PENDEKAR REMAJA : JILID-22


Ramailah sorak-sorai para pengemis mendengar kesanggupan ini. Inilah yang mereka harapkan. Dengan adanya pemuda putera Pendekar Bodoh ini menjadi ketua mereka, maka mereka tidak takut menghadapi penjahat yang bagaimana pun juga. Juga mereka kini tidak kuatir lagi akan serbuan atau gangguan Coa-tung Kai-pang!

Kemudian Hek Liong berkata kepada Hong Beng, “Pangcu, kami mempersilakan Pangcu bersama Lihiap untuk datang ke tempat pertemuan kita yang kita sebut Istana Pengemis untuk merayakan pengangkatan ini, juga untuk mengesahkannya!”

Beramai-ramai semua pengemis itu lalu mengiringkan Hong Beng dan Goat Lan menuju ke sebuah hutan di sebelah utara tempat itu. Hutan ini besar sekali dan ketika sampai di tengah hutan, Hong Beng dan tunangannya melihat sebuah kuil kuno yang baru saja diperbaiki. Sungguh pun dari luar nampak sangat miskin, akan tetapi huruf-huruf yang dipasang di luar kuil amat gagah dan angker. Huruf-huruf itu berbunyi: Istana Pengemis HEK TUNG KAI PANG.

Ketika kedua orang muda itu diarak masuk, Hong Beng dan Goat Lan terkejut sekali karena di sebelah dalam sungguh amat berbeda dengan keadaan di luar. Di situ sangat indah dan mewah. Meja dan kursi serta perabot-perabot lain terdiri dari barang-barang pilihan yang mahal, terukir indah dan serba baru! Benar-benar patut menjadi perabot dan isi ruang sebuah istana kaisar!

Tahulah kini Hong Beng dan Goat Lan mengapa banyak yang berhati serakah hendak menduduki jabatan ketua dari perkumpulan pengemis ini. Tidak tahunya keadaan mereka begitu kaya raya.

Memang sesungguhnya para pengemis itu yang hidupnya hanya bekerja mengemis dan juga menerima upah dari pekerjaan kasar atau membantu orang menjaga keamanan, selalu mengumpulkan hasil pekerjaan mereka kemudian menyerahkannya kepada pusat sehingga dapatlah dibangun isi istana yang mewah ini. Di samping perabot-perabot yang indah itu, ternyata banyak pula terdapat harta simpanan yang besar jumlahnya.

Setelah bercakap-cakap lebih mendalam, tahulah kedua orang muda itu bahwa harta benda itu bukannya disimpan begitu saja, akan tetapi digunakan untuk menolong rakyat miskin dengan jalan menderma dan lain-lain. Maka semakin kagumlah mereka terhadap perkumpulan pengemis ini dan semakin yakinlah hati Hong Beng bahwa menjadi ketua perkumpulan macam ini sekali-kali bukanlah hal yang merendahkan namanya!

Ketika mereka duduk bercakap-cakap, masuklah pengemis-pengemis yang masih muda, yaitu anggota-anggota yang ditugaskan untuk mengeluarkan hidangan dan kembali Hong Beng dan Goat Lan tercengang karena hidangan yang dikeluarkan merupakan hidangan-hidangan yang mewah dan mahal, sedangkan araknya pun adalah arak Hangciu yang lezat dan harum, bukan arak sembarang arak.

Pesta berjalan secara amat meriah dan dua orang muda itu mendapat kenyataan bahwa pengemis-pengemis itu makan hidangan mereka dengan cara yang amat beraturan dan sopan. Benar-benar mengagumkan sekali!

Pada saat pesta berjalan ramai, tiba-tiba dari luar pintu terdengar suara bentakan parau dan keras, “Hek-tung Kai-pang Pangcu, sambutlah kami!”

Belum lenyap gema suara itu, orangnya sudah melayang masuk dan tahu-tahu di tengah ruangan itu telah berdiri dua orang pengemis tua yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi bersih sekali dan mereka memegang tongkat ular! Ternyata mereka ini adalah dua orang pengurus Coa-tung Kai-pang tingkat satu!

Coa-tung Kai-pang mempunyai banyak sekali pengurus. Pengurus yang bertingkat satu saja ada tujuh orang, dan mereka ini adalah murid dari seorang tosu tua yang menjabat kedudukan pemimpin besar dan bernama Coa Ong Lojin.

Ada pun dua orang pengurus tingkat satu yang datang ini bernama Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin. Mereka ini mendapat laporan dari tiga orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang telah roboh di tangan Ngo-hengte dari Hek-tung Kai-pang pagi tadi. Dengan marah Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin segera mendatangi istana pengemis di dalam hutan itu dengan maksud untuk merobohkan lima orang ketuanya.

Dengan tindakan kaki berlagak sekali kedua orang tua itu sambil menggerak-gerakkan tongkat ular di tangannya menghampiri meja Hek Liong dan adik-adiknya yang duduk di sebelah kiri Hong Beng dan Goat Lan. Kim Coa Jin tertawa bergelak di depan lima orang pengurus Hek-tung Kai-pang itu lalu berkata,

“Pangcu-pangcu dari Hek-tung Kai-pang benar-benar tak memandang mata kepada kami dari Coa-tung Kai-pang. Mengadakan perjamuan minum arak sedemikiah ramainya sama sekali tidak mengundang! Ha-ha-ha, benar-benar tidak memandang mata kepada orang segolongan.”

Hek Liong maklum bahwa dua orang tua ini memang datang hendak membuat ribut dan melihat sikap mereka yang kasar ia tidak mau membiarkan pangcu-nya yang baru untuk menghadapinya. Karena itu ia sendiri lalu berdiri bersama empat orang adiknya, menjura sebagai penghormatan sambil berkata,

“Maaf, Ji-wi datang tanpa kami ketahui sehingga tidak semenjak siang-siang mengatur penyambutan. Silakan duduk dan minum arak kami yang murah!” Sambil berkata begini Hek Liong lalu mengeluarkan dua buah cawan, kemudian mengisi sendiri cawan-cawan itu sampai penuh dengan arak harum.

