PENDEKAR REMAJA : JILID-13


Nyo Tiang Le kaget sekali, menahan napas dan mengumpulkan lweekang-nya pada dada untuk menyambut benturan kepala yang tak dapat dielakkan atau pun ditangkis lagi itu.

“Dukkk...!”

Tubuh Nyo Tiang Le langsung terpental sampal dua tombak lebih, sedangkan Wi Kong Siansu nampak pucat dan terhuyung-huyung akan tetapi pada saat itu dia bisa mengatur napasnya kembali.

Sedangkan Nyo Tiang Le, sesudah terguling sambil muntahkan darah merah dari mulut, ternyata juga dapat melompat berdiri lagi! Akan tetapi pada waktu itu pula, dari sebelah kanannya menyambar benda hitam kekuningan ke arah kepalanya. Ia terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi terlambat!

“Takk!”

Terdengar suara ketika kepala huncwe di tangan Ban Sai Cinjin mengenai batok kepala Pengemis Iblis. Seketika itu juga Nyo Tiang Le merasa kepalanya pening dan matanya gelap. Tiba-tiba dia berbangkis beberapa kali, lalu tertawa bergelak dan ia lalu melompat keluar di dalam gelap, terus melarikan diri!

Ban Sai Cinjin tertawa terbahak-bahak. “Dia telah terluka di dalam otaknya, sekarang dia hanya kehilangan ingatannya saja, akan tetapi tak lama lagi ia akan roboh dan mampus!”

Kam Seng terkejut sekali mendengar ucapan ini dan hatinya merasa ngeri. Sebetulnya ia tak mengira bahwa supek-nya akan mengalami nasib yang sehebat itu. Tadinya ia hanya bermaksud untuk melepaskan diri dari Mo-kai Nyo Tiang Le untuk berguru kepada tosu itu dan untuk mendapatkan harapan baru dalam cita-citanya membalas dendam.

Juga Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu menghela napas panjang dengan rasa sesal.

“Sute, mengapa kau menewaskannya? Permusuhan akan menjadi makin hebat.”

Ban Sai Cinjin tersenyum. “Suheng, pengemis itu terlalu menghina kita, dan orang jahat dan berbahaya seperti dia sudah sepatutnya dilenyapkan agar kelak tidak menimbulkan kepusingan.”

Kam Seng lalu berlutut di depan Wi Kong Siansu dan berkata, “Suhu, betapa pun juga, Mo-kai Nyo Tiang Le pernah melepas budi kepada teecu, apakah teecu boleh mengubur jenazahnya?”

Tosu itu nampak girang. “Bagus, Kam Seng. Sikapmu ini menyenangkan hatiku, karena boleh kuharapkan kesetiaanmu kepadaku kelak. Kau susullah dia, kurasa tidak akan jauh dari sini kau akan dapat menemukannya.”

Kam Seng segera melompat keluar dan mengejar ke arah Nyo Tiang Le tadi melompat pergi. Dan benar saja, di tempat yang tak jauh dari kelenteng itu dia mendapatkan tubuh supek-nya itu sudah tak bernyawa lagi, rebah di atas tanah dalam keadaan terlentang!

Kedua mata pengemis iblis itu terbuka dan di bawah sinar buIan, mata itu seakan-akan memandangnya dengan penuh penyesalan, mulut yang sudah biru itu pun seakan-akan berbisik, “Murid durhaka!”

Ia bergidik dan cepat menggunakan sapu tangan untuk menutupi muka itu. Kemudian dia menggali lubang di tanah dekat tempat itu untuk mengubur jenazah supek-nya.

Demikianlah, semenjak saat itu, Kam Seng menjadi murid Wi Kong Siansu. Ia menerima latihan ilmu silat yang tinggi sehingga kepandaiannya maju pesat sekali. Ketika Hok Ti Hwesio, murid Ban Sai Cinjin yang kini telah menjadi seorang hwesio muda yang cakap tiba di kelenteng itu, hwesio muda ini memandang kepada Kam Seng dan berkata,

“Sute, agaknya aku pernah melihat mukamu, entah di mana.”

Kam Seng tersenyum dan menekan debar jantungnya. “Tidak bisa jadi, Suheng. Selama hidupku baru sekali ini aku bertemu dengan kau.”

Karena Kam Seng pandai membawa diri dan sangat menghormat kepada semua orang sebagai orang baru, dia amat disuka. Selain Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio, Ban Sai Cinjin masih mempunyai seorang murid lain yang usianya baru empat belas tahun, yaitu putera seorang pangeran dari kota raja. Pangeran itu maklum akan kelihaian Ban Sai Cinjin, maka ia lalu memberikan puteranya untuk dididik oleh kakek lihai ini.

Anak muda ini datang dua bulan setelah Kam Seng berada di kelenteng itu dan namanya adalah Ong Tek. Sebelum berguru kepada Ban Sai Cinjin, Ong Tek pernah mempelajari ilmu silat dari panglima kerajaan, sehingga ilmu silatnya pun sudah lumayan juga.

Kam Seng memberikan banyak petunjuk kepada sute-nya yang dikasihinya ini, dan sebaliknya Ong Tek juga memberi pelajaran ilmu surat kepada suheng-nya ini. Hubungan mereka sangat erat karena dengan lain-lain orang yang berada di sana, terutama dengan Hok Ti Hwesio, kedua anak muda ini kurang merasa cocok.

Dengan amat tekun dan rajin, Kam Seng berlatih ilmu silat dari Suhu-nya yang baru dan tanpa terasa lagi, setahun telah lewat dengan amat cepatnya…..

********************

Begitulah riwayat Kam Seng yang terlihat oleh Lili. Tentu saja Lili merasa terheran-beran melihat betapa Kam Seng dan orang tua yang berjenggot pendek itu ternyata menuju ke kelenteng di mana dulu Kam Seng akan dibelek perutnya oleh hwesio cilik murid Ban Sai Cinjin!

Sebenarnya, Kam Seng baru saja datang dari dusun Tong-sin-bun, ke rumah Ban Sai Cinjin untuk menjemput orang setengah tua itu yang menjadi utusan dari Pangeran Ong. Utusan ini adalah seorang guru silat yang dahulu pernah pula mengajar Ong Tek di kota raja dan kini dia menerima tugas dari Pangeran Ong untuk menengok puteranya serta membawa segala macam barang kiriman berupa pakaian, uang dan lain-lain.

