PENDEKAR REMAJA : JILID-34


“Siapa kau dan apa maksud kedatanganmu?” Hong Beng membentak sambil menatap tajam dengan sikap siap sedia.

Sebelum Kam Seng menjawab, Goat Lan mendahuluinya, “Beng-ko, dia ini adalah Song Kam Seng yang pernah kuceritakan kepadamu. Inilah putera dari Song Kun, orang tak berbudi yang melupakan pertolongan dan berbalik memusuhi Lili!”

Pemuda itu menjura dengan hormat dan berkata dengan suara dingin, “Memang benar, aku adalah Song Kam Seng putera Song Kun yang terbunuh oleh Pendekar Bodoh.”

“Apakah kedatanganmu ini ada hubungannya dengan urusan itu?” Hong Beng bertanya dengan sikap menantang.

“Tidak, Saudara Sie Hong Beng, sekarang belum tiba waktunya bagiku untuk membuat perhitungan. Semua perhitungan akan kubuat dan kubereskan dengan ayahmu sendiri, kau tidak usah ikut campur. Sekarang ada urusan pribadi. Aku hendak bicara mengenai urusan negara, tentang pengacauan orang Mongol, dan yang berhubungan pula dengan persekutuan yang diadakan oleh Ban Sai Cinjin dan orang-orang lain.”

“Hemm, bukankah Ban Sai Cinjin itu susiok-mu?” Goat Lan bertanya dengan pandangan penuh curiga.

“Betul, Nona Kwee. Akan tetapi di dalam hal ini, paham dia jauh berbeda dengan aku. Betapa pun juga, aku bukanlah seorang pengkhianat bangsa dan aku merasa tak setuju sekali dengan tindakan yang telah diambil oleh Susiok. Juga perbuatannya yang terakhir ini, yaitu menculik adikmu, Nona, amat tidak kusetujui dan untuk itulah maka aku sengaja datang ke tempat ini.”

Bukan main terkejutnya hati Goat Lan mendengar ini, juga Hong Beng merasa kaget dan cepat-cepat dia mengajak pemuda itu masuk ke dalam bangunan yang menjadi tempat tinggalnya. Mereka bertiga lalu duduk menghadapi meja.

“Apa maksudmu dengan penculikan adikku yang kau katakan tadi?” Goat Lan langsung bertanya kepada Song Kam Seng.

Pemuda itu menarik napas panjang. “Sudah bukan rahasia lagi bahwa Pendekar Bodoh bersama kawan-kawannya, juga ayahmu yaitu Kwee-lo-enghiong, sedang menuju ke sini untuk membantu menjaga tapal batas dan mengusir pengacau-pengacau bangsa Mongol dan Tartar. Hal ini sangat menggelisahkan hati Malangi Khan, karena baru kalian berdua saja berada di sini sudah merupakan halangan besar, apa lagi kalau orang-orang tuamu datang membantumu di sini. Oleh karena itu, Susiok yang menjadi tangan kanan Malangi Khan, kemudian turun tangan. Dia tahu bahwa ibumu hanya berada berdua saja dengan adikmu yang masih kecil, karena itu dengan ditemani oleh Coa-ong Lojin dan seorang pembantunya, Ban Sai Cinjin lalu datang ke Tiang-an dan akhirnya dapat menculik Kwee Cin adikmu, bahkan sudah berhasil mencuri kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip dari Sin Kong Tianglo.”

Goat Lan menjadi pucat sekali. Ia memandang tajam dan berkata, “Kau yang memihak musuh, mengapa kau datang menceritakan hal ini? Apa kehendakmu?”

“Sudah kukatakan tadi, Nona, aku bukan datang dengan niat jahat. Aku terpaksa berada di utara karena terbawa oleh Susiok dan terpaksa karena suhu-ku malu hati kepada Ban Sai Cinjin, sehingga biar pun Suhu tidak dapat datang sendiri, namun Suhu menyuruhku mewakilinya. Maksud kedatanganku dan kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu, juga kepada Saudara Sie Hong Beng, tidak lain supaya kalian bersiap sedia. Ketahulilah bahwa Ban Sai Cinjin hendak menjadikan adikmu sebagai tanggungan. Tidak lama lagi kalian tentu akan mendengar ancaman dari Ban Sai Cinjin bahwa kalau Pendekar Bodoh bersama kawan-kawannya membantu tentara kerajaan, maka Kwee Cin adikmu itu akan dibinasakan lebih dulu!”

“Bangsat keji!” Goat Lan berseru keras sambil melompat bangun dan tanpa terasa pula sepasang bambu runcingnya sudah berada di kedua tangannya. “Orang she Song, lekas tunjukkan kepadaku di mana adikku ditahan agar aku dapat pergi menolongnya. Kalau kau tidak mau menunjukkan tempat itu, berarti bahwa kebaikanmu ini palsu belaka untuk menjebak kami dan untuk itu aku akan membinasakanmu di sini dan sekarang juga!”

“Nona Kwee, kalau aku mau menunjukkan tempat itu bukan berarti bahwa aku takut akan ancamanmu, aku lebih takut apa bila aku disangka ikut berjiwa pengkhianat. Akan tetapi biar pun dengan segan, aku harus memberitahukan padamu bahwa mendatangi tempat itu untuk menolong adikmu sama halnya dengan membunuh diri! Penjagaan di situ selain kuat sekali, juga Susiok sendiri berada di sana, selalu berdekatan dengan adikmu. Dan tentang kepandaian Susiok, dia telah memperoleh kemajuan hebat apa lagi dibantu oleh Coa-ong Lojin dengan anak buahnya!”

