawan-kawannya sedang memeriksa di puncak bukit, mereka melihat banyak sekali pendeta Sakya Buddha anak buah Pangeran Vayami naik ke pulau itu dan melakukan pemeriksaan pula. Yousuf dan kawan-kawannya lalu cepat mempergunakan alang-alang dan pohon-pohon kecil untuk dipakai menutupi goa mereka sehingga tidak mungkin akan terlihat oleh orang lain, lantas diam-diam mereka mengintai pendeta-pendeta itu untuk melihat apa yang mereka kerjakan.

Ketika Nelayan Cengeng mengusulkan untuk menyerang Pendeta-pendeta Jubah Merah itu, Yousuf mencegahnya dan berkata,

“Aku tahu, mereka ini adalah kaki tangan Vayami, Pangeran dari Mongol dan agaknya mereka sudah tahu di mana letak harta terpendam. Baiknya kita menanti sampai mereka mendapatkannya baru kita turun tangan. Sementara itu, biarlah kita mengintai saja dan melihat apa yang mereka lakukan.”

Lin Lin lalu memerintahkan kepada ketiga binatang sakti untuk berdiam diri dan jangan menyerang orang-orang itu. Selama tiga hari pendeta-pendeta itu bekerja, akan tetapi sebagaimana hasil kerja Yousuf, mereka juga tidak mendapatkan apa-apa.

Kemudian, dengan kaget sekali Yousuf dan kawan-kawannya melihat datangnya perahu-perahu pasukan Turki sedang disusul dan dikejar oleh perahu-perahu pasukan kerajaan. Yousuf tahu bahwa barisan bangsanya telah tiba di situ dan hendak menguasai pulau itu sebagai mana direncanakannya dan tahu pula bahwa kalau mereka melihatnya, tentu dia akan ditangkap oleh karena selama itu dia tidak pernah memberi kabar mengenai hasil penyelidikannya sehingga ia dapat dituduh sebagai pengkhianat yang hendak mengambil sendiri harta itu.

Kemudian mereka melihat pertempuran besar yang terjadi antara pasukan Turki dengan barisan Tiongkok, dan ketika Yousuf menyelidiki keadaan Pendeta Sakya Buddha itu, ia menjadi terkejut sekali oleh karena pendeta-pendeta itu kemudian menyalakan api dan membakar danau minyak yang segera berkobar hebat menjadi lautan api.

“Celaka! Danau itu dibakar dan mungkin akan meledak. Hayo, cepat kita harus pergi dari pulau neraka ini!' katanya.

Kawannya menjadi panik dan Nelayan Cengeng segera memanggil Lin Lin dan Ma Hoa yang masih mengintai dan menonton pertempuran hebat dari jauh.

Kedua orang gadis itu pun terkejut sekali mendengar berita ini dan Lin Lin lalu memberi tanda suitan memanggil ketiga binatang sakti itu. Mereka lalu lari cepat ke perahu mereka yang disembunyikan di belakang alang-alang, diikuti oleh ketiga binatang itu. Akan tetapi, ketika mereka telah naik ke atas perahu, tiba-tiba ketiga binatang itu memekik keras dan ketiganya lalu membalikkan diri dan kembali ke pulau.

Lin Lin berteriak-teriak memanggil sambil mengejar dan ketika ia memasuki goa, ternyata tiga ekor binatang sakti itu sedang mendekam dan berlutut di depan makam rangka yang mereka tanam dahulu. Lin Lin membetot-betot mereka, akan tetapi ketiganya tidak mau pindah dari tempat mereka, seakan-akan bersiap untuk mati di depan kuburan tuannya. Lin Lin menjadi bingung dan memeluk leher Merak Sakti. Ia berkata sambil menangis,

“Saudara Merak Sakti, bagaimana aku dapat tega meninggalkan kau? Kau adalah seperti saudaraku sendiri, dan pulau ini akan terbakar habis. Marilah kau ikut padaku. Tegakah kau membiarkan aku merasa sedih seumur hidupku?”

Merak Sakti itu mengeluarkan keluhan panjang dan dari kedua matanya yang indah itu mengalir keluar dua butir air mata. Dari jauh terdengar suara Yousuf memanggil-manggil namanya, dan Lin Lin terpaksa keluar dari goa sambil menangis. Beberapa kali ia masih menengok memandang ketiga kawannya yang aneh ini.

Dan ketika ia berlari ke perahu dengan tubuh lemas dan hati berduka, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kepalanya dan ternyata bahwa Merak Sakti itu telah menyusulnya. Lin Lin menjadi girang sekali dan segera lari ke perahu diikuti oleh Merak Sakti yang agaknya tidak tega untuk melepas Lin Lin pergi seorang diri dan ikut menyusul.

Baru saja Lin Lin naik ke perahu, tiba-tiba serombongan Pendeta Baju Merah itu melihat mereka. Sambil berteriak-teriak buas mereka langsung menyerbu dan Nelayan Cengeng serta kawan-kawannya segera menyambut serangan mereka dan terjadilah pertempuran sengit.

“Lekas kalian bertiga jalankan perahu, biarlah aku sendiri menahan serbuan anjing-anjing merah ini!” kata Nelayan Cengeng.

Yousuf yang melihat betapa api berkobar semakin hebat, lalu cepat menjalankan perahu, akan tetapi Ma Hoa berteriak,

“Suhu jangan melawan mereka seorang diri, teecu akan membantumu!”

