PENDEKAR BODOH : JILID-29


Tiba-tiba melihat betapa Bo Lang Hwesio agaknya tak dapat mengalahkan Lin Lin dalam waktu pendek, Ke Ce yang curang hatinya itu lantas membentak keras dan kedua lengan tangannya mendorong ke arah Lin Lin. Ini adalah Pukulan Angin Taufan yang hebat dan merupakan semacam pukulan khikang yang tinggi tingkatnya di daerah Mongolia Dalam dan yang tak sembarang orang bisa menguasai atau mempelajarinya dengan sempurna. Tenaga khikang Ke Ce sudah hampir sempurna, maka Kwee An sendiri sampai tak dapat menahan serangan ini!

Akan tetapi, kali ini Ke Ce tercengang sekali ketika tiba-tiba saja angin pukulannya yang dahsyat bagaikan tenaga angin taufan itu membalik dan membuat dia sendiri bergoyang-goyang! Ketika dia memandang, ternyata bahwa dari tempat di mana dia berdiri, Cin Hai dengan tubuh setengah membongkok juga mengulurkan dua tangannya dan melakukan gerakan yang sama dengan gerakannya sendiri dan ternyata bahwa tenaga pukulan atau dorongan yang keluar dari kedua lengan anak muda itu lebih kuat sehingga telah berhasil menggempur tenaga dorongannya!

Terbelalak mata Ke Ce memandang oleh karena bagaimana seorang bangsa Han dapat memiliki ilmu mendorong ini? Dia tidak tahu bahwa Cin Hai mengerti semua gerakan ilmu pukulan dan baru melihat gerakan pundak dan lengannya saja, pemuda itu sudah dapat menirunya kemudian pada saat yang tepat telah mengirim kembali tenaga yang tadinya ditujukan dengan maksud merobohkan Lin Lin itu.

“Ehh, jangan main curang, kawan!” kata Cin Hai sambil tersenyum memandang.

Yousuf menjadi marah sekali melihat betapa dengan curangnya Ke Ce sudah menyerang Lin Lin yang masih bertempur ramai melawan Bo Lang Hwesio, maka ia berseru,

“Ke Ce, bila tubuhmu sudah gatal-gatal ingin dipukul, akulah lawanmu!” ia lalu menerjang dengan marah dan hebat hingga Ke Ce terpaksa melayani.

Cin Hai memandang dengan penuh perhatian dan sebentar saja maklumlah dia bahwa meski pun ilmu kepandaian kedua orang ini tidak jauh selisihnya, akan tetapi kepandaian Yousuf masih lebih kuat dan tak perlu dikuatirkan keadaannya. Maka ia lalu memusatkan perhatiannya kepada Lin Lin lagi.

Ia melihat betapa gadis itu dengan garang melakukan serangan, akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio dia kalah pengalaman. Bo Lang Hwesio ternyata gagah sekali dan Cin Hai maklum bahwa apa bila pergelangan tangan Lin Lin kena dikebut oleh ujung lengan baju atau pedang Han-le-kiam dilibat, tentu Lin Lin akan kalah dan mendapat celaka.

Baru saja dia berpikir demikian, tiba-tiba saja dengan membentak keras Bo Lang Hwesio menyerang dengan telapak tangan dimiringkan memukul leher gadis itu dan pada waktu Lin Lin dengan lincahnya berkelit, tiba-tiba ujung lengan baju hwesio yang kosen itu telah berhasil melibat ujung pedang Han-le-kiam. Lin Lin berusaha mencabutnya, tapi pedang itu seakan-akan telah melengket pada lengan baju dan tidak dapat ditarik kembali.

Cin Hai berseru keras, dan sekali tubuhnya berkelebat dia dapat mengirim serangan ke arah leher hwesio itu yang cepat mengangkat tangan yang tadinya dipakai memukul leher Lin Lin untuk menangkis karena sudah tidak ada jalan lain lagi baginya untuk mengelak. Pada saat kedua lengan tangan mereka beradu, Bo Lang Hwesio mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, maka ketika Lin Lin menarik pedangnya…..

“Brettt!” sobeklah ujung lengan bajunya! Sedangkan tubuhnya menjadi terhuyung mundur ketika tenaga Cin Hai yang luar biasa mendorongnya dari pertemuan lengan itu!

“Hebat!” serunya sambil meloncat mundur kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Aku yang tua dan lemah tak kuat melawan terus, biar lain kali bertemu pula! Ke Ce hayo kita pergi!” teriaknya kepada kawannya yang sementara itu telah didesak hebat oleh Yousuf!

“Sampai lain kali!” kata Ke Ce.

Pada saat itu juga tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik empat kali di udara dan turun melayang ke tempat agak jauh hingga tentu saja kegesitan ini membuat Yousuf dan yang lain-lainnya merasa kagum sekali. Memang sungguh hebat gerakan tadi dan jarang dapat dilakukan oleh orang yang ilmu ginkang-nya belum tinggi! Setelah kedua orang itu berlari turun gunung dengan cepat, Yousuf lalu menceritakan bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terdorong masuk ke dalam jurang!

“Celaka!” kata Cin Hai dan Lin Lin yang segera berlari ke pinggir jurang dan menjenguk.

Lin Lin menjerit ngeri dan menangis sedih ketika melihat betapa jurang itu dalamnya tak terkira hingga tidak kelihatan dasarnya! Cin Hai menggeleng-gelengkan kepala.

“Ayah, kenapa tidak semenjak tadi kau memberitahu?” kata Lin Lin sambil menangis dan membanting-banting kaki dengan gemasnya. “Kalau tadi aku tahu, tentu aku tidak akan melepaskan dua binatang kejam dan busuk itu!”

Juga Cin Hai merasa kecewa karena kalau dia tahu bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terbinasa dan terlempar ke dalam jurang oleh kedua orang tadi tentu dia juga tidak akan melepas mereka! Yousuf merasa menyesal sekali dan merasa bahwa ia telah lupa sama sekali untuk menceritakan hal itu.