“Ha-ha-ha-ha-ha!” Bhok Coa Jin tertawa bergelak, lalu dengan gerakan cepat sekali dia mengulur tongkat ularnya sambil berkata, ”Biarlah tongkatku mencoba dahulu bagamana rasanya arakmu!”

Sambil berkata demikian, sekali tongkatnya bergerak ke depan, kedua cawan arak yang disuguhkan itu terguling di atas meja dan araknya tumpah membasahi meja! Kemudian ujung tongkatnya yang berkepala ular itu meluncur memasuki mulut guci, dari mulut guci itu keluarlah uap hijau bergulung ke atas!

“Ha-ha-ha! Ternyata arakmu cukup baik!” kata Bhok Coa Jin kepada lima orang pengurus Hek-tung Kai-pang itu. “Marilah kita minum arak dari guci yang sudah dicoba isinya oleh tongkatku tadi!”

Tanpa diketahui oleh orang lain, Goat Lan membisikkan sesuatu kepada Hong Beng sambil memberikan tiga buah pil merah kepada tunangannya itu. Hong Beng lalu berdiri dan mendahului kelima saudara Hek itu berkata kepada dua orang tamu yang aneh ini,

“Ji-wi Lo-kai (Dua Tuan Pengemis Tua), melihat bentuk tongkatmu, aku dapat menduga bahwa kalian tentulah pengurus-pengurus dari Coa-tung Kai-pang! Pertunjukanmu tadi lucu sekali dan kebetulan aku adalah seorang yang paling doyan arak beruap! Marilah aku menemani kau berdua minum arak!”

Sambil berkata demikian, tanpa menanti jawaban tamunya, Hong Beng mengambil guci arak tadi dan mengisikan arak ke dalam cawan-cawan tamunya yang tadi terguling, juga dia mengisi cawannya sendiri sampai penuh.

Semua orang melihat betapa arak yang keluar dari guci itu telah berwarna hijau, padahal tadinya berwarna kemerahan! Lima orang pengurus Hek-tung Kai-pang menjadi pucat karena mereka maklum bahwa arak itu telah dicampuri racun!

“Arak itu beracun!” seru Hek Liong marah.

“Ha-ha-ha! Ternyata ketua dari Hek tung Kai-pang berhati pengecut! Kalah oleh orang muda berhati tabah dan gagah ini!” Kim Coa Jin berkata sambil tertawa bergelak-gelak. “Siapakah pemuda ini yang menantang kami minum arak? Kami tidak sudi minum arak dengan segala orang tak ternama!”

Makin marahlah Hek Liong mendengar ucapan ini. “Bukalah matamu baik-baik karena kau sedang berhadapan dengan pangcu kami yang baru!”

Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin melengak dengan hati heran. Kini mereka memandang kepada Hong Beng dengan penuh perhatian. Kemudian mereka menjura ke arah Hong Beng sebagai penghormatan yang dibalas oleh Hong Beng dengan sepatutnya.

“Tidak tahu siapakah nama Pangcu yang terhormat?” tanya Kim Coa Jin.

“Siauwte bernama Sie Hong Beng dan secara kebetulan saja siauwte telah dipilih menjadi pangcu dari Hek-tung Kai-pang yang mulia. Tidak tahu siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dua orang penting dari Coa-tung Kai-pang datang ke sini?”

“Hemm, kami adalah pengurus-pengurus Coa-tung Kai-pang, namaku Kim Coa Jin dan ini adalah adikku Bhok Coa Jin. Kami tidak tahu bahwa Hek-tung Kai-pang telah berganti pengurus. Bagus, bagus, kami harap saja biar pun kau masih muda, akan tetapi sudah terbuka pikiranmu untuk menggabungkan perkumpulanmu yang kecil ini pada Coa-tung Kai-pang yang besar sehingga tak perlu ada pertikaian lagi.”

“Ji-wi Lo-kai, hal itu tak mungkin dilakukan. Setiap perkumpulan tentu mempunyai tujuan sendiri-sendiri, dan biarlah kita melakukan tugas kita masing-masing tanpa harus saling mengganggu, bukankah dengan demikian akan lebih baik lagi dan tidak ada pertikaian? Aku akan memberi nasehat kepada semua anggota perkumpulan kami supaya jangan mengganggu perkumpulanmu, dan sebaliknya aku juga mengharapkan dari pihakmu ada kebijaksanaan seperti itu.”

Tiba-tiba Kim Coa Jin tertawa bergelak dengan suara menghina dan memandang rendah sekali.

“Pangcu, kau ternyata masih hijau seperti usiamu. Marilah kita minum arak hijau ini untuk menambah pengalamanmu. Beranikah kau?”

“Mengapa aku tidak berani?” kata Hong Beng yang sudah menelan tiga butir pil ang-tan pemberian tunangannya tadi.

Ia percaya penuh akan kelihaian tunangannya yang paham betul akan segala macam racun dan pengobatannya, maka ketika tadi Goat Lan menyerahkan pil itu sambil berbisik bahwa itulah pil penawar dan penolak racun hijau, ia segera menelannya dan bertindak seperti yang dituturkan di atas.

Sekarang dia mengangkat cawan araknya, diturut pula oleh kedua orang tamu itu yang memandangnya dengan mata heran akan tetapi mulut tersenyum mengejek. Mereka lalu minum arak itu. Sekali tenggak saja arak hijau itu lenyap dalam perut Hong Beng.

Sekarang barulah kedua orang pengemis tua itu terheran-heran. Biasanya, racun hijau yang dimasukkan di dalam arak itu amat keras. Jangankan menghabiskan secawan, baru minum beberapa tetes saja cukup untuk membakar isi perut orang dan menewaskannya seketika itu juga.

Akan tetapi, pemuda yang tampan dan tenang ini setelah minum secawan tidak kelihatan terpengaruh sama sekali, seakan-akan arak itu tidak ada apa-apanya! Mereka menjadi penasaran dan Kim Coa Jin sendiri kini memasukkan kepala tongkatnya ke dalam guci, menambah racun itu dan menuangkan isi guci ke dalam tiga cawan yang sudah kosong, memenuhinya kembali.

“Kau kuat minum secawan lagi, Pangcu?” tanyanya menantang.

Hong Beng tersenyum. “Mengapa tidak kuat? Marilah kita minum untuk kesejahteraan Hek-tung Kai-pang!”

