PENDEKAR BODOH : JILID-48

 Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa menjalankan tugas membagi-bagikan harta itu sambil melanjutkan perjalanan menuju ke timur. Seperti halnya Ang I Niocu, mereka pun mengalami banyak sekali kebahagiaan dari pekerjaan yang mulia ini.

Pada waktu mereka menyeberang sebatang sungai yang menjadi anak Sungai Huangho, Nelayan Cengeng melihat ada beberapa perahu nelayan hilir mudik dengan para nelayan bernyanyi-nyanyi sambil mendayung perahu mereka. Pemandangan dan pendengaran ini membangkitkan hatinya dan menimbulkan rindunya pada kehidupan nelayan yang sudah dinikmatinya semenjak masih muda, maka dia berkata kepada Ma Hoa dan Kwee An.

“Ma Hoa dan Kwee An, sudah lama sekali aku merasa rindu untuk hidup kembali sebagai seorang nelayan, mendayung perahu menjala ikan dan hidup dengan aman dan tenteram di atas air! Terus terang saja kuakui bahwa hampir setiap malam aku bermimpi duduk di atas perahu seorang diri, dibuai ombak, minum arak sambil menikmati cahaya bulan di waktu malam. Kini kalian sudah saling berjumpa kembali dan juga kawan-kawanmu telah dapat kita ketemukan, maka hatiku kini merasa aman dan senang. Oleh karena itu, aku ingin tinggal dan hidup kembali sebagai nelayan di sungai ini. Kalian teruskan perjalanan kalian dan ini adalah sisa harta benda yang harus kubagi-bagikan, boleh kalian habiskan dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Kelak apa bila sudah tiba saatnya kalian hendak melangsungkan pernikahan, berilah kabar dan aku pasti akan datang.”

Ma Hoa maklum pula bahwa suhu-nya ini memang suka sekali hidup di atas air sebagai seorang nelayan, bahkan dulu suhu-nya pernah menyatakan bahwa ia ingin mati di dalam sebuah perahu, maka berkata,

“Suhu, sungguh berat hatiku harus berpisah dengan Suhu. Suhu tentu tahu bahwa teecu menganggap Suhu sebagai ayah sendiri, maka kelak kalau Suhu telah bosan merantau di atas sungai ini, teecu harap Suhu suka tinggal bersama teecu supaya teecu mendapat kesempatan merawat Suhu dan membalas budi.”

Nelayan Cengeng tertawa bergelak sampai air matanya keluar.

“Muridku, anakku yang baik!” katanya sambil menaruhkan tangannya di atas kepala Ma Hoa. “Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagiku selain melihat kau hidup bahagia dengan Kwee An! Aku berjanji bahwa kelak apa bila aku sudah bosan di sungai ini, pasti aku akan hidup dekat dengan kau dan suamimu.”

Sesudah banyak mendapat nasehat-nasehat serta petuah-petuah dari Nelayan Cengeng yang baik hati itu, Kwee An dan Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mereka.

Ma Hoa mengajak Kwee An mengunjungi suhu-nya ke dua, yaitu Hok Peng Taisu di Bukit Hong-lun-san, di mana dulu ia diberi pelajaran silat Bambu Runcing. Bukit itu masih indah seperti dahulu, kaya akan tamasya alam yang mengagumkan hati. Ketika mereka tiba di puncak, mendadak mereka mendengar suara angin pukulan yang hebat sambil dibarengi bentakan-bentakan seperti orang sedang berkelahi.

Dengan cepat mereka lalu menghampiri tempat itu dan Ma Hoa menahan geli hatinya pada waktu melihat betapa suhu-nya bersilat seorang diri dengan sepasang tongkatnya. Gerakan kakek botak itu sedemikian kuatnya sehingga semua daun-daun di sekitarnya bergerak-gerak terkena pukulan angin yang keluar dari pukulan dan sambaran tongkat itu! Kwee An berdiri bengong dan merasa kagum bukan main melihat kehebatan kakek luar biasa itu.

“Suhu, kau orang tua benar-benar rajin sekali!” Ma Hoa memuji.

Hok Peng Taisu segera menghentikan latihannya dan berpaling kepada mereka sambil tersenyum. Ma Hoa kemudian menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Kwee An yang juga berlutut.

“Bagus, bagus, bagus sekali kalian datang ke sini. Di mana Nelayan Cengeng?”

“Dia rindu kepada perahu dan sungai, Suhu, maka dia tidak melanjutkan perjalanan dan hendak hidup beberapa lama di atas Sungai Liang-ho,” jawab Ma Hoa.

Hok Peng Taisu menarik napas panjang. “Nelayan Cengeng memang orang beruntung. Tidak seperti aku yang sudah tua masih menimbulkan perkara dan mencari permusuhan. Tahukah kau bahwa aku akan mengadakan pertandingan di Puncak Hoa-san pada bulan tiga? Oleh karena itu aku harus melatih diri dan melepaskan urat-urat yang sudah kaku!”

Di waktu mudanya kakek botak ini memang gemar sekali mengadu kepandaian dengan orang-orang pandai, maka kini agaknya kegemaran itu timbul kembali dalam menghadapi tantangan Hai Kong Hosiang. Kemudian dia segera menceritakan mengenai tantangan itu kepada Ma Hoa dan Kwee An.

“Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, maka tentu saja dia pun akan menyambut tantangan ini. Aku kenal padanya sebagai seorang yang sabar, akan tetapi menghadapi sebuah tantangan yang keluar dari mulut hwesio jahat itu, tentu dia akan turun gunung. Oleh karena itu, hendaknya kalian datang kepadanya dan ceritakanlah tentang tantangan itu kepada Bu Pun Su, sekalian sampaikan salamku kepadanya. Katakan bahwa selatan dan timur tak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!” Dengan ucapan ini, Hok Peng Taisu hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su takkan kalah menghadapi Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu, tokoh-tokoh besar dari barat dan utara itu!