“Biar aku mencari mereka di dalam jurang!” kata Yousuf yang lalu berlari secepat terbang ke rumahnya. Tidak lama kemudian dia kembali lagi membawa segulung tambang yang panjang sekali.

"Peganglah ini, Cin Hai, aku hendak turun dan mencari Kwee An dan Ma Hoa,” katanya sambil memberikan tambang itu kepada Cin Hai.

“Jangan, Yo-pe-peh, biar aku saja yang turun. Kau dan Lin Lin yang memegang tambang itu!” kata Cin Hai.

“Biarkanlah aku yang turun,” kata pula Yousuf dan tiba-tiba dari kedua mata orang tua ini mengalir turun air mata!

Lin Lin dan Cin Hai maklum bahwa orang tua ini merasa bersalah sekali dan dia merasa demikian menyesal sehingga sekarang ia hendak menebus kesalahannya dan ingin turun mencari mereka yang jatuh ke dalam jurang.

Lin Lin merasa sangat terharu dan lalu menubruk dan memeluk pundak ayah angkat itu, “Ayah... maafkanlah kami berdua... kami tidak menyalahkan kau. Ayah... biarkan Hai-ko saja yang turun.”

“Benar, Yo-peh-peh, kau sudah tua dan aku yang muda lebih bertanggung jawab akan tugas berat ini. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini dan soal kedua orang bangsat kecil itu, biar lain kali kita mencari mereka untuk membalas dendam!!”

Akhirnya Yousuf menurut juga dan tambang yang panjang itu lalu dilempar ke bawah dan ujungnya dipegang oleh Yousuf serta Lin Lin. Akan tetapi ternyata bahwa tambang yang panjangnya tak kurang dari seratus kaki itu masih bergoyang-goyang, yang menandakan bahwa tambang itu belum mencapai dasar jurang! Lin Lin bergidik dan ngeri.

“Alangkah dalamnya!” katanya dengan bibir gemetar.

“Di rumah sudah tidak ada tambang lagi,” kata Yousuf yang juga pucat wajahnya.

“Biarlah, sebegini juga cukuplah. Biar aku turun sampai di ujung tambang dan melihat apa yang berada di bawahnya,” Cin Hai berkata. “Peganglah tambang kuat-kuat!”

Pemuda itu melangkah ke pinggir jurang dan tiba-tiba Lin Lin memegang lengannya. Cin Hai menengok.

“Ko-ko... hati-hatilah kau...”

Cin Hai tersenyum dan meraba dagu gadis itu, kemudian dia segera turun ke bawah menyusur tambang. Karena dia telah memiliki kepandaian ginkang yang sempurna, maka mudah saja dia merayap melalui tambang itu. Ternyata bahwa tebing itu tinggi sekali dan di bawahnya tertutup oleh awan atau halimun tebal hingga keadaannya gelap benar.

Sesudah kedua kakinya merasa sudah tiba di ujung tambang paling bawah, Cin Hai lalu meraba-raba dengan kaki dan ternyata memang benar bahwa tambang itu masih dalam keadaan tergantung di udara dan belum sampai ke tanah. Ia lalu mengayun tubuhnya ke depan sehingga tambang itu ikut terayun.

Tubuhnya terayun-ayun beberapa kali, makin lama semakin keras dan akhirnya dia dapat menyentuh tanah di depannya. Ternyata bahwa tanah itu bukan batu karang yang keras, dan ditumbuhi rumput dan pohon kecil. Akan tetapi karena tanah itu letaknya tegak lurus ke arah atas, tentu saja tidak mungkin baginya untuk mendarat di sana. Dia berkali-kali memejamkan mata dan membukanya lagi untuk dapat membiasakan mata itu menembus halimun. Kemudian matanya memandang ke sekelilingnya mencari-cari.

Baik Cin Hai mau pun Lin Lin dan Yousuf sama sekali tidak pernah menyangka atau pun menaruh curiga terhadap Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya kedua orang itu masih belum pergi dari situ. Memang benar bahwa mereka sudah lari turun gunung, akan tetapi tiba-tiba Ke Ce berhenti berlari dan berkata perlahan, “Bo Lang Suhu, mari kita kembali ke atas!”

“Apa kau gila?” seru Bo Lang Hwesio yang tak dapat menangkap maksudnya,

“Dara manis itu... ia cantik jelita dan ia musuhmu, bukan? Kalau saja kita bisa menyergap dia, tanpa bantuan Yousuf dan pemuda lihai itu, kita berdua masa tak dapat menangkap dia?” Sambil berkata demikian, sepasang mata Ke Ce yang cerdik itu berputar-putar dan mulutnya tersenyum.

Untuk beberapa lama Bo Lang Hwesio tertegun karena merasa malu dan rendah untuk melakukan hal ini. Akan tetapi menghadapi mereka bertiga yang tangguh, sampai kapan dia dapat membalas sakit hati muridnya terhadap Lin Lin? Akhirnya dia menganggukkan kepalanya yang gundul. Mereka berdua dengan berindap-indap dan sembunyi-sembunyi lalu naik lagi ke atas bukit.

Pada saat mereka tiba di tempat itu sambil mengintai dan bersembunyi di balik pohon, Cin Hai masih berada di bawah dan ujung tambang masih dipegang oleh Yousuf dan Lin Lin. Bukan main girang hati Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Sambil tertawa dan membentak keras mereka berdua keluar dari tempat persembunyian mereka, dan lari cepat ke arah Yousuf dan Lin Lin yang masih memegang tambang di mana tubuh Cin Hai bergantung di bawah.

Tidak perlu diceritakan lagi alangkah terkejut hati Yousuf dan Lin Lin melihat kedatangan mereka. Keduanya memandang dengan wajah pucat sekali dan merasa bahwa sekarang mereka berdua berikut Cin Hai, pasti akan binasa.

“Pegang tambang itu kuat-kuat, aku melawan mereka mati-matian,” kata Yousuf.

