PENDEKAR REMAJA : JILID-29


Ada pun kelima orang pandai itu, sesudah menyalakan api unggun, timbullah sifat Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menguji kepandaian orang. Mereka dengan sengaja menambah bahan bakar sehingga kini api unggun itu diadakan tidak lagi untuk mengusir hawa dingin, melainkan diadakan untuk menguji kepandaian masing-masing!

Tentu saja kedua orang tokoh Kun-lun-pai yang mengerti maksud tiga orang tamunya, tidak mau menyerah kalah begitu saja dan seakan-akan tidak mengerti maksud mereka. Kedua orang ini bahkan mengajak Hailun Thai-lek Sam-kui bercakap-cakap sampai Kam Liong dan Lili datang.

Lili yang merasa mendongkol juga ketika mendengar ucapan Thian-he Te-it Siansu yang menyinggung nama ayahnya, lalu berkata,

“Siapakah gerangan Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah) yang telah mengenal nama ayahku?”

Ketiga orang aneh itu tidak menjawab, melainkan hanya tertawa-tawa saja dan Bouw Ki sekarang menambah lagi kayu bakar pada api unggun itu sehingga kini makin besarlah nyalanya dan makin panas hawanya.

Tiong Kun Tojin merasa tak enak melihat sikap tiga orang kakek itu, karena menghadapi puteri Pendekar Bodoh ia tak berani memandang rendah, maka ia lalu memperkenalkan,

“Kam Liong, dan kau juga Nona Sie. Ketahuilah bahwa tiga orang tua ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui yang sangat terkenal. Mereka datang untuk membantu kita mengusir pengacau di perbatasan.”

Kam Liong terkejut dan menjura dengan hormat kepada tiga orang kakek itu, akan tetapi Lili tiba-tiba tertawa mengejek.

“Ahh, tidak tahunya aku berhadapan dengan tiga orang kakek gagah perkasa, demikian gagah perkasanya sehingga suka mengeroyok seorang gadis yang bernama Goat Lan!”

Tiong Kun Tojin dan Kam Wi, juga Kam Liong menjadi tertegun mendengar ucapan ini, dan mereka merasa khawatir sekali melihat gadis itu berani mengejek tiga orang kakek itu. Akan tetapi, Hailun Thai-lek Sam-kui memang memiliki watak yang aneh, mereka ini tidak pernah marah, dan hanya satu kesukaannya, yaitu berkelahi mencari kemenangan! Kini mendengar ejekan Lili, mereka sama sekali tidak marah. Lak Mau Couwsu berkata sambil memperlebar senyumnya,

“Ah, murid Sin Kong Tianglo itu telah menceritakan tentang perjumpaannya dengan kami bertiga? Bagus, katakan kepadanya bahwa lain kali dia tak akan kami lepaskan sebelum mengaku kalah. Ha-ha-ha!”

Tiong Kun Tojin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang dikenal berwatak keras, jujur dan suka berterus terang. Melihat betapa di antara ketiga orang kakek itu dan Lili terdapat pertentangan, dia lalu berkata terus terang,

“Dalam waktu seperti ini, di mana negara dan bangsa sedang terancam oleh musuh dari luar, sungguh sangat disesalkan kalau di antara kita saling cakar-cakaran! Lebih baik kita melupakan untuk sementara waktu urusan lama yang terjadi di antara kita, dan mari kita mempersatukan tenaga untuk menolong negara! Ada pun tentang pengujian kepandaian, dapat dilakukan 7di sini tanpa membahayakan nyawa! Biarlah kutambah lagi api ini untuk melihat siapa yang paling kuat di antara kita.”

Sambil berkata demikian, tokoh Kun-lun-pai ini lalu menambahkan kayu bakar lagi pada api unggun yang sudah sangat besar itu. Kam Liong hampir tak dapat menahannya lagi. Peluhnya telah mulai keluar membasahi jidatnya. Pada waktu ia mengerling ke arah Lili, ternyata bahwa gadis ini masih tersenyum-senyum seakan-akan tak merasa panas sama sekali!

“Kam Liong, kau keluarlah. Kau tak usah ikut serta dalam ujian ini!” kata suhu-nya untuk menolong muridnya ini, karena dia maklum bahwa kepandaian Kam Liong masih belum cukup matang untuk dapat menahan panas yang demikian hebatnya.

Kam Liong lalu menjura dan setelah mengerling sekali kepada Lili, ia lalu keluar dari situ, disambut oleh Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu.

“Aduh, kukira kau tak akan keluar, Kam-ciangkun. Kalau aku yang berada di dalam, bisa kering seluruh tubuhku!” kata hwesio gemuk itu.

“Ehh, apakah Nona Sie masih bertahan di dalam?” tanya Ceng To Tosu heran.

Kam Liong mengangguk. Ia belum berani mengeluarkan suara, karena pergantian hawa dari dalam yang panas menjadi dingin sekali di luar, membutuhkan pengerahan tenaga lweekang untuk mengatur aliran darahnya.

Ada pun Lili yang menghadapi kelima orang itu, sambil tersenyum-senyum memandang kepada mereka. Dilihatnya betapa muka kelima orang itu merah sekali tersorot oleh api unggun dan betapa mereka mempertahankan dengan sinkang mereka yang tinggi, tetap saja nampak betapa mereka itu telah mulai terserang rasa panas yang luar biasa ini.

Lili sendiri juga merasakan serangan hawa panas itu, akan tetapi dia bukanlah puteri Pendekat Bodoh dan cucu murid Bu Pun Su kalau harus kalah sedemikian mudahnya. Ia sudah mempelajari latihan sinkang yang luar biasa dari ayahnya, yaitu latihan sinkang pokok yang dahulu diajarkan oleh Bu Pun Su kepada ayahnya. Pengerahan sinkang-nya membuat tubuhnya sebentar-sebentar terasa dingin sekali, maka dia berseru,

“Aduh dinginnya...”

Thian-he Te-it Siansu memandangnya dengan kagum dan heran, lalu menganggukkan kepalanya dan berkata, “Memang dingin sekali! Biar kutambah lagi kayu bakarnya!” Kakek botak yang kecil ini lalu menambah kayu bakar lagi sehingga api berkobar semakin tinggi dan hawa panas makin menghebat!

Melihat hal ini, diam-diam Lili terkejut sekali. Sinkang dari lima orang tua ini benar-benar hebat sekali, dan karena ia kalah latihan, kalau dilanjutkan akhirnya ia sendiri yang akan mundur dan mengaku kalah. Akan tetapi, Lili adalah puteri Pendekar Bodoh dan ibunya terkenal amat cerdik. Gadis ini pun mempunyai kecerdikan, ketabahan, dan ketenangan yang luar biasa sekali.

