PENDEKAR REMAJA : JILID-15


“Lili... Lili... aku tidak sanggup membunuhmu... tanganku gemetar... bagaimana aku bisa membunuh gadis yang kucinta dengan seluruh jiwaku? Tidak, Lili, tidak! Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi... aku pasti akan mencari ayahmu, aku harus membalas sakit hatiku terhadap Pendekar Bodoh...!” demikian keluh kesah yang keluar dari mulut Kam Seng sambil menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya.

Pada saat itu, terdengar suara senjata-senjata beradu di ruang depan dibarengi teriakan Hok Ti Hwesio, “Supek... tolong...! Supek, lekas bantu...! Lekas bantu merobohkan gadis setan ini...!”

Mendengar seruan ini, Kam Seng melompat bangun. Kalau Hok Ti Hwesio sampai minta tolong kepada suhu-nya, yaitu Wi Kong Siansu, dan tidak minta tolong kepada suhu-nya sendiri, berarti bahwa tentu terjadi mala petaka hebat dan datang musuh yang tangguh.

Ia hendak melompat keluar dari kamarnya, akan tetapi ia teringat kepada Lili dan merasa khawatir bahwa kalau ia meninggalkan gadis itu seorang diri, jangan-jangan gadis yang dikasihinya itu akan diganggu oleh Hok Ti Hwesio atau Ban Sai Cinjin. Untuk beberapa saat dia merasa ragu-ragu, lalu menghampiri Lili dan berkata,

“Lili, aku hendak membebaskanmu. Ketahuilah, bahwa perbuatanku ini hanya terdorong oleh rasa cinta kasih terhadapmu, dan ketahuilah pula bahwa pada suatu hari aku pasti akan membalas dendamku pada ayahmu yang sudah membunuh ayahku!”

Sesudah berkata demikian, Kam Seng segera menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lili. Dia telah belajar ilmu silat dari Wi Kong Siansu, maka dia tahu pula bagaimana harus membuka totokan dari suhu-nya itu. Setelah menotok pundak gadis itu, dia lalu melompat keluar sambil membawa pedangnya, langsung menuju ke ruang depan dari mana terdengar suara senjata beradu.

Walau pun pengaruh totokan yang menghentikan jalan darahnya sudah lenyap dan jalan darahnya sudah terbuka kembali, akan tetapi Lili masih merasa lemas dan hanya dapat bergerak perlahan. Dia segera mengumpulkan semangat dan mengatur pernapasannya untuk melancarkan kembali jalan darahnya.

Dia melihat betapa kipas dan pedangnya telah ditaruh di atas meja dalam kamar itu oleh Kam Seng. Hatinya merasa tidak karuan karena dia telah mengalami ketegangan hebat selama dibawa di dalam kamar Kam Seng. Kini ia merasa terharu, marah, malu, dan juga diam-diam ia merasa berterima kasih kepada pemuda itu.

Ada sedikit rasa girang dalam hatinya bahwa biar pun pemuda itu telah menggabungkan diri dengan orang-orang jahat, namun pada dasarnya hati pemuda itu tidaklah kejam dan jahat. Masih ada kegagahan di dalam lubuk hati Kam Seng. Ia teringat akan supek-nya Song Kun, karena ia pernah ia diceritakan tentang halnya Song Kun ini oleh ibunya.

Setelah kesehatannya pulih kembali, Lili cepat mengambil senjata-senjatanya kemudian melompat keluar di mana kini suara senjata masih beradu ramai sekali. Ketika ia tiba di ruang luar, di bawah sinar lampu ia melihat seorang gadis cantik manis yang memiliki gerakan lincah sekali, sedang bertempur dikeroyok tiga oleh Ban Sai Cinjin, Song Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio!

Sungguh mengagumkan sekali betapa gadis cantik manis itu bisa menghadapi lawannya sambil tersenyum-senyum dan mainkan kedua tangannya yang tidak memegang senjata. Ginkang-nya sungguh hebat dan mengagumkan, bagaikan seekor kupu-kupu bermain di antara tiga bunga itu menyambar-nyambar, di celah tiga gulungan sinar senjata di tangan tiga pengeroyoknya.

“Goat Lan...!” Lili berteriak girang pada waktu ia mengenal wajah manis yang tersenyum-senyum itu.

“Hai, Lili, anak nakal! Kau di sini?” Gadis itu dalam menghadapi desakan lawan-lawannya masih sempat berjenaka.

“Goat Lan, jangan khawatir. Mari kita basmi tiga anjing busuk ini!”

Lili segera mencabut keluar kipas dan pedangnya, lantas menyerbu dan menyerang Ban Sai Cinjin. Ia merasa segan dan sungkan untuk menyerang Kam Seng, maka ia sengaja memilih Ban Sai Cinjin dan membiarkan Goat Lan menghadapi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio.

Ban Sai Cinjin sudah merasakan kelihaian Lili, bahkan tadi sore pundaknya telah terluka hebat oleh gadis ini. Dalam keadaan sehat dia masih belum dapat mengalahkan Lili, apa lagi sekarang pundaknya masih belum sembuh benar, tentu saja ia merasa amat gelisah.

Kalau saja ia tidak sedang terluka, tadi pun Goat Lan tak nanti dapat mempermainkan dia begitu mudah. Dan ia maklum bahwa belum tentu ia kalah oleh Lili kalau saja tadi sore ia tidak bertempur dengan main-main dan memandang rendah. Terpaksa ia menggigit bibir, dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Ban Sai Cinjin adalah seorang tokoh kang-ouw yang selain berkepandaian sangat tinggi, juga sudah mengenal banyak sekali taktik perkelahian dan mempunyai banyak tipu-tipu curang. Pengalamannya amat luas dan tenaga lweekang-nya juga telah mendekati batas kesempurnaan. Oleh karena itu biar pun ia sudah terluka masih amat sukarlah bagi Lili untuk dapat merobohkan kakek mewah ini. Sebaliknya, jangan harap bagi Ban Sai Cinjin untuk mengalahkan puteri Pendekar Bodoh yang mempunyai ilmu kipas dan ilmu pedang yang luar biasa sekali.

