PENDEKAR BODOH : JILID-43


Karena ini, untuk kedua kalinya dia terdesak hebat oleh serangan adik seperguruannya yang menyerang sambil tertawa mengejek, walau pun diam-diam dia mengakui kelihaian suheng-nya dan maklum bahwa biar pun suheng-nya tidak berani beradu pedang, namun agaknya tidak akan mudah baginya untuk menjatuhkan suheng itu.

Sementara itu, Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa menyaksikan pertandingan itu dengan penuh kekaguman. Tadi mereka sudah merasa terkejut, heran dan kagum sekali menyaksikan kepandaian Song Kun yang sanggup mendesak mereka, dan kini mereka melihat seorang pemuda lainnya yang seimbang kepandaiannya dengan pemuda pesolek yang lihai itu. Sesudah Cin Hai dan Bu Pun Su, belum pernah mereka menyaksikan ilmu kepandaian orang-orang muda selihai itu.

Melihat bahwa Lie Kong Sian datang dan membela mereka, maka mereka bertiga tentu saja tak mau tinggal diam dan dengan seruan keras, Nelayan Cengeng lalu mengerjakan dayungnya diikuti oleh Ma Hoa dan Kwee An. Kini Song Kun menjadi sibuk. Karena harus menghadapi keroyokan empat orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi itu, tentu saja ia merasa kewalahan sekali. Setelah bertahan sampai puluhan jurus, terpaksa ia lalu melompat jauh dan berkata,

“Lie Kong Sian! Lain kali bila mana kita bertemu berdua saja dan kau tidak mengandalkan keroyokan, tentu aku akan menebas batang lehermu!” Kemudian kepada Ma Hoa dia menyeringai dan berkata. “Sayang, bidadari rambut panjang, kita belum berjodoh!”

Keempat orang itu marah sekali, akan tetapi dengan sekali berkelebat saja Song Kun telah lari jauh dan meninggalkan tempat itu.

“Lihai sekali!” kata Nelayan Cengeng dengan kagum.

“Memang Sute-ku itu lihai sekali dan jahat,” kata Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Lo-enghiong, melihat dayungmu yang hebat itu, apa bila tidak salah dugaanku tentu kau adalah Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng. Betulkah?”

Nelayan Cengeng menjura, kemudian ia menjawab, “Benar, Taihiap. Dari mana kau tahu namaku?”

Lie Kong Sian tersenyum. “Dan kalau tidak salah, Saudara yang gagah ini tentulah Kwee An dan Nona ini Ma Hoa.”

Ketiga orang itu memandangnya dengan heran. “Lie-taihiap, dari mana kau bisa tahu?” tanya Kwee An, sedangkan Ma Hoa tiba-tiba berkata sambil menuding kepada pedang yang dipegang oleh Lie Kong Sian.

“Ehh, bukankah pedang itu pedang milik Ang I Niocu?”

Kini Lie Kong Sian tersenyum dan mengangguk, “Memang ini pedang Kiang Im Giok, dan aku adalah tunangan Ang I Niocu!”

Kemudian Lie Kong Sian yang jujur itu lalu mengaku dan menceritakan pengalamannya betapa dia menolong Ang I Niocu dan akhirnya menjadi calon jodohnya. Lie Kong Sian suka sekali melihat sikap tiga orang yang telah lama dikenal dari penuturan Ang I Niocu itu dan yang dipuji oleh kekasihnya, maka dia kemudian mengaku terus terang mengenai pertunangannya itu dan demikianlah maka mereka tahu akan pertunangan Ang I Niocu dengan Lie Kong Sian yang gagah perkasa. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan terpisah, karena Lie Kong Sian hendak mengejar dan menyusul sute-nya untuk memenuhi syarat Ang I Niocu, yaitu merobohkan sute-nya yang ternyata bukan insyaf, bahkan semakin jahat itu.

Setelah Ma Hoa menceritakan semua pengalamannya kepada Ang I Niocu, tahulah Nona Baju Merah itu bagaimana mereka dapat mengetahui hal pertunangannya hingga mereka tadi menggodanya. Terutama Ma Hoa menggodanya sehingga muka Ang I Niocu menjadi semerah bajunya. Ia tidak dapat marah karena maklum bahwa Ma Hoa menggoda karena rasa girangnya.

“Ma Hoa, sudahlah jangan kau menggodaku lebih lanjut. Kalau menggoda terus, aku tak akan menceritakan kepadamu perihal Lin Lin.”

Ma Hoa memegang lengan tangan Ang I Niocu dan bertanya, “Lin Lin? Apakah kau telah bertemu dengan dia, Cici yang baik? Bagaimana keadaannya? Selamatkah ia dan bagai mana dengan Cin Hai?” Dihujani pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan sengaja berlaku lambat-lambatan sehingga tidak saja Ma Hoa menjadi tidak sabar, bahkan Kwee An dan Nelayan Cengeng juga mendesaknya untuk segera menceritakan hal Lin Lin.

“Maka jangan suka menggoda orang,” kata Ang I Niocu. “Baikiah, aku akan menceritakan pengalamanku.”

Kemudian tiba giliran Ang I Niocu untuk menuturkan semua pengalamannya, betapa dia bertemu dengan Cin Hai dan mendapatkan sepasang pedang Liong-cu-kiam serta harta pusaka di dalam Goa Tung-huang dan pengalaman-pengalaman lainnya. Dan juga dia menceritakan betapa Lin Lin sudah dibawa oleh Bu Pun Su untuk diberi pelajaran silat sebagaimana yang ia dengar dari Cin Hai.

Mendengar penuturan ini, bertitik air mata dari kedua mata Ma Hoa karena terharu dan girangnya. Sekarang harapannya sudah terkabul semua. Seluruh kawan-kawannya telah selamat dan terlepas dari bahaya. Begitu pula Kwee An dan Nelayan Cengeng. Mereka berempat itu sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi peristiwa hebat di Goa Tengkorak yang membuat Lin Lin terluka dan terancam jiwanya!

