PENDEKAR BODOH : JILID-26


Rumah Yousuf masih ada dan bagus, hanya agak kotor karena tidak terawat. Ketiganya lalu bekerja keras membereskan rumah itu. Lin Lin dan Ma Hoa lalu mengatur taman di sekitar rumah, oleh karena di bukit itu terdapat banyak kembang-kembang yang indah.

Dan beberapa hari kemudian, para petani yang lewat di depan rumah itu, tidak habisnya mengagumi keindahan tempat itu dan mereka merasa seakan-akan tempat ini berubah semenjak rombongan ini tiba. Memang, siapa yang tidak kagum? Rumah itu kecil namun indah bentuknya, dikelilingi oleh kembang-kembang tanaman kedua gadis itu, dan rumah ini ditinggali oleh seorang bangsa Turki yang bersikap halus dan ramah tamah, bersama dua orang gadis yang cantik jelita bagaikan dua orang bidadari dari kahyangan, ditambah lagi dengan adanya seekor merak yang berbulu bagus sekali!

Yousuf dengan hati sungguh-sungguh lalu melatih ilmu silat kepada Lin Lin dan Ma Hoa dan oleh karena ilmu silat Turki jauh berbeda dalam gaya dan variasi jika dibandingkan dengan ilmu silat Tiongkok walau pun pada dasarnya tak berbeda jauh, maka Lin Lin dan Ma Hoa merasa suka sekali mempelajari ilmu silat ini.

Tingkat kepandaian Yousuf memang masih lebih tinggi dari pada tingkat kedua gadis itu sehingga berkat latihan-latihan ini, kepandaian kedua orang gadis ini maju pesat. Oleh karena tiap hari belajar ilmu silat, ketiga orang itu tidak merasa sunyi dan bahkan merasa betah dan senang tinggal di tempat itu. Hanya, kadang-kadang saja, Lin Lin dan Ma Hoa terkenang kepada pujaan hati masing-masing yang membuat mereka termenung, akan tetapi pikiran ini segera terhibur apa bila mereka mengingat bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali.

Sementara itu, Merak Sakti yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, setiap hari hanya berjalan-jalan di dalam taman atau kadang-kadang ia terbang tinggi sekali berputar-putar sehingga mengagumkan orang-orang yang melihatnya. Merak ini agaknya juga merasa senang sekali tinggal di situ dan bulunya makin indah mengkilap.

Pada suatu pagi yang cerah, di kala matahari dengan sinarnya yang nakal mengusir awan dan halimun pagi dari udara dan muka bumi dan burung-burung menyambut kedatangan Raja Siang itu dengan nyanyian dan pujian yang merdu dan sedap didengar, Lin Lin dan Ma Hoa sudah berada di taman bunga mereka dan mencabuti rumput-rumput liar yang hendak mengganggu keindahan bunga. Mereka bekerja sambil bersenda gurau karena memang hawa pagi itu membuat dan memaksa orang untuk bergembira.

“Lin Lin,” kata Ma Hoa sambil tersenyum manis. “Alangkah senangnya hatimu kalau pada saat yang indah ini Saudara Cin Hai berada di sini!”

Menghadapi serangan godaan ini, Lin Lin yang pandai bicara serta lincah itu juga segera tersenyum dan memandang tajam, lalu mengangguk-anggukkan kepala dan menjawab, “Memang betul, tentu saja hatimu akan merasa senang sekali, akan tetapi kau bersabar saja, kawan! Tak lama lagi tentu kau akan dapat bertemu kembali dengan dia itu!”

Ma Hoa melengak dan tidak mengerti. “Ih, eh, apa maksudmu? Siapa yang kau maksud dengan dia itu?”

Lin Lin berpura-pura memandang heran. “Siapa lagi, bukankah yang tadi kau maksudkan adalah Engko Kwee An?”

“Eh, anak bengal! Apakah telingamu sudah menjadi tuli? Kau dengar aku bilang apakah tadi?”

Lin Lin memandang kepada Ma Hoa dengan wajah berseri. “Enci Hoa, bukankah kau tadi berkata begini. Alangkah senang hatiku kalau pada saat yang indah ini Kanda Kwee An berada di sini?”

Ma Hoa memandang dengan gemas dan mengulurkan tangan hendak mencubit Lin Lin, akan tetapi gadis itu segera mengelak.

“Lin Lin, jangan kau bicara tak karuan! Aku tidak pernah mengeluarkan ucapan itu dari mulutku.”

“Tapi siapakah yang mendengar ucapan mulutmu? Aku tadi justru mendengar suara yang keluar dari hatimu sehingga aku tidak mendengar jelas suara yang keluar dari mulutmu! Bukankah hatimu tadi berkata seperti yang kuulangi tadi?”

Ma Hoa mengerling tajam dengan bibir menyatakan kegemasan hatinya. Memang walau pun mulutnya menyatakan dan menyebut-nyebut nama Cin Hai, akan tetapi tepat sebagai mana godaan Lin Lin, hatinya memaksudkan Kwee An! Maka karena malu dan gemas, Ma Hoa lalu mengejar Lin Lin dan hendak dicubitnya, akan tetapi Lin Lin berlari mengitari bunga-bunga sambil tertawa-tawa dan berkata,

“Awas, Enci Hoa, apa bila engkau mencubit aku, kelak aku akan minta Engko An untuk membalasnya.”

Ma Hoa makin gemas dan sambil tertawa, mereka berkejaran di dalam taman bunga itu, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang cantik dan indah.

Mendadak keduanya berhenti tertawa, bahkan lalu berdiri diam sambil memasang telinga dengan penuh perhatian. Di antara kicau burung yang bermacam-macam itu, terdengar Merak Sakti yang memekik-mekik aneh sekali karena mereka belum pernah mendengar suara merak itu memekik seperti ini sehingga mereka tidak tahu apakah merak itu sedang marah atau sedang bergirang.

