PENDEKAR REMAJA : JILID-18


“Ha-ha-ha, burung muraiku yang manis. Mari masuk dalam sangkar emas bersamaku!”

Dengan mata terbelalak bagaikan seekor kelinci yang tertangkap oleh serigala, Lilani pun segera memaklumi keadaannya yang sangat berbahaya ini. Dia tak dapat menggerakkan kedua tangannya, akan tetapi dia masih dapat mengeluarkan suara.

Ketika dulu dia masih hidup bersama suku bangsanya dan hidup di hutan belukar, ia dan kawan-kawannya memiliki semacam seruan tanda bahaya yang maksudnya untuk minta tolong kepada kawan-kawan. Kini dalam keadaan bahaya dan hatinya takut sekali, maka otomatis dia segera mengeluarkan pekik yang amat nyaring bunyinya.

Pekik ini terdengar seperti siulan panjang yang nyaring bergema, dan terdengar seperti bunyi seekor burung hutan. Semua orang terkejut mendengar bunyi yang aneh ini, akan tetapi Lok Cit Sian sambil tertawa berkata,

“Ha-ha-ha, burungku yang indah benar-benar pandai bersiul!”

Letak rumah penginapan yang ditinggali oleh Lie Siong tidak jauh dari gedung Ban Sai Cinjin. Pada waktu itu, ia sedang duduk memikirkan Lilani dengan pikiran bingung. Harus diakuinya, bahwa setelah melakukan perjalanan bersama Lilani selama sebulan lebih, dia telah merasa biasa dan gembira berada dekat gadis ini. Sikap gadis ini yang ramah dan mencintanya, berkesan dalam-dalam di hatinya sehingga kini timbul keraguan di dalam hatinya apakah dia akan merasa senang apa bila Lilani dia tinggalkan di rumah Kwee An. Apakah dia akan dapat merasa gembira lagi setelah berpisah dari gadis itu?

Tiba-tiba saja dia mendengar siulan panjang dan nyaring. Ia terkejut karena ketika masih melakukan perjalanan dengan perahu, pada suatu malam di tengah hutan, pernah Lilani mengeluarkan siulan seperti itu. Oleh karena perahu mereka berada di dalam hutan dan banyak terdengar suara binatang di waktu malam, saking girangnya Lilani mengeluarkan siulan itu sehingga mengejutkan hati Lie Siong.

Dan kini terdengar siulan seperti itu lagi! Ia teringat bahwa siulan itu berarti minta tolong, demikian Lilani dulu menerangkan siulan itu kepadanya. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Lie Siong menyambar pedangnya yang segera diikatkan di pinggang, kemudian dia berlari menuju ke arah datangnya siulan tadi.

Alangkah marahnya ketika dia tiba di depan gedung yang sedang berpesta itu, ia melihat Lilani sedang dipondong oleh seorang kurus tinggi dan diiringi dengan gelak tertawa para tamu yang berada di situ. Dalam kemarahan yang berkobar memuncak, Lie Siong lantas melompat dan menerjang Si Tinggi Kurus itu dengan gerakan yang disebut Raja Kera Merampas Mustika. Tangan kanannya menyerang dengan tusukan kedua jari tangan ke mata Si Tinggi Kurus, sedang tangan kirinya menyambar ke arah tubuh Lilani!

Tak seorang pun menduga datangnya pemuda ini, maka tentu saja Lok Cit Sian menjadi terkejut sekali. Dia sedang bergembira karena telah berhasil mendapatkan seorang dara yang demikian cantiknya, maka akibat nafsu yang memeningkan kepalanya, hampir saja dia tidak dapat menghindarkan matanya dari tusukan dua buah jari tangan Lie Siong.

Baiknya Lok Cit Sian telah memiliki pengalaman pertempuran yang cukup luas, maka dia masih dapat merasakan datangnya bahaya. Cepat dia menjatuhkan diri ke belakang dan ia dapat mengelak dari serangan Lie Siong. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah pemuda itu merenggut tubuh Lilani dari pondongannya.

Dengan gerakan cepat, Lie Siong menotok iga Lilani dan membebaskan gadis itu dari pengaruh totokan Ban Sai Cinjin, kemudian ia memegang tangan gadis itu dan dibawaya melompat ke pekarangan depan.

Barulah terjadi keributan setelah semua orang menyaksikan gerakan Lie Siong yang tak terduga ini. Terutama sekali Lok Cit Sian menjadi marah bukan main. Murid murtad dari Thai-kek-pai ini lalu mencabut pedangnya dan dengan mengeluarkan gerengan bagaikan seekor harimau terluka, dia segera menyerbu ke depan dan menyerang Lie Siong yang juga sudah mencabut pedangnya Sin-liong-kiam yang istimewa.

Pedang Lok Cit Sian berkelebat, disambut oleh pedang Sin-liong-kiam.

“Traang...!”

Dua pedang bertemu, maka berpijarlah bunga api karena pedang Lok Cit Sian ternyata bukanlah pedang sembarangan pula. Namun, Lok Cit Sian menjadi amat terkejut ketika merasa betapa pedangnya telah menempel pada pedang lawan yang aneh itu, dan pada saat ia melihatnya, ternyata bahwa pedang lawan yang berbentuk naga itu telah berhasil melibatkan lidah naga pada pedangnya.

Dia mencoba untuk menarik pedangnya, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Lie Siong melakukan pukulan dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut ke arah dadanya. Lok Cit Sian adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Melihat pukulan tangan kiri yang mengeluarkan uap putih, dia maklum akan kelihaian pukulan ini, maka dia mengerahkan tenaga lweekang-nya, membuka tangan kirinya untuk menyambut pukulan lawan.

“Aduh...!” Lok Cit Sian mengeluh dan tubuhnya terlempar ke belakang, pedangnya masih menempel pada pedang Lie Siong!

Tiba-tiba Lie Siong merasa ada sambaran angin yang kuat sekali dari belakang. Ia cepat membalikkan tubuh sambil menangkis dengan pedangnya ke belakang.

“Traaang...!”