“Sekarang tugas kita cari-mencari ini telah selesai karena orang-orang yang dicari telah ditemukan,” kata Nelayan Cengeng. “Akan tetapi kita harus melindungi Yo Se Pu dari bahaya dan juga, oleh karena menurut penuturan Ang I Niocu tadi bahwa Cin Hai akan kembali ke sini dan Ang I Niocu sendiri ditugaskan menjaga goa tempat harta pusaka, kita semua lebih baik untuk sementara waktu tinggal di sini, menanti datangnya Cin Hai untuk kemudian bersama-sama kembali ke timur.”

Semua orang menyetujui usul ini dan sesudah Yousuf selesai mengurus semua kawan dan lawan yang terluka dan tewas, dia pun lalu datang dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Nelayan Cengeng bersama yang lain-lain mencoba sedapat mereka untuk menghibur hati Yousuf yang masih berduka karena kematian gurunya dan banyak kawan-kawannya.

“Sebenarnya, tentang kematian tak perlu kusedihkan benar karena soal itu bukanlah soal yang aneh dan harus disesalkan. Yang sekarang membuat hatiku berduka ialah adanya perpecahan dan permusuhan di antara bangsa sendiri. Baiknya kalian membawa berita bahwa anakku Lin Lin telah diselamatkan dan bahkan kini memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan Bu Pun Su, kalau tidak, tentu aku akan semakin gelisah dan cemas saja.”

Demikianlah, mereka berempat lalu tinggal di kampung Yousuf dan kawan-kawannya itu sehingga pengikut Pangeran Muda tidak berani datang untuk bermain gila lagi. Hampir tiga atau empat kali dalam sehari Ang I Niocu menyelidiki keadaan goa itu, menjaga dan memeriksa kalau-kalau ada orang yang mengetahui tempat itu. Kadang-kadang ia pergi seorang diri, tapi tidak jarang ditemani oleh Ma Hoa, bahkan beberapa kali Kwee An dan Nelayan Cengeng juga ikut…..

********************

Sementara itu, Cin Hai dan Lin Lin masih terus melakukan perjalanan menuju ke barat, menyusul Bu Pun Su yang menjadi ‘tawanan’ Wi Wi Toanio beserta kawan-kawannya.

Ternyata bahwa Balaki semenjak dikalahkan oleh Cin Hai, lalu melarikan diri dari Yagali Khan dan kemudian ia bergabung dengan Hai Kong Hosiang dan seorang pendeta Sakya Buddha. Ia maklum akan kelihaian Hai Kong Hosiang maka ia lalu menceritakan tentang harta pusaka di daerah Kansu itu dan mengusulkan untuk pergi mencari bersama.

Hai Kong Hosiang yang cerdik itu telah mendapat tahu tentang riwayat Bu Pun Su ketika mudanya, maka mereka lalu mencari dan menjumpai Wi Wi Toanio yang sudah menjadi janda. Melihat bahwa Wi Wi Toanio ternyata juga lihai sekali ilmu kepandaiannya, maka mereka lalu membujuk nyonya tua itu untuk ikut pula mencari harta pusaka dan kemudian atas rencana dan siasat Hai Kong Hosiang yang licin, mereka berhasil menundukkan Bu Pun Su untuk dipergunakan kepandaiannya mencari harta itu!

Cin Hai tidak berani melakukan perjalanan terlalu cepat sehingga ia dan Lin Lin tidak bisa mengejar rombongan yang menawan Bu Pun Su. Maka beberapa hari kemudian, setelah mereka mendekati batas Propinsi Kansu dan beristirahat dalam sebuah hutan menikmati hawa yang nyaman dan buah-buahan yang lezat, tiba-tiba dari jauh mendatangi seorang laki-laki dan ketika orang itu datang mendekat, Cin Hai merasa terkejut sekali hingga tak terasa lagi ia memegang tangan Lin Lin. Ia mengenal baik muka laki-laki yang datang itu, laki-laki muda pesolek yang tampan.

“Song Kun...,” katanya dengan dada berdebar karena dia maklum bahwa pertemuan ini tentu akan menjadi pertempuran hebat!

Sementara itu, Song Kun sudah melihat mereka pula. Mula-mula wajahnya yang tampan melihat dengan terheran-heran karena dia sendiri tidak pernah menyangka akan bertemu dengan gadis yang membuatnya tergila-gila itu bersama Cin Hai, pemuda yang sangat dibencinya dan yang hendak dibunuhnya! Ia memandang ke kanan kiri, kuatir kalau-kalau Bu Pun Su supek-nya itu berada pula di situ, akan tetapi ketika melihat bahwa tidak ada orang lain di situ, bibirnya tersenyum girang dan ia segera menghampiri.

“Ha-ha-ha! Pendekar Bodoh, Pendekar Tolol dan goblok! Sute-ku yang baik budi, kekasih Supek Bu Pun Su! Agaknya kau berdua saja dengan bidadari yang telah lama kurindukan ini. Atau, membawa juga anjing penjagamu yang tua itu?”

Cin Hai dapat menduga bahwa yang dimaki ‘anjing penjaga tua’ itu adalah Bu Pun Su suhu-nya, maka bukan kepalang marahnya hingga debar hatinya yang tadi agak kuatir itu lenyap, terganti dengar debar marah.

“Song Kun! Siapakah yang kau maki itu?”

“Siapa lagi kalau bukan Suhu-mu yang tua dan lebih goblok dari padamu itu?”

“Kurang ajar! Kau kira aku takut kepadamu?”

“Cin Hai, kau telah merasakan kelihaianku, apakah kau belum kapok? Dengarlah, bocah sombong. Aku mempunyai hati yang lemah dan suka menaruh kasihan pada anak-anak kecil. Aku masih ingat bahwa kau adalah Sute-ku sendiri, karena itu aku akan memberi ampun padamu. Pergilah kau dengan aman, dan tinggalkan kekasih hatiku ini. Aku akan menjaganya dan mencintanya dengan baik, lebih baik dari pada kalau kau menjaganya. Kelak bila mana kau ingin menikah, katakan saja kepada Seheng-mu ini gadis mana yang kau sukai, tentu aku membantumu sehingga kau berhasil mendapatkannya!” Ucapan ini dikeluarkan dengan muka sungguh-sungguh sehingga Cin Hai hanya dapat memandang dengan melongo dan tak dapat mengeluarkan kata-kata!