Biasanya kedua orang gadis ini telah hafal akan tanda-tanda yang dikeluarkan oleh suara Merak Sakti, akan tetapi kali ini mereka saling pandang dengan hati heran dan terkejut. Kemudian, serentak mereka lalu melompat dan berlari cepat ke arah suara tadi.

Pada waktu mereka tiba di sebuah lereng yang penuh rumput hijau, mereka menyaksikan pemandangan yang membuat mereka segera tertegun dan berhenti dengan tiba-tiba. Di atas rumput yang tebal itu, tampak Sin-kong-ciak sedang mendekam seperti berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya ke bawah sambil mengeluarkan pekik yang aneh itu, sedangkan seorang kakek yang tua sekali dan yang memakai pakaian penuh tambalan dan butut, sedang membelai-belai leher dan kepala merak itu.

Yang membuat Lin Lin dan Ma Hoa terheran sekali adalah sikap merak itu. Kedua orang gadis ini cukup kenal adat Merak Sakti yang angkuh dan tidak mau tunduk kepada siapa pun juga, maka melihat betapa merak itu sekarang berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala, mereka menjadi heran sekali.

Tiba-tiba saja kakek itu memegang kedua kaki Merak Sakti, lalu melemparkannya ke atas sambil tertawa-tawa. Merak itu menurut saja dan membiarkan dirinya untuk dilemparkan tanpa mengembangkan sayap untuk terbang. Saat burung itu jatuh kembali, dua kakinya lalu diterima oleh tangan kiri kakek itu, kemudian dilempar lagi ke atas berulang-ulang.

Permainan ini dilakukan oleh kakek itu sambil tertawa-tawa girang. Ada pun Merak Sakti juga mengeluarkan suara yang dikenal oleh kedua orang gadis itu sebagai pernyataan hatinya yang senang dan gembira.

Meski pun mendengar suara gembira dari merak itu, namun Lin Lin menjadi marah sekali dan mengira bahwa kakek ini tentu menggunakan kepandaiannya yang membuat Merak Sakti tidak berdaya kemudian mempermainkan burung itu. Gadis ini melompat maju dan membentak,

“Kakek jahat, lepaskan burung merakku!”

Akan tetapi jangankan mentaati perintah Lin Lin, bahkan kakek itu menengok pun tidak, terus melempar-lemparkan tubuh burung itu ke atas sambil tertawa-tawa dan kemudian bertanya kepada Merak Sakti,

“Kong-ciak, apakah kau sudah puas?”

Lin Lin marah sekali, lalu maju menyerang dan memukul dengan tangan kanan ke arah dada kakek itu untuk mendorongnya roboh. Akan tetapi alangkah terkejut dan herannya ketika ia merasa betapa kepalan tangannya seakan-akan memukul kapas hingga tenaga pukulannya menjadi lenyap sendiri, sedangkan kakek tua itu tetap saja sama sekali tidak memandangnya seakan-akan Lin Lin tidak ada di situ.

Ma Hoa yang melihat Lin Lin mulai menyerang kakek itu, lalu membantu dan kedua orang gadis ini lalu menyerang berbareng kepada si kakek tua itu. Sementara itu, Merak Sakti yang agaknya telah merasa puas dengan permainannya lalu mengembangkan sayapnya dan terbang ke atas cabang pohon, bertengger di situ sambil menonton pertempuran.

Sesungguhnya ucapan ini saja sudah cukup bagi kedua gadis itu untuk menyadari bahwa kakek tua ini tak bermaksud jahat. Akan tetapi karena Lin Lin dan Ma Hoa merasa marah dan penasaran, maka mereka lalu maju berbareng dan menyerang dengan hebat.

Akan tetapi, biar pun kakek tua itu agaknya tak berpindah dari tempatnya, namun pukulan kedua orang dara muda itu satu kali pun tak pernah berhasil mengenai tubuhnya. Lin Lin merasa penasaran sekali, demikian pula Ma Hoa, karena mengira bahwa kakek ini tentu mempergunakan ilmu sihir. Semakin besar dugaan mereka ketika mereka merasa telah hampir mengenai tubuh orang tua itu, tiba-tiba saja tangan mereka melesat ke samping seakan-akan didorong oleh tangan kuat yang tidak kelihatan.

Mereka ini keduanya sama sekali tidak tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan tokoh persilatan tertinggi yang bukan lain orang adalah Bu Pun Su sendiri. Sebenarnya, Bu Pun Su tidak menggunakan ilmu sihir, hanya mengerahkan tenaga khikang-nya yang sudah sempurna itu sehingga hawa yang keluar dari kedua tangannya cukup kuat untuk menangkis tiap pukulan Lin Lin dan Ma Hoa.

Pada saat kedua orang gadis itu menjadi sibuk serta makin terheran dan marah, tiba-tiba terdengar bentakan orang,

“Kakek tua! Jangan kau mengganggu kedua anakku!”

Ternyata yang datang ini adalah Yousuf sendiri. Lin Lin dan Ma Hoa merasa girang sekali dan Lin Lin segera berteriak,

“Ayah, kau usir kakek yang pandai sihir ini!”

Juga Ma Hoa berkata, “Dia telah menyihir dan mempermainkan Sin-kong-ciak!”

Yousuf menjadi marah sekali, lalu membentak dua gadis itu, “Kalian minggirlah, biarkan aku menghadapinya!” Kemudian ia meloncat ke depan Bu Pun Su dan membentak,

“Kakek tua! Memalukan sekali untuk mengganggu seekor burung merak dan dua orang anak yang masih bodoh. Marilah kita tua lawan tua!”

Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh sehingga Yousuf cepat-cepat menggunakan tenaga dalamnya untuk menolak tenaga yang keluar dari suara ketawa ini.

“Hi-hi-hi, kau orang Turki ini benar-benar berbeda dengan yang lain! Kau benar-benar lain daripada yang lain. Bagus, bagus! Kau lucu sekali! Usiamu paling banyak hanya setengah umurku, tapi kau bilang tua lawan tua! Eh, kakek-kakek tua bangka, mari kita main-main sebentar.”