Kedatangan Kam Seng dan guru silat disambut oleh Ong Tek dengan girang sekali. Anak muda ini berlari menghampiri guru silat itu dan sambil memegang tangannya, dia segera bertanya, “Tan-kauwsu, apakah Ayah dan Ibu baik-baik saja?”

“Baik, Kongcu, semua baik. Taijin dan Hujin hanya berpesan agar supaya Kong-cu suka belajar dengan rajin di sini.”

Mereka bertiga lalu masuk ke ruang dalam, di mana terdapat Wi Kong Siansu dan Hok Ti Hwesio. Ban Sai Cinjin tidak berada di situ, oleh karena kakek mewah ini lebih banyak bermalam di dusun Tong-sin-bun.

Semenjak Wi Kong Siansu tinggal di kelentengnya itu, Ban Sai Cinjin tak merasa leluasa apa bila tinggal bermalam di situ pula. Dia merasa malu kepada suheng-nya karena dia memiliki kesukaan yang meniadi pantangan bagi kakak seperguruannya, yaitu misalnya meminum minuman keras, bermain judi dengan kawan-kawannya, atau bergurau dengan perempuan-perempuan penyanyi.

Mata Lili yang tajam masih dapat mengenal Hok Ti Hwesio sebagai hwesio kecil yang dulu hampir membelek perut Kam Seng, maka semakin heranlah dia melihat betapa kini Kam Seng dapat bersahabat dengan hwesio itu! Juga dia heran sekali ketika mendengar Kam Seng menyebut ‘Suhu’ kepada tosu tua yang duduk di situ!

Di manakah adanya suhu Sin-kai Lo Sian serta supek Mo-kai Nyo Tiang Le? Demikian dara perkasa ini bertanya seorang diri dengan penuh rasa bingung.

Lili mendengarkan guru silat she Tan itu bercerita mengenai keadaan di kota raja dan hatinya berdebar keras ketika guru silat itu berkata,

“Agaknya keturunan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya telah mulai berdatangan dan mengacau pula di sekitar kota raja.”

Tak hanya Lili yang mengintai dari atas genteng yang tertarik oleh penuturan ini, bahkan semua orang di bawah genteng juga tertarik sekali.

“Seorang pemuda keturunan Pendekar Bodoh atau entah kawan-kawannya, oleh karena menurut cerita Kam Thai-ciangkun, penjahat itu pandai ilmu-ilmu silat Pendekar Bodoh, telah mengacau di kota Tatung dan membunuh putera Kepala Daerah Tatung, yaitu Gui Kongcu. Bahkan pemuda jahat itu sudah melarikan seorang gadis bangsa Haimi yang tadinya hendak menjadi bini muda Gui Kongcu!”

Kam Seng amat tertarik dan bertanya, “Tan-kauwsu, siapakah namanya? Dan apakah ia benar-benar putera Pendekar Bodoh? Apakah namanya Hong Beng, Sie Hong Beng?”

Guru silat itu menggeleng kepalanya. “Entahlah, tentang namanya aku tidak tahu. Hanya saja, menurut penuturan Kam-ciangkun, pemuda jahat itu amat lihai. Kam-ciangkun telah terkenal memiliki kepandaian yang tinggi sekali, akan tetapi dia mengaku bahwa pemuda pengacau itu ilmu silatnya benar-benar tinggi, hampir sama dengan Pendekar Bodoh!”

Tentu saja Lili merasa heran dan juga tertegun mendengar cerita ini. Siapakah pemuda itu? Benarkah Hong Beng kakaknya? Boleh jadi, karena dia mendengar dari ayah ibunya bahwa kakaknya itu pun sudah meninggalkan perguruan dan kini menuju pulang setelah merantau dulu untuk meluaskan pengalaman.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan ketika Lili memandang ke bawah, ia melihat bahwa yang tertawa itu adalah Hok Ti Hwesio, kepala gundul muda itu. Hok Ti Hwesio tertawa menyeringai dengan sikap menghina dan berkata,

“Ha-ha, kenapa orang selalu menyebut-nyebut nama Pendekar Bodoh dan menganggap dia seakan-akan seorang dewata? Kenapa orang agaknya memuji-muji musuh sehingga memperkecil semangat sendiri? Urusan Pendekar Bodoh, serahkan saja padaku, siapa yang takut kepadanya? Tunggulah sampai aku bertemu dengan dia!”

Semua orang tahu bahwa Hok Ti Hwesio ini selain sombong seperti gurunya, juga amat lihai. Ia telah mempelajari tidak saja ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu sihir dan ilmu lainnya yang aneh dan mukjijat. Ia memiliki ilmu kebal yang luar biasa, bukan ilmu kebal yang timbul akibat tenaga lweekang, akan tetapi ilmu kebal yang dipelajari oleh pengaruh sihir.

Sebagaimana pernah dituturkan pada bagian depan, untuk memperoleh ilmu ini, ia tidak segan-segan untuk makan jantung manusia. Selain itu, dia sangat terkenal pula dengan kepandaiannya melempar dan mainkan pedang kecil atau pisau belati yang disebutnya sendiri ‘hui-kiam’ (pedang terbang).

Pedang kecil ini dapat ia lontarkan dengan cepat dan yang aneh, pedang kecil ini dapat mengejar sasarannya dan dapat pula terbang kembali seakan-akan bersayap. Tentu saja pedang itu tidak dapat terbang sebagaimana nampaknya, namun karena kepandaiannya melempar yang telah terlatih baik dan karena bentuk pedang itu agak bengkok, ditambah pula dengan pengerahan tenaga yang tepat, maka pedang itu seolah-olah dapat terbang kembali.

Ketika Lili mendengar ucapan hwesio muda ini, timbullah kemarahannya. Hampir saja dia melompat turun untuk mengamuk dan menampar mulut hwesio yang berani menantang-nantang ayahnya itu.

