PENDEKAR REMAJA : JILID-06


Lili tidak sempat bertanya karena kakaknya menggandeng tangannya dan diajak berlari cepat menuju ke puncak dari mana terdengar suara suling yang makin nyaring menusuk telinga itu.

Ketika mereka tiba di tempat itu, Lili memandang ke depan dengan penuh keheranan. Di atas tanah yang rata nampak dua orang sedang bergerak cepat dan aneh.

Yang satu adalah seorang kakek berambut serta berjenggot putih yang bergerak-gerak sambil meniup suling, sedangkan yang seorang lagi adalah seorang setengah tua yang bergerak menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda menyambar kelinci.

Dengan kedua tangan Lili menutup telinganya karena suara suling yang amat nyaring itu benar-benar membuat telinganya terasa sakit. Ada pun Kam Seng yang datang sambil terengah-engah kelelahan, memandang pula dengan terheran-heran dan melongo, akan tetapi Hong Beng berdiri diam dan matanya memandang tajam ke arah dua orang yang sedang bertempur itu.

Kakek tua itu bukan lain adalah Pok Pok Sianjin sendiri. Memang kelihatannya sangat aneh. Sungguh pun kakek itu meniup suling dengan enaknya dan lagu yang tertiup dari sulingnya terdengar merdu, akan tetapi suara suling itu sangat nyaring dan seakan-akan mengandung tenaga gaib yang mengeluarkan hawa pukulan.

Buktinya, sungguh pun orang yang meloncat-loncat menyerang itu menggunakan seluruh kepandaiannya untuk memukul atau menendang, akan tetapi dia selalu terpental kembali sebelum dapat menyentuh tubuh Pok Pok Sianjin. Hawa yang keluar dari tiupan suling itu mengandung tenaga lweekang dan khikang yang membuatnya tertangkis dan terdorong oleh tenaga yang tidak kelihatan!

“Orang itu adalah seorang jago silat yang mahir ilmu silat Pek-eng Kun-hoat (Ilmu Silat Garuda Putih). Telah beberapa kali ia datang minta berpibu (mengadu ilmu silat) dengan Suhu, akan tetapi Suhu tidak mau meladeninya. Ternyata sekarang dia datang kembali, benar-benar orang tak tahu diri!”

Baru saja Hong Beng berkata demikian, tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dan tahu-tahu tubuh orang yang menyerang Pok Pok Sianjin itu terlempar ke belakang, jatuh bergulingan. Akan tetapi dia cepat melompat bangun kembali dan memandang ke arah orang yang tertawa tadi. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Mo-kai Nyo Tiang Le yang entah kapan sudah berada di tempat itu pula! Tentu saja Lili merasa heran karena tadi supek-nya tertinggal di belakang, mengapa sekarang telah mendahuluinya berada di tempat itu?

Orang yang terguling tadi setelah memandang kepada Mo-kai Nyo Tiang Le, lalu menjura dan berkata, “Mo-kai (Pengemis Setan), aku telah menerima pengajaran darimu, lain kali pasti bertemu pula!” Setelah berkata demikian, dia lalu melompat jauh dan menghilang di bawah gunung!

Nyo Tiang Le bergelak-gelak dan Pok Pok Sianjin lalu menyimpan kembali sulingnya.

“Mo-kai, kau masih saja bertangan jail, pukulanmu Soan-hong-jiu (Pukulan Kitiran Angin) telah membuat dia menjadi gentar dan pergi dengan hati mendendam kepadamu!”

Tadi Nyo Tiang Le memang sudah melancarkan dorongan dari jauh, dan hanya dengan angin pukulannya saja telah berhasil mendorong orang tadi hingga roboh, sungguh dapat dibayangkan betapa hebatnya kepandaian Pengemis Setan ini! Ia tersenyum dan berkata sambil menghela napas,

“Pok Pok Sianjin, kenapa kau suka melayani segala macam orang seperti dia? Bukankah dia adalah sute dari Ban Sai Cinjin? Aku pernah melihat orang tadi, karena itu aku berani mendorongnya agar dia jangan mengganggu kau orang tua lebih lanjut.”

Pok Pok Sianjin mengangguk-angguk, “Memang, dia adalah adik seperguruan Ban Sai Cinjin dan namanya Lu Tong Kui. Ia menjagoi di Lok-yang dan telah beberapa hari ini ia merengek-rengek dan mendesak untuk mengadakan pibu. Tentu saja aku menolaknya, akan tetapi ia mendesak terus dan menyatakan bahwa jauh-jauh dari Lok-yang ia datang untuk menguji kepandaianku. Aku tidak tega maka terpaksa melayaninya bermain-main sebentar.”

Nyo Tiang Le kembali tertawa, kini makin keras. “Ha-ha-ha, kau orang tua benar-benar keterlaluan! Kau bilang tidak tega akan tetapi kau telah mainkan Seng-im-khikang. Kalau aku tidak buru-buru mendorongnya roboh dengan Soan-hong-jiu, apakah dia tidak akan menderita luka-luka hebat di dalam tubuhnya akibat kena serangan hawa dari sulingmu? Ha-ha-ha!”

Pok Pok Sianjin juga tertawa. “Apa kau kira aku sekejam itu? Aku baru mempergunakan Seng-im Khikang setelah yakin bahwa dia cukup kuat untuk menghadapi itu! Ehh, Setan Tua, kau baik sekali. Telah lama aku merasa rindu padamu, apakah kau datang hendak menantangku main catur?”

Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. “Asal bertaruh minum arak baik, siapa takut akan kepandaian caturmu?”

Pada saat itu, Hong Beng menarik lengan tangan adiknya dan diajak berlutut di hadapan Pok Pok Sianjin. “Suhu, ini adalah adik teecu yang bernama Lili!”