Ma Hoa dan Kwee An kemudian turun dari Bukit Hong-lun-san dan karena mereka telah mendengar dari Cin Hai di mana letak Goa Tengkorak itu, maka mereka langsung menuju ke sana.

Ketika mereka sampai di depan Goa Tengkorak, mereka melihat Lin Lin sedang duduk dengan bengong bagai orang melamun dengan muka nampak sedih. Melihat kedatangan mereka, gadis ini tidak merasa girang, bahkan lalu memeluk kakaknya menangis sedih.

Kwee An yang sudah lama sekali tidak bertemu dengan adiknya yang terkasih itu, cepat mengusap-usap rambut Lin Lin dan bertanya, “Adikku sayang, mengapa kau bersedih? Di manakah Cin Hai dan di mana pula Suhu-mu?”

Sesudah tangisnya mereda, Lin Lin lalu berkata, “Mereka berada di dalam. Suhu sedang menderita sakit keras. Hai-ko dan Enci Im Giok yang menjaganya. Aku… aku tak dapat menahan kegelisahan dan kesedihanku maka aku lalu keluar, karena di depan Suhu aku tidak berani memperlihatkan kesedihanku.”

Bukan main kagetnya hati Ma Hoa dan Kwee An mendengar penjelasan ini. Segera Ma Hoa bertanya,

“Suhu-mu adalah seorang yang sakti, mengapa ia bisa menderita sakit? Dan bilakah Ang I Niocu tiba di sini?”

Kemudian, dengan suara perlahan supaya suara mereka jangan sampai terdengar dari dalam dan mengganggu Bu Pun Su, Lin Lin lalu menceritakan bahwa setelah ia dan Cin Hai, juga bersama Lie Kong Sian, tiba di tempat itu, mereka mendapatkan Bu Pun Su sudah berbaring tak sadarkan diri di dalam goa, dijaga oleh tiga ekor burung sakti yang diam tak bergerak seperti sedang merasa bingung dan berduka pula.

Lie Kong Sian yang paham akan ilmu pengobatan, lalu memeriksa nadi kakek jembel itu dan menyatakan bahwa Bu Pun Su menderita kelemahan karena usia tua, dan agaknya kesedihan hati membuat jantungnya terserang hebat, juga penderitaan batin membuat kakek itu tidak kuat menahan dan jatuh pingsan. Pemuda itu lalu mengatakan kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya menjaga Bu Pun Su dan membantu kesempurnaan jalan darahnya dengan tenaga lweekang, sedangkan ia sendiri hendak pergi ke pulaunya untuk mencari semacam rumput darah yang mungkin akan menyembuhkan Bu Pun Su.

Semenjak masuk Goa Tengkorak, Cin Hai lalu memegang tangan kanan suhu-nya dan mengerahkan tenaganya membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhu itu. Telah sepekan lamanya Cin Hai duduk bersila tak bergerak di dekat suhu-nya dan hanya makan sedikit sekali, itu pun kalau sudah dipaksa-paksa oleh Lin Lin.

Baru tiga hari yang lalu Ang I Niocu tiba di situ dan gadis ini pun menjaga susiok-couwnya siang malam bersama mereka.

“Apakah selama ini Suhu-mu tidak pernah siuman?” tanya Kwee An dengan terharu.

“Pernah satu kali, dan sesudah siuman dia hanya mengucapkan tiga kata, yaitu bahwa dia sudah tua, lalu jatuh pingsan lagi.” Kembali air mata mengalir turun dari kedua mata Lin Lin.

Tiga orang muda itu lalu masuk ke dalam Goa Tengkorak dengan tindakan kaki perlahan dan hati-hati sekali. Benar saja, mereka melihat Bu Pun Su berbaring di atas lantai di dalam kamar hio-louw, berbaring diam tak bergerak seperti sudah mati.

Terlihat Cin Hai duduk di sisi kanannya dan memegang tangan kanan kakek itu sambil bersemedhi mengerahkan tenaga lweekang-nya untuk membantu aliran hawa ke dalam tubuh suhu-nya, ada pun Ang I Niocu duduk di sebelah kirinya, juga bersila tak bergerak bagaikan patung. Biar pun ilmu lweekang-nya belum setinggi Cin Hai, namun kadang kala dia menggantikan Cin Hai dengan memegang tangan kiri kakek itu untuk membantunya dengan tenaga lweekang-nya agar Cin Hai tidak merasa terlalu lelah.

Melihat hal ini Ma Hoa teringat akan kepandaian suhu-nya, yaitu Hok Peng Taisu, tentang ilmu pengobatan, maka ia lalu memberi tanda kepada Kwee An dan Lin Lin untuk keluar dari tempat itu. Cin Hai dan Ang I Niocu agaknya tidak melihat atau tidak mempedulikan kedatangan mereka.

Ketika Kwee An dan Ma Hoa melihat tiga ekor burung sakti berdiri di ruangan tengkorak tanpa bergerak dan dengan muka seakan-akan sedang berduka sekali, mereka merasa amat terharu. Burung-burung itu benar-benar luar biasa hingga memiliki perasaan seperti manusia biasa.

Setelah tiba di luar goa, Kwee An bertanya mengapa Ma Hoa memanggil mereka keluar.

“An-ko, harap kau suka secepatnya pergi pada Suhu di Hong-lun-san untuk mengabarkan hal ini kepada Suhu. Suhu adalah seorang ahli pengobatan dan dia tentu akan sanggup menolong Bu Pun Su Locianpwe.”

Mendengar hal ini, Lin Lin menyatakan kegirangannya, maka dia pun mendesak kepada kakaknya untuk segera minta petolongan orang berilmu itu. Kwee An lantas menyatakan persetujuannya dan ia berpesan kepada kekasihnya dan adiknya supaya mereka berdua menjaga di luar goa, agar jangan sampai ada musuh yang datang membuat kekacauan pada waktu Bu Pun Su menderita sakit keras. Kwee An kemudian mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari secepat mungkin ke Hong-lun-san.