Akan tetapi ia teringat akan nasehat ayahnya yang berkata, “Lili, kelemahan yang paling membahayakan diri kita sendiri, adalah rasa takut dan nafsu marah. Kalau kau takut dan marah, maka kau tak akan dapat berlaku tenang dan mutu permainan silat akan menjadi turun serta keadaan menjadi lemah sekali. Karena itu, baik dalam keadaan bagaimana juga kau harus sanggup menguasai hatimu, dan dapat membebaskan diri dari rasa takut dan nafsu marah.”

Aku tak boleh marah, pikirnya dan setelah dengan susah payah ia dapat menekan hawa amarah yang mengalun di dalam dadanya, barulah Lili memandang kembali ke bawah. Ia mendengar Tan-kauwsu masih banyak menceritakan keadaan kota raja dan saat melihat kepala Hok Ti Hwesio yang gundul plontos dan mengkilap tertimpa sinar tujuh batang lilin yang dipasang di atas meja, timbullah keinginan di hati Lili untuk mempermainkan orang ini. Memang gadis ini mempunyai watak yang persis seperti ibunya, jenaka, nakal dan suka mempermainkan orang yang dibencinya.

Di atas genteng itu terdapat banyak tanah lumpur yang terjadi dari debu dan air hujan. Ia lalu menggaruk lumpur ini dari celah-celah genteng kemudian membuat beberapa butir pil lumpur sebesar kacang.

Lili bekerja dengan hati-hati sekali hingga sama sekali tak menimbulkan suara, kemudian dia meletakkan sebutir pil lumpur atau tanah liat itu di atas telapak tangan kirinya, dan menggerakkan jari tengah dan ibu jari kanan untuk menendang atau menyelentik pil itu ke bawah.

Dia tidak berani menggunakan tangan menyambit karena kalau dia lakukan hal ini, tentu angin tenaga sambitannya itu akan terdengar dari bawah oleh telinga orang-orang yang berkepandaian tinggi itu. Begitu pil tanah liat itu terkena tendangan jari tengah, benda kecil ini meluncur turun dengan amat cepat menuju ke arah kepala Hok Ti Hwesio yang gundul licin dan mengkilap.

“Plokk!”

Pil tanah liat itu dengan jitu sekali mengenai kepala Hok Ti Hwesio dan menjadi gepeng serta melengket pada kulit kepalanya! Akan tetapi tubuh hwesio muda itu tidak bergerak sedikit pun juga, seakan-akan serangan ini tidak terasa olehnya.

Hal ini amat mengejutkan hati Lili, oleh karena ia maklum bahwa tenaga selentikannya ini cukup untuk membuat tanah liat itu melubangi batang pohon! Demikian keraskah batok kepala hwesio itu?

Sebaliknya, Hok Ti Hwesio juga terkejut sekali. Dia tidak merasa terlalu sakit, akan tetapi kulit kepalanya cukup terasa pedas. Yang membuat dia sangat terkejut adalah kelihaian serangan ini. Mengapa dia tidak mendengarnya sama sekali? Bagaimana orang dapat menyambit sesuatu tanpa mengeluarkan suara?

Dan lagi, kalau memang betul yang menyambitnya seorang manusia yang berada di atas genteng, kenapa dia dan yang lain-lainnya tidak mendengarnya? Mungkin pendengaran telinganya kurang tajam, akan tetapi Wi Kong Siansu tentu akan mendengarnya!

Maka dia lalu meraba kepalanya dan menyangka bahwa yang jatuh di atas kepalanya itu hanya tahi cecak yang kebetulan jatuh di atas kepalanya. Juga Kam Seng dan Wi Kong Siansu mendengar suara ‘plok’ tadi, akan tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu apa pun, hanya mengira bahwa itu adalah suara buah busuk yang jatuh di atas tanah di luar kelenteng.

Benda hitam kecil ke dua meluncur cepat, disusul dengan yang ke tiga dan ke empat. Tiba-tiba saja Hok Ti Hwesio berseru keras dan mencabut pisau belatinya dengan marah sekali. Kali ini dia merasa sakit sekali pada hidung dan kedua telinganya. Dengan tepat sekali tiga pil tanah liat kecil itu menghantam hidung dan kedua daun telinganya.

Tak salah lagi, ini tentu perbuatan seorang manusia. Tidak mungkin binatang cecak bisa melempar tahi demikian kebetulan!

“Bangsat rendah, kalau kau memang berani, turunlah!” bentaknya sambil mendongakkan kepalanya memandang ke arah genteng.

Akan tetapi malang baginya, karena ia berseru sambil menengadah, sebutir pil tanah liat yang tidak kelihatan dan tidak terdengar menyambarnya, dan tahu-tahu telah memasuki mulutnya sehingga tak tertahan pula terus masuk ke tenggorokan lalu turun ke perut!

“Kurang ajar! Keparat!”

Hok Ti Hwesio menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat ia telah melompat keluar dan langsung naik ke genteng, sedangkan Wi Kong Siansu, Kam Seng, Tan-kauwsu dan Ong Tek memandang kelakuan hwesio itu dengan heran.

Ketika tiba di atas genteng, Hok Ti Hwesio memandang ke sana ke mari, akan tetapi dia tak melihat bayangan seekor kucing pun di atas genteng. Dengan mendongkol dan juga heran sekali dia melompat turun dan kembali ke dalam ruang itu. Ia berpikir bahwa kalau memang benar ada orang mengganggunya, tentulah orang itu melakukan hal itu karena marah mendengar ia tadi menantang Pendekar Bodoh, karena itu dengan suara keras ia berkata,

“Apa bila yang datang tadi Pendekar Bodoh atau konco-konconya, maka ternyata bahwa Pendekar Bodoh dan konco-konconya hanyalah pengecut-pengecut besar yang berani menyerang dengan sembunyi! Kalau ia berani turun ke sini, dalam beberapa jurus saja tentu pisauku ini akan menembus lehernya!”

Baru saja ucapannya habis, mendadak terdengar bentakan nyaring dari atas, “Bangsat gundul bermulut besar!” Berbareng dengan bentakan itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di ruangan itu telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah sekali.

Semua orang amat terkejut melihat gadis ini, karena bagaimanakah seorang dara muda remaja memiliki ginkang yang sedemikian tingginya sehingga kedatangannya sampai tak terdengar sama sekali?

