PENDEKAR REMAJA : JILID-02


Lili terkejut sekali pada saat mengenal Si Brewok yang tadi mengejar-ngejar dan hendak membunuhnya. Cepat anak ini membalikkan tubuh dan lari pergi akan tetapi Bouw Hun Ti telah melihatnya dan sambil berseru girang, orang ini melompat turun dari kuda dan mengejar!

Lili telah menerima latihan silat dari dua orang tuanya, maka sekecil itu dia telah memiliki kepandaian lari cepat yang cukup mengagumkan dan sekiranya yang mengejarnya ialah seorang laki-laki biasa saja, tidak mungkin dia akan dapat tertangkap. Akan tetapi, yang rnengejarnya adalah Bouw Hun Ti, orang yang memiliki kepandaian tinggi. Maka, dalam beberapa lompatan saja Bouw Hun Ti telah berhasil menyusulnya.

“Anak setan, kau hendak lari ke mana?”

Lili maklum bahwa percuma saja ia melarikan diri, akan tetapi ia memiliki keberanian luar biasa warisan kedua orang tuanya. Maka ketika melihat bahwa pengejarnya telah datang dekat, tiba-tiba ia berhenti, membalikkan tubuh dan berdiri sambil memasang kuda-kuda dan sepasang matanya memandang dengan tajam dan berani!

Bouw Hun Ti merasa kagum juga melihat sikap anak perempuan ini, apa lagi ketika Lili tiba-tiba menyerang dengan kepalan tangannya yang mungil itu, melakukan serangan ke arah pusarnya dengan pukulan yang dilakukan amat indah dan baiknya, kekagumannya bertambah dan timbullah rasa sayangnya kepada anak ini! Dia lalu mengulur tangan dan dengan mudah gerakannya yang cepat itu membuat dia berhasil menangkap tangan Lili dan sekali dia membetot, tubuh Lili telah tertangkap dan berada dalam pondongannya!

“Setan kecil, kau mungil sekali!” kata Bouw Hun Ti sambil tertawa-tawa.

Akan tetapi, Lili tidak mau menyerah demikian saja. Biar pun tangan kanannya yang tadi memukul telah terpegang dan dia telah dipondong orang, kini tangan kirinya memukul ke arah kepala dan muka yang brewok itu, sedangkan kedua kakinya meronta-ronta hendak melepaskan diri!

Tapi apakah daya seorang anak perempuan berusia delapan tahun terhadap Bouw Hun Ti, ahli silat yang tangguh itu? Sekali saja ia mengulur tangan dan memencet pundak Lili, anak perempuan itu mengeluh lantas tubuhnya menjadi lemas tak berdaya sama sekali. Kaki tangannya serasa lumpuh tak bertenaga sehingga dia kini tidak dapat meronta-ronta lagi.

“Ha-ha-ha! Setan cilik, kau harus ikut aku. Hendak kulihat Pendekar Bodoh dan isterinya dapat berbuat apa!”

Bouw Hun Ti lalu membawa anak dalam pondongannya itu menuju ke kudanya dan dia segera melompat naik ke atas kuda lalu melarikan kudanya dengan cepatnya ke luar kota. Hal ini tidak terlihat oleh siapa pun juga, oleh karena semua orang yang mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi di rumah Sie Cin Hai, berbondong-bondong pergi ke rumah itu.

Penduduk kota Shaning segera merawat jenazah Yousuf dan empat orang pelayan itu. Mereka semua menghormati Yousuf sebagai seorang kakek yang selain baik hati, juga peramah dan berpengetahuan luas. Apa lagi mengingat bahwa kakek ini adalah ayah angkat dari Sie-hujin (Nyonya Sie), maka tanpa ada yang perintah, mereka lalu membeli peti mati yang baik dan melakukan upacara sembahyang dengan segala kehormatan.

Setelah kelima jenazah itu dirawat baik-baik dan ditaruh di dalam peti mati, lima buah peti mati itu dijajarkan di ruang depan dan dipasangi lima meja sembahyang. Mereka, atas anjuran dari Kepala Kota Shaning, siang malam menjaga peti-peti ini, dan orang yang datang untuk bersembahyang serta ikut berduka cita, terus membanjir setiap waktu tiada hentinya. Mereka akan menunggu sampai datangnya Sie Cin Hai suami isteri, sebelum mengubur peti-peti itu.

Tiga hari kemudian, dari luar kota Shaning datang dua orang penunggang kuda, seorang laki-laki dan seorang wanita. Usia mereka kurang lebih tiga puluhan tahun, dan keduanya nampak gagah sekali.

Yang laki-laki berpakaian sederhana, wajahnya tampan dan tenang serta sikapnya gagah sekali. Gagang pedangnya nampak tersembul di atas punggungnya. Yang wanita cantik sekali dan senyumnya selalu meramaikan wajahnya yang manis. Juga wanita ini terlihat gagah perkasa dengan pedang yang tergantung pada pinggangnya. Mereka ini tidak lain adalah Sie Cin Hai dan Kwee Lin atau Lin Lin, Pendekar Bodoh dengan isterinya yang baru pulang dari barat.

“Hai-ko,” terdengar Lin Lin berkata dengan wajah berseri, “anak kita Lili tentu akan girang sekali melihat kita datang!”

Sinar gembira memancar dari wajah yang tenang dari Pendekar Bodoh itu pada waktu ia mendengar isterinya menyebut nama Lili, anak perempuannya yang nakal namun selalu mendatangkan kegembiraan itu.

“Girang?” katanya. “Kurasa di samping kegirangannya, ia akan cemberut atau menangis mencela kita yang tidak mau membawanya ketika pergi dulu. Tidak ingatkah kau betapa dia dulu menangis dan hendak memaksa ikut kalau tidak kubentak-bentak?”

“Memang dia agak keras hati dan bandel,” Lin Lin membenarkan.

“Seperti ibunya,” kata Cin Hai.

Lin Lin menengok kepada suaminya sambil cemberut. “Kau anggap aku keras hati dan bandel? Kalau begitu, mengapa kau dulu menikah dengan aku?”