Dengan adanya Ma Hoa yang mengawaninya, Lin Lin menjaga di depan goa dan duduk di atas batu karang sambil bercakap-cakap dan tidak melamun seperti tadi. Mereka saling menuturkan pengalaman masing-masing dan Ma Hoa merasa girang mendengar tentang ditewaskannya Thai Kek Losu, Sian Kek Losio dan Bo Lang Hwesio. Sebaliknya, ketika mendengar tentang tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su, Lin Lin merasa berkuatir sekali. Dalam keadaan seperti itu, bagaimana suhu-nya akan dapat memenuhi tantangan itu?

Pada waktu mereka sedang duduk bercakap-cakap dengan asyiknya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu seorang wanita tua sudah berdiri di hadapan mereka. Dengan hati terkejut Lin Lin dan Ma Hoa bangkit berdiri dan memandang dengan tajam kepada Wi Wi Toanio yang datang itu!

Melihat nenek ini, Lin Lin menjadi marah sekali karena teringat betapa bekas kekasih Bu Pun Su ini sudah menjalankan kecurangan untuk mencelakai suhu-nya itu. Maka sambil mencabut Han-le-kiam dari pinggangnya, ia membentak,

“Mau apa kau datang ke sini?”

Wi Wi Toanio memandang dengan mata mengejek lalu jawabnya, “Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian anak-anak kecil. Minggirlah, dan biarkan aku bertemu dengan Lu Kwan Cu!”

“Tidak! Tak seorang pun boleh masuk ke dalam goa ini mengganggu Suhu! Pergilah kau sebelum pedangku bicara!”

“Anak kecil kurang ajar! Kau berani menghina dan mengusirku?” Wi Wi Toanio menjadi marah sekali.

Ma Hoa juga sudah mencabut sepasang bambu runcingnya dan berkata, “Nenek jahat, kau pergilah dengan baik-baik dan jangan mencari mati.”

Makin marahlah Wi Wi Toanio mendengar ini. Dengan seruan keras dia melompat dan menerjang ke arah Lin Lin dan Ma Hoa dengan limu Silat Cakar Garuda yang lihai dan berbahaya itu. Akan tetapi Lin Lin dan Ma Hoa sudah siap dan menghadapinya dengan mengirim serangan-serangan mematikan.

Ternyata Wi Wi Toanio memang lihai sekali. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka biar pun Lin Lin dan Ma Hoa mengeroyok dua dan mainkan senjata mereka dengan cara hebat, namun nenek itu tidak menjadi gentar dan membalas dengan cengkeraman-cengkeraman yang dahsyat.

Sambil bertempur Wi Wi Toanio mengeluarkan pekik-pekik menyeramkan dan tubuhnya menyambar-nyambar bagai seekor burung garuda. Ginkang-nya ternyata telah mencapai tingkat tinggi sekali hingga tubuhnya itu melayang-layang seolah-olah dia dapat terbang saja. Namun Lin Lin dan Ma Hoa yang berlaku hati-hati tidak mau kalah dan bekerja sama dengan mati-matian untuk merobohkan pengacau ini.

Pada saat pertempuran terjadi, Cin Hai sedang membantu suhu-nya dengan mengalirkan hawa melalui telapak tangan, sedangkan Ang I Niocu hanya bersila sambil bersemedhi untuk mengumpulkan tenaga yang sudah banyak dikerahkan membantu susiok-couw-nya itu.

Kini dia mendengar suara-suara orang berkelahi di luar, maka tahulah dia bahwa Lin Lin dan Ma Hoa sedang menghadapi lawan tangguh. Tanpa mengeluarkan suara, dia lantas mengambil sebatang pedang Liong-cu-kiam yang diletakkan di dekat Cin Hai, kemudian dia bertindak keluar.

Pada saat itu, sambil memekik keras Wi Wi Toanio melompat ke atas dengan kedua tangannya terulur ke depan dan bermaksud merampas senjata kedua lawannya. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan dua batang pedang yang bercahaya berkilauan langsung menyambutnya dengan serangan hebat!

Wi Wi Toanio sedang melayang bagaikan seekor burung garuda yang ganas, sedangkan Ang I Niocu pun melayang menyambutnya dengan pedang Liong-cu-kiam, bagai seekor burung hong yang indah dan gesit! Wi Wi Toanio terkejut melihat serangan ini, maka dia lalu berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah terputar dan berjungkir balik beberapa kali ke belakang!

Melihat Ang I Niocu datang membantu, Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gembira dan mereka lalu mainkan senjata mereka dengan seru dan hebat mendesak Wi Wi Toanio yang kini merasa sibuk juga menghadapi tiga orang gadis jelita yang mengamuk bagaikan tiga ekor naga betina itu!

Ang I Niocu memang lihai dan dengan sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam di kedua tangan, dia merupakan seekor harimau yang tumbuh sayap. Juga Lin Lin dengan Han-le Kiam-hoat-nya merupakan lawan yang amat berbahaya karena ilmu pedangnya ini boleh dianggap menduduki tingkat tinggi sekali di antara segala macam ilmu pedang, ada pun Ma Hoa dengan Ilmu Silat Bambu Runcingnya juga merupakan lawan yang tidak mudah dilawan!

Tentu saja setelah ketiga orang dara ini maju mengeroyok, biar pun ilmu kepandaian Wi Wi Toanio tinggi dan pengalamannya banyak, namun tetap saja dia merasa kewalahan sehingga sebentar saja dia terdesak mundur dan jiwanya berada dalam bahaya!

Wi Wi Toanio mengeluarkan jarum-jarum rahasianya dan kedua tangannya lantas diayun menyebar puluhan batang jarum ke arah tiga dara itu. Akan tetapi Ma Hoa memutar-mutar sepasang bambu rucingnya dan Ang I Niocu juga memutar sepasang pedangnya, hingga semua jarum kena terpukul runtuh. Sementara itu melihat kesempatan baik, Lin Lin maju mengirim serangan hebat ke arah dada lawannya dengan tusukan cepat.