Kembali mereka minum dan sekali lagi Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin saling pandang dengan heran. Jangankan menjadi mabuk atau roboh binasa, muka pemuda tampan itu merah pun tidak.

“Secawan lagi, Ji-wi Lokai?” Kini Hong Beng yang menantang!

Dua orang pengemis tua itu menjadi bingung. Obat penawar yang tadinya sudah mereka telan hanya cukup kuat untuk menolak racun dua cawan arak, maka kalau harus minum secawan lagi, mungkin mereka takkan kuat menahan dan akan roboh binasa dengan isi perut terbakar!

“Cukup, cukuplah, Pangcu!” berkata Kim Coa Jin sambil menggerakkan tongkat ularnya. “Sudah terbuka mata kami bahwa biar pun masih muda, ternyata kau adalah seorang yang kuat minum. Tidak tahu apakah ilmu tongkatmu sekuat kemampuan minummu!”

Pada saat itu pula Hek Liong melangkah maju menghadap Hong Beng dan menyerahkan sebatang tongkat hitam dengan sikap menghormat sekali. Tongkat ini baru saja ia ambil dari dalam sebuah kamar dan ternyata bahwa tongkat ini luar biasa sekali. Memang warnanya hitam seperti tongkat-tongkat yang dipegang oleh semua anggota Hek-tung Kai-pang, akan tetapi tongkat ini mengeluarkan cahaya mengkilap dan ternyata dapat digulung.

“Tongkat ini adalah peninggalan sucouw kami Hek-tung Kai-ong. Sudah berpuluh tahun tidak ada orang yang dapat mempergunakan tongkat lemas ini, maka sekarang kami serahkan kepada Pangcu!”

Hong Beng menerima tongkat itu dengan girang dan ketika ia memegang tongkat itu, ia merasa kagum dan juga girang sekali. Ternyata bahwa senjata luar biasa ini terbuat dari logam yang amat kuat dan merupakan sebatang tongkat pusaka yang ampuh sekali. Ia segera turun dari tempat duduknya dan menghadapi kedua orang tamunya itu dengan sikap tenang.

“Ji-wi Lo-kai, kami telah cukup maklum bahwa kalian dari Coa-tung Kai-pang ingin sekali memperlebar pengaruhmu, akan tetapi caramu ini benar-benar kurang sempurna. Apa kau kira bahwa di kolong langit ini tidak ada orang-orang yang lebih pandai dari pada pemimpin-pemimpin Coa-tung Kai-pang? Tanpa kusengaja, aku yang muda dan bodoh telah terpilih menjadi pemimpin Hek-tung Kai-pang, betapa pun juga, aku akan membela perkumpulan ini dengan tongkat yang sudah dipercayakan kepadaku. Nah, silakan Ji-wi maju mencoba kekerasan tongkat ini!”

Kim Coa Jin biar pun merasa amat kagum melihat betapa orang muda ini dapat minum racun dari tongkat ularnya tanpa akibat sesuatu, tetap saja ia masih memandang rendah kepada Hong Beng. Tidak mungkin pemuda ini mempunyai kepandaian silat yang dapat mengimbangi kepandaiannya sendiri.

Dia dan Bhok Coa Jin adalah dua orang di antara tujuh orang Pengemis Tongkat Ular tingkat satu. Kepandaian mereka ini sudah sangat tinggi, oleh karena mereka merupakan murid-murid yang menerima pelajaran langsung dari Coa Ong Lojin, datuk dari Coa-tung Kai-pang! Mereka telah mewarisi delapan puluh bagian dari ilmu silat dan ilmu tongkat dan telah bertahun-tahun mereka merantau di seluruh permukaan bumi Tiongkok.

Oleh karena memandang rendah dan tak ingin disebut licik, Kim Coa Jin berkata kepada Bhok Coa Jin, “Sute, harap kau berdiri di pinggir saja dan biar aku sendiri yang mencoba kekuatan pangcu muda ini!” Ucapannya ini dikeluarkan dengan mulut tersenyum.

Bhok Coa Jin juga tersenyum, lalu dia menancapkan tongkat ularnya di atas lantai dan duduk di atas tongkat itu! Demonstrasi kekuatan lweekang ini saja sudah hebat sekali, karena lantai itu amat keras namun dapat tertusuk oleh tongkat itu seakan-akan lantai itu terdiri dari tanah lumpur belaka!

“Silakan, Suheng, aku hendak menonton saja,” katanya.

“Nah, Sie-pangcu, marilah kita mulai!” kata Kim Coa Jin menantang.

“Majulah Kim-lokai. Sebagai tamu kau turun tangan lebih dulu,” jawab Hong Beng sambil memegang tongkat hitamnya dengan cara sembarangan saja.

Ia memegang kepala tongkatnya sehingga tongkat itu tergantung lurus ke bawah, seperti seorang kakek yang meminjam tenaga tongkat untuk membantu menunjang tubuhnya yang sudah lemah. Bagi orang yang tidak tahu, tentu mengira bahwa pemuda ini tidak pandai ilmu silat dan bahwa caranya memasang kuda-kuda itu tidak ada artinya sama sekali.

Akan tetapi pada saat Kim Coa Jin melihat cara Hong Beng memegang tongkat, hatinya tertegun. Itulah kuda-kuda yang disebut Dewa Bumi Menangkap Ular, yakni semacam kuda-kuda yang tidak sembarang orang berani menggunakannya untuk memulai sebuah pertempuran, karena kuda-kuda seperti ini amat sukar dibuka dan dikembangkan.

“Awas serangan!” serunya dan Kim Coa Jin cepat menyerang dengan hebat.

Dia sengaja menyerang dengan gerakan yang paling hebat dan lihai, karena dia hendak merobohkan ketua Hek-tung Kaipang ini dengan sekali gerakan saja! Tongkat ularnya dengan cepat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menusuk ke arah dada Hong Beng, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, melainkan meluncur pula di belakang tongkatnya untuk mengirimkan pukulan susulan yang dilakukan dengan tenaga lweekang sehingga angin pukulan ini saja sudah cukup untuk merobohkan lawan!