Lin Lin lalu memegang tambang itu seorang diri dengan sekuat tenaga karena biar pun sesungguhnya tenaganya sudah lebih dari cukup untuk memegang ujung tambang yang digantungi tubuh kekasihnya, akan tetapi oleh karena merasa takut kalau-kalau tambang itu terlepas dari tangan dan ngeri memikirkan nasib Cin Hai kalau terjadi hal demikian, maka dia lalu memegangnya erat-erat, seakan-akan nyawanya sendiri yang tergantung di ujung tambang itu.

Yousuf yang tadi ketika mengambil tambang juga mengambil pedangnya, lalu mencabut pedang itu dan menyambut mereka sambil berlari agar pertempuran dapat dilakukan di tempat yang jauh dari Lin Lin. Akan tetapi, Bo Lang Hwesio dan Ke Ce yang hendak bertindak cepat, lalu menerjang dengan hebat hingga sebentar saja Yousuf terkurung dan terdesak hebat sekali.

Sementara itu, Cin Hai yang tidak tahu apa-apa tentang peristiwa yang sedang terjadi di atas, masih mencari-cari dengan matanya. Ketika dia menggunakan ketajaman matanya menembus halimun tebal dan melihat ke bawah, ia hanya melihat warna putih kebiruan yang bergerak-gerak di bawah kakinya, jauh di bawah. Dia menduga bahwa itu mungkin juga daun-daun pohon.

Cin Hai lalu mencari akal, dan ketika tangannya menyentuh akar-akar serta daun pohon kecil, ia segera memegang akar pohon itu kuat-kuat dan sambil menggantungkan kedua kakinya pada akar pohon, dia lalu mempergunakan kedua tangan untuk mengikat ujung tambang itu pada pinggangnya. Dengan demikian, dia mulai mencari-cari ke kanan-kiri sambil merayap dan berpegangan pada akar-akar pohon tanpa takut terpeleset atau akar itu patah, karena pinggangnya telah terikat tambang.

Pada waktu Lin Lin memandang dengan berdebar cemas betapa Yousuf terkurung hebat oleh dua orang musuh yang tangguh itu tiba-tiba ia mendengar suara di atas kepalanya. Alangkah girangnya karena melihat Merak Sakti terbang berkeliling di atasnya.

“Kong-ciak-ko, lekas tolong Ayah!” teriak Lin Lin dengan keras.

Merak Sakti menyambar turun bagaikan tahu akan perintah Lin Lin, dan juga berkat rasa kesetiaannya timbul melihat Yousuf dikeroyok, lalu dia menyambar ke arah Ke Ce sambil memekik keras!

Ke Ce terkejut sekali ketika melihat bayangan kuning kebiru-biruan menyambar turun dari angkasa ke arah kepalanya. Ia cepat mengelak dan mengeluarkan keringat dingin ketika patuk merak yang kecil merah serta tajam itu meluncur di dekat kepalanya, hampir saja berhasil mematuk matanya! Saat Merak Sakti menyambar lagi, ia cepat mengulur tangan dengan gerakan Eng-jiauw-kang untuk mencengkeram dan menangkap leher merak yang bagus itu.

Akan tetapi merak itu bukan burung sembarang burung, melainkan peliharaan orang sakti dan telah menerima latihan-latihan sehingga dia menjadi seekor merak sakti. Menghadapi serangan ini, dia tak menjadi gentar dan sambil terbang ia mengebut tangan yang hendak mencengkeramnya itu dengan sayap.

“Blekkk!”

Ke Ce hampir saja mengeluarkan pekik karena tangannya yang terpukul sayap itu terasa sakit dan pedas. Ternyata bahwa kebutan sayap merak itu mengandung tenaga yang bukan main besarnya! Ke Ce menjadi marah sekali dan mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan untuk mendorong jauh merak yang lihai itu.

Akan tetapi Merak Sakti yang agaknya sudah maklum pula akan kelihaian pukulan yang mendatangkan angin ini sehingga setiap kali Ke Ce memukul, dia selalu mengelak cepat. Betapa pun juga, serangan-serangan Ke Ce dengan ilmu pukulan ini membuat merak itu tak berdaya untuk menyerangnya.

Biar pun kini hanya menghadapi seorang lawan saja, namun oleh karena kepandaian Bo Lang Hweso lebih tinggi dari pada kepandaiannya, tetap saja Yousuf terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya! Lin Lin mengeluarkan keringat dingin ketika melihat betapa bantuan Sin-kong-ciak tetap belum dapat menolong ayah angkatnya, bahkan kini merak itu hanya berani terbang berputaran di atas kepala Ke Ce oleh karena tadi hampir saja pukulan Angin Taufan orang mongol itu mengenai dadanya!

Lin Lin mulai menarik-narik tambang membetot-betot untuk memberi tanda kepada Cin Hai. Tiba-tiba saja dia merasa tambang itu dikedut dari bawah, tanda bahwa Cin Hai telah merasa akan isyarat yang dia berikan dan kini membalas dengan kedutan seakan-akan hendak bertanya.

“Hai-ko... lekas kau naik...!” Lin Lin berteriak ke arah bawah tebing, akan tetapi suaranya ditelan halimun dan tak dapat menembus ke bawah.

Ia berteriak berkali-kali dan Ke Ce yang melihat hal ini, segera melompat ke arahnya! Lin Lin segera menggunakan tangan kiri untuk menahan tambang, ada pun tangan kanannya cepat mencabut pedangnya! Dia hanya berdiri dengan mata tajam menentang Ke Ce dan pedangnya siap di tangan kanan. Tekadnya hendak melawan mati-matian dan apa bila ia kalah, dia tetap takkan melepaskan tambang itu dan bersedia melompat ke dalam tebing menyusul kekasihnya!

