PENDEKAR REMAJA : JILID-05


“Siauw-koai (Setan Kecil), Lo-koai (Setan Besar), semuanya harus tunduk kepadaku!” Ucapan ini terdengar berkali-kali, makin lama makin perlahan sehingga akhirnya lenyap bersama bayangan orang gemuk yang luar biasa itu! Ternyata bahwa ia lari menghilang ke dalam dusun di depan.

Barulah Lo Sian bergerak dan menghela napas ketika orang itu sudah pergi dan lenyap. “Hebat...!” bisiknya.

“Suhu, dia itukah orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin?”

Gurunya mengangguk di dalam gelap. “Sekarang dia sedang mencari kita di dusun itu dan kalau kita tadi bermalam di sana, tentu kita semua akan tewas di dalam tangannya yang kejam.”

“Akan tetapi, Suhu. Ia kelihatan bukan seperti seorang hwesio. Kepalanya biar pun botak, akan tetapi tidak gundul dan pakaiannya mewah sekali!”

“Memang aneh. Dulu ia gundul dan berpakaian seperti hwesio. Heran benar, sekarang ia agaknya telah menjadi orang biasa dan bajunya yang dari bulu itu menandakan bahwa ia benar-benar seorang kaya raya! Aneh!”

Kalau Lili dan Lo Sian dapat melihat keadaan orang yang lewat tadi dengan jelas, adalah anak miskin itu hanya melihat bayangannya yang berkelebat saja.

“Memang Ban Sai Cinjin seorang kaya!” katanya. “Kaya raya, kejam, dan gila!”

Setelah mendengar suara ini, barulah Lo Sian agaknya teringat bahwa ada orang lain di situ. Ia memandang kepada anak miskin itu dan bertanya, “Anak yang malang, siapakah kau dan coba ceritakan pula keadaan Ban Sai Cinjin yang kau ketahui.”

Anak itu lalu menceritakan bahwa ia bernama Thio Kam Seng, yatim piatu semenjak kecil karena ayah bundanya meninggal dunia akibat sakit dan kelaparan. Semenjak usia enam tahun ia hidup seorang diri sebagai seorang pengemis, merantau dari kota ke kota dan dari dusun ke dusun. Akhirnya ia sampai di dusun Tong-sim-bun di depan itu dan telah setahun lebih ia tinggal di dusun itu dan hidup sebagai seorang pengemis.

Ia mengetahui tentang Ban Sai Cinjin yang dikatakan sebagai seorang hartawan besar, memiliki banyak rumah dan toko di dusun itu, bahkan telah mendirikan sebuah kelenteng besar di dalam hutan sebagai tempat pertapaannya! Watak dari Ban Sai Cinjin yang kejam dan aneh itu memang telah terkenal, akan tetapi oleh karena orang tua ini amat kaya, dan pula tinggi kepandaiannya, tak seorang pun berani mencelanya.

“Aku mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hidup mewah di dalam kelentengnya itu, bahkan sering mendatangkan penyanyi-penyanyi dari kota dan sering pula memesan masakan-masakan mewah. Karena aku merasa amat lapar, aku mencoba untuk mencuri makanan di kelenteng itu. Sungguh celaka aku terlihat oleh hwesio kecil yang kejam itu dan hampir saja celaka kalau tidak mendapat pertolongan In-kong (Tuan Penolong).”

Lo Sian si Pengemis Sakti tidak mengira sama sekali bahwa Ban Sai Cinjin adalah guru dari orang yang menculik Lili! Memang, sesungguhnya Ban Sai Cinjin ini adalah pertapa sakti yang pernah memberi pelajaran silat kepada Bouw Hun Ti atau penclilik Lili itu.

Kepandaian Ban Sai Cinjin memang sangat hebat dan sesudah merasakan kesenangan dunia, pertapa ini sekarang menjadi seorang yang suka mengumbar nafsunya. Dia dapat mengumpulkan harta kekayaan dan menjadi seorang hartawan besar, hidup mewah dan suka mengganggu anak bini orang.

Akan tetapi, untuk menutupi mata umum, ia mendirikan sebuah kelenteng besar di mana katanya digunakan sebagai tempat ‘menebus dosa’ dan bersemedhi. Padahal sebetulnya tempat ini merupakan tempat persembunyiannya di mana ia menghibur diri dengan cara yang amat tidak mengenal malu. Di tempat inilah dia dapat berlaku leluasa, jauh dari mata orang dusun atau orang kota.

Ban Sai Cinjin sangat terkenal akan kelihaiannya dalam hal ginkang dan lweekang, juga senjatanya amat ditakuti orang. Senjata ini memang istimewa sekali, karena merupakan huncwe (pipa tembakau) yang panjang dan terbuat dari pada logam yang keras diselaput emas!

Pada waktu-waktu biasa, ia menggunakan huncwe-nya ini sebagai pipa biasa yang diisi dengan tembakau-tembakau yang paling mahal dan enak, juga kantong tembakaunya yang tergantung pada gagang huncwe ini terisi penuh dengan tembakau yang kekuning-kuningan bagaikan benang emas.

Akan tetapi pada saat dia menghadapi musuh, kantong itu akan berganti dengan sebuah kantong lain yang berisikan tembakau luar biasa sekali yang berwarna hitam. Dan apa bila ia mengambil tembakau ini lalu dinyalakan di dalam pipanya, maka akan tercium bau yang sangat tidak enak dan keras sekali. Asap tembakau ini saja sudah cukup membuat lawannya menjadi pening dan pikirannya kacau karena sebetulnya asap ini mengandung semacam racun yang berbahaya dan melemahkan semangat.

Apa lagi kalau ia sudah mainkan senjata istimewa ini yang terputar cepat dan dari mulut pipa itu menyembur bunga api karena tembakau yang masih terbakar itu tertiup angin, bukan main berbahayanya. Oleh karena ini pula, maka Ban Sai Cinjin mendapat julukan Si Huncwe Maut!

Lo Sian yang berhati budiman itu menjadi tergerak hatinya ketika mendengar penuturan anak miskin itu. Ia memandang kepada Thio Kam Seng yang kurus dan pucat, dan biar pun ia maklum bahwa anak ini tidak memiliki cukup bakat dan kecerdikan untuk menjadi seorang ahli silat, namun dia tadi telah menyaksikan sendirl bahwa anak ini cukup tabah dan berjiwa gagah. Tadi sudah disaksikannya betapa anak ini menghadapi maut di ujung pisau hwesio kecil itu dengan berani.

