PENDEKAR BODOH : JILID-40
Ang I Niocu merasa penasaran sekali melihat betapa semua serangan-serangannya tak mendatangkan hasil, maka sambil membentak marah dia mencabut Liong-cu-kiam yang tersembunyi di dalam jubahnya.
“Perwira gadungan, rasakan kelihaian Ang I Niocu!”
Bukan main terkejutnya Kam Hong Sin mendengar bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I Niocu yang tersohor dan yang sudah lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat ke belakang lalu mengangkat kedua lengan sebagai penghormatan.
“Ahh, ahh, tidak tahunya siauwte sekarang berhadapan dengan Ang I Niocu yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw. Maaf, maaf, siauwte tidak tahu maka berani berlaku kurang ajar kepada Lihiap.”
“Ciangkun siapakah?” tanya Ang I Niocu heran.
“Siauwte adalah Kam Hong Sin.”
Kini Ang I Niocu yang terkejut karena tidak pernah disangkanya bahwa perwira muda itu adalah panglima tertinggi di kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat.
“Ah, kiranya Kam-ciangkun yang gagah perkasa. Mengapa Ciangkun meninggalkan kota raja dan berada di tempat asing dan sunyi ini?”
Akan tetapi pada saat itu, kedua mata Kam Hong Sin yang tajam itu sedang memandang dengan penuh perhatian pada pedang Ang I Niocu sehingga ia tak menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan membalas dengan sebuah pertanyaan pula,
“Lihiap, bukankah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”
“Ciangkun, di dunia kang-ouw ada peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang pedang lain orang.”
Kam Hong Sin tersenyum, kemudian berkata dengan suara tenang, “Siauwte tahu akan peraturan itu. Akan tetapi harap diingat bahwa pada saat ini siauwte bukan berhadapan dengan Lihiap sebagai orang yang menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya Lihiap merasa keberatan untuk menjawab, siauwte tetap masih akan mengulangi pertanyaan itu dengan mengingat kedudukan siauwte sebagai seorang perwira yang bertugas mencari pedang pusaka kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang lalu. Benarkah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”
Terpaksa Ang I Niocu yang tak mau membohong menganggukkan kepala.
“Dari manakah kau dapatkan Liongcu-kiam ini, Lihiap?”
“Hal ini tak perlu kuberitahukan kepada siapa pun juga,” Ang I Niocu menjawab setengah marah.
Kam Hong Sin tertawa dan berkata, “Biar pun kau tak memberitahukan, aku tahu bahwa pedang ini tentu kau dapatkan di sebuah di antara goa-goa Tun-huang ini. Lihiap, pedang ini adalah pedang pusaka kerajaan dan yang berhak memiliki dan menyimpannya adalah kaisar sendiri. Maka, kuminta kau dengan hormat sukalah kau mengembalikan pedang itu kepadaku agar dapat kuserahkan kepada kaisar.”
Ang I Niocu tersenyum sindir. “Enak saja kau bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan pedang ini dan akulah yang berhak! Kecuali aku, orang-orang Turki serta Mongol juga mencarinya dan kalau pedang ini terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka mau mengembalikan kepadamu?”
Kam Hong Sin memandang tajam, “Lihiap, sudah lama aku mengagumi namamu sebagai seorang pendekar besar, dan aku merasa segan sekali untuk melawanmu, walau pun hal ini bukan berarti bahwa aku merasa takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang itu, sebagai seorang panglima yang setia maka terpaksa aku mesti menggunakan kekerasan!”
Sepasang mata Ang I Niocu yang indah itu bercahaya marah. “Bagus, hendak kulihat bagaimana caramu menggunakan kekerasan!”
“Sudah kukatakan bahwa aku mengagumi padamu, akan tetapi bukan berarti takut!” kata Kam Hong Sin dengan suara masih tenang akan tetapi tiba-tiba ia mencabut pedangnya yang pada gagangnya tergantung sehelai tali hitam panjang. Ia membelitkan tali itu pada pergelangan tangannya dan berkata, “Lihiap, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang kerajaan itu dengan jalan damai dan tak mau memberitahukan di mana pula tempat harta pusaka itu, terpaksa aku menggunakan jalan kekerasan dengan pedang di tangan!”
“Siapa takut kepadamu?!” bentak Ang I Niocu dengan marah sambil menyerang dengan pedang Liong-cu-kiam.
Kam Hong Sin lalu berseru keras dan menangkis dengan pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan, lalu balas menyerang dengan hebat. Ilmu pedang perwira ini luar biasa sekali karena selain gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan ginkang-nya yang luar biasa sehingga membuat tubuhnya berkelebat bagaikan halilintar menyambar.
Akan tetapi Ang I Niocu telah memiliki ilmu pedang yang mencapai tingkat tinggi sehingga ia lantas melakukan desakan-desakan hebat dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan Liong-cu-kiam yang bercahaya berkilauan itu. Dengan gerakannya yang indah dan cepat, Ang I Niocu mendesak terus sehingga Kam Hong Sin benar-benar merasa terkejut dan kagum.