Pok Pok Sianjin memandang kepada Lili, mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian berkata, “Seperti ibunya... seperti ibunya...!”

Sementara itu, Nyo Tiang Le memandang kepada Hong Beng dan berkata, “Inikah putera Pendekar Bodoh? Pantas sekali! Jadi kau orang tua sudah menerima kehormatan untuk mendidik putera Pendekar Bodoh? Satu kehormatan besar dan kau beruntung sekali Pok Pok Sianjin!”

Mendengar ini, Hong Beng cepat membantah, “Bukan Suhu yang mendapat kehormatan besar dan keberuntungan, Locianpwe, akan tetapi adalah teecu yang mendapat karunia besar!”

Nyo Tiang Le mengangkat alisnya dengan heran dan kemudian tertawa dengan senang. “Anak ini pandai membawa diri seperti ayahnya!”

Pengemis Setan itu menuturkan kepada Pok Pok Sianjin tentang pertemuannya dengan sute-nya Lo Sian dan menceritakan pula pengalaman Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti. “Kini sute-ku sedang menuju ke timur untuk memberi kabar kepada Pendekar Bodoh. Sementara itu, aku akan menanti di sini dan melatih anak ini, sambil menanti datangnya orang tuanya yang tentu akan menjemputnya.”

Bukan main girangnya hati Hong Beng mendengar bahwa adiknya akan tinggal di sana untuk beberapa lama dan ayah ibunya akan datang pula ke sana. Ketika Nyo Tiang Le menceritakan pula mengenai riwayat Kam Seng, Pok Pok Sianjin merasa kasihan juga. “Biar pun bakatnya kurang, namun ia cocok menjadi murid Sute-ku,” kata Nyo Tiang Le.

Kemudian dua orang tua itu lalu masuk ke dalam pondok dan bermain catur, sedangkan Hong Beng bersama Lili dan Kam Seng lalu bermain-main di sekitar puncak Beng-san itu. Kam Seng merasa kagum dan tunduk kepada Hong Beng yang selain berkepandaian tinggi juga amat ramah kepadanya.

Sejak hari itu juga, Lili tinggal di puncak Beng-san dan mendapat latihan ilmu silat dari Nyo Tiang Le. Dasar otaknya terang dan dia memang sudah memiliki dasar kepandaian yang diajarkan oleh ayah ibunya semenjak dia masih kecil, maka sebentar saja dia telah mendapat kemajuan yang amat cepat.

Juga Kam Seng mulai menerima latihan-latihan atas petunjuk Lili dan Hong Beng, karena Nyo Tiang Le hanya memberi petunjuk-petunjuk teorinya saja sehingga anak yatim piatu itu berlatih di bawah pengawasan Hong Beng dan Lili!

Hong Beng sendiri dengan amat tekun dan rajinnya mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, terutama sekali ilmu silat tongkat yang sudah menjadi keahlian Pok Pok Sianjin dan sudah menjunjung tinggi namanya sebagai ahli silat kelas satu dan tokoh terbesar dari dunia persilatan sebelah barat!

Oleh karena mendapat didikan ilmu silat dari seorang ahli, dan pula karena kini tinggal bersama kakaknya, Lili sampai lupa bahwa ayah ibunya yang ditunggu-tunggu ternyata belum juga datang, biar pun dia telah berada di atas puncak Beng-san sampai berbulan lamanya!

Kenapa sampai demikian lama Cin Hai dan Lin Lin tidak menyusul anaknya di Beng-san, padahal sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, pasangan suami isteri pendekar ini dalam perjalanannya kembali dari Kansu, hendak mampir dulu dan menengok putera mereka di puncak bukit itu?

Sesungguhnya, Pendekar Bodoh dan isterinya sudah menemui peristiwa yang hebat dan yang membuat mereka belum juga tiba di Beng-san…..

********************

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin telah mendapat keterangan dari orang-orang Turki kawan-kawan mendiang Yousuf, bahwa menurut dugaan mereka, tidak salah lagi pembunuh Yousuf dan penculik Lili adalah seorang peranakan Tionghoa Turki yang bernama Bouw Hun Ti. Maka mereka lalu kembali ke timur, mengambil jalan sebelah utara di sepanjang tapal batas Propinsi Kansu dengan Mongolia Dalam. Mereka mengambil keputusan untuk sekalian mampir di Beng-san dan menengok putera mereka yang berlatih silat di bawah pimpinan Pok Pok Sianjin.

Puncak Beng-san terletak di Pegunungan Lu-liang-san yang panjang, maka bila mereka mengambil jalan di utara, mereka akan melewati Lu-liang-san.

Pada suatu hari mereka tiba di sebuah kota yang bernama Po-kwan, dan kota ini berada di tapal batas Mongolia Dalam, di lembah Sungai Huang-ho yang saat itu belum begitu besar airnya. Kota Po-kwan cukup ramai dan suami isteri ini di samping melihat-lihat kota yang belum pernah dikunjunginya ini, juga mereka bertanya-tanya kalau-kalau ada Bouw Hun Ti di daerah itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun melihat orang she Bouw yang dicari-carinya itu.

Karena itu dua hari kemudian, Cin Hai dan Lin Lin keluar dari kota Po-kwan dan hendak melanjutkan perjalanan menuju ke Pegunungan Lu-liang-san melalui Sungai Huang-ho. Tetapi, baru saja mereka keluar dari kota Po-kwan, mereka bertemu dengan orang-orang yang tak pernah mereka sangka-sangka akan bertemu di situ.