Akan tetapi, sementara itu Lin Lin sudah tidak dapat menahan marahnya lagi. Gadis ini mukanya sampai menjadi pucat karena marahnya hingga dia memandang kepada Song Kun seakan-akan ia hendak meremukkan kepala pemuda pesolek itu dengan pandangan matanya kalau mungkin.

“Bangsat rendah, keparat jahanam! Aku bersumpah hendak membunuh kau!” seru Lin Lin sambil melompat dan mencabut pedang Han-le-kiam, terus menyerang dengan hebatnya!

Song Kun mengelak dengan mudah sambil berkata, “Sayang, jangan kau marah-marah, karena dengan setulus hati aku mencintaimu. Salahkah hatiku kalau tertarik dan runtuh melihat kecantikanmu? Lin Lin, ahhh, namamu indah sekali. Janganlah kau menurunkan tangan kejam kepadaku, sayang!”

Bukan main marahnya Lin Lin mendengar kata-kata ini hingga ia menjerit dan menyerang semakin hebat sambil mengucurkan air mata karena marah dan mendongkol tidak dapat membikin mampus orang itu dengan sekali tusuk! Cin Hai merasa khawatir sekali melihat keadaan Lin Lin, karena dia maklum bahwa kemarahan dan perkelahian akan membuat keadaan Lin Lin makin memburuk saja.

“Lin-moi, mundurlah. Tak perlu kau mengotorkan tanganmu dengan bedebah itu. Biarkan aku yang mengadu jiwa dengan bajingan ini!”

Sambil berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut sebatang dari pada sepasang pedang Liong-cu-kiam yang panjang lalu melompat dan menyerang dengan hebat! Sementara itu, dengan hati membakar panas Lin Lin terpaksa melompat mundur lantas berdiri dengan mata berapi.

Song Kun kaget melihat bahwa pedang di tangan Cin Hai mengeluarkan sinar gemilang, maka tanpa membuang waktu lagi ia segera mencabut keluar pedang pusakanya Ang-ho Sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah seperti api itu! Ketika Cin Hai menyerang hebat, Song Kun lalu menyabet dengan pedangnya dengan maksud hendak membuat pedang Cin Hai terbabat putus sekaligus!

“Tranggg…!”

Kedua pedang beradu dan berpancaranlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata. Cin Hai merasa betapa telapak tangannya tergetar maka menarik pulang pedang cepat-cepat dan memeriksanya. Dia merasa lega karena pedang Liong-cu-kiam tidak menjadi rusak karena peraduan itu.

Sementara itu, Song Kun yang juga merasa tergetar telapak tangannya, merasa kaget sekali karena pedangnya ternyata tak dapat memutuskan pedang Cin Hai. Ia memandang dengan mata terbelalak marah dan kemudian ia menjadi marah sekali.

“Bangsat! Agaknya kau sudah dapat mencuri pedang pusaka! Baik, jangan kira pedang yang baik saja akan dapat melindungi jiwamu! Hari ini tentu kau akan mampus dalam tanganku!”

Sesudah berkata demikian, Song Kun tiba-tiba menggerakkan pedangnya secara hebat dan ganas sekali sehingga lenyaplah bayangan tubuhnya, menjadi satu dengan cahaya pedangnya yang bercahaya merah api bagaikan segulung api yang dahsyat menyambar-nyambar ke arah tubuh Cin Hai dengan gerakan yang cepat dan luar biasa sekali!

Cin Hai maklum bahwa baru kali ini dia menghadapi lawan yang betul-betul tangguh dan yang kepandaiannya tak berada di sebelah tingkat kepandaiannya sendiri! Bahkan dasar pelajaran mereka datang dari satu sumber. Dia kalah pengalaman, kalah lama berlatih dan dalam hal ginkang, mungkin ia masih kalah cepat oleh Song Kun yang benar-benar memiliki kecepatan yang membuat bayangannya tepat disebut Bayangan Iblis itu!

Akan tetapi Cin Hai tidak menjadi gentar. Betapa pun juga, intisari kepandaian silat belum pernah diturunkan kepada siapa juga oleh Bu Pun Su dan kepandaian itu hanya dimiliki oleh Bu Pun Su sendiri, bahkan sute dari Bu Pun Su yaitu Han Le Sianjin yang menjadi guru Song Kun, juga tidak mempunyai pengetahuan ajaib ini. Maka, pengetahuan tentang dasar-dasar dan pokok-pokok pergerakan ilmu silat inilah yang membuat Cin Hai berhati tenang dan tetap, karena pengetahuan ini dapat menutup kekurangan dan kekalahannya dalam hal ginkang dan pengalaman tadi.

Song Kun merasa penasaran dan marah melihat betapa Cin Hai dapat menahan semua penyerangannya, maka sambil berseru gemas ia pun menggerakkan pedangnya laksana halilintar menyambar-nyambar, dan tangan kirinya juga tidak tinggal diam, akan tetapi ikut mengirim serangan-serangan maut dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan lain-lain ilmu pukulan yang mengarah jiwa lawannya.

Akan tetapi Cin Hai tetap berlaku tenang dan mengembalikan setiap pukulan lawannya dengan hati-hati. Dia cukup maklum akan berbahayanya Song Kun, dan maklum pula bahwa sekali saja serangan lawan ini mengenai tubuhnya, maka nyawanya berada dalam bahaya besar. Oleh karena itu, ia berlaku hati-hati sekali dan selain mempertahankan diri, ia juga mengirim serangan balasan yang cukup membuat Song Kun berlaku hati-hati.

Demikianlah, kedua orang muda itu saling serang dan saling gempur bagaikan dua ekor naga sakti saling menyerang dengan mati-matian. Tubuh mereka tak tampak lagi, dan hanya cahaya pedang mereka yang saling gulung dan saling desak dengan hebatnya.

Song Kun memang amat lincah dan cepat, akan tetapi menghadapi Cin Hai yang tenang dan kuat serta yang telah tahu akan semua gerakannya, ia merasa tak berdaya, sungguh pun untuk mengalahkan Song Kun, bagi Cin Hai bukanlah merupakan hal yang mudah. Baik Song Kun mau pun Cin Hai merasa betapa baru sekali itulah selama hidup mereka menghadapi lawan yang benar-benar tangguh dan berimbang, baik kepandaian mau pun tenaga.