Ucapan Bu Pun Su ini mendapat sambutan suara Merak Sakti yang mengeluarkan suara terkekeh-kekeh pula, suara yang dikenal oleh Lin Lin dan Ma Hoa apa bila merak sakti itu sedang merasa gembira. Sungguh aneh. Lin Lin masih mengira bahwa merak itu masih terkena sihir, maka ia segera menghampiri di bawah pohon di mana merak itu bertengger dan memanggil,

“Kong-ciak-ko, kau turunlah ke sini!”

Akan tetapi Merak Sakti itu sama sekali tidak mau turun. Hal ini semakin mempertebal dugaan Lin Lin dan Ma Hoa bahwa kakek luar biasa itu tentu telah menyihir Merak Sakti, karena biasanya merak itu sangat taat terhadap perintah Lin Lin.

“Ha-ha-ha-ha! Nona, jangan kau heran, kong-ciak itu bukannya bersifat palsu dan karena mendapat kawan baru lalu melupakan kawan lama. Akan tetapi adalah bertemu majikan lama melupakan majikan baru.”

“Kakek tua, majulah dan hendak kulihat sampai di mana kesaktianmu!” Yousuf berteriak melihat betapa kakek itu memandang ringan kepada mereka semua.

Sambil berkata demikian, Yousuf lalu menyerang dengan kedua tangannya dengan ilmu silat Turki yang paling lihai. Kedua tangannya ini yang kanan memukul, sedang yang kiri mencengkeram ke arah lambung lawan, dan kaki kirinya juga menendang ke arah depan dengan cepat.

“Ha-ha-ha! Bagus, aku mendapat kesempatan menyaksikan ilmu silat Turki yang lihai!” kata kakek itu yang masih tertawa haha-hihi sambil mengelak perlahan.

Sungguh aneh sekali, agaknya kakek itu sudah tahu bahwa di antara ketiga serangan ini, yang sungguh-sungguh adalah serangan kaki, oleh karena dua tangan yang menyerang hanya untuk menarik dan mengalihkan perhatian lawan saja. Bu Pun Su sama sekali tak mengelak dari serangan kedua tangan, hanya mengelak dari tendangan kaki Yousuf.

Ketika tidak mengenai sasaran, tendangan ini tidak ditarik mundur sebagaimana biasanya tendangan dalam ilmu silat Tiongkok, akan tetapi lalu diteruskan dan dibanting ke pinggir terus memutar ke belakang hingga tubuh Yousuf terputar di atas sebelah kaki dan sekali putaran dia lantas mengayun lagi kaki itu menendang, dibarengi dengan serangan kedua tangan lagi! Ini adalah gerak tipu yang luar biasa dan tidak terduga, dan biasanya dengan gerakan ini, Yousuf dapat menjatuhkan lawannya.

Akan tetapi, kali ini dia benar-benar kecele, karena Bu Pun Su agaknya sudah tahu akan maksud dan gerakannya sehingga dapat mengelak pada waktu yang tepat. Bahkan pada saat kakek jembel ini balas menyerangnya, Yousuf langsung melengak sebab Bu Pun Su menggunakan serangan yang persis seperti yang telah dilakukannya tadi. Malah gerakan kakek jembel ini lebih cepat dan lebih hebat dari pada gerakannnya sendiri.

Yousuf penasaran sekali, lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Akan tetapi, makin lama ia menjadi makin heran sehingga dia bertempur dengan mata terbelalak dan mulut menyelangap oleh karena makin banyak ia mengeluarkan kepandaiannya, makin banyak pula gerakan-gerakannya ditiru dengan tepat oleh Bu Pun Su!

Juga Lin Lin dan Ma Hoa ketika melihat betapa kakek itu melawan Yousuf dengan ilmu silat Turki yang sama, tak terasa pula saling pandang dengan terheran-heran.

“Ayah, ia tentu sudah menggunakan ilmu sihir!” Lin Lin memberi peringatan kepada ayah angkatnya.

Yousuf teringat dan timbul persangkaan demikian pula, maka tiba-tiba saja orang Turki ini mengheningkan cipta, mengumpulkan tenaga di dalam pusar dan setelah mengerahkan seluruh tenaga batinnya ke mulut, dia membentak sambil menunjuk ke arah dada kakek jembel itu dan kedua matanya yang amat tajam dan hitam itu menatap mata kakek itu,

“Kau berlututlah!”

Ini adalah sejenis ilmu sihir yang didasarkan tenaga batin untuk mempengaruhi semangat dan kemauan lawan yang disebut Ilmu Penakluk Semangat. Bahkan Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak diserang langsung oleh ilmu ini, akan tetapi karena mereka memperhatikan dan turut mendengar bentakan yang memerintah dan berpengaruh itu, tanpa terasa pula mendapat desakan hebat dan tiba-tiba tanpa disadarinya lagi mereka lalu menjatuhkan diri berlutut!

Akan tetapi sesudah Yousuf mengeluarkan bentakan tadi, bukan kakek jembel itu yang berlutut, bahkan Yousuf sendiri yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel!

“Ha-ha-ha! Aku jembel tua bangka tidak layak menerima penghormatan ini!” kata Bu Pun Su sambil tertawa bergelak dan suara ketawanya ini agaknya sudah membuyarkan ilmu sihir Yousuf sehingga ketiga orang itu sadar bahwa mereka sedang berlutut di depan Si Kakek jembel!

Yousuf kaget sekali oleh karena yang dapat melawan ilmunya ini adalah gurunya sendiri, seorang pertapa tua yang sakti di Turki dan ia ingat gurunya pernah menerangkan bahwa apa bila Ilmu Penakluk Semangat ini digunakan untuk menyerang orang yang mempunyai ilmu batin lebih tinggi dan kuat, maka akibatnya dapat terbalik karena tenaga itu terpental dan memukul dirinya sendiri!

Yousuf cepat melompat bangun dengan muka merah, sedangkan kedua orang gadis itu pun dengan malu lalu mencabut pedang mereka. Yousuf juga mencabut pedangnya dan ketiga orang ini lalu menyerbu dan menyerang Bu Pun Su!

