PENDEKAR REMAJA : JILID-09


Perlu diketahui oleh para pembaca yang belum membaca kisah Pendekar Bodoh bahwa tingkat ilmu silat Biauw Leng Hosiang tidak di bawah tingkat Ang I Niocu, maka karena Pek I Hosiang juga sudah mewarisi sebagian besar dari ilmu silat gurunya itu, maka tentu saja Lie Siong tidak dapat bertahan lama menghadapinya dengan tangan kosong.

Kedua toya pendek di tangan Pek I Hosiang bergerak laksana sepasang ular besar yang menyerang dengan berlenggak-lenggok, sehingga semua usaha Lie Siong dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk merampas senjata ini tidak pernah berhasil. Bahkan lambat akan tetapi pasti, Pek I Hosiang mulai mendesak pemuda itu!

Melihat betapa pemuda itu masih saja tak mau mengeluarkan senjatanya, Pek I Hosiang lalu memainkan gerak tipu Hing-san Chian-kun (Menyerampang Bersih Ribuan Tentara). Kedua toyanya menyambar-nyambar dari kanan kiri mengeluarkan gulungan sinar putih yang mendatangkan angin menderu.

Lie Siong diam-diam terkejut juga melihat kehebatan lawan ini, maka dia terpaksa cepat menggerakkan dua kakinya dan menghindarkan desakan lawan dengan langkah Tui-po Lian-hoan (Gerakan Kaki Mundur Berantai) sambil memukul-mukulkan kedua tangannya menggunakan tenaga dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut untuk menolak datangnya dua toya yang berbahaya itu.

Namun, gerakan kedua toya di tangan Pek I Hosiang amat cepatnya dan juga tidak lurus seperti senjata lainnya, tetapi menyerang secara berlenggak-lenggok tak tentu dari mana arahnya sehingga sukarlah untuk ditangkis, sungguh pun dengan tenaga Pek-in Hoat-sut yang lihai. Karena itu, terpaksa Lie Siong mengenjot kedua kakinya, dan sambil berseru keras dia melompat dengan gerakan Lee-hi Ta-teng (Ikan Melompat ke Atas) kemudian disusul dengan gerakan Koai-liong Hoan-sin (Naga Iblis Berjungkir Balik) maka tubuhnya lalu berjumpalitan di udara dan dengan jalan ini ia terhindar dari serangan lawan. Ketika dia melompat turun kembali, pada tangannya sudah nampak pedang Sin-liong-kiam yang berbentuk naga itu!

Bukan main kagumnya Pek I Hosiang melihat Sin-liong-kiam yang hebat itu!

“Bagus, jangan berlaku sheji (sungkan), anak muda yang gagah, kau majulah dengan pedangmu itu!”

Mereka bertempur lagi dan kali ini pertempuran itu betul-betul hebat dan ramai sekali. Lie Siong memutar pedangnya yang aneh itu dengan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, sedangkan Pek I Hosiang memainkan Ilmu Toya Hek-cia-kun-hwat yang juga luar biasa cepat dan kuatnya.

Akan tetapi, akhirnya hwesio tua itu terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu pedang lawan yang muda namun lihai itu. Dengan gerakan tipu Lian-hwa Gai-ho (Bunga Teratai Membuka Daun), Lie Siong menyerang dengan hebat sekali menusuk pusar lawannya.

Pek I Hosiang sangat terkejut menyaksikan hebatnya serangan ini. Sungguh pun pedang lawannya itu tidak runcing, akan tetapi bahayanya tidak kalah oleh pedang biasa yang runcing, karena kepala naga itu mempunyai tanduk yang runcing dan dapat digunakan untuk menotok jalan darah atau melukai tubuh. Dia cepat-cepat menangkis dengan toya di tangan kanannya sambil mengayun toya di tangan kiri mengemplang lawan.

Inilah gerakan ilmu toya yang disebut Menerima Kembang Memberi Buah dari Ilmu Toya Heng-cia Kun-hoat yang lihai. Memang Ilmu Toya Heng-cia Kun-hoat ini mengutamakan gerakan pembalasan yang amat cepat. Tiap kali toya kanan atau kiri menangkis, maka toya kedua pasti membarengi serangan lawan itu untuk mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya!

Akan tetapi, Lie Siong sudah tahu akan sifat ilmu toya ini, karena itu pada waktu dia tadi menyerang dengan gerakan Lian-hwa Gai-ho, dia telah siap sedia dengan tangan kirinya. Melihat toya di tangan kiri lawan menyambar ke arah kepalanya, dia cepat mengulurkan tangan dan menggunakan cengkeraman Kong-ciak Sin-na mencoba merampas toya itu!

Tentu saja Pek I Hosiang tidak mau membiarkan toyanya dirampas, maka ia cepat-cepat mengubah gerakan toya kiri ini ke samping supaya tidak sampai dirampas. Akan tetapi ternyata bahwa gerakan merampas dari pemuda itu hanyalah gerakan pancingan belaka untuk mengalihkan perhatian Pek I Hosiang, karena sebenarnya yang hendak merampas senjata lawan adalah tangan kanannya yang memegang pedang.

Ketika lawannya memperhatikan gerakan tangan kiri, maka ketika pedang itu ditangkis oleh toya kanan, Lie Siong menggetarkan tangan kanannya dan lidah merah dari pedang naga itu dengan cepat lalu membelit toya lawan dan sekali ia berseru keras dan menarik, toya kanan dari Pek I Hosiang telah terbetot dan terlepas!

Pek I Hosiang kaget sekali, cepat menggunakan gerakan Naga Hitam Keluar dari Awan, melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan lawannya. Akan tetapi sebetulnya tak perlu ia menggunakan gerakan ini, karena Lie Siong tidak menyerangnya, juga tidak mengejarnya.

Sambil melihat sebatang toyanya tergantung pada lidah pedang naga itu, Pek I Hosiang menghela napas dan tersenyum pahit.

“Omitohud! Kau anak muda betul-betul mengagumkan! Pinceng Pek I Hosiang mengaku kalah!” Ia menjura kepada Lie Siong.

Pemuda itu tidak menjawab, hanya menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba toya yang tadi terbelit oleh lidah pedang naganya, kini terlepas lantas meluncur ke arah pemiliknya dengan kecepatan laksana anak panah yang terlepas dari busurnya! Pek I Hosiang cepat mengulur tangan dan menangkap toyanya yang hendak menembus dadanya itu.