Yang lebih terkejut adalah Kam Seng, karena sekali memandang saja ia mengenal gadis ini sebagai Lili!

“Lili...!” ia berseru perlahan dengan mata terbelalak.

Apa bila orang melihat sinar matanya, di sana akan terbayang kasih sayang yang besar, tercampur kebencian yang mengejutkan. Memang, semenjak dahulu ketika tertolong oleh Sinkai Lo Sian, Kam Seng merasa kagum dan suka sekali kepada Lili. Ia kagum akan kecantikan dan kejenakaan gadis ini, sehingga dulu sering kali ia diam-diam memandang kepada gadis itu dengan pikiran melamun. Akan tetapi, di samping rasa kasih sayangnya ini, ia mengandung kebencian hebat sekali mengingat bahwa dara jelita ini adalah puteri dari musuh besarnya, Pendekar Bodoh!

Seruan perlahan ini terdengar juga oleh Lili, maka dia menengok dan tersenyum manis. “Kukira tadi bukan Kam Seng yang berada di sini, akan tetapi ternyata benar-benar kau! Kenapa kau berada di sini? Di manakah Suhu dan Supek?” tanyanya sambil memandang tajam. Sinar matanya berkelebat seolah-olah hendak menembus dada Kam Seng hingga pemuda itu merasa tak enak hati sekali dan mukanya berubah merah.

Sementara itu, Wi Kong Siansu beserta yang lain-lain juga sudah bangkit dari tempat duduknya, dan Hok Ti Hwesio bertanya kepada Kam Seng,

“Sute, siapakah perempuan ini?”

Tiba-tiba timbul sebuah pikiran yang baik dalam otak Kam Seng. Ia memang mempunyai perasaan tidak suka kepada Hok Ti Hwesio yang kini menjadi suheng-nya, dan dia ingin mengadu hwesio ini dengan Lili agar dengan demikian dia dapat mengadukan dua orang yang termasuk dalam daftar musuhnya.

“Suheng, engkau tadi mencari Pendekar Bodoh. Nah, inilah puterinya yang bernama Sie Hong Li atau Lili!”

Lili makin terheran mendengar ucapan Kam Seng ini. “Dan Si Gundul ini kalau tak salah tentulah si tukang membelek perut, bukan? Apakah dia sekarang menjadi suheng-mu, Kam Seng?”

Makin merahlah muka Kam Seng mendengar hal ini. “Lili...” katanya perlahan. “Sekarang tidak ada hubungan antara kau dan aku lagi, aku... aku sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, yaitu suhu-ku yang baru ini!”

Lili tersenyum mengejek. “Siapa bilang bahwa kau dan aku pernah ada hubungan? Dari dulu pun kita tidak mempunyai hubungan sesuatu!”

Sementara itu, Hok Ti Hwesio tak dapat menahan kemarahannya lagi.

“Bagus, hendak kulihat sampai di mana kelihaian anak dari Pendekar Bodoh!”

Sambil berkata demikian, ia lantas menyerang dengan pisau belatinya, menusuk ke arah dada Lili yang berdiri dengan tenang. Melihat tusukan ini, Lili lalu tertawa mengejek dan sambil mengelak gesit ia mentertawakan hwesio itu.

“Tukang sembelih babi! Bagaimana kau berani berlagak di depan nonamu? Apakah kau masih ingin merasai pil tanah liat lagi? Masih kurang kenyangkah yang tadi itu?” Sambil berkata demikian, tangan Lili terayun dan dia melemparkan dua butir pil lagi yang masih dipegangnya. Dengan cepat sekali dua butir pil itu menyambar ke arah sepasang mata Hok Ti Hwesio!

Bukan main kagetnya Si Kepala Gundul ini pada saat melihat dua titik hitam berkelebat menyambar matanya. Dia cepat menundukkan mukanya, akan tetapi serangan dua butir pil tanah liat itu benar-benar cepat sekali.

“Tak! Tak!”

Bagaikan dua buah pelor besi, dua butir pil tanah liat itu melesat di atas kepalanya yang gundul, meski pun tidak dapat melukai kulitnya yang kebal, namun cukup mendatangkan rasa sakit!

“Perempuan liar, kau harus mampus!” serunya marah.

Dia langsung maju lagi menyerang dengan cepat, menggunakan gerak tipu yang disebut Coan-jiu Ciong-kiam (Lonjorkan Lengan Sembunyikan Pedang). Gerakan ini merupakan serangan yang berbahaya sekali, karena ia melakukan serangan dengan pukulan tangan kanan sambil menyembunyikan pedang kecil itu di bawah lengannya. Pedang kecil ini siap untuk diputar dan ditusukkan apa bila pukulan itu dapat dielakkan lawan.

Akan tetapi, Lili yang sudah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari ayah ibunya, bahkan sudah menerima ilmu silat warisan dari Swie Kiat Siansu yang diturunkan melalui ayahnya, tentu saja hanya mentertawakan serangan ini. Ia maklum bahwa pedang kecil yang tersembunyi di bawah lengan itu akan melakukan serangan lanjutan, maka dia lalu memutar kedudukan kakinya, mengelak sambil memainkan Ilmu Silat Sianli Utauw (Tari Bidadari) yang indah sehingga tubuhnya seakan-akan sedang menari-nari menghadapi serangan lawannya. Mulutnya yang kecil manis itu tiada hentinya tersenyum dan sambil menggerakkan tubuh mengerling tajam ke arah lawannya, ia menyindir,

“Tikus gundul! Tiada guna kau maju memperlihatkan kebodohanmu! Suruhlah Bouw Hun Ti si keparat itu keluar untuk kuambil kepalanya!”

Hok Ti Hwesio semakin marah, apa lagi ketika dia mendengar Wi Kong Siansu berkata sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah gadis itu,

“Itulah Ilmu Silat Sianli Utauw yang lihai dari Ang I Niocu! Hok Ti, kau mundurlah karena kau tidak akan menang menghadapi Nona ini!”