Tiba-tiba terdengar pekik marah dari atas dan Merak Sakti sambil mengibaskan sayapnya lalu menangkis pedang ketiga orang itu! Karena Merak Sakti itu pun mempunyai tenaga besar, maka ia berhasil menangkis senjata Yousuf dan Lin Lin, bahkan pedang di tangan Lin Lin terpental jauh sekali! Akan tetapi, ternyata bahwa Merak Sakti itu tidak berniat jahat dan hanya ingin mencegah ketiga orang itu menyerang Bu Pun Su dengan senjata tajam dan setelah menangkis satu kali, merak itu lalu terbang lagi ke cabang tadi!

“Ha-ha-ha, bagus, Kong-ciak! Tak percuma aku memeliharamu sejak kecil!” kata kakek jembel itu sambil tertawa girang.

Yousuf dan Ma Hoa tercengang mendengar ini, akan tetapi Lin Lin yang merasa marah sekali karena pedangnya dibikin terpental oleh Merak Sakti, lalu tak terasa lagi mencabut keluar pedang karatan yang dulu dia ambil dari goa di pulau Kim-san-to. Dengan pedang buntung yang bobrok ini ia maju lagi menyerang.

Tiba-tiba wajah Bu Pun Su berubah pada saat dia melihat pedang itu dan cepat sekali tangannya bergerak ke depan. Lin Lin tidak tahu bagaimana kakek itu bergerak karena tahu-tahu pedangnya telah berpindah tangan.

“Han Le... betul-betulkah kau telah mendahului aku?” kata Bu Pun Su sambil memandang pedang itu dengan muka berduka dan kepalanya yang putih tiada hentinya menggeleng-geleng. “Han Le Sute... mengapa kau mendahului Seheng-mu? Ahhh…, aku Bu Pun Su benar-benar telah tua sekali dan sudah cukup lama hidup di dunia ini...” setelah berkata demikian, ia menghela napas panjang.

Bukan main terkejutnya Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf, mendengar bahwa kakek luar biasa ini adalah Bu Pun Su, guru dari Cin Hai. Yousuf pernah diceritakan oleh Lin Lin tentang kehebatan kepandaian Cin Hai, dan menceritakan pula bahwa suhu pemuda itu bernama Bu Pun Su, tokoh yang namanya telah terkenal di seluruh penjuru.

Lin I Lin dan Ma Hoa cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su, sedangkan Yousuf segera membungkuk dalam-dalam hingga jidatnya hampir menyentuh tanah, satu cara penghormatan yang paling besar dari bangsa Turki.

“Locianpwe, mohon beribu ampun bahwa teecu telah berani berlaku kurang ajar,” kata Lin Lin dengan hormat.

Bu Pun Su menghela napas. “Sudahlah, aku orang tua tak tahu diri ini yang harus minta maaf. Ketahuilah, kadang-kadang aku mempunyai keinginan untuk menjadi kanak-kanak kembali dan ingin mempermainkan orang. Agaknya aku sudah pikun dan sudah terlalu tua...” Kemudian ia berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Aku tahu siapa kalian ini. Kau tentu Lin Lin tunangan muridku Cin Hai. Syukur bahwa kau sudah bisa terlepas dari cengkeraman Boan Sip si jahat itu. Dan kau ini tentu Ma Hoa murid Nelayan Cengeng. Hm, kepandaianmu yang kau keluarkan tadi jelas menunjukkan bahwa kau adalah murid Si Cengeng itu. Dan kau, Sahabat, kau tentulah Yo Su Pu yang terkenal.” Memang, nama Yousuf apa bila diucapkan oleh lidah orang Han akan berubah, ada yang menyebut Yo Suhu, Yo Se Fei, Yo Su Pu dan lain-lain.

Yousuf kembali menjura, “Saya yang bodoh dan rendah memperoleh kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan Lo-suhu yang sakti.”

Bu Pun Su lalu berkata lagi, “Apakah artinya kesaktian dan kepandaian? Hanya sepintas lalu saja. Siapa yang mau belajar dia tentu akan menjadi pandai. Tidak dengan sengaja aku bertemu dengan Kong-ciak di tempat ini, maka aku merasa ingin tahu siapa yang membawa Kong-ciak ke sini? Dan melihat pedang ini di tangan Lin Lin, tahulah aku tadi bahwa kalian tentu telah mengunjungi pulau itu. Pedang inilah yang menceritakan padaku bahwa Sute-ku yang tinggal di pulau itu telah meninggal dunia, karena ini adalah pedang miliknya! Coba kau tuturkan pengalamanmu mendapatkan pedang dan burung merak ini,” perintahnya kepada Lin Lin.

Sementara itu, Merak Sakti telah terbang turun dan dan hinggap di atas pundak Bu Pun Su.

Dengan singkat Lin Lin menuturkan pengalaman mereka di Pulau Kim-san-to dan ketika ia menceritakan betapa pulau itu terbakar musnah, Bu Pun Su mengangguk-angguk.

“Ya, ya, ya. Aku kemarin aku sudah melihat dari pantai bahwa pulau itu telah lenyap dari permukaan laut. Dan harimau bertanduk serta rajawali emas tentu telah tewas pula.”

Kakek ini menghela napas dan pada waktu mendengar disebutnya kedua binatang itu, Si Merak Sakti lalu mengeluarkan keluhan panjang, kemudian dua butir air mata runtuh dari sepasang matanya yang indah. Kemudian merak ini terbang ke atas dan berputar-putar di udara.

“Hmm, kong-ciak itu memang perasa sekali. Tentu dia bersedih mendengar nasib kedua kawannya. Ketahuilah, merak itu dan dua binatang lain di atas pulau yang musnah adalah binatang-binatang peliharaanku. Terutama merak ini, semenjak kecil dia telah ikut aku di pulau itu. Sesudah aku meninggalkan pulau, maka sute-ku yang bernasib malang itu tinggal di pulau dan bertapa di sana. Tidak tahunya sekarang ia telah menjadi rangka dan pedangnya pun telah tinggal sepotong. Hm, demikianlah nasib manusia. Kepandaiannya yang luar biasa pun turut lenyap tak berbekas. Manusia... manusia... kau calon rangka dan debu ini, masih mau mengagulkan apamukah...?”