Dia lalu berpikir dan mengingat-ingat dongeng yang dulu sering ia dengar dari kakeknya, yaitu Yousuf. Sesudah mengingat sebuah dongeng tentang padang pasir, dia kemudian tersenyum, menghafalkan sajak tentang Abdullah yang terserang panas di padang pasir. Setelah hafal betul di luar kepala, gadis ini lalu tersenyum-senyum girang. Dia lalu berdiri dan mengumpulkan semua kayu bakar, dan dilemparkannya kayu bakar itu ke dalam api unggun. Api kini menyala hebat sekali sampai menyundul pada langit-langit goa!

Lima orang tua itu kaget sekali dan cepat mereka mengerahkan tenaga dalam, karena kini hawa panas luar biasa hebatnya. Lili sendiri lalu duduk bersila, mengatur napas dan duduk bagaikan orang bersemedhi, seluruh perasaannya melupakan adanya api unggun, bahkan kini membayangkan keadaan di luar goa yang tertutup salju dan dingin sekali.

Sesudah hawa panas sedikit mereda, tiba-tiba gadis ini lalu menyanyikan sajak yang tadi dihafalnya di luar kepala. Dia bernyanyi tanpa mempergunakan perasaannya sehingga ia tidak terpengaruh oleh nyanyiannya sendiri.

Lima orang tua itu mendengar suara yang merdu dan indah, tak dapat bertahan lagi lalu memperhatikan kata-kata nyanyian itu. Memang Lili mempunyai suara yang amat merdu, dan terdengarlah dia bernyanyi keras,

Abdullah kelana sengsara.
Haus, lapar, lelah tak berdaya.
Tersesat di gurun pasir tandus.
Matahari membakar, panas... haus!
Tak tertahankan panasnya, serasa dibakar.
Mata silau, terasa pedas, perih, nanar.
Kulit mengering.
Kepala pening...
Aduh panasnya, panas tak tertahankan...!

Dahulu ketika Yousuf menyanyikan sajak ini ketika mendongengkannya tentang Abdullah si musafir kelana, Lili sering kali merasa ikut kepanasan dan seolah-olah dia merasakan betapa sengsaranya berada di padang pasir yang kering itu. Kini dia bernyanyi dengan suaranya yang merdu, didengarkan dengan penuh perhatian oleh lima orang tua itu. Dan akibatnya sungguh hebat!

Ketika dia bernyanyi sampai di bagian ‘mata silau, terasa pedas, perih, nanar’, terdengar keluhan Kam Wi yang tidak kuat lagi membuka matanya, seakan-akan api unggun yang bernyala itu berubah menjadi matahari yang luar biasa panas dan menyilaukan matanya. Kepalanya menjadi pening dan betapa pun ditahan-tahannya, ia tidak kuat lagi sehingga untuk berjalan keluar saja dia tidak kuat lagi.

Suheng-nya, Tiong Kun Tojin, yang melihat keadaan sute-nya ini, segera menggerakkan kaki kanannya mendorong tubuh sute-nya itu yang lalu terpental dan bergulingan keluar sampai di pintu goa. Setelah mendapatkan hawa segar dari luar, barulah Kam Wi dapat mengerahkan tenaga dan melompat keluar dengan terengah-engah!

Tiong Kun Tojin menolong sute-nya tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun, sebab dia sendiri juga sudah hampir tidak kuat, apa lagi ketika Lili mengulang nyanyiannya dan menambahkan semua sisa kayu bakar pada api unggun itu!

Juga Hailun Thai-lek Sam-kui dengan susah payah berusaha untuk menahan serangan hawa panas yang luar biasa dan yang sekarang menjadi berlipat ganda hebatnya setelah mereka mendengarkan nyanyian Lili.

“Tutup mulut...! Jangan menyanyi...!” Thian-he Te-it Siansu membentak.

Akan tetapi bentakannya ini membuat dia semakin lemah dan pertahanannya tidak dapat melawan pengaruh panas yang mendesak. Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat keluar dari situ dan langsung diikuti oleh kedua orang sute-nya. Sesampai di luar, mereka terengah-engah dan cepat-cepat duduk bersemedhi untuk mengatur napas.

Tiong Kun Tojin berusaha mencoba untuk mempertahankan diri. Sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah ternama, dia merasa malu kalau harus mengaku kalah dalam hal menghadapi api unggun oleh gadis yang cerdik dan banyak akal ini. Akan tetapi gema nyanyian Lili betul-betul membuat dia bohwat (kehabisan akal) dan terpaksa ia lalu berdiri dari tempat duduknya, memandang ke arah Lili yang ternyata sekarang bernyanyi sambil duduk bersemedhi meramkan matanya itu.

Lili memang sedang memusatkan tenaganya dan biar pun mulutnya bernyanyi, tetapi dia bernyanyi tanpa menggunakan perasaan atau pikiran. Tahulah Tiong Kun Tojin akan akal bulus gadis ini dan diam-diam ia menjadi kagum sekali. Ia tidak kuat berdiam di situ lebih lama lagi dan dengan tindakan perlahan ia keluar dari goa.

Berbeda dengan yang lain-lain, dia keluar dengan tenang dan sambil berjalan. Dia sudah mengatur napasnya sehingga ketika tiba di luar goa, keadaannya tidak apa-apa, hanya mukanya saja telah penuh dengan peluh!

Baru saja tiba di luar, berkelebatlah bayangan Lili. Gadis ini hanya nampak merah saja mukanya, tanpa peluh setitik pun. Kemerahan mukanya menambah kemanisan gadis ini sehingga semua orang memandangnya dengan penuh kekaguman.

“Ahh, tidak mengecewakan kau menjadi puteri Pendekar Bodoh!” Tiong Kun Tojin memuji dengan setulus hati.

Juga Sin-houw-enghiong Kam Wi yang berwatak kasar dan jujur lantas berkata kepada Kam Liong,

“Liong-ji, apa bila kau dapat berjodoh dengan Nona ini, hatiku akan puas sekali dan roh ayahmu akan tersenyum bahagia! Aku akan mencari Pendekar Bodoh untuk mengajukan pinangan!”