Sudah lama ia mendengar bahwa ilmu pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan dan sudah lama dia ingin bertemu dan apa bila mungkin mencoba kepandaian pendekar wanita itu. Kini keinginannya terkabul sebab bukan saja ia memiliki kesempatan untuk mencoba ilmu pedang gadis itu, bahkan mereka bertempur dengan mati-matian. Terpaksa dia mengandalkan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari rangsekan gadis itu.
Ang I Niocu merasa penasaran karena belum juga dia berhasil merobohkan lawan yang tangguh dan gesit ini, maka lalu maju menyerang dan merobah ilmu pedangnya, meniru gerakan Cin Hai dengan serangan Ilmu Pedang Daun Bambu yang lihai. Biar pun ia tidak mempelajari ilmu pedang ini, akan tetapi pada saat menciptakan ilmu pedang ini Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka sedikitnya ada beberapa jurus terlihai yang masih bisa teringat olehnya dan kini dia mendesak sambil mengeluarkan ilmu silat itu.
Melihat hebatnya Liong-cu-kiam yang digerakkan menyambar pinggangnya dari arah kiri ke kanan, Kam Hong Sin merasa terkejut sekali dan sambil bersuara keras ia mengenjot tubuhnya ke udara sambil berputar. Ginkang-nya benar-benar hebat dan mengagumkan sekali.
Dengan gerakan tersebut ia melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga terhindar dari serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Ang I Niocu. Kemudian, dari atas Kam Hong Sin membalas serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan pedangnya ke arah kepala Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya itu terlepas dari tangannya dan melayang ke arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang diluncurkan!
Ang I Niocu cepat mengelak dan ketika pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba saja pedang itu dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah melompat turun! Bukan main terkejutnya Ang I Niocu melihat ilmu pedang yang aneh dan lihai ini dan baru dia tahu bahwa tali hitam panjang yang mengikat gagang pedang dan yang dibelitkan di pergelangan tangan perwira itu bukan tidak ada gunanya.
Dengan tali panjang itu, maka pedang dapat disambitkan hingga dapat menyerang lawan dari jarak jauh tanpa kuatir pedang itu akan lenyap karena dapat dibetot kembali pada saat pedang itu tidak mengenai sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan, akan tetapi yang mengagumkan adalah cara Kam Hong Sin menggerakkan pedangnya pada waktu menyambit. Agaknya dia telah mempelajari ilmu pedang yang aneh ini sampai mendalam betul hingga pedang itu dapat dilepas dan ditarik sesuka hatinya.
Menghadapi ilmu pedang yang aneh dan lihai ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat. Mereka lalu bertempur kembali dengan serunya dan kali ini karena mengandalkan pedangnya yang sering kali diluncurkan untuk menyerang dari jauh, Kam Hong Sin dapat mengimbangi permainan pedang Ang I Niocu yang kini menjadi terdesak oleh serangan-serangan aneh dan berbahaya itu.
Dia merasa seakan-akan Kam Hong Sin memiliki ilmu kepandaian kiam-sut yang disebut hui-kiam atau pedang terbang yang sering dia dengar dari dongeng-dongeng yang belum pernah disaksikan. Kini mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut hui-kiam atau pun pedang terbang itu tentulah ilmu pedang seperti yang dimiliki oleh Kam Hong Sin ini, yaitu pada gagang pedang diikat dengan sehelai tali panjang yang dapat mulur hingga pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan betotan pada talinya.
Akan tetapi, walau pun Ang I Niocu mulai terdesak oleh perwira yang tangguh dan ilmu kepandaiannya benar-benar tinggi itu, dia sama sekali tidak menjadi gentar karena bagi Ang I Niocu, di dalam hatinya tak pernah ada rasa takut menghadapi lawan. Ia melawan dengan gerakan-gerakan tenang dan cukup kuat sehingga sukarlah agaknya bagi Kam Hong Sin untuk merobohkan lawan yang luar biasa ini.
Diam-diam perwira itu mengeluh karena kalau saja ia bisa menarik gadis lihai ini menjadi kawan di pihaknya, maka ia tentu akan merasa lebih yakin akan keberhasilan tugas yang sedang dijalankannya.
Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari jauh. Kam Hong Sin memperlihatkan muka girang dan membalas bersuit keras tiga kali pula. Tidak lama kemudian, muncullah Sie Ban Leng dan dua orang pertapa yang bukan lain ialah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang! Melihat betapa Kam Hong Sin bertempur dengan Ang I Niocu, Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya terhadap Dara Baju Merah yang telah menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat menghampiri dan berkata,
“Ang I Niocu! Mengapa kau memusuhi Kam-ciangkun pula?”
Melihat datangnya tiga orang ini, Ang I Niocu dan Kam Hong Sin lalu menunda senjata masing-masing dan melompat mundur.
“Ang I Niocu!” seru pula Ceng To Tosu sambil mewek hampir menangis “Mengapa Lihiap bertempur melawan Kam-ciangkun?”
Sementara itu, Ceng Tek Hosiang berpaling kepada Kam Hong Sin kemudian berkata, “Kam-ciangkun, Nona ini adalah Ang I Niocu seorang pendekar gagah dan bukan musuh kita!”