Berbeda dengan pertempuran antara Lili melawan Ban Sai Cinjin yang berjalan seru dan seimbang, pertempuran antara gadis cantik manis dan kedua pengeroyoknya, Kam Seng dan Hok Ti Hwesio, berjalan berat sebelah. Ketika tadi dikeroyok tiga, gadis itu masih dapat melayani dengan senyum simpul, apa lagi sekarang. Meski pun kepandaian Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sudah jauh lebih tinggi dari pada kepandaian silat para ahli silat biasa, akan tetapi bagi gadis manis itu mereka berdua ini masih merupakan ahli-ahli silat kelas rendah saja!

Bagaimanakah gadis itu yang ternyata adalah Kwee Goat Lan, dapat tiba-tiba muncul di situ? Dan mengapa tahu-tahu sudah dikeroyok oleh Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio pada saat Lili tertawan dalam kamar Kam Seng?

Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dalam percakapan antara Ong Tek putera pangeran dan Hok Ti Hwesio, pemuda cilik dari kota raja itu merasa amat muak dan tidak senang melihat peristiwa yang terjadi di dalam kuil di mana dia belajar silat kepada Ban Sai Cinjin.

Betapa pun juga, Ong Tek adalah seorang pemuda bangsawan yang sejak kecil dididik dengan pelajaran-pelajaran kesopanan dan juga dia sudah banyak membaca kitab-kitab kuno di mana terdapat segala macam pelajaran mengenai kebajikan. Ia menjadi terkejut dan juga kecewa melihat dengan kedua mata sendiri betapa jahat adanya orang-orang yang selama ini dia hormati dan junjung tinggi. Maka dia lalu masuk ke dalam kamarnya sambil menangis, lalu dia memaksa kepada Tan-kauwsu, utusan dari ayahnya itu, untuk pada malam hari itu juga meninggalkan kuil dan pulang ke kota raja.

Sikap pemuda bangsawan ini membuat Hok Ti Hwesio menjadi curiga dan cepat hwesio ini menjumpai suhu-nya. Ketika Ban Sai Cinjin mendengar keadaan muridnya dari kota raja itu, dia pun mengerutkan alisnya.

“Sungguh berbahaya,” katanya perlahan. “Bila anak itu pulang dan menceritakan segala peristiwa yang terjadi kepada ayahnya dan para pembesar, tentu nama kita akan hancur dan tercemar.”

“Kenapa pusing-pusing, Suhu? Kalau Sute tidak mau menurut kehendak kita dan bahkan hendak merusak nama kita, lebih baik kita lenyapkan dia bersama guru silat itu, habis perkara!”

Ban Sai Cinjin menjadi ragu-ragu. “Enak saja kau bicara! Apa kau kira Ong Tek itu orang biasa saja yang boleh kita perbuat sesuka kita! Apa bila dia sampai lenyap, apa kau kira Pangeran Ong tidak akan mencari dan menimbulkan huru-hara yang akan menyulitkan kita?”

Hok Ti Hwesio tersenyum “Apa sih bahayanya seorang putera bangsawan macam Ong Tek? Sedangkan menghadapi orang-orang besar seperti pendekar Pek-le-to Lie Kong Sian, Mo-kai Nyo Tiang Le, Sin-kai Lo Sian, kita masih sanggup membereskan mereka tanpa banyak ribut dan tiada seorang pun mengetahui, apa lagi seorang manusia macam Ong Tek dan seorang guru silat seperti orang she Tan itu? Suhu, mengapa kita tidak mau meminjam nama puteri Pendekar Bodoh untuk melenyapkan mereka? Kita sebarkan bahwa yang menewaskan Ong Tek dan Tan-kauwsu adalah puteri Pendekar Bodoh itu, bukankah ini baik sekali?”

Wajah Ban Sai Cinjin berseri. “Kau benar! Kau memang cerdik sekali, Hok Ti!” ia memuji. “Kita lenyapkan kedua orang itu, kemudian kita bikin puteri Pendekar Bodoh seperti Lo Sian. Ha-ha-ha-ha! Akan lenyap jejak mereka dan tak seorang pun mengetahuinya.”

Pada saat itu, terdengar tindakan kaki dua orang yang berlari keluar dari kelenteng itu.

“Nah, itulah mereka yang agaknya hendak melarikan diri pada malam hari ini juga. Kita harus bertindak cepat sebelum Supek mengetahui!” berkata Hok Ti Hwesio yang merasa takut kepada supek-nya, Wi Kong Siansu yang pada waktu itu sudah berada di dalam kamarnya.

Ban Sai Cinjin dan Hok Ti Hwesio segera melompat keluar dan mereka melihat Ong Tek diikuti oleh Tan-kauwsu yang menggendong buntalan pakaian putera pangeran itu.

“Ong Tek, kau hendak pergi ke manakah?” Ban Sai Cinjin membentak.

Melihat suhu-nya datang bersama Hok Ti Hwesio, Ong Tek menjadi sangat terkejut dan sinar ketakutan membayangi wajahnya yang tampan.

“Suhu... teecu hendak... hendak pulang ke kota raja bersama Tan-suhu. Teecu... merasa rindu kepada ayah dan ibu...!”

“Hemm, kau hendak lari dari kami, ya? Bagus, murid macam apa kau ini? Tidak boleh, kau tidak boleh pergi! Tentu di kota raja kau hendak membuka mulut besar tentang kami, ya?”

“Tidak... tidak, Suhu... tidak!” kata Ong Tek dengan muka pucat ketika melihat suhu-nya melangkah maju dengan huncwe mengancam di tangan.