Hanya ada seorang saja di dunia ini yang ditakuti serta ditaati oleh Hok Ti Hwesio, yakni gurunya, Ban Sai Cinjin. Walau pun dia menghormati supek-nya ini, akan tetapi di dalam kemarahan dan rasa penasarannya terhadap Lili ucapan supek-nya itu bahkan semakin menambah kemarahannya.

“Biarlah, Supek. Masa teecu tidak dapat mengalahkan perempuan liar ini?”

Ia lalu maju lagi dan kini mengirim serangan maut bertubi-tubi. Pisau belati di tangannya menyambar-nyambar cepat sekali dan karena ginkang-nya memang sudah sangat tinggi, sedangkan pisau itu kecil dan ringan, ditambah tenaga lweekang-nya yang sudah baik, maka tubuhnya lenyap berubah menjadi segunduk bayangan yang mengurung tubuh Lili dari segenap jurusan.

Lili sudah mempelajari ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan meski pun belum sempurna seperti ayahnya, namun dara jelita yang gagah perkasa ini sudah mengerti pula tentang dasar dan pokok pergerakan ilmu silat, maka dengan enaknya ia menghadapi serangan-serangan Hok Ti Hwesio.

Dia melihat hwesio itu menyerangnya dengan gerak tipu Tiang-ging King-thian (Pelangi Panjang Melengkung di Langit) dan pedang kecil itu menyambar di atas kepalanya, ada pun kaki kanan hwesio itu menendang dengan cepatnya sambil mengerahkan tenaga Kim-kong-twi (Tendangan Sinar Emas).

Melihat gerakan pedang dan kaki yang menendang, Lili dapat menduga bahwa lawannya tentu memancing dirinya untuk mengelakkan tendangan itu dengan gerak lompat Kim-le Coan-po (Ikan Gabus Terjang Ombak) atau Cian-liong Seng-thian (Naga Sakti Naik ke Langit) agar supaya tubuhnya naik ke atas hingga pedang kecil yang berkelebat di atas kepalanya itu dapat menyerangnya dengan gerak tipu Liong-ting Thi-cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga).

Ia pun maklum akan berbahayanya serangan beruntun ini, akan tetapi dasar Lili memang berhati tabah, berwatak nakal jenaka, dan sudah memiliki perhitungan yang tepat, maka dengan sengaja seakan-akan tak tahu bahaya, ia segera melompat ke atas mengelakkan serangan tendangan lawan dengan Ilmu Lompat Cian-liong Seng-thian!

Hok Ti Hwesio menjadi girang sekali melihat pancingannya ternyata berhasil dan benar saja, seperti yang sudah diduga oleh Lili, pedang kecil di tangannya lalu menyambar dari atas, memapaki kepala Lili dengan gerakan Liong-ting Thi-cu (Ambil Mutiara di Kepala Naga)! Satu hal yang tidak terduga oleh Lili, yaitu sambil melakukan serangan berbahaya ini, tangan kiri Hok Ti Hwesio tidak tinggal diam dan maju memukul ke arah dada gadis itu dengan pukulan yang mengandung tenaga Thiat-ciang-kang (Pukulan Tangan Besi)!

Kam Seng yang melihat bahaya mengancam gadis cantik yang diam-diam menjatuhkan cinta kasihnya itu, hampir saja berseru ngeri karena tak terbayang olehnya bagaimana orang dapat menghindarkan diri dari bahaya serangan sehebat itu!

Akan tetapi Lili berlaku tenang. Ia mengangkat tangan kirinya ke atas dan menggerakkan tangannya itu secara luar biasa sekali ke arah pedang lawan sehingga terdengar suara…

“Cringg...!”

Ternyata dia sudah berhasil menangkis pedang lawannya itu dengan gelang emas yang melingkar di pergelangan tangan kirinya! Ada pun pukulan ke arah dadanya itu ia sambut dengan tangan kanannya, dengan telapak tangan dari jari-jari yang dikembangkan!

“Ah... tangan kanan itu sudah terang mainkan Pek-in Hoat-sut akan tetapi tangan kiri itu... apakah itu yang disebut Kong-ciak Sinna, ilmu-ilmu lihai dari Bu Pun Su?” terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum.

Akan tetapi, orang-orang lain tak memperhatikan ucapan ini karena mereka lebih tertarik melihat akibat dari dua gerakan gadis yang lihai itu. Hok Ti Hwesio tadi merasa terkejut setengah mati ketika menyaksikan betapa gadis muda itu dapat menangkis pedangnya hanya dengan gelang di tangannya! Akan tetapi kekagetannya itu tidak berarti apa bila dibandingkan dengan kenyataan yang ia hadapi ketika pukulan tangan kirinya bertumbuk dengan telapak tangan gadis itu!

Ia tidak merasa bahwa kepalan tangannya sudah bertemu dengan telapak tangan kanan lawannya, akan tetapi dari telapak tangan itu mengebul uap putih dan ia merasa lengan kirinya seakan-akan hendak patah! Rasa sakit menusuk-nusuk tulang lengannya yang kiri, dan dia tahu bahwa itu adalah akibat membaliknya tenaga pukulannya sendiri!

Sambil berseru keras hwesio ini melompat ke belakang dan cepat menggunakan gagang pedangnya untuk menotok urat lengan kirinya. Dengan cara demikian dia membuyarkan tenaga sendiri yang membalik karena tangkisan gadis itu secara istimewa tadi!

“Perempuan liar! Jangan lari!” teriak Hok Ti Hwesio dengan keras dan marah, suatu sikap untuk menutup rasa malunya dan untuk memperbesar semangatnya.

Ia menubruk maju lagi dan kini ia bersilat lebih hati-hati. Diam-diam ia merasa penasaran dan sedih sekali sehingga ingin sekali dia menangis berkaok-kaok saking jengkel hatinya. Bagaimanakah dia, Hok Ti Hwesio, murid Ban Sai Cinjin, yang sejak masih kecil dengan rajin dan tekunnya mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi, bahkan sudah memiliki kekebalan dan ilmu kesaktian yang berdasarkan ilmu hitam, juga sudah ‘bertapa’ mencari kesaktian dari makhluk halus, bermalam di tanah pekuburan, sekarang dengan pedang di tangan tidak berdaya menghadapi seorang gadis yang bertangan kosong?

