PENDEKAR BODOH : JILID-36
Pada suatu hari, ketika dia sedang menjalankan kudanya perlahan sambil merenungkan nasibnya yang selalu terpisah dari Lin Lin, ia merasa seolah-olah ada orang mengikutinya dari belakang. Beberapa kali ia menoleh, akan tetapi ia tidak melihat bayangan seorang pun. Akan tetapi, apa bila ia melanjutkan perjalanannya, kembali ia merasa seakan-akan ada sepasang mata memandang dirinya dan sepasang kaki berjalan cepat dengan amat ringannya di belakang kuda.
Dengan tiba-tiba Cin Hai berpaling lagi, akan tetapi kembali ia kecele, oleh karena ia tidak melihat ada orang. Setankah yang mengikutinya? Atau orang yang berkepandaian tinggi? Seingatnya, yang mungkin mengikutinya secara luar biasa cepatnya dan diam-diam, tidak ada orang lain kecuali suhu-nya saja yang akan sanggup melakukannya. Akan tetapi tak mungkin suhu-nya mengikuti dengan diam-diam.
Cin Hai lalu melarikan kudanya cepat-cepat, akan tetapi kembali dia mendengar tindakan kaki yang amat ringannya mengikutinya dengan cepat pula. Ketika dia menengok, masih saja kosong di belakangnya, tidak nampak seorang pun.
Sungguh mengherankan, dan dengan penasaran dia lalu turun dari kudanya dan berjalan sambil menuntun Pek-gin-ma. Setelah berjalan kaki, Cin Hai merasa makin yakin bahwa benar-benar ada orang yang mengikutinya dari belakang dan orang ini tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali oleh karena selain tindakan kakinya yang ringan sekali, juga tiap kali menengok, orang itu tiba-tiba telah dapat melenyapkan diri dan bersembunyi dengan cara yang luar biasa.
Ia bisa menduga bahwa dengan mengandalkan ginkang-nya yang sempurna, tentu orang itu telah melompat ke belakang pohon pada saat ia menengok, oleh karena di sepanjang jalan yang dilaluinya memang terdapat banyak sekali pohon-pohon besar. Oleh karena ini, dia lantas mendapat akal.
Ia sengaja menuntun kudanya keluar dari tempat itu dan melalui jalan yang membelok ke kanan di mana tidak terdapat sebatang pohon juga. Ia hendak melihat apakah orang itu masih berani mengikutinya dan kalau ia menengok, orang itu hendak lari bersembunyi ke mana?
Benar saja, ketika ia melalui jalan yang tidak berpohon, tindakan kaki yang mengikutinya lalu berhenti. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya ketika ia mendengar lagi suara tindakan kaki itu di belakangnya. Alangkah beraninya orang itu, pikirnya penasaran dan secepat kilat dia menggerakkan kepala berpaling memandang ke belakang. Dan kini dia melihat seorang lelaki yang berpakaian indah sedang berjalan dengan seenaknya, sama sekali tidak gugup atau hendak pergi bersembunyi ketika dia menengok!
“Sobat, kenapa kau mengikuti aku?” tanya Cin Hai gemas.
Orang itu tertawa, suara tawanya sangat nyaring dan tinggi, mengandung ejekan seperti biasanya suara ketawa orang yang berwatak sombong. Orang ini masih muda, usianya paling banyak baru tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang, wajahnya tampan serta gagah, keningnya tinggi sedangkan pakaiannya terdiri dari baju warna kuning dan celana biru. Di luar bajunya masih memakai sehelai mantel abu-abu yang indah sekali. Pada rambutnya yang hitam itu nampak hiasan dari batu giok yang merupakan seekor naga terbang.
Cin Hai merasa heran karena setelah dekat, ia melihat betapa pada kedua pipi laki-laki ini nampak warna kemerah-merahan yang tidak asli, seakan-akan pipi itu dibedaki dengan yanci dan bedak yang seperti biasa dipakai wanita bersolek!
Setelah tertawa nyaring laki-laki pesolek ini lalu berkata,
“Aku hendak berjalan di belakangmu atau di depanmu, mau pun di sebelahmu, apakah hubungannya dengan kau? Aku berjalan di atas kedua kakiku sendiri dan jalan ini adalah jalan umum! Padamu tidak ada sesuatu yang menarik hatiku, kecuali kuda putih ini dan burung bangau itu!”
Dia tertawa lagi sambil memandang dengan mata mengandung ejekan. Biar pun hatinya mendongkol, akan tetapi Cin Hai dapat merasakan juga bahwa kata-kata orang ini ada benarnya juga. Ia berjalan sendiri dan tidak mengganggunya, mengapa ia harus merasa penasaran dan gemas? Maka timbul kejenakaannya dan ia menjawab,
“Peribahasa kuno menyatakan bahwa orang harus berlaku waspada terhadap orang yang berada di belakangnya dan tidak perlu takut kepada orang yang berada di hadapannya! Kau selalu berjalan di belakang, bahkan dengan cara bersembunyi, maka teringatlah aku akan peribahasa itu. Bukan maksudku hendak menyebutmu pengecut, namun maksud peribahasa itu bahwa orang harus berhati-hati terhadap orang yang selalu melakukan hal dengan sembunyi-sembunyi karena orang demikian itu adalah seorang yang berbahaya dan berwatak pengecut!”
Ucapan yang diputar-putar ini biar pun tidak langsung memaki, akan tetapi sudah dua kali Cin Hai menyebut orang di depannya itu sebagai pengecut!
Lelaki pesolek itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum dibuat-buat. Dia lalu meloloskan sehelai tali yang banyak bergelantungan di ujung bajunya, lalu mempermainkan tali itu di antara jari tangannya.
“Kau pandai berkelakar anak muda, tetapi tetap saja aku menganggap bahwa kuda dan burungmu itu lebih baik dari padamu!”
Pada saat itu burung bangau melayang dari atas. Melihat betapa Cin Hai berhadapan dengan orang asing, ia lalu menyambar ke atas kepala orang itu.