Sementara itu, pada saat melihat betapa Ke Ce menghampiri Lin Lin, Sin-kong-ciak lalu berteriak-teriak nyaring dan mulai menyambar kepala Ke Ce lagi! Ke Ce segera memukul, memaksa merak itu mengelak dan kembali terbang ke atas dengan jeri. Ke Ce tertawa menyeringai dan menghadapi Lin Lin sambil berkata,

“Nona manis, kau lepaskan saja tambang itu dan kau ikut aku pergi ke…”

Pada saat itu, Sin-kong-ciak menyambar lagi dan mencakar ke arah mukanya sehingga terpaksa Ke Ce mengelak dan tak melanjutkan ucapannya terhadap Lin Lin.

“Burung celaka!” makinya. “Burung bedebah! Apa bila aku berhasil menangkapmu, akan kupanggang dagingmu sampai gosong!”

Tetapi Merak Sakti itu hanya terbang berkeliling di atas kepalanya sambil mengeluarkan pekik nyaring berkali-kali. Pekik inilah yang kemudian terdengar oleh Cin Hai dan yang membuat pemuda itu menjadi curiga, terlebih lagi karena dia merasa betapa tambang itu berkali-kali ditarik dari atas. Dengan cepat Cin Hai lalu mulai memanjat tambang itu untuk naik kembali ke atas oleh karena penyelidikannya tidak menghasilkan sesuatu.

Sementara itu, berkat sambaran-sambaran yang dilakukan oleh Sin-kong-ciak, Ke Ce tak mendapat kesempatan untuk mengganggu Lin Lin, karena apa bila ia telah usir merak itu dengan pukulan Angin Taufannya dan ia menghampiri Lin Lin, gadis itu telah siap dengan pedangnya yang tidak boleh dipandang ringan biar pun gerakannya tidak leluasa karena tangan kiri memegang tambang.

Sebelum Ke Ce dapat bertindak lebih jauh, merak itu sudah turun menyambar lagi hingga pemuda Mongol ini menjadi marah benar-benar. Lin Lin yang merasa gugup dan cemas melihat keadaan Yousuf dan keadaannya sendiri, beberapa kali berseru,

“Hai-ko, lekas... lekas keluar...!”

Mendengar ini dan melihat betapa tambang di tangan Lin Lin bergoyang-goyang, Ke Ce menjadi takut. Hanya Cin Hai saja yang dia takuti, maka kini menduga bahwa pemuda itu akan segera muncul, dia lalu angkat kaki lebar sambil mengajak Bo Lang Hwesio,

“Bo Lang-Suhu, lekas pergi!”

Sementara itu, Yousuf telah beberapa kali terkena sampokan ujung lengan baju Bo Lang Hwesio yang sangat lihai, bahkan pukulan terakhir yang mengenainya telah menghantam pundak dekat leher yang membuat dadanya terasa sesak dan sakit. Akan tetapi berkat ilmu lweekang-nya yang sudah tinggi, ia dapat mengumpulkan tenaga dan masih dapat melawan dengan gigih!

Bo Lang Hwesio merasa heran sekali melihat keuletan orang Turki ini, karena pukulan-pukulan ujung lengan bajunya tadi biasanya cukup untuk membinasakan seorang lawan gagah dengan sekali pukul saja. Kakek Turki ini telah empat kali menerima pukulannya dan masih saja kuat melakukan perlawanan! Diam-diam dia merasa kagum dan gentar juga. Apakah kakek ini memiliki ilmu kekebalan yang hebat?

Karena hatinya sudah gentar, maka ketika Ke Ce melarikan diri dan mengajak dia untuk kabur, ia lalu meloncat jauh dan mengejar kawannya itu, lari turun gunung dengan cepat. Dan kali ini mereka benar-benar lari dari atas gunung itu karena takut akan pembalasan Cin Hai!

Ketika Cin Hai sudah mendarat dan berada di atas tebing, dia menjadi terkejut sekali melihat Lin Lin memegang ujung tambang dengan pedang di tangan kanan dan air mata gadis itu mengalir di kedua pipi. Ketika ia memandang ke arah Yousuf, ia segera berseru kaget karena kakek itu roboh tak sadarkan diri!

Keduanya lalu berlari menghampiri dan sambil memeriksa keadaan luka-luka pada tubuh Yousuf, Cin Hai mendengar keterangan Lin Lin dengan mata berapi dan muka merah.

“Keparat betul dua bangsat rendah itu!” katanya sambil mengertak gigi. “Alangkah curang dan rendahnya perbuatan mereka!”

Cin Hai agak lega melihat bahwa biar pun Yousuf mendapat luka-luka yang hebat, namun tenaga dalam kakek itu sudah cukup kuat untuk melindungi jantung serta paru-parunya sehingga tidak sampai menderita luka. Akan tetapi ia memerlukan rawatan teliti dan lama sebelum dapat sembuh sama sekali. Kemudian dia lalu memondong tubuh Yousuf dan bersama Lin Lin dia kembali ke rumah untuk segera memberi pertolongan kepada orang Turki itu.

Sesudah mendapat urutan dan pencetan pada jalan darahnya, kakek itu siuman kembali dan ia lalu tersenyum melihat bahwa Lin Lin dan Cin Hai masih selamat dan berada di dekatnya!

“Lain kali akan kubalas dia...,” katanya lemah.

Kemudian Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mencari-cari jejak kedua kawan yang terjatuh ke dalam tebing.

“Halimun terlalu tebal dan tebing itu terlalu dalam hingga sukar untuk melihat nyata. Akan tetapi oleh karena tebing itu merupakan lereng gunung, aku akan mencoba untuk mencari dari kaki gunung dan hendak memanjat ke atas pada tempat itu. Mudah-mudahan saja Thian Yang Maha Kuasa melindungi mereka berdua!”

Tiba-tiba Lin Lin menepuk jidatnya dengan perlahan. “Ahh... mengapa kita begitu bodoh? Kong-ciak-ko tentu dapat mencari mereka.”

Mendengar ini, Cin Hai dan Yousuf girang sekali karena mereka juga berpendapat bahwa burung merak itu tentu saja dapat mencari mereka.

“Pergilah kalian segera membawa Sin-kong-ciak dan suruh burung itu mencari Kwee An dan Ma Hoa. Lekas!” kata Yousuf dengan suara gembira.