“Kau murid durhaka. Kau harus diberi hajaran!”

Tan-kauwsu segera melompat maju. “Jangan kau berani mengganggu Ong-kongcu, Ban Sai Cinjin! Ingat, dia adalah putera Pangeran Ong!”

Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha. Segala tikus busuk seperti kau berani pula ikut campur bicara! Apa kau kira aku takut kepada segala macam pangeran? Biar kepada Kaisar sendiri pun aku tidak takut!” Ia lalu melangkah maju dan mengayun huncwe-nya ke arah kepala guru silat she Tan itu!

Serangan ini hebat dan cepat sekali, akan tetapi Tan-kauwsu sungguh pun tidak memiliki ilmu silat yang dapat dibandingkan dengan kepandaian Ban Sai Cinjin, namun dia sudah banyak merantau dan telah mempunyai pengalaman yang banyak dalam pertempuran. Ia cepat mengelak ke belakang, akan tetapi hawa pukulan huncwe itu masih membuatnya terhuyung-huyung ke belakang.

Pada waktu Ban Sai Cinjin hendak mengejar untuk mengirim pukulan maut, tiba-tiba saja dari atas genteng menyambar turun sesosok bayangan manusia yang gerakannya begitu cepat sehingga nampak bagaikan seekor burung garuda menyambar.

“Manusia setan!” bayangan itu berseru dengan suaranya yang nyaring dan merdu. “Kau benar-benar kejam!”

Dan tiba-tiba huncwe pada tangan Ban Sai Cinjin yang sudah dipukulkan ke arah kepala Tan-kauwsu itu terpental mundur oleh tenaga pukulan dari atas!

Ketika Ban Sai Cinjin yang merasa terkejut sekali itu memandang, ternyata di depannya telah berdiri seorang gadis yang cantik manis dengan dua buah lesung pipit di sepasang pipinya. Gadis ini cantik dan jenaka sekali, sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi, mulutnya tersenyum lebar sehingga giginya yang rata dan putih berkilau bagaikan mutiara itu nampak berkilat.

Ban Sai Cinjin tercengang karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa seorang gadis muda dapat menahan huncwe-nya dengan tangan kosong saja! Ia maklum bahwa ia sedang menghadapi seorang gadis muda yang menjadi murid orang sakti.

Gadis cantik itu tersenyum manis. “Kau tentu yang bernama Ban Sai Cinjin Si Huncwe Maut. Hemm, pantas saja kau disebut Huncwe Maut, karena hampir saja kau membunuh orang lagi.” Dia lalu menengok ke arah Ong Tek dan Tan-kauwsu, lalu berkata kepada Ong Tek,

“Aku sudah mendengar bahwa kau adalah seorang putera pangeran. Entah bagaimana kau bisa tersesat dalam neraka dunia ini, akan tetapi itu bukan urusanku. Lebih baik kau lekas melanjutkan niatmu pergi dari sini. Lebih cepat lebih baik. Jangan takut, boneka besar pengusir burung di sawah ini serahkan saja kepadaku!”

Ong Tek lalu memandang tajam, agaknya untuk mengukir wajah gadis penolongnya itu di dalam ingatannya, kemudian dia mengangguk memberi hormat dan segera pergi, diikuti oleh Tan-kauwsu.

“Ong Tek, jangan kau berani pergi dari sini!” seru Hok Ti Hwesio yang segera mencabut pisaunya dan menyambitkan pisau terbangnya itu ke arah Ong Tek!

Pisau itu terbang lewat di dekat gadis itu yang dengan tenang mengulurkan tangan dan sekali tangannya bergerak, pisau itu telah disampoknya ke bawah sehingga pisau itu kini meluncur ke bawah dan menancap di atas lantai!

“Hmm, hwesio gundul, telah banyak aku mendengar tentang hwesio-hwesio gundul yang pada hakekatnya hanyalah penjahat-penjahat rendah yang banyak mencemarkan nama para pendeta Buddha! Agaknya kau yang paling rendah di antara mereka semua!”

Bukan main marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan serta melihat sikap gadis itu. Tanpa banyak cakap lagi ia lantas menyerang dengan huncwe-nya. Juga Hok Ti Hwesio lalu menubruk kembali pisaunya, mencabutnya dari lantai dan maju menyerang.

Ban Sai Cinjin yang biasanya amat sayang kepada gadis cantik, biar pun harus diakui bahwa dara di hadapannya ini memiliki kecantikan yang sangat menggiurkan dan jarang terdapat, kini hatinya sama sekali tidak terguncang, bahkan ingin sekali dia membunuh gadis ini. Demikianlah, Ban Sai Cinjin dan muridnya lalu menyerang hebat kepada gadis manis itu yang melayani mereka dengan tangan kosong.

Sungguh hebat ilmu ginkang dari gadis itu. Dengan lincahnya dia dapat mengelakkan diri dari sambaran huncwe dan pisau lawannya, bahkan dia masih sempat memaki-maki dan mentertawakan sambil membalas serangan mereka dengan pukulan-pukulan yang tidak boleh dipandang ringan.

Ban Sai Cinjin terkejut sekali melihat sepak terjang gadis ini. Diam-diam ia pun mengeluh dalam hatinya. Selamanya hidup, belum pernah dia mengalami malam sesial ini. Secara berturut-turut telah datang dua orang gadis yang aneh dan lihai sekali!

Kalau saja ia tidak terluka pundaknya oleh pukulan kipas dari Lili sore tadi, tentu ia akan dapat menyerang lebih baik terhadap gadis yang baru datang ini. Ia dapat melihat betapa gadis itu mempergunakan Ilmu Silat Bi-ciong-kun (Kepalan Menyesatkan) yang menjadi pecahan dari Ilmu Silat Tangan Kosong Kwan-im Siu-ban-po (Dewi Kwan Im Menyambut Selaksa Musuh)!