Lin Lin memandang pertempuran itu dengan hati kagum sekali. Bagi matanya yang telah terlatih dan menjadi tajam sekali penglihatannya, ia masih dapat melihat gerakan-gerakan kedua orang itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gerakan Song Kun masih lebih lincah dan cepat, sungguh pun Cin Hai tidak menjadi terdesak karenanya.

Song Kun yang merasa amat penasaran karena setelah bertempur puluhan jurus belum juga dapat mendesak Cin Hai, lalu berseru keras dan tangan kirinya bergerak. Sebuah cahaya merah meluncur dari tangannya itu dan Cin Hai melihat betapa sehelai sabuk merah bergerak bagaikan hidup menyambar ke arah lehernya. Cin Hai cepat mengelak ke kiri, akan tetapi sabuk merah itu dengan lihainya bergerak juga ke kiri seakan-akan bernyawa dan kini mengebut ke arah matanya.

Inilah semacam ilmu kepandaian yang istimewa dari Han Le Sianjin dan sudah diturunkan kepada muridnya itu. Cin Hai belum pernah mempelajari, dan juga karena pergerakan sabuk ini bukan mengandalkan gerakan lengan, akan tetapi mengandalkan pergerakan pergelangan tangan, maka sukar bagi Cin Hai untuk dapat melihat dan mengikuti gerakan lawannya ini.

Setiap pukulan selalu berpusat kepada pundak yang menjadi pangkal lengan. Akan tetapi sabuk ini digerakkan oleh Song Kun dengan cara menggerakkan pergelangan tangannya tanpa mempengaruhi lengan, sehingga kali ini Cin Hai benar-benar tidak dapat menduga lebih dahulu ke mana sabuk lawan itu akan meluncur!

Song Kun maklum pula bahwa Cin Hai tentu sudah mewarisi ilmu kepandaian Bu Pun Su yang sakti, yakni ilmu kepandaian mengenal serta mengetahui segala pokok-pokok dan dasar pergerakan ilmu pukulan, karena itu dia sengaja mengeluarkan sabuknya itu untuk mencapai kemenangan.

Dulu suhu-nya, Han Le Sianjin pernah berkata kepadanya bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su tak ada lawannya di dunia ini oleh karena Bu Pun Su telah memiliki pengetahuan tentang pokok dan dasar ilmu silat, akan tetapi apa bila Bu Pun Su menghadapi senjata yang digerakkan dengan pergelangan tangan seperti senjata sabuk yang lihai itu, tentu Bu Pun Su sendiri tidak akan dapat menduga sebelumnya ke arah mana sabuk itu akan diserangkan!

Cin Hai betul-betul terkejut ketika tahu-tahu sabuk itu telah mengejarnya dan mengancam matanya. Ia tidak mau mengelak lagi, akan tetapi segera mengerjakan Liong-cu-kiam di tangannya untuk membuat putus sabuk yang berbahaya itu. Akan tetapi tiba-tiba saja dia berseru terkejut karena bukan saja pedangnya tidak mampu membabat putus sabuk itu, bahkan sabuk merah itu lalu membelit pedangnya sehingga tak dapat digerakkan lagi!

Lin Lin melihat pula hal ini dengan jelas, maka bukan main kuatir rasa hatinya melihat keselamatan kekasihnya terancam bahaya. Ia menjerit keras dan roboh pingsan! Dalam keadaan seperti itu, Lin Lin lupa akan pantangannya dan menjadi kuatir sehingga racun di dalam tubuhnya menyerang jantung dengah hebat yang membuatnya roboh pingsan.

Sementara itu, ketika sabuk merahnya telah berhasil membelit pedang Cin Hai, Song Kun sambil tertawa mengejek segera menyerang dengan pedang Ang-ho Sian-kiam di tangan kanannya ke arah dada Cin Hai!

Sebetulnya bukan karena pedang Liong-cu-kiam kurang tajam maka tak dapat membabat putus sabuk itu, akan tetapi oleh karena sabuk itu terbuat dari sutera lemas dan sangat ulet hingga tentu saja kalau berada di tangan seorang ahli yang tinggi ilmu lweekang-nya, pedang yang bagaimana tajam pun akan kehilangan dayanya dan takkan bisa membabat putus sabuk itu, biar pun pedang Liong-cu-kiam itu akan membabat putus segala macam senjata besi atau baja.

Biar pun berada dalam keadaan yang amat berbahaya, namun murid Bu Pun Su ini tidak menjadi bingung atau gentar. Secepat kilat dia mencabut pedang Liong-cu-kiam pendek yang masih terselip di punggungnya dan dengan pedang ini di tangan kiri dia menangkis tusukan pedang Song Kun pada dadanya, kemudian dia menggunakan pantulan pedang untuk membabat sabuk yang masih melibat pedang di tangan kanan.

Sekali sabet saja, sabuk itu terputus menjadi dua potong! Ini dapat terjadi oleh karena setelah melibat pedang maka sabuk itu menjadi tertarik dan tertahan oleh pedang yang dilibatnya dan tangan Song Kun yang memegangnya, maka dalam keadaan merentang ini tentu saja dengan mudah sabuk itu dapat dibabat putus!

Song Kun terkejut sekali, akan tetapi, pada saat itu terdengar jeritan Lin Lin yang roboh pingsan. Cin Hai cepat melompat dan setelah melihat kekasihnya roboh pingsan, ia lalu menyimpan pedangnya dan menubruk kekasihnya itu dengan bingung dan cemas.

“Lin Lin... Lin-moi... ahhh, mengapa kau berkuatir...?”

Melihat betapa Cin Hai dengan wajah pucat memeluk Lin Lin dan melihat pula muka gadis itu yang menjadi pucat bagaikan mayat, Song Kun merasa heran dan juga kaget. Ia tadi merasa terkejut sekali melihat betapa dalam keadaan sesulit itu Cin Hai masih dapat menyelamatkan diri bahkan berhasil pula membabat putus pedangnya, maka diam-diam ia merasa amat kagum dan juga sedikit jeri. Kini melihat Lin Lin roboh pingsan bagaikan telah mati, ia merasa kasihan dan berkuatir. Memang di dalam hatinya, ia amat mencinta gadis itu.