Cin Hai tertawa. “Karena keras hati dan kebandelanmu itulah!”

“He?! Bagaimana pula ini?”

“Aku suka kepadamu karena kau adalah Lin Lin yang keras hati dan bandel!” Mereka saling pandang dan akhirnya keduanya tertawa bahagia. Memang, semenjak mereka menikah, sepasang suami isteri ini selalu masih suka bersendau gurau dengan gembira, menandakan bahwa mereka hidup bahagia sekali.

“Bagaimana pun juga Hai-ko, jangan kau terlalu keras terhadap Lili, dia masih kecil dan kecerdikannya memang tidak seperti anak kita Beng-ji.”

“Kalau terlalu dikasih hati dan dimanja, ia akan menjadi bodoh. Apa kau suka melihat ia menjadi bodoh seperti...” Cin Hai hendak berkata seperti ‘keledai’ akan tetapi ia didahului oleh isterinya.

“Seperti ayahnya!”

Sekarang Cin Hai yang menengok dan memandang kepada isterinya dengan hati agak mendongkol, karena ia baru saja memikirkan keledai yang bodoh sehingga ketika Lin Lin menyatakan bahwa anaknya bodoh seperti ayahnya, ia merasa seakan-akan dialah yang dipersamakan dengan keledai!

“Jadi kau anggap aku bodoh?”

Lin Lin tertawa geli sampai menekan perutnya dan dia menuding ke arah muka Cin Hai sambil berkata, “Tidak ada orang lainnya di seluruh dunia ini yang lebih bodoh dari pada Pendekar Bodoh! Kau masih berani mengaku bahwa kau tidak bodoh!”

“Dan kau suka kepada orang bodoh?” tanya Cin Hai masih mendongkol.

“Kalau kau tidak bodoh, aku tak akan suka kepadamu!”

Demikianlah, di sepanjang perjalanan mereka, setiap waktu kedua orang ini bersenda gurau, saling menggoda, seolah-olah mereka sedang melakukan perjalanan bulan madu dari sepasang pengantin baru! Kedua orang ini, terutama Cin Hai yang biasanya amat cermat pandangannya, lupa dalam mabuk kebahagiaan mereka, bahwa kesenangan dan kesusahan selalu timbul silih berganti.

Cin Hai yang telah kenyang mempelajari dan menghafal semua ujar-ujar kuno itu di masa kecilnya, pada saat-saat bergembira ria dengan isterinya seperti waktu itu, seakan lupa dengan bunyi ujar-ujar nasehat bahwa jangan terlalu bergembira dalam kesenangan dan jangan terlalu berduka dalam kesusahan!

Setelah sampai di gerbang kota, Lin Lin sudah tidak sabar lagi, ingin lekas-lekas melihat rumah, bertemu dengan Lili dan dengan ayah angkatnya, Yousuf. Maka dia mencambuk kuda yang ditungganginya agar berlari lebih cepat lagi. Cin Hai mengikuti dari belakang. Mereka berdua sama sekali tak melihat betapa orang-orang di pinggir jalan memandang kepada mereka dengan wajah pucat dan duka.

Baru setelah tiba di pekarangan rumah mereka, Lin Lin dan Cin Hai memandang dengan muka menjadi pucat dan dada berdebar keras. Untuk beberapa lamanya Lin Lin bahkan duduk saja di atas kudanya seperti patung tak kuasa bergerak karena seluruh tubuhnya seakan-akan menjadi kaku oleh kecemasan hebat.

Cin Hai melompat turun terlebih dulu dan segera menarik tangan isterinya. Keduanya lalu berlari cepat menuju ke ruangan depan di mana nampak meja sembahyang dan peti mati berjajar-jajar, hio yang sedang mengebulkan asapnya, dan banyak orang duduk sambil memandang mereka dengan muka sedih!

Kedatangan mereka disambut oleh Kepala Kota serta isterinya yang langsung memeluk Lin Lin sambil menangis.

“Kui-lopeh, apakah yang telah terjadi?” tanya Cin Hai. “Dan siapakah yang... meninggal dunia...?”

Sementara itu, Lin Lin segera bertanya dengan suara keras, “Mana anakku...? Mana... Ayah...?”

“Sabarlah, Taihiap, dan kau juga Lihiap,” kata Kepala Kota itu yang seperti juga semua orang lainnya, menyebut taihiap (pendekar besar) kepada Cin Hai, dan menyebut lihiap (pendekar wanita) kepada Lin Lin. “Memang telah terjadi hal yang sangat hebat selama kalian pergi. Terjadinya sudah tiga hari yang lalu. Seorang laki-laki brewok bersama dua orang kawannya yang tidak diketahui siapa adanya dan apa sebabnya, telah datang ke sini pada pagi hari tiga hari yang lalu kemudian orang brewok itu telah membunuh Yo-lo-enghiong (Orang Gagah Yo), juga membunuh mati empat orang pelayanmu.”

“Dan... Lili... bagaimana?” tanya Cin Hai dengan pucat, sedangkan Lin Lin memandang kepada Kepala Kota itu seakan-akan berada dalam sebuah mimpi buruk.

“Itulah yang membingungkan kami, Taihiap,” jawab Kepala Kota itu, “pada saat peristiwa itu, anakmu sedang pergi bermain keluar rumah, akan tetapi, meski kami telah mencari di setiap tempat, namun tak juga bertemu dengan Lili, entah ke mana ia pergi.”

Cin Hai mengangguk-angguk. “Hmm, jika orang sudah berani membunuh gakhu (mertua laki-laki), tentu ia berani menculik anakku pula.”

Mendengar ini, bagai meledaklah rasa marah yang telah mendesak-desak dalam dada Lin Lin.

“Keparat jahanam! Siapa dia itu dan di mana dia? Biar kukeluarkan isi perutnya!” Sambil berkata demikian, Lin Lin menggerakkan tangan kanannya dan…

“Srttt!” pedang Han-le-kiam yang pendek dan berkilau saking tajamnya itu telah dicabut keluar dari sarung pedang.