Kam Liong menjadi kaget sekali dan menyesal akan kelancangan pamannya yang kasar itu. Diam-diam dia mengerling ke arah Lili yang menjadi merah sekali mukanya, bukan merah akibat panasnya api, akan tetapi merah sampai ke telinga-telinganya saking malu, jengah dan marahnya.

Dia memandang dengan mata bersinar tajam kepada pembicara itu, agaknya siap untuk memaki. Akan tetapi Kam Liong buru-buru menghampirinya dan menjura amat dalam lalu berkata,

“Nona Sie, mohon maaf sebanyaknya apa bila ucapan pamanku menyinggung hatimu. Percayalah, Siok-hu (Paman) tidak bermaksud buruk dan dia sama sekali bukan hendak menghinamu. Harap kau sudi memaafkannya.”

Mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda ini, Lili merasa tidak enak hati kalau terus melanjutkan kemarahannya terhadap orang tinggi besar yang kasar itu. Akan tetapi tetap saja dia mengomel,

“Agaknya orang di sini tidak tahu aturan dan boleh bicara apa saja seenak hatinya, tanpa mempedulikan orang lain seolah-olah dia yang lebih tinggi dan lebih pintar. Kam-ciangkun, marilah kita melanjutkan perjalanan, aku hendak mencari keluargaku. Untuk apa kita lama-lama di sini? Kalau kau masih hendak lama berdiam di tempat ini, terpaksa aku akan pergi lebih dulu!”

Kam Liong menjadi serba salah dan memandang kepada suhu serta pamannya. Akan tetapi sebelum tiga orang ini dapat mengeluarkan kata-kata, Thian-he Teit Siansu, orang pertama dari Thai-lek Sam-kui itu, berkata sambil tertawa,

“Nona Sie, kau telah mengakali kami bertiga. Kau cerdik sekali! Akan tetapi hatiku belum puas karena belum melihat kepandaianmu yang sebenarnya. Marilah kau melayani kami sebentar, hendak kulihat apakah kepandaianmu sama tingginya dengan akal bulusmu!” Sambil berkata demikian, kakek kate ini menggerak-gerakkan payungnya.

Pada waktu itu Lili sedang merasa jengkel dan marah karena ucapan Kam Wi tadi, maka kini mendengar orang menantangnya, ia menjawab marah,

“Kalian ini tiga orang iblis tua ternyata jahat dan sombong. Kalian kira aku takut kepada kalian? Di dalam waktu seperti ini, kalian datang katanya hendak membantu perjuangan dan mengusir para pengacau, akan tetapi siapa tahu bahwa ternyata kalian hanya hendak mencari permusuhan dengan setiap orang yang kalian jumpai. Kalian hendak mengajak berkelahi? Baik, majulah aku Sie Hong Li tidak takut sedikit pun!”

Sambil berkata begitu sekali ia menggerakkan kedua tangannya, pedang Liong-coan-kiam sudah berada di tangan kanan dan kipas maut telah berada di tangan kirinya! Dia berdiri dengan sikap gagah sekali, mukanya merah matanya menyala.

Melihat sikap ini, Tiong Kun Tojin lalu cepat melangkah maju dan berkata kepada Hailun Thai-ek Sam-kui,

“Sam-wi sungguh tidak dapat membedakan orang. Bicara terhadap seorang gadis muda seperti Nona Sie, seharusnya jangan disamakan dengan pembicaraan terhadap seorang yang telah masak oleh api pengalaman.” Kemudian tosu ini lalu berpaling kepada Lili dan berkata,

“Nona Sie, sesungguhnya memang sudah menjadi watak Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menguji kepandaian tiap orang yang dijumpainya. Ini adalah cara penghargaan mereka. Kalau yang dijumpainya itu adalah seorang yang mereka anggap tidak cukup sempurna kepandaiannya dan tidak cukup berharga, walau dipaksa-paksa sekali pun jangan harap akan dapat membuat mereka turun tangan mengajak bertanding! Tantangannya ini ialah suatu cara penghormatan yang aneh, Nona. Oleh karena itu, harap kau jangan marah dan lakukanlah pertandingan ini secara persahabatan saja, yaitu hanya merupakan pibu (pertandingan kepandaian) biasa untuk menentukan siapa yang tingkatnya lebih unggul!”

Lili tersenyum menyindir saat menjawab, “Totiang, aku pun bukan seorang kanak-kanak, sungguh pun harus aku akui bahwa pengalamanku belum banyak. Ketiga orang tua ini termasuk tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal dan sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi mengapa hanya untuk menghadapi aku seorang saja mereka bertiga hendak maju berbareng? Bukan aku merasa takut, akan tetapi bukankah kalau hal ini hanya sebuah pibu biasa maka nama mereka akan merosot turun?”

Bouw Ki orang ke tiga dari Thailek Sam-kui tertawa bergelak.

“Nona Sie, kami bertiga disebut Tiga Setan, mengapa takut nama merosot? Kami tidak mempedulikan nama dan juga telah menjadi kebiasaan kami untuk maju bersama, hidup bertiga mati bertiga! Nona, bila mana seorang di antara kami menang, kami tidak dapat memperebutkan kemenangan itu dan kalau kalah, harus kami pikul bertiga. Ha-ha-ha!”

Lili adalah seorang gadis yang keras hati, mendengar omongan ini dia menjadi semakin marah.

“Majulah, majulah! Siapa takut padamu?”

Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui mengeluarkan suara aneh dan payungnya menyambar ke arah pinggang Lili.

“Anak Pendekar Bodoh, awaslah!” serunya.

Lili melihat bahwa biar pun payung itu merupakan benda sederhana saja, namun dia tahu bahwa itu adalah sebuah senjata luar biasa. Tidak saja gagang payung dapat mewakili sebuah tongkat, juga setiap jari-jari payung itu merupakan tongkat-tongkat kecil yang dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Maka ia tidak berlaku ayal lagi dan cepat ia mengebutkan kipas di tangan kirinya menangkis. Terdengar suara keras ketika kipas dan payung beradu dan ketika dari kipas ini datang angin pukulan yang aneh, Thian-he Te-it Siansu menjadi kagum sekali.

Begitu pukulan pertama dari payung Thian-he Te-it Siansu dapat tertangkis oleh Lili, lalu menyusullah serangan-serangan dari Bouw Ki yang menggerakkan tongkatnya dan Lak Mou Couwsu yang mainkan rantai besarnya. Sebentar saja Lili telah terkurung oleh tiga orang tokoh besar itu dengan rapat sekali.