“Ang-siang-kiam, jangan kurang ajar!” seru Cin Hai.
Akan tetapi dengan tenang, seakan-akan tidak diserang oleh seekor burung bangau yang besar dan ganas, orang itu lalu menggerakkan tangannya ke arah burung itu, kemudian ia menjura kepada Cin Hai sambil berkata,
“Ahh, burungmu mulai membosankan aku, anak muda. Selamat tinggal!”
Bukan main terkejutnya hati Cin Hai ketika merasa betapa dari kedua tangan orang yang sedang menjura kepadanya itu, menyambar angin pukulan yang hebat ke arah dadanya! Cin Hai buru-buru membungkukkan tubuhnya dan balas menjura sambil mengerahkan khikang-nya dan ketika kedua tenaga mereka bertemu, keduanya melangkah mundur dua tindak! Ternyata bahwa tenaga mereka berimbang.
Orang itu memandang kepada Cin Hai dengan mulut tersenyum mengejek, akan tetapi kedua matanya mengeluarkan pandangan kagum.
“Bagus, bagus, aku telah bertemu dengan seorang ahli!” Tubuhnya lalu berkelebat dan sebentar saja lenyaplah dia dari pandang mata Cin Hai.
Pemuda ini merasa heran dan kagum. Akan tetapi ketika memandang ke arah burung bangau yang sudah terbang turun, keheranannya berubah kekagetan karena dia melihat betapa burung itu kini sedang bergulingan di atas tanah sambil mencakar-cakar paruhnya sendiri!
Sesudah Cin Hai menghampiri, ternyata bahwa sepasang paruh burung yang bagaikan sepasang pedang merah itu telah terikat menjadi satu oleh tali yang tadi dipegang oleh laki-laki pesolek itu! Dia cepat menggunakan pedangnya memutuskan tali yang mengikat paruh burung bangau, akan tetapi ternyata bahwa tali itu kuat bukan main dan tak mudah diputuskan. Sesudah dia mengerahkan tenaga, barulah tali istimewa itu dapat diputuskan dan burung itu lalu terbang tinggi dengan ketakutan!
Cin Hai mengeluarkan keringat dingin. Bukan main lihainya orang itu yang hanya dengan sehelai tali dapat membuat burung itu tidak berdaya. Orang yang dapat melontarkan tali hingga dapat melibat dan mengikat burung yang sedang terbang menyambarnya, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silatnya! Masih untung bahwa orang itu tidak turun tangan dan memusuhinya, kalau terjadi demikian belum tentu ia akan dapat mengalahkan lawan yang sedemikian tangguhnya itu!
Teringatlah Cin Hai akan kata-kata suhu-nya dulu, bahwa di dunia terdapat banyak sekali orang-orang pandai. Ia lalu menaiki punggung Pek-gin-ma lagi dan bersuit memberi tanda kepada burung bangau untuk melanjutkan perjalanan menuju ke barat.
Sesudah dia melakukan perjalanan sampai beberapa puluh li jauhnya, hari telah menjadi senja dan ia tiba di luar sebuah kota yang temboknya telah terlihat dari situ. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda di sebelah belakang.
Ia berhenti dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kira-kira seperempat li jauhnya di sebelah belakang, ada seorang penunggang kuda yang juga menghentikan kudanya! Ia lantas menggerakkan Pek-gin-ma lagi dan ternyata orang itu pun melarikan kudanya pula. Ketika ia berhenti dengan tiba-tiba, orang itu pun berhenti.
“Kurang ajar!” kata Cin Hai sambil membalikkan kudanya dan melarikan kuda mengejar orang yang mengikutinya itu!
Dia sudah merasa bosan untuk diikuti orang saja dan siapa pun juga orang itu, dia akan menghajarnya! Orang itu pun membalikkan tubuh kuda dan melarikan kudanya dengan cepat dan Cin Hai makin merasa heran oleh karena kini ia dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang Turki yang tinggi kurus! Orang yang dikejarnya itu melarikan kudanya ke dalam sebuah hutan dan ketika Cin Hai mengejar dan memasuki hutan pula, tiba-tiba dari depan melayang belasan batang anak panah yang kesemuanya mengarah dada, leher, dan perut!
“Pengecut!” ia berseru marah sambil mempergunakan ujung lengan bajunya mengebut ke depan sehingga dia berhasil memukul jatuh semua anak panah, kemudian ia mengeprak kudanya agar berlari lebih cepat.
Akan tetapi tiba-tiba rumput yang diinjak oleh kudanya itu nyeplos ke bawah dan tubuh Pek-gin-ma terjeblos ke dalam lubang perangkap yang besar dan yang tadi ditutup oleh rumput-rumput hijau! Cin Hai cepat melompat dari kudanya hingga tidak ikut terjeblos ke dalam lubang itu. Dia mendengar kudanya meringkik ngeri dan ketika dia memandang ke dalam lubang, ternyata bahwa Pek-gin-ma sudah tertusuk oleh tiga batang tombak yang sengaja dipasang di dalam lubang itu!
Melihat tubuh kudanya berkelojotan, dengan marah dan hati penuh rasa iba, Cin Hai lalu menarik keluar pedangnya dan menusuk punggung kuda itu ke arah jantungnya sehingga kuda itu mati seketika itu juga! Kalau ia tidak melakukan tikaman ini, kuda itu pasti akan mati, akan tetapi harus menderita lebih dulu beberapa lamanya.
Kemudian, Cin Hai memburu ke depan hendak mencari orang Turki tadi, akan tetapi dia tak melihat bayangan orang di dalam hutan itu! Ia mencari-cari terus dan berteriak-teriak memaki-maki akan tetapi setelah hari sudah mulai gelap dan belum juga ia mendapatkan musuh yang curang itu, terpaksa ia pergi meninggalkan hutan dengan hati marah sekali.
Burung bangau yang terbang di atas hutan itu pun tak melihat adanya musuh dan burung ini tidak berani turun seakan-akan dia masih merasa gentar menghadapi lawan yang tadi telah secara aneh dapat mengikat paruhnya!