Akan tetapi pergerakan kedua tangan gadis ini sangat aneh, agak berbeda dengan ilmu silat tersebut, dan yang membuatnya diam-diam harus mengakui dan mengagumi adalah ilmu ginkang dari gadis ini. Ilmu meringankan tubuhnya mengingatkan dia kepada empat besar di dunia dan terutama sekali kepada Bu Pun Su!

Akan tetapi, gadis yang sekarang tertawan di dalam kamar Kam Seng dan yang menjadi cucu murid Bu Pun Su sendiri, agaknya tidak sehebat ini ilmu ginkang-nya!

Melihat betapa dia bersama gurunya sama sekali tak berdaya, bahkan telah dua kali dia menerima pukulan tangan halus akan tetapi antep itu, Hok Ti Hwesio mulai berteriak-teriak memanggil supek-nya minta bantuan! Hanya berkat ilmu kebalnya yang hebat, ia terhindar dari mala petaka ketika tangan gadis itu berhasil memukulnya sampai dua kali.

Sepeti telah dituturkan di bagian depan, teriakan-teriakan Hok Ti Hwesio terdengar oleh Kam Seng yang berada di dalam kamarnya dan sedang menghadapi Lili yang tertawan. Suara senjata yang didengarnya ternyata adalah suara pisau di tangan Hok Ti Hwesio yang beradu dengan huncwe Ban Sai Cinjin.

Memang, Goat Lan yang jenaka dan nakal itu beberapa kali menyampok tangan Hok Ti Hwesio sehingga pisaunya menjadi nyeleweng dan membentur senjata suhu-nya sendiri, membuat Ban Sai Cinjin menjadi makin marah dan mendongkol.

Goat Lan terheran pada saat melihat seorang pemuda tampan dengan pedang di tangan ikut maju mengeroyoknya. Ia melihat gerakan pedang yang cukup tangkas dan lihai. Kini setelah dikeroyok tiga, dia tidak mendapat banyak kesempatan untuk membalas dengan serangannya.

Akan tetapi gadis ini benar-benar tabah dan jenaka. Biar pun tiga orang lawannya amat tangguh, ia masih melayani mereka dengan tangan kosong, mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya, menyambar-nyambar di antara gelombang serangan.

Dan pada saat itu, datanglah Lili. Hal ini benar-benar tak pernah disangka oleh Goat Lan. Tentu saja dia menjadi amat gembira dan girang. Telah bertahun-tahun dia tidak bertemu dengan Lili, mungkin sudah ada tiga tahun.

Dia melihat betapa calon adik iparnya ini maju menyerbu dengan senjata pedang dan kipas. Dia merasa amat heran ketika melihat betapa Lili menyerbu Ban Sai Cinjin dengan muka merah dan mata berapi, agaknya Lili amat marah dan membenci kakek mewah itu.

Melihat kemarahan Lili yang agaknya penuh nafsu membunuh itu, Goat Lan tidak mau main-main lagi dan saat ia berseru keras, kaki kanannya telah berhasil menendang tubuh belakang Hok Ti Hwesio dengan gerakan Soan-hong-twi (Tendangan Kitiran Angin).

Tendangan ini dilakukan dengan tenaga yang ratusan kati beratnya dan cukup membuat tulang punggung lawan menjadi patah-patah. Akan tetapi, bagaikan sebuah bal karet, tubuh Hok Ti Hwesio terpental keras dan ketika membentur dinding, lalu mental kembali dan bergulingan di atas lantai tanpa luka sedikit pun!

Goat Lan terheran-heran sehingga untuk sesaat ia berdiri bengong memandang manusia bal itu! Tentu saja ia tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio telah melatih diri dengan ilmu kebal yang luar biasa dan yang dimilikinya setelah dia makan tiga buah jantung manusia!

Pada saat Goat Lan berdiri bengong memandang Hok Ti Hwesio saking herannya, Kam Seng mengirim tusukan maut dengan pedangnya. Ujung pedangnya sudah berada dekat sekali dengan dada kiri Goat Lan, akan tetapi alangkah terkejut hati Kam Seng ketika tiba-tiba, bagaikan tubuh seekor ular, tubuh gadis itu melenggok ke kiri dan tusukan itu hanya lewat di pinggir tubuhnya saja! Dan sebelum Kam Seng kehilangan rasa herannya, tiba-tiba saja dia merasa lengan kanannya sakit sekali dan pedangnya telah terlepas dari pegangannya! Tanpa dia ketahui, dengan gerakan yang cepat bukan main bagaikan kilat menyambar, Goat Lan telah mengirim totokan ke arah urat nadinya!

Hok Ti Hwesio telah bangun berdiri lagi, begitu juga Kam Seng telah mengambil kembali pedangnya karena totokan tadi tidak berbahaya, akan tetapi kedua orang itu kini merasa ragu-ragu dan hanya memandang kepada gadis itu dengan bengong. Mereka mengira sedang berhadapan dengan setan, sebab bagaimanakah seorang gadis cantik lagi muda itu dapat menghadapi mereka dengan tangan kosong dan membuat mereka tak berdaya dengan dua kali serangan saja?

Sementara itu, Ban Sai Cinjin telah diserang dan didesak hebat oleh Lili yang berusaha membunuhnya! Pundaknya yang tadi terluka mulai terasa sakit bukan main dan agaknya sambungan tulang yang telah disambung itu kini terlepas lagi! Keadaannya benar-benar berbahaya dan Goat Lan hanya memandang sambil tertawa-tawa.