Lie Siong merasa terkejut sekali saat merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar, sedangkan pedang Si Tinggi Kurus yang tadinya masih menempel dan terlibat oleh lidah pedangnya kini telah mencelat jauh. Ternyata bahwa yang menyerangnya tadi adalah seorang kakek gemuk yang berpakaian mewah. Kakek ini telah menyerangnya dengan sebuah huncwe yang panjang dan berat, dan melihat betapa tenaga serangan itu sanggup menggetarkan tangannya, maklumlah Lie Siong bahwa ia menghadapi seorang pandai.

“Bangsat muda, apakah kau buta maka berani mengganggu pesta dari Ban Sai Cinjin?” kakek itu berkata sambil melanjutkan serangannya dengan huncwe mautnya.

Akan tetapi, Lie Siong sama sekali tidak gentar menghadapi huncwe-nya itu dan dengan cepat dapat menangkis lantas membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya.

Sementara itu setelah dibebaskan oleh Lie Siong, Lilani lalu menyerang pemuda yang tadi mengganggunya. Ketika mencoba untuk menyerang dengan pedang, orang yang tadi ditamparnya tahu-tahu kena dipegang pergelangan tangannya oleh Lilani dan ketika gadis ini membalikkan tubuh sehingga tubuh lawannya berada di belakangnya, gadis itu lalu menekan lengan lawannya itu di atas pundaknya dan sekali ia berseru keras sambil membungkukkan tubuh, maka tubuh lawannya itu terlempar ke udara!

Pemuda itu menjerit-jerit ketakutan ketika tubuhnya melayang ke atas dan untung sekali ia jatuh di atas genteng. Akan tetapi karena genteng itu tinggi, ia tidak berani turun dan sambil berkaok-kaok minta tolong, ia memegang wuwungan dengan tubuh menggigil dan muka pucat.

Sementara itu ketika Lilani melihat betapa Lie Siong bertempur melawan seorang kakek yang tengah mainkan senjata huncwe secara hebat mengerikan, dan melihat pula betapa banyak orang mulai mencabut senjata dan agaknya hendak mengeroyok Lie Siong, lalu berseru,

“Taihiap, mari kita pergi dari sini. Aku takut!”

Lie Siong tidak kenal akan arti takut, maka menghadapi Ban Sai Cinjin dan orang-orang itu, biar pun harus ia akui bahwa kepandaian kakek berhuncwe itu tidak boleh dipandang ringan, ia pantang mundur. Akan tetapi, begitu mendengar suara Lilani yang menyatakan rasa takutnya, teringatlah ia bahwa biar pun ia dapat menjaga diri sendiri, namun apa bila orang-orang itu menyerang dan menangkap Lilani, belum tentu ia dapat melindungi gadis itu.

Maka dengan gerakan yang cepat dan indah, dia lalu menyerang Ban Sai Cinjin dengan gerak tipu Naga Sakti Bermain-main Dengan Kilat. Pedangnya yang berbentuk naga itu bergerak ke depan, tanduk naga menotok jalan darah maut di leher Ban Sai Cinjin, lidah naga yang panjang menyambar ke arah mata dan tangan kiri Lie Siong bergerak pula melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut.

Ban Sai Cinjin tidak mengenal ilmu pedang Lie Siong yang aneh gerakannya dan aneh pula pedangnya itu, akan tetapi melihat pukulan Pek-in Hoat-sut ini, dia segera teringat akan kepandaian Lili dan Goat Lan. Ia terkejut sekali dan cepat ia melompat ke belakang sambil berseru,

“Bangsat rendah, ternyata kau adalah keturunan Pendekar Bodoh!”

Akan tetapi Lie Siong sudah melompat ke dekat Lilani dan menyambar pinggang gadis itu yang ramping lalu berlari pergi sambil berseru, “Jahanam tua bangka! Aku tidak kenal Pendekar Bodoh!”

Dia memang merasa mendongkol karena ke mana juga dia pergi, dia selalu mendengar nama Pendekar Bodoh disebut orang, sungguh pun kali ini agaknya disebut oleh orang yang memusuhi Pendekar Bodoh.

Ban Sai Cinjin dan Lok Cit Sian hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Wi Kong Siansu yang baru saja keluar. “Tak perlu dikejar lawan yang sudah melarikan diri. Pula, kali ini kawan-kawanmu berada di pihak yang salah, Sute.”

Ban Sai Cinjin merah mukanya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu kembali ke ruangan dalam. Pesta dilanjutkan biar pun suasananya tidak semeriah tadi…..

********************

Lie Siong berlari terus memasuki kamar hotel, mengambil buntalan pakaian mereka dan mengajak Lilani keluar dari dusun itu. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia tetap berada di hotel, maka bahaya besar akan mengancamnya. Setibanya di sebuah hutan di luar goa, ia berhenti dan bertanya kepada Lilani.

“Lilani, bagaimanakah terjadinya keributan itu?”

Lilani segera menceritakan betapa dia diganggu oleh orang-orang di rumah itu. Lie Siong mendengarkan dengan muka merah sebab hatinya tiba-tiba menjadi panas sekali. Sambil mengertak gigi, ia berkata,

“Kau tunggulah di sini. Aku hendak kembali ke sana dan sebelum dapat menghancurkan kepala Si Tinggi Kurus yang menghinamu, aku belum merasa puas.”

Mendadak Lilani menjadi pucat ketakutan. “Jangan, Taihiap, jangan kau pergi ke sana. Mereka itu orang-orang jahat yang lihai sekali.”

“Aku tidak penakut seperti kau, Lilani.” Suaranya terdengar dingin. “Aku harus menghajar mereka!” Dia hendak pergi, akan tetapi Lilani lalu berlutut di depannya dan memegang tangannya.

“Taihiap, jangan... jangan kau pergi ke sana...,” suaranya menggigil sehingga Lie Siong menjadi terheran-heran. “Taihiap, aku takut bukan mengkuatirkan diri sendiri, aku takut kalau-kalau kau akan mendapat celaka. Tidak tahukah kau betapa tadi pun aku sudah merasa kuatir setengah mati melihat kau hendak dikeroyok? Kakek gemuk itu lihai sekali dan nama Ban Sai Cinjin pernah kudengar sebagai seorang yang lihai dan jahat.”