Kam Hong Sin tersenyum. “Sebetulnya aku pun segan melawan dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan tempat itu dan tidak mau memberitahukan kepadaku.”
“Apa...?” Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang berseru keras sambil membelalakkan mata penuh ketidak percayaan.
“Lihat saja, dia telah mendapatkan pedang Liong-cu-kiam, akan tetapi dia juga tidak mau mengembalikan pedang itu kepadaku.”
Tiba-tiba Sie Ban Leng mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam.
“Ha-ha-ha, Ang I Niocu, tidak tahunya kedatanganmu di sini karena kau juga mengingini harta pusaka dan pedang itu! Kembalikanlah pedang Liong-cu-kiam kepada kami, kalau kau membangkang berarti kau akan mendapat bencana.”
“Aku tidak hendak menyerahkan pedang ini, habis kalian mau apa?” bentak Ang I Niocu dengan garang.
“Memang kau tidak tahu budi! Kau pernah kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan menolak maksud baikku, sekarang kau mencuri pedang kerajaan pula,” cela Sie Ban Leng dengan gemas.
Tiba-tiba Ang I Niocu menudingkan pedangnya ke arah muka Sie Ban Leng dan memaki. “Sie Ban Leng, manusia tak berbudi! Kau pandai memutar lidah dan kau tak mau melihat mukamu sendiri! Kau seorang yang telah mengkhianati kakaknya, yang sudah membuat kakaknya sekeluarga habis binasa, masih mau bicara tentang budi? Tak tahu malu!!”
Ang I Niocu teringat akan cerita Cin Hai mengenai kejahatan Sie Ban Leng yang sudah menjadi biang keladi kebinasaan seluruh keluarga pemuda itu, sebab itu hatinya menjadi panas dan kalau mungkin pada saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie Ban Leng.
Sie Ban Leng merasa terkejut sekali hingga wajahnya menjadi pucat.
“Bangsat wanita, jangan kau berbicara yang bukan-bukan!” katanya sambil mengayunkan senjatanya yang hebat, yaitu sebuah rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan menyambar kepala Ang I Niocu.
“Akan kubalaskan sakit hati mendiang Sie Gwat Leng, kakakmu itu!” teriak Ang I Niocu sambil mengelak dan menyerang dengan hebat.
Pedang Liong-cu-kiam yang tajam luar biasa itu menyambar dan beradu dengan rebab di tangan Sie Ban Leng. Terdengarlah suara keras dan ternyata beberapa helai tali senar rebab yang terbuat dari pada kawat baja itu putus.
Sie Ban Leng merasa terkejut dan marah sekali, maka dia lalu menyerang kalang-kabut. Sementara itu, Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hanya berdiri memandang dengan bengong, akan tetapi ketika Kam Hong Sin memberi aba-aba supaya mereka membantu, mereka terpaksa mengeluarkan senjata dan mengeroyok Ang I Niocu! Juga Kam Hong Sin berseru sambil menerjang.
“Ang I Niocu, lepaskan pedang Liong-cu-kiam itu!”
Akan tetapi, jangankan baru dikeroyok empat, biar pun dia dikepung oleh ratusan orang, Ang I Niocu takkan merasa gentar sungguh pun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu bukan main hebatnya hingga sebentar saja dia telah terkurung dan terdesak hebat!
Dia mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat yang cepat dan tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang Liong-cu-kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata lawan yang datang bagaikan air hujan itu! Dia hanya dapat bertahan dan melindungi diri saja, tanpa dapat membalas sedikit pun juga…..
********************
Sementara itu, Cin Hai yang ditinggal seorang diri di lubang kecil pada langit-langit goa, setelah membiasakan matanya di tempat gelap dan mendapat sedikit penerangan dari api unggun yang dibuat oleh Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke dalam lubang yang ternyata merupakan jalan terowongan kecil itu. Jalan itu besarnya hanya tiba pas saja dengan tubuhnya, maka ia merangkak maju lagi sambil meraba-raba.
Tiba-tiba ia melihat dua benda yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata harimau atau binatang buas lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan pedangnya di tangan, karena jalan mundur tak dapat ditempuhnya cepat-cepat. Dalam tempat yang merupakan lubang sempit itu, tak mungkin membalikkan tubuh dan jalan keluar baginya hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang bersinar itu ternyata mata binatang buas, ular besar umpamanya, maka dia terpaksa harus menghadapinya dalam keadaan merangkak!
Berbahaya sekali dalam keadaan demikian melawan seekor binatang buas, apa lagi bila binatang itu berbisa! Akan tetapi, yang aneh sekali, kedua benda bagaikan mata yang mencorong itu, tidak bergerak-gerak dari tempatnya meski pun sinarnya yang mencorong itu tertimpa cahaya api unggun nampak berkeredepan bagaikan mata binatang hidup.