“Kam Seng, apakah kau suka ikut padaku dan belajar silat agar kelak jangan sampai kau terhina orang?”

Mendengar ucapan ini, tiba-tiba saja anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil menangis! Saking girang dan terharunya, ia sampai tak dapat mengeluarkan satu patah pun kata, hanya berkata terputus-putus,

“Suhu..., Suhu...”

Setelah pada malam hari itu bersembunyi di sana, keesokan harinya pagi-pagi sekali Lo Sian mengajak kedua orang muridnya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menggandeng tangan Kam Seng agar perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.

Beberapa hari lewat tanpa terasa dan mereka telah memasuki Propinsi Sensi. Pada saat mereka lewat kota Tai-goan, Lo Sian sengaja mampir di kota yang besar dan ramai itu. Kota Tai-goan terkenal dengan araknya yang terbuat dari pada buah leci, dan karena Lo Sian adalah seorang yang suka sekali minum arak, maka sampai beberapa hari ia tidak mau tinggalkan kota itu dan memuaskan dirinya dengan minuman yang enak ini.

Pada suatu hari, ketika ia dan kedua orang muridnya keluar dari sebuah rumah makan di mana ia telah menghabiskan banyak cawan arak, ia mendengar orang berseru keras dan tiba-tiba orang itu menyerangnya dengan pukulan hebat ke arah dadanya.

Lo Sian cepat mengelak dan alangkah terkejutnya ketika melihat bahwa yang menyerang dirinya ini bukan lain adalah orang brewok yang dahulu menculik Lili! Memang orang ini bukan lain adalah Bouw Hun Ti yang sedang berusaha mencari gurunya dan karena dia melakukan perjalanan berkuda dengan cepat, maka dia telah sampai di tempat itu lebih dulu dan kini ia hendak kembali ke timur setelah mendengar bahwa suhu-nya kini tinggal di dusun Tong-sim-bun.

Kebetulan sekali di kota Tai-goan ini dia bertemu dengan Lo Sian, pengemis yang sudah merampas Lili dari padanya itu! Tanpa menunggu lagi dia segera mengirim pukulan maut yang baiknya masih dapat dikelit oleh Lo Sian.

Lo Sian maklum bahwa orang ini mempunyai kepandaian yang tinggi, maka dia segera mencabut pedangnya yang selalu disembunylkan di dalam bajunya. Bouw Hun Ti tertawa bergelak melihat ini dan segera mencabut goloknya.

“Jembel hina dina! Hari ini kau pasti akan mampus di ujung golokku!” serunya keras sambil menyerang.

Lo Sian menangkis dan mereka lalu bertempur hebat di depan rumah makan itu. Semua orang yang menyaksikan pertempuran ini tidak ada satu pun yang berani turut campur, bahkan mereka lari cerai berai karena takut melihat dua orang itu mainkan senjata tajam secara demikian hebatnya.

Sementara itu, ketika melihat bahwa yang menyerang suhu-nya adalah penculik brewok yang dibencinya, seketika Lili menjadi pucat karena terkejut sekali. Akan tetapi anak ini memang hebat sekali keberaniannya. Ia tidak melarikan diri, bahkan lalu mengumpulkan batu-batu kecil dan mulai menyambit ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari Bouw Hun Ti.

Sungguh pun sambitan batu yang dilepas oleh Lili ini apa bila ditujukan kepada orang biasa akan merupakan serangan yang amat berbahaya, akan tetapi terhadap Bouw Hun Ti sama sekali tidak ada artinya. Tidak saja semua batu itu terlempar ketika terpukul oleh sinar goloknya, biar pun andai kata mengenai tubuhnya pun tak akan terasa olehnya!

Kam Seng yang melihat suhu-nya bertempur melawan seorang laki-laki brewok yang berwajah galak menyeramkan, dan juga melihat betapa Lili menyambit dengan batu, tak mau tinggal diam dan ia pun mulai menyambit pula! Akan tetapi, ia segera menghentikan bantuannya ini karena pandangan matanya telah menjadi kabur dan silau, ketika kedua orang yang bertempur itu kini telah lenyap terbungkus oleh sinar senjata. Kam Seng tidak dapat membedakan lagi mana gurunya dan mana lawan gurunya!

Akan tetapi, Lili yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi dan sepasang matanya yang bening sudah terlatih baik semenjak kecil oleh ayah ibunya, masih dapat melihat gerakan suhu-nya dan gerakan musuh itu, maka masih saja ia melanjutkan sambitannya, kini lebih hati-hati dan membidik dengan baik. Sungguh pun serangan Lili ini tidak berarti baginya, namun cukup membikin gemas hati Bouw Hun Ti.

“Setan kecil, lebih dulu kubikin mampus kau!” serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat menyambar Lili dan goloknya membacok ke arah kepala anak kecil itu!

Lili memiliki ketenangan ayahnya dan kegesitan ibunya. Melihat sinar golok menyambar ke arah kepalanya, dia cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah lantas bergulingan menjauhkan diri. Akan tetapi, Bouw Hun Ti yang merasa penasaran terus mengejarnya setelah menangkis serangan Lo Sian yang menyerangnya dari samping dalam usahanya menolong muridnya.

Lili bergulingan terus sampai tiba-tiba dia merasakan bahwa tubuhnya berguling ke atas pangkuan seorang yang duduk di bawah pohon dekat situ. Dia memandang dan ternyata bahwa ia telah berada di atas pangkuan seorang pengemis yang tinggi kurus dan berbaju penuh tambalan dan buruk sekali.

Melihat betapa anak itu kini berada di atas pangkuan seorang pengemis, Bouw Hun Ti melanjutkan serangannya. Akan tetapi tiba-tiba dia berseru keras dan goloknya terpental hampir terlepas dari pegangan pada waktu golok itu telah mendekati tubuh Lili. Ternyata bahwa pengemis jembel itu telah mengangkat tongkatnya dan menangkis golok itu!

“Hemm, manusia kejam! Apakah kau masih mau menjual lagak di hadapan Mo-kai Nyo Tiang Le?”

Bouw Hun Ti makin terkejut karena ia sudah mendengar nama Pengemis Setan ini yang amat lihai! Tadi ketika menghadapi Lo Sian, walau pun dia yakin akan bisa mendapatkan kemenangan, akan tetapi kepandaian Lo Sian sudah cukup kuat sehingga ia tak mungkin menjatuhkannya dalam waktu pendek. Apa lagi sekarang ditambah pula dengan seorang pengemis aneh yang dari tangkisan tongkatnya tadi saja sudah menunjukkan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi!