Cin Hai memegang lengan isterinya. “Sabarlah, dan tenanglah.”

“Bagaimana aku bisa bersabar kalau mendengar ada anjing berkeliaran di kota ini dan berani mengganggu Ayah serta Anakku? Mari, Hai-ko. Mari kita mencarinya sekarang juga! Hendak kulihat sampai bagaimana lihainya sehingga anjing itu berani main-main dengan aku!”

Cin Hai membujuk isterinya dan menarik tangannya. “Lebih dahulu kita harus memberi hormat dan menghaturkan maaf kepada gakhu karena kita telah meninggalkan dia. Kalau kita berada di sini, apakah hal ini akan dapat terjadi?”

Mendengar ucapan ini, dengan gerakan perlahan Lin Lin menengok ke arah peti Yousuf, dan tiba-tiba saja nyonya muda ini menjerit dan melemparkan pedangnya, lalu berlari ke depan peti mati Yousuf, lalu berlutut memeluki peti itu sambil menangis tersedu-sedu.

“Ayah... Ayah, ampunkan anakmu yang tak berbakti ini...” Lin Lin menjambak rambutnya sendiri sehingga menjadi awut-awutan! “Aku telah pergi meninggalkan Ayah... bersenang dan tertawa-tawa di jalan, tidak tahunya Ayah mengalami nasib seperti ini...!” Kemudian ia bangun berdiri dan mengepal tinjunya, memandang ke arah peti mati dengan air mata mengalir dan sepasang matanya yang dipentang lebar itu pun penuh air mata.

“Ayah! Bagaimana kau sampai kalah oleh anjing itu? Mungkinkah kau yang gagah ini kalah olehnya? Ayah! Katakanlah siapa orang itu, akan kucekik lehernya sekarang juga!” Akan tetapi ia teringat kembali bahwa ayah angkatnya telah mati, maka ia lalu menubruk peti mati itu dan sambil menangis menjerit-jerit dia berusaha membuka tutup peti yang telah dipaku.

Cin Hai tadi pun berlutut di belakangnya, dan ketika melihat perbuatan isterinya itu, dia cepat memegang lengannya dan berkata perlahan,

“Lin Lin, kau hendak berbuat apakah?”

“Buka! Buka! Aku hendak melihat ayahku...!”

Orang-orang yang berada di sana tidak dapat menahan mengucurnya air mata melihat pemandangan yang amat mengharukan ini, akan tetapi mereka kaget sekali mendengar nyonya itu hendak membuka peti! Juga Kepala Kota merasa terkejut dan kuatir sekali, maka dia melangkah maju dan berkata mencegah,

“Taihiap, lihat! Jangan dibuka peti itu...!”

Tiba-tiba Lin Lin melompat berdiri dan memandang kepada Kepala Kota itu dengan mata bernyala! “Apa katamu? Mengapa tidak boleh dibuka?”

Melihat wajah yang pucat seperti mayat dan mata yang bernyala marah itu, Kepala Kota melangkah mundur dua tindak dengan terkejut dan ucapan yang telah di ujung lidahnya terpaksa dia telan kembali!

“Hayo buka!” Sekali lagi Lin Lin memekik.

“Kui-lopeh, biarlah. Buka saja tutup peti mati ini supaya kami dapat memandang wajah gakhu sekali lagi,” kata Cin Hai perlahan sambil menahan jatuhnya air mata.

Kepala Kota she Kui itu hendak menjawab dan memberi keterangan, akan tetapi baru saja bibirnya bergerak, Lin Lin yang sudah tak sabar lagi itu membentak lagi,

“Hayo buka sekarang juga! Kalau kalian tidak mau, biarlah aku sendiri yang membuka!” Sambil berkata demikian, Lin Lin melangkah maju dan hendak membuka tutup peti itu dengan paksa.

Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau peti itu akan menjadi rusak bila Lin Lin mengerahkan tenaganya, maka ia segera memberi tanda sehingga Kepala Kota itu terpaksa menyuruh para penjaga untuk mengambil alat dan tutup itu dibuka dengan tangan-tangan gemetar oleh empat orang.

Peti dibuka perlahan. Semua orang menahan napas, sedang di sana-sini terdengar isak tertahan. Begitu peti itu terbuka dan Lin Lin bersama Cin Hai menjenguk ke dalam peti itu, keduanya langsung menjerit seakan-akan dari dalam peti itu melayang ular-ular yang menggigit mereka.

“Ayah...!!” Dan jeritan yang mengerikan ini disusul dengan robohnya tubuh Lin Lin. Dia pingsan!

“Gakhu...!” Cin Hai juga memekik dan mukanya berubah menjadi pucat sekali.

Siapa orangnya yang tidak akan merasa ngeri serta hancur hatinya melihat ayah dan mertuanya mati dalam keadaan demikian mengerikan, tanpa kepala! Akan tetapi, Cin Hai yang memiliki kekuatan batin luar biasa itu, dapat menekan penderitaan hatinya, dan setelah memandang sekali lagi ke arah tubuh Yousuf yang tak berkepala lagi itu, ia lalu menutup petinya dan menyuruh orang-memakunya kembali.

Ia kemudian mengangkat tubuh isterinya dan dipondong, dibawa masuk ke dalam rumah. Dia merasa kasihan sekali kepada Lin Lin dan memaklumi sepenuhnya akan perasaan dan penderitaan batin isterinya ini. Ayah Lin Lin yang asli, yaitu Kwee In Liang, tewas sekeluarganya terbunuh oleh orang, dan sekarang ayah pungutnya juga tewas terbunuh, bahkan dalam keadaan yang amat mengerikan.

Setelah siuman kembali, Lin Lin menangis sedih, dihibur oleh Cin Hai. Akan tetapi betapa pun juga, bencana besar yang menimpa keluarga Sie ini tidak mudah dihibur begitu saja, bahkan Pendekar Bodoh sendiri yang biasanya berlaku tenang dan berbatin kuat, kali ini duduk bengong seakan-akan semangatnya terbang melayang.