Kata-kata ini diucapkan oleh kakek itu sambil memandang ke atas dan Yousuf merasa terkena sekali hatinya sehingga dia menundukkan muka dengan penuh khidmat.

“Lin Lin,” Bu Pun Su berkata, “Kau memang berjodoh dengan pedang ini, maka Sute-ku sengaja memilih kau untuk memilikinya. Ketahuilah, pedang ini bukan sembarang pedang dan yang tinggal sepotong ini adalah sari pedang itu. Tadi kulihat ketika kau memegang pedang pendek ini, agaknya kau lebih pandai menggunakan pedang pendek, karena itu biarlah pedang buntung ini kubuat menjadi pedang pendek untukmu.”

Lin Lin merasa girang sekali dan dia cepat menghaturkan terima kasih pada Bu Pun Su. Kakek tua itu lalu tinggal di atas bukit itu selama tiga pekan untuk menggembleng dan membuat pedang pendek dari sisa pedang berkarat itu. Kemudian dia berikan pedang yang menjadi sebatang belati panjang kepada Lin Lin sambil berkata,

“Terimalah pedang pendek ini yang kuberi nama Han-le-kiam untuk memperingati nama Sute-ku Han Le. Dan untuk memperlengkapi kehendak Sute-ku yang memberi pedang ini kepadamu, kau berhak menerima pelajaran ilmu silat dari persilatan kami.”

Bukan main girangnya hati Lin Lin yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek sakti itu.

“Akan tetapi bukan aku si tua bangka yang hendak menurunkan kepandaian ini padamu. Aku sudah satu kali menerima murid dan itu sudah lebih dari cukup. Cin Hai atau calon suamimu itulah yang akan bertugas menurunkan ilmu kepandaian padamu. Jangan kau anggap aku main-main, akan tetapi tanpa perkenanku, tidak nanti dia berani menurunkan ilmu kepandaian yang dipelajarinya dariku, biar kepada isterinya sekali pun.”

Lin Lin segera bertanya dengan berani, “Akan tetapi, Locianpwe, teecu masih belum tahu di mana adanya... dia!” Ma Hoa dan Yousuf diam-diam tersenyum dan Bu Pun Su tertawa bergelak,

“Seperti juga tidak ada persatuan yang tidak berakhir, demikian pun tidak ada perceraian yang kekal. Kelak tentu tiba saatnya kau bertemu kembali dengan Cin Hai dan Ma Hoa dengan Kwee An. Dan bila mana kau sudah bertemu calon suamimu itu, sampaikanlah pesanku supaya kau diberi pelajaran pokok yang telah kuajarkan kepadanya, kemudian memberi pelajaran ilmu pedang yang baru diciptakannya kepadamu.”

Kemudian sambil memandang kepada Yousuf, Bu Pun Su berkata pula,

“Kau tidak salah memilih Saudara Yo Su Pu ini sebagai ayah angkatmu karena memang dia ini orang baik dan berhati mulia. Saudara Yo, akan lebih baik lagi kalau mimpi buruk yang mengganggu hatimu itu dapat dilenyapkan sama sekali.”

Yousuf terkejut sekali, oleh karena mendengar ucapan ini dia dapat mengetahui bahwa kakek sakti ini ternyata telah dapat membaca isi hatinya yang bercita-cita menjadi kaisar di negerinya. Dia lalu tersenyum dan menjura sambil berkata,

“Lo-suhu, terima kasih atas nasehatmu ini. Memang, semenjak bertemu dengan anakku ini, cita-cita gila itu telah kubuang jauh-jauh.”

“Bagus sekali, itu hanya menambah tebal keyakinanku bahwa kau memang mempunyai kebijaksanaan besar yang jarang dimiliki oleh sembarangan orang.”

Kemudian Bu Pun Su pergi dari tempat itu sesudah membelai leher dan kepala Merak Sakti yang nampak sedih ditinggalkan oleh majikan lamanya ini…..

********************

Oleh karena menyangka kalau-kalau Lin Lin dan Ma Hoa sudah mendahului pulang ke kampung Lin Lin, maka Kwee An dan Cin Hai lalu menuju ke selatan untuk kembali ke daerah Tiang-an.

Ketika mereka sampai di rumah Kwee An, ternyata bahwa rumah itu masih tertutup dan ketika mereka bertanya kepada orang di kampung itu yang menyambut kedatangan Kwee An dengan girang, mereka mendapat keterangan bahwa Lin Lin belum pernah kembali ke situ, dan bahwa Kwee Tiong masih tetap tinggal di kelenteng Ban-hok-tong di Tiang-an, dan bahwa Kwee Tiong sekarang bahkan telah mencukur rambutnya dan masuk menjadi hwesio!

Hal ini mengejutkan hati Kwee An, maka ia lalu mengajak Cin Hai mengunjungi kakaknya itu di Kelenteng Ban-hok-tong di kota Tiang-an. Pada waktu mereka sampai di kelenteng Ban-hok-tong yang mengingatkan Cin Hai akan pengalamannya ketika masih kecil dan mempelajari ilmu kesusasteraan dari Kui-sianseng guru sasterawan yang kurus kering itu, mereka pun disambut oleh seorang hwesio tua yang bertubuh tegap dan sikapnya masih gagah.

Hwesio ini adalah Tong Kak Hosiang, hwesio perantau yang dahulu mengajar silat pada putera-putera Kwee Ciangkun, seorang pendeta yang selain mempunyai ilmu silat cukup tinggi dari cabang Kun-lun-pai, juga mempunyai pengertian yang dalam mengenai Agama Buddha serta menjalankan ibadat dengan sungguh-sungguh.