Mereka sedang berjalan keluar dari kota untuk menuju ke sungai yang berada di sebelah timur kota, dan mendadak dari sebuah tikungan mereka melihat seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun berjalan cepat sekali di depan mereka. Lin Lin memandang tajam, karena dari belakang dia serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi baru saja dia hendak bertanya kepada suaminya, Cin Hai telah mendahuluinya dan berseru girang,

“Lie-suheng…!”

Laki-laki itu terkejut mendengar seruan ini, lantas segera menghentikan tindakan kakinya dan cepat membalikkan tubuh. Wajahnya nampak tua dan muram sekali, sungguh pun ia masih kelihatan tampan dan gagah. Kumisnya sudah mulai putih tak terurus sedangkan jenggotnya juga panjang tak terpelihara. Pakaiannya tidak karuan, bahkan ada beberapa bagian yang sudah robek-robek didiamkannya saja.

Akan tetapi ketika melihat Cin Hai dan Lin Lin, untuk sekejap matanya bersinar-sinar, dan Cin Hai beserta isterinya yang cepat berlari menghampiri orang itu hanya melihat betapa kegembiraan itu berlangsung sebentar saja. Orang itu segera menundukkan muka dan menjadi muram kembali, seakan-akan merasakan kesedihan yang luar biasa besarnya.

“Sie-sute, kaukah ini? Dari manakah kau dan Sumoi, kau juga baik-baik saja, bukan?” Suaranya rata dan tidak berirama, tanda bahwa dia sedang menderita kesedihan besar sekali.

Cin Hai segera memegang tangan orang itu setelah memberi hormat. “Lie-suheng, kau kenapakah?”

“Lie-suheng, agaknya kau amat bersedih. Dimanakah Enci Im Giok?” tanya pula Lin Lin.

Orang itu memandang kepada mereka ganti berganti, kemudian tiba-tiba dari sepasang matanya keluarlah air mata yang lalu membanjir turun membasahi kedua pipinya. Bukan main kagetnya Cin Hai dan Lin Lin melihat keadaan orang itu. Cin Hai segera menariknya dan mengajaknya duduk di bawah pohon di pinggir jalan dan segera mendesak kepada orang itu untuk menceritakan apakah sebenarnya yang menyusahkan hatinya.

Siapakah orang ini? Para pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa orang ini bukan lain adalah Lie Kong Sian, murid mendiang Bu Pun Su, guru Cin Hai dan Lin Lin. Karena ada hubungan perguruan ini, maka Lie Kong Sian masih terhitung suheng (kakak seperguruan) dari Cin Hai dan Lin Lin.

Dalam cerita Pendekar Bodoh dikisahkan bahwa Lie Kong Sian ini telah berjodoh dengan seorang pendekar wanita baju merah yang amat lihai dan yang bernama Kiang Im Giok atau lebih terkenal lagi dengan nama julukannya, Ang I Niocu (Nona Baju Merah). Lie Kong Sian tinggal bersama isterinya di sebuah pulau, yaitu Pulau Pek-lek-to yang terletak di dekat pantai laut Tiongkok sebelah timur.

Sejak Lie Kong Sian bersama isterinya mengunjungi Cin Hai dan Lin Lin untuk datang menyaksikan upacara pernikahan kedua adik seperguruannya itu, hingga kini baru sekali mereka saling bertemu. Hal itu terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yaitu baru saja setahun mereka saling berpisah. Akan tetapi semenjak itu, mereka tak pernah saling bertemu kembali. Bahkan ketika Cin Hai dan Lin Lin mengunjungi Pulau Pek-le-to pada lima tahun yang lalu sambil mengajak kedua anak mereka, pulau itu ternyata kosong dan tidak diketahui ke mana perginya Lie Kong Sian dan isterinya.

Supaya lebih jelas bagi para pembaca yang belum membaca buku Pendekar Bodoh, baiknya diterangkan kembali bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita yang luar biasa cantiknya, dan boleh disamakan dengan kecantikan seorang bidadari dari kahyangan. Dalam usia tiga puluh tahun lebih, yaitu pada saat ia menikah dengan Lie Kong Sian, ia masih nampak cantik jelita dan muda bagaii seorang dara berusia tujuh belas tahun saja.

Hal ini bukan saja memang pada dasarnya dia cantik jelita, akan tetapi sebagian besar adalah karena pengaruh semacam telur mukjijat, yakni telur Pek-tiauw (Rajawali Putih). Nona Baju Merah ini sangat sayang akan kecantikannya dan untuk menjaga ini dia tidak segan-segan untuk mencari telur burung rajawali putih yang amat sukar didapatkannya. Karena khasiat telur inilah, maka ia selalu nampak cantik dan muda selalu.

Kecantikannya ini ditambah lagi dengan keahliannya bermain silat yang luar biasa, yaitu ilmu sliat yang disebut juga Ilmu Silat Tarian Bidadari, sehingga kalau ia sudah mainkan ilmu pedangnya dengan ilmu silat ini, maka ia benar-benar merupakan seorang bidadari yang sedang menari dengan indahnya!

Tidak heran bahwa banyak sekali hati pemuda-pemuda runtuh karena kecantikannya ini, bahkan Cin Hai sendiri pernah tergila-gila kepada Ang I Niocu. Akan tetapi Ang I Niocu mempunyai watak yang amat keras dan angkuh. Semua pinangan pemuda-pemuda yang gagah dan tampan itu ditolaknya belaka, bahkan pemuda-pemuda itu diejeknya sehingga banyak yang patah hati.

Pada akhirnya ia bertemu dengan Lie Kong Sian yang menjatuhkan hatinya karena budi kebaikan pemuda ini dan pula karena pemuda ini memiliki ilmu silat tinggi yang sanggup mengalahkannya. Akhirnya mereka menikah dan hidup penuh kebahagiaan di atas Pulau Pek-lek-to yang merupakan sorga bagi mereka. Pulau ini sangat subur dan juga indah sekali pemandangannya.