Cin Hai melanjutkan perjalanan menuju ke kota di depan itu sambil berlari cepat. Hatinya gemas sekali oleh karena dia merasa telah dipermainkan orang. Kota yang dimasukinya adalah sebuah kota yang cukup ramai dan di situ ia melihat banyak orang-orang Mongol, serta orang-orang dari suku bangsa lain.
Setelah mencari kamar di sebuah rumah penginapan, Cin Hai lalu keluar dari kamarnya untuk melihat-lihat dan sekalian mencari jejak Lin Lin, juga ingin sekali bertemu dengan orang Turki tinggi kurus yang dilihatnya tadi.
Ia melihat sebuah rumah makan besar yang penuh tamu, lalu masuk memesan makanan. Pelayan membawanya ke loteng, oleh karena di bagian bawah sudah penuh. Ketika dia memasuki tangga loteng, tiba-tiba saja ia mendengar percakapan tamu di loteng itu yang membuatnya segera menahan tindakan kakinya dan mendengarkan dengan teliti. Salah seorang di antara tamu-tamu itu telah membicarakan dan menyebut nama Yousuf!
“Yousuf sedang sakit dan tidak berdaya. Kalau sekarang kita menyerbu dengan tiba-tiba dan berbareng, apa sukarnya menundukkan gadis itu?”
Hanya sedemikianlah yang dapat didengar oleh Cin Hai, karena ketika pelayan muncul, percakapan itu lalu dilakukan dalam bahasa Turki yang dia tak mengerti sama sekali. Dia berjalan menundukkan muka, akan tetapi dia memperhatikan mereka.
Ternyata bahwa ruang atas itu kosong dan hanya terdapat empat orang sedang duduk mengelilingi sebuah meja penuh mangkok berisi hidangan. Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki berbangsa Turki, sedangkan yang tiga orang lainnya adalah seorang nenek bongkok, seorang kakek bersorban, dan seorang pula berpakaian seperti tosu.
Mereka ini bukan lain ialah Giok Kwat Moli si Nenek Bongkok, Wai Sauw Pu si Kakek Bersorban, dan Lok Kun Tojin, tiga orang yang dahulu pernah berjumpa dan bertempur melawan Ang I Niocu, Kwee An, dan Ma Hoa! Akan tetapi Cin Hai belum pernah melihat mereka.
Ketiga orang tua itu ternyata pandai bercakap-cakap dalam bahasa Turki hingga Cin Hai hanya duduk mendengarkan penuh perhatian dan meski pun tidak mengerti sama sekali, akan tetapi beberapa kali ia mendengar nama Yousuf disebut-sebut, hingga diam-diam ia berdebar girang. Tadi mereka menyebut seorang gadis yang hendak mereka keroyok, bukankah gadis yang dimaksudkan itu Lin Lin adanya?
Cin Hai tidak tahu bahwa keempat orang itu merasa mendongkol serta marah karena percakapan mereka terganggu oleh kedatangannya, karena meski pun mereka mengerti bahasa Turki, akan tetapi mereka lebih suka bercakap-cakap dalam bahasa Han tanpa didengar oleh telinga lain orang. Tiba-tiba mereka itu bicara dalam bahasa Han lagi, akan tetapi pembicaraan mereka kini telah berubah dan Cin Hai mendengar tosu itu berkata dengan keras,
“Memang sungguh menyebalkan orang-orang sekarang, terutama anak-anak mudanya. Mereka bisanya hanya bersolek dan menjual lagak belaka. Yang paling kubenci adalah pemuda-pemuda yang berpakaian seolah-olah ia seorang sasterawan pandai, akan tetapi sebetulnya dia tak mengerti apa-apa. Kalau melihat orang pemuda berpakaian pelajar, timbul keinginanku untuk mencekik lehernya!”
Tiga orang kawannya tertawa lebar dan pada saat Cin Hai memandang ternyata bahwa dengan terang-terangan mereka berempat sedang memandang kepadanya. Dia maklum bahwa empat orang itu tentu sengaja menghinanya oleh karena ia memang mengenakan pakaian sebagai seorang pelajar dan pedangnya disembunyikan ke dalam bajunya yang lebar dan panjang. Hanya dia belum mengerti mengapa mereka itu menghinanya tanpa sebab.
“Yang menyebalkan ialah bahwa mereka itu tidak insyaf bahwa kehadiran mereka tidak disukai orang. Dan sama sekali tidak mengerti bahwa kehadiran mereka mengganggu percakapan orang lain!” terdengar suara nenek bongkok.
Kini Cin Hai mengerti bahwa mereka itu merasa terganggu, maka berusaha menakut-nakutinya agar dia segera berpindah tempat ke ruang bawah! Akan tetapi dia tidak peduli dan ketika masakan yang dipesannya datang, dia lalu makan seakan-akan di ruang atas itu tidak terdapat lain orang kecuali dia sendiri!
Tiba-tiba tosu bercambang bauk itu membersihkan kerongkongannya dengan suara yang menjijikkan sekali. Hal ini dilakukan berkali-kali dan dibarengi dengan suara tertawa dari kawan-kawannya hingga Cin Hai hampir tak dapat menahan sabar lagi. Lenyaplah nafsu makannya karena merasa jijik.
Sambil menoleh dan meletakkan sumpitnya, ia berkata,
“Heran sekali, mengapa orang-orang tua dan pendeta-pendeta di sini demikian tidak tahu kesopanan dan bersikap seperti orang-orang liar?”
Ucapan Cin Hai ini membuat Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu, marah sekali. Ia bangun berdiri dan tubuhnya yang tinggi besar itu membuat dia nampak garang sekali. Tangan kanannya menyambar sepasang sumpitnya kemudian sekali dia menggerakkan tangan, sebatang sumpit itu menyambar dan menancap di meja Cin Hai sampai setengahnya lebih!
Cin Hai mendongkol sekali karena terang-terangan mereka itu hendak menghina serta mengajaknya berkelahi. Dengan tenang ia lalu memegang sumpitnya, kemudian dengan perlahan ia memukulkan sumpitnya pada sumpit yang tertancap di atas mejanya sambil berseru, “Kakek tua, hati-hatilah kau menggunakan sumpitmu, jangan sampai terloncat ke meja lain!”