Bagaimana sebatang tongkat bambu dapat menangkis goloknya yang terkenal tajam dan yang digerakkan dengan tenaga luar biasa? Bouw Hun Ti menjadi gentar juga kemudian dengan marah sekali ia lalu melarikan diri! Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan gurunya untuk minta pertolongan dan bantuan.

Lo Sian yang baru dapat mengenali pengemis itu, cepat-cepat menghampiri dan berseru girang. “Suheng! Kau di sini?”

“Sute, dari mana kau mendapatkan anak ini?” Mo-kai Nyo Tiang Le balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan adik seperguruannya.

Mendengar pertanyaan ini, barulah Lo Sian teringat kepada Bouw Hun Ti yang sudah melarikan diri. Ia menghela napas dan berkata,

“Sayang sekali Suheng. Orang yang dapat menjawab pertanyaanmu itu sudah melarikan diri. Aku sendiri tidak tahu siapa sebetulnya anak ini.” Ia lalu menuturkan pengalamannya pada waktu merampas Lili dari tangan Bouw Hun Ti, kemudian menuturkan pula tentang pengalamannya menolong Thio Kam Seng.

Si Pengemis Setan itu tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Lo Sian. Ia segera memandang kepada Lili yang kini sudah berdiri, lalu berkata kepadanya, “Hemm, anak nakal! Kau tidak mau menceritakan siapa ayah ibumu? Ha-ha-ha, tak perlu kau bercerita lagi! Aku sudah tahu, siapa ayahmu! Dia adalah seorang maling, seorang tukang colong ayam! Karena itulah maka kau malu untuk mengaku! Ha-ha-ha!”

Bukan main marahnya hati Lili mendengar ucapan ini. Gadis cilik ini berdiri tegak dengan kepala dikedikkan, dadanya diangkat dan pandang matanya bersinar-sinar seakan-akan mengeluarkan cahaya api. Kalau ada orang yang telah mengenal ibunya, dan melihat Lili bersikap seperti itu, tentulah akan mengatakan bahwa anak perempuan ini persis sekali seperti ibunya kalau sedang marah.

“Kau... kau berani menghina ayahku? Jika Ayah mendengar hal ini, biar pun kau berada di ujung dunia, Ayah pasti akan mematahkan batang lehermu! Ayahku adalah seorang gagah perkasa tanpa tandingan! Orang macam kau, biar ada seratus pun akan dapat dia patahkan batang lehernya dengan mudah!” Lili betul-betul marah bukan main mendengar ayahnya disebut tukang colong ayam!

Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. Agaknya dia geli sekali sehingga sambil tertawa dia meraba-raba perutnya. “Ha-ha-ha-ha! Pandai sekali kau menutupi keadaan ayahmu! Ha-ha-ha, ayahmu hanya seorang maling kecil. Memang dia bisa mematahkan batang leher, akan tetapi hanyalah batang leher ayam. Tentu saja dia kuat mematahkan batang leher seratus ekor ayam yang dicurinya! Ha-ha-ha!”

“Orang tua kurang ajar!” Lili semakin marah hingga ia membanting-banting kakinya yang kecil.

Dia lupa bahwa suhu-nya tadi menyebut suheng kepada jembel ini. Namun, jangankan baru supek-nya yang baru dikenal sekarang, walau pun siapa juga tidak boleh menghina ayahnya!

“Hati-hatilah kau! Beritahukan siapa namamu supaya dapat kuberitahukan kepada Ayah. Kau pasti akan dipukul mati! Siapakah orangnya yang tidak tahu bahwa Ayah...” tiba-tiba Lili terhenti karena ia teringat bahwa ia tidak ingin memberitahukan nama orang tuanya, bahkan ia belum pernah mengaku kepada suhu-nya.

“...bahwa ayahmu hanyalah seorang tukang colong ayam...!” Pengemis tua itu langsung melanjutkan kata-katanya yang terhenti sambil tertawa bergelak.

“Bukan!” Lili menggigit bibirnya dengan hati gemas. “Nah, biarlah aku mengaku! Ayahku adalah Sie Cin Hai yang berjuluk Pendekar Bodoh! Ibuku adalah Kwee Lin yang terkenal gagah perkasa! Siapa yang tidak kenal kepada ayah ibuku yang menjadi murid terkasih dari Sukong Bu Pun Su?”

Sambil berkata demikian, Lili memandang dengan tajam kepada pengemis itu dan juga kepada gurunya. Ia merasa bangga dan girang sekali ketika melihat betapa pengemis itu yang tadinya tengah tertawa, kini membuka mulutnya dengan melongo, ada pun suhu-nya sendiri pun memandangnya dengan mata terbelalak heran!

Lo Sian lalu mengelus-elus kepala Lili dan berkata, “Ah, anak baik, kenapa tidak dulu-dulu kau katakan kepadaku? Jika aku tahu, tentu kau sudah kuantarkan kepada orang tuamu! Aku tahu siapa adanya ayah ibumu itu dan ketahuilah bahwa Suhu-mu dan Supek-mu ini masih orang-orang segolongan dengan ayahmu!”

“Akan tetapi, mengapa Supek tadi menghina ayahku? Mengapa ayahku disebut tukang colong ayam?”

Nyo Tiang Le tertawa bergelak dan Lo Sian juga tersenyum. “Lili, Supek-mu tadi hanya bergurau. Pada waktu ia mengatakan bahwa ayahmu seorang maling ayam, ia tidak tahu bahwa ayahmu adalah Sie Taihiap! Kalau ia tidak mempergunakan akal ini, apakah kau akan suka menyebutkan nama ayahmu?”

Lili memang cerdik. Kini ia tahu bahwa ia telah kena diakali, maka sambil tersenyum ia berkata kepada Nyo Tiang Le, “Supek sudah menipuku! Akan tetapi, kalau Supek tidak menarik kembali ucapannya tadi, aku selamanya akan benci kepada Supek!”

Suara tawa Mo-kai Nyo Tiang Le makin keras. “Ha-ha-ha! Siapa bilang bahwa Pendekar Bodoh pencuri ayam? Apa bila ada orang yang mengatakan demikian di depanku, mulut orang itu tentu akan kuhajar dengan seratus kali pukulan tongkatku! Tidak, anak manis, ayahmu bukan pencuri ayam akan tetapi dia adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa!”