Akan tetapi, gadis yang berhati tabah dan berani sekali ini tidak menjadi gentar seujung rambut pun, bahkan ia lalu mempercepat permainan kipas San-sui San-hoat peninggalan dari Swi Kiat Siansu dan memperhebat pula serangan pedang di tangan kanannya yang memainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut ciptaan ayahnya.

Ketika Thian-he Te-it Siansu menyerang dengan payung dikembangkan ke arah lambung Lili, gadis ini lalu berseru keras dan cepat mengembangkan kipasnya pula, dikebutkan ke arah payung sedangkan pedangnya tidak tinggal diam, melainkan menahan datangnya rantai dan tongkat!

“Nanti dulu!” seru Thian-te Te-it Siansu pada saat merasa betapa kebutan kipas itu telah menolak hawa pukulan dari payungnya. “Bukankah yang kau mainkan ini ilmu kipas maut San-sui San-hoat dari Swi Kiat Siansu?”

Lili tidak mau menahan senjatanya dan sambil menyerang terus dia berseru, “Kalau betul kau mau apa?”

“Ha-ha-ha! Katanya kau puteri Pendekar Bodoh, kenapa menghadapi dengan Ilmu Kipas Maut dari Swi Kiat Siansu? Mana kepandaian dari Pendekar Bodoh, ayahmu?” Thian-he Te-it Siansu yang paling pandai bicara di antara kedua mengejek Lili.

Memang sesungguhnya, Thian-he Tiat Siansu agak jeri menghadapi ilmu kipas maut dari Swi Kiat Siansu, karena ia pernah jatuh bangun oleh Swi Kiat Siansu yang mainkan ilmu silat ini. Ketiga orang Iblis Geledek dari Hailun ini memang pernah mengadu kepandaian dengan Swi Kiat Siansu dan biar pun tokoh terbesar dari utara ini hanya mainkan sebuah kipas butut, namun ketiga orang iblis ini terpaksa mengakui keunggulan Swi Kiat Siansu!

Kini melihat bahwa gadis muda ini pandai pula memainkan ilmu Kipas San-sui San-hoat, di samping jeri terhadap ilmu kipas itu sendiri, juga Thian-he Te-it Siansu merasa jeri apa bila menghadapi nama kakek jagoan dari utara itu. Maka dia sengaja mengejek Lili agar mengeluarkan kepandaian yang dipelajarinya dari Pendekar Bodoh.

Lili adalah seorang gadis muda yang betapa pun cerdik dan tabahnya, akan tetapi masih kurang pengalaman. Dalam sebuah pibu, sebetulnya ia boleh saja mengeluarkan segala kepandaian yang pernah dia pelajari, karena namanya juga pibu (mengadu kepandaian). Kalau dia menyimpan dan tidak mempergunakan sesuatu kepandaiannya, kalah menang justru tak dapat dipergunakan sebagai ukuran. Mendengar ejekan Thian-he Te-it Siansu itu, dia menjadi marah sekali.

“Tua bangka, kau kira aku hanya mengandalkan pelajaran dari Swi Kiat Siansu belaka? Untuk mengalahkan orang-orang macam kalian ini cukup dengan pedang beserta tangan kiriku saja.” Sambil berkata demikian, Lili cepat menyelipkan kipas mautnya di pinggang, kemudian ia menyerang lagi sambil memutar pedang Liong-coan-kiam sehingga pedang itu berubah menjadi segulung sinar putih yang menyilaukan mata.

“Bagus sekali. Aku tidak pernah menyaksikan ilmu pedang seperti ini, akan tetapi ilmu ini betul-betul hebat!” seru Lak Mou Couwsu yang jujur.

Memang Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut merupakan ciptaan dari Pendekar Bodoh sendiri, yaitu sebagian dari Ilmu Pedang Daun Bambu yang amat sulit dipelajarinya, maka jarang ada orang yang pernah menyaksikannya. Ilmu Pedang Daun Bambu adalah ilmu pedang yang baru dapat dimainkan oleh orang yang telah memiliki kepandaian pokok segala ilmu silat dan dasar-dasar gerakan tubuh seperti yang telah dimiliki oleh Pendekar Bodoh.

Meski pun Lili sudah dilatih oleh ayahnya semenjak kecil, akan tetapi tetap saja gadis ini belum sanggup menangkap pelajaran mengenal pokok dan dasar ilmu silat seperti yang dimiliki ayahnya, maka sukarlah baginya untuk mempelajari Ilmu Pedang Daun Bambu. Dan sebagai gantinya, Pendekar Bodoh lalu menciptakan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut untuk puterinya.

Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut ini memang benar-benar hebat, tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Lak Mou Couwsu yang jujur. Apa bila sekiranya yang menghadapi ilmu pedang ini hanya seorang di antara Hailun Thai-lek Sam-kui, belum tentu mereka akan kuat menahan. Gerakan pedang ini sama sekali tidak pernah terduga dan pergerakannya amat wajar, tetapi tepat dan sesuai dengan gerakan lawan.

Ilmu pedang ini menjadi ‘hidup’ apa bila digunakan menghadapi serangan lawan, karena sambil menangkis, pedang Liong-coan-kiam itu akan terus bergerak dan secara otomatis menyerang bagian yang paling lemah dari lawan yang masih berada dalam kedudukan menyerang itu.

Pernah dituturkan di dalam cerita Pendekar Bodoh betapa pendekar ini menciptakan Ilmu Pedang Daun Bambu dengan menjadikan daun-daun bambu yang bergerak-gerak tertiup angin sebagai ‘lawan-lawan’ yang ratusan jumlahnya. Apa bila daun-daun bambu itu tak bergerak tertiup angin, agaknya Sie Cin Hai si Pendekar Bodoh juga tidak akan berhasil menciptakan ilmu pedang yang lihai ini. Akan tetapi dengan ratusan daun bambu yang bergerak-gerak, maka gerakan pedangnya menjadi ‘hidup’ sehingga sungguh pun batang bambu terlindung oleh ratusan daunnya yang bergerak-gerak, namun tetap saja ujung pedangnya dapat melukai batang-batang bambu tanpa melanggar sehelai pun daun!

Tentu saja dalam hal ilmu pedang, Lili masih jauh di bawah kepandaian ayahnya. Selain belum matang betul, juga pengertiannya mengenai pokok dasar gerakan masih belum sepandai ayahnya. Ditambah pula sekarang dia menghadapi keroyokan tiga tokoh besar di dunia kang-ouw yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu silat mereka yang aneh pula, maka sesudah bertempur puluhan jurus, Lili mulai terkurung rapat dan terdesak.