Saking jengkelnya, ia tidak ingat lagi akan pengalamannya yang tadi. Bila Hok Ti Hwesio tidak begitu jengkel dan penasaran, tentu telah terbuka matanya bahwa dia menghadapi seorang lawan yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya.

“Hemm, tikus gundul! Binatang rendah macam kau inikah yang hendak melawan ayah? Ha, kau perlu diberi rasa sedikit!”

Setelah berkata demikian, Lili mengubah caranya bersilat dan kini dia memainkan Sianli Utauw bagian yang paling cepat. Tubuhnya seakan-akan lenyap berubah menjadi sinar kemerahan dari bajunya yang berkembang merah itu sehingga pandangan mata Hok Ti Hwesio menjadi pening.

Sering kali ia menyaksikan gurunya atau supek-nya bersilat dengan hebat, akan tetapi belum pernah melihat yang secepat ini. Dia lalu mengamuk dan menggunakan pedang kecilnya menyambar ke arah bayangan tubuh lawannya. Akan tetapi tiap kali pedangnya menyerang, xia merasa hanya mengenai angin belaka karena lawannya sudah berhasil mengelak lebih dulu. Dan sebagai imbangannya…

“Tokk!” terdengar suara ketika kepalanya telah kena diketok oleh jari tangan Lili.

Beberapa puluh jurus mereka bertempur dan entah sudah beberapa belas kali terdengar suara ‘tak-tok! tak-tok!’ karena selalu tangan atau pun kaki Lili berkenalan dengan kepala yang gundul klimis itu.

Gadis ini benar-benar merasa kagum dan heran. Ketokan, pukulan, dan tendangannya itu dilakukan dengan tenaga lweekang yang penuh dan kuat luar biasa. Jangankan baru kepala orang, biar pun kepala patung batu akan pecah atau retak terkena serangan ini. Bagaimanakah hwesio ini dapat menerima semua pukulan itu dengan adem-adem saja, seakan-akan yang hinggap di kepalanya hanyalah lalat-lalat belaka?

Sebaliknya, Hok Ti Hwesio menjadi demikian mendongkol, malu, penasaran dan marah sehingga tak terasa lagi dari kedua matanya keluar dua titik air mata yang besar-besar! Bukan main gemasnya karena kepalanya dibuat main bola oleh gadis ini, dan biar pun ia dapat menahan pukulan itu, namun tetap saja ia merasa sedikit puyeng!

Wi Kong Siansu khawatir kalau-kalau murid keponakan ini akan mendapat luka di dalam otaknya akibat pukulan-pukulan lihai itu, maka dia segera membentak, “Hok Ti! Mundur kau...!”

Kali ini Hok Ti Hwesio tidak membangkang, karena di dalam suara supek-nya terdengar perintah yang amat keras. Lagi pula, tadinya dia hendak mengadu nyawa karena merasa malu untuk mengundurkan diri mengaku kalah setelah dia tadi bersumbar, kini ia melihat kesempatan baik karena supek-nya yang memerintahnya mundur!

Dengan gerak lompatan Naga Hitam Berjungkir Balik ia melompat ke belakang, membuat poksai (salto) tiga kali dan tiba-tiba ketika tubuhnya masih berjumpalitan itu, pisau belati yang berada di tangannya telah ia lontarkan ke arah Lili!

Inilah keistimewaan Hok Ti Hwesio. Pedang kecil atau pisau belati itu lantas menyambar dengan cepatnya, merupakan sinar putih yang mengkilap menuju ke arah leher Lili yang sama sekali tidak menduganya. Akan tetapi, dengan tenang sekali dan masih tersenyum, Lili mengangkat tangan kiri ke depan leher dan dengan gerak tipu Kwan-im-siu-koai-to (Dewi Kwan Im Menyambut Golok Siluman) ia telah dapat menangkap hui-kiam (pedang terbang) itu dan berbareng pada saat itu juga, dia mengirim pulang pedang itu dengan melontarkannya ke arah perut Hok Ti Hwesio disusul suara ejekannya,

“Nah, makanlah pisau penyembelih babimu ini!”

Baru saja tubuh Hok Ti Hwesio melompat turun, pisaunya telah terbang dan menyambar perutnya yang kecil karena jarang makan itu. Dia terkejut sekali sehingga tidak sempat mengelak atau menangkis, maka dia cepat mengerahkan kekebalannya ke tempat yang terserang itu dan…

“Brett!” hanya pakaiannya sajalah yang terobek oleh pisau itu, akan tetapi kulitnya lecet pun tidak!

“Terlalu enak bagimu!” Lili berseru penasaran dan sambil melangkah maju dua tindak, ia melancarkan pukulan Pek-in Hoat-sut ke arah hwesio itu dengan kedua lengannya!

“Celaka!” seru Wi Kong Siansu.

Dari tempatnya tosu ini segera menggerakkan ujung kedua lengan bajunya menangkis serangan angin pukulan yang sudah dilancarkan oleh Lili. Akan tetapi, masih tetap saja sebagian tenaga pukulan ini menyerang Hok Ti Hwesio sehingga hwesio itu terpental menubruk dinding di belakangnya yang terpisah tiga tombak lebih dari padanya!

Kalau saja pukulan ini tak tertahan oleh angin tangkisan Wi Kong Siansu, maka tak dapat diharapkan Hok Ti Hwesio akan dapat bernapas lagi. Walau pun dia kebal, akan tetapi pukulan Pek-in Hoat-sut menembus semua kekebalan dan merusak tubuh bagian dalam. Kini Hok Ti Hwesio juga terluka, akan tetapi tidak terlalu parah dan tidak membahayakan jiwanya, hanya cukup membuat dia terduduk mengeluh panjang pendek sambil berusaha mengerahkan tenaga dalam untuk memulihkan lukanya.

“Ganas, ganas...!” kata Wi Kong Siansu sambil memandang kepada Lili. “Tidak kusangka bahwa Pek-in Hoat-sut dari Bu Pun Su yang budiman dan penuh hati welas asih itu kini dipergunakan oleh cucu muridnya secara demikian kejam!”