Ketika sumpit yang tertancap di atas meja itu kena dipukul oleh sumpitnya, sumpit itu mencelat lantas melayang kembali ke arah Wai Sauw Pu yang masih berdiri di dekat mejanya sendiri. Kakek bersorban itu lalu menangkap sumpitnya yang melayang kembali sambil tertawa bergelak dan berkata,
“Ha-ha-ha, tidak tahunya bukan sembarang kutu buku, dan memiliki juga sedikit punsu (kepandaian). Kau patut menerima penghormatanku. Terimalah sepotong daging sebagai penghormatan!” Sambil berkata demikian, dia menusuk sepotong daging dan ketika dia mengayun tangannya, sumpit berikut daging yang tertusuk itu melayang ke arah mulut Cin Hai.
Pemuda ini merasa marah sekali, maka ia hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Ia tidak mengelak atau menangkap sumpit yang menyambar ke arah mulutnya itu, hanya miringkan kepala sedikit dan pada saat sumpit itu lewat di depan mulutnya, ia membuka mulut dan menggigit ujungnya. Daging dan sumpit dapat tergigit olehnya dan ketika dia meniup, sumpit itu meluncur ke atas lantai dan patah menjadi dua!
Kemudian dia menghadapi Wai Sauw Pu dan sambil mengerahkan tenaga khikang lalu menyemburkan daging dari mulutnya itu kepada kakek itu, disusul dengan kata-kata,
“Kakek yang baik, kubayar lunas penghormatanmu dan terimalah kembali dagingmu yang busuk!” Daging yang disemburkan itu cepat sekali meluncur ke arah mulut Wai Sauw Pu.
Kini terkejutlah kakek ini dan dia segera memiringkan kepala hendak berkelit. Akan tetapi semburan Cin Hai ini selain cepat, juga tidak terduga sehingga biar pun daging itu tidak mengenai mulutnya, akan tetapi masih menyerempet pipinya sehingga terasa pedas dan pipinya ternoda oleh kuah daging itu!
Wai Sauw Pu menjadi marah sekali. Dengan tindakan kaki lebar dia lalu menghampiri Cin Hai yang juga masih tetap duduk dengan tenang.
“Tikus kecil! Berani betul kau berlaku kurang ajar di hadapanku!” teriak Wai Sauw Pu dengan marah sekali.
“Kakek yang baik, pernahkah kau mendengar sebuah ujar-ujar kuno yang sangat baik! Ujar-ujar itu menyatakan, bahwa menghormat orang lain berarti menghormat diri sendiri! Kau dan kawan-kawanmu sengaja menggangguku padahal aku tidak melakukan sesuatu yang salah! Kalau kau tidak mau menghormat bahkan menghina orang lain, bukankah itu artinya menyalahi ujar-ujar itu? Menghormati orang lain berarti menghormat diri sendiri, sebaliknya menghina orang lain berarti menghina diri sendiri karena dengan perbuatanmu yang menghina orang lain itu hanya menyatakan betapa rendahnya martabatmu!”
Mendengar ucapan ini, tertegunlah hati Wai Sauw Pu. Ia mulai menduga bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Namun, untuk daerah barat nama Wai Sauw Pu sudah terkenal sekali, maka tentu saja ia tidak mau mengalah, apa lagi ia dihina oleh pemuda itu di depan ketiga orang kawannya.
“Anak muda, siapakah kau yang berani bermain gila di depan Wai Sauw Pu si Malaikat Tasbeh? Katakan siapa namamu agar supaya aku tidak menghajar segala oang yang tak bernama!”
Cin Hai pura-pura memperlihatkan muka terkejut dan ketakutan mendengar nama yang sesungguhnya belum pernah dikenalnya itu.
“Ahh, kiranya kini aku berhadapan dengan seorang malaikat? Tentu kau masih terhitung keluarga dengan Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa), karena menurut cerita orang Giam-lo-ong juga bertubuh tinggi besar seperti kau! Aku hanya seorang biasa saja, mana ada kehormatan untuk memperkenalkan nama kepada malaikat? Sudahlah, kakek yang baik, kau maafkan aku saja dan jangan kau mencabut nyawaku!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sewajarnya dan tidak mengandung ejekan, akan tetapi cukup memerahkan telinga Wai Sauw Pu.
“Boleh, boleh! Kau boleh minta maaf akan tetapi kau harus mencukur gundul kepalamu di hadapanku dulu, baru aku bisa memberi maaf dan tidak menghancurkan kepalamu!”
Cin Hai adalah seorang yang mempunyai kesabaran besar, akan tetapi tidak ada ucapan lain yang akan melebihi rasa sakit di dalam hatinya kecuali menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ucapan yang dikeluarkan oleh Wai Sauw Pu tanpa sengaja itu mengingatkan dia akan hinaan-hinaan yang dideritanya pada saat dia masih kanak-kanak dan berkepala gundul. Maka ia lalu menjawab,
“Pikiranmu cocok sekali dengan keinginan hatiku! Aku pun ingin sekali melihat benda apa yang tersembunyi di dalam sorbanmu itu! Ingin sekali aku melihat warna kulit kepalamu, apakah kulitnya sama tebalnya dengan mukamu!”
“Keparat!” teriak Wai Sauw Pu dan tahu-tahu tangannya telah menarik keluar tasbehnya yang lihai, senjatanya yang ampuh itu! Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, tahu-tahu tasbehnya sudah meluncur dan menyerang ke arah kepala Cin Hai!
Pemuda ini dengan tenang lalu mengelak, segera mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk menghadapi tasbeh kakek itu dengan tangan kosong!
Tak hanya Wai Sauw Pu yang terkejut melihat gerakan pemuda yang luar biasa cepatnya itu, bahkan kawan-kawannya juga memandang dengan hati heran dan kagum. Meski pun tasbeh itu membuat gerakan yang melingkar-lingkar dan mencegah seluruh jalan keluar, namun dengan cepat tubuh Cin Hai dapat berkelebat mengikuti gulungan sinar senjata dan menghindarkan diri dari setiap sambaran tasbeh!