Peristiwa ini amat berat, tidak saja Yousuf telah terbunuh mati secara kejam sekali, akan tetapi juga anak mereka yang tersayang, Hong Li, telah diculik oleh pembunuh jahat dan kejam itu! Sungguh pun tak ada bukti yang nyata bahwa pembunuh itulah yang menculik Lili, akan tetapi siapa lagi kalau bukan pembunuh itu yang berani melakukan perbuatan keji ini.

“Aku harus mencarinya! Aku harus mencari jahanam itu, harus membunuhnya!” kata Lin Lin berulang-ulang sambil menangis!

“Tentu saja isteriku!” kata Cin Hai sambil memegang tangannya. “Akan tetapi kita harus berlaku tenang dan mempergunakan pikiran jernih. Ada sesuatu yang menghibur hatiku yaitu karena Lili diculik orang, maka tentu ia masih selamat. Jika penjahat itu bermaksud membunuh anak kita, tentu sudah ia lakukan di sini seperti yang diperbuatnya terhadap gakhu, tak perlu susah-susah diculiknya lagi. Hanya sayangnya, penjahat itu sama sekali tidak meninggalkan nama-nama yang jejak, sehingga sulitlah bagi kita untuk mencarinya karena kita tidak tahu ke jurusan mana kita harus mencari!”

Terhibur juga hati Lin Lin mendengar ucapan ini, karena memang kata-kata suaminya itu beralasan. Kalau penculik itu bermaksud membunuh Lili tentu tak perlu dibawanya pergi.

“Bagaimana pun juga, kita harus mencarinya!” katanya kemudian.

“Tentu saja, akan tetapi kita harus mengurus penguburan jenazah ayahmu dulu, dan kita harus melakukan penyelidikan di sini, kalau-kalau ada orang yang dapat menceritakan terjadinya peristiwa itu lebih jelas lagi!”

Penguburan kelima jenazah itu dilakukan dengan baik dalam suasana diliputi kesedihan. Sebagian besar penduduk kota Shaning mengantar dan kota itu nampak dalam suasana berkabung.

Setelah selesai penguburan, Cin Hai lalu mencari keterangan ke sana kemari kalau-kalau ada yang dapat menceritakan peristiwa itu lebih jelas lagi. Akan tetapi, orang-orang yang kebetulan lewat ketika peristiwa maut itu terjadi, sudah melarikan diri karena ketakutan, dan mereka hanya dapat menceritakan bahwa yang memegang golok berlumpur darah adalah seorang yang bermuka brewok dan kepalanya memakai ikat kepala warna merah dan walau pun kulitnya kuning, akan tetapi potongan mukanya seperti orang asing dan agaknya sebangsa dengan Yousuf, usianya kurang lebih empat puluh tahun.

“Bisa jadi orang itu adalah musuh dari gakhu,” kata Cin Hai sesudah memutar otaknya karena keterangan-keterangan itu amat sedikit, “mungkin sekali dia adalah seorang Turki. Ingatkah kau bahwa para pengikut Pangeran Muda dari Turki terdiri dari orang jahat yang berkepandaian tinggi? Siapa tahu kalau-kalau orang itu merupakan utusan dari Pangeran Muda yang merasa sakit hati terhadap gakhu.”

“Akan tetapi, mengapa dia menculik anak kita?” kata Lin Lin dengan hati sakit hati.

“Inilah yang harus kita selidiki. Sekarang tidak ada lain jalan bagi kita selain menyusul ke barat!”

“Ke Turki?” tanya Lin Lin memandang dengan mata terbelalak.

“Kalau perlu kita boleh menyusul ke sana. Akan tetapi, lebih baik kita mencari keterangan dan menyelidiki ke daerah barat di mana terdapat banyak orang-orang Turki.”

“Ke daerah Kansu di barat?” tanya pula Lin Lin.

Pendekar Bodoh mengangguk. “Kau masih ingat betapa kita pernah pergi ke daerah itu dan betapa para pengikut Pangeran Tua yang dipimpin oleh gakhu dan Suhu bertempur melawan pengikut-pengikut Pangeran Muda?”

Lin Lin mengangguk dan tentu saja dia masih ingat akan pengalaman-pengalamannya yang ketika mereka bersama kawan-kawan mereka yang lain mengembara ke barat ke daerah Kansu di mana mereka mengalami peristiwa-peristiwa hebat.

Memang di daerah ini terdapat banyak sekali orang-orang Turki, maka apa bila hendak mencari keterangan tentang pembunuh Yousuf yang disangkanya orang Turki itu, tidak ada lain tempat yang lebih tepat dan baik selain daerah Kansu.

“Baiklah aku menurut saja. Pendeknya, jangankan ke Kansu atau ke Turki, biar mesti ke seberang lautan sekali pun, aku harus dapat mencari jahanam itu!” kata Lin Lin.

“Dan kita sekalian mampir di Tiang-an, karena sudah setahun kita tidak bertemu dengan Kwee An,” kata Cin Hai.

Demikianlah, sepasang pendekar yang sedang bersedih hati itu kemudian menyerahkan penjagaan rumah mereka kepada para tetangga, lantas mereka berangkat menunggang kuda, mulai dengan usaha mereka mencari pembunuh Yousuf dan mencari anak mereka yang terculik orang…..

********************

Marilah sekarang kita ikuti nasib Hong Li atau Lili yang dibawa pergi oleh Bouw Hun Ti. Sebenarnya putera Balutin ini memiliki hati yang lebih kejam dan keji dari pada ayahnya. Tidak dibunuhnya Lili bukan sekali-kali timbul dari hati nuraninya, oleh karena manusia ini agaknya tidak memiliki pribudi sama sekali dan hatinya sudah membeku terhadap segala macam kebajikan dan sudah tak mengenal peri kemanusiaan lagi, seakan-akan ia adalah iblis bertubuh manusia!

Ia tidak membunuh Lili, pertama-tama untuk mendatangkan siksaan batin kepada orang tua anak itu, kedua kalinya oleh karena ia suka melihat kemungilan dan kejelitaan Lili dan diam-diam ia mengandung maksud yang amat busuk dan keji.