Lin Lin dan Cin Hai lalu berlari-lari keluar dan Lin Lin bersuit memanggil burung merak yang segera terbang datang.

“Kong-ciak-ko, mari kau ikut kami!” katanya sambil berlari cepat kembali ke tebing tadi. Burung merak itu mengeluarkan suara girang dan terbang mengikuti di atas mereka.

Sesudah tiba di tebing Lin Lin lalu memberi tanda dengan tangannya, menyuruh burung merak itu turun. Kemudian, sambil menunjuk ke bawah tebing, Lin Lin berkata,

“Kong-ciak-ko, kau dengarlah baik-baik! Kwee An dan Ma Hoa hilang di bawah sana, kau carilah mereka sampai dapat!” Sesudah mengulangi perintah ini sampai beberapa kali, tiba-tiba merak itu lalu memekik girang dan segera terbang ke bawah tebing. Ternyata ia telah dapat menangkap maksud perintah tadi!

Lin lin merasa begitu tegang dan gembira sehingga dia memegang tangan Cin Hai dan keduanya lalu berdiri menanti di pinggir tebing dengan wajah agak tegang dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya hati dua anak muda ini yang berdebar-debar dan bersama-sama berdoa semoga burung merak itu akan dapat menemukan kedua kawan mereka dan kembali sambil membawa berita baik!

Lama sekali mereka menanti dan tiba-tiba saja mereka mendengar merak itu memekik di sebelah bawah. Dan bukan main heran hati mereka karena pekik merak itu adalah pekik kemarahan, seperti biasanya dikeluarkan apa bila dia menghadapi seorang lawan! Merak itu memekik berkali-kali, dan dengan wajah pucat Lin Lin bertanya kepada Cin Hai,

“Siapakah gerangan yang membuat Kong-ciak-ko demikian marah?”

Cin Hai juga tak bisa menduga dan hanya menjenguk ke bawah yang terlihat putih pekat tertutup halimun itu dengan penuh perhatian dan harap-harap cemas.

Sesudah terdengar pekik merah itu beberapa kali lagi, lalu di bawah menjadi sunyi, sunyi yang makin menggelisahkan hati kedua teruna remaja itu. Tiba-tiba saja terdengar bunyi pukulan sayap merak itu, lantas muncullah Sin-kong-ciak menembus halimun, terbang ke atas dan langsung mendarat di dekat Lin Lin.

Dia mengangguk-anggukkan kepala sambil mengeluarkan keluhan-keluhan aneh. Ketika Cin Hai dan Lin Lin memandang, ternyata bahwa pada kaki merak itu sudah terlibat oleh seutas tali hijau yang ternyata terbuat dari pada semacam akar pohon. Tali itu di bagian depan mengikat sepotong batu karang kecil yang agaknya digunakan untuk disambitkan sehingga tali dapat melibat kaki Merak Sakti.

Tentu saja ilmu kepandaian melempar tali dengan batu karang ini yang dapat melibat kaki Merak Sakti, menunjukkan bahwa pelemparnya tentulah seorang luar biasa. Jangankan tali itu sampai dapat melibat kaki Merak Sakti yang lihai dan pandai mengelak, sedangkan untuk menangkap burung biasa dengan cara aneh itu pun agaknya tidak akan mudah dilakukan oleh sembarang orang! Dan yang membuat kedua anak muda itu merasa heran adalah sepotong kertas yang berada di ujung tali itu.

Cin Hai cepat-cepat mencabut kertas itu dan ternyata bahwa di situ terdapat tulisan yang dilakukan dengan corat-coret kasar dan berbunyi,

Pergilah kalian dan pelihara Merak ini baik-baik. Kalau ada jodoh, kelak bertemu.

“Aneh...“ kata Cin Hai, “tulisan siapakah ini dan apa pula maksudnya? Apa hubungannya dengan Kwee An dan Ma Hoa?”

Lin Lin yang membaca surat itu berkali-kali, juga tidak mengerti dan hanya memandang dengan bengong. “Tentu di sebelah bawah yang penuh rahasia itu ada seorang yang luar biasa pandai,” katanya, “dengan batu dia mampu membelitkan tali bersurat kepada kaki Kong-ciak-ko dan ia dapat mengetahui pula keadaan kita berdua di sini. Sungguh heran dan ajaib!”

Sekali lagi Cin Hai membaca surat itu dengan teliti. “Dengan kata-kata pergilah kalian, orang aneh itu sudah mengetahui bahwa kita berdua berada di sini dan menyuruh pergi, tentu karena kedua orang saudara kita itu selamat. Ia menyuruh kita memelihara merak baik-baik karena agaknya ia kagum dan suka sekali kepada merak ini, ada pun kata-kata bila ada jodoh kelak bertemu merupakan ucapan yang biasa dilakukan oleh pertapa atau orang-orang tua yang sakti. Ini hanya dugaanku saja, terutama mengenai keselamatan Kwee An dan Ma Hoa, aku sendiri belum dapat memastikan benar.”

Mereka lalu kembali ke rumah Yousuf dan menceritakan kejadian itu sambil menunjukkan surat itu. Yousuf juga merasa heran, akan tetapi dia berkata dengan suara mengandung penuh harapan, “Orang yang mengirim surat secara aneh ini tentu seorang pandai dan kalau dia dapat mengetahui keadaan kalian di atas tebing, tentu dia tahu pula apa yang kalian cari. Maka menurut dugaanku, Kwee An dan Ma Hoa tentu tertolong olehnya!”

“Akan, tetapi, kalau benar demikian halnya, mengapa dia tidak menyuruh An-ko dan Ma Hoa kembali ke sini?” tanya Lin Lin.

Yousuf menggeleng-gelengkan kepala dan memejamkan matanya sebab pembicaraan ini biar pun dilakukan sambil berbaring, tapi cukup melelahkan tubuhnya yang lemah. Yousuf ialah seorang perantau yang banyak pengalaman dan ia mengerti pula cara pengobatan, maka ia dapat merawat luka-lukanya sendiri.