Apakah gerangan benda itu? Untuk beberapa lama Cin Hai mendekam tanpa bergerak, takut kalau-kalau binatang itu jadi terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian ia menduga bahwa boleh jadi binatang itu sudah mati dengan mata terbuka, karena kalau binatang itu masih hidup, mengapa sama sekali tak pernah bergerak? Namun dia masih ragu-ragu karena memang ada juga binatang yang sanggup berdiam lama sekali tanpa bergerak bagaikan mati, seperti halnya seekor ular. Sesudah lama menunggu, timbul pula keberaniannya dan dengan hati-hati sekali dia bergerak maju lagi dengan pedang siap disodorkan ke depan!
Setelah maju kurang lebih lima kaki jauhnya, dia sudah berada dekat sekali dengan dua buah benda yang mencorong itu, lalu benda itu disentuhnya dengan ujung pedangnya.
“Tingg…!”
Ujung pedangnya berdenting dan benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda itu adalah dua potong batu yang pada waktu dipegangnya hanya sebesar telur burung! Akan tetapi batu itu bercahaya dan ketika ia pandang penuh perhatian ternyata olehnya bahwa batu-batu itu bercahaya indah sekali.
Hatinya berdebar keras. Inilah sebagian dari pada harta pusaka itu. Dia maju terus, dan semakin banyak batu-batu bercahaya seperti itu, bahkan kini ia melihat banyak potongan emas dan perak. Yang hebat adalah batu-batu permata itu, karena bertumpuk-tumpuk sangat banyaknya pada suatu tempat, membuat terowongan kecil itu buntu, tertutup oleh benda-benda berharga itu.
Cin Hai merasa girang sekali. Tidak salah lagi, inilah harta pusaka yang dicari-cari. Dia membawa dua buah batu permata yang terbesar, besarnya tidak kurang dari sebutir telur ayam, lalu ia merayap keluar lagi. Ketika ia tiba di mulut terowongan, ia tidak melihat Ang I Niocu dan lalu melompat turun.
Ia mengeluarkan dua buah batu itu dari sakunya dan hampir saja ia berseru keras saking kagumnya. Dua buah batu itu adalah mutiara-mutiara yang besar dan cahayanya sangat indah. Dua butir mutiara besar ini saja sudah tak ternilai harganya, apa lagi yang masih bertumpuk di terowongan itu! Cin Hai cepat memutar patung batu itu sekuat tenaga ke tempat asalnya sehingga lubang pada langit-langit itu tertutup kembali, kemudian setelah menyimpan dua butir mutiara itu, ia lalu berlari keluar mencari Ang I Niocu.
Di luar sunyi saja, maka ia lalu melompat ke atas goa dan berdiri di tempat tinggi. Maka terlihatlah olehnya betapa di tempat yang agak jauh dari situ, ada empat orang sedang mengeroyok Ang I Niocu yang berada dalam keadaan terdesak sekali. Dengan marah dan cemas Cin Hai lalu melompat turun dan berlari cepat ke tempat itu. Kalau saja dia tidak merasa kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak demikian tergesa-gesa, tentu dia akan melihat bayangan seorang pendeta Mongol berkelebat dan mengintai ketika dia keluar dari goa itu!
Begitu tiba di tempat pertempuran, Cin Hai langsung berseru, “Niocu, jangan kuatir, aku membantumu!”
Dan pedang Liong-cu-kiam di tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong Sin merasa bukan main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang memiliki ilmu pedang sehebat itu.
“Hai-ji, mereka hendak merampas pedang kita!” teriak Ang I Niocu dengan girang melihat datangnya pemuda itu.
Ketika Cin Hai melihat Sie Ban Leng, ia merasa gemas sekali lalu membentak, “Ah, inikah macamnya orang yang telah mengkhianati Ayahku?” Pedangnya menyerang hebat dan dengan suara keras, rebab itu terbelah dua!
Sie Ban Leng terkejut sekali, bukan hanya karena rusaknya senjatanya, akan tetapi juga karena kata-kata Cin Hai.
“Siapakah kau?” bentaknya.
“Kau masih ingat kepada Sie Gwat Leng? Nah, dialah Ayahku!”
Pucatlah wajah Sie Ban Leng mendengar ucapan ini hingga tubuhnya menggigil. Pada pandangan matanya, wajah Cin Hai tiba-tiba berubah menjadi wajah kakaknya yang dulu telah dikhianatinya itu! Dan sebelum dia sempat mengeluarkan sepatah kata pun, pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai telah menyambar dengan cepat. Maka robohlah Sie Ban Leng dengan dada kiri tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga!
Melihat betapa dengan beberapa gebrakan saja pemuda itu telah berhasil menjatuhkan Sie Ban Leng, bukan main kagetnya hati Kam Hong Sin. Ia lalu bersuit keras sekali dan memutar pedangnya secara hebat untuk menahan serbuan Ang I Niocu mau pun Cin Hai. Maka, secara berturut-turut datanglah beberapa orang perwira kerajaan yang mempunyai kepandaian tinggi sehingga kini yang mengeroyok kedua orang muda itu tak kurang dari sepuluh orang!
Akan tetapi, Ang I Niocu dan Cin Hai memainkan pedang dengan seenaknya saja, karena mereka ini hanya membela diri saja dan tidak berniat untuk menjatuhkan para perwira itu. Terutama sekali mereka tidak tega melukai Ceng Tek Hosiang yang bertempur sambil tersenyum dan Ceng To Tosu yang mewek dengan sedihnya itu.