“Aku tidak takut! Untuk membela kebenaran dan kehormatan, aku tidak takut mati.”

“Jangan, Taihiap. Kau tidak takut mati akan tetapi aku bagaimana? Dapatkah aku hidup lebih lama lagi kalau kau sampai menderita celaka di sana?” Gadis itu lalu menangis dan memeluk kedua kaki Lie Siong.

Sungguh mengherankan, melihat keadaan gadis itu, Lie Siong merasa betapa dadanya berdebar aneh!

“Jangan takut, Lilani. Aku takkan mati, takkan celaka. Mereka itulah yang akan celaka di tanganku!” Sesudah berkata demikian, Lie Siong melepaskan pelukan Lilani, dan segera melompat pergi.

Hari telah menjadi gelap ketika bayangan Lie Siong berkelebatan cepat di atas genteng gedung Ban Sai Cinjin di mana siang hari tadi diadakan pesta untuk menghormati Hailun Thai-lek Sam-kui. Keadaan di dalam gedung itu tidak seramai tadi, karena Ban Sai Cinjin, ketiga kakek Thai-lek Sam-kui, Wi Kong Siansu, dan juga Lok Cit Siang telah pergi dan mengunjungi kuil di dalam hutan.

Orang-orang tua yang lihai ini melanjutkan percakapan di dalam kuil ini supaya tidak terganggu oleh orang-orang muda yang masih melanjutkan pesta di gedung itu. Hanya Kam Seng dan Hok Ti Hwesio yang mewakili tuan rumah dan menjamu para tamu yang kini terdiri dari orang-orang muda. Pesta itu kini dimeriahkan oleh beberapa orang wanita penyanyi dan para tamu menjadi makin mabuk.

Tentu saja Lie Siong tidak tahu bahwa kakek-kakek yang lihai itu tidak berada di tempat itu, dan ia pun tidak peduli. Pemuda putera Ang I Niocu ini memang memiliki ketabahan hati seperti ibunya dan juga memiliki kecerdikan dan pandangan luas seperti ayahnya.

Ia maklum bahwa seorang diri menghadapi begitu banyak lawan, terutama sekali adanya para orang tua yang pandai itu, merupakan hal yang bodoh sehingga sama saja dengan membunuh diri. Oleh karena itu, dia segera menuju ke ruang belakang yang sunyi dan mencari akal. Satu-satunya jalan untuk dapat menghajar mereka, pikirnya, adalah dengan cara membuat mereka cerai-berai dan memecah-mecah perhatian mereka.

Gerakan tubuh Lie Siong demikian hati-hati dan ginkang-nya memang sudah sempurna seperti ibunya, maka anak buah dan kaki tangan Ban Sai Cinjin yang berpesta pora di dalam gedung tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Bahkan Hok Ti Hwesio dan Song Kam Seng yang sudah memiliki ilmu silat tinggi juga tidak mengetahuinya.

Hal ini bukan menandakan bahwa kepandaian kedua orang murid Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu ini masih rendah, melainkan oleh karena keadaan di dalam gedung itu amat ramainya sehingga tentu saja mereka tidak memperhatikan keadaan di luar mau pun di atas gedung. Dan pula, siapakah orangnya yang berani mengganggu rumah gedung Ban Sai Cinjin?

Tiba-tiba, nampak api bernyala hebat di bagian belakang gedung, disusul pula oleh nyala api di sebelah kanan dan kiri gedung. Dalam waktu yang susul menyusul, gedung itu sudah kebakaran di tiga tempat, yaitu di belakang, kanan dan kiri! Barulah orang-orang yang berpesta pora menjadi geger.

“Kebakaran...! Kebakaran...!” Orang-orang mulai berteriak-teriak dan semua orang berlari serabutan ke sana ke mari.

Hok Ti Hwesio dan Song Kam Seng mengepalai orang-orang itu untuk memadamkan api yang membakar bagian-bagian gedung itu. Orang-orang sibuk bekerja keras karena api yang membakar gedung itu besar juga dan terjadi di tiga tempat.

Di dalam keributan itu, sesosok bayangan orang yang cepat sekali gerakannya, bagaikan seekor burung garuda, menyambar turun dari genteng dan begitu tubuhnya menyambar, menjeritlah beberapa orang muda yang roboh dengan mandi darah! Ternyata bahwa Lie Siong yang merasa marah dan sakit hati karena Lilani diganggu, kini mulai menurunkan tangan maut sebagai pembalasan dendam!

Dengan pedang di tangannya, pemuda ini meyerbu orang-orang yang nampak di dalam gedung. Ke mana saja tubuhnya berkelebat, pasti ada seorang korban yang roboh oleh pedangnya atau oleh serangan tangan kiri dan kakinya. Beberapa orang mengeroyoknya dengan senjata di tangan, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja, pengeroyok yang jumlahnya empat orang ini kesemuanya roboh tak dapat bangun pula!

Sepak terjang Lie Siong benar-benar mengerikan. Ia keras hati dan membenci kejahatan melebihi ibunya dahulu. Di dalam anggapannya, semua orang yang berada di gedung itu adalah penjahat-penjahat belaka yang harus dibasmi dari muka bumi. Maka sebentar saja, selagi api masih belum dapat dipadamkan, belasan orang telah ia robohkan!

Hok Ti Hwesio dan Kam Seng masih sibuk dalam usaha mereka memadamkan api ketika ada seorang pemuda datang kepada mereka dengan wajah pucat dan berkata gagap, “Celaka, ada musuh mengamuk... banyak kawan dibunuh...”

Mendengar ucapan itu, marahlah kedua orang ini. Mereka tadi memang sudah merasa curiga dan menduga bahwa kebakaran ini pasti ditimbulkan oleh musuh jahat. Sambil berteriak marah, Hok Ti Hwesio mendahului Kam Seng dan melompat ke tengah gedung.

Dia melihat seorang pemuda sedang mengamuk dengan pedangnya dan ketika melihat bahwa pemuda itu adalah orang yang siang tadi telah mengacau, dia pun menjadi marah sekali. Dicabutnya pisau terbangnya dan berserulah Hok Ti Hwesio,

“Keparat keji rasakan tajamnya senjataku!” Ia menggerakkan tangannya dan pisaunya itu melayang dengan cepatnya sambil mengeluarkan suara mengaung keras.