Sementara itu, tidak saja Tiong Kun Tojin dan Kam Wi memandang dengan amat kagum menyaksikan ilmu kepandaian Lill, akan tetapi terutama sekali Kam Liong menjadi sangat terkejut. Sedikit pun tidak pernah disangkanya bahwa gadis ini memiliki kepandaian yang sedemikian hebatnya sehingga mampu menghadapi keroyokan Hailun Thai-lek Sam-kui! Akan tetapi dia merasa bukan main cemasnya pada saat melihat betapa gulungan sinar pedang gadis itu semakin menjadi kecil karena terdesak oleh tiga senjata istimewa yang dimainkan oleh tiga iblis tua itu.

“Liong-ji,” tiba-tiba saja Kam Wi berkata dengan penuh kekaguman, “Nona ini betul-betul patut menjadi isterimu! Aku akan melamarnya untukmu kepada Pendekar Bodoh!”

Ucapan ini dikeluarkan dengan keras sehingga terdengar pula oleh Lili yang menggigit bibirnya dengan muka makin merah. Akan tetapi dia tidak sempat untuk melayani orang kasar yang jujur ini.

“Memang mengagumkan sekali,” Tiong Kun Tojin berkata, “pinto sendiri pun sepenuhnya setuju kalau Kam Liong dapat berjodoh dengan Nona Sie yang gagah perkasa ini.” Akan tetapi ucapan tosu ini hanya perlahan dan terdengar oleh Kam Liong dan Kam Wi saja. Tentu saja Kam Liong merasa amat gembira mendengar ucapan dua orang ini.

“Sungguh pun teecu merasa setuju sekali akan tetapi orang seperti teecu mana berharga untuk menjadi jodohnya?” kata pemuda ini dengan hati berdebar.

Ucapan terakhir dari pemuda ini terdengar oleh Lili maka ia menjadi makin tak enak hati. Dia ingin sekali mengalahkan ketiga orang lawannya dan segera pergi dari mereka yang membuatnya amat jengah dan malu, akan tetapi bagaimana ia dapat lolos dari kepungan tiga orang lawan yang hebat ini?

Dia telah mendengar penuturan Goat Lan betapa gadis kosen itu pun kalah menghadapi keroyokan Thai-lek Sam-kui, maka teringatlah dia akan cerita Goat Lan bahwa tiga iblis tua ini tak bermaksud mencelakakan lawannya dan hanya bertempur mati-matian karena haus akan kemenangan belaka!

Mereka tidak akan melukaiku, pikir Lili, dan gadis ini memutar otaknya yang cerdik. Kalau aku tidak menggunakan senjata, mereka tentu takkan mendesak hebat dalam kekuatiran mereka melukaiku dan apa bila mereka memperlambat gerakan, maka dengan ilmu silat Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak) apakah aku takkan dapat merampas senjata mereka? Setelah berpikir demikian gadis ini kemudian menyimpan pedangnya dan kini ia bersilat dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, ilmu silat tangan kosong ciptaan Bu Pun Su kakek gurunya yang khusus untuk menghadapi lawan bersenjata!

Tubuh gadis yang lincah ini menjadi makin ringan dan dia lalu melompat ke sana ke mari bagai burung merak indah yang menyambar-nyambar di antara sambaran senjata lawan sambil mencari kesempatan untuk mengulur tangan dan mencengkeram senjata lawan untuk dirampasnya.

“Aduh, hebat! Inilah agaknya Kong-ciak Sin-na dari Bu Pun Su yang lihai!” Thian-he Te-it Siansu berseru. “Dia mau merampas senjata, lekas kita menghadapinya dengan tangan kosong pula!”

Ternyata kakek kate ini cerdik sekali dan ia telah tahu akan maksud gadis itu. Lili menjadi semakin gelisah dan gemas. Karena sekarang ketiga orang lawannya bertangan kosong dan mereka ternyata adalah ahli-ahli lweekeh yang tenaganya hebat, harapannya untuk dapat lolos menjadi tipis sekali. Di dalam kemarahannya, Lili kemudian merubah gerakan tubuhnya dan kini dua lengannya mengebulkan uap putih dan hawa pukulan yang hebat keluar dari lengan yang berkulit putih halus itu!

“Hebat sekali, inilah Pek-in Hoat-sut dari Bu Pun Su!” teriak Thian-te Te-it Siansu dengan gembira.

Dia sudah mencabut payungnya lagi yang segera dikembangkan untuk menangkis hawa pukulan yang luar biasa dari Lili. Juga kedua orang adiknya lalu mengeluarkan senjata masing-masing karena dengan bertangan kosong, mereka tidak akan berani menghadapi Pek-in Hoat-sut yang lihai.

Bukan main gemasnya hati Lili. Dia berseru nyaring, “Baiklah, aku akan mengadu jiwa dengan kalian!”

Dan sekejap mata kemudian, kipas dan pedangnya sudah berada di kedua tangannya. Inilah keputusan terakhir yang berarti bahwa gadis ini bukan hendak pibu lagi, melainkan hendak bertempur mati-matian dengan maksud membunuh!

Akan tetapi, ketiga orang iblis tua itu tidak takut sama sekali, bahkan terdengar mereka tertawa-tawa mengejek sambil mengurung Lili. Memang mereka bertiga tentu saja lebih kuat dari pada Lili, dan betapa pun gadis ini mainkan kipas dan pedangnya, tetap saja ia terkurung dan tak dapat lolos!

Tiba-tiba saja berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu tanpa dapat dicegah lagi oleh Tiong Kun Tojin mau pun Kam Wi, Kam Liong telah meloncat masuk ke dalam gelanggang pertempuran dengan pedang di tangan.

“Sam-wi Totiang, harap suka melepaskan Nona Sie!” Panglima Muda ini berteriak sambil memutar pedangnya, membantu Lili menangkis serangan lawan.

Thai-lek Sam-kui lalu menunda serangannya, “Ha-ha-ha, Kam-ciangkun, tentu saja kami akan menghentikan serangan kalau Nona Sie suka mengaku bahwa kepandaian Hailun Thai-lek Sam-kui masih lebih tinggi dari pada kepandaian Pendekar Bodoh!”

“Jangan ngacau!” bentak Lili. “Biar pun ada sepuluh orang seperti kalian, ayahku takkan kalah!” Dengan gemas sekali, gadis ini lalu menyerang lagi dan disambut oleh Thai-lek Sam-kui sambil tertawa-tawa.

“Sam-wi Totiang, jangan serang dia!” Kam Liong kembali mencegah.