Akan tetapi Hong Beng dengan gerakan Hek-hong Koan-goat (Bianglala Hitam Menutup Bulan) menggerakkan tongkat hitamnya dengan putaran cepat sekali. Ketika tongkatnya bertemu dengan tongkat ular lawannya, kedua tongkat itu menempel dan tongkat ular itu ikut pula terputar karena pemuda yang lihai ini telah menggerakkan lweekang-nya untuk ‘menyedot’ dan menempel senjata lawan.

Karena kedua tongkat itu terputar cepat di depan mereka, otomatis pukulan tangan kiri pengemis tua itu tertolak kembali! Kim Coa Jin mengerahkan tenaganya untuk membetot kembali tongkatnya dari tempelan tongkat hitam lawannya akan tetapi ternyata tongkat itu seakan-akan telah berakar pada tongkat Hong Beng. Ia merasa penasaran sekali dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya dia berseru keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya terjengkang ke belakang dan hampir saja dia jatuh ketika secara mendadak Hong Beng melepaskan tempelannya!

Bukan main kagetnya hati Kim Coa Jin merasakan kelihaian pangcu muda dari Hek-tung Kai-pang ini. Sambil menggereng laksana seekor harimau terluka ia lalu menerjang maju, memutar-mutar tongkatnya dengan hebat bagaikan angin puyuh dan kini benar-benar dia mengeluarkan ilmu tongkatnya yang lihai, karena dia sudah maklum sepenuhnya bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid orang pandai!

Akan tetapi Hong Beng tetap saja berlaku tenang. Dengan puas dan gembira sekali dia mendapat kenyataan bahwa tongkat hitam yang lemas pada tangannya itu benar-benar merupakan senjata istimewa. Walau pun tongkat itu lemas, akan tetapi dapat menerima saluran tenaga lweekang dengan baik sekali, sehingga tidak kalah ‘enaknya’ dipakai dari pada sebatang ranting kecil!

Dia lalu memainkan Ngo-heng Tung-hoat dan melayani lawannya dengan gerakan yang membuat lawannya menjadi pening kepala. Ngo-heng Tung-hoat adalah semacam ilmu silat yang mengambil sari dari lima anasir atau lima sifat, bisa sekuat baja, selemah air, sepanas api! Juga gerakan tubuh Hong Beng yang lincah dan gesit membuat tubuhnya lenyap dari pandangan mata, terbungkus oleh gulungan sinar tongkat yang menghitam!

Kim Coa Jin sebagai tokoh tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, tentu saja memiliki ilmu silat yang sudah sangat tinggi. Akan tetapi harus dia akui bahwa selama hidupnya, baru sekarang dia bertemu dengan tandingan yang demikian tangguhnya.

Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat bukanlah ilmu silat sembarang saja, tetapi memiliki sifat-sifat tersendiri yang sangat kuat dan berbahaya. Gaya Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat ini amat ganas dan kejam serta memiliki tipu-tipu yang licik dan berbahaya sekali karena ilmu ini tercipta di antara jalan hitam, di antara orang-orang yang memiliki pikiran dan tabiat yang kurang baik.

Tongkat yang berbentuk ular itu saja mengandung bagian-bagian rahasia sehingga dapat mengeluarkan senjata-senjata rahasia berupa jarum-jarum berbisa. Malah dari mulut ular itu, apa bila dikehendaki oleh pemakainya, dapat mengeluarkan semacam uap berbisa yang berbahaya sekali.

Hong Beng sengaja tidak mau melukai Kim Coa Jin dan hanya mendesaknya dengan ilmu tongkat yang memang lebih tinggi tingkatnya. Pemuda ini biar pun masih muda dan mempunyai darah panas namun ia memang cerdik sekali, dan ia maklum bahwa kalau ia sampai melukai orang ini, maka permusuhan antara kedua partai pengemis akan menjadi semakin mendalam. Pihak Coa-tung Kai-pang tentu akan menjadi makin sakit hati dan menaruh dendam hati yang maha berat. Dia ingin menghindarkan hal ini, maka ia hanya mendesak lawannya dengan tongkat hitamnya, berusaha untuk mengalahkan Kim Coa Jin dengan serangan-serangan yang tidak membahayakan jiwanya.

Bhok Coa Jin yang menonton pertandingan itu menjadi marah serta penasaran sekali. Bhok Coa Jin mempunyai watak yang lebih berangasan dan keras dari pada suheng-nya. Melihat betapa suheng-nya tidak dapat menangkan pemuda itu bahkan terdesak hebat sekali, tiba-tiba dia berseru keras dan membantu suheng-nya menyerang Hong Beng.

“Pengemis curang, perlahan dulu!” Mendadak terdengar bentakan merdu dan tahu-tahu tongkat yang diputar oleh Bhok Coa Jin itu telah terpental mundur karena tertangkis oleh sebatang tongkat bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa.

Bhok Coa Jin terkejut dan lebih-lebih kagetnya ketika ia melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu adalah nona cantik yang tadi ia lihat duduk di dekat Hong Beng.

“Bocah kurang ajar!” seru pengemis tua ini dengan marah. “Siapakah kau, berani sekali menghalangi Bhok Coa Jin?”

“Hemm, agaknya kau terlalu sombong dan menganggap diri sendiri paling hebat,” Goat Lan menyindir. “Kau mau tahu siapa aku? Namaku Kwee Goat Lan dan kalau lain orang takut mendengar namamu, aku bahkan merasa muak karena nama besarmu itu sama sekali tidak sesuai dengan sifatmu yang pengecut!”

“Kurang ajar!” Bhok Coa Jin memaki dan tongkatnya segera meluncur cepat mengarah tenggorokan nona itu.

Akan tetapi cepat sekali sepasang tongkat bambu runcing di tangan gadis itu bergerak dan menjepit tongkat ular Bhok Coa Jin sehingga tak dapat dicabut kembali. Betapa pun Bhok Coa Jin membetot tongkatnya, tetap saja tongkatnya itu bagaikan terjepit oleh dua potong besi yang kuat sekali. Barulah dia merasa amat terkejut dan heran. Bagaimana gadis muda ini dapat memiliki tenaga yang demikian hebatnya?