Dia hendak merawat anak perempuan itu karena dia dapat membayangkan bahwa paling banyak tujuh delapan tahun kemudian, anak perempuan ini akan menjadi seorang gadis remaja yang luar biasa cantiknya. Dan ia berniat mengambil anak ini sebagai isterinya apa bila anak itu telah besar kelak! Sungguh sebuah niat yang amat busuk dan keji!

Bouw Hun Ti menuju ke tempat tinggal suhunya, yaitu Ban Sai Cinjin, seorang tua yang berwatak jauh lebih rendah dari pada Bouw Hun Ti sendiri. Biar pun usianya telah lebih dari lima puluh tahun, akan tetapi Ban Sai Cinjin terkenal pula sebagai seorang yang gila perempuan dan di dalam rumahnya, ia mempunyai bini muda yang tidak kurang dari lima orang jumlahnya, masih muda-muda lagi cantik-cantik! Dia dapat melakukan hal ini oleh karena selain amat berpengaruh dan ditakuti orang, juga dia terkenal kaya raya.

Gedungnya besar dan mewah. Jubah luarnya terbuat dari pada kapas halus serta tebal yang berharga sangat mahal, ditambah pula dengan baju bulunya yang selalu menutup jubahnya. Juga tua bangka yang tidak tahu diri ini memilih warna yang mencolok untuk pakaiannya, jika tidak merah, tentu biru dan lain-lain warna yang membayangkan bahwa biar pun usianya telah tua, namun hatinya lebih muda dari pada seorang teruna!

Ban Sai Cinjin bertempat tinggal di dusun Tong-si-bun di Propinsi Hupei yang berdekatan dan berada di sebelah barat Propinsi An-hui. Oleh karena itu, sesudah keluar dari kota Shaning, Bouw Hun Ti langsung menuju ke barat dan memasuki Propinsi Hupei.

Jalan yang ditempuhnya ini berlainan dengan jalan yang ditempuh oleh Cin Hai beserta isterinya, oleh karena sepasang pendekar itu yang menuju ke Tiang-an tempat tinggal kakak Lin Lin yang bernama Kwee An, melakukan perjalanan lurus ke utara.

Biar pun Bouw Hun Ti memiliki kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi oleh karena jarak yang ditempuhnya memang jauh, maka tiga hari kemudian ia baru tiba di tapal batas Propinsi Hupei. Ia merasa bingung dan juga gemas sekali oleh karena Lili yang berada dalam pengaruh totokannya itu sama sekali tidak mau makan sehingga wajah anak itu pucat sekali serta tubuhnya lemas!

Apa bila berada dalam perjalanan, ia membebaskan anak itu dari totokan. Akan tetapi tiap kali memasuki kampung atau kota, ia menotoknya kembali pada urat gagu anak itu agar jangan sampai berteriak minta tolong.

Pada hari ketiga itu dia sampai di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Dusun ini adalah dusun Sin-seng-chun dan adanya dua buah rumah penginapan serta tiga buah rumah makan besar itu cukup menjadi bukti bahwa dusun itu cukup makmur dan banyak didatangi tamu dari luar!

Bouw Hun Ti menghentikan kudanya pada sebuah rumah makan yang terbaik, kemudian mengikat tali kudanya pada patok-patok yang telah disediakan di pinggir rumah makan itu. Kemudian ia menuntun Lili memasuki rumah makan.

Dia merasa gelisah bukan main dan merasa takut kalau-kalau anak perempuan ini akan menderita sakit dan mati di tengah jalan. Oleh karena itu, kali ini ia hendak memaksanya makan! Ia memesan arak dan masakan untuk diri sendiri dan minta semangkuk bubur untuk Lili.

Setelah pesanannya dihidangkan oleh pelayan rumah makan, dia lalu berkata kepada Lili dengan suara halus agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.

“Kau makanlah!”

Akan tetapi, seperti yang sudah dilakukannya selama dia diculik oleh Si Brewok itu, Lili menggelengkan kepala sambil mengatupkan bibirnya. Bouw Hun Ti benar-benar merasa kewalahan dan diam-diam dia merasa heran melihat kekerasan hati anak ini. Anak kecil baru berusia delapan tahun saja sudah berani berlaku nekad dan mogok makan selama tiga hari, sama sekali tidak mau menurut perintahnya! Ia mulai merasa ragu-ragu apakah kelak anak ini tidak hanya mendatangkan kepusingan dan kesukaran kepadanya.

“Makanlah!” katanya lagi dan kali ini kemendongkolannya membuat suaranya terdengar agak keras. Pelayan melayaninya dengan pandang mata kasihan lalu bertanya,

“Tuan, apakah Nona kecil ini menderita sakit?”

Bouw Hun Ti memang sedang marah sekali sehingga pelayan itu menjadi terkejut dan melangkah mundur.

“Mau apa kau tanya-tanya? Pergi!” bentak Bouw Hun Ti yang sedang marah itu dan pelayan tadi segera pergi dengan ketakutan seperti seekor anjing yang sedang diancam dengan cambuk.

“Mau makan atau tidak?” sekali lagi Bouw Hun Ti membentak Lili, akan tetapi Lili tetap menggeleng kepala.

Bukan main marahnya Bouw Hun Ti. Kalau saja di situ tidak banyak orang dan dia tidak ingin menimbulkan onar, tentu dia telah memukul kepala anak ini biar mampus seketika itu juga! Ia lalu mendapat akal dan tiba-tiba ia tersenyum menyeringai hingga mukanya nampak kejam sekali.

“Kau tidak mau makan, anak manis?” Sambil berkata demikian, dia lalu menepuk-nepuk punggung Lili, akan tetapi sebenarnya, di luar tahunya semua orang, dia telah melakukan tiam-hoat (totokan) pada jalan darah di punggung anak itu pula.