Pada saat pertempuran masih berjalan dengan serunya, tiba-tiba terdengar teriakan riuh dan muncullah serombongan orang Mongol yang dikepalai oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!
“Pendekar Bodoh, hayo kau serahkan tutup cawan itu kepada kami!” teriak Thai Kek Losu sambil menerjang dan menyerang Cin Hai.
Melihat kedatangan rombongan yang terdiri dari belasan orang pendeta Mongol berjubah merah itu, Cin Hai kemudian memberi tanda kepada Ang I Niocu untuk melarikan diri. Sedangkan para perwira kerajaan ketika melihat pendeta-pendeta Mongol ini pun segera menyerangnya, sehingga terjadilah pertempuran antara perwira-perwira kerajaan dengan pendeta-pendeta Mongol.
Sebenarnya hal ini tidak dikehendaki oleh Kam Hong Sin mau pun oleh Thai Kek Losu, akan tetapi Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu yang sudah mendahului menyerang para pendeta Mongol itu, karena diam-diam mereka berdua ini suka kepada Cin Hai dan Ang I Niocu sehingga ketika para orang Mongol datang menyerang, mereka berdua lalu membantu Cin Hai dan menyerang para pendeta Mongol itu!
Memang di antara kedua golongan ini telah ada rasa benci membenci hingga mudah saja membakar api diantara mereka. Serangan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu cukup membuat yang lain lain lalu menyerbu dan saling gempur dengan sengitnya!
Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai sudah melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat pertempuran itu.
“Niocu, harta pusaka itu benar-benar berada di terowongan kecil itu!” kata Cin Hai kepada Ang I Niocu dan secara singkat ia menuturkan betapa banyaknya harta itu bertumpuk di dalam terowongan kecil. Ia memperlihatkan bukti dua butir mutiara itu kepada Ang I Niocu yang memandangnya dengan kagum.
“Kalau kau suka, ambillah, Niocu,” Cin Hai berkata sambil memberikan dua butir mutiara besar itu.
Ang I Niocu menerimanya, akan tetapi lalu ia kembalikan sebutir sambil berkata,
“Simpanlah yang sebutir ini untuk diberikan kepada Lin Lin kelak.”
“Sekarang bagaimana baiknya, Niocu? Pihak Kaisar dan Mongol juga menghendaki harta benda itu, malah pihak Turki juga tak mau ketinggalan. Bagaimana kita harus mengambil harta itu tanpa mereka ketahui dan kalau sudah kita ambil, lalu untuk apa?”
Setelah mendengar banyaknya harta yang terdapat di tempat itu, Ang I Niocu sendiri pun menjadi bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Lebih baik kita membuat laporan kepada Susiok-couw saja, Hai-ji. Kau bawalah kedua pedang Liong-cu-kiam ini dan berikan kepada Susiok-couw, sekalian kau ceritakan pula tentang harta pusaka itu dan tentang keadaan di sini.”
“Mengapa hanya aku yang harus menceritakan? Bukankah kita pergi ke sana berdua?” tanya Cin Hai.
“Tidak, kau pergilah sendiri. Aku harus tinggal di sini dan mengamat-amati goa itu, jangan sampai didapatkan oleh lain orang. Apa bila kita berdua pergi dan harta itu diambil orang lain, kita tidak akan dapat berbuat sesuatu.”
Cin Hai mengangguk-angguk, dan bertanya lagi, “Kalau kedua pedang kubawa, habis kau bagaimana, Niocu? Kau perlu memiliki pedang yang cukup baik agar dapat menghadapi bahaya. Tempat ini penuh dengan orang-orang pandai dan jahat.”
Ang I Niocu tersenyum, kemudian menyerahkan pedang Liong-cu-kiam kepada Cin Hai. Dia lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong
“Pedang ini cukup baik dan kuat. Kau lihatlah!”
Ang I Niocu mengayun pedangnya membacok sebuah batu karang hitam di pinggir jalan dan batu terbelah dengan mudah. Cin Hai mengangguk-angguk dan memuji.
“Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus!”
Cin Hai lalu berangkat menuju ke tempat pertapaan suhu-nya, yaitu di Goa Tengkorak di mana dulu dia mempelajari ilmu silat dari Bu Pun Su. Sedangkan Ang I Niocu tinggal di Lan-couw untuk menjaga serta mengamat-amati goa rahasia di mana tersimpan harta pusaka yang besar itu.
Cin Hai melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke timur. Jarang dia berhenti kalau tidak hendak makan dan beristirahat, sebab dia hendak cepat-cepat sampai di tempat itu, seakan-akan ada besi sembrani yang menariknya, yaitu Lin Lin. Pemuda itu baru saja berpisah beberapa lama, tetapi sudah merasa rindu sekali dan kini ia tergesa-gesa bukan lain ialah karena ingin bertemu dengan kekasihnya itu.