“Jangan!” teriak Si Nelayan Cengeng dengan suara tetap dan keras. “Kau harus ikut pergi lebih dulu! Aku tidak takut segala anjing ini, dan biar pun tanpa perahu, aku mudah saja menyeberang ke daratan Tiongkok!” jawab suhu-nya yang gagah perkasa sambil terus memutar-mutar dayungnya dan mengamuk hebat.

Lin Lin mendapatkan akal. Dia segera menghampiri Merak Sakti dan berkata, “Saudaraku yang baik. Kau bantulah Nelayan Cengeng dan cakarlah habis-habis pendeta busuk itu!”

Sin-kong-ciak mengeluarkan pekik keras, tanda bahwa dia girang sekali menerima tugas ini dan sebentar saja tubuhnya melesat dan melayang ke atas. Sesudah Merak Sakti ini menyerbu, maka terdengarlah jerit dan tangis yang ribut sekali di kalangan para Pendeta Sakya Buddha ini dan Nelayan Cengeng menjadi gembira sekali.

“Bagus Kong-ciak-ko, bagus! Hayo, kita hantam bersama!”

Perahu yang ditumpangi oleh Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa, telah pergi jauh dan pendeta-pendeta Baju Merah itu merasa tidak kuat menghadapi Nelayan Cengeng yang tangguh dan yang dibantu oleh Merak Sakti yang aneh itu. Maka sambil berteriak-teriak ketakutan mereka lalu melarikan diri ke arah perahu-perahu kecil mereka di lain bagian. Dengan cepat mereka segera melarikan diri dengan perahu-perahu itu dari pulau yang telah mulai berkobar hebat itu.

Nelayan Cengeng juga tidak membuang waktu lagi, ia berkata kepada Merak Sakti,

“Kong-ciak-ko, sekarang kau terbanglah menyusul perahu Lin Lin dan aku akan berenang. Hayo kita berlomba, kau terbang dan aku berenang. Siapa yang lebih cepat menyusul perahu, dialah yang menang!”

Merak Sakti agaknya mengerti omongan ini dan sambil mengeluarkan teriakan panjang dan girang, ia lalu terbang melayang ke atas dan mencari-cari perahu Lin Lin yang telah berlayar jauh sekali.

Sementara itu, Nelayan Cengeng juga segera menceburkan diri ke dalam laut, kemudian mempergunakan kepandaian dan tenaganya yang luar biasa untuk berenang ke daratan pantai Tiongkok. Akan tetapi dia telah tertinggal jauh dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengejar perahu itu sehingga dia berenang cepat sekali bagaikan seekor ikan besar. Air tidak kelihatan terpercik ke atas, namun tubuhnya bergerak maju pesat sekali.

Akan tetapi, setelah ia dapat melihat bayangan perahu itu dalam kegelapan, tiba-tiba saja terdengar letusan hebat dari pulau yang terbakar itu sehingga Kong Hwat Lojin terlempar jauh, terbawa ombak yang datang setinggi gunung dan yang melemparkannya ke arah lain, jauh dari kapal itu, dan ke lain jurusan!

Ilmu kepandaian di dalam air yang dimiliki oleh Nelayan Cengeng memang hebat sekali, maka ketika melihat betapa dirinya menjadi permainan ombak, dia lalu menahan napas dan menyelam ke dalam. Tekanan air makin ke bawah semakin kuat, akan tetapi tidak bergelombang sehebat di permukaan air itu. Dengan demikian, Nelayan Cengeng dapat berenang terus, dekat di atas dasar laut itu dan ia pun menuju ke pantai.

Akan tetapi oleh karena gelombang yang hebat itu pun membuat perahu yang ditumpangi oleh Yousuf dan kedua gadis itu terbawa ombak dan tidak tentu arahnya, ketika Nelayan Cengeng sudah muncul di darat, ia berada jauh sekali dari perahu itu, dan sedikit pun tidak tahu dirinya berada di mana!

Dan pada waktu dia melompat ke darat, datanglah Hek Pek Mo-ko, dan Pek Mo-ko lalu menyerangnya hingga terjadi pertempuran sengit yang kemudian disusul oleh datangnya Biauw Suthai dan Pek I Toanio dan yang mengeroyok Hek Pek Mo-ko. Dan seperti yang telah diketahui, akhirnya karena Kwee An ikut mencampuri pertempuran itu, Hek Mo-ko bertempur sendiri melawan Pek Mo-ko yang mengakibatkan tewasnya kedua orang Iblis Hitam dan Putih itu!

Kwee An dan Cin Hai merasa senang sekali mendengar bahwa Lin Lin dan Ma Hoa ada di bawah perlindungan Yousuf yang baik hati. Sungguh pun mereka tidak tahu ke mana perginya ketiga orang itu, namun mereka percaya bahwa kedua gadis itu tentu berada dalam keadaan selamat.

Sementara itu, Pulau Kim-san-to masih saja berkobar sampai dua hari dua malam! Cin Hai berkeras tidak mau meninggalkan pantai sebelum keadaan aman kembali, dan dia berniat hendak menggunakan perahu mencari Ang I Niocu!

Semua orang tahu akan isi hati serta kehancuran kalbu pemuda ini. Maka, oleh karena mereka semua pun merasa sangat kagum dan kasihan kepada Ang I Niocu, mereka juga menunggu di pantai sambil melihat ke arah pulau yang musnah dimakan api itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)