Melihat benda bersinar menyambar ke arah lehernya, Lie Siong cepat-cepat mengelak. Akan tetapi segera menyusul dua pisau terbang lagi yang meluncur cepat. Sekali ini Lie Siong menggerakkan pedangnya dan…

“Traaang…! Traaang…!” dua buah pisau itu dapat ditangkis.

Lie Siong merasa kagum juga ketika merasa betapa telapak tangannya kesemutan tanda bahwa pisau itu dilemparkan dengan tenaga yang amat kuat. Akan tetapi kekagumannya berubah kekagetan pada waktu pisau pertama yang tadi dapat dielakkan itu menyambar kembali dari belakangnya! Ia cepat-cepat melompat ke samping dan segera menubruk ke depan ketika pisau itu lewat.

Dengan pedangnya yang aneh dia lalu menyerang Hok Ti Hwesio yang sementara itu telah siap dengan pisau di kedua tangannya! Pada saat Hok Ti Hwesio didesak oleh Lie Siong, datanglah Kam Seng yang telah mencabut pedangnya. Tidak lama kemudian Lie Siong telah dikeroyok dua oleh Hok Ti Hwesio dan Kam Seng.

Lie Siong mendapat kenyataan bahwa kepandaian dua orang pengeroyoknya ini hebat dan kuat sekali, akan tetapi tentu saja putera Ang I Niocu ini tidak menjadi gentar sama sekali. Dia lalu bersilat dan memutar pedangnya dengan Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut.

Tubuhnya yang semenjak kecil telah dilatih dengan Ilmu Silat Sian-li Utauw (Tari Bidadari) menjadi lemas. Ada pun gerak geriknya selain indah juga cepat sekali. Maklum bahwa ia menghadapi dua orang lawan tangguh, Lie Siong lalu menggerakkan tangan kirinya dan mengebullah uap putih dari lengan kirinya ketika dia bersilat dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang hebat.

Melihat Pek-in Hoat-sut, bukan main kagetnya Hok Ti Hwesio dan Kam Seng. Lagi-lagi seorang muda dari rombongan Pendekar Bodoh, pikir mereka. Telah dua kali mereka bertemu dengan orang-orang muda dari rombongan Pendekar Bodoh yang pandai Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, yaitu Lili puteri Pendekar Bodoh sendiri, dan sekarang pemuda ini yang memegang sebatang pedang luar biasa anehnya! Dan keduanya ternyata memiliki ilmu silat yang luar biasa tingginya!

Dengan penuh semangat Hok Ti Hwesio dan Kam Seng kemudian menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaian mereka sehingga Lie Siong belum dapat merobohkan mereka. Kepandaian kedua orang itu sesungguhnya sudah tinggi dan apa bila Lie Siong tidak memiliki ilmu pedang yang hebat dan ginkang yang tinggi, agaknya sulitlah baginya untuk dapat mempertahankan desakan mereka.

Lebih-lebih kaget hati Lie Siong pada waktu ia berhasil menendang perut Hok Ti Hwesio, oleh karena tendangan yang kekuatannya sedikitnya seribu kati itu, dan yang pasti akan membinasakan seorang ahli silat lainnya ini, hanya mampu membuat tubuh hwesio muda itu terpental sampai dua tombak jauhnya, jatuh menggelundung lalu melompat berdiri lagi tanpa terluka sedikit pun! Bahkan hwesio itu marah sekali lalu menyerang dengan luar biasa hebatnya.

Tentu saja Lie Siong tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio memiliki ilmu kekebalan yang amat hebat, maka dia menjadi penasaran sekali. Ia membulatkan tekad untuk membinasakan dua orang yang dianggapnya amat berbahaya ini.

Penjahat-penjahat dengan kepandaian yang tinggi harus dibinasakan, kalau tidak, tentu akan mendatangkan kekacauan dan kejahatan di antara sesama hidup. Maka dia segera memutar pedangnya lebih cepat lagi. Yang mengagumkan hatinya adalah ilmu pedang Kam Seng, karena walau pun gerakannya lemah-lembut namun Kam Seng selalu dapat menjaga diri dengan baik dan bahkan melakukan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya.

Diam-diam Lie Siong merasa heran melihat Kam Seng, karena bagaimanakah seorang pemuda yang berwajah tampan dan bersih, bersikap lemah-lembut dan sinar matanya sama sekali tidak nampak seperti seorang penjahat, dapat bersatu dengan orang-orang jahat? Juga, di dalam pertempuran ini, agaknya pemuda itu tak berniat sungguh-sungguh untuk mengadu jiwa, hanya hendak menguji kepandaian saja, berbeda dengan Hok Ti Hwesio yang menyerang membuta tuli.

Betapa pun juga, ilmu kepandaian Lie Siong masih menang setingkat bila dibandingkan dengan kedua orang pengeroyoknya, maka pada suatu saat yang tepat, lidah pedang naga di tangan Lie Siong yang panjang itu berhasil menotok Kam Seng hingga pemuda itu terhuyung mundur dengan wajah pucat sekali. Baiknya dia masih dapat mengerahkan ginkang-nya dan menutup jalan darahnya, sehingga ia tidak terluka hebat, hanya untuk beberapa lama sebelah tangannya, yaitu tangan kiri menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi.

Lie Siong mendesak hebat kepada Hok Ti Hwesio. Ia ingin sekali menjatuhkan serangan maut, akan tetapi Hok Ti Hwesio lalu bersuit keras sebagai tanda kepada kawan-kawan untuk maju mengeroyok. Sekarang api sudah dapat dipadamkan dan semua orang telah berkumpul di sana. Melihat betapa Kam Seng sudah dikalahkan serta Hok Ti Hwesio memberi tanda, maka lebih dari dua puluh orang serentak maju mengeroyok.

Lie Siong makin gembira melihat datangnya keroyokan dan pedangnya berkelebat makin ganas, merobohkan beberapa orang lagi dalam satu gerakan saja! Hebat sepak terjang pemuda ini sehingga gentar juga hati Hok Ti Hwesio melihatnya.