Berserilah wajah Lili mendengar pujian terhadap ayahnya ini.

“Suheng, kalau begitu, aku hendak mengantarkan anak ini pulang kepada Sie Taihiap di Shaning.”

Nyo Tiang Le menggelengkan kepalanya. “Berbahaya sekali, Sute! Kau tentu telah dapat menduga siapa adanya orang brewok tadi?”

Lo Sian menggelengkan kepalanya. “Sungguh pun ilmu silatnya sangat lihai dan gerakan goloknya mengingatkan aku akan ilmu kepandaian golok milik Ban Sai Cinjin, akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu siapa adanya orang itu.”

“Dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin, seorang peranakan Turki. Apakah kau masih ingat pada Balutin yang dulu memimpin barisan Turki ke pedalaman dan menimbulkan banyak kerusakan!”

Lo Sian mengangguk karena dahulu ia memang membantu tentara kerajaan menghadapi perwira yang amat tangguh itu.

“Nah, orang tadi adalah putera dari Balutin itulah! Namanya Bouw Hun Ti dan dia amat lihai, apa lagi setelah mendapat latihan dari Ban Sai Cinjin. Entah mengapa dia menculik anak Pendekar Bodoh ini, akan tetapi sudah jelas bahwa kalau ia melihat kau mengantar anak ini pulang, tentu ia akan turun tangan dan hal ini berbahaya sekali.”

Lo Sian menundukkan kepalanya karena dia juga maklum bahwa kepandaian Bouw Hun Ti masih lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri sehingga ia tidak dapat melindungi keselamatan Lili dengan baik.

“Habis, bagaimana baiknya, Suheng?”

“Aku sedang dalam perjalanan menuju ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin di puncak Beng-san. Biarlah kubawa kedua anak ini bersamaku ke sana. Kau pergilah seorang diri mencari Pendekar Bodoh dan memberi tahu bahwa puterinya sudah selamat dan sedang bersama dengan aku. Kam Seng ini nasibnya buruk dan patut ditolong. Sedangkan dulu aku pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su, maka sekarang sudah selayaknyalah apa bila aku membalas dan menolong cucu muridnya ini! Nona kecil, kau tentu mau ikut dengan aku, bukan?”

Lili memandang kepada suhu-nya dan berkata, “Suhu, teecu memang tidak mau pulang. Teecu baru mau pulang kalau Ayah dan Ibu menyusul teecu! Akan tetapi, bila selamanya teecu harus ikut Supek, teecu tidak suka.”

“Mengapa begitu, Lili?” tanya Lo Sian sambil tersenyum.

“Supek seorang pengemis!”

“Hussh!” kata Lo Sian mencela. “Aku pun seorang pengemis!”

“Benar, akan tetapi Suhu berbeda dengan Supek. Suhu adalah pengemis bersih, akan tetapi Supek...”

“Hussh, Lili!” Menegur suhu-nya.

Akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le bahkan tertawa geli dan berkata, “Biarlah, Sute. Sudah sewajarnya apa bila seorang anak perempuan suka akan kebersihan dan keindahan. He, Lili anak nakal, kau lihatlah baik-baik, apakah aku masih nampak kotor dan menjijikkan?”

Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya kedua tangan Pengemis Setan itu bergerak dan tahu-tahu jubah luarnya yang butut itu telah terlepas sehingga Lili dan juga Thio Kam Seng, anak piatu itu memandang dengan mata terbelalak heran.

Setelah jubah butut kotor dan penuh tambalan itu terlepas, kini pengemis tua itu nampak bersih dan gagah sekali. Tubuhnya tertutup oleh pakaian warna putih bersih dari sutera halus, sebatang pedang tergantung di pinggang kirinya! Dan sikap pengemis tua itu pun berubah sama sekali, wajahnya yang tadi tertawa-tawa bagaikan orang gila itu menjadi sungguh-sungguh dan nampak kereng sekali!

“Bagaimana, apakah kau masih merasa jijik untuk ikut Supek-mu?” tanya Nyo Tiang Le dengan suara kereng.

Lili merasa heran dan tertegun sehingga dia memandang dengan mata tak berkedip, lalu menggelengkan kepalanya. Pengemis tua yang aneh itu kemudian mengenakan kembali pakaian bututnya dan wajahnya kembali berseri-seri. Kini Lili baru merasa lega, karena sebenarnya hatinya lebih enak dan senang menghadapi pengemis tua yang berpakaian butut dan yang tertawa-tawa ramah ini dari pada menghadapinya dalam pakaian gagah dan sikap kereng tadi!

“Kenapa pakaian bersih dan indah ditutupi oleh pakaian yang demikian kotor dan buruk?” kini ia berani membuka mulut bertanya.

Nyo Tiang Le tertawa bergelak, seperti tadi sebelum memperlihatkan pakaiannya yang dipakai di sebelah dalam.

“Ha-ha-ha, anak baik! Banyak sekali orang yang di luarnya mengenakan pakaian-pakaian indah dan mahal, memakai baju kebesaran dan tanda pangkat, akan tetapi coba bukalah pakaian yang indah-indah itu, kau akan melihat sesuatu yang kotor, seperti sebutir buah yang kulitnya merah kekuningan dan nampak segar akan tetapi apa bila dikupas kulitnya akan terlihat isinya busuk! Bagiku, aku lebih suka yang sebaliknya, dari luar tampak kotor akan tetapi di sebelah dalam bersih! Ha-ha-ha!”

Lili tidak percuma menjadi puteri Pendekar Bodoh, seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan yang terkenal ahli dalam hal filsafat hidup dan hafal akan semua ujar-ujar kuno. Telah sering kali ayahnya memberi pelajaran budi pekertiepadanya dan sering kali pula dia mendengar ayahnya mengucapkan ujar-ujar kuno mengenai filsafat hidup. Dan kini, mendengar ucapan Nyo Tiang Le itu, anak yang berotak tajam ini dapat menangkap maksudnya, maka dia lalu membantah,

“Supek, betapa pun juga aku lebih suka lagi kalau yang bersih itu tidak hanya dalamnya saja, akan tetapi luar dalam! Biar pun isinya sama bersih dan sama enak, kalau disuruh memilih, aku lebih suka buah yang kulitnya menarik dan bersih dari pada yang kulitnya kotor!”

Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. “Benar benar! Kau memang seorang perempuan, sudah seharusnya tahu merghargai keindahan, luar mau pun dalam!”