“Kam-ciangkun, kau sayang kepada Nona ini? Boleh kau bantu padanya agar permainan ini lebih gembira. Ha-ha-ha!” Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak.

Demikianiah, pertempuran kini menjadi lebih ramai lagi dengan adanya Kam Liong yang membantu Lili. Lili menjadi makin gemas. Bantuan dari Kam Liong tidak menyenangkan hatinya, karena hal itu dianggap merendahkannya. Akan tetapi apa pula yang dapat dia lakukan? Betapa pun juga, harus ia akui bahwa seorang diri saja tak mungkin ia akan dapat lolos dan kini bantuan Kam Liong, biar pun tak dapat mendatangkan kemenangan baginya namun dapat membuat ia agak bernapas lega, tidak repot seperti tadi.

Melihat betapa pertempuran itu, terutama dari pihak Lili, dilakukan dengan mati-matian dan sungguh-sungguh, timbul hati khawatir pada Tiong Kun Tojin dan Kam Wi. Keduanya saling memberi tanda dengan mata dan sekali mereka menggerakkan tubuh, mereka pun telah melompat ke dalam gelanggang pertempuran.

“Sam-wi Beng-yu, harap suka mengalah dan mundur!” Tiong Kun Tojin berkata sambil menggerakkan tangannya ke arah payung yang dipegang oleh Thian-he Te-it Siansu. Si Kakek Kate ini merasa betapa angin pukulan yang amat hebat keluar dari tangan tokoh Kun-lun-pai itu, maka cepat dia menarik kembali payungnya dan melompat mundur.

Juga Kam Wi sebagai tokoh Kun-lunpai ke dua, lalu memperlihatkan kepandaiannya. Dia hanya mengebutkan kedua ujung lengan bajunya, akan tetapi kedua ujung baju itu sudah cukup untuk menggempur tongkat dan rantai di tangan Bouw Ki dan Lak Mou Couwsu sehingga senjata mereka terpental ke belakang!

Hailun Thai-lek Sam-kui melompat mundur dan Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak. “Nona Sie, sekarang sudah sepantasnya kalau kau mengakui bahwa kepandaian Hailun Thai-lek Sam-kui masih lebih unggul dari pada kepandaian Pendekar Bodoh!”

“Manusia sombong, kalau sewaktu-waktu kalian mendapat kehormatan bertemu dengan ayah, kalian ini seorang demi seorang tentu akan mendapat tamparan agar melenyapkan kesombonganmu!” Setelah berkata demikian, Lili lalu mengangguk kepada Kam Liong dan berkata,

“Kam-ciangkun, maafkan, aku tidak dapat berdiam di sini lebih lama lagi!” Dia kemudian melompat jauh dan tidak pedulikan lagi seruan Kam Liong yang hendak menahannya.

Tiong Kun Tojin menarik napas. “Seorang gadis yang gagah. Aku setuju usul Sute untuk menjodohkannya dengan Kam Liong.”

Kam Wi menegur Thai-lek Sam-kui mengapa mereka ini sebagai orang-orang tua masih suka mengganggu seorang gadis muda seperti itu. Ada pun Kam Liong, betapa pun mendongkolnya terhadap Thai-lek Sam-kui, namun ia tidak berani menegur. Mereka lalu masuk kembali ke dalam goa yang kini telah padam api unggunnya, lalu merundingkan cara untuk mencegah penyerbuan tentara musuh, yaitu bala tentara Mongol dan Tartar.

“Pinto mendengar berita bahwa pasukan Mongol dibantu oleh orang-orang pandai dari pedalaman, entah siapa-siapa orangnya. Oleh karena inilah maka pinto dan Siok-hu-mu sengaja mengumpulkan teman-teman untuk menghadapi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang tak tahu malu itu,” kata Tiong Kun Tojin kepada muridnya. “Baiknya kau pimpin dulu pasukanmu untuk menjaga garis depan di sepanjang tembok besar, pinto akan menanti dahulu di sini sampai kawan-kawan kita tiba di sini, baru kami akan menyusul ke garis depan.”

Setelah berunding, Kam Liong lalu kembali ke tempat di mana pasukannya berhenti dan kemudian memimpin pasukannya maju terus ke utara. Di dalam hatinya ia merasa amat menyesal dan kecewa sekali karena Lili telah meninggalkannya sehingga diam-diam dia menyumpahi Hailun Thai-lek Sam-kui yang telah menyebabkan gadis itu menjadi marah-marah dan pergi.

Akan tetapi secara diam-diam dia juga merasa girang dan bersyukur sekali karena suhu dan siok-hu-nya sudah berjanji hendak meminang Lili untuknya kepada Pendekar Bodoh! Maklum bahwa gadis itu pasti akan pergi ke Gunung Alkata-san dimana Hong Beng dan Goat Lan berada, maka dia pun tidak merasa khawatir. Dia lalu mempercepat perjalanan pasukannya ke Gunung Alkata-san…..

********************

Mari kita sekarang mengikuti perjalanan Lie Siong putera Ang I Niocu, pemuda remaja yang gagah perkasa dan berwatak sukar dan aneh itu. Sebagaimana telah diketahui, Lie Siong berhasil menotok Lo Sian hingga tidak berdaya dan membawa Pengemis Sakti itu. Ia menculik Lo Sian bukan karena ia benci kepada pengemis ini, akan tetapi sebenarnya karena dia ingin sekali mengetahui keadaan ayahnya, yakni pendekar besar Lie Kong Sian.

Setelah membawa Lo Sian jauh dari Shaning malam hari itu, Lie Siong lalu menurunkan Lo Sian dari pondongannya dan meletakkannya di atas rumput. Dia tidak membebaskan Lo Sian dari totokan, sebaliknya bahkan lalu merebahkan diri di bawah pohon dan tidur. Pemuda ini telah melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah sekali.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah bangun dan ketika melihat ke arah Lo Sian, dia melihat pengemis tua itu masih berbaring tanpa dapat bergerak. Timbullah rasa kasihan dalam hatinya, maka dia lalu menghampiri Lo Sian dan melepaskan totokannya. Beberapa kali urutan dan tepukan pada tubuh pengemis itu, terbebaslah Lo Sian. Akan tetapi oleh karena selama setengah malam Lo Sian berada dalam keadaan tertotok, dia masih merasa lemas dan hanya dapat bangun duduk dengan payah sekali.