Lili merasa kesakitan yang luar biasa hebatnya menyerang seluruh tubuhnya, sehingga ia menggeliat-geliat kesakitan seperti cacing terkena abu panas! Kalau saja urat gagunya tidak tertotok, tentu dia akan menjerit-jerit kesakitan. Akan tetapi, karena dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya air matanya saja mengucur turun membasahi pipinya dan kulit mukanya sampai berkerut-kerut saking besarnya penderitaan nyeri yang menyerang tubuhnya! Bibirnya digigit-gigit sampai berdarah! Bukan main besarnya penderitaan anak kecil berusia delapan tahun itu.

“Bagaimana? Kau masih mau makan atau tidak?” tanya Bouw Hun Ti sambil tersenyum iblis.

Biar pun Lili masih anak-anak, akan tetapi ia adalah anak seorang pendekar besar, maka dia tahu apa artinya rasa sakit yang menyerang dirinya dengan hebat itu. Karena dapat menduga bahwa penculiknya adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan tentu akan terus menyiksanya apa bila dia membangkang, terpaksa dia menganggukkan kepalanya dan tangannya yang telah menggigil akibat kesakitan dan kelaparan itu, lalu meraba-raba mangkuk.

“Anak baik, kau makanlah yang kenyang!” Bouw Hun Ti berkata sambil menepuk-nepuk punggung anak itu.

Seketika itu juga lenyaplah rasa nyeri yang menyerang tubuh Lili tadi. Anak kecil mulai makan bubur dalam mangkuk dan biar pun dia makan dengan otomatis tanpa menikmati rasa bubur itu, namun ia merasa tubuhnya segar kembali, tidak lemas seperti tadi. Maka dihabiskanlah semangkuk bubur itu tanpa mau memandang wajah penculiknya, karena ia maklum betapa penjahat itu memandangnya dengan mengejek.

Para tamu yang berada di situ sama sekali tidak tahu akan kekejaman ini dan mereka ikut merasa lega melihat betapa ‘anak sakit’ itu makan dengan lahapnya.

“Nah, begitulah!” kata Bouw Hun Ti kepada Lili. “Dan mulai sekarang, kau harus menurut segala kata-kataku, kalau tidak, tentu kau akan menderita sakit dan siapakah yang akan susah kalau terjadi demikian?”

Dalam pendengaran orang-orang lain, ucapan ini seperti ucapan seorang ayah memberi nasehat kepada anaknya, akan tetapi dalam pendengaran Lili kata-kata itu merupakan ancaman bahwa kalau lain kali ia tidak menurut, ia akan menderita siksaan seperti tadi!

Akan tetapi, orang salah menduga apa bila mengira bahwa di antara semua orang yang berada di tempat itu tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi antara Si Brewok dan anak kecil itu!

Di sudut rumah makan itu, menghadapi meja seorang diri, duduk seorang lelaki berusia antara tiga puluh lima tahun. Orang ini berwajah putih, dan gagah, berambut hitam dan bermata tajam. Kumisnya pendek sedangkan jenggotnya hanya sekepal laksana jenggot kambing.

Yang aneh sekali adalah pakaiannya, karena pakaian yang dipakainya itu penuh dengan tambal-tambalan, akan tetapi terbuat dari pada bahan yang sangat bersih! Bahkan kain berwarna putih yang dipergunakan untuk menambal bajunya yang hitam itu pun demikian bersihnya seakan kain baru yang sengaja ditambalkan di situ! Juga pengikat rambutnya yang terbuat dari pada sutera itu sama sekali tidak sesuai dengan bajunya yang penuh tambal-tambalan seperti baju seorang pengemis!

Lama sebelum Bouw Hun Ti masuk, orang ini telah masuk dan duduk di dalam restoran, dan kelakuannya sudah membuat semua orang terheran. Tadinya, pelayan yang melihat seorang berbaju tambal-tambalan memasuki restoran, lalu menyambutnya dengan muka masam dan berkata dengan nada menghina,

“Tidak ada tempat untuk golongan pengemis di restoran ini!”

Orang yang berbaju tambal-tambalan itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum sambil menjawab, “Yang kau layani semua ini orangnya atau pakaiannya?”

“Apa maksudmu?” tanya pelayan yang sombong itu.

“Kau memandang orang dari keadaan pakaiannya, orang semacam kau ini benar-benar menyebalkan!”

“Aku tak peduli tentang pakaian, pendeknya kau punya uang atau tidak? Bagimu, semua pesanan makanan harus dibayar dimuka!”

Sikap serta omongan pelayan ini memang benar-benar kurang ajar sekali. Akan tetapi orang itu masih tetap tersenyum sabar, sungguh pun jawabannya menyatakan bahwa ia amat mendongkol.

“Berapa kau menjual kepalamu? Kiranya aku sanggup membayarnya!” Sambil berkata demikian, orang itu merogoh sakunya dan ketika ia menarik kembali tangannya ternyata bahwa ia telah menggenggam beberapa potong uang perak dan emas!

Tentu saja pelayan itu menjadi sangat malu dan juga tercengang ketika melihat seorang berpakaian tambal-tambalan mempunyai uang perak sebanyak itu, bahkan memiliki uang emas pula. Tanpa dapat berkata apa-apa lagi dia lalu mengundurkan diri dan lain orang pelayan lalu melayani orang berbaju tambalan itu.

Sungguh amat baik nasibnya pelayan tadi, karena kalau sampai orang berbaju tambalan itu turun tangan, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Kalau saja dia tahu siapa adanya orang ini, tentu dia akan menjadi ketakutan sekali, dan untungnya orang itu tidak menyebut namanya.

Orang berbaju tambalan itu adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti) dan namanya telah terkenal di segenap penjuru, karena di samping ilmu kepandaiannya amat tinggi juga Lo Sian terkenal sebagai pendekar pembasmi kejahatan. Pendekar yang suka mengenakan pakaian tambal-tambalan ini sebenarnya adalah salah seorang tokoh dari Thian-san-pai, yang sedang turun gunung berbareng dengan seorang suheng-nya (kakak seperguruannya).