Demikianlah, sesudah memesan kepada Lili dan Kam Seng supaya patuh kepada supek mereka, dan memberi janji kepada Lili bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali, Lo Sian lalu meninggalkan mereka menuju ke timur untuk mencari Pendekar Bodoh di Shaning dan mengabarkan tentang keadaan Lili kepada pendekar besar itu.

Nyo Tiang Le juga segera membawa kedua anak itu melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Beng-san. Pengemis Setan ini sungguh pun menjadi suheng dari Lo Sian, akan tetapi apa bila dibandingkan dengan Pengemis Sakti itu, kepandaiannya jauh lebih tinggi, juga usianya berbeda jauh sekali. Lo Sian baru berusia tiga puluh lima tahun, akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le usianya sudah lima puluh tahun lebih.

Bahkan kepandaian Lo Sian sebagian besar terlatih oleh Nyo Tiang Le dan suhu mereka hanya memberi pelajaran-pelajaran dasar saja kepada Sin-kai Lo Sian. Kepandaian Nyo Tiang Le ini hanya sedikit lebih rendah dibandingkan tingkat kepandaian empat besar di timur, barat, selatan, dan utara, yakni Hok Peng Taisu guru Ma Hoa, Pok Pok Sianjin di Beng-san yang kini menjadi guru dari Sie Hong Beng putera Pendekar Bodoh, mendiang Bu Pun Su, guru dari Cin Hai si Pendekar Bodoh dan isterinya, dan Swi Kiat Siansu, tokoh di utara yang terkenal dengan senjatanya kipas maut itu! Kepada empat orang tokoh besar ini, Nyo Tiang Le telah kenal baik, bahkan dia pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su yang terkenal paling lihai di antara para tokoh besar itu.

Mo-kai Nyo Tiang Le suka sekali melihat Lili dan karena ia tidak mempunyai murid, maka melihat murid sute-nya ini tergeraklah hatinya. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk mewariskan ilmu pedangnya kepada Lili yang ia tahu memiliki bakat yang baik sekali. Dia memang sedang menuju ke Beng-san untuk bertemu dengan Pok Pok Sianjin, seorang di antara tokoh-tokoh besar dunia persilatan masih hidup.

Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang bernasib malang itu, benar-benar telah mendapat karunia besar dan agaknya nasibnya telah mulai bersinar terang saat ia bertemu dengan Lo Sian, karena tak disangka-sangkanya bahwa ia akan terjatuh ke dalam tangan orang luar biasa sehingga ia dapat menjadi murid seorang gagah seperti Lo Sian, bahkan kini ia ikut melakukan perjalanan dengan Nyo Tiang Le dan ikut pula mendapat latihan ilmu silat tinggi…..

********************

Mari sekarang kita mengikuti perjalanan Cin Hai dan Lin Lin yang meninggalkan rumah mereka di Shaning untuk pergi mencari puteri mereka yang lenyap terculik orang.

Semenjak Kong Hwat Lojin atau Nelayan Cengeng yang menjadi guru dan ayah angkat Ma Hoa meninggal dunia pada dua tahun yang lalu, belum pernah Pendekar Bodoh dan isterinya mengunjungi Tiang-an. Maka setelah mereka tiba di perbatasan kota Tiang-an, mereka berhenti sebentar dan memandang tembok kota itu dengan pikiran yang penuh kenangan masa lampau. Bagi Lin Lin, kota ini adalah kota kelahirannya dan bagi Cin Hai, kota ini pun merupakan kota di mana dia pernah mengalami banyak sekali penderitaan hidup pada waktu dia masih kecil.

Mereka memasuki kota dan mengunjungi rumah Kwee An. Rumah ini adalah rumah tua, gedung besar dan kuno yang dulu menjadi tempat tinggal mendiang Kwee In Liang, yaitu ayah Kwee An dan Kwee Lin. Kedatangan mereka mendapat sambutan yang hangat sekali dari Kwee An dan Ma Hoa. Ma Hoa merangkul Lin Lin dan sampai lama mereka saling peluk dan mencium dengan hati girang sekali.

“Enci Ma Hoa, sekarang kau makin gemuk dan makin cantik saja!” Lin Lin berkata sambil memandang kepada soso (kakak iparnya) itu. Oleh karena sudah terbiasa sejak belum menikah dulu, Lin Lin tidak menyebut soso pada iparnya ini, akan tetapi masih menyebut enci.

“Lin Lin, kaulah yang semakin cantik, akan tetapi mengapakah kau kelihatan agak pucat? Terlalu lelahkah kau dalam perjalananmu ke sini?”

Cin Hai dan Kwee An yang saling berpegang tangan dengan perasaan gembira itu juga mengucapkan kata-kata ramah tamah.

“Ahhh, kami mendapat kesusahan,” kata Lin Lin sambil menghela napas lalu menggigit bibirnya untuk menahan jangan sampai meruntuhkan air mata. “Lili telah terculik orang!”

Pucatlah wajah Ma Hoa dan Kwee An mendengar berita hebat ini.

“Apa...?!” Ma Hoa melompat bangun dan memegang lengan tangan Lin Lin. “Siapa orang yang demikian berani mampus melakukan hal itu? Lin Lin, beritahukan siapa orangnya, akan kuhancurkan kepalanya!” Ma Hoa benar-benar marah sekali mendengar berita ini dan sepasang matanya berkilat.

Kwee An juga marah sekali dan kedua tangannya dikepal, akan tetapi ia lebih tenang dan sabar dari pada isterinya. Ia memegang tangan adiknya dan berkata,

“Ahh, bagaimana bisa terjadi hal itu? Lin Lin, marilah kita semua masuk ke dalam dan ceritakanlah hal itu sejelasnya.”

Suara yang lemah lembut dan sikap mencinta dari kakaknya ini lebih tajam menyentuh perasaan Lin Lin dari pada sikap Ma Hoa yang menunjukkan pembelaannya dengan hati marah. Tak terasa lagi Lin Lin meramkan mata menahan keluarnya air mata yang tetap saja menembus celah-celah bulu matanya lantas mengalir turun ke atas pipinya. Sambil menyandarkan kepalanya di pundak Kwee An, Lin Lin menangis dan menurut saja ditarik oleh Kwee An menuju ke ruang dalam, diikuti oleh Cin Hai dan Ma Hoa.