Pada suatu hari ia tiba di sebuah dusun dan tertariklah hatinya melihat betapa penduduk dusun itu seakan-akan sedang mengadakan semacam pesta keramaian. Tadinya ia ingin lewat terus saja, akan tetapi pada waktu melihat beberapa orang dusun memikul sebuah orang-orangan dari kertas yang besar dan rupanya seperti Hai Kong Hosiang, ia menjadi terheran sekali dan menunda perjalanannya.
Ia menduga bahwa persamaan wajah orang-orangan itu dengan Hai Kong Hosiang tentu merupakan hal yang kebetulan saja. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia bertanya gambar siapakah yang mereka gotong itu, ia mendapat jawaban,
“Gambar si keparat Hai Kong.”
Cin Hai tertarik sekali dan ingin melihat apakah yang hendak dilakukan oleh orang-orang kampung itu dan mengapa mereka menggotong gambar Hai Kong Hosiang yang mereka maki-maki keparat. Rombongan itu menuju ke sebuah rumah kecil yang sudah dipenuhi orang dan di depan pintu rumah itu terdapat sebuah meja sembahyang.
Setelah orang-orangan itu digotong ke situ, semua orang berdiri dan memaki-maki, “Hai Kong keparat! Hai Kong Hwesio bangsat!” dan makian lain-lainnya lagi yang menyatakan kemarahan mereka.
Kemudian beramai-ramai semua orang mengeroyok orang-orangan itu dengan pukulan serta menghujani dengan senjata tajam hingga orang-orangan dari kertas itu robek-robek dan hancur, kemudian sisa-sisanya dibakar dibawah sorak-sorai yang riuh!
Cin Hai makin terheran-heran dan menonton saja. Kemudian orang-orang dusun itu lalu bersembahyang dan semuanya berlutut di hadapan meja sembahyang itu dengan muka berduka, bahkan ada pula beberapa orang wanita yang menangis! Cin Hai tak dapat lagi menahan keheranannya, maka ia lalu bertanya kepada seorang laki-laki tua yang berada di belakang dan juga ikut bertutut,
“Lopek, mengapa kalian demikian membenci Hai Kong Hosiang dan meja sembahyang siapa ini?”
Kakek itu memandang kepada Cin Hai dengan tajam dan sesudah mengetahui bahwa pemuda itu adalah orang dari luar dusun, ia lalu menjawab,
“Siangkong, ketahuilah. Dulu di dusun kami ini datang seorang hwesio jahat bernama Hai Kong Hosiang yang mengganggu kami, bahkan hampir membunuh seorang anak kecil di dusun ini. Kemudian datanglah dua orang pendekar wanita yang membela kami dan bertempur melawan Hai Kong Hosiang si keparat itu, akan tetapi dua orang pendekar wanita itu tewas di dalam tangan Si Bangsat Gundul. Oleh karena kami berterima kasih sekali terhadap kedua orang pendekar wanita yang sudah mengorbankan nyawa demi pertolongannya kepada kami maka kini kami mengadakan peringatan untuk menghormati jasanya itu.”
Cin Hai merasa amat tertarik mendengar ini. “Lopek, siapakah nama dua orang pendekar wanita yang gagah dan mulia itu?”
“Entahlah, kami juga tidak tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui hal itu. Akan tetapi senjata kedua pendekar itu masih kami simpan dan sekarang pun kami memuja senjata-senjata mereka itu yang ditaruh di atas meja sembahyang.”
Oleh karena tertarik, Cin Hai lalu menghampiri meja itu, diikuti oleh pandang mata semua orang kampung yang merasa heran dan curiga. Cin Hai mendekati meja dan kemudian memandang. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat sebuah hud-tim (kebutan pertapa) warna merah dan sebatang pedang.
Ia melangkah maju untuk memandang lebih teliti lagi dan menjadi pucat saat ia mengenal senjata-senjata itu. Kebutan merah itu adalah senjata Biauw Suthai, ada pun pedang itu adalah pedang Pek I Toanio, guru dan suci dari Lin Lin!
Lemaslah tubuh Cin Hai dan kedua kakinya lantas gemetar. Dia segera berlutut dan ikut bersembahyang bersama semua orang kampung yang kini lenyap kecurigaan mereka melihat pemuda itu pun memberi hormat!
Selesai bersembahyang, Cin Hai segera minta keterangan penjelasan dari kakek tadi dan setelah ia mendengar cerita tentang dua orang pendekar wanita itu, bahwa yang seorang adalah seorang pendeta wanita tua dan yang kedua adalah seorang wanita berpakaian putih yang cantik, dia tidak ragu-ragu lagi. Biauw Suthai dan Pek I Toanio sudah tewas di dalam tangan si jahat Hai Kong! Kalau saja dia tidak melihat bahwa Hai Kong Hosiang sudah menggelinding ke dalam jurang, tentu dia semakin merasa dendam dan sakit hati kepada hwesio jahat itu!
Cin Hai tidak pernah bermimpi bahwa Hai Kong Hosiang yang disangkanya telah mati itu sebetulnya masih hidup dan sebentar lagi akan bertemu dengannya!
Dia lalu melanjutkan perjalanannya dan berpikir-pikir bagaimana ia harus menyampaikan berita sedih ini kepada Lin Lin. Dia maklum bahwa Lin Lin pasti akan merasa berduka sekali mendengar tentang matinya gurunya dan suci-nya yang amat dikasihinya itu.