Pada saat Tong Kak Hosiang mendengar pengakuan Kwee An bahwa pemuda ini adalah putera termuda dari Kwee In Liang, dia menyambut dengan girang sekali.

“Ahh, ternyata Kwee-kongcu! Silakan masuk!” Hwesio ini memandang kepada Kwee An dengan mata kagum karena Kwee Tiong sering kali menceritakan mengenai kegagahan serta ketinggian ilmu silat adiknya ini.

“Lo-suhu, teecu mohon bertemu dengan kakakku Kwee Tiong.”

Tong Kak Hosiang tersenyum, “Baik, baik, tentu saja, Kwee-kongcu. Tiong Yu memang telah lama merindukan kau. O ya, hampir lupa pinceng memberi tahukan bahwa kakakmu kini bernama Tiong Yu Hwesio.”

Ketika hwesio tua itu mengantar mereka masuk ke ruangan dalam, mereka mendengar suara Kwee Tiong yang amat lantang membaca liamkeng (kitab suci yang dibaca sambil berdoa) diiringi suara kayu yang dipukul-pukulkan untuk mengikuti irama doa dan untuk menghalau segala gangguan yang memasuki pikiran di waktu membaca liamkeng.

“Tiong-ko!” Kwee An memanggil dengan suara di kerongkongan.

Suara liamkeng berhenti dan Kwee Tiong berpaling. Alangkah bedanya wajah pemuda ini dibandingkan dengan dahulu dan hal ini pun dilihat jelas oleh Cin Hai. Pada wajah yang cakap itu kini terbayang kesabaran dan ketenangan yang besar sehingga diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan juga girang melihat perubahan besar ini.

Ketika melihat Kwee An, Kwee Tiong segera bangkit berdiri dengan tenang dan keduanya lalu berpelukan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Agaknya dalam pelukan mesra ini keduanya telah saling mencurahkan keharuan di hati masing-masing.

Pada saat Kwee Tiong melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Kwee An sambil memandang wajah adiknya, ia melihat dua butir air mata membasahi mata Kwee An. Kwee Tiong lalu tersenyum untuk membesarkan hati adiknya sambil mengguncang-guncangkan pundak adiknya dan berkata lantang,

“An-te, kau kelihatan semakin gagah dan tampan saja!” Sambil berkata demikian, Kwee Tiong cepat menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus dua tetes air mata yang telah menetes di atas pipi adiknya.

“Tiong-ko, kau...”

Akan tetapi Kwee Tiong tidak memberi kesempatan kepada adiknya untuk melanjutkan kata-katanya dan untuk melampiaskan keharuan hatinya, maka dengan muka girang dia kemudian menarik tangan adiknya itu ke ruang tamu, sedangkan gerakan kakinya masih menunjukkan kegagahan dan kejantanannya seperti yang dulu.

Ketika melihat Kwee Tiong, Cin Hai yang menunggu di ruang tamu lalu menjura dengan hormat.

”Eh, ehh, Pendekar Bodoh ikut datang pula! Kau memang hebat sekali, Cin Hai adikku. Tiada habisnya aku mengagumi kau.” Ucapan ini keluar dari hatinya yang tulus sehingga Cin Hai merasa girang dan terharu, maka dia lalu angkat kedua tangan memberi hormat lagi.

“Tiong Yu Hwesio saudaraku yang baik. Kebijaksanaanmu yang sudah mengambil jalan suci ini membuat aku yang bodoh dan kasar menjadi malu saja.”

Kwee Tiong menghampiri Cin Hai dan menepuk-nepuk pundaknya. “Ahh, jangan begitu, Cin Hai! Aku masih Kwee Tiong bagimu, seperti dulu. Hanya saja bedanya, kini kedua mataku telah terbuka dan aku benar-benar girang bertemu dengan kau. O ya, di mana Lin Lin adikku yang manis?” Matanya mencari-cari dan mengharapkan munculnya Lin Lin di situ.

Sesudah duduk menghadapi meja, Kwee An lalu menceritakan pengalamannya, bahwa kini mereka berdua sedang mencari Lin Lin. Ketika mendengar tentang pembalasan sakit hati yang hampir selesai dan tinggal Hai Kong seorang itu, pada wajah Kwee Tiong tidak tampak kegirangan sebagaimana yang diduga semula, bahkan pemuda yang kini menjadi hwesio itu menghela napas dan merangkapkan kedua tangan, lalu berkata,

“Ah, inilah yang membuat aku mengambil keputusan untuk menjadi orang yang beribadat. Tadinya aku selalu merasa takut kepada musuh, sedih karena kehilangan orang tua dan saudara-saudara, dan penasaran karena ingin membalas dendam. Tetapi apakah artinya semua perasaan yang hanya mengganggu batin itu? Setelah aku mendapat petunjuk dari Tong Kak Suhu dan masuk menjadi hwesio, baru terbukalah mataku. Aku kini merasa berbahagia dan tidak menakuti sesuatu oleh karena di dalam hatiku memang tidak ada perasaan bermusuh kepada siapa pun juga. Tentang pembalasan sakit hati itu, Adikku, biarlah kau yang memiliki kepandaian tinggi dan yang merasa sakit hati, kau perjuangkan sebagai sebuah tugas suci berdasarkan kebaktian. Sedangkan aku yang tiada memiliki kepandaian ini, biarlah aku setiap waktu berdoa untuk keselamatanmu, keselamatan Lin Lin, dan keselamatan semua kawan-kawan baik.”

Cin Hai yang mendengar ucapan ini, mengangguk-angguk dan dia maklum sepenuhnya bahwa memang jalan yang diambil oleh Kwee Tiong itu dianggapnya tepat sekali.

Sesudah saling menuturkan pengalaman masing-masing dan melepas kerinduan dengan mengobrol semalam penuh, pada keesokan harinya Kwee An dan Cin Hai meninggalkan Kelenteng Ban-hok-tong.

“Kwee An marilah kita mampir sebentar di Tiang-an, karena sudah lama aku tidak pernah menginjakkan kaki di kota itu. Sering kali aku terkenang kepada kota di mana aku tinggal ketika kita masih kecil.”