Juga Goat Lan merasa gemas sekali terhadap pengemis tua yang berangasan dan kasar ini. Dia sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya yang lihai ketika Hong Beng berkata mencegahnya,

“Lan-moi, jangan layani dia. Biarkan saja dia mengeroyokku agar mereka tahu kelihaian Hek-tung Kai-pang!”

Walau pun hatinya mendongkol dan tidak puas, Goat Lan maklum akan maksud ucapan tunangannya ini dan ia melompat mundur. Dia tahu kalau ia turun tangan, maka hal ini akan mengurangi keangkeran Hek-tung Kai-pang.

Sebaliknya, diam-diam Bhok Coa Jin merasa lega melihat gadis yang lihai itu melompat mundur. Tak banyak cakap lagi ia lalu menyerbu dan menyerang Hong Beng, membantu suheng-nya.

Jika sekiranya keadaan Hong Beng berbahaya apa bila dikeroyok dua, tentu betapa pun juga Goat Lan akan memaksa turun tangan. Akan tetapi ia maklum bahwa menghadapi dua orang pengemis Coa-tung Kai-pang itu, tunangannya takkan kalah sebab kepandaian Hong Beng masih lebih tinggi tingkatnya. Dia lalu duduk kembali dan menonton dengan sikap tenang. Sebaliknya, para anggota Hek-tung Kai-pang merasa kuatir juga melihat betapa ketua mereka dikeroyok dua oleh lawan-lawan yang amat tangguh itu.

Menghadapi keroyokan dua orang lawan yang tidak boleh dipandang ringan itu, Hong Beng memperlihatkan kehebatan ilmu tongkatnya. Dia segera merubah gerakan tongkat hitamnya dan kini dia mainkan Ilmu Tongkat Pat-kwa Tung-hoat yang gerakannya jauh lebih cepat dari pada Ngo-heng Tung-hoat.

Sebentar saja, seperti halnya lima saudara Hek pada waktu menghadapi pemuda ini, dua orang pengurus Coa-tung Kai-pang ini merasa pening serta pandangan mata mereka menjadi kabur. Mereka merasa heran dan juga penasaran sekali karena selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan ilmu tongkat yang seperti itu. Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat pernah mereka lihat, akan tetapi ilmu silat tongkat yang dimainkan oleh ketua baru dari Hek-tung Kai-pang ini benar-benar tidak mereka kenal.

Sebaliknya, bagi Hong Beng juga tak mudah untuk mengalahkan kedua lawannya tanpa menggunakan serangan kilat yang sedikitnya akan melukai mereka. Maka terpaksa, biar pun dia tidak ingin melukai kedua lawan ini, dia harus memperlihatkan kepandaiannya.

Sekali dia mengerahkan tenaga, maka terdengar suara keras sekali dan dua batang tongkat ular itu patah di tengah-tengah. Berbareng dengan patahnya kedua tongkat itu, dari dalam tongkat menyembur keluar banyak sekali jarum hitam ke arah Hong Beng. Akan tetapi pemuda ini dengan mudah saja lalu memukul semua sinar hitam itu dengan tongkatnya dan sebagai pembalasan, dua kali tongkatnya bergerak ke bawah dan kedua orang lawannya itu terjungkal tanpa dapat mengelak lagi!

Untung bahwa Hong Beng hanya mempergunakan sedikit tenaga, karena kalau pemuda ini berlaku kejam, meski pun kedua orang pengemis tua itu memiliki kekebalan, mereka tentu akan patah-patah tulang kakinya. Kini mereka hanya merasa kedua kaki mereka sakit sekali dan untuk beberapa lama mereka tidak mampu berdiri. Mereka hanya duduk memandang dengan mata terbelalak, lebih merasa heran dari pada merasa marah.

“Kau... kau siapakah? Dan ilmu sihir apakah yang sudah kau gunakan untuk merobohkan kami?” Akhirnya Kim Coa Jin dapat juga berkata sambil merangkak mencoba bangun. Begitu pula Bhok Coa Jin dengan muka meringis menahan sakit mencoba untuk bangun berdiri.

“Tadi sudah kukatakan bahwa namaku Sie Hong Beng dan aku telah diangkat menjadi pangcu dari Hek-tung Kai-pang!” jawab Hong Beng sederhana. “Kalian datang dan roboh bukan karena kehendak kami, akan tetapi kalian sendiri yang mencari penyakit. Harap kalian jangan persalahkan kami.”

Akan tetapi jawaban ini tidak memuaskan hati mereka, dan Hek Liong yang juga merasa tidak puas mendengar jawaban pangcu-nya, kemudian berdiri dan berkata dengan suara lantang,

“Bukalah matamu baik-baik, kalian orang-orang Coa-tung Kai-pang! Pangcu kami adalah putera dari Pendekar Bodoh dan murid dari Pok Pok Sianjin! Dan pendekar wanita yang kalian pandang rendah ini, dia adalah tunangan pangcu kami yang gagah dan Lihiap adalah murid dari Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu! Apakah keterangan ini masih belum cukup?”

Pucatlah muka kedua orang pengemis tua itu ketika mendengar nama-nama besar dari para pahlawan dan tokoh dunia persilatan itu. Akhirnya Kim Coa Jin pun menarik napas panjang dan berkata, “Dasar nasib kami yang sial, bertemu dengan keturunan Pendekar Bodoh! Buah yang jatuh tidak akan menggelinding jauh dari pohonnya!” Setelah berkata demikian, dengan terpincang-pincang Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin pergi meninggalkan tempat itu.

“Tahan...!” seru Hong Beng dan tubuhnya berkelebat mendahului kedua orang itu. Ia kini berdiri menghadapi mereka sambil bertolak pinggang dan matanya memandang tajam penuh ancaman. “Apa maksud kata-katamu tadi? Apa maksudmu berkata bahwa buah tidak akan jatuh menggelinding jauh dari pohonnya?”

Kim Coa Jin tersenyum mengejek “Watak anak takkan berbeda jauh dengan bapaknya. Suhu-ku pernah menceritakan bahwa Pendekar Bodoh adalah seorang yang selalu turut mencampuri urusan orang lain, seorang yang selalu turun tangan dan bertindak dengan sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya. Dan kau agaknya tidak berbeda jauh dengan ayahmu itu!”