Dua tahun setelah mereka menikah, Ang I Niocu mengandung. Semenjak mengandung, pendekar wanita ini merasa tubuhnya tidak enak sekali dan sifatnya yang keras itu kini timbul kembali, bahkan semakin menghebat. Sering kali dia marah-marah besar kepada suaminya hanya karena urusan kecil saja.

Akan tetapi Lie Kong Sian yang amat mencinta isterinya dan sangat sabar itu, mampu menghiburnya dan selalu mengalah dalam segala hal. Akhirnya terlahirlah seorang bayi laki-laki dan keduanya merasa amat berbahagia kembali. Bersama dengan kelahiran itu lenyaplah semua sifat pemarah, akan tetapi tubuh pendekar wanita itu masih saja sering kali merasa tidak enak sekali dan kepalanya pening.

Perubahan besar nampak terjadi pada dirinya, biar pun terjadinya secara sangat lambat dan perlahan. Akan tetapi tiga tahun kemudian, perubahan ini sudah menjadi sedemikian hebatnya. Rambut Ang I Niocu yang tadinya hitam dan panjang berombak itu lambat laun menjadi putih dan penuh uban! Kulit mukanya yang tadinya halus dan kemerah-merahan itu lambat laun menjadi keriputan dan menghitam!

Kini melihat kecantikannya melenyap dengan perlahan akan tetapi tentu, seperti penyakit yang memakan habis kecantikannya itu sekerat demi sekerat, bukan main penderitaan batin yang dirasakannya sehingga hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali ia melihat wajahnya pada bayangannya di dalam air, ia menangis tersedu-sedu dengan hati hancur.

Lie Kong Sian berdaya upaya menghiburnya, juga mengobatinya, akan tetapi semuanya percuma belaka.

“Isteriku…,” katanya menghibur pada saat isterinya menangis tersedu-sedu sambil terus menarik-narik rambutnya yang telah menjadi putih hingga banyak yang terlepas dari kulit kepalanya, “betapa pun juga, dan apa pun yang akan terjadi dengan kau, aku akan tetap mencintamu dengan tulus ikhlas dan suci. Jangan kau bersedih, isteriku...”

Akan tetapi kata-kata ini bahkan makin menghancurkan hati Ang I Niocu. Dengan suara terputus-putus dia berkata, “Ahh... bagaimanakah ini...? Mengapa Thian mengutuk diriku begini hebat...? Aku baru berusia hampir empat puluh, mengapa rambutku sudah putih semua, kulitku menjadi rusak seperti ini? Mana kecantikanku yang dulu...? Ah, aku malu, aku malu...!” Ia lalu menangis dengan amat sedihnya.

“Im Giok, jangan kau berkata demikian. Kecantikan hanyalah keindahan lahir belaka dan kau tahu bahwa cintaku kepadamu bukan hanya berdasarkan kecantikanmu.” Akan tetapi segala macam hiburan tak dapat memuaskan hati Ang I Niocu.

Ia dan suaminya maklum bahwa kecantikannya yang dipengaruhi oleh obat telur rajawali putih itu memang mempunyai batas dan syarat yang amat berat. Syarat itu ialah apa bila seorang yang menjadi cantik karena telur itu melahirkan seorang anak, maka kecantikan itu tidak saja akan lenyap, bahkan usianya akan bertambah dengan cepat dan berlipat ganda, sehingga dalam usia empat puluh tahun, ia menjadi seorang yang usianya hampir delapan puluh tahun!

Akhirnya, setelah tersiksa oleh kesedihan sendiri sampai hampir gila, pada suatu pagi Lie Kong Sian mendapatkan isterinya sudah minggat dari pulau itu mempergunakan sebuah sampan dan membawa serta anaknya!

Suamiku yang baik,’ demikian bunyi surat yang ditinggalkan oleh Ang I Niocu untuk Lie Kong Siang ‘ampunilah dosaku yang amat besar kepadamu. Aku tidak kuat lagi menahan derita sehebat ini, maka lebih baik aku keluar dari kehidupanmu, agar aku tidak menyeret kau yang berbudi ke dalam jurang kehinaan. Biarlah aku pergi mengasingkan diri. Anak kita kubawa dan sisa hidupku akan kugunakan untuk mendidik dan menurunkan ilmu silat kepadanya agar dia menjadi seorang yang berbudi dan gagah. Selamat tinggal suamiku! Kalau aku sudah mati, anak kita tentu akan mencari ayahnya untuk berbakti!

Bukan main terkejutnya hati Lie Kong Sian membaca surat peninggalan isterinya yang tercinta itu. Dia cepat menyusul dan mengejar, akan tetapi karena air tak meninggalkan jejak isterinya, dia lalu mengejar ke lain jurusan, akan tetapi tetap tak dapat menemukan isteri dan anaknya. Ketika itu anaknya baru berusia tiga tahun lebih.

Hancurlah kehidupan Lie Kong Sian. Dunia terasa kosong dan hidup terasa merupakan penderitaan dalam neraka. Ia kemudian merantau dan mencari-cari jejak isterinya hingga bertahun-tahun.

Kalau dulu ia merupakan seorang yang amat tampan dan biar pun sederhana akan tetapi selalu berpakaian pantas, sekarang dia telah berubah sama sekali. Dia menjadi seorang pendiam, bahkan kadang kala bagaikan orang gila. Demikianlah keadaan Lie Kong Sian yang secara kebetulan berjumpa dengan Cin Hai dan Lin Lin.

Tadinya Lie Kong Sian merasa segan untuk menceritakan penderitaannya ini, tapi karena di dunia ini tidak ada orang lain yang lebih pantas mendengar tentang penderitaannya itu kecuali Cin Hai, ia lalu menceritakan semua itu sambil bercucuran air mata.