Pengemis ini segera meramkan mata bersemedhi untuk menyalurkan tenaga dalamnya dan mengatur napasnya agar supaya jalan darahnya bisa normal kembali. Lie Siong lalu menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan pengemis itu dan membantunya dengan menyalurkan hawa dan tenaga dalamnya hingga sebentar saja Lo Sian merasa tubuhnya hangat dan kuat.

Diam-diam Lo Sian merasa heran melihat pemuda ini. Baru saja menotok, menculik dan menyiksanya dengan membiarkannya dalam keadaan tertotok sampai setengah malam, akan tetapi sekarang bahkan membantunya melancarkan jalan darahnya sehingga cepat menjadi baik kembali. Sungguh pemuda yang aneh sekali!

Ia membuka matanya dan menggerakkan tangannya. Lie Siong lalu menjauhkan diri dan duduk menghadapi pengemis itu.

“Anak muda, apa maksudmu menculik kemudian membawaku ke tempat ini?” kata-kata pertama yang keluar dari mulut Lo Sian ini terdengar tenang sekali.

Pandangan mata pengemis ini yang begitu tenang dan mengandung tenaga batin yang tinggi, membuat Lie Siong tiba-tiba merasa malu kepada diri sendiri sehingga mukanya menjadi kemerah-merahan. Pandang mata ini mengingatkan dia pada ayahnya. Seperti itulah pandang mata ayahnya, kalau dia tak salah ingat.

“Maaf, Lopek. Sebenarnya aku tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan kau, dan sungguh tidak ada alasan sama sekali bagiku untuk menyusahkan kau orang tua. Akan tetapi ucapanmu yang kudengar di rumah Thian Kek Hwesio di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu dahulu itu selalu tidak pernah dapat terlupakan olehku. Ketahuilah, terus terang saja aku adalah putera tunggal dari Lie Kong Sian, Ang I Niocu adalah ibuku, dan namaku Lie Siong. Cukup sekian keterangan mengenai diriku. Sekarang yang paling penting, apakah maksud kata-katamu dahulu itu yang menyatakan bahwa ayahku telah meninggal dunia? Ketahuilah bahwa aku sedang mencari ayahku dan di Pulau Pek-le-to aku tidak dapat menemukannya. Karena kau mengenal ayahku, maka aku ingin agar kau menceritakan apa maksud kata-katamu tentang kematian ayah itu.” Setelah berkata demikian, pemuda itu memandang tajam.

Lo Sian merasa ngeri melihat mata yang berbentuk bagus itu mengeluarkan sinar yang amat tajam, seakan-akan hendak menembus dadanya. Ia tidak tahu bahwa seperti itulah mata Ang I Niocu, Pendekar Wanita Baju Merah yang dulu telah menggemparkan dunia persilatan.

“Sayang sekali, orang muda. Aku tak dapat menjawab pertanyaanmu, karena sebetulnya aku sendiri pun tidak tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu itu.”

“Lopek, harap kau orang tua jangan main-main! Kau pernah berkata bahwa Ayah mati, akan tetapi sekarang kau menyatakan tidak tahu apa-apa. Apa artinya ini?”

“Aku bicara sebenarnya, anak muda, dan sama sekali aku tidak mempermainkanmu atau juga membohong kepadamu. Aku telah kehilangan ingatan sama sekali, aku tidak tahu apa yang telah terjadi dahulu. Ingatanku hanya terbatas semenjak di tempat Thian Kek Hwesio sampai sekarang. Sebelum itu, yang teringat olehku hanya bahwa ayahmu telah meninggal dunia.”

“Di mana matinya dan bagaimana? Di mana makamnya.” Lie Kong mendesak.

Lo Sian menarik napas panjang. “Percayalah, anak yang baik. Satu-satunya hal yang akan kukerjakan pertama-tama kalau ingatanku dapat kembali adalah mengingat tentang ayahmu itu. Akan tetapi apa daya, pikiranku hampir menjadi rusak dan harapanku untuk hidup hampir musnah karena aku telah berusaha mengingat-ingat tanpa hasil sedikit pun juga. Kau tenanglah dan coba dengar penuturanku.”

Lo Sian lalu menceritakan semua pengalamannya, yaitu semenjak tahu-tahu dia merasa berada di tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang menyembuhkannya dan menceritakan pula semua pengalamannya yang didengarnya kembali dari Lili, yaitu pada waktu ia dulu menolong Lili.

“Ahh, sampai sekarang aku tidak bisa mengingat kembali hal yang terjadi sebelum aku disembuhkan oleh Thian Kek Hwesio. Hanya ada dua hal yang masih terbayang di depan mataku, yaitu ayahmu yang telah meninggal dan ucapan pemakan jantung yang selama ini membuatku tak dapat tidur.”

Lie Siong mengerutkan alisnya. Dapatkah dia mempercaya omongan seorang yang baru saja sembuh dari sakit gila?

“Betapa pun juga, anak muda. Aku mempunyai perasaan bahwa ayahmu itu pasti mati dalam keadaan yang mengerikan, dan aku juga merasa yakin bahwa kalau aku melihat kuburannya, tentu akan mengenal tempat itu.”

Timbul kembali harapan Lie Siong. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata,

“Kalau begitu, Lopek. Terpaksa kau harus ikut dengan aku mencari makam ayah, kalau benar-benar dia telah meninggal dunia seperti yang kau katakan tadi.”

“Boleh, boleh! Hanya saja... bagaimana dengan Lili?”

“Lili siapa?”

“Sie Hong Li, nona yang kutinggalkan seorang diri. Dia adalah anak baik, seperti anak atau keponakanku sendiri. Dia tentu akan gelisah sekali.”

“Biar saja, dia bukan anak kecil lagi dan kepandaiannya cukup tinggi untuk menjaga diri sendiri,” jawab Lie Siong tegas.

“Ke mana kita akan pergi?”

“Sudah kukatakan tadi, mencari makam ayah.”

“Setelah itu?”

“Aku akan mengantarkan seorang gadis ke utara untuk mencarikan suku bangsanya.”

Lo Sian teringat akan cerita Lili. “Ahh, gadis yang dulu kau ganggu itu?”

Merah muka Lie Siong. “Jangan berbicara sembarangan, Lopek! Gadis itu adalah Lilani, seorang gadis Haimi yang kutolong dari gangguan orang jahat. Sekarang dia menderita penyakit pikiran dan kutinggalkan di rumah Thian Kek Hwesio. Kita sekarang menuju ke sana untuk melihat keadaannya.”