Pada saat itu, terdengar seruan orang dan tahu-tahu dari dalam menyambar angin yang menolak kipas Lili yang sedang dipukulkan ke arah dada Ban Sai Cinjin! Goat Lan amat terkejut ketika melihat betapa kipas itu terpental dan tahu bahwa dari dalam ada orang berkepandaian tinggi yang turun tangan. Benar saja, seruan tadi segera disusul dengan munculnya seorang tosu tua.

“Nona Sie!” kata tosu itu ketika Lili melompat mundur. “Muridku telah berlaku sangat baik kepadamu, mengapa kau masih mati-matian mengacaukan tempat tinggal orang lain?”

Melihat munculnya tosu yang sore tadi sudah merobohkannya, kemarahan Lili jadi makin memuncak. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Wi Kong Siansu ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, akan tetapi puteri Pendekar Bodoh ini memang mempunyai ketabahan yang diwarisinya dari ayah bundanya.

“Tosu siluman, rasakan pembalasanku!” teriaknya keras dan ia cepat menyerang dengan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut di tangan kanan serta mainkan San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Gunung dan Air) dengan tangan kirinya!

Wi Kong Siansu sudah tahu akan kelihaian gadis galak ini, maka dia berlaku hati-hati sekali dan mainkan kedua lengan bajunya dengan cepat. Juga Goat Lan berdiri dengan kagum memandang ilmu silat yang dimainkan oleh Lili. Diam-diam dia mengakui bahwa ilmu silat Lili benar-benar hebat sekali.

Akan tetapi ketika ia melihat gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu, ia lebih kaget lagi. Ujung lengan baju yang terbuat dari kain lemas itu kini mengeras bagaikan ujung toya baja dan tiap kali terbentur dengan pedang atau gagang kipas Lili, terdengar suara keras dan senjata di tangan gadis itu terpental ke belakang.

Melihat hal ini saja maklumlah Goat Lan bahwa kepandaian tosu tua ini sungguh hebat sekali dan jika dibiarkan saja, Lili mungkin takkan dapat menang. Maka ia lalu mencabut senjatanya dan berseru,

“Kakek tua, jangan kau orang tua menghina yang muda!”

Ketika Wi Kong Siansu melihat datangnya serangan dan melihat senjata di tangan Goat Lan, kakek ini terkejut sekali dan cepat dia melompat mundur. Ternyata bahwa gadis ini sekarang memegang dua batang bambu kuning yang hanya sebesar lengan anak-anak dan berujung runcing, panjangnya kira-kira hanya tiga kaki!

“Tahan, Nona. Apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”

Goat Lan memang bersifat nakal dan jenaka, karena itu sambil tersenyum-senyum ia pun menjawab,

“Totiang (sebutan untuk pendeta tua), aku yang muda tidak mau membawa-bawa nama orang-orang tua untuk menakuti-nakuti kau!”

Merahlah wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. “Siapa takut kepadamu? Meski pun Hok Peng Taisu sendiri yang datang, aku Wi Kong Siansu belum tentu akan takut kepadanya! Hanya kulihat bahwa sepasang bambu runcingmu itu adalah bambu runcing yang merupakan kepandaian tunggal dari Hok Peng Taisu.”

“Sudahlah, tidak perlu kita membawa-bawa nama orang tua itu di tempat yang kotor ini. Pendeknya, kalau Totiang takut, sudah saja jangan kau mengganggu adikku ini!”

“Siapa takut? Biarlah, biar kumencoba kepandaian Bu Pun Su dan Swie Kiat Siansu yang diturunkan kepada Nona Sie ini dan sekalian kurasakan kelihaian bambu runcing dari Hok Peng Taisu!” Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu lalu mencabut pedangnya yang disembunyikan di balik jubahnya yang lebar.

Pedang ini bersinar kehitaman sebab inilah pedang mustika yang sangat berbahaya dan ganas yang bernama Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam)! Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu memang telah menciptakan semacam ilmu pedang tunggal yang pada waktu itu merupakan sebuah dari ilmu-ilmu pedang yang paling terkenal dan ditakuti di masa itu.

Ilmu pedang ini ia ciptakan berdasarkan pedang mustikanya yang didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san. Karena pedang itu mengeluarkan sinar kehitaman dan didapatkannya di atas Bukit Hek-kwi-san (Bukit Setan Hitam), maka ia lalu memberi nama Hek-kwi-kiam pada pedang itu dan lalu memberi nama pada ilmu pedang ciptaannya Hek-kwi Kiam-sut.

Walau pun Kam Seng sudah mempelajari ilmu pedang ini dengan tekunnya, akan tetapi karena ilmu pedang ini amat sukar dan banyak sekali perubahannya, maka kepandaian itu boleh dibilang belum ada sepersepuluh bagian dari kepandaian Wi Kong Siansu Si Iblis Tua Pencabut Nyawa!

“Majulah, anak-anak muda! Biarlah kalian mendapat kehormatan untuk mengenal Hek-kwi Kiam-sut dari dekat!”

Akan tetapi Lili yang amat marah sudah tak sabar lagi mendengar ocehan tosu itu dan cepat maju menyerang dengan pedangnya. Goat Lan yang dapat menduga kelihaian tosu itu, lalu maju pula membarengi gerakan Lili dan mengirim serangan dengan bambu runcingnya.

Sesungguhnya, dari kedua suhu-nya yang menggembleng dirinya selama delapan tahun, yaitu Sin Kong Tianglo Si Raja Obat dan Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak, Giok Lan hanya menerima latihan-latihan ilmu silat tangan kosong beserta lweekang dan ginkang. Akan tetapi gadis ini tentu saja tidak mau meniru kedua suhu-nya yang menggunakan senjata-senjata yang paling aneh di antara sekalian senjata ahli silat di dunia ini.