“Lekas, panggil Suhu dan Supek!” teriaknya kepada para kawannya.

Lie Siong terkejut dan teringatlah dia pada kakek gemuk yang siang tadi telah bertempur dengan dia. Kalau kakek itu dan orang-orang lain yang siang tadi kepandaiannya sudah dibuktikannya datang pula mengeroyok, maka akan berbahayalah keadaannya.

Dia pun teringat pula kepada Lilani yang ditinggalkan di tengah hutan. Alangkah gelisah gadis itu ditinggalkan seorang diri di dalam hutan yang gelap itu. Dia sudah membakar rumah dan merobohkan belasan orang, maka sedikitnya kemarahannya sudah mereda. Telah cukup pembalasan yang ia lakukan untuk Lilani. Penghinaan yang dilakukan orang kepada Lilani sudah terbalas lebih dari pantas dan cukup. Pula, ia pun telah mulai lelah sesudah bertempur menghadapi keroyokan itu.

Dengan gerakan Naga Sakti Memutar Tubuh, Lie Siong mengayunkan pedangnya serta memutarnya sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya segulung sinar pedang yang menyilaukan saja, kemudian pada saat para pengeroyoknya mundur menyelamatkan diri, dia cepat melompat ke atas genteng!

“Bangsat hina dina, jangan lari!” seru Hok Ti Hwesio dan terbanglah dua batang pisau yang disambitkannya.

Lie Siong memutar pedangnya dan berhasil menangkis dua batang pisau itu, akan tetapi baru saja ia terhindar dari serangan senjata gelap ini, tiba-tiba terdengar angin menderu dan lima batang benda hitam yang bundar menyerang lima jalan darah pada tubuhnya.

Lie Siong terkejut sekali dan cepat ia melompat tinggi sambil berjungkir balik, dan tidak lupa untuk memutar pedangnya melindungi diri. Untung dia bergerak cepat, kalau tidak, tentu ia akan terkena sengan senjata rahasia yang lihai ini! Ia cepat melompat jauh dan menghilang di dalam gelap, diam-diam kagum melihat senjata rahasianya yang ternyata adalah thi-tho-ci dan dilepas oleh Kam Seng!

Dengan marah sekali Hok Ti Hwesio hendak mengejar, akan tetapi Kam Seng berkata, “Percuma saja dikejar, penjahat itu memiliki kepandaian yang lebih lihai dari kita!”

Ia menghela napas dan masih merasa terpesona oleh gerakan Lie Siong yang dengan mudahnya dapat menghindarkan diri dari serangannya tadi. Dia telah menyempurnakan pelajaran melepas senjata rahasia thi-tho-ci dan mendapat petunjuk dari suhu-nya, akan tetapi ternyata bahwa pemuda aneh tadi dapat mengelak dengan mudah dan indahnya.

Dengan hati amat kecewa Kam Seng mendapat kenyataan bahwa rombongan Pendekar Bodoh, orang-orang muda yang sudah memperlihatkan diri, ternyata adalah orang-orang gagah yang berkepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Apa lagi yang tua-tua seperti Pendekar Bodoh, isterinya, Kwee An dan isterinya, dan yang lain-lain! Aku harus minta kepada suhu untuk menurunkan pelajaran ilmu silat Mongol supaya mampu menandingi mereka, pikirnya dengan hati tetap.

Sementara itu, Lie Siong berhasil melarikan diri dengan hati puas. Dia sudah melakukan pembalasan yang cukup berhasil dan telah menebus penghinaan terhadap Lilani. Tiada seorang pun di dunia ini boleh menghina Lilani, gadis yang amat dikasihani itu.

Hutan di mana ia meninggalkan Lilani amat gelap sehingga Lie Siong terpaksa melakukan perjalanan lambat. Ketika tiba di tempat di mana tadi dia meninggalkan Lilani, ternyata bahwa tempat itu sunyi dan tidak nampak bayangan orang. Ia merasa heran sekali.

Ia ingat benar bahwa tadi ia meninggalkan Lilani di situ, di bawah pohon besar itu, akan tetapi mengapa sekarang tidak nampak gadis itu di tempat itu? Ke manakah perginya? Mendadak Lie Siong merasa hatinya berdebar penuh kecemasan. Jangan-jangan Lilani telah mendapat bencana ketika ditinggalkan, pikirnya dengan hati gelisah tidak karuan.

Apakah Lilani telah diterkam binatang buas? Apakah ditawan oleh orang jahat? Menggigil sepasang kaki Lie Siong ketika dia memikirkan hal ini. Dia sendiri merasa heran karena belum pernah selama hidupnya dia menderita perasaan takut dan gelisah seperti ini. Kalau ia sendiri yang berada di dalam bahaya, ia takkan merasa takut sedikit pun akan tetapi memikirkan Lilani berada dalam bahaya, ia menjadi gemetar seluruh tubuhnya!

“Siapa?!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Lilani muncul dari balik semak-semak sambil tangannya memegang pedang!

Lie Siong tidak dapat melihat nyata, akan tetapi suara itu dikenalnya baik-baik. Hampir ia bersorak saking girangnya melihat gadis itu ternyata masih berada di situ dalam keadaan baik.

“Lilani... aku yang datang!” katanya dan kembali ia terheran mendengar suaranya sendiri yang agak gemetar.

Terdengar isak tertahan dan Lilani lalu melempar pedangnya ke bawah, kemudian berlari dan menubruk Lie Siong sambil menangis!

“Taihiap... ahhh, Taihiap...”

Gadis ini tadinya merasa amat ketakutan dan kuatir pemuda yang dicintanya itu terbinasa dan tidak akan kembali lagi. Kini, melihat Lie Siong datang, kegirangan yang memuncak membuat dia tak dapat menahan membanjirnya air matanya. Ia memeluk leher pemuda itu, menciumnya dengan hati gembira dan penuh cinta kasih, sambil mulutnya berbisik tiada hentinya, “Taihiap... Taihiap...”

Baru kali ini Lie Siong merasakan getaran hati yang luar biasa. Ketika merasa betapa air mata yang hangat dari gadis itu membasahi mukanya yang diciumi, merasa betapa dua lengan tangan Lilani memeluknya dengan erat dan bisikan-bisikan mesra yang menyayat hatiya, kekerasan hati pemuda ini hancur luluh!