”Kakek yang baik, kau bukalah sorbanmu!”
Sambil berkata demikian, sepasang tangan Cin Hai cepat bergerak dan dengan gerakan Kong-ciak Jio-cu atau Merak Sakti Merampas Mustika, ia mencengkeram ke arah kepala Wai Sauw Pu dengan tangan kirinya!
Kakek itu terkejut sekali dan mengelak ke kanan. Akan tetapi secepat kilat tangan kanan Cin Hai menyusul dan sebelum Wai Sauw Pu sempat berkelit, sorbannya sudah dapat dicengkeram dan direnggutkan dari kepalanya oleh Cin Hai. Tertawalah anak muda itu ketika melihat betapa kepala Wai Sauw Pu ternyata gundul pelontos seperi kepalanya dulu!
“Ha-ha-ha! Pantas saja kau minta aku mencukur gundul rambutku, tak tahunya kau telah mendahuluiku mencukur gundul kepalamu! Ha-ha-ha, alangkah licinnya! Lalat pun akan terpeleset apa bila hinggap di kepalamu!”
Biar pun merasa marah sekali, ketiga kawan Wai Sauw Pu terpaksa menahan ketawa mereka mendengar kata-kata yang lucu ini. Mereka bertiga kemudian meloloskan senjata masing-masing dan menerjang maju hingga Cin Hai terkurung di tengah-tengah.
Melihat gerakan mereka diam-diam Cin Hai terkejut juga karena tidak disangkanya bahwa ilmu kepandaian keempat orang ini ternyata benar-benar tinggi dan hebat! Ia pikir takkan ada gunanya untuk melawan mati-matian kepada mereka itu, karena bukankah mereka ini mempunyai hubungan dengan lenyapnya Yousuf dan Lin Lin? Maka ia lalu melompat ke sana ke mari dan membuat gerakan-gerakan Tarian Bidadari hingga tubuhnya dengan mudah dapat mengelak dari setiap serangan, sambil berkata,
“Aduh, lihai... lihai sekali, aku terima kalah!” Ia lalu melompat ke atas dan cepat pergi dari tempat itu, bersembunyi di tempat gelap di luar rumah makan.
Empat orang itu segera mengejar dan melompat turun dari loteng sehingga semua tamu yang mengenal mereka sebagai orang-orang berilmu tinggi menjadi panik dan berlarian ketakutan!
Dengan perasaan amat marah keempat orang itu mencari-cari, akan tetapi Cin Hai dapat menyembunyikan diri dengan amat baiknya, bahkan lalu mengikuti mereka ketika mereka pergi dengan berlari cepat sekali.
Empat orang yang diikuti Cin Hai itu menuju ke sebelah timur kota dan mereka memasuki sebuah pondok. Cin Hai mempergunakan ilmu ginkang-nya yang tinggi untuk mengintai tanpa diketahui oleh penghuni pondok. Ketika dia memandang, alangkah kagetnya oleh karena empat orang itu ternyata mengadakan pertemuan dengan tiga orang tosu bangsa Han yang bukan lain orangnya adalah Kanglam Sam-lojin, yakni ketiga tokoh besar dari Liong-san-pai yang pernah menjad guru-gurunya dahulu! Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu sudah kelihatan tua sekali akan tetapi mereka masih bersikap gagah!
Ketujuh orang di dalam pondok itu sedang membicarakan tentang pertemuan yang baru dialami oleh keempat orang tua itu dengan Cin Hai. Si Kakek bersorban berkata,
“Jangan-jangan pemuda yang aneh itu adalah kawannya Yousuf, atau jangan-jangan dia adalah seorang penyelidik dari kaisar! Maka lebih baik malam ini juga kita menyerbu ke pondok itu untuk menawan Yousuf!”
Setelah mengadakan permufakatan, ketujuh orang itu lalu keluar dari pondok dan segera berlari menuju ke sebuah hutan yang berada di luar kota. Cin Hai tetap mengikuti mereka dengan hati berdebar.
Betaoa banyaknya orang-orang pandai yang hendak menawan Yousuf! Benar-benarkah yang hendak ditawan adalah Yousuf yang menjadi ayah angkat Lin Lin itu? Dengan hati menduga-duga serta penuh harapan, Cin Hai terus mengikuti mereka masuk ke dalam hutan.
Malam itu terang bulan sehingga mereka dapat berjalan di dalam hutan tanpa banyak susah. Mereka berhenti di luar sebuah pondok kayu sederhana yang agaknya masih baru dibangun di tengah-tengah hutan itu.
“Yousuf! Kau keluarlah dan menyerahlah dengan damai!” Wai Sau Pu berteriak dari luar.
Tiba-tiba saja api penerangan yang tadinya tampak bernyala di dalam pondok itu menjadi padam, dan terdengarlah suara yang merdu dan nyaring dari dalam pondok,
”Kawanan penjahat rendah! Apa kau kira Nonamu akan membiarkan kau mengganggu ayahnya?”
Cin Hai hampir berseru karena girang. Itulah suara Lin Lin! Maka tanpa terasa lagi ia lalu mencabut keluar Liong-coan-kiam dari dalam jubahnya dan siap sedia untuk membantu kekasihnya itu.
Diam-diam Cin Hai lalu mengumpulkan kayu dan daun kering karena ia pikir bahwa kalau keadaan di luar tidak cukup terang, maka akan berbahaya sekali bagi Lin Lin. Apa bila di luar gelap maka pada saat gadis itu keluar, dia mudah diserang dengan senjata rahasia, sedangkan tadi di rumah makan ia sudah mendapat kenyataan betapa kakek bersorban itu pandai sekali menimpuk dengan sumpit, tanda bahwa ia bisa mempergunakan senjata rahasia. Setelah kayu dan daun kering dia tumpuk, lalu dia membuat api dan membakar tumpukan itu hingga berkobarlah api yang membuat tempat itu menjadi terang sekali…..