“Siapakah suhu-mu?” tanya Hong Beng.

“Suhu kami adalah pendiri dari Coa-tung Kai-pang, yang bernama Coa Ong Lojin!”

Sambil berkata demikian Kim Coa Jin memandang tajam karena mengharapkan pemuda itu akan menjadi terkejut mendengar nama suhu-nya. Akan tetapi ternyata Hong Beng menerima keterangan ini dengan dingin saja, sungguh pun dia pernah mendengar nama orang tua yang sakti itu.

“Pernahkah suhu-mu bentrok dengan ayahku?”

“Belum, belum pernah. Akan tetapi Suhu sudah cukup banyak mendengar dari kawan-kawannya, dan Suhu ingin sekali bertemu dengan ayahmu untuk melihat sampai di mana sih kepandaiannya maka dia dan puteranya sesombong ini!”

Tiba-tiba muka Hong Beng menjadi merah sekali, tanda bahwa ia marah.

“Jahanam berlidah busuk!” makinya sehingga Goat Lan yang sudah berdiri di dekatnya menjadi terkejut, karena tak disangkanya sama sekali bahwa tunangannya yang lemah lembut dan sopan santun ini sekarang begitu marah sampai memaki orang. “Kau pandai benar memutar balik duduknya perkara! Pantas saja kau menjadi pengurus Perkumpulan Tongkat Ular sebab watakmu seperti ular, lidahmu berbisa. Kalian yang datang mengacau di perkumpulan kami akan tetapi kalian yang menuduh kami suka mencampuri urusan orang lain! Memang ayahku suka mencampuri urusan orang lain, urusan orang jahat macam engkau yang suka mengganggu orang, dan hal seperti itu tentu saja ayahku dan aku tak akan tinggal diam memeluk tangan!”

Hampir saja Hong Beng mengangkat tangan menjatuhkan pukulan, kalau saja Goat Lan tidak menyentuh pundaknya sambil memandang dengan senyum menghibur. Pemuda ini menjadi marah sekali karena mendengar ayahnya dicela oleh dua orang jahat seperti Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin.

Kedua orang pengemis dari Coa-tung Kai-pang itu segera pergi dengan muka pucat dan tak berani menengok lagi. Goat Lan lalu menghibur tunangannya dengan kata-kata yang halus,

“Sudahlah, Koko, untuk apa mencurahkan kemarahan terhadap orang-orang macam itu? Mereka sudah dikalahkan dan tentu mereka sudah merasa kapok.”

“Mudah-mudahan begitu,” jawab Hong Beng. “Akan tetapi aku masih merasa amat kuatir kalau-kalau mereka akan datang lagi bersama kawan-kawan mereka untuk mengganggu Hek-tung Kai-pang.”

“Kalau begitu, lebih baik kita menanti dahulu sampai beberapa hari di sini, untuk menjaga keselamatan perkumpulan. Memang sudah menjadi kewajibanmu untuk melindunginya dari serangan orang-orang jahat. Biarlah mereka mendatangkan suhu mereka, aku pun sudah pernah mendengar nama Coa Ong Lojin yang terkenal jahat. Betapa pun lihainya, kita pasti akan dapat mengalahkannya.”

Demikianlah, dua orang muda ini terpaksa menunda keberangkatan mereka dan berjaga di tempat itu bersama para pengurus Hek-tung Kai-pang sampai sepekan lamanya. Dan ini pulalah sebabnya maka mereka tidak cepat menyusul Lili dan Lo Sian yang pergi ke rumah Thian Kek Hwesio sehingga setelah menanti tiga hari lamanya, Lili menjadi hilang kesabaran dan mengajak bekas suhu-nya itu pergi ke Shaning, ke rumah orang tuanya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan.

********************

Betapa pun Lili berusaha untuk membantu ingatan Lo Sian ia tetap gagal, karena Lo Sian benar-benar tidak ingat apa-apa lagi.

“Suhu, kau bernama Lo Sian dan berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti), cobalah ingat-ingat lagi, Suhu. Aku bernama Sie Hong Li atau Lili yang dahulu pernah kau tolong dari tangan Bouw Hun Ti. Dan tidak ingatkah kau kepada suheng-mu Mo-kai Nyo Tiang Le?” Untuk kesekian kalinya di dalam perjalanannya menuju ke Shaning, Lili berkata kepada bekas suhu-nya.

Lo Sian hanya menggeleng kepalanya dengan wajah sedih. “Sebenarnya, sudah hampir setiap malam aku mencoba mengerahkan seluruh ingatanku, akan tetapi tiada gunanya. Ingatanku akan hal-hal yang lampau bagaikan sebuah goa yang hitam pekat. Memang, namamu dan juga namaku sendiri terdengar tidak asing bagi telingaku, akan tetapi aku benar-benar sudah lupa. Baiklah, mulai sekarang aku bernama Lo Sian lagi dan engkau bernama Lili, akan tetapi jangan kau suruh aku mengingat-ingat akan hal yang lalu. Aku tidak sanggup, anak baik.”

Akan tetapi, jalan pikiran Lo Sian masih biasa dan baik sekali. Pertimbangannya masih sempurna, mencerminkan wataknya yang budiman dan gagah perkasa. Pada suatu hari, ketika mereka sedang melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning mereka melihat sebuah makam yang dibangun indah sekali di pinggir jalan. Besarnya makam itu seperti rumah orang, merupakan bangunan gedung yang indah dan mahal. Lo Sian nampaknya amat tertarik dan kagum. Dia berdiri di depan makam itu sambil memandang ke dalam seperti seorang yang terpesona.

“Suhu, coba kau ingat-ingat, makam siapakah ini?”

Seperti bicara kepada diri sendiri, Lo Sian berkata perlahan, “Sudah pasti bukan makam Lie Kong Sian... bukan, bukan makam Lie Kong Sian!”

Lili memandang dengan terharu. “Suhu, benarkah Lie-supek telah meninggal dunia?”

Lo Sian mengangguk pasti. “Memang dia sudah meninggal dunia dan agaknya aku akan bisa mengenali kalau melihat makamnya. Akan tetapi entah di mana, entah bagaimana macamnya, hanya aku merasa yakin akan mengenal makamnya. Dia sudah mati... tidak salah lagi...”