Kakak seperguruannya juga selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan jika pakaian Lo Sian masih terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak seperguruannya itu amat buruk dan kotor, seperti pakaian pengemis tulen. Suheng-nya ini bernama Nyo Tiang Le dan dijuluki Mo-kai (Pengemis Iblis)!

Julukan ini diberikan orang kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang laksana iblis mengamuk apa bila dia menghadapi orang-orang jahat. Di dalam memusuhi orang-orang jahat, Nyo Tiang Le memang bertindak secara ganas dan tak kenal ampun, maka semua orang menjadi ngeri dan jeri melihatnya sehingga dia diberi julukan Pengemis Iblis!

Secara kebetulan sekali Lo Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-seng-chun dan makan di restoran itu sehingga dia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun tangan Lili. Lo Sian hanya memandang sambil lalu saja, karena sungguh pun dia telah memiliki pengalaman yang luas dan mengenal hampir semua orang gagah di kalangan kang-ouw, akan tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang dari Turki itu.

Akan tetapi ketika ia mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu, dia merasa heran dan memandang juga. Dia merasa heran mengapa anak itu tidak mau makan, sedangkan mellhat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak itu sedang menderita lapar sekali. Diam-diam ia pun merasa heran melihat wajah laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam dia mulai menaruh perhatian, sungguh pun dia hanya memandang dengan kerling matanya saja.

Alangkah terkejutnya hati Lo Sian ketika kemudian dia melihat betapa laki-laki brewok itu menepuk-nepuk pundak anak perempuan itu kemudian tiba-tiba dia menotok jalan darah Koan-goan-hiat anak itu! Ia merasa kaget bukan main karena totokan itu dapat membuat anak itu tewas seketika, atau setidaknya mendatangkan rasa sakit yang hebatnya luar biasa!

Gilakah Si Brewok itu? Mengapa ada orang memperlakukan anak sendiri semacam itu? Lo Sian memandang tajam dan hampir saja dia bertindak untuk memberi hajaran kepada orang kejam ini, kalau saja pada saat itu Bouw Hun Ti tidak sudah melepaskan Lili dari pengaruh totokannya kembali.

Jelas kelihatan oleh Lo Sian betapa anak perempuan itu menahan sakit dan biar pun air mata anak itu bercucuran, akan tetapi tidak sedikit pun suara isak keluar dari mulutnya. Ia berdebar deras karena kini ia menduga bahwa anak perempuan ini tentu telah ditotok urat gagunya yang membuatnya sama sekali tidak dapat mengeluarkan suara. Hatinya mulai menaruh curiga kepada orang brewok itu dan dia menduga bahwa orang ini tentu seorang penculik anak kecil. Lo Sian mulai bersiap untuk menyelidiki perkara ini dan jika perlu menolong anak itu.

Akan tetapi pada saat itu terjadilah hal lain yang cukup meributkan. Orang melihat betapa Bouw Hun Ti tiba-tiba saja melemparkan daging yang sedang dikunyahnya ke atas lantai sambil menyumpah-nyumpah.

“Bangsat dan penipu belaka pemilik rumah makan ini!” Ia menyumpah-nyumpah sambil memegang pipinya.

Sesungguhnya, tanpa disengaja, Bouw Hun Ti yang mempunyai penyakit gigi, kena gigit sepotong tulang kecil yang bersembunyi di dalam daging sehingga sakitnya bukan main dan membuat matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut serasa mau pecah. Siapa yang pernah menderita sakit gigi tentu akan dapat membayangkan rasa sakit yang diderita oleh Bouw Hun Ti pada saat itu.

Penyakit ini memang paling jahat dan berbahaya karena membuat orang naik darah dan terutama sekali Bouw Hun Ti yang berwatak buruk itu, tiba-tiba menjadi marah sekali. Ia lantas memegang mangkok tempat masakan itu dan membantingnya ke lantai sehingga hancur berkeping-keping!

Pelayan yang tadi menghina Lo Sian adalah pelayan kepala dan dia memang terkenal beradat keras serta sombong. Tadi dia sudah ‘kecele’ oleh Lo Sian sehingga sedikitnya kesombongannya tersinggung, maka hal itu membuat dia merasa malu dan mendongkol. Kini naiklah darahnya melihat ada orang yang membuat ribut. Dengan langkah lebar dia menghampiri lalu membentak,

“Orang kasar dari manakah yang berani mengacau di rumah makan kami? Mengapa kau memaki-maki dan merusak barang kami? Kau harus mengganti harganya!”

Pelayan itu memang sedang sial dan ia benar-benar mencari penyakit sendiri. Bouw Hun Ti yang sedang menderita sakit gigi dan sedang marah-marah itu seperti api yang mulai menyala, kini seakan-akan api itu disiram pula dengan minyak hingga makin berkobar. Ia lalu bangkit berdiri dengan perlahan dan kedua matanya seakan-akan hendak menelan bulat-bulat pelayan itu.

“Apa katamu tadi...?” katanya perlahan dengan muka merah. “Kau sudah menipu orang, menjual daging liat dan tulang, masih tidak mau mengaku salah bahkan berani memaki aku?”

“Siapa bilang kami menjual daging liat dan tulang? Barangkali gigimu yang telah ompong sehingga tak kuat mengunyah daging!” pelayan itu tidak mau kalah dan beberapa orang terdengar tertawa mendengar ucapan ini.

Diam-diam Lo Sian memandang dengan penuh perhatian dan hati tertarik. Ia tahu bahwa pelayan itu terlalu sombong dan akan mengalami celaka. Benar saja, tiba-tiba Bouw Hun Ti yang mendengar ucapan ini lalu membungkuk dan mengambil sekerat daging yang tadi dilemparnya, kemudian sekali dia mengayun tangan, daging itu melayang dan tepat menotok jalan darah di dadanya.

Pelayan itu segera menjerit keras, lantas roboh dan bergulingan sambil berteriak-teriak, “Aduh...! Mati aku...! Aduh...! Aduh...!”