********************
Marilah kita ikuti sebentar dan secara singkat pengalaman Yousuf bersama Lin Lin yang memaksa mereka berlari meninggalkan tempat tinggal mereka di lereng bukit dekat tapal batas sebelah utara itu.
Sambil menanti berita dari Cin Hai yang pergi mencari jejak Ma Hoa dan Kwee An, Lin Lin setiap hari melatih Ilmu Pedang Han-le Kiam-hoat yang sudah dipelajarinya dari Cin Hai. Di samping itu ia merawat Yousuf yang terluka dengan penuh kesabaran.
Beberapa hari kemudian, selagi ia melatih ilmu pedangnya, dia melihat rombongan orang Turki menyerbu naik bukit itu dan jumlah mereka tidak kurang dari sebelas orang!
“Nona, di mana adanya Yousuf?” tanya seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebuah golok di tangan.
“Ada keperluan apakah kalian mencari Yousuf?” tanya Lin Lin dengan hati-hati
“Kami hendak menawannya!”
Baru saja mendapat jawaban ini, Lin Lin menyambar dengan hebat sehingga pemegang golok itu terpelanting dengan luka pada lengan tangannya!
“Enak saja kau bicara!” Lin Lin membentak. “Siapa pun tidak boleh menawan Ayahku!”
Orang-orang Turki itu merasa sangat heran mendengar bahwa gadis ini ternyata adalah puteri Yousuf sebab sepanjang pengetahuan mereka, Yousuf belum pernah beristeri, apa lagi mempunyai seorang puteri! Mereka segera menyerbu dengan hebat yang disambut dengan marah oleh Lin Lin. Pedang Han-le-kiam di tangannya walau pun hanya pendek, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa, seolah-olah seekor naga sakti mengamuk kepada para penyerangnya.
Akan tetapi, di antara para penyerbu ini terdapat seorang yang tinggi silatnya, yaitu Lok Kun Tojin serta beberapa orang Turki yang terkenal jago-jago nomor satu di negaranya! Sebentar saja Lin Lin terkurung rapat dan terdesak hebat.
Mendadak terdengar pekik nyaring dari atas dan seekor burung merak besar menyambar turun bagaikan halilintar dan begitu burung sakti itu menggerakkan sayap dan kakinya, dua batang golok musuh telah terpental dan orangnya terpelanting!
Akan tetapi, Lin Lin maklum bahwa pihak lawan kuat sekali, dan apa bila diteruskan, dia akan lelah dan kalah, sedangkan Yousuf masih dalam keadaan lemah! Mengingat bahwa mereka ini datang hendak menawan Yousuf, ia menjadi gelisah sekali maka secepat kilat ia melompat mundur. Ketika pihak musuh mengejar, ia berseru,
“Kong-ciak-ko, kau tahan mereka!”
Merak Sakti agaknya mengerti akan maksud perintah ini karena ia kemudian menyambar-nyambar dan menghalangi mereka yang hendak mengejar Lin Lin. Seorang pengeroyok yang berlaku kurang hati-hati dan terlalu berani, sudah kena dipatuk matanya sehingga menjadi buta!
Lin Lin mempergunakan kesempatan itu berlari cepat ke arah pondok di mana Yousuf sedang duduk dengan wajah muram. Orang tua ini selain menderita karena lukanya, juga dia merasa gelisah sekali apa bila mengingat akan nasib Kwee An dan Ma Hoa yang terjatuh ke dalam jurang!
“Ayah, Ayah... ayo kita lekas lari!” tiba-tiba terdengar suara Lin Lin yang masuk dengan wajah pucat.
“Kau kenapa, Nak?” Yousuf bertanya tenang.
“Musuh datang menyerbu! Rombongan orang-orang Turki yang lihai sekali!”
Yousuf terkejut juga dan akhirnya menurut untuk melarikan diri dari belakang, sementara musuh ditahan oleh Merak Sakti. Akan tetapi, oleh karena pihak musuh memang terdiri dari orang-orang pandai, akhirnya Merak Sakti juga tidak kuat bertahan lebih lama lagi setelah ia mendapat luka-luka ringan karena tusukan golok, hingga sambil berteriak-teriak ia lalu terbang tinggi sekali. Ia melihat dua orang kawannya yang berlari cepat, maka ia lalu melayang dan mengejar mereka.
Ketika rombongan orang Turki menyerbu ke dalam rumah, mereka hanya mendapatkan rumah kosong dan pada saat itu Yousuf dan Lin Lin telah cukup jauh. Dengan gemas orang-orang Turki itu lalu membakar rumah Yousuf serta melaksanakan pengejaran. Di sepanjang jalan mereka melampiaskan rasa marah dan gemasnya kepada rakyat dusun hingga rakyat dusun banyak yang menderita dan menjadi korban keganasan mereka.
Sementara itu, Lin Lin dan Yousuf terus melarikan diri, dikawal dari atas oleh Merak Sakti. Beberapa kali mereka tersusul oleh rombongan pengejar, akan tetapi berkat kegagahan Lin Lin serta pembelaan Merak Sakti yang setia, mereka selalu dapat dipukul mundur hingga akhirnya mereka hanya mengejar dari belakang tanpa berani menyerang lagi.
Akhirnya Lin Lin dan Yousuf ti6nggal di dalam hutan itu dan mereka menyangka bahwa mereka sudah terlepas dari kejaran orang-orang Turki itu oleh karena telah lama mereka tidak nampak menyerang.
Padahal rombongan itu masih tetap mengintai, bahkan mereka lalu mendatangkan bala bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli yang menjadi sumoi dari Hai Kong Hosiang dan yang sudah memberikan kesanggupan kepada suheng-nya itu untuk membalaskan dendamnya kepada Cin Hai dan kawan-kawannya, si kakek bersorban Wai Sau Pu yang gagah perkasa, jago dari Sin-kiang itu, dan masih banyak lagi jago-jago yang mereka datangkan dari Turki.