Akan tetapi, Ang I Niocu tidak puas dengan kemenangan puteranya yang tidak melukai lawannya itu.

“Hwesio busuk, lekas kau pergi dari sini dan tinggalkan toyamu!” katanya dan secepat kilat dia sudah mencabut pedang Liong-cu-kiam yang bercahaya menyilaukan itu. “Tidak seorang pun yang datang bersenjata boleh pulang membawa senjatanya!”

Ia lalu menerjang dengan cepat, menyerang dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Menyebar Bunga hingga pedangnya berkelebat dan berubah menjadi segulung sinar indah. Pek I Hosiang terkejut dan cepat mengangkat kedua toyanya untuk menangkis.

“Traang...! Traaaang...!”

Saat dua kali pedang Liong-cu-kiam bertemu dengan sepasang toya itu, ternyata dengan amat mudahnya toya-toya itu terbabat putus!

Ang I Niocu melompat mundur kembali, masukkan pedang ke dalam sarung pedangnya dan berkata singkat, “Pergilah!”

Pek I Hosiang menjadi pucat dan ia masih menahan perihnya hati karena hinaan ini. Ia tersenyum sabar dan menjura.

“Terima kasih atas petunjuk dari Ang I Niocu dan puteramu!” hwesio ini lalu melompat dan turun gunung dengan tindakan kaki cepat sekali.

Sesudah bayangan hwesio itu tidak nampak lagi, Lie Siong lalu berkata kepada ibunya, “Ibu, Liong-cu-kiam itu hebat sekali. Kalau pedang Sin-liong-kiam beradu dengan pedang Liong-cu-kiam, bukankah senjataku akan terbabat putus pula?”

“Siong-ji, apa kau kira ibumu akan mencarikan pedang sembarangan saja untukmu tanpa diuji terlebih dulu? Cabutlah pedangmu itu!”

Lie Siong meloloskan Sin-liong-kiam, ada pun Ang I Niocu juga mencabut Liong-cu-kiam. “Nah, mari kita berlatih, sekalian untuk membuktikan apakah pedangmu akan rusak kalau akan bertemu dengan pedangku!”

Anak dan ibu itu lalu bermain pedang, serang menyerang dengan hebatnya, bahkan lebih hebat dari pada pertempuran melawan hwesio tadi! Beginilah cara Ang I Niocu melatih anaknya! Dulu, sebelum Lie Siong memiliki kepandaian tinggi, setiap kali berlatih dengan ibunya, pemuda ini tentu mengalami kesakitan dan selalu dirobohkan oleh ibunya!

Pernah ia mengalami ditotok sampai pingsan, dipukul sampai matang biru, bahkan ketika berlatih senjata tajam, pernah pundaknya tergores pedang sampai mengeluarkan darah! Hal ini memang disengaja oleh Ang I Niocu untuk melatih ketabahan kepada puteranya. Sekarang mereka berlatih dengan pedang-pedang mustika, hal yang baru kali ini mereka lakukan. Liong-cu-kiam dan Sin-liong-kiam berkali-kali bertemu sehingga terdengar suara nyaring dibarengi bunga api berpijar, akan tetapi kedua pedang itu ternyata tidak rusak!

Seratus jurus lebih mereka bermain pedang dan yang nampak hanyalah bayang-bayang putih dan merah yang diselimuti oleh gulungan cahaya pedang Liong-cu-kiam yang putih seperti perak dan sinar pedang Sin-liong-kiam yang kekuning-kuningan seperti emas!

“Sudah cukup...!”

Keduanya berhenti dan menyimpan pedang masing-masing. Hati Lie Siong merasa puas sekali dan diam-diam Ang I Niocu yang nampak berpeluh pada jidatnya itu makin sayang dan bangga terhadap puteranya. Kini kepandaian puteranya itu tidak kalah olehnya!

“Siong-ji, sekarang telah banyak orang yang tahu akan tempat tinggal kita, malah hwesio gundul tadi sudah mengetahui siapa adanya kita! Kurasa tidak perlu lagi kita lebih lama tinggal di tempat ini!”

Lie Siong menatap wajah ibunya. Ia girang sekali, akan tetapi kegirangan ini sama sekali tidak membayang pada wajahnya yang elok.

“Jadi, kita turun gunung?” tanyanya penuh harapan.

Betapa pun keras hatinya sehingga dia sering kali berbantah dengan ibunya, namun Lie Siong adalah seorang anak yang berbakti dan sama sekali ia tidak mau memaksa pergi kalau ibunya belum memberi persetujuannya.

Akan tetapi ibunya menggeleng kepala. “Bukan kita, akan tetapi engkau sendiri! Sudah lama kau ingin merantau, bukan? Nah, sekarang kepandaianmu sudah cukup. Kau pergi dan carilah pengalaman di dunia kang-ouw!”

“Akan tetapi, bagaimana dengan kau, Ibu...? Kau akan kesunyian, hidup seorang diri di tempat ini...”

Ibunya lantas mencabut pedang Liong-cu-kiam yang ampuh tadi. “Aku sudah mempunyai kawan. Liong-cu-kiam ini adalah kawanku yang amat setia, pedang inilah yang memberi kenang-kenangan kepadaku.” Sambil berkata demikian, dia mengusap-usap pedang itu dengan tangannya, penuh kasih sayang.

“Ibu, dari manakah kau memperoleh Liong-cu-kiam itu?”

Ibunya menghela napas panjang dan teringatlah dia akan segala pengalaman bersama Pendekar Bodoh ketika mendapatkan pedang itu.

“Sesungguhnya, Susiok-couw Bu Pun Su yang memberi pedang ini kepadaku. Masih ada sebatang lagi, yang lebih panjang, dan yang sekarang berada di dalam tangan Pendekar Bodoh.”

“Ah, aku ingin sekali menyaksikan kelihaian orang tua yang menjadi susiok-couw-mu itu, Ibu.”

“Anak bodoh, jangan sembarangan bicara! Susiok-couw Bu Pun Su adalah seorang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Tiada tokoh di dunia ini yang dapat mengimbanginya, dan sekarang yang mewarisi kepandaiannya hanyalah Pendekar Bodoh seorang, walau pun ibumu juga pernah mendapat latihan darinya.”