Ia memegang kepala Lilani yang bergerak-gerak menciuminya, mendekap gadis itu, pada dadanya dan ia lalu membenamkan mukanya pada rambut gadis itu yang berbau harum.

“Lilani...” suaranya hampir tidak terdengar karena tertutup oleh getaran perasaan hatinya, “jangan... jangan menangis, Lilani...”

“Taihiap...” Lilani tersedu saking girangnya.

Belum pernah pemuda yang dipujanya ini memperlihatkan perasaan seperti ini dan kini dengan girang, perasaan wanitanya dapat menangkap bahwa pemuda ini pun ternyata menaruh hati kasih kepadanya. “Taihiap, pedang itu… kalau bukan kau yang datang, tentu pedang itu akan menembus dadaku...”

“Lilani...!” Lie Siong mendekap makin erat.

“Benar, Taihiap, aku sudah bersumpah takkan mau hidup lagi bila kau sampai mendapat celaka dan terbinasa.”

Demikianlah, pertemuan yang amat mesra ini menandakan bertemunya dua hati muda di dalam hutan yang gelap itu akan tetapi yang bagi mereka kini nampak terang. Hawa yang dingin menusuk tulang terasa hangat menyegarkan, dan suara binatang-binatang buas dan burung hantu terdengar bagaikan musik yang amat indah merayu kalbu.

Pertemuan dua hati dan dua jiwa yang sudah lama merana, rindu akan kasih seseorang. Bintang-bintang yang ribuan banyaknya dianggapnya menjadi saksi atas pertemuan ini, dan bayang-bayang pohon merupakan selimut yang amat hangat. Bintang-bintang saling berkedip memberi tanda mata dan tersenyum-senyum maklum…..

********************

Di antara para pendekar remaja yang kita ikuti perjalanan dan pengalamannya hanya Sie Hong Beng, putera Pendekar Bodoh yang sulung, yang belum kita ketahui bagaimana nasibnya. Baiklah kita jangan meninggalkannya terlebih lama lagi dan mari kita mengikuti perjalanan pendekar remaja putera Pendekar Bodoh ini.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sie Hong Beng diantar oleh ayahandanya untuk belajar ilmu silat tinggi dari Pok Pok Sianjin, tokoh terbesar dari di Beng-san. Selama sepuluh tahun, Hong Beng mendapat gemblengan ilmu silat tinggi, memperdalam ilmu lweekang dan ilmu tongkat yang luar biasa sekali.

Ilmu tongkat ini disebut Ngo-heng Tung-hwat dan masih ada semacam lagi yang disebut Pat-kwa Tung-hwat. Untuk mainkan dua macam ilmu tongkat ini saja, dibutuhkan waktu selama lima tahun oleh Hong Beng untuk dapat mempelajarinya dengan sempurna. Yang istimewa pada ilmu tongkat ciptaan Pok Pok Sianjin ini adalah bahwa untuk mainkan ilmu tongkat ini, tidak diperlukan tongkat yang khusus. Sebatang ranting pohon yang terkecil, sampai batang pohon muda yang besar, dapat pula dipergunakan sebagai senjata yang istimewa lihainya.

Sesudah menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Hong Beng, Pok Pok Sianjin lalu menyembunyikan diri di dalam goa di puncak Gunung Beng-san dan menyuruh muridnya turun gunung melakukan perjalanan merantau sarnbil mempergunakan seluruh pelajaran itu dalam praktek,

Pada waktu Hong Beng menuruni gunung di mana untuk sepuluh tahun dia berdiam dan mempelajari ilmu silat dengan tekunnya, dia telah menjadi seorang pemuda yang gagah sekali. Tubuhnya tinggi tegap, mukanya lebar dan tampan, berkulit halus. Wajah dan tubuhnya sama benar dengan ayahnya di waktu muda, demikian pula wataknya pendiam dan sabar, bahkan berpakaian sederhana seperti ayahnya pula.

Akan tetapi, kalau ayahnya, yaitu Pendekar Bodoh, di waktu mudanya sering kali suka merendahkan diri dan dalam kepandaian silat suka mengalah dan berpura-pura bodoh sehingga dijuluki Pendekar Bodoh, adalah Hong Beng mempunyai watak tidak mau kalah dalam hal kepandaian silat. Watak ini agaknya ia warisi dari ibunya, karena pada waktu mudanya, Lin Lin juga memiliki watak demikian. Bahkan pada waktu kecilnya, Hong Beng dan adiknya, Hong Li atau Lili yang memiliki pendirian sama, sering membicarakan nama julukan ayah mereka.

“Sungguh menggemaskan, ayah yang berkepandaian setinggi langit tidak ada lawannya, mengapa disebut Pendekar Bodoh?” kata Lili sambil merengut.

“Memang aku pun merasa penasaran sekali,” jawab Hong Beng. “Menurut patut, ayah harus dijuluki Pendekar Sakti, bukan Pendekar Bodoh.”

Akan tetapi, kalau keduanya mengajukan rasa penasaran ini kepada ayah mereka, Sie Cin Hai hanya terbahak-bahak saja dan menjawab dengan sebuah pertanyaan.

“Anak-anak bodoh, manakah yang lebih baik, gentong arak disangka penuh akan tetapi kosong melompong ataukah gentong arak yang dianggap kosong akan tetapi penuh isi?”

“Tentu saja lebih baik yang disangka kosong akan tetapi penuh isi!” Lili yang berotak terang menjawab dengan kontan.

“Nah,” jawab ayahnya masih sambil tertawa, “demikian pula soal nama julukan. Lebih baik disangka bodoh akan tetapi tidak bodoh dari pada dianggap pinter akan tetapi goblok!”

Betapa pun juga, setelah menjadi dewasa, Hong Beng masih saja tak mau merendahkan diri dan berpura-pura bodoh seperti ayahnya. Ia adalah seorang pemuda yang maklum akan kepandaian sendiri, dan hasratnya besar sekali untuk menguji ilmu kepandaiannya dengan kepandaian orang lain.