Juga Kwee An ingin melihat kota kelahirannya, maka ia menyetujui ajakan Cin Hai ini dan keduanya lalu memasuki kota Tiang-an yang berada di dekat Kelenteng Ban-hok-tong itu. Mereka lalu berjalan-jalan di dalam kota itu sampai sore. Dan ketika mereka berjalan sampai di ujung timur, tiba-tiba saja mereka mendengar suara yang lantang dari dalam sebuah rumah. Mendengar suara ini, Cin Hai menyentuh tangan Kwee An dan berbisik,

“Coba, kau dengarkan itu, apakah kau masih mengenalnya?”

Kwee An segera memasang telinga dengan penuh perhatian, dan dari jendela rumah itu terdengar suara yang jelas sekali.

“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-yaaaa...”

Kwee An hampir tertawa bergelak, tapi cepat-cepat ia menggunakan tangan kanan untuk menutup mulutnya dan menahan ketawanya. “Itulah Kui Sianseng!” katanya.

Cin Hai tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Kalau tidak salah tentu dia. Siapa lagi yang dapat mengucapkan ujar-ujar itu demikian bagusnya? Tahukah kau berapa kali dia dulu pernah memukul dan mengetok kepalaku yang dulu gundul?”

Kwee An hampir tertawa keras-keras dan dia lalu membelalakkan mata kepada Cin Hai sambil tersenyum lebar. “Kau juga?”

Cin Hai bertanya heran, “Apa maksudmu?”

“Kau juga menjadi korban kesukaannya memukul kepala murid-muridnya? Ha-ha, jangan kata kau yang dulu memang banyak orang membenci, sedangkan aku sendiri pun entah sudah berapa kali merasakan ketokan di kepalaku.”

Cin Hai benar-benar tak pernah menyangka hal ini dan sedikit kebencian yang berada di hatinya terhadap Kui Sianseng lenyap seketika.

“Kalau begitu, Si Tua itu tentu masih saja mengobral hadiah ketokan kepala itu kepada anak-anak yang sekarang menjadi murid-muridnya. Hayo, kita mengintai dia!”

Bagaikan dua orang anak-anak nakal, Cin Hai dan Kwee An menghampiri rumah kecil itu dengan perlahan dan mengintai dari balik jendela. Benar juga dugaan mereka, di dalam rumah itu Kui Sianseng yang tampak sudah tua sekali dan tubuhnya makin kurus kering, sedang berdiri dengan tangan kanan di belakang punggung dan tangan kiri memegang sebuah kitab yang dikenal baik sekali oleh Cin Hai dan Kwee An, oleh karena kitab yang terbungkus kulit kambing itu adalah kitab yang dulu dipakai untuk mengajar mereka pula.

Di hadapan kakek sastrawan ini duduk di bangku dengan kedua tangan bersilang, tiga orang anak laki-laki yang mengerutkan kening seperti kakek-kakek yang sedang berpikir keras.

“Kalian anak-anak goblok, bodoh dan tolol! Dengarkan sekali lagi! Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya! Apakah artinya, siapa tahu?”

Kwee An dan Cin Hai mengintai dan menahan geli hatinya, dan Cin Hai lalu teringat akan segala yang dialaminya di waktu kecil, karena sifat dan sikap Kui Sianseng sama sekali tidak berubah seperti dulu.

Seorang di antara para murid yang jumlahnya tiga orang anak-anak itu bangkit berdiri dan mengacungkan tangan, lalu berkata dengan suara lantang,

“Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya, artinya: kesempurnaan hati suci murni harus dicapai sendiri dengan penyempurnaan watak pribadi. Jalan kebenaran yang menjadi sifat setiap orang harus diajukan dalam perbuatan sendiri.”

Kakek kurus kering itu mengangguk-anggukkan kepala bagai burung sedang makan padi. “Bagus, bagus! Begitulah sifat seorang kuncu (budiman) tulen!” ia memuji. “Kok-ji, kitab apa yang mengandung ujar-ujar itu dan fasal ke berapa?”

Anak yang tadi menjawab dengan lagak bagaikan seorang ahli pikir yang sudah seumur kakek-kakek itu, menjawab lantang,

“Terdapat di dalam kitab Tiong-yong, fasal... fasal...,” anak ini tidak mampu melanjutkan jawabannya dan memandang ke kanan kiri dengan bingung.

“Anak bodoh dan tolol!” gurunya memaki.

Cin Hai baru melihat bahwa makian ini agaknya memang telah menjadi kembang bibir Kui Sianseng. Baru saja anak itu dipuji-pujinya, sekarang sudah dimaki tolol. Kemudian Kui Sianseng berkata lagi,

“Dengarlah, ujar-ujar itu terdapat dalam... fasal...” Ia juga lupa dan mencari-cari di dalam kitabnya, membuka-buka buku kitab itu dengan bingung.

Sambil menahan rasa geli yang membuat perutnya kaku, Cin Hai lalu menjawab dari luar, “Dalam fasal dua puluh lima ayat pertama!”

Kui Sianseng terkejut sekali dan menoleh ke arah jendela yang rendah, dan nampak dua sosok bayangan masuk ke dalam kamar. Kedua anak muda itu lalu menjura dan memberi hormat kepada Kui Sianseng. Cin Hai berkata,

“Kui Sianseng, hakseng berdua menghaturkan hormat.”

Kui Sianseng terheran dan ragu-ragu. “Jiwi ini siapakah?”

“Kui Sianseng,” kata Kwee An, “sudah lupakah kepadaku? Aku adalah Kwee An, putera Kwee-ciangkun!”

Kui Sianseng melengak, kemudian setelah teringat, ia lalu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri. Kelihatan sekali kebanggaannya melihat betapa muridnya kini sudah menjadi dewasa, gagah, dan cakap! Dia lalu memegang lengan Kwee An dan dengan muka yang terang berkata kepada ketiga anak muridnya,

“Nah, kalian lihatlah! Kwee-kongcu ini dulu adalah muridku yang baik dan pandai. Kalau kalian belajar baik-baik dari aku, kelak kau pun akan menjadi seorang berguna seperti dia ini!”