Yok-ong Sin Kong Tianglo selalu mempergunakan keranjang obat dan pisau pemotong rumput sebagai senjata, sedangkan Im-yang Giok-cu mempergunakan senjata guci arak. Oleh karena itu, di samping menerima gemblengan ilmu silat dari kedua kakek sakti ini, Goat Lan juga mempelajari ilmu pedang dari ayahnya dan terutama sekali yang paling disukai adalah mempelajari ilmu bambu runcing dari ibunya!

Bahkan sesudah dia dapat memainkan ilmu bambu runcing dengan pandai, dia lalu minta kepada ayahnya untuk membuatkan bambu runcing terbuat dari sepasang bambu kuning seperti milik ibunya! Hanya dengan senjata inilah Goat Lan melakukan perantauannya!

Ilmu silat Goat Lan tentu saja sudah tinggi dan tangguh bukan main. Ia telah menerima gemblengan dari empat orang berkepandaian tinggi dan biasanya dia hanya menghadapi para lawan yang betapa lihai pun dengan kedua kaki tangannya sambil mengandalkan ginkang-nya yang seperti ibunya itu. Akan tetapi kini saat menghadapi Wi Kong Siansu, terpaksa dia harus mengeluarkan bambu-runcingnya.

Begitu pula dengan Wi Kong Siansu. Biasanya, orang tua ini selalu memandang rendah lawan-lawannya dan tak pernah dia mengeluarkan pedang mustikanya. Kini menghadapi dua orang gadis cantik dan masih muda dia sampai mengeluarkan pedangnya, dapatlah diketahui bahwa tosu ini sama sekali tidak berani memandang ringan terhadap Lili dan Goat Lan.

Bahkan Ban Sai Cinjin sendiri memandang heran dan ia selalu bersiap sedia dengan hati berdebar-debar. Hok Ti Hwesio dan Kam Seng tentu saja hanya berdiri di sudut ruangan yang luas itu sambil menonton dan sama sekali tidak berani mencoba untuk ikut turun tangan.

Pertempuran kali ini memang benar-benar hebat sekali. Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-sut luar biasa ganas dan cepatnya hingga ruang yang terang oleh cahaya lampu itu menjadi muram, oleh karena sinar pedang itu bergulung-gulung laksana uap gunung berapi yang mengandung abu hitam.

Akan tetapi sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan merupakan titik kuning, yang kadang-kadang berkelebat bagaikan halilintar menyambar dengan cepatnya. Sedangkan pedang Liong-coan-kiam terkenal sebagai pedang yang ampuh, kini digerakkan dengan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut menjadi amat mengagumkan, berkelebat-kelebat bersinar putih laksana perak merupakan seekor naga perkasa yang bermain-main di antara awan hitam dan halilintar! Kipas maut di tangan kiri Lili merupakan pusat angin yang apa bila digerakkan membuat para penonton merasakan sambaran angin dingin yang aneh!

Empat ilmu silat yang luar biasa tingginya kini bertemu, dimainkan oleh tiga orang yang memiliki ilmu tinggi, sungguh merupakan pemandangan yang sukar dilihat orang! Ban Sai Cinjin, Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio sampai berdiri bengong bagaikan terpaku di lantai.

Bagi Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang ilmu kepandaiannya jauh lebih rendah, tidak ada kemungkinan sama sekali bagi mereka untuk ikut turun tangan dalam pertempuran yang maha dahsyat itu, akan tetapi tidak demikian dengan Ban Sai Cinjin. Apa bila diukur tingkat kepandaiannya, memang dia tidak usah mengaku kalah terhadap dua orang gadis itu.

Maka secara diam-diam kakek mewah ini lalu menelan dua butir pil dan mengurut-urut pundaknya, membenarkan letak tulang pundak sambil mengatur napasnya. Lalu, setelah pundaknya tidak begitu sakit lagi, dia lalu mengeluarkan tembakau hitamnya yang amat berbahaya, dan mulai mengisi kepala huncwe-nya dengan tembakau beracun itu. Tidak lama kemudian, mengebullah asap tembakau yang membuat kepala menjadi pening dan napas menjadi sesak. Kam Seng dan Hok Ti Hwesio sendiri terpaksa melangkah mundur menjauhi agar jangan sampai terkena serangan asap beracun itu.

Goat Lan adalah murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, maka tentu saja ia juga sudah mempelajari ilmu pengobatan, terutama sekali tentang racun yang sering kali dipergunakan oleh kaum hek-to (jalan hitam, yaitu orang-orang jahat). Begitu hidungnya mencium bau asap tembakau yang mulai melayang-layang di ruangan itu, ia pun maklum bahwa kakek mewah dengan huncwe mautnya itu akan ikut turun tangan pula, hendak mengandalkan huncwe dan asapnya yang lihai.

Cepat tangan kirinya menancapkan bambu runcing yang kiri di ikat pinggang, menjaga diri dengan bambu runcing kanan, lalu menggunakan tangan kirinya untuk merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan dua butir buah yang putih warnanya, lalu menyerahkan sebutir kepada Lili sambit berkata,

“Lili, masukkan buah ini ke dalam mulut dan gigit! Jangan telan!”

Lili menerima buah itu dan ketika dia menggigitnya, maka mulut dan hidungnya terasa dingin dan pedas, akan tetapi tercium hawa yang sangat harum keluar dari mulut serta hidungnya.

Pada saat itu pula, Ban Sai Cinjin sudah melompat maju dan menyerbu dengan huncwe mautnya sambil mengebulkan asap hitam dari mulutnya ke arah kedua orang gadis itu. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya pada waktu ia melihat Lili dan Goat Lan tidak mengelak dan menerima asap itu tanpa terpengaruh sedikit pun! Ternyata bahwa asap hitam itu sebelum dapat memasuki hidung atau mulut dua orang dara pendekar ini, telah diusir kembali oleh hawa harum yang keluar dari mulut dan hidung mereka!