Bila orang melihat Hong Beng turun gunung dengan pakaian yang demikian sederhana, berwarna biru dengan rambut atas diikat pita kecil, warna sepatunya hitam tanpa kaos, orang tidak akan mengira bahwa dia adalah putera Pendekar Bodoh dan murid Pok Pok Sianjin yang sakti.

Pemuda ini tidak membawa senjata apa-apa, bertangan kosong dan meski pun tubuhya tinggi tegap, namun kulit mukanya putih dan halus. Pakaiannya seperti seorang petani sederhana, akan tetapi sikap dan gerak gayanya yang lemah lembut membuat ia pantas dianggap orang seperti seorang pemuda terpelajar yang lemah. Tapi, jika orang melihat betapa dia menuruni gunung yang penuh batu karang dan jurang dengan tindakan kaki yang cepat bukan main, seolah-olah kakinya tidak menginjak tanah, orang akan menjadi bengong terheran-heran.

Dari Gunung Beng-san, pemuda ini menuju ke timur, melakukan perjalanan seenaknya, karena dia pun tidak tergesa-gesa. Pada suatu hari, dia tiba di kota Ta-liong di lembah Sungai Kuning dan amat heranlah ia melihat betapa kota yang besar dan ramai itu penuh dengan pengemis dan jembel! Yang amat mengherankan hatinya adalah betapa para pengemis itu, sebagian besar memegang sebatang tongkat berwarna hitam dan biar pun mereka menjalankan pekerjaan mengemis, akan tetapi gerakan tubuh mereka bagi mata Hong Beng yang awas, menunjukkan bahwa mereka itu pandai ilmu silat!

Memang sesungguhnya kota Ta-liong adalah kota pusat dari perkumpulan pengemis dari Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang sangat tersohor serta mempunyai cabang dan anggota sampai di kota raja! Hek-tung Kai-pang adalah sebuah perkumpulan pengemis yang sudah puluhan tahun umurnya sehingga telah mengalami pergantian pimpinan sampai beberapa kali.

Tiap tiga tahun sekali, di kota Ta-liong tentu diadakan pertemuan antara para pemimpin-pemimpin cabang untuk mengangkat seorang pemimpin baru. Kebetulan sekali ketika Hong Beng tiba di kota itu, para pemimpin cabang datang berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru, maka kota itu penuh dengan pengemis bertongkat hitam.

Pada waktu itu Hek-tung Kai-pang dipimpin oleh lima orang ketua karena ketika diadakan pemilihan pada tiga tahun yang lalu pilihan jatuh kepada lima saudara yang menjadi anak murid dari Hek-tung Kai-ong (Raja Pengemis Bertongkat Hitam) pendiri dari perkumpulan itu. Baru sekarang anak murid Hek-tung Kai-ong dipilih menjadi ketua.

Beberapa tahun sudah perkumpulan itu dipimpin oleh lain orang oleh karena anak murid Hek-tung Kai-pang sendiri tiada yang mampu mengalahkan pemimpin dari luar itu. Lima saudara yang menjadi murid Hek-tung Kai-ong sendiri ini lalu melatih diri dan akhirnya berhasil mempelajari ilmu tongkat dari Hek-tung Kai-ong hingga akhirnya mereka berhasil merebut kedudukan ketua. Untuk menjaga perpecahan di antara mereka, serta untuk memperkuat kedudukan dan menjaga nama Hek-tung Kai-ong pendiri perkumpulan itu, mereka berlima bermufakat untuk memegang pimpinan bersama-sama.

Dengan demikian, maka calon pemimpin baru apa bila hendak menggantikan mereka, harus dapat mengalahkan mereka berlima! Maka, sampai tiga kali pimpinan, jadi tiga kali tiga tahun, Ngo-heng-te (Lima Saudara) dengan Hek-tung-hoat-nya (Ilmu Tongkat Hitam) ini selalu menjadi pimpinan dan tak terkalahkan!

Seperti biasa, para pengemis telah berkumpul di sebuah tempat terbuka di sebelah utara kota, di mana terdapat padang rumput dan beberapa batang pohon besar. Mereka masih menanti di bawah pohon-pohon, ada yang sedang duduk melenggut, ada yang berbaring mendengkur, ada yang membuka bungkusan dan makan hasil mengemis, dan sebagian besar duduk bercakap-cakap mengobrol ke barat ke timur sehingga keadaan menjadi sangat ramai sekali.

Kurang lebih ada empat puluh orang pengemis berkumpul di tempat itu, dan semuanya merupakan pengemis-pengemis tua yang menjadi pimpinan berbagai cabang Hek-tung Kai-pang. Lima orang ketua mereka belum datang, maka mereka masih saja menanti.

Menurut desas-desus mereka kelima orang pangcu (ketua) itu akan datang dari kota raja di mana mereka tinggal. Biar pun ketua itu tinggal di kota raja, akan tetapi mereka tidak berani mengadakan pertemuan di sana, oleh karena tentu saja mereka akan diusir dan diserbu oleh para perwira kerajaan yang tidak memperbolehkan orang-orang kotor ini merusak pemandangan indah di kota raja!

Tiba-tiba semua pengemis itu dikejutkan oleh datangnya seorang pengemis lain yang aneh keadaannya. Pengemis ini belum tua benar, kurang lebih baru berusia empat puluh tahun, berwajah tampan dan pucat, sedangkan mukanya menunjukkan bahwa ia adalah orang yang tidak beres ingatannya. Ia tertawa-tawa dan meringis sambil memutar-mutar manik matanya secara mengerikan. Tangannya memegang sebatang tongkat bambu dan pakaiannya tidak karuan, demikian pula rambutnya. Bahkan di pinggir mulutnya nampak tanah lumpur, seakan-akan dia habis makan tanah lumpur.

“Anjing-anjing berkeliaran di mana-mana, ha-ha! Anjing-anjing berkeliaran di mana-mana!” kata pengemis bertongkat bambu itu sambil menudingkan tongkatnya kepada pengemis-pengemis lain yang memandangnya heran.

Tak ada seorang pun di antara para pengemis ini mengenal orang yang baru datang dan pandang mata marah mulai nampak pada para pemimpin cabang Hek-tung Kai-pang itu. Siapakah yang begitu kurang ajar berani datang ke tempat itu dan mengganggu mereka?