Cin Hai dan Lin Lin merasa terharu sekali mendengar hal ini. Dengan air mata berlinang Cin Hai menegur suheng-nya, “Suheng, ada terjadi hal seperti itu, mengapa Suheng tidak cepat-cepat datang ke Shaning dan memberi tahu kepada kami supaya kami dapat ikut mencari ke mana perginya Ang I Niocu?”

Di dalam lubuk hatinya, Cin Hai merasa amat sayang dan mencinta Ang I Niocu, walau pun cintanya itu sudah berubah menjadi cinta seorang adik kepada kakaknya, atau lebih dari itu hampir seperti cinta seorang anak kepada ibunya.

Lin Lin merasa lebih terharu lagi. Dia sangat mencinta Ang I Niocu yang dahulu pernah membelanya tanpa mempedulikan keselamatan jiwa sendiri. Maka kini mendengar mala petaka yang menimpa diri Ang I Niocu, dia kemudian menangis terisak-isak tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikit pun!

Setelah puas menangis dan menumpahkan rasa sedih di dalam dada di tempat mereka bertemu itu, Lie Kong Sian lalu bertanya mengapa kedua suami isteri itu bisa berada di tempat itu.

Cin Hai lalu menuturkan tentang penculikan atas diri Lili puteri mereka dan pembunuhan yang dilakukan oleh Bouw Hun Ti kepada Yousuf.

Mendengar ini, bukan main marahnya Lie Kong Sian dan sambil menghela napas berat ia berkata, “Ah, mengapa selalu orang-orang yang tak berdosa menerima siksaan hidup? Kenapa bahkan orang-orang yang selalu menjunjung kebaikan dan keadilan yang harus menderita banyak susah?”

“Suheng, biarlah aku dan isteriku membantu usahamu mencari tempat persembunyian Niocu dan anakmu, dan aku akan membujuknya agar suka kembali kepadamu.”

Lie Kong Sian menghela napas. “Agaknya sulit sekali. Selain ia pandai menyembunyikan diri, juga hatinya amat keras dan sekali dia sudah mengambil keputusan, sukarlah untuk mengubahnya. Akan tetapi, biarlah kita mengambil jalan masing-masing, Sute. Kau boleh membantuku mencari isteriku, dan kau percayalah, apa bila sampai aku bertemu dengan orang she Bouw itu, pasti akan kubalaskan sakit hati Yo-pekhu dan kurampas kembali puterimu.”

Cin Hai yang maklum akan adat dan sifat Ang I Niocu yang keras, diam-diam merasa bahwa apa bila dia yang membujuk, agaknya masih ada harapan, akan tetapi terhadap Lie Kong Sian dia diam saja.

Mereka lalu berpisah dan suami isteri itu memandang Lie Kong Sian yang berjalan pergi dengan muka tertunduk itu. Bukan main terharu hati mereka dan Lin Lin menggunakan sapu tangan untuk menahan isaknya ketika dia melihat suheng-nya itu berjalan bagaikan mayat hidup, lemah tak bertenaga dan limbung.

“Kasihan sekali Suheng...,” kata Cin Hai sambil menghapus air mata yang berlinang pada pelupuk matanya.

Karena Cin Hai pernah mengadakan perjalanan di daerah utara bersama Ang I Niocu, yaitu pada waktu terjadi perebutan Pulau Emas antara kerajaan pihak Turki dan pihak Mongol, maka Cin Hai mendapat dugaan bahwa Ang I Niocu tentu menyembunyikan diri di Pegunungan Im-san atau Gobi-san di utara.

Oleh karena itu, ia menunda maksudnya menuju ke Beng-san menengok puterinya dan sebaliknya dia bersama isterinya segera membelok ke utara dan mencari Ang I Niocu di daerah Mongol! Inilah sebabnya maka sampai berbulan-bulan ia dan isterinya belum juga tiba di Beng-san di mana Lili dengan aman sudah belajar silat di bawah asuhan Mo-kai Nyo Tiang Le si Pengemis Setan yang lihai…..

********************

Lo Sian Sin-kai atau Si Pengemis Sakti dengan cepat melakukan perjalanan seorang diri menuju ke Shaning di Propinsi An-hui untuk mencari Cin Hai dan mengabarkan tentang Lili yang kini berada di puncak Gunung Beng-san. Seperti biasanya tiap kali mengadakan perantauan, Pengemis Sakti ini tiada hentinya mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada orang-orang yang melarat dan tertindas hingga namanya makin terkenal sebagai seorang pendekar budiman.

Setelah tiba di Shaning, dengan amat mudahnya ia mendapatkan rumah Ciri Hai. Siapa orangnya di Shaning yang tidak mengenal nama Pendekar Bodoh? Akan tetapi, alangkah kecewa dan kagetnya pada saat melihat bahwa rumah dari Pendekar Bodoh itu tertutup, bahkan masih ada kain putih tergantung di depan pintu, tanda bahwa rumah itu belum lama ini menderita kematian seorang keluarga dekat.

Lo Sian segera mencari keterangan kepada orang-orang di situ dan bukan main marah serta kecewanya ketika mendengar bahwa ayah angkat Nyonya Sie sudah terbunuh oleh seorang peranakan Turki, dan bahwa di samping melakukan pembunuhan yang kejam, penjahat itu pun menculik puteri dari Pendekar Bodoh.

Sampai lama Lo Sian tertegun mendengar ini. Tak disangkanya bahwa orang brewok yang menculik Lili bahkan telah membunuh pula ayah angkat dari ibu anak itu!