Wi Wi Toanio mencoba mengelak akan tetapi ketika ia merendahkan diri, Lin Lin merobah gerakannya dan pedangnya meluncur ke bawah! Wi Wi Toanio ketika itu terancam pula oleh sabetan pedang Ang I Niocu dari kiri dan tusukan bambu runcing yang menotok ke iganya, maka dengan bingung dia membanting diri ke belakang!

Meski pun gerakannya sudah cepat sekali, akan tetapi ujung pedang pendek Han-le-kiam di tangan Lin Lin masih lebih cepat dan ujung pedang ini berhasil melukai pundak Wi Wi Toanio yang lalu berguling ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan selanjutnya.

Tiga orang gadis itu hendak mengejar dan mengirim serangan maut, akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara dari dalam goa,

“Jangan bunuh dia!”

Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa tercengang dan mereka cepat-cepat menahan senjata masing-masing, sedangkan Wi Wi Toanio yang merasa jeri menghadapi tiga orang gadis kosen itu, lalu melarikan diri turun dari bukit itu secepatnya!

Ang I Niocu merasa girang sekali mendengar suara tadi, karena suara yang mencegah mereka tadi adalah suara Bu Pun Su. Juga Lin Lin mengenal suara suhu-nya, maka dia lalu cepat-cepat mengajak Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk masuk ke dalam goa.

Mereka melihat bahwa Bu Pun Su telah siuman kembali akan tetapi masih rebah dengan tubuh lemah, ada pun Cin Hai duduk bersila di dekatnya dengan wajah muram. Bu Pun Su memang hebat sekali, karena biar pun dia berada dalam keadaan sedemikian rupa, namun pendengarannya masih sangat tajam sehingga dia dapat mendengar pertempuran yang terjadi di luar dan seruan-seruan Wi Wi Toanio itu dikenalnya baik-baik, maka dia lalu mengerahkan khikang-nya dan mencegah ketiga orang gadis itu membunuh Wi Wi Toanio. Tanpa menyaksikan dengan mata sendiri, dari pendengaran dan dugaan saja dia maklum bahwa Wi Wi Toanio tak akan dapat menang menghadapi tiga dara yang gagah perkasa itu!

Ang I Niocu, Lin Lin, dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat. Bu Pun Su tersenyum dengan lemah dan bibirnya bergerak, mengeluarkan bisikan perlahan,

“Kalian lihat, betapa pun tinggi kepandaian orang, ia harus tunduk terhadap usia tua!”

Kemudian Bu Pun Su memandang kepada Ma Hoa dan berkata. “Nona Ma Hoa, kau datang ke sini tentu mempunyai maksud tertentu. Katakanlah!”

Ma Hoa tadinya segan untuk menceritakan mengenai pesanan suhu-nya, dan tadinya dia berniat untuk menahan saja pesanan itu karena Bu Pun Su sedang sakit. Tidak tahunya kakek ini bermata awas hingga tahu bahwa kedatangannya mempunyai maksud tertentu, maka sambil berlutut dia lalu berkata,

“Maafkan teecu, Locianpwe. Sebetulnya teecu tidak berani mengganggu Locianpwe yang sedang menderita sakit.”

Terdengar suara tertawa Bu Pun Su yang seperti biasa, gembira dan terlepas, hanya kali ini suara ketawanya tidak sekeras dahulu. “Anak yang baik, tubuhku memang sakit, akan tetapi semangatku masih seperti biasa. Ceritakanlah.”

“Sebetulnya teecu sudah diperintahkan oleh Suhu Hok Peng Taisu untuk menyampaikan tantangan Hai Kong Hosiang yang ditujukan kepada Suhu dan Locianpwe.”

“Hemm, Hai Kong menantang aku dan Hok Peng?”

“Benar, Locianpwe. Hwesio itu menantang untuk mengadu kepandaian pada bulan tiga di Puncak Hoa-san, dan mereka hendak mengajukan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat sebagai jago untuk menghadapi Locianpwe dan Suhu. Suhu berpesan agar teecu menyampaikan kepada Locianpwe bahwa selatan dan timur tidak seharusnya kalah terhadap barat dan utara!”

Bu Pun Su tertawa lagi, akan tetapi suara ketawanya makin lemah.

“Hok Peng ternyata lebih muda semangatnya dari pada aku! Alangkah senangnya kalau bersama Hok Peng aku dapat menghadapi Pok Pok dan Swi Kiat!” Akan tetapi dia lalu menarik napas panjang dan berbisik,

“Tak mungkin, bulan tiga masih lama, aku tak akan dapat bertahan selama itu...”

Mendengar ucapan ini, tak dapat dicegah lagi Lin Lin lalu menangis terisak-isak.

“Ehh, ehhh, Lin Lin muridku yang nakal! Mengapa kau menangis? Suhu-mu sebentar lagi terbebas dari pada kesengsaraan, kenapa kau malah menangis? Seharusnya kau malah bersyukur dan bergembira!”

Akan tetapi, mendengar ini, Lin Lin makin hebat tangisnya, bahkan kini Ang I Niocu dan Ma Hoa juga ikut menangis. Bu Pun Su menarik napas panjang,

“Hm-hmm... perempuan, perempuan... kalau tidak menangis, kau bukan perempuan lagi namanya...”

Setelah tangisnya reda, Lin Lin lalu berkata kepada suhu-nya, “Suhu, perkenankan pada teecu untuk mengajukan sebuah permohonan.”

“Nah, nah, sesudah menangis lalu mengajukan permohonan, cocok sekali ucapan orang jaman dahulu bahwa di balik air mata wanita itu tersembunyi maksud-maksud tertentu!”

“Teecu ingin mohon perkenan dari Suhu untuk mengijinkan Enci Im Giok melangsungkan perjodohannya dengan Lie Kong Sian Suheng!”