Akan tetapi, setelah Ban Sai Cinjin ikut menyerbu, sibuk jugalah Lili dan Goat Lan. Tadi saat menghadapi dan mengeroyok Wi Kong Siansu, keadaan mereka baru dapat disebut seimbang, tetapi masih saja mereka berdua merasa amat sukar untuk dapat merobohkan Toat-beng Lo-mo yang memang sakti itu.

Kini, ditambah Ban Sai Cinjin yang memiliki ilmu kepandaian tidak lebih rendah dari pada tingkat mereka, tentu saja menimbulkan banyak kesukaran sehingga keduanya terpaksa mengerahkan kepandaian pada penjagaan diri.

“Lili, mari kita pergi, malam sudah lewat!” kata Goat Lan sambil memutar kedua bambu runcingnya menghadapi pedang hitam Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu. Memang, saat itu malam telah terganti pagi. Ayam-ayam hutan mulai berkokok nyaring, burung-burung mulai berkicau.

“Ha-ha-ha, nona-nona manis! Kalian baru boleh pergi setelah meninggalkan tubuh kalian yang bagus di sini. Hanya nyawa kalian saja yang bisa pergi! Ha-ha-ha!” Ban Sai Cinjin tertawa bergelak karena girangnya melihat betapa dia dan suheng-nya dapat mendesak kedua nona lihai itu.

Sebenarnya, pertempuran itu boleh dibilang amat ganjil. Wi Kong Siansu tetap dikeroyok dua oleh Lili dan Goat Lan, ada pun Ban Sai Cinjin hanya membantu suheng-nya dengan serangan-serangan curang kepada dua orang nona itu.

Lili dan Goat Lan tidak dapat membalas kakek mewah ini karena mereka selalu harus mencurahkan perhatian terhadap Toat-beng Lo-mo yang benar-benar sangat berbahaya dan lihai. Kedua nona itu merasa serba sulit.

Kalau seorang di antara mereka meningalkan Toai-beng Lo-mo untuk menghadapi Ban Sai Cinjin, mungkin sekali dia akan dapat merobohkan Ban Sai Cinjin yang sudah terluka pundaknya. Akan tetapi kawan yang ditinggalkan juga sangat berbahaya kedudukannya dan mungkin tidak akan kuat menghadapi Toat-beng Lo-mo. Maka mereka tetap saling bantu dan tidak mau meninggalkan kawan, selalu bersama-sama menghadapi desakan Toat-beng Lo-mo dan Ban Sai Cinjin tanpa dapat membalas!

Sebetulnya, biar pun hati nurani dan peri kemanusiaannya amat tipis, namun Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu masih mempunyai kegagahan dan keangkuhan, tidak mempunyai sifat pengecut dan rendah seperti sute-nya. Mendengar ejekan sute-nya terhadap kedua orang nona itu, ia merasa amat jengah dan malu.

Dua orang kakek yang telah dikenal sebagai tokoh-tokoh besar persilatan dan yang telah membuat nama besar di kalangan kang-ouw, sekarang menghadapi dua orang gadis yang usianya baru belasan tahun dan telah bertempur dua ratus jurus belum juga dapat mengalahkan mereka! Apa lagi kalau dia mengingat bahwa dua orang gadis muda ini adalah anak dan murid-murid dari orang-orang sakti seperti Hok Peng Taisu, Bu Pun Su dan Pendekar Bodoh, ia merasa gentar juga kalau harus merobohkan atau menewaskan mereka ini.

Juga ada sedikit rasa sayang dalam hatinya kalau harus menewaskan dua orang gadis muda yang demikian cantik jelita, jenaka, dan memiliki ilmu kepandaian yang sedemikian tingginya. Sebagai seorang ahli silat yang kawakan, tentu saja dia selalu merasa sayang kepada orang-orang muda yang berbakat dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi.

Tiba-tiba Lili dan Goat Lan yang sudah merasa sibuk dan mengambil keputusan untuk berlaku nekad, merasa betapa desakan pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan melemah. Mereka merasa heran sekali, akan tetapi tentu saja kedua orang gadis ini betapa pun tabah dan beraninya, tidak sudi berlaku bodoh dan membunuh diri.

Cepat mereka menggunakan kesempatan pada waktu pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan mengecil sinarnya. Mereka lalu berbareng melakukan penyerangan kepada Ban Sai Cinjin yang amat nekad menyerang membabi buta.

Hampir saja Ban Sai Cinjin menjadi korban pedang Lili kalau saja Toat-beng Lomo tidak cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi perubahan ini, yaitu dari pihak terserang menjadi pihak penyerang, sudah memberi kesempatan kepada Lili dan Goat Lan untuk cepat melompat keluar dari ruangan itu!

Ban Sai Cinjin hendak mengejar akan tetapi suheng-nya mencegah. “Mereka sudah lari, jangan dikejar, Sute. Kepandaian mereka tinggi dan tidak perlu pertempuran yang sudah berlangsung setengah malam ini harus diperpanjang lagi.”

Karena pundaknya juga terasa amat sakit, terpaksa Ban Sai Cinjin membatalkan niatnya. Kalau suheng-nya tidak ikut mengejar, bagaimana ia dapat melawan kedua orang gadis yang lihai itu? Ia menarik napas panjang dan berkata,

“Baru anak dari Pendekar Bodoh dan seorang kawannya saja, dua orang gadis muda, sudah membuat kita tak berdaya, apa lagi kalau Pendekar Bodoh sendiri beserta kawan-kawannya datang menyerbu!”

Ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk mencela dan menegur suheng-nya, dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu juga merasa sindiran ini. Ia menghela napas ketika menjawab,

“Kau tahu sendiri bahwa mereka adalah para murid orang-orang sakti. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku akan kalah atau takut kepada mereka, Sute. Yang menjadikan pikiranku ruwet adalah pulangnya Ong Tek. Apa bila Pangeran Ong mendengar bahwa puteranya hampir saja kau bunuh, bukankah ini berarti bahwa kita sudah memancing permusuhan dengan para perwira kerajaan?”