“Hemm, aku pun sejak dulu ingin sekali bertemu dengan Pendekar Bodoh yang sering kali Ibu puji-puji.”

“Pergilah dan kau tentu akan berjumpa dengan mereka yang pandai itu. Pergilah dan berlakulah hati-hati, jangan membikin malu nama ibumu.”

Sesudah berkata demikian, Ang I Niocu mengajak puteranya kembali ke dalam goa lalu mengumpulkan pakaian puteranya. Dia mengeluarkan pula beberapa stel pakaian warna kuning dengan leher baju merah. Memang, semenjak masih kecil, Lie Siong selalu diberi pakaian warna putih atau kuning oleh ibunya sehingga lama kelamaan pemuda itu hanya suka mengenakan pakaian putih atau kuning saja.

“Nah, kau pergilah, Anakku. Kau sudah tahu di mana tempat tinggal sahabat-sahabatku, carilah mereka dan jangan kau membikin malu ibumu. Juga kau telah tahu siapa adanya tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat dan yang pernah bermusuhan dengan ibumu, karena itu berhati-hatilah terhadap mereka. Kurasa ayahmu tidak berada di Pulau Pek-le-to lagi, karena ayahmu tentu mencari-cari kita. Kasihan ayahmu itu, kau carilah dia dan mintakan ampun ibumu yang telah meninggalkan dia. Berangkatlah, doaku besertamu selamanya.”

“Selamat tinggal, Ibu. Dan... Ibu hendak ke manakah? Bilakah aku bisa bertemu dengan Ibu lagi?”

“Tak perlu kau bingungkan soal ibumu, Nak. Aku boleh jadi berada di sini atau di tempat lain, akan tetapi jangan khawatir, kita pasti akan bertemu kembali kelak.”

Berat hati Lie Siong ketika hendak meninggalkan tempat itu. Dia telah melangkah keluar dari goa, akan tetapi tiba-tiba dia kembali lagi dan memeluk ibunya.

“Ibu, berjanjilah bahwa kita pasti akan bertemu lagi.”

Ang I Niocu merasa terharu dan dia lalu tersenyum, senyum yang sudah bertahun-tahun meninggalkan bibirnya. Ia lalu mendekap kepala puteranya dan mencium jidat puteranya yang tercinta itu.

“Jangan gelisah, Siong-ji. Apakah kau kira aku senang hati berpisah dengan kau untuk selamanya? Percayalah, pasti aku akan bertemu kembali dengan engkau, Anakku.”

Maka berangkatlah Lie Siong dengan membawa sebungkus pakaian yang diikatkan pada punggungnya, ada pun pedangnya, Sin-liong-kiam, atas kehendak ibunya disembunyikan di balik mantelnya yang panjang.

Ketika dia telah keluar dari hutan tempat tinggalnya dan memasuki hutan berikutnya, dia mendengar suara riuh rendah dan ternyata bahwa dari bawah gunung nampak dua puluh orang lebih sedang naik menuju ke hutan itu. Mereka adalah penebang-penebang pohon yang bersenjata lengkap, mengiringi enam orang yang bukan lain adalah para pengusaha kayu.

Mereka ini merasa penasaran ketika mendengar cerita tiga orang penebang pohon yang bertemu dengan sepasang ‘siluman’ itu dan kini setelah mengumpulkan dua puluh lebih orang-orang yang dianggap paling kuat dan gagah di antaranya sebagian besar adalah murid dari Pek I Hosiang, lalu beramai-ramai naik ke atas gunung hendak menyerbu dan menangkap siluman-siluman itu!

Lie Siong tertarik hatinya melihat orang banyak ini, terutama ketika dia melihat mereka itu berhenti dan bersorak seakan-akan menonton sesuatu yang menarik hati. Pada saat Lie Siong sampai di dekat tempat itu, ternyata dia melihat empat orang yang bertubuh kuat sedang mendemonstrasikan tenaga mereka.

Keempat orang ini adalah murid-murid Pek I Hosiang yang paling pandai. Tadi ketika mereka berjalan naik, mereka tiada hentinya membicarakan sepasang siluman itu dan timbul hati ngeri dan takut di antara sebagian besar para penebang pohon. Oleh karena itu, untuk membakar semangat kawan-kawannya, empat orang yang terkuat itu kemudian memperlihatkan tenaga mereka dan memang mereka ini kuat sekali!

Sebatang pohon yang besarnya tak kurang dari tubuh enam orang menjadi satu, telah diikat batangnya dengan seutas tambang yang besar dan sangat kuat, kemudian empat orang itu lalu mengerahkan tenaga menarik tambang itu. Urat-urat menonjol pada dada dan tangan mereka yang telanjang karena untuk demonstrasi ini, mereka sengaja sudah menanggalkan baju agar tidak robek.

Memang kehebatan tenaga mereka sulit dipercaya. Empat ekor kerbau saja belum tentu akan dapat menarik pohon itu sehingga tumbang, akan tetapi pada saat empat orang ini mengerahkan tenaga, segera terdengar suara keras sekali dan pohon itu roboh berikut akar-akarnya!

Karena semua orang sedang menonton pertunjukan ini dengan penuh perhatian, maka tak ada seorang pun di antara mereka melihat Lie Siong yang diam-diam berdiri di antara mereka, yang menonton demonstrasi itu.

Berbareng dengan robohnya pohon itu, terdengar sorak-sorai memuji, karena siapakah yang tidak kagum menyaksikan tenaga luar biasa dari empat orang jagoan itu? Empat orang itu memandang ke sekeliling dengan bangga dan mengangkat dada, akan tetapi tiba-tiba seorang di antara mereka yang berjenggot pendek, melihat Lie Siong.

Ia merasa heran karena tidak mengenal pemuda ini, akan tetapi keheranannya berubah menjadi kemarahan ketika dia melihat betapa pemuda yang lemah-lembut ini tidak turut bersorak memuji. Memang tak seorang pun di antara mereka mengenal Lie Siong, sebab tiga orang penebang pohon yang pernah dia robohkan itu tidak berani ikut serta bersama rombongan ini. Si Jenggot Pendek melangkah maju dan menegur,

“Eh, Sobat! Kau ini siapakah dan mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak menghargai kepandaian kami? Ketahuilah bahwa hanya mengandalkan tenaga dan kepandaian kami berempatlah maka sepasang siluman Pek-ang Siang-mo itu akan ditumpas!”