Lo Sian tertegun mendengar kekerasan hati pemuda ini. Lili boleh disebut seorang gadis yang berhati keras, akan tetapi pemuda ini lebih-lebih lagi!

“Baiklah, aku menurut saja, karena aku merasa kagum dan menghormat pada ayahmu, seorang pendekar besar. Biar pun aku tidak ingat lagi, namun aku merasa yakin bahwa aku dahulu tentu pernah ditolong oleh ayahmu. Maka sudah menjadi kewajibanku kalau sekarang aku membantumu mencarikan makamnya. Jangan sekali-kali kau menganggap kepergianku denganmu ini sebagai tanda bahwa aku takut kepadamu, anak muda. Ahh, bukan sekali-kali. Biar pun kepandaianmu boleh lebih tinggi dariku, namun aku Sin-kai Lo Sian bukanlah seorang yang takut mati. Aku menuruti kehendakmu karena aku pun ingin sekali mendapatkan makam pendekar besar Lie Kong Sian ayahmu.”

Lie Siong mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sangat suka melihat sikap pengemis ini yang dianggapnya cukup gagah dan patut dijadikan kawan seperjalanan. Berangkatlah kedua orang ini menuju ke Ki-ciu untuk melihat keadaan Lilani gadis Haimi yang bernasib malang itu. Tentu saja sebagai seorang yang pendiam dan tidak banyak bicara, Lie Siong tidak menceritakan hubungannya dengan Lilani itu.

Dengan hati girang Lie Siong mendapatkan Lilani telah sembuh dari sakitnya, hanya saja gadis ini sekarang berubah menjadi pendiam sekali. Dia telah mendapat banyak nasehat dan petuah dari Thian Kek Hwesio, karena setelah diobati, gadis ini menganggap Thian Kek Hwesio sebagai satu-satunya orang yang dapat diajak bertukar pikiran. Pendeta tua yang sudah banyak sekali pengalamannya ini dan yang paham dengan bahasa Haimi, mendengarkan pengakuan dan penuturan Lilani dengan wajah tenang dan sabar.

“Itulah salahnya bila orang-orang muda kurang memperhatikan tentang kesopanan yang sudah jauh lebih tua dari pada kita umurnya. Amat tidak sempurna kalau seorang gadis seperti engkau melakukan perjalanan berdua dengan seorang pemuda seperti Lie Siong yang tampan dan gagah. Mudah sekali bagi iblis untuk mengganggu kalian.” Hwesio itu menarik napas panjang. “Akan tetapi tak perlu hal itu dibicarakan lagi. Yang terpenting sekarang, dengarlah nasehatku. Apa bila kau memang benar-benar sudah merasa yakin bahwa cintamu tidak terbalas oleh pemuda itu, jalan satu-satunya bagimu adalah kembali ke bangsamu sendiri! Kebiasaanmu dan kebiasaan Lie Siong, sebagai seorang gadis Haimi dan seorang pemuda Han tidak cocok sekali. Kau biasa hidup bebas, sedangkan orang Han selalu terikat oleh peraturan-peraturan kesusilaan dan kesopanan sehingga kalau ikatan itu terlepas sedikit saja, akan membahayakan. Memang baik sekali kalau dia mau menikah denganmu, akan tetapi kalau hal demikian tidak terjadi, jalan satu-satunya adalah seperti yang kukatakan tadi. Nah, terserah kepadamu.”

Lilani mendengarkan nasehat ini sambil meramkan mata untuk menahan air mata yang mulai mengucur. Alangkah besamya cinta hatinya terhadap Lie Siong. Akan tetapi ia juga dapat merasakan bahwa pemuda itu tidak mencintainya. Sebelum mendengar nasehat dari Thian Kek Hwesio, memang dia sudah mengambil keputusan untuk kembali kepada bangsanya, dan dia sekarang makin tetap lagi hatinya.

Demikianlah, ketika Lie Siong datang, Thian Kek Hwesio lalu memanggil pemuda itu ke dalam kamarnya dan berkata,

“Anak muda she Lie. Pinceng telah mendengar semua penuturan Lilani tentang hubungan kalian. Katakan saja terus terang kepada pinceng, apakah ada niat dalam hatimu untuk mengawininya?”

Lie Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan kemudian menggeleng kepalanya. Akan tetapi pernyataan dengan gelengan kepala ini segera disusulnya dengan berkata, “Betapa pun juga, Losuhu, aku takkan membuatnya sengsara dan meninggalkan dia begitu saja. Aku akan menjaganya, kalau perlu mengambilnya sebagai adik angkat, atau… bagaimana saja menurut sekehendak hatinya asalkan... asalkan jangan menjadi suaminya!”

“Pinceng maklum akan isi hatimu. Kau sudah bersalah, akan tetapi kalau kau sudah mau mengakui kesalahanmu dan kini mau bertanggung jawab memperhatikan nasib gadis itu, kau boleh disebut orang baik.”

“Aku akan mencari suku bangsa Haimi dan membawa Lilani kembali kepada bangsanya. Tentu saja aku tidak akan memaksanya, hanya saja inilah kehendakku.”

Thian Kek Hwesio mengangguk-angguk. “Baik, itulah jalan yang terbaik. Pinceng merasa girang sekali mendengar kau mempunyai ketetapan hati seperti itu. Dengar, anak muda. Kalau kau bukan putera pendekar besar Lie Kong Sian dan Ang I Niocu yang keduanya sudah memupuk perbuatan baik dan kebajikan, kiranya pinceng tak akan mau bersusah payah memberi nasehat dan mencampuri urusanmu. Akan tetapi, sebagai seorang lelaki yang gagah, kau harus berani bertanggung jawab atas segala perbuatanmu. Di dalam kegelapan pikiran kau sudah melakukan pelanggaran bersama Lilani dan sungguh pun kau tidak dapat mengawininya, akan tetapi kau harus penuh tanggung jawab mengatur kehidupannya dan sekali-kali jangan menyia-nyiakan dia sehingga gadis yang malang itu hidup dalam kesengsaraan. Kalau kau meninggalkannya begitu saja tanpa persetujuan hatinya, kau akan menjadi seorang siauw-jin (orang rendah). Mengertikah kau?”

Kalau sekiranya yang bicara itu bukan Thian Kek Hwesio yang memiliki daya pengaruh luar biasa memancar keluar dari wajahnya yang tenang, sabar dan berwibawa itu, pasti Lie Siong akan menjadi marah sekali. Akan tetapi kali ini pemuda itu hanya menundukkan kepala dan menyatakan kesanggupannya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)