Semenjak terjadinya peristiwa yang menguatirkan itu, yaitu lenyapnya Kwee An dan Ma Hoa serta terlukanya Yousuf, Cin Hai lalu menggembleng Lin Lin lebih rajin dan tekun lagi sambil memberi nasehat agar supaya gadis kekasihnya itu melatih diri baik-baik siang dan malam karena Cin Hai hendak meninggalkannya.

“Kau harus dapat menguasai Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut beserta kedua Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na baik-baik untuk menjaga dari bahaya mendatang, sebab aku harus meninggalkan kau dan Yo-peh-peh beberapa lama untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa. Hatiku takkan tenteram sebelum dapat menemukan mereka,” katanya.

Lin Lin juga menyatakan setuju. Tentu saja ia ingin sekali ikut akan tetapi keadaan Yousuf yang rebah dengan tubuh masih amat lemah dan belum sembuh lukanya itu memerlukan tenaga bantuan dan rawatannya sehingga ia merasa tidak tega untuk meninggalkan ayah angkatnya yang dikasihinya itu. Demikianlah, sejak saat itu mereka berlatih siang malam tanpa kenal lelah sehingga setelah digembleng secara demikian untuk sebulan lamanya, Cin Hai menjadi puas sekali.

“Lin-moi,” katanya girang setelah ia mencoba melawan Lin Lin dan mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu kini benar-benar sudah hebat sekali. “Sekarang, biarlah Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, bahkan biarlah mereka itu membawa dua tiga orang kawan lagi. Dengan adanya kau di sini, seorang diri saja engkau akan sanggup memukul roboh mereka semua.”

“Benarkah itu, Koko? Menurut pendapatku sendiri, kepandaianku masih sama saja.”

Cin Hai tersenyum “Memang demikianlah adanya. Kemajuan sendiri pasti takkan pernah terasa atau terlihat oleh diri sendiri, orang lain yang bisa menentukannya. Makin pandai seseorang ia akan makin merasa dirinya bodoh. Kau ingat akan nama guru kita? Bu Pun Su, artinya Tiada Kepandaian! Suhu yang ilmunya telah mencapai puncak kesempurnaan itu, bahkan mengaku bahwa beliau tak memiliki kepandaian sama sekali. Kepandaianmu sekarang telah berlipat beberapa kali kalau dibandingkan dengan sebulan yang lalu. Jika kau tidak percaya, mari kita tanyakan kepada Yo-pekhu.”

Keduanya lalu mendatangi Yousuf yang berangsur sembuh dan kini telah dapat duduk.

“Yo-pekhu, coba kau lihat ilmu pedang Lin Lin dan nyatakan pendapatmu!” kata Cin Hai.

Yousuf tersenyum sambil mengangguk-angguk dan Lin Lin lantas bersilat dengan pedang pendeknya di depan Yousuf. Pedang pendek Han-le-kiam menyambar-nyambar sehingga merupakan sinar putih kebiru-biruan berkelebat di sekeliling tubuh Lin Lin yang laksana menari-nari dengan gaya indah.

Walau pun pedang itu pendek saja, namun sinarnya seakan-akan menjadi senjata yang panjang hingga dapat dibayangkan bahwa gerakan pedang itu cepat sekali. Yang hebat ialah bahwa tangan kiri Lin Lin tak tinggal diam, akan tetapi membarengi gerakan tangan kanan yang memegang pedang pendek dan melakukan serangan pula sambil mainkan jurus-jurus yang lihai dan aneh dan Ilmu Silat Pek-in Hoatsut dan Kong-ciak Sin-na.

Setelah ia berhenti mainkan ilmu pedangnya, ia lalu memandang ke arah ayah angkatnya itu dengan mata mengandung pertanyaan. Yousuf menarik napas panjang karena tadi ia seperti menahan napas karena kagumnya.

“Ah, sungguh sulit dipercaya bahwa kepandaian ini baru kau pelajari beberapa puluh hari saja. Terus terang saja, kini aku sendiri belum tentu kuat menghadapimu dalam sepuluh jurus. Kau hebat, anakku dan terima kasih kepada Cin Hai yang telah mendidikmu.”

Cin Hai tersenyum girang, lalu menjura sambil berkata, “Terima kasih itu tak seharusnya ditujukan kepadaku, Yo-pekhu, akan tetapi kepada Suhu Bu Pun Su. Sekarang aku akan turun gunung hendak mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Dengan kepandaian Lin Lin sekarang, aku dapat meninggalkan kalian berdua dengan hati tenteram. Lin-moi, harap kau jangan malas untuk melatih diri selama aku pergi.”

Lin Lin mengerling tajam. “Apakah memang aku biasanya malas? Koko, jangan terlalu lama pergi!”

“Mana aku kuat meninggalkan kau terlalu lama?”

Kemudian, sesudah sekali lagi memandang kepada Lin Lin dan menjura kepada Yousuf, Cin Hai lalu melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan kedua orang itu.

“Lin Lin, kau tentu bahagia sekali mendapat jodoh seperti Cin Hai,” kata Yousuf dengan suara gembira.

Lin Lin tidak menjawab, hanya menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi pembaringan Yousuf sambil tersenyum dan pandang matanya melayang jauh dalam lamunan.

Cin Hai mempergunakan ilmunya untuk berlari cepat menuruni bukit itu. Dia terus turun sampai di kaki bukit, lantas mengambil jalan memutar menuju ke kaki gunung di bawah tebing yang curam di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh.

Ternyata bagian ini ialah bagian sebelah timur, penuh dengan hutan belukar, dan lereng gunung itu walau pun terdiri dari tanah yang tidak keras, akan tetapi sukar dilalui karena penuh dengan jurang-jurang dan rawa-rawa yang penuh alang-alang. Bahkan ada bagian yang nampaknya seperti tanah rata ditumbuhi rumput tebal, akan tetapi ketika terinjak, ternyata bahwa di bawahnya merupakan tanah lumpur yang berbahaya sebab sekali saja kedua kaki masuk ke situ, orang tak akan mampu menarik kembali kedua kakinya yang makin lama tersedot makin dalam!