Ketika pada malam hari itu rombongan musuh menyerbu lagi, Yousuf yang mendengar musuh-musuhnya lalu berkata kepada Lin Lin,
“Lin Lin, anakku yang baik, kau gunakanlah kepandaianmu untuk lari menyelamatkan diri. Tinggalkanlah aku seorang diri, aku sudah tua dan aku berani menghadapi bencana ini seorang diri. Akan tetapi kau, kau jangan sampai terbawa-bawa, anakku. Kau mendapat berkah dan doaku, pergilah Lin Lin. Apa bila kau sampai terkena bencana bersamaku, sampai mati pun aku akan merasa penasaran dan berduka!”
“Tidak, tidak. Bagaimana pun juga aku akan tetap membelamu, Ayah!”
Yousuf merasa terharu sekali melihat betapa anak pungutnya ini bersedia membelanya dengan berkorban jiwa! Tak tertahan lagi air mata mengucur dan membasahi pipinya.
Lin Lin lalu menerjang keluar sambil memutar-mutar pedang Han-le-kiam-nya. Meski pun pedangnya hanya sebuah, akan tetapi ketika dia mainkan Han-le Kiam-hoat, pedang itu seakan-akan berubah menjadi puluhan pedang. Juga pada saat itu, Merak Sakti sudah menyambar keluar dari pintu pondok dan mengamuk tak kalah hebatnya.
Siok Kwat Moli si nenek bongkok yang melihat kehebatan Merak Sakti menjadi marah sekali. Ia lalu mencabut sebatang pisau kecil dan mengayunkan tangannya. Merak Sakti dapat melihat berkelebatnya pisau yang mengancam dada, maka cepat dia menyampok dengan kaki kirinya.
Akan tetapi tidak tahunya, bahwa pisau itu lihai sekali, tidak bergagang dan pada kedua ujungnya tajam. Ketika disampok, pisau itu tidak terpental bahkan lalu melejit dan meleset menancap pada paha burung merak itu. Merak Sakti memekik kesakitan dan terbang tinggi ke atas dengan pisau masih menancap pada pahanya.
Cin Hai segera melompat dan menerjang dengan pedangnya sambil berseru,
“Moi-moi, jangan kau takut, aku datang membantumu!”
Alangkah girangnya hati Lin Lin melihat pemuda kekasihnya ini, maka ia lantas memutar pedangnya makin hebat dan bersemangat sambil berteriak,
“Koko...!”
Sementara itu, empat orang tua yang tadi telah bertemu dengan Cin Hai di rumah makan, menjadi terkejut sekali melihat bahwa pemuda itu kini tiba-tiba muncul dan membantu gadis yang gagah itu.
“Tikus kecil, kau berani muncul kembali?” Wai Sauw Pu membentak dan tasbehnya lalu menyambar.
“Tikus besar, mengapa aku tidak berani?” balas Cin Hai membentak.
Biar pun dikeroyok hebat, hati pemuda ini merasa girang dan gembira sekali karena telah dapat bertemu dengan kekasihnya. Pedang Liong-coan-kiam berkelebatan dan sinarnya menyilaukan mata para pengeroyoknya ketika dia mainkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai.
Pada waktu Kanglam Sam-lojin ikut maju mengeroyok Cin Hai, pemuda ini lalu menegur mereka, “Sam-wi Totiang, apakah Sam-wi selama ini baik saja?”
Giok Yang Cu yang tinggi besar dan itu lalu membentak, “Setan kecil, siapakah engkau yang berpura-pura telah kenal kami tiga saudara?”
“Ha-ha-ha, Giok Yang Cu Totiang, lupakah kau kepada Cin Hai si Anak Gundul?”
Bukan main terkejut dan herannya ketiga orang tosu itu mengetahui bahwa pemuda itu benar-benar Cin Hai, anak gundul yang dahulu pernah ikut mereka. Tak mereka sangka bahwa anak yang kelihatan bodoh dan gundul itu, dan kemudian pergi bersama Ang I Niocu, kini telah menjadi seorang pemuda yang demikian lihainya. Mereka lalu berbalik mengeroyok Lin Lin lagi oleh karena mereka merasa tidak enak hati mengeroyok Cin Hai, anak yang dulu pernah menolong jiwa mereka!
Biar pun Cin Hai lihai sekali kepandaiannya dan Lin Lin juga sudah memiliki ilmu pedang yang hebat, akan tetapi oleh karena para pengeroyok itu terdiri dari para tokoh persilatan yang berilmu tinggi, lagi pula karena ilmu pedang Lin Lin belum begitu sempurna dan matang betul, maka terpaksa Cin Hai harus mengerahkan tenaga untuk bersilat di dekat gadis kekasihnya untuk membelanya di waktu perlu, sehingga keadaan keduanya segera terkurung rapat! Celakanya bahwa Sin-kong-ciak yang lihai telah terluka dan tidak berani turun membantu lagi!
Yousuf yang menderita sakit karena selain lukanya belum sembuh, juga kegelisahannya berhubung dengan jatuhnya Kwee An dan Ma Hoa di dalam jurang telah mendatangkan tekanan batin yang hebat, kini menghadapi penyerbuan yang membahayakan ini menjadi bingung sekali. Ia lalu menganggap dirinya berdosa besar, karena perpisahan antara Lin Lin dan Cin Hai pun terjadi oleh karena urusannya.
Kalau rombongan orang Turki itu tidak datang menyerbu untuk menawannya dan Lin Lin tidak membelanya, tentu gadis itu tidak perlu pergi dari lereng gunung di utara itu dan tak akan terpisah dari Cin Hai. Dan sekarang kembali gadis itu berada di dalam bahaya oleh karena membelanya. Kalau gadis itu sampai terbinasa, alangkah besar dosanya! Maka ia lalu paksakan diri keluar sambil membawa sebatang pedang, akan tetapi tubuhnya amat lemas!
Pada saat ia muncul di ambang pintu, matanya lantas terbelalak ketika ia melihat seorang pemuda bertempur membantu Lin Lin dan ternyata bahwa pemuda itu adalah Cin Hai!