Pada keesokan harinya, dia telah sampai dekat Goa Tengkorak, hanya tinggal perjalanan beberapa belas li saja. Pada saat ia masuk ke dalam sebuah hutan, tiba-tiba ia melihat serombongan orang berjalan cepat dari depan. Melihat gerakan mereka yang cepat, Cin Hai menjadi heran dan segera dia bersembunyi di balik sebatang pohon besar kemudian mengintai.
Ketika rombongan itu telah datang dekat, tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya dan menggosok-gosok mata itu seakan-akan ia tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Tidak salah lagi, yang berjalan di depan adalah Hai Kong Hosiang! Bentuk badan dan pakaian hwesio itu masih sama dengan dulu, hanya bedanya sekarang matanya tinggal sebelah, yang kanan tertutup dan buta, sedangkan yang kiri terdapat cacat bekas terobek dan menjadi lebih lebar dari biasa! Muka hwesio itu kelihatan buruk dan menyeramkan sekali.
Dan yang lebih mengherankan hati Cin Hai adalah ketika ia melihat Bu Pun Su berjalan di tengah-tengah rombongan itu. Anehnya, gurunya ini nampak sedih dan putus asa, hanya berjalan sambil menundukkan kepala, sebagai seorang tawanan! Aneh sekali! Siapakah orangnya yang dapat menawan dan menundukkan suhu-nya? Tidak mungkin Hai Kong Hosiang!
Cin Hai memandang rombongan itu dan selain Hai Kong Hosiang, ia melihat pula Balaki, perwira Mongol yang dulu sudah pernah dikalahkannya itu, seorang perwira Mongol lain, seorang pendeta Mongol jubah merah, dan seorang wanita tua berbaju putih bercelana hitam dan tidak bersepatu!
Wanita ini nampak aneh karena walau pun nampak tua, akan tetapi rambutnya masih hitam dan meski pun pakaiannya amat sederhana bahkan ia tidak bersepatu, akan tetapi sabuk yang mengikat pinggangnya terbuat dari pada sutera merah yang sangat panjang dan indah, sabuk yang biasanya dipakai oleh nona-nona muda! Pada jidat wanita tua itu nampak garis palang hitam, tepat di tengah-tengah alis namun agak di atas. Nenek aneh ini berjalan di sebelah kiri Bu Pun Su.
Cin Hai menjadi bengong dan terheran-heran. Apakah mungkin orang-orang ini sanggup mengalahkan serta menawan suhu-nya yang demikian sakti? Hampir dia tidak percaya, akan tetapi semua yang dipandang oleh kedua matanya bukanlah terlihat di alam mimpi!
Dari perasaan heran Cin Hai menjadi marah sekali terhadap rombongan itu. Ia mencabut sepasang pedang Liong-cu-kiam, memegangnya erat-erat di tangan kanan kiri, kemudian melompat keluar sambil berseru,
“Hai Kong keparat! Kau berani menghina Suhu-ku?!” bentaknya. Kemudian dia langsung menerjang mereka.
Semua orang sangat terkejut melihat berkelebatnya bayangan Cin Hai yang memegang sepasang pedang yang bersinar dan menggerakkannya secara hebat sekali! Balaki dan pendeta Mongol berjubah merah menyambut serangannya dengan senjata mereka, akan tetapi sekali bentrokan saja senjata kedua orang itu langsung terpental jauh, terlepas dari pegangan!
Cin Hai hendak menyerang Hai Kong dan nenek tua itu, akan tetapi mendadak terdengar suhu-nya berseru keras, “Cin Hai, tahan pedangmu!”
Suara ini menyiram api yang membakar di dalam dada Cin Hai dan ia berdiri memandang kepada suhu-nya dengan heran dan cemas. “Suhu...” katanya menahan napas, “mereka ini... mau apakah?”
“Jangan sembarangan turun tangan!” kata pula Bu Pun Su dengan suaranya yang amat berpengaruh. “Kau pergilah saja ke Goa Tengkorak dan kau tolong Lin Lin.”
“Lin Lin... kenapa dia, Suhu...?” tanya Cin Hai dengan wajah pucat.
Dan aneh sekali, Bu Pun Su menarik napas panjang dengan wajah berduka. Baru kali ini Cin Hai melihat suhu-nya berduka! “Pergilah dan kau akan mendapat penjelasan dari Lin Lin.”
Cin Hai mendengar suara ketawa bergelak dan dia cepat berpaling memandang kepada Hai Kong Hosiang yang masih tertawa sehingga menimbulkan rasa bencinya. Ingin dia menggerakkan pedangnya menusuk dada hwesio yang jahat itu.
“Akan tetapi, Suhu...,” ia mencoba membantah.
“Diam! Dan jangan banyak cakap lagi. Pergilah!” seru Bu Pun Su marah.
Dengan kepala tunduk dan beberapa kali menengok, Cin Hai lalu bertindak pergi.