Pada saat bicara tentang kematian Lie Kong Sian, Lo Sian nampaknya sedih sekali dan Lili lalu terbayang kepada pemuda tampan yang telah merampas sepatunya sehingga tak terasa mukanya telah berubah pula menjadi merah sekali.

“Sesungguhnya, makam siapakah begini mewah dan mendapat penghormatan sebesar ini dari rakyat?” tanya Lo Sian sambil membaca papan-papan pujian dan kain-kain berisi sajak yang bagus-bagus, juga pada tempat hio (dupa) yang agaknya dibakari dupa setiap hari.

Lili menarik napas panjang. Apa bila suhu-nya tidak mengenal makam ini, benar-benar ia sudah lupa segala. Siapakah yang tidak mengenal makam Jenderal Ho, pahlawan besar yang gagah perkasa dan yang telah mengorbankan nyawa untuk kejayaan negara dan bangsa?

“Suhu, masa kau tidak ingat kepada makam Jenderal Ho ini?”

Lo Sian menggelengkan kepala. “Tidak, sama sekali tidak ingat lagi. Siapakah Jenderal Ho yang kau sebutkan tadi?”

“Jenderal Ho adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa. Dahulu ketika bala tentara Mongol menyerang pedalaman Tiongkok dan hampir saja bisa membobolkan pertahanan, Jenderal Ho inilah yang berhasil memukul musuh mundur sampai keluar dari Tembok Besar. Juga ketika terjadi pemberontakan di selatan sehingga kedudukan Kaisar sudah terjepit, kembali Jenderal Ho dan pasukannya yang berjasa besar dan berhasil memukul hancur para pemberontak.”

“Dan bagaimana ia sampai meninggal dunia?”

“Dia gugur dalam peperangan ketika pasukan kerajaan menyerang ke timur. Biar pun dia telah terluka hebat di dalam peperangan itu, namun dia masih sanggup untuk memimpin pasukannya dan mengatur barisan sambil duduk di atas tandu dan dia menghembuskan napas terakhir di atas tandu itu pula! Karena jasa-jasanya terhadap negara inilah maka namanya terkenal di seluruh negeri sehingga semua rakyat tak ada yang tidak mengenal namanya. Inilah makamnya. Suhu, apakah kita akan masuk dan memberi penghormatan kepada makam Jenderal Ho yang besar? Di dalam terdapat orang yang menyediakan dupa.”

Akan tetapi Lo Sian malah menggelengkan kepalanya dengan keras dan berkata setelah menghela napas panjang. “Tidak perlu, aku tidak suka melihat kepalsuan ini!”

Lili memandang suhu-nya dengan dua mata terbelalak. “Apa maksudmu, Suhu? Palsu? Apanya yang palsu?”

“Penghormatan ini, makam ini, semua adalah pemujaan dan pujian palsu belaka. Kau duduklah, Lili, dan biarlah aku membuka pikiranmu yang masih hijau menghadapi segala kepalsuan dunia.” Mereka lalu duduk di atas bangku batu yang banyak terdapat di depan makam besar itu.

“Sebelum aku membentangkan pendapat dan pandanganku, lebih dulu jawablah, apakah kau pernah melihat makam-makam besar yang dihormati seperti ini untuk para prajurit-prajurit biasa yang gugur dalam peperangan membela negara?”

Lili memandang bodoh kemudian menggelengkan kepalanya. “Belum pernah Suhu, yang selalu dihormati adalah makam orang-orang besar, jenderal-jenderal, panglima-panglima besar, dan menteri-menteri.”

“Nah, itulah yang kukatakan palsu! Jenderal Ho ini dihormati, dipuji-puji karena katanya ia berjasa terhadap negara, bahwa dia sudah mengorbankan nyawanya demi kepentingan negara. Bahkan orang-orang yang katanya besar, sungguh pun tak usah mengorbankan nyawa dalam peperangan, tetap saja makamnya terus dipuji-puji, namanya dihormati dan dicatat dalam sejarah sampai ribuan tahun! Apakah jasa prajurit kecil itu kalah besarnya? Bukankah mereka itu pun mengorbankan nyawanya, bahkan maju di garis pertempuran terdepan, gugur lebih dahulu dari pada para pemimpinnya yang hanya mengatur siasat pertempuran dari belakang? Apakah mereka ini tidak jauh lebih berani, lebih gagah, dan berjasa dari pada jenderal-jenderal itu? Namun, bagaimana nasib mereka? Mana makam mereka? Dan bagaimana keadaan keluarga mereka yang ditinggalkan? Tak seorang pun mengingat lagi kepada mereka! Nah, inilah yang kukatakan tidak adil dan palsu! Orang hanya pandai mengingat yang besar-besar selalu melupakan yang kecil. Padahal, tanpa yang kecil-kecil, yang besar tidak ada artinya lagi. Apakah dayanya para pembesar tanpa rakyatnya? Apakah artinya jenderal-jenderal tanpa prajurit-prajuritnya?”

Lili tertegun mendengar ucapan suhu-nya ini, akan tetapi sebagai anak Pendekar Bodoh yang banyak mendengar tentang filsafat, dia tidak mau menyerah begitu saja dan masih membantah, “Akan tetapi Suhu, sebaliknya, apakah artinya prajurit-prajurit dalam barisan tanpa pemimpin yang mengatur siasat peperangan? Apakah artinya rakyat tanpa adanya pemimpin yang pandai?”

Lo Sian mengangguk-angguk. “Hemm, ada isinya juga kata-katamu tadi. Memang kedua hal itu perlu sekali, keduanya merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Betapa pun juga, lebih penting anak buahnya dari pada kepalanya. Tanpa jenderal, tiap pasukan prajurit masih merupakan kekuatan yang hebat. Tanpa pemimpin, rakyat masih merupakan massa yang kuat! Sebaliknya, tanpa pasukan, jenderal hanya seorang yang sama sekali tidak berdaya menghadapi lawan. Tanpa rakyat, pemimpin hilang sifatnya sebagai pemimpin. Oleh karena kukatakan tadi bahwa keduanya merupakan dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan, mengapa orang hanya menghormati pemimpinnya saja tanpa mengingat anak buahnya?”