“Dia kenapakah...?” tanyanya terheran.

Tanpa menengok, Cin Hai lalu menjawab, “Dia telah terkena racun jahat dari Hai Kong Hosiang, dan dalam seratus hari dia akan mati.”

“Apa...?! Dia tidak boleh mati. Apakah tidak ada obatnya?” tanya Song Kun dengan hati berdebar cemas.

Cin Hai mengangguk. “Hanya ada satu macam obat dan obat itu berada di tangan Hai Kong Hosiang. Untuk itulah maka kami berdua menuju ke barat.”

“Racun apakah itu?”

“Racun Ular Hijau yang jahat dari yang hanya terdapat di daerah Mongol, maka obatnya pun harus dari sana.”

“Tidak, dia tidak boleh mati! Dia harus menjadi isteriku, karenanya dia tidak boleh mati! Cin Hai, biar aku titipkan dulu dia kepadamu dan karena itulah maka kau tidak kubunuh sekarang dan kuberi ampun. Aku hendak mencari obat untuknya dan setelah dapat, aku akan datang menjemput calon isteriku ini!”

Song Kun lalu menyimpan pedangnya dan melompat pergi lalu lari cepat sekali. Cin Hai tidak mempedulikannya, bahkan menengoknya pun tidak oleh karena dia merasa gelisah sekali melihat betapa wajah Lin Lin menjadi agak kebiru-biruan.

Akan tetapi ternyata bahwa serangan racun itu hanya berlangsung sebentar saja dan tak lama kemudian Lin Lin telah siuman kembali. Cahaya merah kembali ke mukanya dan ia membuka matanya. Ketika dia melihat bahwa dia berada dalam pelukan Cin Hai, dia lalu merangkul leher pemuda itu dan terisak menangis.

“Lin-moi, mengapa kau melanggar pantanganmu?”

“Hai-ko, aku tidak ingat akan hal itu, tadi aku terlalu kuatir melihat kau terancam bahaya sehingga aku terlupa bahwa aku tidak boleh berkuatir.”

Cin Hai tersenyum. “Jangan kuatir, Moi-moi. Walau pun harus kuakui bahwa Song Kun memang lihai, akan tetapi aku takkan kalah terhadapnya. Lihat sajalah kalau lain kali dia berani mengganggu kita lagi, akan kuhabiskan nyawanya!”

“Dia di mana, Koko?”

Cin Hai hendak menceritakan apa yang telah terjadi, akan tetapi ia takut kalau-kalau Lin Lin akan merasa berkuatir mendengar betapa pemuda pesolek itu hendak mencari obat baginya dan hendak kembali menjemputnya kelak! Maka dia lalu menjawab, “Setelah aku berhasil membabat putus sabuk merahnya, agaknya dia menjadi jeri dan lalu melarikan diri.”

Lin Lin menarik napas lega dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat dengan perlahan dan tidak tergesa-gesa…..

********************

Pada suatu hari, seperti biasa, Ang I Niocu berjalan-jalan di depan goa-goa Tung-huang untuk memeriksa keadaan goa tempat harta pusaka itu tersembunyi, dan sekali ini dia dikawani oleh Ma Hoa.

Tiba-tiba dia merasa terkejut sekali ketika melihat beberapa orang Mongol berkerumun di depan goa itu! Dia pun berseru,

“Ma Hoa, celaka, agaknya mereka telah menemukan tempat itu.”

Maka berlari-larilah Ang I Niocu dan Ma Hoa ke tempat itu dan ketika mereka tiba di situ, ternyata bahwa orang-orang itu dipimpin oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, Bo Lang Hwesio, dan lain-lain perwira Mongol!

Melihat pihak lawan yang berat dan cukup banyak ini, Ang I Niocu tidak ingin berlaku sembrono, karena ia menduga bahwa biar pun goa itu telah mereka temukan, akan tetapi belum tentu mereka dapat mencari tahu tentang rahasia untuk membuka lubang tempat penyimpanan harta pusaka. Ia lalu menarik tangan Ma Hoa dan diajaknya bersembunyi di balik sebuah gunung karang yang kecil dan mengintai dari situ.

Tidak lama kemudian, dari jurusan lain datanglah serombongan orang yang bukan lain adalah rombongan perwira kerajaan yang dipimpin oleh Kam Hong Sin! Selain panglima yang lihai ini, tampak juga Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu dan banyak perwira-perwira tinggi lainnya yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.

Pihak Mongol yang melihat kedatangan para perwira kerajaan itu, segera maju menyerbu sehingga terjadilah pertempuran hebat di depan goa rahasia itu. Ang I Niocu dan Ma Hoa memandang dengan penuh kekuatiran sebab dengan adanya dua fihak yang sama-sama menghendaki harta pusaka itu, maka keadaan lawan makin bertambah berat saja.

“Biar...” bisik Ang I Niocu sambil menggenggam tangan Ma Hoa, “biarkan mereka saling gempur hingga binasa seluruhnya!”

Pertempuran berjalan ramai sekali, karena kedua fihak sama kuat. Kam Hong Sin yang tangguh itu mendapat lawan berat, yaitu Thai Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu harus melawan Sian Kek Losu, dan Ceng Tek Hwesio melawan Bo Lang Hwesio!

Sesungguhnya, di antara ketiga pasangan ini, fihak Mongol lebih kuat, akan tetapi oleh karena pada fihak tentara kerajaan masih terdapat beberapa orang perwira yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mengeroyoknya, maka keadaan mereka menjadi seimbang.

Pada saat Ang I Niocu dan Ma Hoa sedang menonton dengan hati tegang, tiba-tiba saja datang rombongan lain dan ketika mereka memandang, mereka menjadi gembira sekali, karena di dalam rombongan orang itu terdapat Bu Pun Su!