Semua orang kini memandang kepada Lie Siong dengan heran karena mereka pun tidak mengenal pemuda ini dan tidak tahu pula kapan pemuda ini datang di situ.

Lie Siong merasa mendongkol sekali melihat kesombongan mereka, terutama sekali saat mendengar betapa mereka hendak membasmi sepasang iblis yang dia dapat menduga tentu dimaksudkan ibunya dan dia sendiri. Dengan wajah tenang dan tak berubah sedikit pun juga, ia berkata acuh tak acuh,

“Apa sih anehnya tenaga kalian berempat? Lebih baik kalian pergi dan jangan masuk ke dalam hutan di atas ini.”

“Eh, ehh, mengapa kau berkata demikian?” tanya Si Jenggot Pendek.

“Karena tenagamu yang hanya dapat merobohkan pohon lapuk itu takkan ada gunanya. Kalau kalian pergunakan untuk menarik lawan, biar pun hanya satu kakinya saja, kalian tidak akan mampu merobohkannya!”

Bukan main marahnya empat orang jagoan itu dan semua orang juga ikut memandang dengan heran dan marah.

“Orang muda, kau tahanlah lidahmu! Kalau kau bicara sembarangan saja, dengan sekali pukul aku akan menghancurkan kepalamu!” kata salah seorang di antara empat jagoan itu yang bertubuh besar pendek.

“Siapa bicara sembarangan? Kalianlah yang bermata buta dan sombong.”

“Kau bicara sungguh-sungguh?” Si Jenggot Pendek berkata sambil tersenyum menghina. “Kalau begitu, kau berani membiarkan sebelah kakimu kami tarik dengan tambang dan kau merasa pasti bahwa kami tidak akan dapat merobohkanmu?”

Semua orang tertawa mengejek mendengar ini. Enam orang pengusaha itu lalu berdiri sekelompok kemudian berbisik-bisik karena mereka juga merasa sangat heran melihat keberanian pemuda tampan ini.

Akan tetapi Lie Siong masih bersikap tenang dan dingin. “Mengapa tidak berani? Kalau kau dapat menarik sebelah kakiku dengan tambang dan dapat merobohkan aku, barulah kalian patut naik ke hutan itu.”

“Bagus!” seru Si Jenggot Pendek. “Akan tetapi kalau kakimu sampai terbetot putus dari tubuhmu, jangan kau persalahkan kami, anak muda yang manis!”

Terdengar suara orang-orang tertawa disusul dengan ejekan, “Bila kakinya sudah copot, bagaimana dia bisa mengeluarkan kata-kata lagi?”

Kembali terdengar semua orang tertawa geli sungguh pun mereka memandang semakin tertarik dan dengan penuh perhatian. Semua orang lalu menduga-duga siapa gerangan pemuda yang mencari penyakit ini. Apakah dia berotak miring?

“Boleh, aku berjanji,” jawab Lie Siong yang ingin mempermainkan orang-orang sombong itu, “sebaliknya kalian semua harus berjanji bahwa apa bila kalian tak dapat merobohkan sebelah kakiku maka selama hidup kalian tidak akan mengganggu dan menebang pohon di hutan itu!”

“Jadi!!” seru Si Jenggot Pendek, tidak memikirkan lagi keheranan hati yang timbul karena ucapan pemuda ini seakan-akan membela sepasang siluman di hutan itu!

Semua orang lalu mundur dan membuat lingkaran, berdiri mengelilingi pemuda itu. Para pengusaha berdiri sekelompok sedangkan para penebang kayu berdiri di kelompok lain yang tersendiri, tidak berani mendekati para ‘thauwke’ (majikan) itu. Empat orang kuat itu lalu mempersiapkan tambang besar tadi. Si Jenggot Pendek memegang ujung tambang dan menghampiri Lie Siong sambil bertanya menyeringai,

“Kau sudah siap?”

Lie Siong menurunkan buntalan pakaiannya dan menaruh di atas tanah bawah pohon, kemudian dia kembali ke tengah lapangan itu, dan berdiri dengan satu kaki, mengangkat kaki kirinya ke depan, dan kedua tangannya ditaruh di belakang. Sikapnya demikian enak dan seakan-akan tak bertenaga sama sekali sehingga semua orang tertawa mengejek.

Kalau orang yang mempunyai kepandaian silat, tentu akan memasang bhesi (kuda-kuda) yang teguh, mengerahkan tenaga pada kaki yang hendak ditarik. Akan tetapi mengapa pemuda ini berdiri seakan-akan sedang makan angin menikmati sinar bulan purnama? Sungguh lucu dan menggelikan. Jangan kata hendak ditarik dengan tambang oleh empat orang yang bertenaga gajah, sedangkan kalau ada angin besar bertiup saja, agaknya pemuda itu akan rubuh.

Tentu saja mereka itu tidak tahu bahwa Lie Siong diam-diam sudah mengerahkan ilmu memberatkan tubuh yang disebut Ban-kin-cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati) dan cara berdiri itu adalah bhesi (kuda-kuda) dari Ilmu Silat Sian-li Utauw (Ilmu Silat Bidadari), yaitu disebut Berdiri Dengan Kaki Berakar!

“Aku sudah siap!” Lie Siong berkata dengan suara dingin saja seakan-akan tidak sedang menghadapi urusan penting.

Sambil tertawa haha-hihi, Si Jenggot Pendek lalu membelitkan ujung tambang pada kaki kanan Lie Siong tepat pada tulang keringnya, di atas pergelangan kaki, agak di bawah betisnya. Kemudian setelah memeriksa bahwa ikatan tali pada kaki itu cukup kuat takkan terlepas bila ditarik, ia lalu mendekati kawan-kawannya dan sambil tersenyum-senyum ia berkata perlahan,

“Kita menggunakan tenaga tiba-tiba menariknya agar dia jatuh terjengkang!”

Tiga orang itu tersenyum gembira kemudian menganggukkan kepalanya. Mereka segera berdiri berbaris dan memegang tambang itu.

Semua orang memandang dengan napas tertahan, karena betapa pun mereka merasa lucu dan penasaran kepada pemuda yang mereka anggap berotak miring ini. Melihat wajah yang elok dan kulit yang halus itu mereka merasa kasihan juga.