Mendengar ucapan Lin Lin ini, Ang I Niocu cepat-cepat menundukkan kepalanya hendak menyembunyikan mukanya yang menjadi kemerah-merahan.

Bu Pun Su menjawab dan suaranya makin melemah seperti bisikan.

“Aku tahu... semenjak mereka datang aku sudah tahu... Im Giok dan Kong Sian memang cocok, aku setuju...,” tiba-tiba ia mengeluh panjang dan kembali Bu Pun Su jatuh pingsan, tak sadarkan diri seperti orang tidur pulas!

Cin Hai cepat menyambar nadi tangan suhu-nya dan berbisik, “Suhu telah terlalu banyak menggunakan tenaga untuk bercakap-cakap.”

Tiba-tiba saja masuk seorang laki-laki ke dalam Goa Tengkorak dan ketika semua orang memandang, ternyata yang datang ini adalah Lie Kong Sian. Pemuda ini dengan cepat sekali lalu menghancurkan daun darah yang dia ambil dari pulaunya, memeras daun itu dan meminumkannya ke dalam mulut Bu Pun Su. Setelah itu, pemuda ini lalu duduk di sebelah Bu Pun Su untuk menggantikan Cin Hai membantu peredaran hawa dalam tubuh supek-nya.

Tak lama kemudian, bagaikan api lilin yang hampir padam kini bernyala kembali, Bu Pun Su menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Ternyata khasiat daun darah sudah bekerja dan dia merasa tubuhnya enak sekali. Kakek sakti itu lalu bangun dan duduk.

“Im Giok, kuulangi kata-kataku tadi. Kau memang berjodoh dengan Kong Sian dan aku merasa girang sekali bahwa kau mendapatkan jodoh dengan murid Han Le sendiri!”

Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menundukkan kepala dan tidak berani bergerak karena jengahnya. Kemudian Bu Pun Su berkata sambil menuding keluar goa,

“Ada orang datang!”

Semua orang memandang karena mereka tak mendengar sesuatu, kecuali Cin Hai yang dapat mendengar tindakan kaki yang halus sekali. Dan benar saja, tidak lama kemudian, masuklah Kwee An bersama Hok Peng Taisu yang datang-datang tertawa bergelak lalu menghampiri Bu Pun Su.

Bu Pun Su juga tertawa girang. “Hok Peng, apa kau datang hendak memeriksa tubuhku yang sudah bobrok ini?”

“Bu Pun Su, benar-benarkah kau hendak mendahului aku? Kau hanya lebih tua beberapa tahun saja dariku, dan menurut patut, kau harus lebih kuat menolak cengkeraman maut!”

Setelah berkata demikian, Hok Peng Taisu segera duduk di dekat Bu Pun Su kemudian mengulurkan tangan untuk memeriksa nadi dan detik jantung kakek jembel itu. Sesudah memeriksa sambil memejamkan mata beberapa lama, kakek jembel itu bertanya,

“Bagaimana, Hok Peng, masih berapa lama lagikah?”

Kakek botak itu memandang wajah Bu Pun Su dengan tajam. “Bu Pun Su, aku tidak ingin mengetahui urusan pribadimu, akan tetapi orang seperti kau ini tidak layak menerima luka di jantung akibat tekanan batin! Jantungmu terluka hebat sekali karena kau agaknya telah teringat akan hal-hal yang sudah lampau, yang membuat kau merasa malu, marah, dan berduka. Melihat keadaanmu, paling lama kau hanya akan dapat bertahan selama satu pekan saja!”

“Bagus, kalau begitu masih ada waktu beberapa hari lagi,” kata Bu Pun Su.

“Sungguh sayang Bu Pun Su. Benar-benar sayang, karena sebenarnya aku ingin sekali mengajak kau menikmati adu kepandaian di Puncak Hoa-san dan bermain-main sebentar dengan Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu sebelum kau pergi! Pergi seorang diri saja ke Hoa-san kurang menggembirakan!”

Bu Pun Su tertawa, “Apa dayaku? Tadi aku pun sudah mendengar dari muridmu tentang tantangan itu, akan tetapi kepergianku tak dapat ditunda-tunda lagi!”

Mendengar bahwa usia Bu Pun Su tinggal sepekan lagi dan mendengar pula betapa dua orang kakek yang aneh itu membicarakan kematian Bu Pun Su bagai orang yang hendak pergi melancong saja, Ang I Niocu, Lin Lin dan Ma Hoa tak dapat menahan keharuan hati lagi sehingga terdengarlah isak tangis mereka. Lin Lin bahkan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhu-nya dan menangis sedih.

“Ehh, ehh, kembali kau memperlihatkan sikapmu yang nakal, Lin Lin!” kata Bu Pun Su. Kemudian, kakek jembel itu berkata kepada kakek botak,

“Hok Peng, jangan kau kecewa, karena betapa pun juga, tantangan Hai Kong Hosiang itu harus kita hadapi! Memang aku tidak dapat datang sendiri, tetapi aku hendak mewakilkan kepada Cin Hai untuk menghadapi mereka.”

“Suhu, teecu masih terlalu lemah untuk menghadapi mereka, terutama Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang sakti itu,” kata Cin Hai.

“Jangan khawatir, mereka itu sudah tua bangka dan tubuh mereka sudah bobrok seperti aku! Kita masih mempunyai waktu sepekan dan selama itu, aku akan menurunkan semua sisa-sisa kepandaianku kepadamu. Pula, sesudah aku pergi, kau boleh minta bimbingan Hok Peng untuk memperdalam kepandaianmu sehingga tidak akan mengecewakan kelak apa bila kau mewakili daerah selatan dan timur bersama Hok Peng!”

“Bagus!” kata Hok Peng. “Aku setuju sekali kalau anak muda ini mewakilimu, karena dia mempunyai bahan cukup baik. Nah, aku tidak akan mengganggu lebih jauh, Bu Pun Su. Pergunakanlah sisa waktu yang tak lama lagi itu dengan sebaiknya dan selamat berpisah sampai berjumpa kembali.”