Setelah mereka duduk di atas kursi dan Lin Lin sudah dapat menekan perasaan gelisah dan sedihnya, maka berceritalah Lin Lin dan Cin Hai mengenai penculikan terhadap Lili, dan juga tentang terbunuhnya Yousuf. Mendengar bahwa Yousuf terbunuh pula dalam keadaan yang sangat mengerikan dan menyedihkan, yaitu dipenggal kepalanya, Ma Hoa menjerit dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia berdiri dan dengan tangan terkepal ia berkata keras,

“Lin Lin, kita harus mencari jahanam itu sampai dapat! Hatiku belum puas kalau belum menusuk mata jahanam itu dengan senjataku!”

Juga Kwee An merasa marah dan sedih sekali mendengar berita ini. Ketika mendengar dari Cin Hai bahwa menurut orang-orang yang melihatnya, pembunuh Yousuf itu adalah seorang Turki, Kwee An berkata,

“Tidak mungkin salah lagi, tentu pembunuhnya adalah utusan Pangeran Muda dari Turki yang semenjak dahulu memusuhi Yo-pekhu!”

“Kami pun menduga demikian,” kata Cin Hai. “Oleh karena itu, kami hendak menyusul ke barat, hendak mencari keterangan dan menyelidiki ke Kansu di mana banyak terdapat orang-orang Turki baik pengikut Pangeran Muda mau pun pengikut Pangeran Tua.”

“Betul sekali,” kata Kwee An mengangguk-anggukkan kepala. “Di sana banyak terdapat kawan-kawan baik dari Yo-pekhu, dan kurasa dari mereka ini kau akan bisa mendapatkan keterangan.”

“Aku ingin sekali ikut pergi,” tiba-tiba saja Ma Hoa berkata, “aku ingin mendapat bagianku menghajar penculik Lili!”

Kwee An memandang kepada isterinya, kemudian sambil tersenyum dia berkata, “Dalam keadaanmu sekarang ini lebih baik jangan melakukan perjalanan sejauh itu.”

Ma Hoa membalas pandangan suaminya dan tiba-tiba mukanya berubah merah. Lin Lin mengerti akan maksud ucapan itu, maka dia merangkul Ma Hoa sambil berkata, “Enci yang baik! Sudah berapa bulankah?”

Makin merahlah muka Ma Hoa dan dengan suara perlahan ia berkata, “Dua...”

Cin Hai sama sekali tidak mengerti apakah maksud pembicaraan antara isterinya dan Ma Hoa, maka ia memandang kepada mereka dengan sinar mata bodoh. Melihat wajah dan pandangan mata bodoh dari Cin Hai ini, tak tertahan pula Ma Hoa dan Lin Lin tertawa geli, bahkan Kwee An juga tersenyum, teringat akan peristiwa dulu-dulu tentang Cin Hai yang dalam beberapa hal memang agak bodoh. Pandangan mata seperti itulah yang lalu membuat ia mendapat julukan Pendekar Bodoh!

“Eh, eh, kalian mengapakah?” Cin Hai tidak merasa aneh melihat isterinya tertawa-tawa, oleh karena memang demikianlah sifat Lin Lin. Dalam keadaan bersedih dia bisa tertawa gembira, sebaliknya dalam kegembiraan tiba-tiba murung!

“Jangan tanya-tanya, ini urusan wanita. Laki-laki tahu apa!” kata Lin Lin.

Akhirnya bisa juga Cin Hai menduga bahwa yang dimaksudkan tentu Ma Hoa kini dalam keadaan mengandung dua bulan. Akan tetapi karena merasa jengah dan malu, dia diam saja.

Dua pasang suami isteri itu lalu bercakap-cakap melepaskan rindu.

“Eh, sampai lupa aku! Mana si cantik Goat Lan? Kenapa semenjak tadi aku tidak melihat dia?” kata Lin Lin.

“Ah, dia telah dibawa oleh dua orang kakek yang kalian tentu sudah kenal namanya.”

“Dibawa? Apa maksudmu? Siapakah mereka?” tanya Cin Hai.

“Goat Lan telah diambil murid oleh Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo dan dibawa ke Liong-ki-san untuk dilatih ilmu silat.”

Cin Hai dan Lin Lin merasa girang mendengar ini dan keduanya lalu memberi selamat. Ma Hoa menceritakan peristiwa tentang kedatangan kedua orang kakek gagah itu di Kuil Ban-hok-tong.

“Enci Hoa,” kata Lin Lin yang mendadak teringat akan sesuatu, “aku sudah mengadakan pembicaraan dengan suamiku mengenai anakmu itu. Kau tentu dapat menduga maksud kami, yaitu tentang anakmu dan anak kami Hong Beng.”

Wajah Ma Hoa berseri. “Ahh, bagaimana dengan puteramu yang elok itu?”

Lin Lin lalu menceritakan bahwa Hong Beng sudah diantarkan ke Pok Pok Sianjin untuk menerima latihan ilmu silat.

“Kiranya tidak ada jodoh yang lebih tepat bagi Hong Beng selain anakmu yang cantik itu. Bagaimana kalau kita resmikan pertunangan itu sekarang?”

Kwee An tertawa. “Kedua anak itu baru berusia sepuluh tahun, bagaimana pertunangan mereka harus diresmikan?”

“Maksudku, pertunangan ini disahkan di antara kita, orang-orang tua mereka. Kau tentu menerima pinanganku, bukan?” menegaskan Lin Lin.

“Lin Lin, kau masih saja tidak sabar seperti dulu!” kata Ma Hoa tertawa. “Dulu pernah kita bicarakan hal ini dan sudah saling setuju. Tentu saja, kami setuju sekali dan menerima pinanganmu dengan kedua tangan terbuka. Memang selain putera kalian siapa lagi yang patut menjadi mantu kami?”

Demikianlah, di antara tawa dan sendau gurau, mereka meresmikan pertunangan Hong Beng dan Goat Lan. Dengan amat mudahnya Lin Lin telah lupa kesedihannya kehilangan Lili. Cin Hai yang pendiam tidak dapat melupakan nasib puterinya, akan tetapi tidak tega untuk mengingatkan isterinya mengenai hal yang tidak menyenangkan ini, maka dia diam saja.

Sesudah mengunjungi Kwee Tiong atau Thian Tiong Hosiang, ketua Kuil Ban-hok-tong, kakak tertua dari Lin Lin yang kini menjadi hwesio alim itu, Lin Lin dan Cin Hai segera melanjutkan perjalanannya ke barat. Mereka hanya bermalam satu malam saja di rumah Kwee An. Ma Hoa dan suaminya mengantarkan mereka sampai di luar batas kota dan mereka lalu berpisah.