Lili tersenyum manis dan menjura kepada Wi Kong Siansu, lalu ia pun berkata, “Wi Kong Siansu, aku yang muda sudah sering kali mendengar namamu yang besar sebagai orang yang berkepandaian tinggi. Ucapanmu tadi memang kuakui ada benarnya, akan tetapi agaknya kau orang tua sudah menjadi pikun dan lupa akan ejekan orang-orang jaman dahulu yang berbunyi: peluh orang lain berbau busuk, akan tetapi kotoran sendiri berbau sedap! Tadi mudah saja kau mencela aku yang muda, bahkan membawa nama Sucouw Bu Pun Su. Akan tetapi, bukankah tikus gundul itu murid keponakanmu sendiri? Kenapa kau tidak mencelanya sama sekali? Apakah kau anggap bahwa perbuatannya terhadap aku tadi cukup pantas?”

Merahlah wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. Ia tidak tahu bahwa Lili memang semenjak kecil gemar berkelahi dan karena sering kali bertengkar, maka ia juga menjadi pandai berdebat! Apa lagi karena dia sering kali mendengar ayahnya memberi nasehat dengan segala macam ujar-ujar kuno, maka ujar-ujar yang kiranya dapat dia pergunakan untuk ‘memukul’ lawan, telah hafal di dalam kepalanya.

Dengan kata-katanya yang lantang itu, gadis ini sama sekali tidak memandang muka Wi Kong Siansu sehingga tosu itu menjadi penasaran sekali. Ia merasa ditantang!

“Hemm, Nona muda, biar pun kau puteri Pendekar Bodoh, tak selayaknya kau bersikap begini sombong di hadapan Toat-beng Lo-mo! Agaknya ayahmu hanya memberi didikan ilmu silat saja kepadamu, sama sekali tidak memberi pelajaran mengenai tata susila dan sopan santun!”

Kembali Lili tersenyum lebih manis lagi. Semakin manis senyum gadis ini, maka semakin berbahayalah dia, karena itu merupakan tanda bahwa ia sedang mengasah otaknya dan berada dalam keadaan yang amat waspada.

“Totiang, orang-orang dulu yang lebih tua dari padamu telah menyatakan bahwa manusia dihormat oleh sesamanya bukan karena keputihan rambutnya (usia tua), melainkan dari keputihan hatinya (budiman).”

Mulai bersinar pandang mata Wi Kong Siansu. “Bocah lancang mulut! Apakah kau mau menyatakan bahwa kau anggap aku seorang jahat?”

“Tak ada sangka-menyangka dalam hal ini, Totiang,” kata Lili sambil mengerling ke arah Kam Seng dengan pandangan mengejek. “Ayah pernah berkata bahwa burung gagak hanya akan berkawan dengan mayat, sedangkan burung Hong hanya berkawan dengan burung sorga! Aku tidak berani menyatakan atau menyangka bahwa Totiang dan semua orang di sini jahat pula, akan tetapi aku berani menyatakan bahwa orang-orang yang bernama Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio, yang keduanya tinggal di tempat ini juga adalah binatang-binatang rendah yang harus dimusnakan dari muka bumi ini!”

Ucapan ini terasa bagai tamparan pedas di muka Wi Kong Siansu, akan tetapi terhadap Kam Seng merupakan ujung pedang yang menikam di ulu hatinya. Mukanya yang tadi merah sekarang berubah menjadi pucat.

Wi Kong Siansu berkata lagi, “Hemm, kau masih kanak-kanak akan tetapi mulutmu jahat sekali. Sikapmu menantang kepadaku, akan tetapi aku masih malu untuk menghadapi seorang anak kecil seperti kau. Kam Seng, kau wakili aku dan coba kau uji kepandaian Nona ini!”

Kam Seng tidak berani membantah. Gurunya sudah tahu bahwa sebelum dia datang di tempat itu, ia adalah suheng dari gadis ini, maka kalau sekarang ia memperlihatkan sikap ragu-ragu dan membantah, tentu gurunya akan menaruh hati curiga kepadanya. Pula, Lili adalah anak dari musuh besarnya yang harus pula ia balas, sungguh pun cara membalas dendam terhadap Lili telah ada rencana lain dalam otaknya!

Dia amat sayang kalau nona yang begini cantik manis sampai terbinasa. Akan lebih baik kalau dia dapat mengambil nona ini menjadi isterinya! Bukan karena cinta kasih murni, akan tetapi hanya untuk mempermainkan anak musuh besarnya!

Sambil menekan debar jantungnya, Kam Seng segera melangkah maju sambil mencabut pedangnya.

“Lili,” katanya dengan suara tenang, “kau sudah berani menghina Suhu. Lekas cabutlah pedangmu itu dan mari kita main-main sebentar. Hendak kulihat apakah kepandaianmu sesuai dengan kesombonganmu ini!”

Lili tidak menjawab, bahkan dia lalu menatap pemuda itu dan memandang dengan penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki. Ia melihat pemuda ini sekarang nampak tampan dan gagah, mukanya putih terawat, rambutnya tersisir rapi dan diikat ke atas. Pakaiannya bersih dan terbuat dari sutera mahal, baju warna merah dengan leher kuning emas dan celana warna biru. Alangkah jauh bedanya dengan Kam Seng yang dulu itu! Dulu hanya seorang pengemis kelaparan dan kurus kering, berpakaian compang-camping dan kotor.

“Hemm, Kam Seng, kau benar-benar sudah memperoleh kemajuan hebat! Pakaianmu itu semewah keadaan dalam ruangan ini! Hanya sayangnya, tidak semua keadaan di luar mencerminkan keadaan di dalam! Banyak kutemui keindahan luar yang hanya menjadi kedok dari pada kebobrokan di sebelah dalam!” Suara ini dikeluarkan dengan bibir masih tersenyum simpul, seolah-olah ia adalah seorang dewasa yang sedang memberi nasehat kepada seorang anak kecil.

“Sudahlah, Lili, jangan banyak cakap lagi,” Kam Seng menjawab dengan muka kemerah-merahan. “Tidak ada gunanya bertanding kata-kata, cabutlah pedangmu!”