Akan tetapi, kegembiraan mereka segera berubah menjadi keheranan dan kekhawatiran karena ternyata bahwa yang datang bersama Bu Pun Su adalah seorang nenek yang bertelanjang kaki, seorang pendeta Mongol, seorang perwira Mongol, dan juga Hai Kong Hosiang! Melihat Hai Kong Hosiang yang jahat dan yang sangat mereka benci ini berjalan bersama Bu Pun Su, sungguh membuat kedua orang gadis itu berdiri bengong saking herannya!

Melihat pertempuran hebat itu, Bu Pun Su lalu menghampiri mereka dan berseru keras, “Tahan pertempuran ini!”

Suaranya amat nyaring dan berpengaruh hingga Ang I Niocu dan Ma Hoa sendiri yang berdiri di tempat agak jauh juga terkena getaran suara dan terpengaruh oleh gema suara itu. Apa lagi mereka yang sedang bertempur, mendengar suara ini mereka tak terasa lagi segera melompat mundur sambil menahan senjata masing-masing. Mereka memandang kepada kakek itu dengan terheran-heran.

Thai Kek Losu beserta kawan-kawannya yang melihat Balaki datang bersama kakek itu menjadi terkejut, akan tetapi sebelum mereka bertanya, Bu Pun Su telah mendahuluinya dengan ucapan yang halus,

“Kalian ini bertempur bukankah memperebutkan harta pusaka yang tersimpan di dalam goa ini? Bodoh amat! Untuk apa bertempur mengadu jiwa hanya untuk setumpuk harta yang tidak berharga dan yang hanya mendatangkan kekacauan belaka?”

Biar pun sikap Bu Pun Su lemah lembut dan kelihatannya seperti seorang lemah, namun menyaksikan pengaruh yang keluar dari bentakannya tadi, baik pihak Mongol mau pun pihak perwira kerajaan dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi.

“Kami yang lebih dahulu mendapatkan tempat ini, akan tetapi perwira-perwira kerajaan hendak merampasnya dari kami!” kata Thai Kek Losu sebagai pembelaan diri.

“Tempat ini termasuk wilayah kerajaan, tidak boleh orang lain memiliki harta pusaka itu selain Kaisar!” kata Kam Hong Sin dengan suara garang.

Bu Pun Su tersenyum kemudian menjawab, “Semua salah! Yang mendapatkan tempat ini bukan orang-orang Mongol dan yang berhak memiliki harta ini bukanlah Kaisar, karena harta ini berasal dari milik rakyat yang dulu dirampok! Dari pada bersitegang dan mencari kebenaran sendiri dengan berperang dan mengorbankan nyawa secara sia-sia, lebih baik diatur begini saja. Kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian dan siapa yang paling pandai, dialah yang berhak memiliki tempat ini!”

“Boleh, bolehl” kata Thai Kek Losu yang merasa bahwa pihaknya lebih banyak memiliki orang-orang lihai. “Kita majukan tiga orang jago masing-masing, dan dari pihak kami, aku majukan tiga orang, yaitu aku sendiri, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio.”

Sambil berkata demikian, Thai Kek Losu menunjuk kepada Sian Kek Losu dan kepada Bo Lang Hwesio, akan tetapi ia merasa heran sekali melihat betapa Bo Lang Hwesio sedang memandang kepada Bu Pun Su dengan wajah pucat!

“Dia... dia adalah Bu Pun Su yang lihai...!” kata Bo Lang Hwesio dengan berbisik hingga Thai Kek Losu yang pernah mendengar nama ini pun menjadi gentar sekali.

“Kam Hong Sin, kau boleh majukan tiga orang jago-jagomu!” Thai Kek Losu menantang kepada perwira itu, akan tetapi Kam Hong Sin membentak marah.

“Aku tidak mau mentaati perintah siapa juga selain perintah dari Kaisar! Betapa pun juga, tak boleh orang-orang menggunakan aturan sendiri seakan-akan di negara ini tidak ada pemerintah!”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan Hai Kong Hosiang maju ke depan. “Tidak menurut pun tak apa! Pendeknya masing-masing fihak harus mengajukan paling banyak tiga orang jagonya. Fihakku hanya cukup mengajukan seorang jago saja! Ha-ha-ha! Yang tidak merasa gembira untuk ikut dalam pertandingan ini boleh cepat mundur dan jangan mengganggu orang lain!”

Dengan tangannya Thai Kek Losu memberi isyarat kepada Balaki dan memanggil perwira Mongol itu agar datang mendekat. Akan tetapi Balaki hanya tertawa mengejek saja tanpa mempedulikannya.

“Balaki, kau tidak menurut perintahku'?” teriak Thai Kek Losu dengan marah dan heran.

Balaki tertawa. “Siapa yang sudi menurut perintahmu? Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi denganmu!”

Thai Kek Losu dan kawan-kawannya tercengang mendengar ini. “Balaki, kau hendak menjadi pemberontak?”

“Tutup mulutmu!” bentak Hai Kong Hosiang dengan marah.

Pada saat itu, kembali muncul serombongan orang dan ternyata yang kini muncul adalah rombongan orang-orang Turki pengikut Pangeran Muda dengan dipimpin oleh Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga saudara Kanglam Sam-lojin, diikuti pula oleh beberapa orang perwira lain.

Ternyata bahwa Siok Kwat Mo-li beserta kawan-kawannya masih merasa penasaran dan melanjutkan usaha mereka mencari harta pusaka itu dengan mengerahkan orang-orang Turki dan membohongi mereka dengan janji bahwa setelah harta pusaka bisa diperoleh, harta pusaka itu akan diberikan kepada mereka dan dibagi-bagi. Padahal dalam hatinya, Siok Kwat Mo-li dan juga kawan-kawannya itu sama sekali tidak mempunyai niat untuk membagi harta pusaka itu kepada orang-orang Turki.

Melihat kedatangan mereka, Hai Kong Hosiang berkata sambil tertawa,

“Nah, sekarang lebih ramai lagi! Siok Kwat Mo-li, kau datang bersama orang-orang Turki ini hendak melakukan apakah?”