Cin Hai dan Lin Lin melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat dan sesudah berpisah dari Ma Hoa, seluruh perhatian Lin Lin kembali tercurah kepada puterinya dan timbul lagi kegelisahannya. Perjalanan mereka amat jauh, dan beberapa pekan kemudian setelah melaksanakan perjalanan cepat sekali, barulah mereka tiba di Kansu dan menuju ke kota Lancouw. Pada sepanjang perjalanan mereka teringat akan segala pengalaman mereka yang penuh bahaya pada sepuluh tahun lebih yang lampau pada waktu mereka dengan kawan-kawan lain mengunjungi propinsi ini.

Cin Hai dan Lin Lin lalu masuk ke perkampungan orang Turki di mana dahulu Yousuf tinggal. Orang-orang Turki yang tinggal di sana ternyata masih ingat kepada mereka, karena pada saat mereka masuk ke kampung itu, mereka disambut dengan girang sekali oleh para kawan dari Yousuf itu. Cin Hai segera dihujani pertanyaan mengenai keadaan Yousuf.

Ketika mendengar bahwa bekas pemimpin mereka itu telah tewas dengan keadaan amat menyedihkan, dipenggal kepalanya oleh seorang Turki lain yang brewok, maka sedihlah hati mereka.

“Bouw Hun Ti!” seru seorang di antara mereka yang sudah lanjut usianya. “Tentu Bouw Hun Ti si anjing pengkhianat yang melakukan hal itu.”

Cin Hai dan Lin Lin segera mendesak orang tua itu.

“Sahabat,” kata Cin Hai, “sesungguhnya kami datang dari tempat yang amat jauh, tak lain maksud kami hanyalah hendak menemui saudara-saudara dan minta pertolongan untuk menduga siapa adanya bangsat yang telah membunuh Yo Se Fu dan yang telah berani menculik puteri kami itu. Tadi kami mendengar disebutnya nama Bouw Hun Ti, siapakah gerangan dia itu dan mengapa kalian mengira bahwa dialah yang melakukan perbuatan itu?”

Orang Turki tua itu baru saja datang dari Turki dan ia tahu akan keadaan Bouw Hun Ti, maka dia lalu menceritakan sejelasnya kepada Cin Hai dan Lin Lin. Ketika mendengar bahwa Bouw Hun Ti diutus oleh Pangeran Muda untuk membawa Yousuf dengan paksa ke Turki dan bahwa Bouw Hun Ti adalah putera dari Balutin dan terkenal jahat kejam dan berkepandaian tinggi.

Cin Hai dan Lin Lin tidak ragu-ragu lagi bahwa memang dialah orang yang dicari-carinya. Mereka lalu mengambil keputusan untuk menunggu di Lancouw, menghadang perjalanan Bouw Hun Ti yang tentunya akan pulang ke Turki dengan membawa Lili yang diculiknya, karena menurut keterangan orang-orang Turki itu, Bouw Hun Ti sampai saat itu belum kembali dari timur.

Akan tetapi, setelah menanti dua pekan belum juga kelihatan penculik dan pembunuh itu datang, Cin Hai dan Lin Lin menjadi kecewa dan gelisah bukan main. Betapa pun lambat musuh itu melakukan perjalanan, tidak mungkin akan makan waktu selama itu. Akhirnya Cin Hai dan Lin Lin mengambil keputusan untuk kembali ke timur, mencari musuh yang membawa lari puteri mereka itu.

Kepada orang-orang Turki yang ada di situ mereka minta tolong agar supaya mengamat-amati, jika melihat Bouw Hun Ti dan seorang anak perempuan, agar berusaha merampas anak perempuan itu. Orang-orang Turki itu maklum bahwa Lin Lin adalah anak angkat Yousuf, sehingga dengan demikian anak perempuan yang diculik oleh Bouw Hun Ti itu adalah cucu dari Yousuf, maka tentu saja mereka bersedia untuk membantu suami isteri itu dan menolong Lili. Mereka maklum bahwa di antara mereka tidak seorang pun dapat melawan Bouw Hun Ti yang lihai, akan tetapi dengan akal dan tipu, mereka merasa yakin akan dapat menculik kembali anak itu dari tangan Bouw Hun Ti dan mengantarkannya kepada suami isteri itu.

Maka berangkatlah Cin Hai dan Lin Lin kembali ke timur. Sungguh pun mereka merasa kecewa dan gelisah, akan tetapi ada juga sedikit kegembiraan karena sudah mengetahui nama dan keadaan musuh besar mereka.

Kini mereka kembali ke timur tidak melalui jalan yang mereka lalui ketika mereka menuju ke Lancouw, yakni jalan sebelah selatan, akan tetapi mereka melalui jalan sebelah timur, di sepanjang perbatasan Mongolia Dalam. Mereka mengambil keputusan hendak mampir di tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menengok Hong Beng yang belajar ilmu silat di situ…..

********************

Mo-kai Nyo Tiang Le bersama dua orang anak-anak murid sute-nya, yakni Lili dan Kam Seng, sampai di Gunung Beng-san. Dengan perlahan Nyo Tiang Le mengajak dua orang anak-anak itu mendaki bukit yang indah sambil menikmati pemandangan alam yang luar biasa mengagumkan.

Setelah jatuh ke tangan orang-orang yang bisa ia percaya, Kam Seng kini timbul kembali sifat-sifat aslinya, yaitu pemberani, bersemangat, dan jenaka. Lili merasa suka kepada kawan ini dan ketika mendaki bukit yang indah itu, Lili dan Kam Seng mendahului supek mereka sebab Pengemis Setan ini sebentar-sebentar berhenti untuk menikmati keindahan pemandangan alam.

Lili dan Kam Seng sudah diberi tahu oleh supek ini bahwa tuiuan mereka adalah puncak bukit di sebelah utara itu. Maka mereka tidak sabar menunggu supek mereka yang dapat berdiri diam bagaikan patung sampai lama sekali untuk menikmati tamasya alam.

“Supek benar-benar aneh,” kata Kam Seng sambil tertawa dan napas tersengal karena ia harus mengikuti Lili yang gerakannya lebih gesit dan sangat cepat itu, “apakah indahnya pohon-pohon dan rumput di bawah gunung?”

Lili hanya tersenyum sambil berkata, “Hayo cepat kita naik. Itu di atas banyak kembang merah yang indah!”