Kemudian dia teringat kepada Cin Hai yang sudah dapat menemukan fasal dalam kitab Tiong Yong, maka dia lalu menjura dengan hormat kepada Cin Hai dan bertanya, “Dan kongcu yang cerdik pandai serta hafal akan fasal dan ayat di dalam kitab Nabi kita ini, siapakah namamu yang mulia?”

Cin Hai menahan geli hatinya, lalu menjawab sambil menjura, “Sianseng, sudah lupakah kepada hakseng yang tolol dan bodoh?”

Selagi Kui Sianseng memandang heran dan mengingat-ingat, Kwee An yang tidak dapat menahan kegembiraan hatinya lalu berkata, “Kui Sianseng, ini adalah Cin Hai, juga salah seorang muridmu yang dulu belajar darimu di Kelenteng Ban-hok-tong!”

Cin Hai tertawa bergelak. “Kui Sianseng, sekarang hakseng tak berani lagi menggunduli kepala, supaya jangan dijadikan sasaran pukulan dan ketokan!”

Merahlah muka Kui Sianseng dan ia merasa betapa ia dulu memang sering kali memukul kepala anak gundul ini. Akan tetapi, sebagaimana sudah lazimnya sifat manusia yang selalu teringat adalah sifai-sifat keburukan orang lain, maka Kui Sianseng lalu memegang tangan Cin Hai dan kini dengan suara sungguh-sungguh berkata kepada para muridnya,

“Lihatlah Kongcu ini, begitu gagah dan tampannya! Ketahuilah, dulu dia ini juga seorang muridku! Aku sayang sekali kepadanya maka tidak heran sekarang dia menjadi seorang pandai dan sekali mendengar saja sudah dapat menjawab pertanyaan tentang fatsal tadi! Kalian tadi mendengar bahwa dahulu aku sering mengetok kepalanya? Nah, jangan dikira bahwa ketokan kepalanya tidak ada gunanya! Tanpa diketok kepalanya, seorang murid tak akan menjadi pandai!”

Hati Cin Hai yang dulu sering kali mengenangkan guru ini dengan benci dan mendongkol, kini menjadi lemah, bahkan dia merasa kasihan sekali melihat betapa pakaian guru ini butut dan tambal-tambalan, tanda bahwa keadaannya miskin sekali, sedangkan tubuhnya makin kurus kering dan lemah bagaikan mayat hidup!

Betapa pun juga, guru-guru yang pandai ujar-ujar akan tetapi tak mampu melaksanakan ini patut dikasihani oleh karena dia adalah seorang jujur dan rela hidup dalam kemiskinan dan masih tekun menurunkan ilmu-ilmu batin yang hanya dikenal di bibir saja itu kepada anak-anak dengan menerima upah kecil! Ia mengerti bahwa segala penderitaan, makian, pukulan yang diterima dari guru ini dalam waktu mengajar, bukan tak ada gunanya! Sakit dan derita merupakan obat pahit yang dapat menguatkan batin dan meneguhkan iman.

Maka teringatlah ia kepada ucapan Bu Pun Su dulu,

“Segala apa di dunia ini mempunyai dua muka yang berlainan dan baik buruknya muka itu terpandang oleh seseorang, hal ini tergantung sepenuhnya pada orang itu sendiri, oleh karenanya banyak pertentangan di dunia ini yang terjadi karena perbedaan pandangan ini!”

Dan ia merasa betapa tepatnya ucapan ini. Dulu ia memandang perbuatan Kui Sianseng kepadanya amat buruk dan kejam sehingga menimbulkan rasa benci dan sakit hati. Akan tetapi sekarang, dia telah mempunyai pandangan lain dan menganggap bahwa perbuatan Kui Sianseng itu sudah menjadi watak guru ini dan bukan timbul karena membencinya, maka dia bahkan menganggap semua siksaan itu besifat baik, sehingga sebaliknya kini menimbulkan rasa terima kasih!

Cin Hai lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Kwee An dan ia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa potong uang emas yang ada padanya. Ia masukkan uang itu ke dalam saku Kui Sianseng tanpa dilihat oleh guru ini, kemudian setelah mereka berkelebat maka lenyaplah keduanya dari depan Kui Sianseng. Tentu saja hal ini tak terduga sama sekali oleh guru itu, juga oleh anak anak tadi yang menganggap kedua pemuda ini main sulap.

“Hebat, hebat... mereka sudah menjadi orang-orang gagah yang memiliki kepandaian luar biasa,” katanya. Kemudian dia berkata keras-keras agar terdengar oleh murid-muridnya yang kecil-kecil. “Mereka hebat luar biasa dan mereka itu adalah murid-muridku. Kalian bertiga yang bodoh ini jika mau belajar sungguh-sungguh, kelak pun tentu akan menjadi seperti mereka.”

Ketika seorang muridnya menjatuhkan kitab ke atas tanah karena terheran-heran melihat lenyapnya Kwee An dan Cin Hai hingga tanpa disengaja kitab yang dipegangnya jatuh, Kui Sianseng marah sekali dan melangkah maju, siap dengan jari-jarinya untuk mengetuk kepala yang gundul itu. Akan tetapi tiba-tiba bayangan Cin Hai kembali muncul dan guru ini teringat akan kejadian dulu-dulu, maka ia lalu menahan tangannya, dan sebaliknya ia lalu mengetok kepalanya sendiri yang sudah botak.

“Jangan kau lakukan kepada orang lain apa yang kau sendiri tidak mau diperlakukan oleh orang lain kepadamu,” kata-kata Cin Hai yang dulu bergema di dalam telinganya.

Sejak saat itu Kui Sianseng memiliki kebiasaan baru, yaitu setiap kali ia mengetok kepala muridnya, tentu ia juga menambahkan sebuah ketokan kepada kepalanya sendiri…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)