“Suheng, aku bersama Lok Kun Tojin, juga kawan Wai Sauw Pu tadinya sengaja datang memenuhi undanganmu hendak membantu, akan tetapi karena kami tidak dapat bertemu dengan kau, maka terpaksa kami mengambil jalan kami sendiri, dan dalam usaha kami itu ternyata bahwa kawan Wai Sauw Pu telah terbinasa dalam tangan pengikut Pangeran Tua dari Turki dan kawan-kawannya.”

“Dan sekarang, kau membawa orang-orang Turki ini dengan maksud apakah? Apa kalian juga hendak mencari harta pusaka itu? Kalau memang demikian kehendakmu, lebih baik kau pulang saja dan bawa kawan-kawanmu itu pergi dari sini, karena harta itu adalah bagianku dan kawan-kawanku, dan kau tidak boleh mengganggu!”

Mendengar ucapan suheng-nya itu, Siok Kwat Mo-li merasa penasaran sekali sebab dulu suheng-nya minta pertolongan dan bantuannya untuk menghadapi lawan-lawannya dan juga untuk mencari harta pusaka itu dengan janji hendak dibagi-bagi, akan tetapi tidak tahunya sekarang suheng-nya itu telah memilih kawan-kawan lain.

Akan tetapi, oleh karena maklum akan kelihaian Hai Kong Hosiang, ia diam saja dan tidak berani membantah. Hanya Lok Kun Tojin yang merasa penasaran dan tentu saja ia tidak mau menerima dengan demikian saja. Ia segera melompat maju menghadapi Hai Kong Hosiang dan membentak keras,

“Hai Kong! Mengingat akan persahabatan di kalangan kang-ouw aku sudah turut turun gunung dengan Sumoi-mu ini karena hendak membantumu untuk sama-sama mencari pusaka berharga. Akan tetapi sekarang kedatangan kami ini tidak kau hargai, bahkan kau hendak mengusir kami. Kau anggap kami ini orang macam apakah? Apakah tanpa kau kami tak dapat mencari sendiri dengan menggunakan kepandaian kami?”

“Ha-ha-ha! Lok Kun Tojin, jangan kau menyombong di hadapanku! Apa bila kau hendak mencari harta pusaka itu, siapakah yang sudi melarangmu? Bahkan kuanjurkan supaya kalian turut pula dalam pertandingan memperebutkan harta itu. Lihatlah, kini semua telah berkumpul dan kita semua telah bermufakat untuk mengajukan masing-masing tiga orang jago. Pihak Mongol telah mengajukan jago-jago mereka, yaitu Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio. Fihak kami mengajukan seorang jago, yaitu kakek jembel ini!” Ia menuding ke arah Bu Pun Su yang berdiri sambil menundukkan kepala. “Akan tetapi sayangnya di fihak perwira kerajaan agaknya tidak berani mengajukan jago-jago mereka. Ha-ha-ha!”

“Hai Kong, jangan kau sombong!“ Kam Hong Sin berteriak dengan muka merah karena marahnya. “Hendak kulihat kalian ini pemberontak-pemberontak rendah hendak berbuat kurang ajar sampai seberapa jauh. Aku tidak sudi mengadakan segala macam perjanjian dengan kalian, dan hendak kulihat siapa yang akan berkeras mengambil harta pusaka itu, pasti akan kuhadapi dengan taruhan jiwaku sebagai seorang petugas setia dari Kaisar!”

Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan berkata, “Kam Hong Sin, baru menjadi panglima besar Kaisar saja kau telah berkepala batu! Kalau saja aku tidak teringat bahwa semua orang telah menyetujui untuk mengajukan jago-jago masing-masing, tentu akan kuhadapi sendiri orang macam kau! Akan tetapi biarlah aku bersabar dulu, dan kalau tidak mau ikut dalam pertandingan ini, biarlah kau menjadi penonton dan boleh kami anggap sebagai saksi! Ha-ha-ha!”

Sementara itu, Lok Kun Tojin dan Siok Kwat Mo-li berbisik-bisik sedang mengadakan perundingan, akhirnya Lok Kun Tojin barkata, “Baik, kami ikut dalam pertandingan ini dan kami mengajukan tiga jago kami, yaitu Siok Kwat Mo-li, aku sendiri, dan Sahali.” Sambil berkata demikian dia menunjuk ke arah Siok Kwat Mo-li dan seorang Perwira Turki yang bertubuh pendek kecil dan berkulit hitam.

“Bagus, bagus! Sekarang akan menjadi ramai!” kata Hai Kong Hosiang sambil tertawa terbahak-bahak.

Sementara itu Bu Pun Su berpikir bahwa gara-gara Hai Kong Hosiang, maka bila mana dilanjutkan, tentu akan terjadi pertandingan hebat dan hal ini tidak dia kehendaki, oleh karena tentu akan banyak terjatuh korban yang terluka hebat atau bahkan binasa. Maka dia segera berkata kepada semua orang dengan suara sembarangan,

“Aku tua bangka jembel hendak bicara dan kalian semua jika akan menganggap bicaraku sebagai suatu kesombongan, apa boleh buat. Dengarkan baik-baik. Untuk menyingkat waktu, kupersilakan semua fihak maju seorang demi seorang dan menghadapi aku orang tua. Kalau saja aku sampai dirobohkan, terluka mau pun binasa, maka kuanggap bahwa pihakku kalah, dan tidak berhak lagi untuk mendapatkan harta benda itu!”

Tentu saja ucapan ini dianggap sombong sekali sehingga semua mata memandangnya dengan penasaran dan marah, kecuali Bo Lang Hwesio yang sudah cukup maklum akan kelihaian Bu Pun Su.

“Kakek tua! Alangkah sombongmu! Kau seorang diri hendak menghadapi jago-jago dari Mongol dan Turki sebanyak enam orang. Meski pun kau tangguh dan lihai, patutkah bagi seorang yang berkepandalan tinggi untuk bersikap sesombong ini?”

Juga Siok Kwat Mo-li yang marah sekali membentak, “Kakek yang mau mampus! Belum pernah selama hidupku mendengar bual seorang sesombong kau! Kau tidak memandang mata kepada kami sekalian!”