Bu Pun Su mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Terima kasih, paling lama lima tahun lagi kita bertemu!”

Hok Peng tertawa bergelak-gelak. “Mungkin sekali sebelum lima tahun aku sudah akan menyusulmu!” Kemudian kakek ini berkelebat keluar dan lenyap dari pandangan mata.

Bu Pun Su menarik napas panjang. “Lie Kong Sian, obatmu itu benar baik sekali karena sekarang aku merasa sehat kembali. Sekarang kalian dengarkan pesanku yang terakhir. Im Giok telah kuberi persetujuan menjadi jodoh Lie Kong Sian dan semoga kalian berdua hidup berbahagia. Pedang Liong-cu-kiam kuberikan kepada Cin Hai dan Im Giok, yang panjang untuk Cin Hai sedang yang pendek untuk Im Giok karena kalian berdualah yang telah mendapatkannya.”

Cin Hai, Ang I Niocu dan Lie Kong Sian menghaturkan terima kasih.

“Masih ada lagi,” Bu Pun Su berkata, “Kelak, apa bila kalian memperoleh keturunan, juga bagi Nona Ma Hoa, kuanjurkan supaya menuruti nasehat ini, kalian harus menggunduli putera-puteramu.”

Semua orang memandang heran dan menganggap bahwa kakek itu sudah mulai bicara tidak karuan seperti biasanya orang-orang tua yang sudah mendekati saat kematiannya.

“Hal ini jangan kalian pandang rendah,” kata Bu Pun Su. “Dan kau, Cin Hai, jangan kau anggap Gurumu berkelakar dan menyindir kau yang ketika kecil bergundul kepala, karena sesungguhnya bagi seorang anak laki-laki lebih baik rambutnya digunduli ketika ia masih kecil agar hawa yang sehat dan sejuk tidak tertolak oleh rambut hingga membuat kepala anak itu menjadi segar dan baik perjalanan darahnya sehingga selain memperkuat, juga menambah kecerdikan anak itu. Pesanku yang lain ialah kalau aku sudah pergi, tubuhku yang bobrok ini supaya dibakar di dalam goa ini dan abunya kalian masukkan ke dalam hio-louw besar, kemudian kalian tinggalkan goa ini dan menutupnya dengan batu besar rapat-rapat, lalu tutuplah goa ini dengan pohon-pohon agar tak sampai ditemukan orang lain. Aku ingin mengaso dengan tenteram di tempat ini.”

Semua orang mendengarkan pesan ini dengan hati terharu sekali.

“Nah, sekarang kalian keluarlah semua, kecuali Cin Hai sebab aku hendak menggunakan sisa waktuku untuk melatihnya sebagai persiapan untuk menghadapi adu kepandaian di Puncak Hoa-san kelak.”

Dengan hati sedih dan wajah muram, Ang I Niocu, Lie Kong Sian, Lin Lin, Ma Hoa dan Kwee An lalu mengundurkan diri dan keluar dari goa itu. Mereka menjaga di luar sambil bercakap-cakap menuturkan pengalaman masing-masing dan tidak berani mengganggu ke dalam di mana Bu Pun Su menggunakan kesempatan terakhir untuk melatih Cin Hai dengan ilmu-ilmu kepandaian yang belum dipelajarinya.

Tentu saja dalam waktu yang hanya beberapa hari itu, Cin Hai tidak mungkin mempelajari semua ilmu itu berikut prakteknya, dan hanya dapat mempelajari pokok-pokok teorinya saja, untuk kemudian dipelajari prakteknya. Akan tetapi ia telah mencatat dalam otaknya segala pelajaran itu dengan teliti sehingga Bu Pun Su menjadi puas.

Lima hari kemudian, Cin Hai keluar dari dalam goa dengan wajah muram dan ia memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk masuk ke dalam. Lin Lin berlari mendahului dan ketika melihat tubuh suhu-nya berbaring dengan wajah pucat dan napas lemah, ia segera menubruknya sambil menangis.

Bu Pun Su menggerakkan tangannya yang sudah amat lemah itu untuk membelai rambut Lin Lin.

“Jangan menangis, jangan menangis,” bisiknya, “jangan antarkan kepergianku dengan air mata... aku tidak suka...!” Lin Lin cepat menahan tangisnya dan terisak-isak dengan hati hancur.

“Anak-anak... pesanku terakhir... sesudah selesai pertandingan pibu di Hoa-san... kalian pulanglah dan langsungkan perjodohan... hiduplah dengan aman dan tenteram bahagia, jauhi segala permusuhan...!” dia terengah-engah karena sebenarnya waktu lima hari yang dia pergunakan siang malam untuk memberikan gemblengan terakhir kepada Cin Hai itu terlampau melelahkannya dan membuatnya cepat lemah.

“Sekarang... antarkan kepergianku dengan cita-cita tinggi dan luhur... selamat... tinggal!” lemaslah lehernya dan pada saat itu Bu Pun Su, tokoh persilatan yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu, terpaksa menyerah kalah terhadap maut yang merenggut nyawanya.

Lin Lin, Ang I Niocu, dan Ma Hoa berusaha menahan tangis mereka karena mereka ingin mentaati pesan terakhir dari Bu Pun Su. Mereka berenam lalu mengadakan persiapan untuk menyempurnakan jenazah kakek itu kemudian membakarnya di dalam goa dengan penuh khidmat. Setelah selesai dan mayat itu sudah menjadi abu seluruhnya, abunya lalu disimpan di dalam hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar.

Selama beberapa hari mereka mengadakan perkabungan di tempat itu dan mengadakan sembahyangan untuk memberi penghormatan terakhir, kemudian beramai-ramai mereka lantas menutup pintu Goa Tengkorak dengan batu-batu besar dan menimbunnya dengan pohon-pohon kecil sehingga goa itu tertutup sama sekali dan tidak tampak dari luar.