“Lagakmu seperti orang gagah saja!” Lili masih menyindir dan dengan gerakan perlahan dia mengeluarkan sebuah kipas dari dalam bajunya, membuka kipas itu lalu mengipasi tubuhnya yang tidak gerah!

Bagi pandangan orang lain dan juga Kam Seng, agaknya sikap Lili ini memandang rendah sekali kepada lawannya. Bahkan Kam Seng tidak mengira bahwa gadis itu akan menghadapinya dengan kipas di tangan!

“Lili, lekas kau keluarkan pedangmu. Aku tak mau menyerang orang bertangan kosong!” Ucapan ini sengaja dikeluarkan dengan keras untuk memberi tamparan kepada Hok Ti Hwesio yang dibencinya.

Akan tetapi Lili hanya tersenyum saja dan mengipasi tubuhnya makin cepat lagi. “Untuk menghadapi seekor lalat, cukup dengan sehelai kipas!” katanya.

Tidak seperti Kam Seng dan orang-orang lainnya, Wi Kong Siansu memandang kepada kipas di tangan Lili itu dengan penuh perhatian. Bukan kipasnya yang menarik perhatian tosu ini, melainkan cara jari tangan gadis itu memegang kipas itu.

Orang lain apa bila memegang kipas tentu gagangnya digenggam di telapak tangan di antara empat jari dan ibu jari. Akan tetapi Lili memegang kipas itu dengan gagang dijepit antara ibu jari dan telunjuk, sedangkan tiga jari tangan yang lain lurus dan tegang!

Berdebarlah dada tosu ini karena pegangan ini mengingatkan ia akan jago tua di utara, yaitu Swie Kiat Siansu, ahli Kipas Maut! Akan tetapi tidak mungkin, pikirnya. Bagaimana gadis ini bisa menjadi murid Swie Kiat Siansu?

“Kam Seng, jangan pandang ringan kipas itu, kau seranglah!” katanya kepada muridnya.

Lili diam-diam memuji ketajaman mata tosu itu, sedangkan Kam Seng menjadi terkejut dan memperhatikan kipas di tangan Lili. Kipas itu gagangnya berwarna putih kekuningan seperti tulang. Ia dapat menduga bahwa kalau kipas ini dipergunakan sebagai senjata, tentu gagang kipas itu terbuat dari pada gading yang keras. Layar atau permukaan kipas entah terbuat dari apa, kekuningan pula akan tetapi telah digambari gunung dan sungai dan ditulisi syair pula.

Ia masih merasa ragu-ragu. Bagaimanakah kipas sekecil itu akan dipergunakan sebagai senjata? Akan tetapi karena suhu-nya telah menyuruhnya menyerang, ia lantas bergerak maju.

“Awas pedang!” teriaknya dan menyeranglah dia dengan gerak tipu Liu-seng Kan-goat (Bintang Mengejar Bulan), sebuah gerak tipu serangan yang cukup berbahaya.

Laksana sebuah bintang, ujung pedang itu bergerak secara berantai dan dapat mengejar terus kemana saja sasarannya bergerak. Kini yang dijadikan sasaran oleh pedangnya adalah pundak kanan Lili. Dengan memilih sasaran pundak kanan, Kam Seng hendak menyatakan bahwa dia tidak berniat jahat atau hendak menewaskan gadis itu. Dengan menyerang pundak, maka ia memberi banyak kesempatan kepada Lili untuk mengelak.

Akan tetapi, ternyata Lili sama sekali tak mengelak, bahkan menanti datangnya serangan ini dengan senyum mengejek. Kam Seng terkejut sekali. Betapa pun juga, dia tidak bisa membatalkan serangannya karena hal ini akan membikin marah suhu-nya dan biar pun hanya pundak, kalau terkena pedangnya tentu akan terluka hebat juga! Serangannya ini amat cepat dan dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya.

Pada waktu ujung pedang Kam Seng sudah berada dekat sekali dengan baju Lili yang menutup pundak, tiba-tiba gadis itu yang masih saja mengipasi tubuhnya dengan kipas lalu mengubah gerakan kipasnya dan kini dia mengebut ke arah pedang Kam Seng yang ujungnya sudah mendekati pundaknya.

Kam Seng hampir mengeluarkan seruan keras saking kagetnya. Gerakan dengan kipas di tangan yang sangat sederhana namun luar biasa sekali, dibarengi penyerangan yang luar biasa pula. Sekaligus kipas itu telah melakukan tiga gerakan yang luar biasa.

Permukaan kipas menangkis ujung pedang, lalu kebutannya mendatangkan angin yang menyambar wajahnya sehingga membuat ia tak dapat membuka mata, dan gagang kipas dari gading itu cepat sekali melakukan totokan berbahaya ke arah pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang!

“Lihai sekali...!” terdengar Wi Kong Siansu berseru kagum. “Aku berani bertaruh bahwa ini tentulah Ilmu Kipas Maut dari Swie Kiat Siansu!”

Sementara itu Kam Seng yang lincah gerakannya telah dapat melompat mundur dan wajahnya menjadi pucat. Karena tadi memandang rendah hampir saja ia terkena totokan hanya dalam segebrakan saja. Sedangkan Lili makin kagum mendengar ucapan Wi Kong Siansu yang ternyata dapat mengenal ilmu silatnya demikian cepatnya.

Kam Seng berlaku hati-hati dan kini ia tidak berlaku sheji (sungkan) lagi. Ia mengerahkan kepandaiannya dan menyerang dengan cepat, mempergunakan Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-sut, yaitu ilmu pedang ciptaan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang amat ganas dan selain kuat juga amat cepat gerakannya.

Diam-diam Lili kagum juga melihat ilmu pedang ini. Sayang dia sudah berkumpul dengan orang-orang jahat, pikirnya. Bila ia terus terdidik oleh orang baik-baik, tentu ilmu sitatnya akan amat berguna.

Sama sekali Lili tidak tahu bahwa sesungguhnya dasar ilmu silat Kam Seng ia dapat dari pendidikan Mo-kai Nyo Tiang Le. Hanya ilmu pedangnya ini memang pelajaran dari Wi Kong Siansu. Agaknya pemuda ini merasa malu untuk mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Nyo Tiang Le guna menghadapi gadis ini.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)