Sedikitnya kaki yang tidak seberapa besarnya itu pasti akan patah akibat tarikan empat orang kuat ini, pikir mereka. Bahkan salah seorang pengusaha yang berpakaian kuning dan yang masih muda berwajah tampan, lalu menghampiri Lie Siong dan berkata,

“Hian-te, kenapa kau melakukan hal yang bodoh ini? Kau mintalah maaf kepada mereka dan aku yang tanggung bahwa perkara ini akan dibikin habis sampai di sini saja.”

Lie Siong paling tidak suka apa bila ada orang menaruh hati kasihan kepadanya, maka sambil mengerling tajam ke arah orang itu, dia pun berkata, “Jangan ikut campur, dan mundurlah!” Tentu saja semua orang semakin merasa tak senang melihat sikap ini, dan orang baju kuning itu pun mundur dengan muka kemerahan.

“Aku sudah siap, hayo tariklah sekuatmu!” kata Lie Siong sekali lagi.

Orang berjenggot pendek itu lalu memberi aba-aba, “Tarik...!!”

Empat orang itu langsung mengerahkan seluruh tenaga membetot tambang itu sehingga urat-urat pada lengan dan dada mereka mengembung. Semua orang memandang dan terbayang sudah di mata mereka betapa pemuda elok ini akan jatuh tunggang-langgang dengan kaki patah. Akan tetapi... sungguh aneh, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu!

Pemuda elok itu masih berdiri seperti tadi, kaki kiri diangkat ke depan dan kedua tangan ditaruh di belakang. Sedikit pun ia tidak berkedip seakan-akan sama sekali tidak merasa akan tarikan dan sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri!

“Aduh...! Sungguh aneh!” terdengar suara penonton.

“Tak masuk di akal!”

“Tak mungkin...!”

“Ajaib sekali...!”

Jika semua orang yang menonton menjadi terheran-heran, empat orang jagoan itu lebih terkejut lagi. Tambang itu sudah tertarik sehingga menegang, bahkan terdengar bergerit saking kuatnya mereka menarik, akan tetapi mereka merasa seolah-olah sedang menarik sebuah gunung saja!

Untuk sesaat mereka saling pandang, kemudian dengan amat penasaran mereka segera menarik lagi. Kini tarikan mereka tidak teratur lagi, suara mereka ‘ah-ah, uh-uh’ sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, sehingga mereka terhuyung ke sana terdorong ke mari, namun tetap saja kaki yang dilibat tambang dan ditarik itu sama sekali tidak bergeming sedikit pun!

Kini tak seorang pun penonton dapat mengeluarkan suara, bahkan bernapas pun mereka hampir lupa! Keempat orang jagoan itu sambil membetot, memandang kepada pemuda itu dengan mulut ternganga saking herannya, akan tetapi mereka tidak berhenti menarik. Mustahil tidak dapat merobohkannya, pikir mereka dan kembali mereka mengerahkan tenaga seadanya untuk membetot kaki yang hanya kecil saja itu!

Peluh sebesar kacang telah menitik turun dari jidat mereka, dan napas mereka pun mulai terengah-engah setelah beberapa lama mereka menarik dengan tenaga sepenuhnya.

Lie Siong merasa bahwa sudah cukup ia memperlihatkan tenaganya, karena itu dia lalu membentak keras.

“Tidak lekas-lekas lepaskan tambang?” Sambil berkata demikian, tanpa menurunkan kaki kirinya, kaki kanannya melakukan gerakan mengisar dan... tak dapat ditahan pula, empat orang jagoan itu lalu terdorong ke depan, dan karena mereka masih belum melepaskan tambang itu, mereka jatuh saling timpa!

Yang paling sial adalah Si Jenggot Pendek karena ia tertindih oleh dua orang kawannya dan karena jatuhnya dengan hidung di depan, maka ketika merangkak bangun kembali, hidungnya yang tadinya mancung telah menjadi pesek dan berdarah!

Kini ramailah orang-orang itu memuji dan menyatakan keheranan mereka. Bagaimana mungkin terjadi hal yang aneh ini? Walau pun sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mereka masih belum dapat percaya bahwa seorang pemuda yang lemah-lembut dan berkulit halus itu dapat memiliki tenaga yang demikian besarnya. Siapakah pemuda lihai ini? Mereka saling bertanya tanpa berani menanyakan sendiri kepada pemuda itu.

Pada saat itu nampak dua orang berlari dari bawah lereng. Mereka ini adalah seorang laki-laki tinggi besar bersama seorang hwesio. Ketika laki-laki tinggi besar itu tiba di situ dan melihat Lie Siong, ia lalu cepat berseru kepada semua orang,

“Dia adalah iblis putih!”

Orang ini adalah seorang di antara penebang pohon yang dulu pernah dirobohkan oleh Lie Siong, dan mendengar seruan ini, semua orang menjadi pucat mukanya, ada yang menggigil dan bahkan ada yang cepat mengangkat kaki lari dari situ! Akan tetapi, ketika mereka melihat hwesio yang datang bersama penebang tadi, semua orang lalu menjadi tabah kembali dan mengikuti hwesio itu menghampiri Lie Siong. Hwesio itu bukan lain adalah Pek I Hosiang sendiri.

Melihat bahwa yang menimbulkan keributan itu adalah Lie Siong, Pek I Hosiang segera merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil memberi hormat.

“Omitohud, tak tahunya Siauw-enghiong (Orang Muda Gagah) yang datang di sini! Harap suka maafkan murid-murid pinceng yang bodoh dan tidak tahu aturan, Siauw-enghiong. Sesungguhnya ketika pinceng mendengar bahwa mereka ini hendak menyerbu ke dalam hutan, segera pinceng menyusul ke sini untuk mencegah mereka.”

Melihat Lie Siong hanya berdiri tanpa menjawab, hwesio itu lantas memandang kepada semua orang dan berkata,

“Cuwi sekalian, harap mendengarkan kata-kata pinceng. Mulai sekarang janganlah ada seorang pun berani mengganggu hutan di atas itu! Ketahuilah bahwa di situ tinggal dua orang pendekar sakti yang mengasingkan diri! Pegunungan ini mempunyai banyak sekali hutan-hutan besar, mengapa harus mengganggu hutan kecil? Kalau kalian sayang diri, jangan sekali-kali berani memasuki hutan itu lagi. Ang I Niocu dan puteranya bukanlah siluman, akan tetapi pendekar-pendekar besar yang berkepandaian tinggi dan tidak mau diganggu!”