“Cin Hai...!” serunya girang, akan tetapi segera dia roboh tertotok oleh Wai Sauw Pu yang telah melompat dan segera menawannya.
“Cuwi, tangkaplah aku akan tetapi jangan kalian mengganggu kedua orang muda itu!” Yousuf masih sempat berteriak sebelum Wai Sauw Pu membawanya lari!
Lin Lin terkejut sekali dan hendak mengejar, akan tetapi para pengeroyoknya tidak mau memberi kesempatan kepadanya. Juga Cin Hai tak dapat meninggalkan Lin Lin seorang diri, maka kedua orang muda itu merasa gelisah sekali.
Dan pada saat itu, terdengar suara ketawa yang nyaring sekali, lalu disusul berkelebatnya bayangan yang gesit sekali ke arah Wai Sauw Pu yang sedang berlari sambil mengempit tubuh Yousuf. Sekali bayangan itu bergerak, Wai Sauw Pu roboh terpelanting dan Yousuf telah dipulihkan kembali dari totokan!
Yousuf dengan lemah lalu merayap ke pinggir dan tiba-tiba terdengar bisikan orang,
“Paman Yousuf, mari ikut aku!”
Yousuf memandang dan ternyata nampak seorang Turki keluar dari tempat gelap. Ketika dia memperhatikan, orang itu bukan lain adalah keponakannya sendiri yang cepat-cepat menggendongnya dan membawanya lari ke dalam gelap!
Sementara itu, penolong yang datang secara mendadak itu kembali tertawa dan berkata, “Kalian ini semut-semut kecil hendak berlagak ganas, melarikan orang sakit dan berani mengeroyok seorang nona manis? Ha-ha-ha-ha, itu namanya tidak memandang mukaku. Sungguh terlalu, terlalu sekali!” Sesudah berkata demikian, orang itu lalu menyerbu dan gerakan kaki tangannya ringan dan cepat sekali!
Bukan main herannya hati Cin Hai pada saat mengenal bahwa orang ini adalah laki-laki pesolek yang tampan dan yang pernah menaklukkan burung bangau secara lihai sekali itu! Dan bukan main terkejutnya ketika ia melihat betapa laki-laki itu lalu bersilat dengan ilmu silat yang hampir sama dengan Pek-in Hoat-sut!
Menghadapi Cin Hai berdua Lin Lin saja, semua pengeroyok sudah merasa sukar untuk menjatuhkannya, apa lagi ditambah dengan seorang yang demikian lihainya. Mereka lalu melompat mundur dan hanya dapat bertahan saja.
Beberapa kali Si Pesolek itu tertawa bergelak sambil bersilat di dekat Lin Lin dan ketika pengeroyok mulai mengendur kurungan mereka, tiba-tiba saja laki-laki itu lalu mengulur tangan dan menotok iga kiri Lin Lin!
Serangan ini adalah sebuah tipu dalam limu Silat Kong-ciak Sin-na yang dilakukan secara baik sekali sehingga Lin Lin yang sama sekali tidak pernah menduga bahwa penolong itu akan menyerang dirinya, tidak sempat mengelak dan tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Secepat sambaran burung walet, laki-laki itu sambil tertawa lalu mengempit tubuh Lin Lin dan melompat cepat melarikan diri!
Bukan main terkejutnya hati Cin Hai melihat hal ini.
“Orang rendah, kau hendak lari ke mana?” Ia lalu mengejar dengan cepat pula ke arah mana bayangan orang tadi menghilang.
Rombongan orang Turki yang tiba-tiba melihat ketiga lawan mereka menghilang dan juga Yousuf tidak nampak bayangannya, lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan cepat meninggalkan tempat itu dengan hati penasaran dan kecewa. Mereka juga bingung dan menduga-duga melihat sepak terjang orang aneh yang tadinya menolong tetapi akhirnya bahkan menculik gadis itu!
Ternyata bahwa laki-laki yang melarikan Lin Lin itu memiliki ilmu lari cepat yang hebat sekali sehingga biar pun Cin Hai telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, ia hanya dapat mengikutinya saja tanpa dapat merobah jarak antara dia dan orang yang dikejarnya.
Sebaliknya, orang itu pun merasa terheran-heran karena pemuda yang mengejarnya itu ternyata tidak pernah tertinggal jauh, walau pun dia sudah mengeluarkan Ilmu Lari Cepat Jauw-sang-hwe (Terbang di Atas Rumput)! Demikianlah, mereka berkejar-kejaran selama setengah malam penuh sampai fajar menyingsing, dan mereka tetap berlarian melewati hutan-hutan dan melompati jurang-jurang! Tak seorang pun di antara mereka yang mau mengalah!
Sementara itu, ketika pada esok harinya pagi-pagi sekali, burung bangau Ang-siang-kiam beterbangan di atas hutan itu berputar-putar mencari Cin Hai, ia dapat mendengar keluh kesakitan dari Merak Sakti yang berada di atas sebuah pohon tinggi dan berdiri di atas cabang dengan sebelah kaki tertancap pisau. Burung bangau lalu terbang menyambar turun dan ketika melihat Sin-kong-ciak, ia lalu terbang dan hinggap di depannya.
Kedua burung ini sudah mendapat didikan dan dapat membedakan kawan atau lawan. Burung bangau melihat betapa burung merak sedang terluka, lalu mengeluarkan suara mengeluh, dan dia lalu menggunakan sepasang paruhnya yang panjang dan tajam untuk menjepit pisau itu dan mencabutnya. Memang dia sudah mendapat latihan-latihan untuk melakukan pertolongan sehingga dengan mudah dia dapat mengeluarkan pisau itu.
Melihat perbuatan yang menolongnya ini, Sin-kong-ciak tahu bahwa burung bangau ini bermaksud baik, maka ia maklum bahwa Ang-siang-kiam adalah seorang kawan. Setelah pisau yang menancap di kakinya sudah tercabut, keduanya lalu terbang tinggi di udara, merupakan kawan baik dan bersama-sama terbang berputar-putar mencari jejak majikan mereka…..
**************
Komentar
Posting Komentar