Karena rawa yang demikian ini luas sekali dan tak mungkin diloncati begitu saja karena lebarnya, Cin Hai kemudian mencari akal. Ia menggunakan pedangnya untuk memotong banyak batang pohon bambu dan melemparkan bambu itu ke atas rumput itu.

Dia membawa beberapa batang bambu yang panjang dan menginjak bambu yang telah dilempar di atas rumput, kemudian dia menurunkan bambu sebatang lagi disambungkan kepada bambu yang diinjaknya. Dengan cara demikian dia membuat jembatan bambu yang sambung menyambung dan yang dapat diinjaknya tanpa kuatir tenggelam, hingga akhirnya setelah menghabiskan tujuh bambu panjang, ia dapat juga menyeberang rawa yang aneh dan berbahaya ini!

Cin Hai terus maju dengan hati-hati sekali, pedang Liong-coan-kiam siap di tangan sebab dia tidak tahu apa yang akan muncul di tempat yang belum pernah terinjak oleh kaki manusia itu. Akhirnya dia tiba juga di suatu tempat yang merupakan lereng yang curam dan yang tegak ke atas. Ketika dia memandang ke atas ternyata di atas penuh dengan halimun dan mengira-ngira di mana kiranya Kwee An dan Ma Hoa terjatuh.

Ketika ia maju sedikit ia melihat banyak goa di lereng itu, besar-besar dan gelap. Hatinya berdebar amat keras. Boleh jadi sekali orang aneh yang telah mengirim surat itu tinggal di salah sebuah di antara goa-goa ini!

Ia lalu meneliti setiap goa dan memeriksa tanah lembek di depan goa. Kalau goa itu ada orangnya, pasti ia akan melihat tapak kaki di depan goa itu, karena betapa pun tinggi ilmu ginkang seseorang, kalau menginjak tanah lembek itu pasti meninggalkan bekas. Setelah meneliti dan memeriksa beberapa buah goa, akhirnya ia berseru perlahan.

Di depan goa yang besar dan gelap, ia melihat kaki manusia! Ketika ia memeriksa lebih teliti, hatinya tergoncang karena tapak kaki itu demikian tipisnya, seakan-akan tanah itu hanya disentuh saja oleh orang yang berjalan di atasnya.

Ia kemudian mengerahkan ginkang-nya dan berjalan di dekat tapak-tapak kaki itu dengan ringan sekali. Akan tetapi ia melihat, ternyata bahwa tapak kakinya lebih dalam dari pada tapak kaki yang dilihatnya itu. Dari sini dapat dia menduga bahwa ilmu ginkang orang itu ternyata lebih tinggi dari pada ginkang-nya sendiri!

Cin Hai berlaku makin berhati-hati karena dia tahu bahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya dan ia belum tahu pula apakah orang itu kawan atau lawan. Ia segera membuat api dari kayu kering, dan dengan sebatang obor menyala yang dibuatnya dari pada alang-alang yang sudah kering, ia lalu memasuki goa itu, obor di tangan kiri dan Liong-coan-kiam di tangan kanan.

Goa itu ternyata lebar dan dalam sekali. la melihat beberapa buah batu hitam licin yang halus permukaannya hingga dapat dibuat duduk orang, maka semakin keras dugaannya bahwa di situ tentu pernah tinggal seorang manusia atau pertapa. Akan tetapi, selain batu-batu itu, tidak terdapat benda lain, juga tidak nampak seorang pun di dalam goa.

la menjadi kecewa dan tiba-tiba saja kepalanya tertumbuk pada sebuah batu kecil yang ternyata tergantung di atas langit-langit goa. Ia mengangkat obornya ke atas dan betapa girangnya ketika melihat bahwa batu kecil yang tertumbuk oleh kepalanya itu ternyata adalah sepotong batu karang yang diikat dengan tali, persis seperti yang dahulu dipakai untuk membelit kaki Sin-kong-ciak!

Dia tidak ragu-ragu lagi. Di sinilah tempat orang aneh yang berahasia itu. Dia memeriksa semakin teliti dan ketika ia mengangkat obornya ke sebelah kiri, ia melihat corat-coret di atas dinding tanah batu itu. Dia segera menghampiri dan ternyata bahwa corat-coret itu merupakan lukisan orang dalam berbagai posisi yang jelas menggambarkan orang yang sedang bermain silat!

Di sana-sini terdapat tulisan-tulisan dan ketika ia membaca tulisan itu, ia menjadi tertarik sekali karena tulisan-tulisan itu merupakan ujar-ujar dari Khongcu yang diambil dari kitab Tiong-yong! Di antara sekian banyaknya ujar-ujar yang ditulis di atas dinding itu, dengan gaya tulisan yang persis sama seperti yang dituliskan di atas kertas yang terbawa oleh kaki Sin-kong-ciak, ia tertarik akan sebuah ujar-ujar yang dulu pernah dia pelajari dari Kui Sianseng, gurunya yang suka memukul kepalanya itu. Ujar-ujar ini demikian bunyinya,

Kou Kuncu Put Kho-i Put Siu-sin. Su siu-sin Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-kho-i Ti-jin. Su Ti-jin, Put Kho-i Put Ti Thian!

Ia teringat kepada Kui Sianseng yang memecahkan arti ujar-ujar tersebut sebagai berikut, ‘seorang Budiman seharusnya menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi. Untuk dapat menyempurnakan diri pribadi, tak dapat tidak harus mencinta dan berbakti kepada ayah bunda. Untuk dapat mencinta dan berbakti pada ayah bunda, tak dapat tidak harus mengetahui tentang peri kemanusiaan. Dan untuk dapat mengetahui tentang peri kemanusiaan, tak dapat tiada ia harus mengetahui tentang KETUHANAN.”