“He, orang gila!” Seorang pengemis, yang pendek gemuk lalu memaki. “Apakah matamu buta? Apakah nyawa anjingmu minta diantar oleh tongkat hitam?”

Pengemis aneh ini sebenarnya Sin-kai Lo Sian. Pengemis sakti yang telah menjadi gila. Sebagaimana sudah kita ketahui, Lo Sian telah ditangkap oleh Ban Sai Cinjin sepuluh tahun yang lalu, dipaksa minum obat beracun sehingga menjadi gila. Selama itu, Lo Sian berkeliaran di mana-mana dan karena keadaannya telah berubah sedemikian rupa dan menjadi gila, tidak seorang pun dapat mengenalnya pula sehingga dahulu suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le, tak berhasil mencarinya. Di dalam perantauannya dalam keadaan tidak sadar dan tidak ingat sesuatu, Lo Sian kebetulan tiba di kota Ta-liong dan melihat banyaknya pengemis berkumpul di situ, ia menjadi tertarik dan datang pula ke tempat itu.

Mendengar teguran Si Pendek Gemuk tadi, Lo Sian hanya tertawa haha-hehe, dan dia menggunakan tongkatnya untuk mencokel tanah di depan kakinya. Begitu tongkatnya digerakkan, tanah itu tercokel terbang ke arah perut Si Pengemis Gendut. Pengemis gendut itu terkejut sekali, cepat dia mengelak akan tetapi sambaran tanah lumpur ke dua telah tiba dan tepat sekali mengenai mulutnya.

“Plak!” Pengemis gendut itu gelagapan dan sebagian besar lumpur itu telah memasuki mulutnya!

“Bangsat kurang ajar” teriak pengemis lain dan semua pengemis yang tidak tidur sudah berdiri mengepal tongkat hitamnya. “Butakah matamu bahwa kau berhadapan dengan rombongan pengurus Hek-tung Kai-pang? Ayo lekas mengaku siapakah kau dan kenapa kau datang memusuhi kami?”

Kalau otaknya tidak gila, tentu Lo Sian tahu siapa sebetulnya mereka ini, karena ia pun telah mendengar nama Hek-tung Kai-pang, bahkan dahulu dia menjadi kawan baik dari Hek-tung Kai-ong pencipta perkumpulan itu. Tetapi dalam keadaan seperti itu, jangankan mengenal orang lain, dirinya sendiri pun dia tidak kenal lagi. Maka mendengar makian pengemis yang bertubuh jangkung kurus ini, dia lalu menggerakkan tongkat bambunya mencokel tanah lagi dan beterbanganlah tanah lumpur ke arah para pengemis yang telah berkumpul itu!

“Kurang ajar, kau benar-benar ingin mampus di bawah gebukan tongkat kami!”

Maka menyerbulah sekalian pengemis itu dengan tongkat hitam terangkat, mengeroyok Lo Sian. Semua pengurus cabang Hek-tung Kai-pang telah mempelajari Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat, akan tetapi tingkat mereka apa bila dibandingkan dengan Ngo-heng-te dan Hek-tung-hoat-nya itu masih amat jauh.

Hek-tung-hoat adalah ilmu tongkat yang luar biasa sukarnya, dan amat dirahasiakan cara mempelajarinya. Inilah pula sebabnya mengapa kelima saudara itu dahulu masih belum menguasai sepenuhnya ilmu tongkat ini. Setelah mereka mendapatkan kitab pelajaran yang disembunyikan oleh Hek-tung Kai-ong, barulah mereka dapat memperdalam ilmu tongkat itu.

Ada pun Lo Sian, biar pun ingatannya telah lenyap dan dia telah menjadi seorang gila, namun ilmu silatnya masih belum lenyap. Ilmu silatnya yang berasal dari Thian-san-pai amat tinggi dan termasuk golongan atas, maka tentu saja apa bila dibandingkan dengan para pengemis itu, ia masih menang jauh.

Akan tetapi, sungguh pun sudah kehilangan pikirannya, Lo Sian masih belum kehilangan wataknya yang baik dan penuh welas asih, maka dia tidak ingin membunuh sekalian pengemis yang mengeroyoknya, ditambah lagi dengan jumlah pengeroyoknya yang amat banyak, maka sebentar saja ia dikepung oleh puluhan orang pengemis dan berkali-kali ia menerima gebukan tongkat hitam!

Pertempuran itu benar-benar ramai dan lucu. Lo Sian sambil tertawa-tawa tidak karuan, mempermainkan para pengeroyoknya, membuat para pengemis itu terjungkal dan roboh karena dikait kakinya. Mereka jatuh tidak terluka, bangun lagi dan biar pun hujan tongkat hitam itu mengenai tubuh Lo Sian sehingga pakaiannya hancur dan kulitnya ada yang pecah, namun seperti tidak terasa oleh pengemis sakti yang mempunyai kekebalan dan lweekang yang tinggi itu.

Pada saat itu, datanglah Hong Beng yang kebetulan tiba di kota itu. Pemuda ini memiliki jiwa yang gagah dan adil. Dari jauh dia telah melihat dan mendengar ribut-ribut itu dan ketika dia menghampiri tempat pertempuran ia melihat seorang pengemis dikeroyok oleh puluhan pengemis tongkat hitam. Tadinya dia mengira bahwa para pengemis itu tentulah berebut makanan, akan tetapi ketika menyaksikan cara Lo Sian main silat, dia terkejut karena mengenal ilmu silat yang tinggi dari Thian-san-pai.

“Curang!” seru pemuda ini dengan marah. “Puluhan orang mengeroyok seorang, sungguh tidak tahu malu!”

Hong Beng lalu menyerbu ke depan. Seorang pengemis tongkat hitam menyambutnya dengan tusukan tongkat pada lambungnya, akan tetapi dengan amat mudah, Hong Beng mengeluarkan tangannya dan sekali membetot, tongkat hitam itu berpindah tangan. Kaki kirinya bergerak menendang dan terlemparlah tubuh pengemis itu sampai tiga tombak lebih dan jatuh sambil berkaok-kaok kesakitan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)