“Bangsat besar Bouw Hun Ti,” bisiknya gemas sambil mengertakkan gigi, “benar-benar kau mencari mampus berani memusuhi keluarga Pendekar Bodoh!”

Lo Sian lalu bertanya kepada orang yang memberi keterangan kepadanya ke mana perginya Pendekar Bodoh dan isterinya. Ketika mendapat jawaban bahwa kedua suami isteri pendekar itu pergi mengejar dan mencari si penculik dan pembunuh, Lo Sian lalu cepat-cepat meninggalkan kota Shaning setelah memberi sesampul surat pada tetangga dekat rumah Cin Hal itu dengan pesanan bahwa apa bila pendekar besar itu pulang, agar supaya suratnya itu diberikan kepadanya.

Dalam surat itu ia menulis bahwa Lili telah tertolong dan kini berada di puncak Beng-san bersama Mo-kai Nyo Tiang Le yang hendak mengunjungi Pok Pok Sianjin. Kemudian dia lalu pergi keluar dari kota dan menuju ke Bukit Beng-san untuk memberi laporan kepada suheng-nya, dan juga untuk melanjutkan melatih dua orang muridnya, yaitu Lili dan Kam Seng.

Tentu saja ia tidak berani lagi menganggap Lili sebagai muridnya, karena setelah kedua orang tua anak itu menjemput dan membawanya pulang, sudah tentu jauh lebih baik bila Lili mendapat pelajaran dari ayah ibunya sendiri yang mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya.

Pada suatu hari, dalam perjalanannya menuju ke Beng-san, dia tiba di kota Li-coan dan ketika dia lewat di depan sebuah rumah makan, bau arak yang sangat sedap menarik hatinya dan menimbulkan seleranya yang amat kuat akan arak wangi. Dia lalu masuk ke dalam rumah makan itu dan memesan seguci arak yang paling baik. Pada pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, ia lalu memperlihatkan sepotong uang emas yang kiranya cukup untuk membayar harga lima guci arak!

Pelayan itu memandang dengan mata terbelalak dan sambil pergi untuk mengambilkan arak pesanan Lo Sian, ia menggerutu, “Sungguh aneh sekali dunia ini! Aku yang bekerja keras siang malam tanpa kenal lelah, belum pernah mempunyai sekeping emas murni! Akan tetapi, hari ini aku melihat seorang setengah gila mempunyai banyak uang emas dan seorang pengemis berbaju tambalan memperlihatkan sepotong emas besar! Aneh, aneh... dunia memang tidak adil!”

Lo Sian tersenyum seorang diri. Biar pun pelayan itu bicara dengan perlahan akan tetapi telinga Lo Sian yang tajam dapat mendengar ucapan ini dan diam-diam ia membenarkan keluh kesah pelayan itu.

Memang kalau dipikir-pikir sungguh mengherankan. Orang-orang yang bekerja, semakin berat pekerjaannya, makin kecillah penghasilannya. Lihat saja para pembesar tinggi yang kerjanya hanyalah naik turun kereta, naik turun kursi kebesaran, di mana-mana menjual lagak, membentak-bentak rakyat dan cukup memberi cap kebesarannya saja, hidupnya mewah dan penghasilannya berlebihan sungguh pun penghasilannya itu didapat dengan jalan yang tidak halal!

Pada waktu pelayan itu datang mengantar arak yang dipesannya, tiba-tiba saja terdengar suara dari sudut ruang rumah makan itu yang membentak si pelayan.

“Hai, kau boleh menggerutu seorang diri, akan tetapi, jangan kau bawa-bawa aku pula! Aku mempunyai banyak emas bukan dengan jalan mencuri atau pun merampok, karena itu tutuplah mulutmu!”

Lo Sian terkejut. Orang itu duduknya cukup jauh dari tempat pelayan tadi menggerutu, maka kalau orang dapat mendengar gerutuan si pelayan, dapat diduga bahwa orang itu memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya! Ia menengok dan memperhatikan orang itu.

Ternyata bahwa orang itu bertubuh tegap, berwajah gagah sekali dan sepasang matanya berpengaruh, membuat orang tak berani bertemu pandang terlalu lama dengan dia. Akan tetapi, keadaannya memang patut disebut kurang beres ingatan sebab selain pakaiannya tidak karuan macamnya, juga orang itu membiarkan rambut kepalanya bergantungan di depan matanya. Kumis dan jenggotnya juga menjungat ke sana kemari tanpa terpelihara sedikit pun juga dan wajahnya muram dan gelap.

Orang ini juga telah memesan arak wangi serta meminumnya tidak melalui cawan seperti orang biasa, melainkan menenggaknya langsung dari mulut guci yang besar! Bahkan di atas mejanya telah ada sebuah guci yang kosong sedangkan guci ke dua telah diminum setengahnya.

Sekali pandang saja, tahulah Lo Sian bahwa orang itu tentu seorang yang pandai, akan tetapi ia belum pernah melihat orang ini sungguh pun pengalaman Lo Sian cukup banyak di dunia kang-ouw. Ia tidak tahu apakah orang ini termasuk golongan pendekar perantau seperti dia sendiri ataukah dia termasuk tokoh dari golongan hek-to (golongan hitam dan penjahat), maka ia tidak berani sembarangan menegur dan berkenalan.

Melihat pula sikap yang keras dan pemarah dari orang itu dan wajahnya yang muram, Lo Sian mengira bahwa orang itu tentulah seorang tokoh liok-lim (jagoan rimba hijau) yang ganas dan kejam. Maka sesudah menghabiskan araknya, dia lalu membayar dan hendak keluar dari rumah makan itu.