Gegerlah semua tamu dan pelayan yang ada di situ. Dua orang pelayan yang bertubuh tinggi besar melangkah maju.

“Bangsat kurang ajar! Kau berani memukul orang?”

Dua orang pelayan itu juga mencari penyakit, pikir Lo Sian yang menonton keributan itu sambil tersenyum simpul.

Akan tetapi dua orang pelayan yang hanya memiliki tenaga besar karena tiap hari dilatih mencacah bakso, tidak dapat melihat bahwa Bouw Hun Ti memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Karena itu, dengan kepalan tangan mereka lalu menyerang hebat untuk memberi hajaran kepada Si Brewok itu. Akan tetapi, Bouw Hun Ti sama sekali tidak pedulikan datangnya pukulan kedua orang itu, bahkan lalu maju menyambut dengan kedua tangan terulur maju merupakan cengkeraman garuda.

“Bukk! Bukk!”

Dua pukulan itu tepat mengenai dada dan pundak Bouw Hun Ti, akan tetapi aneh sekali. Si Brewok itu seakan-akan tidak merasa sama sekali, sebaliknya dua orang pelayan itu memekik kesakitan dan memandang tangan mereka yang kini menjadi bengkak dan biru setelah memukul tubuh yang mereka rasakan keras seperti besi itu!

Sementara itu, cengkeraman tangan Si Brewok sudah mencapai sasaran, yakni rambut kedua orang pelayan itu. Ketika Bouw Hun Ti mengangkat kedua lengannya maka tubuh dua orang itu terangkat ke atas dan Bouw Hun Ti lalu menggerakkan kedua tangannya, membenturkan kepala dua orang itu satu kepada yang lain.

“Dukk!”

Ketika Bouw Hun Ti melepaskan tangannya, dua orang pelayan itu roboh dengan tubuh lemas dan pingsan serta kepala mereka yang saling bertumbuk tadi pecah kulitnya dan mengeluarkan darah! Masih untung bagi mereka bahwa Bouw Hun Ti tak menggunakan seluruh tenaganya, karena kalau Si Brewok mau, dua butir kepala itu pasti akan menjadi pecah dan nyawa mereka berdua akan melayang!

Pada saat itu dari luar pintu terdengarlah bentakan keras dengan suara yang parau,

“Jago dari manakah memperlihatkan kegagahan di sini?” Bentakan ini disusul masuknya seorang laki-laki berpakaian mewah dan bertubuh tinggi besar bermuka hitam.

Inilah Tiat-tauw-ciang (Si Kepala Besi) yang bernama Thio Seng, seorang yang terkenal sebagai jago di dusun itu. Thio Seng tidak saja mempunyai kepandaian silat yang tinggi, akan tetapi dia juga terkenal sebagai seorang yang kaya raya. Selain mempunyai banyak tanah, juga rumah makan itu adalah miliknya. Pengaruhnya sangat besar dan agaknya pengaruhnya ini yang membuat para pelayannya berwatak sombong.

Pada waktu terjadi pertempuran di rumah makan itu, kebetulan sekali Thio Seng sedang berada di luar rumah makan, maka dia langsung mendengar dari para pelayan tentang mengamuknya seorang tamu. Dengan marah dia lalu masuk ke dalam rumah makannya dan membentak Bouw Hun Ti.

Ketika melihat seorang tinggi besar bermuka hitam memasuki pintu rumah makan, Bouw Hun Ti yang masih marah itu bertanya dengan suara kasar,

“Muka Hitam, siapakah kau dan mau apa?”

Thio Seng dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu silat, maka dia menjawab sambil mengangkat dada,

“Akulah yang disebut Tiat-tauw-ciang Thio Seng dan pemilik rumah makan ini!” Dengan ucapan ini Thio Seng menduga bahwa orang itu tentu sudah mendengar namanya dan akan minta maaf menyatakan tidak tahu bahwa restoran itu miliknya.

Akan tetapi, selama hidupnya Bouw Hun Ti belum pernah mendengar nama ini, maka dia menjawab, “Tidak peduli pemilik rumah ini bernama kepala besi atau pun kepala udang, orang telah melakukan penipuan di dalam rumah makan ini! Daging keras dan busuk tapi dijual!”

Marahlah Thio Seng mendengar ini. “Eh, kau sombong sekali, sobat! Siapakah kau yang tidak tahu aturan ini?”

“Siapa adanya aku bukan urusanmu! Dan jangan kau menghadang di jalan, aku hendak pergi!” Sambil berkata begini, Bouw Hun Ti memegang tangan Lili dan hendak menarik gadis cilik itu keluar dari sana.

Akan tetapi Thio Seng berdiri sambil bertolak pinggang dan berkata,

“Hemm, sabar dulu, sobat! Kalau kau tidak mengganti kerusakan ini dan memberi uang obat kepada pelayan-pelayanku serta berlutut minta ampun kepada Tiat-tauw-ciang, kau jangan harap bisa keluar dari sini!” Sambil berkata demikian, Thio Seng membuka jubah dan topinya, dan kini nampaklah kepalanya yang licin tidak berambut di bagian muka dan tengah, mengkilap bagaikan digosok dengan minyak.

Inilah kepalanya yang sangat ditakuti orang, karena dengan kepala ini, Thio Seng pernah mengalahkan banyak jago silat, bahkan pernah pula berdemonstrasi membentur dinding dengan kepalanya sehingga dinding bata yang tebal itu menjadi pecah!

Mendengar ucapan orang she Thio itu, Bouw Hun Ti tidak dapat menahan marahnya lagi. Dia segera melepaskan tangan Lili dan melangkah maju sambil menendang meja kursi yang berada di dekatnya untuk mencari ruang yang lebih lebar.

“Kau mau melakukan kekerasan? Baik, agaknya kau ingin pula dihajar!”

“Rasakan pukulanku!” Thio Seng berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan.

Melihat gerakan yang keras dan cepat itu, Lo Sian yang masih duduk di sudut diam-diam memuji dan maklum bahwa Si Muka Hitam yang kasar ini memiliki kepandalan yang tidak rendah.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)