“Aku tidak takut, Suheng!” jawab Ban Sai Cinjin.

Toat-beng Lo-mo tak menjawab, hanya menarik napas panjang. Perkara sudah menjadi semakin besar dan ruwet, tak ada lain jalan melainkan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.

“Kam Seng, mulai sekarang kau harus melatih diri baik-baik, karena kau pun maklum bahwa pihak musuh-musuhmu ternyata terdiri dari orang-orang pandai.”

Pada siang harinya, datanglah Bouw Hun Ti membawa tiga orang tua aneh dan besarlah hati Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin melihat kedatangan tiga orang tua ini. Mereka ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun), tiga orang kakek aneh dan sakti yang sudah amat terkenal namanya di perbatasan Mancuria di utara.

Baru melihat keadaan tiga orang ini saja sudah sangat aneh. Yang seorang tinggi kurus potongan tubuhnya seperti suling, sama besarnya dari kaki sampai ke kepalanya. Orang kedua gemuk dengan muka lebar dan mulut besar, berjubah pendeta Buddha, mulutnya lebar seperti terobek dari telinga ke telinga.

Orang ke tiga lebih aneh lagi. Kalau orang tidak melihat mukanya, tentu akan menyangka bahwa dia adalah seorang anak kecil. Dari pundak sampai ke kaki memang dia persis seperti seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kalau orang melihat wajahnya, dia pasti akan terkejut dan heran. Mukanya adalah muka seorang kakek tua berjenggot dan berkepala botak.

Sungguh pun keadaan ketiga orang ini aneh sekali, namun ilmu kepandaian mereka amat tersohor dan mereka terkenal sebagai orang-orang sakti.

Hailun Thai-lek Sam-kui tadinya agak merasa segan untuk menuruti bujukan Bouw Hun Ti. Akan tetapi saat mereka mendengar bahwa Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu agak takut dan gelisah sehingga mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya, ketiga orang Iblis Geledek ini menjadi amat tertarik.

Mereka lalu ikut turun gunung dan tiba di tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Dengan serta merta Ban Sai Cinjin yang kaya raya lalu memberi perintah kepada Hok Ti Hwesio untuk mempersiapkan hidangan-hidangah yang paling mewah dan lezat. Mereka lalu makan minum dengan riangnya. Kegelisahan yang tadi terlupakan sudah oleh Ban Sai Cinjin. Bahkan Wi Kong Siansu juga mulai merasa lega karena dia maklum akan kelihaian tiga orang iblis itu…..

********************

Sementara itu, setelah dapat melarikan diri dari kuil serta meninggalkan Ban Sai Cinjin dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang lihai itu, Lili lalu membawa Goat Lan untuk mampir ke rumah penginapan dan mengambil buntalan pakaiannya. Kemudian, pada pagi itu juga mereka lalu melarikan diri keluar dari dusun Tong-sin-bun.

“Ahh, sungguh lihai tosu tua itu!” kata Goat Lan setelah mereka tiba di luar dusun. Dia berhenti, kemudian memegang kedua tangan Lili. “Akan tetapi mengapa kau bisa berada di dalam kuil itu, Lili? Dan apakah yang terjadi? Pertemuanku dengan kau di tempat itu selain amat menggirangkan hati, juga amat mengejutkan dan mengherankan!”

Lili membalas pelukan Goat Lan dan berkata sambil tertawa. “Sebenarnya aku sedang melakukan perjalanan untuk mengunjungi kau di Tiang-an.”

“Aihh, aneh benar kau ini. Dari tempat tinggalmu ke Tiang-an, sama sekali tidak melewati tempat ini. Apakah kau tersesat jalan?”

Lili tersenyum lagi. “Goat Lan, berjanjilah dulu, bahwa kau takkan membuka rahasiaku ini kepada orang lain. Juga tidak kepada ayah ibu, karena sebenarnya aku telah mengambil jalan sendiri!”

“Rahasia apakah?” Goat Lan bertanya heran.

“Sesungguhnya, dari rumah aku berpamit untuk pergi ke Tiang-an dengan alasan sudah merasa rindu padamu. Akan tetapi, diam-diam aku tidak menuju ke rumahmu, melainkan membelok ke Tong-sin-bun untuk mencari musuh besarku, Bouw Hun Ti. Tentunya kau sudah mendengar pula bahwa Bouw Hun Ti adalah murid dari Ban Sai Cinjin, maka aku langsung menuju ke sana untuk mencarinya. Nah, jangan kau ceritakan hal ini kepada ayah atau ibuku, karena mereka tentu akan marah besar. Memang ayah ibuku benar, karena hampir saja aku mendapat celaka besar.”

Maka, kemudian berceritalah Lili tentang pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia tidak menceritakan bahwa ketika dia tertawan, Kam Seng sudah mencium jidatnya! Ia hanya memberitahukan kepada Goat Lan bahwa Kam Seng itu sesungguhnya adalah putera dari Song Kun, suheng dari ayah Lili!

“Dan bagaimana kau bisa kebetulan sekali datang pada malam hari tadi, Goat Lan?”

“Mari kita mengaso dahulu di bawah pohon itu,” kata Goat Lan sambil menuju ke arah sebatang pohon besar di pinggir jalan. “Ceritaku agak panjang karena memang sudah lama kita tak saling jumpa. Mari kita duduk di sana dan mari kuceritakan pengalamanku. Kau tentu akan tertarik mendengarnya. Karena ketahuilah bahwa aku pernah bertemu dengan Bouw Hun Ti musuh besarmu itu!”

Mereka lalu pergi dan duduk di bawah pohon yang rindang itu, dan berceritalah Goat Lan dengan jelas, didengarkan oleh Lili dengan asyiknya…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)