Sesudah itu, atas anjuran Ma Hoa, mereka berenam lalu pergi ke Hong-lun-san untuk memberi kabar kepada Hok Peng Taisu mengenai kematian Bu Pun Su. Kakek botak itu menerima warta ini sambil tersenyum dan menarik napas panjang.

“Ahh, dia lebih beruntung dari pada aku. Sekarang dia sudah enak-enak sedangkan aku masih harus menderita.”

Oleh karena waktu untuk menerima tantangan tinggal sebulan lebih lagi, maka Hok Peng Taisu lalu melatih Cin Hai dengan berbagai kepandaian yang belum pernah dipelajari oleh anak muda itu sampai hampir sepuluh hari lamanya. Orang-orang muda yang lain merasa suka sekali tinggal di bukit yang indah itu dan mereka juga berlatih silat di bawah pengawasan Hok Peng Taisu.

Setelah menganggap bahwa ilmu kepandaian Cin Hai cukup kuat, Hok Peng Taisu lalu mengajak mereka mulai melakukan perjalanan menuju ke Puncak Hoa-san.

Untuk memperkuat rombongan mereka, Ma Hoa minta perkenan kepada Hok Peng Taisu untuk singgah di tempat kediaman Nelayan Cengeng, yaitu di Sungai Liong-ho. Ternyata kakek nelayan itu sedang enak-enakan di atas sebuah perahu kecil, bersenang-senang seorang diri mencari ikan sambil bernyanyi-nyanyi.

Melihat kedatangan mereka, Nelayan Cengeng merasa girang bukan main, dan ia segera menyatakan keinginannya untuk ikut pergi ke Hoa-san! Tentang kematian Bu Pun Su, ia menyambutnya dengan ucapan yang hampir sama dengan ucapan Hok Peng Taisu dulu, karena ia berkata,

“Aku harap akan dapat segera menyusulnya!”

Hok Peng Taisu lalu menyerahkan pimpinan rombongan itu kepada Nelayan Cengeng karena dia hendak melakukan perjalanan dari lain jurusan untuk singgah di tempat tinggal beberapa orang kenalannya.

“Kalau sudah tiba di kaki Bukit Hoa-san, kalian tunggulah kedatanganku, dan kalau aku yang datang lebih dahulu, aku pun akan menanti kalian,” kata kakek botak itu yang lalu berkelebat pergi.

Seperti juga Bu Pun Su, Kakek aneh ini tidak suka melakukan perjalanan dengan orang lain, dan lebih suka berjalan seorang diri saja…..

********************

Ternyata bahwa pihak Hai Kong Hosiang telah berkumpul di Puncak Hoa-san menanti kedatangan dua orang musuh besar, yaitu Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu. Wi Wi Toanio sudah berhasil mengundang datang Pok Pok Sianjin, supek-nya yang tinggal di Puncak Go-bi-san daerah barat yang telah berpuluh tahun mengasingkan diri itu.

Wi Wi Toanio tak berani menceritakan tentang hal yang sebenarnya, maka dengan cerdik nenek itu hanya menceritakan bahwa dia hendak mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan karena merasa tidak kuasa menghadapi, mereka minta bantuan supek ini.

Sebenarnya Pok Pok Sianjin tidak mau mempedulikan segala urusan dunia. Akan tetapi mendengar nama Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu sebagai dua orang tokoh tertinggi dari daerah selatan dan timur, maka tergeraklah hatinya hingga timbul kegembiraannya untuk mengukur kepandaian mereka. Apakah salahnya mengukur tenaga di dalam sebuah pibu yang adil dan dilakukan dalam suasana persahabatan? Oleh karena inilah maka Pok Pok Sianjin menyanggupi dan tepat pada waktunya.

Sementara itu, Swi Kiat Siansu, guru Thai Kek Losu, pada waktu dibujuk oleh Hai Kong Hosiang yang menceritakan betapa kedua orang muridnya, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, tewas dalam tangan Cin Hai, Lin Lin dan Lie Kong Sian, tergerak pula hatinya ketika mendengar betapa pembunuh-pembunuh muridnya itu, dibela pula oleh Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu.

Kalau saja kedua tokoh besar itu tidak muncul untuk membela pembunuh-pembunuh dua muridnya, tentu ia tidak akan sudi turun gunung karena ia pun telah mendengar tentang kesesatan murid-muridnya itu. Akan tetapi dia tergerak untuk mencoba pula kepandaian Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu yang amat terkenal.

Rombongan Hai Kong Hosiang terdiri dari dua belas orang, yaitu Pok Pok Sianjin, Swi Kiat Siansu, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin, Kam Hong Sin, Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu, Giok Im Cu, Giok Keng Cu, dan Giok Yang Cu. Selain dua belas orang-orang yang lihai ini, masih terdapat ratusan perwira yang sengaja menjaga di sekitar tempat itu.

Melihat keadaan rombongan yang berjumlah banyak ini, terutama melihat para perwira, Pok Pok Sianjin merasa heran dan bertanya kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, kenapa begini banyak orang berada di sini? Apakah kalian hendak mengadakan perang besar?”

“Tidak, Supek. Mereka adalah kawan-kawan teecu, dan perwira-perwira itu hanya untuk penjagaan kalau-kalau pihak lawan membawa pula bantuan besar untuk sengaja mencari permusuhan.”

Juga Swi Kiat Siansu merasa heran melihat banyaknya orang menjaga di situ, maka dia berkata kepada Hai Kong Hosiang, “Aku tidak menghendaki adanya pertempuran besar. Kalian boleh saja bertempur dan bermusuhan, akan tetapi jangan harap untuk melibatkan diriku dalam keadaan semacam itu!”

Hai Kong Hosiang segera menyatakan kesanggupannya untuk mencegah para perwira itu membuat kacau dan hanya minta agar supaya Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu menghadapi Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu di dalam pibu yang hendak diadakan.

Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu merasa girang dapat saling bertemu dan mereka segera bermain catur di bawah sebatang pohon dan tidak mempedulikan lagi keadaan di sekitarnya.

Pada saat dua orang kakek yang sudah amat tua itu asyik bermain catur, maka datanglah rombongan Hok Peng Taisu yang hanya terdiri dari delapan orang, yaitu Hok Peng Taisu sendiri, Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Ang I Niocu, Lie Kong Sian dan Nelayan Cengeng.

Dengan sikap tenang dan gagah Hok Peng Taisu berjalan memimpin semua kawannya naik bukit Hoa-san dan sama sekali tidak gentar melihat para perwira yang berderet-deret menyambut kedatangan mereka itu.

Pada saat Hai Kong Hosiang dan yang lain-lainnya menyambut, Hok Peng Taisu berlaku seakan-akan tidak melihat mereka, akan tetapi langsung menghampiri kedua orang kakek yang tengah bermain catur itu sambil tertawa dan berkata,

“Kalau saja Bu Pun Su belum meninggalkan kita, kalian berdua tentu akan dipukul hancur dalam permainan catur ini. Sayang aku tidak pandai bermain catur!”

Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu yang sudah melihat kedatangannya, segera berdiri sambil tertawa.

“Hok Peng, kau nyata masih nampak sehat-sehat saja biar pun kepalamu sudah menjadi botak dan hampir habis semua rambutmu!” kata Pok Pok Sianjin.

Sedangkan Swi Kiat Siansu berkata dengan kecewa. “Kau bilang tadi bahwa Bu Pun Su sudah meninggalkan kita? Ah, sayang sekali...! Dari tempat jauh, aku datang karena ingin merasakan pula kelihaiannya, ternyata ia telah mendahuluiku pergi... sungguh sayang.”

Hok Peng Taisu tertawa pula. “Jangan kau kecewa, Swi Kiat Siansu! Sungguh pun Bu Pun Su telah berpulang ke asalnya, akan tetapi dia telah mengirim salamnya dan bahkan mengirim seorang wakil yang akan cukup menggembirakan hatimu.”

Swi Kiat Siansu memandang tajam. “Apa? Apakah kau mewakili dia pula?”

Hok Peng Taisu menggeleng-gelengkan kepala. “Apa kau kira aku sedemikian serakah untuk memborong semua kehormatan? Bukan, bukan aku, akan tetapi muridnya.” Kakek botak ini lalu melambaikan tangan ke arah Cin Hai yang segera menghampiri mereka.

“Inilah wakil Bu Pun Su, dia disebut Pendekar Bodoh!”

Cin Hai lalu menjura dengan penuh penghormatan kepada Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin sambil berkata, “Teecu Sie Cin Hai yang bodoh merasa mendapat kehormatan besar dapat bertemu dengan Ji-wi Locianpwe.”

Pok Pok Sianjin bertubuh tinggi kurus dan agak bongkok. Rambut serta kumisnya sudah putih semua dan terurai ke bawah tak terawat sama sekali. Tangan kanannya membawa sebatang tongkat panjang yang bengkok-bengkok dan tangan kirinya selalu mengelus-elus jenggotnya yang panjang.

Dia mengangguk-angguk senang melihat sikap Cin Hai yang sopan santun. Melihat sikap serta pandang mata pemuda itu, maklumlah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang ‘berisi’.

Swi Kiat Siansu bertubuh gemuk bulat bagai patung Jilaihud, jubahnya kuning dan hanya berupa sehelai kain yang dibelit-belitkan pada tubuhnya. Tangan kanannya memegang sebatang kipas dan agaknya dia selalu merasa kepanasan karena kipas itu tiada hentinya digunakan untuk mengipasi tubuhnya.

Ketika mendengar bahwa julukan pemuda itu adalah Pendekar Bodoh, kakek yang juga sudah tua sekali ini segera menaruh hormat dan tahu bahwa orang yang menggunakan julukan serendah itu pasti memiliki kepandaian yang berarti.

“Bagus sekali,” kata Swi Kiat Siansu. ”Bu Pun Su, ternyata pandai memilih murid-murid, tidak seperti aku yang selalu salah memilih. Pendekar Bodoh, tentu kau pula yang telah membantuku memberi hajaran pada kedua muridku Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu?”

Cin Hai menjawab dengan tenang.

“Locianpwe, mana teecu berani memberi hajaran kepada orang lain? Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu sengaja hendak membunuh teecu dan kawan-kawan, maka terpaksa kami membela diri.”

Swi Kiat Siansu mengangguk-angguk, lalu dia berkata kepada Hai Kong Hosiang, “Hai Kong Bengyu, kau telah berhasil mengundang aku untuk mengadakan pibu dengan Bu Pun Su dan Hok Peng Taisu dan kini mereka berdua telah datang, biar pun Bu Pun Su sendiri hanya diwakili oleh muridnya. Akan tetapi, kau harus ingat bahwa pibu ini adalah urusan kami sendiri dan kau bersama kawan-kawanmu yang banyak jumlahnya itu tidak boleh mencampuri urusan kami. Urusan pribadi terhadap para tamu tiada hubungannya dengan pibu ini!”

Pok Pok Sianjin juga berkata kepada Wi Wi Toanio, “Aku telah bertemu dengan jago-jago dari selatan dan timur, jangan mengganggu pibu ini.”

Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio biar pun merasa kecewa, akan tetapi mereka tidak berani membantah, hanya mereka mengharap agar dalam pibu ini, Cin Hai dan Hok Peng Taisu kena dikalahkan, karena dengan begitu akan mudah bagi mereka untuk menyerang Ang I Niocu dan kawan-kawannya. Mereka memang merasa gentar terhadap Hok Peng Taisu dan Bu Pun Su dan biar pun mereka tahu akan kelihaian Cin Hai yang mewakili Bu Pun Su, namun mereka tidak begitu jeri terhadap Cin Hai.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)