“Ha-ha-ha-ha! Pendekar Bodoh, kau benar-benar tolol dan bodoh. Bu Pun Su lebih pintar dari padamu! Nyawa Lin Lin kekasihmu itu berada di dalam tanganku, dan tergantung pada Suhu-mu apakah ia menghendaki kekasihmu itu hidup atau mati. Awas, jangan kau berani main-main dengan kami apa bila menghendaki Suhu-mu dan kekasihmu itu dapat hidup! Ha-ha-ha!” Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak hingga menggema di dalam hutan itu.
Dari suara tertawanya saja membuktikan bahwa kini ilmu lweekang hwesio itu telah naik berlipat ganda sehingga diam-diam Cin Hai merasa tertegun. Akan tetapi, kepandaian itu masih jauh dari pada cukup untuk mengalahkan suhu-nya!
Dia tidak berani membantah perintah suhu-nya. Apa lagi mendengar ancaman Hai Kong Hosiang tadi, membuat ia merasa gelisah dan cemas memikirkan nasib Lin Lin. Maka ia segera berlari cepat menuju ke Goa Tengkorak diikuti oleh gema suara tertawa Hai Kong Hosiang.
Cin Hai berlari cepat, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa gelisah sekali. Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas, awaslah kalian! Saat tiba di depan Goa Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia tidak mendengar sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya berdebar cemas dan hampir saja ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal mengerikan yang terjadi pada diri kekasihnya.
Sesudah menetapkan hatinya, dia lalu melompat masuk ke dalam ruang besar di mana tengkorak-tengkorak raksasa masih berdiri dengan megahnya. Bertahun-tahun dia tinggal di tempat ini mempelajari ilmu silat, maka pemandangan ini tak menimbulkan keseraman di hatinya lagi. Ia segera memandang dengan kedua matanya mencari-cari, dan karena tidak melihat Lin Lin di ruang itu, dia lalu berlari masuk ke dalam kamar tempat menaruh hio-louw (tempat hio). Dan di situ ia melihat Lin Lin rebah telentang, pucat tak bergerak bagaikan mayat.
Cin Hai berdiri terpaku di atas lantai, tak kuasa bergerak, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening. Hampir saja dia jatuh pingsan kalau dia tidak menekan perasaannya dan menguatkan hatinya.
“Lin Lin...!” akhirnya dia dapat berseru dan menggerakkan kakinya, menubruk maju dan memeriksa keadaan kekasihnya.
Ternyata bahwa Lin Lin hanya pingsan saja dan pernapasannya masih berjalan, sungguh pun amat lemah. Tidak ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik hijau yang terdapat pada lehernya, dan ketika Cin Hai meraba bintik itu, rasa panas menyerang jari tangannya. Dia merasa terkejut sekali dan dapat menduga bahwa kekasihnya tentu telah terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat.
Bukan main marahnya Cin Hai. Kenapa suhu-nya mendiamkannya saja, malah menyerah menjadi tawanan musuh? Cin Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia tidak mau menerimanya begitu saja. Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa mereka agar segera memberikan obat pemunah bagi kekasihnya, atau kalau mereka tak sanggup menyembuhkan Lin Lin, dia hendak mengamuk serta membunuh mereka semua dengan taruhan jiwa.
Biar pun andai kata suhu-nya akan melarang, ia akan nekat dan tidak menurut perintah suhu-nya. Cintanya pada Lin Lin jauh lebih besar dari pada ketaatannya kepada gurunya. Kecemasan telah menggelapkan jalan pikiran Cin Hai dan sambil memondong tubuh Lin Lin yang lemas tak berdaya dan meramkan kedua matanya itu, Cin Hai mempergunakan ilmu berlari cepat, melompati jurang dan mengejar secepatnya.
Akan tetapi, ketika dia tiba di sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin bergerak-gerak. Pada saat dia memandang, ternyata kekasihnya telah membuka matanya. Cin Hai berhenti berlari dan mendekap kepala Lin Lin sambil berbisik,
“Lin-moi... Lin-moi... kau kenapakah...?”
Untuk sejenak Lin Lin tak menjawab, hanya memandang pada wajah Cin Hai seolah-olah baru sadar dari mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan dia mulai menangis terisak-isak di dada pemuda itu.
Cin Hai mendiamkannya saja dan sesudah tangis Lin Lin mereda, dia baru menurunkan tubuh kekasihnya itu, didudukkan di atas rumput, ada pun ia sendiri duduk di sebelahnya. Dia merasa heran melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih kembali seperti biasanya, hanya wajahnya masih nampak sangat pucat. Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan wajah kuatir,
“Lin-moi, kau kenapakah?”
“Hai-ko, syukur sekali kau keburu datang. Telah terjadi mala petaka hebat menimpa Suhu dan diriku.”
Cin Hai mengangguk. “Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya, ketika aku hendak menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka rela menjadi tawanan mereka!”
“Kau tidak tahu, Hai-ko. Suhu sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk menolong jiwaku.”
Terkejutlah Cin Hai mendengar ini dan teringatlah dia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang mengejek pada saat ia hendak pergi meninggalkan mereka. “Apa... apa maksudmu, Moi-moi...?”
Lin Lin menarik napas panjang lalu bercerita seperti berikut.....
********************
Komentar
Posting Komentar