Dia lalu melompat ke depan dengan cepat bagaikan seekor anak kijang. Tentu saja Kam Seng tak bisa menyusulnya, dan anak yang sudah terengah-engah akibat telah mendaki bukit itu mencoba untuk mempercepat langkahnya sambil bersungut-sungut,

“Supek aneh, Lili juga aneh. Kembang macam itu saja, apa sih indahnya?”

Memang, Kam Seng yang sejak kecil selalu menderita lahir batin, perasaannya menjadi acuh tak acuh, hingga tak dapat merasai atau menikmati sesuatu yang sedap dipandang. Matanya telah terlampau banyak melihat hal-hal yang menimbulkan rasa sedih dan putus harapan, bahkan dulu ketika ia menderita kelaparan dan kesengsaraan, segala sesuatu yang betapa indah pun nampak buruk dan menjemukan.

Karena Lili berhenti dan mengagumi bunga-bunga yang tumbuh di pinggir jalan kecil itu, maka Kam Seng dapat menyusulnya juga. Lili meraba bunga itu, dan nampaknya girang bukan main. Kedua pipinya bersinar kemerahan, matanya berseri gembira. Ia memetik beberapa tangkai bunga yang terindah, diikat menjadi satu kemudian dibawanya dengan hati-hati dan penuh rasa sayang.

Pada saat itu dari sebuah lereng bukit berlari turun seorang anak laki-laki yang sangat gesit gerakannya. Anak ini berwajah tampan dan gagah sekali. Sepasang alisnya hitam tebal, kelihatan jelas kulit mukanya yang putih kemerahan. Rambutnya juga tebal dan hitam, diikat di atas kepala dengan sehelai pita kuning. Tubuhnya tegap hingga nampak telah hampir dewasa, biar pun usianya sebenarnya baru sebelas tahun kurang. Matanya lebar dan bersinar terang, membayangkan bahwa dia mempunyai watak yang jujur.

Anak laki-laki ini berlari turun dengan muka mengandung kemarahan. Ia melihat ada dua orang anak yang berada di taman bunga itu dan melihat pula seorang anak perempuan memetiki kembang yang menjadi kesayangan gurunya, maka dia menjadi marah sekali.

“Hai! Jangan sembarangan memetik dan merusak kembang!” tegurnya dari jauh sambil berlari cepat menghampiri Lili dan Kam Seng.

Lili dan Kam Seng terkejut, lalu memandang. Kam Seng diam saja karena merasa bahwa jika taman bunga ini kepunyaan seseorang, memang mereka berdua telah berlaku salah. Akan tetapi Lili yang berwatak keras tentu saja tidak mau mengaku salah begitu saja. Ia memutar tubuh menanti kedatangan anak laki-laki itu dan berteriak,

“Turunlah! Apa kau kira aku takut padamu? Kembang indah memang sudah seharusnya dipetik, mengapa kau bilang merusak?”

Anak laki-laki yang berlari turun itu ketika mendengar suara Lili dan setelah berada lebih dekat, berubah menjadi girang sekali dan seketika itu juga lenyaplah kemarahannya.

“Lili...!” serunya girang dan dia mempercepat larinya.

Lili tertegun mendengar suara ini. Tadi ia memang tak dapat melihat jelas, karena senja kala telah mulai tiba dan udara menjadi kurang terang. Kini mendengar suara panggilan itu, dia jadi tertegun dan akhirnya berlari menyambut anak laki-laki itu sambil berseru,

“Hong Beng...!”

Memang semenjak kecil Lili menyebut kakaknya dengan memanggil namanya begitu saja tanpa diberi tambahan kakak atau engko. Biar pun berkali-kali ayah-bundanya menyuruh dia menyebut Hong Beng kakak, akan tetapi anak yang bandel ini tetap saja tak pernah mentaatinya dan tetap menyebut kakaknya Hong Beng saja!

Segera kedua orang anak itu berhadapan dan dengan girang. Hong Beng memegang kedua tangan adiknya.

“Lili... dengan siapa kau datang? Mana Ayah dan Ibu? Dan siapakah Siauwko (Engko Kecil) itu?”

“Aku datang bersama Supek. Ayah dan Ibu tentunya berada di rumah, dan dia ini adalah Kam Seng, anak yatim piatu yang diambil murid oleh Suhu.”

Hong Beng tercengang mendengar keterangan singkat ini. “Ehh, siapakah Supek-mu dan siapa pula Suhu-mu? Mengapa kau meninggalkan rumah?”

Memang seperti telah dituturkan di bagian depan, Hong Beng dibawa oleh ayahnya ke puncak Beng-san untuk berguru kepada Pok Pok Sianjin, seorang tua berilmu tinggi yang menjadi tokoh besar di barat. Pada waktu dia pergi, adiknya berada di rumah dan tidak mempunyai guru karena seperti juga dia sendiri, adiknya pun belajar silat dari ayah dan ibu mereka. Mengapa tiba-tiba saja adiknya itu mempunyai seorang suhu dan supek dan meninggalkan rumah?

Lili hendak menuturkan pengalamannya, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara suling yang amat nyaring dari atas puncak.

“Ah, Suhu sedang berlatih. Mari kau kubawa menghadap Suhu. Kau juga ikutlah Saudara Kam Seng. O ya, mana itu Supek-mu yang kau katakan datang bersamamu?”

“Supek sedang tergila-gila kepada pohon dan kembang, maka tertinggal di belakang.” Lili menerangkan sambil tertawa. Dia telah memungut kembangnya kembali dan memegang kembang itu dengan rasa sayang.

Akan tetapi Hong Beng meminta kembang itu dan berkata, “Lili, Suhu akan marah kalau melihat kembangnya dipetik orang.”

“Mengapa?” tanya Lili dengan heran.

“Menurut penuturan Suhu, kembang juga memiliki semangat seperti orang, maka memetik kembang yang sedang mekar berarti sama dengan membunuh orang muda seperti kita!”

Lili memandang kakaknya dengan mata terbelalak penuh rasa sesal. Akan tetapi sambil tertawa Hong Beng lalu menggandeng tangannya, kemudian mengajaknya berlari naik ke puncak dari mana terdengar suara tiupan suling yang aneh itu.

“Hayo, Kam Seng. Larilah yang cepat!” ajak Lili sambil menoleh ke belakang.

Dan merahlah muka Kam Seng karena mana bisa ia berlari cepat di jalan menanjak yang sukar itu? Terpaksa ia menguatkan kaki dan tubuhnya yang sudah lelah untuk mengikuti mereka, akan tetapi dia tetap tertinggal jauh.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)