Mendengar ucapan suhu-nya yang panjang lebar ini, diam-diam Lili merasa girang sekali, oleh karena dia kini merasa yakin bahwa biar pun sudah kehilangan ingatannya dan lupa akan peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu, ternyata suhu-nya ini masih memiliki pikiran sehat dan pandangan yang mengagumkan.

Sesudah bicara panjang lebar kepada Lili, Lo Sian lalu bangkit berdiri dan menghampiri tembok yang mengelilingi makam itu. Ia mengerahkan lweekang-nya dan dengan jari-jari telunjuknya ia lalu mencoret-coret tembok itu, menulis beberapa buah huruf yang artinya seperti berikut,

Jenderal Ho menerima penghormatan berkat pasukannya yang gagah perkasa. Siapa yang melihat makam ini harus mengingat akan jasa dari setiap orang prajurit tak dikenal dalam pasukannya!

Biar pun dia menggurat-gurat tembok yang keras itu hanya dengan jari telunjuknya saja, akan tetapi bagaikan sepotong besi kuat, jari itu menggores tembok sampai dalam dan tulisan itu tidak dapat dihapus lagi!

Ketika melihat kejadian ini, orang-orang yang lewat di tempat itu lalu maju melihat dan mereka mengeluarkan pujian melihat kekuatan jari telunjuk kakek itu. Tiba-tiba terdengar suara amat nyaring dan keras,

“Bagus, tulisan yang gagah sekali!”

Ketika Lili dan Lo Sian menengok, ternyata di antara penonton itu muncullah seorang pemuda berpakaian sebagai seorang panglima. Orangnya masih muda, tubuhnya tegap dan mukanya tampan dan gagah. Dengan matanya yang tajam bersinar menatap Lili dan Lo Sian, orang ini menjura dengan penuh penghormatan kepada Lo Sian dan Lili.

Lili melihat dengan herannya betapa semua orang yang melihat panglima muda ini, lalu mundur sambil membungkuk-bungkuk, tanda bahwa panglima muda ini bukanlah orang sembarangan dan mempunyai pengaruh yang besar. Dia merasa segan untuk membalas penghormatan itu, akan tetapi melihat suhu-nya menjura dengan hormat, terpaksa ia pun mengangkat kedua tangan memberi hormat pula.

“Siauwte adalah Kam Liong, dan sebagai seorang panglima dari kerajaan, siauwte amat tertarik melihat tulisan Lo-enghiong itu. Tidak tahu siapakah gerangan Lo-enghiong yang bersemangat gagah dan berwatak jujur ini? Dan bolehkah kiranya siauwte mengetahui pula siapakah Siocia ini, murid ataukah puterinya?”

Ucapan Kam Liong terdengar jujur dan tegas, seperti biasa ucapan seorang prajurit, dan Lo Sian memandang kepada pemuda ini dengan mata gembira. Ia bisa menduga bahwa pemuda ini memiliki kegagahan dan kejujuran hati.

Sebagaimana para pembaca tentu masih ingat, Kam Liong ini adalah putera tunggal dari panglima besar Kam Hong Sin. Kam Liong pernah bertemu dan mengukur kepandaian dengan Lie Siong pada waktu Lie Siong menolong Lilani dan Kam Liong menjadi tamu dari keluarga bangsawan Gui.

“Terima kasih atas keramahanmu, Kam-ciangkun,” kata Lo Sian ramah, “kami hanyalah orang-orang biasa, namaku Lo Sian dan dia ini adalah muridku bernama Sie Hong Li, puteri dari pendekar Bodoh.”

“Suhu...!” Lili menegur suhu-nya sebab ia tak suka dirinya diperkenalkan kepada seorang pemuda asing.

Akan tetapi Lo Sian berpemandangan lain. Memang tidak ada gunanya memperkenalkan diri kepada orang yang berwatak buruk, akan tetapi dia melihat pemuda ini sungguh pun mempunyai kedudukan tinggi, akan tetapi peramah dan sopan, maka tidak ada salahnya memperkenalkan diri mereka.

Mendengar nama Lo Sian, wajah Kam Liong tidak berubah, akan tetapi saat mendengar bahwa gadis cantik jelita itu adalah puteri Pendekar Bodoh, sikapnya langsung berubah sama sekali. Ia menjadi makin menghormat dan cepat menjura kepada mereka berdua.

“Ahhh, tidak tahunya siauwte berhadapan dengan puteri dari Sie Taihiap yang terkenal! Kalau begitu, kita bukanlah orang luar! Ayahku, Kam Hong Sin sudah kenal baik dengan ayahmu, Nona. Bolehkah aku bertanya, di mana sekarang tempat tinggal ayahmu yang terhormat?”

Terpaksa Lili menjawab, “Ayah kini tinggal di kota Shaning.”

“Siauwte harap Lo-enghiong dan Nona sudilah mampir di kota raja, siauwte akan merasa gembira dan terhormat sekali dapat menjadi tuan rumah.”

“Terima kasih, Kam-ciangkun. Maafkan kami tidak dapat pergi ke kota raja, karena kami hendak melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning,” jawab Lo Sian.

“Ahh, sayang sekali siauwte tidak dapat mengawal Ji-wi (Anda berdua) ke Shaning, akan tetapi biarlah lain kali siauwte mengunjungi Sie Taihiap untuk menghaturkan hormat.”

Maka berpisahlah mereka, Kam Liong kembali ke kota raja sedangkan Lili dan Lo Sian melanjutkan perjalanan ke kota Shaning. Di tengah perjalanan, Lo Sian berkata kepada Lili,

“Pemuda itu gagah dan baik sekali. Aku percaya dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.”

“Ayahnya memang berkepandaian tinggi, Suhu. Teecu pernah mendengar dari Ayah dan Ibu bahwa Kam Hong Sin adalah seorang panglima yang mempunyai ilmu silat tinggi dan dulu pernah bertemu dengan kedua orang tuaku.”

Gadis ini sambil berjalan kemudian menuturkan secara singkat kepada suhu-nya tentang pengalaman orang tuanya pada waktu muda, pada saat bertemu dengan ayah panglima muda itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)