Memang, menurut kebiasaan di kalangan kang-ouw, orang-orang yang kepandaiannya sudah tinggi biasanya merendahkan diri, oleh karena mereka selalu berhati-hati menjaga kalau-kalau akhirnya dia kena dijatuhkan orang lain sehingga kesombongannya itu hanya akan menjatuhkan namanya belaka. Makin tinggi kepandaian seseorang, makin pendiam maka makin merendahlah dia.

Karena ini, ucapan Pun Su tadi tentu saja dianggap keterlaluan sekali sehingga membuat mereka merasa penasaran dan marah. Akan tetapi mereka belum mengenal adat Bu Pun Su yang kukoai (ganjil), atau yang sudah pernah mengenalnya juga tak mengetahui betul adatnya itu.

Bu Pun Su tidak biasa menyombongkan kepandaiannya. Baru nama yang dipilihnya saja, yaitu Bu Pun Su yang berarti Tiada Berkepandaian, sudah menunjukkan bahwa dia tidak suka akan segala macam nama kosong belaka. Kalau kali ini ia mengucapkan tantangan yang bersifat sombong, bukanlah semata timbul dari watak sombong, akan tetapi karena ia mengandung semacam maksud, yaitu ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah hanya karena memperebutkan harta pusaka belaka!

Melihat kemarahan orang-orang itu, diam-diam Bu Pun Su menjadi gembira sekali karena bahwa maksudnya berhasil baik, maka untuk menambah ‘minyak’ supaya api yang mulai membakar hati mereka itu menjadi makin berkobar dan agar persoalan itu cepat selesai, maka dia lalu menambahkan ucapannya tadi sambil tersenyum,

“Kalau kalian menganggap aku sombong, biarlah, kuakui bahwa aku memang sombong. Kesombonganku barusan itu masih belum seberapa hebat apa bila dibandingkan dengan usulku yang berikut ini. Oleh karena dari pihak kami hanya maju seorang jago dan dari pihak Mongol mau pun pihak Turki diajukan tiga orang jago, maka aku menantang kalian untuk maju berbareng, yaitu tiga orang sekaligus!”

Benar saja, ucapan ini membuat semua orang menjadi bengong sehingga untuk sejenak mereka tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Akhirnya Thai Kei Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio maju berbareng dengan marah dan mereka ini memandang kepada Bu Pun Su dengan muka merah.

“Bu Pun Su! Aku mendengar namamu dari Bo Lang Hwesio dan sudah sejak lama aku mendengar bahwa Bu Pun Su adalah seorang berilmu tinggi yang sakti dan yang patut disebut Lo-cianpwe (Orang Tua Gagah). Akan tetapi, tidak tahunya Bu Pun Su hanyalah seorang tua bangka yang sudah pikun dan yang telah menjadi gila dan sombong sekali! Baiklah, kau sendiri yang menantang untuk dikeroyok tiga, dan kalau kau tewas di tangan kami, janganlah merasa penasaran karena kau sendiri yang minta mati!”

Dimaki sehebat itu, Bu Pun Su hanya memandang dengan senyum simpul dan dia lalu menjawab,

“Baiklah, Robot. Kalau sampai aku Si Tua Bangka ini terbunuh mati di tangan kalian, tak usah kalian memasang meja sembahyang!”

Thai Kek Losu marah sekali dan sekali tangannya bergerak, maka ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu tengkorak anak-anak yang dipasang tali. Tengkorak itu diputar-putar sehingga dalam pandangan banyak orang seperti kepala seorang anak kecil yang meringis dan suara angin yang masuk dan keluar dari lubang-lubang tengkorak itu terdengar bagaikan suara tangis. Semua orang langsung bergidik dan merasa ngeri melihat kehebatan senjata ini, akan tetapi Bu Pun Su tersenyum dan berkata,

“Losu, mengapa bukan kepalamu sendiri yang kau ikat itu?”

Sementara itu, Sian Kek Losu juga mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah lihainya, yaitu sebuah gendewa bertali, senjata yang jarang sekali dapat dimainkan oleh ahli silat, oleh karena memang amat sukar untuk mainkan senjata ini. Akan tetapi apa bila orang sudah dapat memainkan, senjata itu merupakan senjata yang amat sukar dilawan karena lihainya.

Juga Bo Lang Hwesio ikut menarik keluar senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil bulu kecil saja, namun sepasang senjata ini merupakan penyambung tangan untuk melakukan serangan tiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) kepada lawan dan kelihatan sepasang poan-koan-pit ini memang sudah amat ditakuti orang.

Memang biasanya Bo Lang Hwesio jarang mempergunakan senjata dalam perkelahian, cukup dengan sepasang tangannya ditambah ujung lengan bajunya saja, karena dengan ilmu pukulan tangan kosong saja memang sudah sangat sukar mengalahkan dia. Akan tetapi sekarang ia maklum bahwa biar pun mengeroyok tiga, ia menghadapi seorang sakti yang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka ia pun sengaja mengeluarkan senjatanya itu.

“Sudah siap?” tanya Bu Pun Su dengan tenang. “Nah, mari kita mulai!”

“Keluarkan senjatamu!” bentak Thai Kek Losu yang sebagai orang berilmu tinggi merasa segan untuk menyerang seorang yang bertangan kosong.

“Eh, Thai Kek Losu, bukalah matamu baik-baik. Bukankah aku sudah siap dengan empat buah senjataku ini?” sambil berkata demikian dia menggerak-gerakkan kedua tangan dan dua kakinya. “Thian telah memberi senjata-senjata yang tiada bandingannya di dunia ini kepada kita, akan tetapi kalian masih saja menanyakan senjata, bukankah itu kurang berterima kasih kepada Thian namanya?”

Bukan main mendongkolnya hati Thai Kek Losu mendengar ini. Ia anggap kakek jembel ini menghina sekali.

“Kau mencari mampus sendiri!” teriaknya dan tengkorak kecil di tangannya itu tiba-tiba menyambar ke arah muka Bu Pun Su dengan cepatnya.

Akan tetapi baru saja tengkorak itu bergerak, tubuh Bu Pun Su sudah menyingkir terlebih dulu sehingga serangannya mengenai angin saja. Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio juga maju menyerbu dan sebentar saja Bu Pun Su dihujani serangan-serangan kilat yang amat berbahaya dari tiga orang ahli dan tokoh besar itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)