Setelah membaca ujar-ujar yang dulu sering dihafalkan itu, tiba-tiba saja Cin Hai berdiri bengong karena ia teringat kepada ayah bundanya dan ingat pula bahwa ia belum juga mencari kuburan mereka! Sampai lama juga ia berdiri diam tak bergerak hingga setelah api obornya padam, barulah ia sadar dan segera keluar dari goa itu oleh karena merasa malu dan tidak enak hati untuk berdiam lebih lama dalam tempat kediaman orang lain tanpa seijin tuan rumah!

Ia terus mencari hingga sehari penuh ia keluar masuk goa untuk mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Akan tetapi jangankan orangnya, bayangannya pun tidak dilihatnya!

Cin Hai merasa kecewa, akan tetapi ia juga merasa lega karena tidak melihat bukti-bukti bahwa dua orang yang dikasihinya itu telah tewas! Karena, andai kata keduanya terjatuh dan terbanting mati di situ, tentu ia akan melihat tanda-tanda atau bekas-bekasnya.

Karena hari telah mulai gelap, maka Cin Hai lalu memasuki goa yang penuh tulisan dan lukisan itu lagi untuk bermalam. Dia anggap bahwa goa itu paling bersih dan paling baik, tidak mengandung hawa dan bau yang tidak enak seperti goa lainnya, dan lagi pula, ada kemungkinan penghuni goa itu datang sehingga dia dapat bertemu dengannya! Dia ingin sekali bertemu dengan ahli ujar-ujar Khongcu ini yang sudah mengirim berita ketika dia berada di atas dengan Lin Lin dan dia merasa yakin bahwa penulis surat itu tentu tahu akan nasib Kwee An dan Ma Hoa!

Karena merasa asing di dalam goa seorang diri, maka Cin Hai lalu menyalakan api lagi dan memeriksa lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan di dinding itu. Ternyata lukisan-lukisan itu mengandung pelajaran ilmu silat yang aneh dan tinggi. Akan tetapi sebagai seorang berjiwa gagah, Cin Hai tidak mau mencuri dan mempelajari ilmu silat orang lain, maka ia lalu mengalihkan perhatian pada tulisan-tulisan dan ujar-ujar yang selalu menarik hatinya.

Mendadak dia melihat lukisan-lukisan yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak, sebuah tubuh manusia dengan segala macam kekotorannya, dan sebuah muka yang amat jahat, sejahat-jahatnya bagaikan setan sendiri memperlihatkan muka!

Dan di bawah tiga buah lukisan aneh itu, terdapat syair yang sangat menarik hatinya. Dia lalu membaca dengan penuh perhatian,

Alangkah buruk nasibku! Aku dipaksa untuk tinggal di tubuh hina. Dikurung dalam segala kerendahan jasmani! Diliputi oleh segala kepanasan hawa nafsu!

Hanya satu hiburan bagiku: Akan tiba saatnya aku pergi meninggalkan semua keburukan ini. Dan kembali ke tempat asal, kembali ke tempat suci

!

Sekali lagi Cin Hai dibikin bengong dan termenung membaca syair yang penuh arti ini. Ia maklum dan dapat merasakan bahwa syair ini merupakan rintihan jiwa atau roh manusia, bukan penulis syair itu saja akan tetapi setiap manusia, termasuk dia sendiri!

Ia lantas bergidik memandang tengkorak itu yang tiba-tiba nampak menjadi tengkoraknya sendiri, ngeri melihat tubuh dengan segala kekotoran itu, dan meremang bulu tengkuknya melihat wajah mengerikan itu, wajah yang penuh diliputi nafsu-nafsu jahat yang tiap saat menyerang batin manusia! Siapakah pelukis dan penyair ini? Makin tertarik hatinya sebab ia merasa bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan.

Tiba-tiba terdengar suara, “Ah… ah... uh... uh...!” yang keras di belakangnya dan secepat kilat Cin Hai membalikkan tubuhnya.

Dia melihat seorang tua kurus tinggi tahu-tahu sudah berdiri di pintu goa tanpa terdengar olehnya. Orang itu kelihatan marah sekali dan tiba-tiba dia mengangkat tangan kanannya lalu digerakkan ke arah Cin Hai.

Bukan main terkejutnya Cin Hai sebab tiba-tiba dari tangan itu menyambar angin pukulan yang keras sekali. Cin Hai cepat mengelak ke samping, akan tetapi angin pukulan yang keras itu telah menyambar dan membikin padam api obor yang dipegangnya!

Di dalam goa menjadi gelap sekali. Jangankan untuk melihat orang lain, memandang jari tangan sendiri di depan mata pun tak kelihatan! Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi kepandaian seorang dan betapa pun tajam pandangan mata seseorang, namun, tanpa ada sinar yang menerangi sama sekali, mata tidak akan ada gunanya lagi. Maka dia lalu meraba-raba dan berdiri mepet dinding goa.

Ia mendengar angin pukulan orang itu masih menyerang secara membabi buta. Ia pun maklum bahwa meski angin pukulan itu akan dapat ditahannya dan takkan mencelakakan dirinya karena ia pun memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, namun apa bila ia membuat gerakan, akan terdengar oleh orang itu dan jika orang itu menyerang dengan nekad di dalam gelap, tentu mau tidak mau dia harus membalas dan pertempuran di dalam gelap hanya dapat diakhiri dengan maut! Dan hal ini tidak ia kehendaki, karena ia tidak punya permusuhan sesuatu dengan orang itu.

Ia pun tidak berani membuka mulut, karena ia tidak tahu akan watak orang aneh itu. Ia hanya menanti sampai orang itu membuka mulut, akan tetapi ternyata orang itu pun tidak bicara sesuatu, hanya ah-ah-uh-uh seperti suara monyet!

Semalam itu Cin Hai hanya duduk saja menyandar dinding dengan mengatur napas dan bersemedhi karena hanya dengan jalan duduk diam begini dia dapat beristirahat sambil mencurahkan perasaannya sehingga tak mudah diserang lawan secara diam-diam.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)