Akan tetapi, baru saja ia berdiri dan hendak keluar, tiba-tiba ia menjadi pucat karena dari luar masuk dua orang yang bukan lain adalah Bouw Hun Ti serta seorang setengah tua yang memakai ikat kepala lebar! Sebaliknya, pada saat Bouw Hun Ti melihat Lo Sian, ia tertawa bergelak dan berkata kepada kawannya itu,

“Ha-ha-ha-ha, Susiok. Lihatlah, dicari ke ujung langit tak bersua, jika tidak dicari si anjing she Lo menyerahkan diri!”

Sementara itu, Lo Sian maklum bahwa orang she Bouw tentu takkan melepaskannya dan terpaksa dia harus melawan mati-matian, maka ia lalu mencabut pedangnya dan berkata,

“Bouw Hun Ti, kau manusia kejam dan hina-dina! Baru sekarang aku tahu bahwa selain menculik puteri Pendekar Bodoh secara amat pengecut, kau pun telah membunuh Yousuf dengan kejam dan tak kenal malu!”

“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel! Bagaimana orang macam kau dapat mengatakan bahwa aku pengecut dan tidak kenal malu? Coba terangkan, apa sebabnya kau berani berkata demikian.”

“Hemm, kau melakukan kekejaman itu pada waktu Pendekar Bodoh dan isterinya tidak berada di rumah! Apakah itu boleh disebut kelakuan seorang yang gagah? Kau memang pengecut!”

Merahlah wajah Bouw Hun Ti dan dengan amat marah ia membentak,

“Manusia jembel yang akan mampus! Kau telah merampas anak perempuan itu dengan cara yang lebih pengecut lagi. Tempo hari kalau kau tidak mengandalkan bantuan Mo-kai Nyo Tiang Le suheng-mu yang gila itu, kau telah mampus di tanganku! Nah, bersedialah untuk mampus!”

Sambil berkata demikian, Bouw Hun Ti mencabut goloknya dan bagaikan seekor harimau kelaparan dia menyerang dengan hebat sambil menendang meja yang menghadang di depannya sehingga meja itu terbang dan menimpa meja-meja lain.

Lo Sian berlaku waspada dan cepat menangkis, sehingga sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat sambil menendang meja bangku untuk mencari ruang luas. Kali ini Lo Sian berlaku hati-hati sekali. Ia tahu bahwa kepandaian orang she Bouw ini lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri dan bahwa akhirnya dia takkan dapat menang apa bila pertempuran itu dilanjutkan.

Apa lagi menurut pendengarannya tadi, Bouw Hun Ti menyebut susiok (paman guru) kepada orang yang berikat kepala lebar itu, maka dapat dibayangkan pula betapa tinggi kepandaian orang itu. Jalan keluar sudah tidak ada, maka tiada lain jalan bagi Lo Sian melainkan melawan mati-matian dan tak akan menyerah kalah begitu saja.

“He, pengemis jembel!” tiba-tiba orang yang disebut susiok oleh Bouw Hun Ti itu berkata. “Katakan saja di mana adanya anak yang kau culik itu. Bouw Hun Ti, biar dia memberi pengakuan, baru kita ampunkan jiwa anjingnya!”

Akan tetapi, sebagai seorang gagah, tentu saja Lo Sian tidak sudi bersikap lemah. Lebih baik mati dari pada menyerah dan membuat pengakuan yang berarti merendahkan nama kehormatan sendiri, demikianlah pendirian tiap orang gagah.

“Keparat!” serunya sambil menangkis serangan golok Bouw Hun Ti yang menyambar cepat. “Apa bila hendak mengeroyok, majulah saja. Aku Sin-kai Lo Sian bukanlah orang yang takut mati!”

“Bedebah!” kawan Bouw Hun Ti itu berseru marah, “Hun Ti, jangan memberi hati kepada manusia rendah ini!” Sambil berkata demikian, ia pun melangkah maju hendak mengirim serangan dengan tangan kosong.

Akan tetapi, pada saat itu, dari ujung ruangan itu menyambar sebatang tali sutera hitam yang meluncur bagaikan seekor ular hidup dan tahu-tahu golok Bouw Hun Ti kena dilibat oleh tali itu. Pada saat tali itu dibetot keras, Bouw Hun Ti berteriak kaget karena tenaga betotan tali itu luar biasa sekali kuatnya sehingga terpaksa ia melepaskan goloknya!

Pada saat itu, susiok dari Bouw Hun Ti yang bukan lain adalah Lu Tong Kui atau sute Ban Sai Cinjin yang pernah menyerbu ke Beng-san untuk mencoba kepandaian Pok Pok Sianjin kemudian dikalahkan oleh Nyo Tiang Le, sudah melepaskan pukulan ke arah Lo Sian. Sungguh pun pukulan itu dilakukan dari tempat yang jauhnya lebih dari setombak, akan tetapi Lo Sian sampai terhuyung ke belakang, terdorong oleh sambaran angin yang luar biasa kuatnya! Lo Sian terkejut sekali dan cepat mengerahkan tenaga pada kedua kakinya untuk menahan keseimbangan tubuhnya.

Melihat betapa golok Bouw Hun Ti dapat terlepas dengan amat mudah oleh tali sutera yang kecil, Lu Tong Kui menjadi terkejut dan juga marah. Ia cepat-cepat menengok dan ternyata yang melepas tali sutera itu adalah seorang yang pakaiannya tidak karuan dan yang kini telah berdiri dengan mata memancarkan cahaya berapi. Ada pun Lo Sian yang melihat penolongnya, juga menjadi terkejut dan girang pula karena yang menolongnya itu adalah orang yang disangka gila tadi!

“Bouw Hun Ti!” terdengar orang itu berkata, suaranya tenang akan tetapi seperti juga pandang matanya, suara itu sangat berpengaruh, “kebetulan sekali kita bertemu di sini. Memang aku sedang mencari-cari kau dan hendak membunuhmu!”

Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan tangan kanannya dan sutera hitam yang panjang itu meluncur bagaikan cambuk dan mengirim serangan totokan hebat ke arah jalan darah di leher Bouw Hun Ti. Orang she Bouw ini cepat mengelak, akan tetapi bagaikan bermata dan hidup, ujung sutera hitam itu meluncur dan mengejar dan masih saja mengancam jalan darahnya.

Bouw Hun Ti menjadi pucat, terpaksa menangkis dengan tangannya dan ia pun berteriak kaget ketika merasa betapa tangannya seakan-akan beradu dengan mata pedang yang taiam. Ia cepat menarik kembali tangannya dan sutera hitam itu meluncur terus ke arah lehernya!

Pada saat yang amat berbahaya bagi Bouw Hun Ti itu, Lu Tong Kui tidak tinggal diam. Ia berseru keras dan sambil mencabut pedangnya ia lalu melompat dan membabat ke arah sutera hitam itu.

Sutera hitam itu bergerak mengelak dan tidak sampai terbabat oleh pedangnya, namun Bouw Hun Ti terbebas dari bahaya maut. Sesungguhnya kalau sampai sutera hitam itu menotok jalan darah pada lehernya, maka lehernya akan pecah dan ia akan binasa pada saat itu juga!

“Eh, sahabat, siapakah kau? Mengapa kau memusuhi Bouw Hun Ti?” tanya Lo Tong Kui sambil melintangkan pedangnya pada dada.

Orang itu tersenyum mengejek. “Lu Tong Kui, kau tentu tidak mengenalku, akan tetapi aku tahu bahwa kau dan murid keponakanmu ini adalah orang-orang jahat yang patut sekali dikirim ke neraka!”

“Bangsat!” Lu Tong Kui memaki marah. “Apa kau kira aku takut kepadamu?”

“Majulah,” orang itu berkata dengan suara yang masih tenang, “sesudah kau berhadapan dengan Lie Kong Sian, tak perlu menjual banyak lagak lagi!”

Mendengar nama ini, tidak saja Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti yang merasa kaget, akan tetapi Lo Sian juga tertegun dan memandang dengan penuh perhatian dan kagum. Akan tetapi ia merasa ragu-ragu karena sepanjang pendengarannya, pendekar yang bernama Lie Kong Sian dan yang menjadi suami dari pendekar wanita Ang I Niocu yang sangat terkenal, kabarnya berwajah tampan dan gagah. Mengapa orang ini seperti orang gila dan berwajah muram?

Nama Ang I Niocu sudah amat terkenal dan tak seorang pun di kalangan kang-ouw yang belum mendengar namanya sungguh pun jarang yang pernah bertemu dengan pendekar wanita itu. Kalau Ang I Niocu yang tersohor gagah perkasa itu kabarnya masih kalah oleh suaminya yang bernama Lie Kong Sian, maka tentu saja nama ini menggetarkan hati Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti!

Apa lagi Bouw Hun Ti, oleh karena sebagai suheng dari Pendekar Bodoh yang sudah diganggunya, dibunuh mertuanya dan diculik puterinya, tentu saja Lie Kong Sian takkan memberi ampun kepadanya! Lo Sian menjadi girang sekali.

“Hemm, kaukah yang bernama Lie Kong Sian, pendekar dari Pulau Pek-le-to itu? Tidak kusangka bahwa orangnya ternyata hanya sebegini saja!” Lu Tong Kui mengejek untuk memperbesar semangat sendiri, kemudian tanpa menanti jawaban ia menyerang dengan pedangnya.

Lie Kong Sian cepat-cepat mengelak sambil mencabut keluar pedangnya pula. Pedang ini bersinar gemilang dan sangat tajam, karena ini adalah pedang Cian-hong-kiam yang dahulu dia terima dari isterinya sebagai tanda perjodohan ketika belum menikah. Dengan gerakan yang luar biasa cepat dan kuatnya, Lie Kong Sian membalas dengan serangan hebat sehingga Lu Tong Kui harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian supaya jangan sampai dirobohkan dengan mudah.

Bouw Hun Ti yang melihat susiok-nya terdesak, lalu mengambil kembali goloknya yang tadi terlepas dari pegangan, lalu membantu susiok-nya itu mengeroyok Lie Kong Sian.

Lo Sian tentu saja tidak mau mendiamkan hal ini, maka dia pun bergerak maju sambil berseru, “Bangsat pengecut, jangan main keroyokan!”

Akan tetapi Lie Kong Sian lalu berkata kepadanya, “Sahabat, jangan kau turut campur! Biarkan aku sendiri memberi hajaran kepada penculik rendah ini. Yang diculik adalah keponakanku, maka aku yang berhak menghajar!”

Mendengar suara ini, Lo Sian melangkah mundur lagi karena ia tidak mau menyinggung perasaan pendekar gagah itu. Pula, dia melihat betapa Lie Kong Sian biar pun dikeroyok dua, tapi masih dapat mendesak dua lawannya, dan maklum pula bahwa kepandaiannya sendiri masih kurang kuat sehingga bantuannya malah hanya merupakan gangguan saja bagi pergerakan Lie Kong Sian.

Memang ilmu pedang dari Lie Kong Sian bukan main hebatnya. Pendekar ini adalah murid dari mendiang Han Le Sianjin yang menjadi sute dari Bu Pun Su, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

Biar pun Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti juga bukan sembarang orang dan kepandaian mereka sudah termasuk tinggi dan lihai, namun menghadapi Lie Kong Sian, mereka tidak banyak berdaya dan setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, maklumlah mereka bahwa kalau dilanjutkan mereka tentu akan roboh di tangan pendekar besar dari Pulau Pek-le-to ini.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)