Semua orang terkejut mendengar ini, karena tak pernah mereka sangka bahwa hwesio ini pun telah kenal kepada dua orang yang tadinya dianggap siluman itu, terutama sekali para murid yang pernah mendengar nama Ang I Niocu yang tersohor! Mereka cepat memandang kepada pemuda yang diperkenalkan sebagai putera Ang I Nicou itu, tetapi alangkah heran dan kagetnya semua orang ketika melihat bahwa di situ tidak nampak lagi bayangan pemuda tadi! Pemuda tadi telah lenyap bersama buntalan pakaiannya tanpa diketahui oleh seorang pun kecuali Pek I Hosiang. Hwesio ini lalu berkata,

“Dia sudah pergi!” Dia menghela napas. “Masih baik bahwa pemuda itu sendiri yang datang di sini, tidak bersama ibunya. Kalau kalian berani mengganggu ibunya, tak dapat kubayangkan kengerian yang menjadi akibatnya!”

Semenjak saat itu, semua orang memandang hutan itu sebagai tempat keramat dan tak seorang pun berani naik ke situ. Nama Ang I Niocu makin terkenal, dan juga puteranya menjadi buah bibir semua orang yang tinggal di sekitar Pegunungan Ho-lan-san…..

********************

Pada suatu hari, ketika Lie Siong tiba di sebuah jalan yang sunyi, dia melihat dua orang laki-laki sedang bertengkar. Tadinya dia tidak hendak mempedulikan kedua orang yang bercekcok itu, akan tetapi karena ia mendengar suara yang seorang amat aneh dan kaku seperti orang asing, ia tertarik juga dan segera menghampiri mereka sambil bersembunyi di balik pohon besar.

Laki-laki yang bicaranya terdengar kaku itu adalah seorang setengah tua yang berkumis dan berjenggot panjang, nampaknya gagah sekali dan matanya bersinar tajam. Ada pun orang yang bercekcok dengan dia adalah seorang muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka kasar dengan mulut selalu menyeringai sombong.

“Gui-kongcu (Tuan Muda Gui), sudah berkali-kali aku menegur dan menasehatimu agar kau jangan menggoda anakku lagi, akan tetapi agaknya kau sengaja bahkan menghina puteriku. Aku biasanya amat sabar, akan tetapi jangan kira bahwa kesabaranku ini tanda bahwa aku takut kepadamu!”

Laki-laki muda itu tertawa bergelak dengan sikap menghina sekali.

“Paman Manako, kau orang tua mengapa tidak memaklumi hati orang-orang muda? Aku mencinta Lilani, kenapa aku menghina? Aku pernah melamar anakmu itu, mengapa pula kau berani menampik pinanganku? Ingat, Paman Manako, kau datang sebagai seorang perantau, dan kalau tidak ada aku dan ayahku, tidak mungkin kau dapat tinggal di daerah ini!”

“Kurang ajar!” bentak lelaki berkumis yang bernama Manako itu. “Gui-kongcu, kau sudah mengucapkan kata-kata menghina terhadap seorang laki-laki Haimi. Kalau aku tak ingat bahwa kau masih kanak-kanak dan tidak ingat bahwa ayahmu sudah menolongku, untuk ucapanmu itu saja aku dapat membunuhmu! Memilih mantu tidak dapat dipaksa. Anakku Lilani tak suka kepadamu, bagaimana aku harus menerima pinanganmu? Sungguh amat tidak tahu malu bagi seorang pemuda yang sudah ditolak pinangannya, tetapi masih saja mendesak dengan cara yang kurang ajar sekali!”

“Manako!” pemuda itu membentak marah, kini tanpa menggunakan sebutan paman lagi. “Lupakah kau sedang bicara dengan siapa?” Pemuda ini kemudian mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.

Orang tua berjenggot itu tersenyum dan dengan tenang ia pun lalu mencabut pedangnya pula. “Tentu saja aku tidak lupa. Aku berhadapan dan bicara dengan Gui-kongcu, putera dari Kepala Daerah Ki-ciang. Akan tetapi agaknya kau lupa bahwa aku Manako bukan seorang penjilat. Tidak peduli siapa saja kalau berani menghinaku, akan kulawan!”

“Orang Haimi yang sombong, rasakan tajamnya pedangku!” teriak pemuda tinggi besar itu dan segera dia menyerang dengan sebuah tusukan hebat.

Gerak tipunya ini ialah yang disebut Han-ya Pok-cui (Burung Gagak Menyambar Kelinci), sebuah gerakan tipuan dari Ilmu Pedang Tat-mo Kiam-hoat, yakni ilmu pedang ciptaan pendekar besar Tat Mo Couwsu. Akan tetapi, dengan tenang orang Haimi itu menangkis dengan pedangnya sehingga Pemuda she Gui itu terkejut sekali karena ternyata bahwa tenaga lawannya amat besar, membuat pedangnya terpental ke belakang!

Ia berseru keras dan segera menyerang lagi dengan gerak tipu Hui-eng Bok-thou (Elang Terbang Menyambar Kelinci). Kedua kakinya melompat ke atas dan pedangnya ganas menyambar. Akan tetapi Manako, orang Haimi itu dengan amat gesitnya lalu mengubah kedudukan kakinya, melangkah dengan kaki kanan ke belakang, lalu memutar tubuhnya dengan gerak tipu Monyet Sakti Memasuki Goa. Dengan gerakan ini dia segera berhasil menghindarkan diri dari serangan lawan, kemudian ia membalas menyerang dengan tak kurang hebatnya.

Sebentar saja ternyata bahwa ilmu pedang orang Haimi ini jauh lebih unggul dari pada ilmu pedang lawannya. Maka, cepat dia mendesak serta mengurung pemuda itu dengan pedangnya yang menyambar-nyambar!

Lie Siong yang mengintai dari balik pohon maklum bahwa orang tua itu tak berniat buruk, karena kalau ia mau, dengan mudah saja ia pasti akan dapat merobohkan pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu ternyata tak tahu diri dan ia tidak tahu bahwa orang tua itu telah berlaku murah hati dan mengalah. Kalau ia tahu diri, tentu ia tidak akan melawan terus. Sebaliknya, ia malah memaki-maki dan menyerang dengan membuta tuli.

“Kau benar-benar tak tahu diri!” teriak Manako.

Lalu, sebuah serangan dengan pedang diputar dibarengi gerakan menggetarkan pedang, membuat pedang pemuda itu terkurung dan tertempel, kemudian orang tua itu membetot sambil membentak,

“Lepas senjata!” maka pedang pemuda itu pun terlempar dan terlepas dari pegangan!

Pada saat itu, tujuh orang yang berpakaian seperti perwira kerajaan lari mendatangi dan mereka segera mencabut senjata golok dan pedang.

“Orang Haimi yang sudah bosan hidup!” teriak seorang di antara para perwira itu. “Kau berlaku kurang ajar terhadap Gui-kongcu?”

“Bukan aku yang mulai lebih dulu!” jawab Manako dengan berani, akan tetapi tujuh orang perwira itu segera mengurung dan menyerangnya.

Manako melawan sekuatnya, akan tetapi tujuh orang perwira itu kepandaiannya rata-rata lebih tinggi dari pada kepandaian pemuda she Gui tadi sehingga sebentar saja Manako terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali.

Pada saat orang tua itu berada dalam keadaan yang amat berbahaya, tiba-tiba nampak berkelebat bayangan putih dari belakang pohon. Lie Siong yang menyaksikan keroyokan yang berat sebelah itu tidak mau tinggal diam dan dia sudah melompat keluar, langsung mengamuk dan mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na.

Tubuhnya bergerak cepat bagaikan halilintar menyambar, maka ke mana saja tubuhnya berkelebat, seorang perwira lalu menjerit, pedang atau goloknya terampas dan tubuhnya menerima pukulan atau tendangan yang cukup membuatnya mencium tanah tanpa dapat bangun kembali!

Pemuda she Gui yang melihat kehebatan lawan baru ini, dengan cerdik lalu diam-diam segera melarikan diri dari situ. Tujuh orang perwira itu dalam waktu pendek saja sudah dirobohkan oleh Lie Siong yang tidak menggunakan senjata sehingga orang tua Haimi itu telah memandang dengan bengong.

Manako cepat menghampiri Lie Siong, memberi hormat dan berkata kagum, “Kau hebat sekali, anak muda. Kehebatanmu mengingatkan aku akan Sie Taihiap!”

“Siapakah Sie Taihiap itu?” tanya Lie Siong.

“Sie Taihiap ialah Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh! Seperti kau inilah sepak terjangnya kalau menghadapi orang-orang jahat.”

Lie Siong tadi membantu Manako tanpa mengandung maksud sesuatu, hanya terdorong oleh hatinya yang tak senang melihat keroyokan yang tidak adil. Kini mendengar betapa orang tua itu memuji-muji nama Pendekar Bodoh, dia menjadi sebal sekali. Telah sering kali ibunya memuji-muji Pendekar Bodoh hingga nama Pendekar Bodoh ini seakan-akan merupakan lidi yang ditusuk-tusukkan ke dalam telinganya, sekarang ketika mendengar lagi ada orang memujinya, langsung membuat ia merasa tidak puas.

“Sudahlah, aku tak kenal segala Pendekar Bodoh. Kau pergilah sebelum orang-orang ini sempat mengeroyokmu lagi!”

Manako memandang heran kepada pemuda yang bersikap dingin ini, akan tetapi ia lalu teringat bahwa tadi dia telah melawan perwira-perwira, bahkan bertempur dengan putera Kepala Daerah. Maka, dengan cepat dia lalu memberi hormat lagi dan berlari pergi dari situ.

Akan tetapi, baru saja dia membelok di sebuah tikungan jalan, tiba-tiba dia telah dicegat oleh belasan orang perwira yang tadi mengantarkan pemuda she Gui! Ternyata bahwa Gui-kongcu setelah berlari cepat lalu memanggil lebih banyak perwira untuk mengeroyok pemuda yang lihai dan Manako.

“Penggal leher orang Haimi jahat ini!” Gui-kongcu berseru marah.

Sebentar saja Manako sudah dikeroyok oleh belasan orang perwira itu. Perwira-perwira yang datang ini tingkatnya lebih tinggi dari pada tujuh orang perwira yang tadi, bahkan di antara mereka terdapat seorang panglima tamu dari kota raja yang kegagahannya amat terkenal. Panglima muda ini bernama Kam Liong dan orang ini bukan lain adalah anak dari Panglima Besar Kam Hong Sin yang sangat tersohor karena kegagahannya (baca Pendekar Bodoh).

Tentu saja Manako bukan tandingan para perwira ini. Panglima muda yang mempunyai kepandaian tinggi itu sama sekali tidak mau turun tangan karena ia merasa rendah untuk mengeroyok seorang Haimi! Akan tetapi, perwira-perwira yang lainnya sudah cukup kuat untuk merobohkan Manako sehingga hanya dalam waktu sebentar saja orang Haimi ini roboh dengan beberapa luka parah pada tubuhnya.

Lie Siong yang hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba mendengar bentakan-bentakan para perwira yang mengeroyok Manako. Oleh karena pertempuran itu terjadi di belakang tikungan dan tidak kelihatan dari tempatnya, maka dia cepat berlari menghampiri tempat itu. Alangkah marah dan terkejutnya ketika dia melihat betapa Manako telah roboh mandi darah, dikeroyok oleh belasan orang perwira.

“Pengecut hina dina!” Lie Siong berseru sambil mencabut keluar Sin-liong-kiam dari balik jubahnya.

Sekali dia berkelebat, tubuhnya sudah menjadi bayangan putih yang cepat gerakannya laksana seekor burung garuda. Seperti juga tadi ketika menghadapi tujuh orang perwira, kini begitu dia menggerakkan pedangnya, maka golok serta pedang perwira beterbangan kemudian terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dibarengi jatuhnya tubuh mereka bertumpang tindih.

Bukan main kagetnya Panglima Muda Kam Liong ketika menyaksikan kelihaian pemuda baju putih ini. Terpaksa dia harus bertindak, kalau tidak, mungkin belasan orang perwira itu akan roboh semua! Ia lantas mencabut keluar pedangnya yang mengeluarkan cahaya berkilauan, kemudian sekali mengenjot tubuh, ia telah melayang dan menyambut pedang Lie Siong yang mengeluarkan sinar kuning keemasan.

“Trang...!” Sepasang pedang itu bertemu, menimbulkan bunga api berpancaran.

“Tahan dulu!” seru Kam Liong.

Lie Siong yang merasa tercengang menyaksikan ada pedang yang mampu menyambut Sin-liong-kiam-nya, segera menahan senjata dan memandang dengan sinar mata tajam.

Kedua laki-laki muda yang sama tampan dan sama gagahnya ini saling pandang dengan penuh perhatian. Lie Siong melihat seorang pemuda yang mengenakan pakaian sebagai seorang panglima, pakaiannya gagah dan mentereng sekali, wajahnya membayangkan kegagahan. Sedangkan Kam Liong tercengang pada saat melihat bahwa orang yang lihai sekali kepandaiannya itu ternyata hanyalah seorang pemuda berkulit muka halus dengan sikap lemah lembut!

“Saudara yang gagah, kau siapakah dan mengapa kau membela seorang pemberontak bangsa Haimi?”

“Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan dengan pemberontak, dan juga aku tak peduli apa yang menjadi persoalannya, akan tetapi yang sudah jelas bahwa orang tua ini kalian keroyok secara tidak tahu malu sekali. Pengecut-pengecut macam kalian ini tidak dapat kuberi ampun!”

Marahlah Kam Liong mendengar ucapan ini yang dianggapnya sombong bukan main dan kurang ajar. “Orang sombong!” teriaknya sambil menggerakkan pedang di tangan. “Kau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Tidak tahukah bahwa kau berhadapan dengan Panglima Muda she Kam dari kota raja?”

Mendengar disebutnya she Kam ini, Lie Siong lalu memandang dengan penuh perhatian. Ibunya pernah menuturkan kepadanya tentang panglima kosen bernama Kam Hong Sin.

“Ada hubungan apakah kau dengan Panglima Kam Hong Sin?” tanyanya tiba-tiba.

“Dia adalah ayahku, bagaimana kau dapat mengetahui namanya? Siapa kau sebetulnya dan siapa pula guru atau orang tuamu!”

Akan tetapi Lie Siong tidak menjawab pertanyaan ini, bahkan dia melangkah maju dan berkata, “Bagus! Kalau begitu biarlah kita menguji kepandaian masing-masing dan tidak perlu banyak mengobrol lagi!”

Dia lalu memutar pedangnya yang aneh bentuknya itu. Kam Liong yang maklum akan kelihaian lawan, tidak mau berlaku lambat dan cepat sekali dia menangkis lalu membalas dengan serangannya yang tak kalah hebatnya.

Kam Liong adalah putera tunggal dari Panglima Kam Hong Sin yang tinggi ilmu silatnya. Pemuda ini mengikuti jejak ayahnya dan kini telah menduduki pangkat yang tinggi dalam ketentaraan di kota raja, telah mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya. Dia sangat lihai, terutama dalam ilmu pedang yang berasal dari ilmu pedang Partai Kun-lun-pai.

Gerakan pedangnya cukup cepat serta kuat, apa lagi ditambah pula dengan pedangnya yang bukan pedang sembarangan, melainkan sebuah pedang mustika hadiah dari kaisar, tentu saja dia jarang menemukan tandingan dalam ilmu pedang.

Akan tetapi, setelah dia bertempur menghadapi Lie Siong, ia menjadi terkejut sekali oleh karena ilmu silat pemuda elok ini benar-benar hebat dan lihai sekali. Pedang aneh yang berbentuk naga itu di samping sangat keras sehingga tidak menjadi rusak oleh pedang mustikanya, juga amat berbahaya.

Pedang itu bila menyabet tidak akan melukai kulit, akan tetapi akan meremukkan tulang dan otot, sedangkan tanduk pedang naga itu dapat dipergunakan untuk menusuk bagian tubuh yang berbahaya. Yang lebih istimewa lagi adalah lidah pedang naga yang panjang itu, karena lidah ini dapat berputar-putar melakukan sambaran-sambaran tersendiri dan menotok jalan darah. Bahkan telah beberapa kali lidah merah ini mencoba untuk melibat pedang di tangannya untuk dirampasnya!

Kam Liong teringat akan beberapa nama pendekar besar yang pernah dia dengar dari ayahnya. Menurut ayahnya, ilmu pedangnya atau ilmu silatnya harus digunakan dengan amat hati-hati apa bila menghadapi mereka atau murid dan keturunan mereka.

“Apakah kau putera Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh?” Ia bertanya sambil menangkis satu tusukan ke arah lehernya.

“Aku tidak kenal Pendekar Bodohl” jawab Lie Siong dengan hati mangkel karena lagi-lagi ia mendengar nama pendekar ini disebut-sebut orang!

Ia segera menyerang lebih hebat lagi dan mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-sut. Pedangnya berputar demikian hebatnya seolah-olah telah berubah menjadi lima putaran sehingga kelihatan bagaikan lima bunga teratai dan sesuai sekali dengan namanya, yaitu Ngo-lian-hoan Kiam-sut (Ilmu Pedang Lima Bunga Teratai).

Kam Liong terkejut melihat ilmu pedang ini dan terpaksa dia harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri, dan untuk sementara dia mencurahkan perhatiannya terhadap pertahanannya sehingga tak sempat bertanya lagi. Akan tetapi, setelah ia amat terdesak, ia segera menggunakan gerak tipu Pek-hong Koan-jit (Bianglala Putih Menutup Matahari). Pedang mustikanya berputar cepat sekali hingga merupakan payung penutup tubuhnya yang amat rapat dan kuat.

“Jika begitu, tentulah putera Kwee An Locianpwe!” kata Kam Liong lagi, menduga-duga. Oleh karena apa bila bukan putera Pendekar Bodoh, hanya putera atau murid Kwee An Locianpwe saja yang memiliki kepandalan sedemikian hebatnya, demikian ia berpikir.

“Jangan mengobrol! Aku tak kenal orang she Kwee itu!” jawab Lie Siong dengan marah.

Dia pun merasa penasaran sekali karena sudah bertempur lima puluh jurus lebih, namun belum juga dapat mengalahkan panglima muda yang lihai ini. Dia lalu berseru keras dan dengan pedang di tangan kanan mainkan Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang diciptakan oleh ibunya sendiri untuk menyesuaikan pedang yang dipergunakannya, sambil ia menggunakan tangan kirinya untuk menyerang dengan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang membuat tangan kirinya lantas mengeluarkan uap putih.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)