“Tidak peduli, aku tidak takut! Lekas tunjukkan di mana tempat adikku ditahan!” Goat Lan mendesak.

Ada pun Hong Beng tidak berkata sesuatu sebab ia maklum bahwa tunangannya sedang gelisah, bingung dan kuatir sekali. Song Kam Seng lalu minta kertas dan alat tulis, lalu menggambarkan keadaan gunung di sebelah utara Alkata-san, di mana terdapat markas Malangi Khan dan bala tentaranya. Tempat tahanan Kwee Cin itu ternyata berada paling belakang sehingga untuk datang ke tempat itu harus lebih dahulu melalui benteng dari tentara Mongol!

“Nah, kalian lihat sendiri betapa berbahayanya untuk menyerbu tempat ini. Aku memberi tahukan semua ini agar supaya kalian dapat merundingkan dengan orang-orang tuamu dan mencari siasat yang baik, jangan sekali-kali berlaku sembrono. Sungguh mati kalau sampai berlaku nekad dan terjadi sesuatu yang mengerikan, akulah orang pertama yang akan merasa menyesal sekali. Selamat tinggal!”

“Ucapanmu tidak menakutkan kami, Song Kam Seng! Betapa pun juga aku akan pergi membebaskan adikku dan merampas kembali Thian-te Ban-yo Pit-kip!”

Mendengar suara nona ini demikian tetap dan nekad, Kam Seng yang sudah melompat sampai di pintu itu segera menunda kepergiannya. Dia menengok dan berkata, “Jalan satu-satunya yang lebih aman adalah dari belakang bukit sebab di sana tidak ada tentara Mongol, akan tetapi perjalanan melalui tempat itu amat berbahaya. Lagi pula setelah kau berhasil memasuki benteng sebelah belakang itu, kau masih harus berhadapan dengan Susiok, dengan Coa-ong Lojin, dan banyak lagi orang-orang kang-ouw termasuk empat puluh orang lebih anggota Coa-tung Kai-pang.” Sesudah berkata demikian, tubuh Kam Seng berkelebat dan lenyap dari situ!

“Ginkang-nya boleh juga!” kata Hong Beng.

“Koko, kita harus menyusul Adik Cin sekarang juga. Siapa tahu kalau-kalau jahanam itu akan mengganggunya.”

“Lan-moi, kurasa kata-kata Song Kam tadi ada benarnya. Dalam hal ini kita harus berlaku hati-hati. Bukan sekali-kali aku merasa jeri mendengar penjagaan musuh yang demikian kuatnya, akan tetapi bila memang benar orang tua kita tak lama lagi akan datang, apakah tidak lebih baik berunding dulu dengan mereka, dan minta nasehat mereka bagaimana? Kau tahu bahwa Ban Sai Cinjin akan menjaganya dengan luar biasa kuatnya karena dia maklum bahwa keluarga kita juga tidak akan tinggal diam begitu saja!”

“Justru sekaranglah kita harus bertindak, Koko. Bukankah tadi Song Kam Seng sudah menyatakan bahwa tak lama lagi tentu Ban Sai Cinjin akan mengancam kita agar jangan membantu tentara kerajaan? Hal ini berarti bahwa sekarang Ban Sai Cinjin belum tahu bahwa kita telah mendengar mengenai diculiknya adikku, maka penjagaan di sana tentu belum begitu diperkuat. Kita datang mendadak pula, kalau mungkin menangkap Ban Sai Cinjin dan memaksanya mengembalikan kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip serta melepaskan Adik Cin.”

Hong Beng memandang tunangannya. Dia segera tahu bahwa kehendak dan ketetapan hati tunangannya yang tabah ini tidak mungkin dapat dibantah lagi, dan dia pun maklum bahwa pekerjaan ini sungguh-sungguh amat berbahaya, maka akhirnya dia menyatakan persetujuannya.

Hong Beng lalu memberitahukan kepada para prajurit bahwa dia dan Goat Lan hendak melakukan penyelidikan pada markas musuh, kemudian pemuda ini membuat sepucuk surat yang dimasukkan di dalam sampul, diberikan kepada pengawal dengan pesan agar supaya surat itu diberikan kepada Pendekar Bodoh atau kawan-kawan yang lain kalau ternyata ada yang datang mencari mereka di benteng ini.

Maka berangkatlah Hong Beng beserta Goat Lan pada malam hari itu juga, membawa tongkat hitamnya yang menjadi tanda bahwa dia adalah ketua dari Hek-tung Kai-pang, sedangkan Goat Lan tidak lupa membawa sepasang bambu runcingnya…..

********************

Sie Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An yang melakukan perjalanan cepat serta mereka sudah berpengalaman di daerah ini di waktu mereka masih muda, dapat lebih dulu tiba di kaki Gunung Alkatasan. Beberapa kali mereka mengobrak-abrik pasukan-pasukan Mongol yang berhasil menerobos ke selatan dari jurusan lain karena menjauhi Bukit Alkata-san yang dijaga oleh sepasang pendekar remaja yang mereka takuti itu.

Oleh karena melakukan perjalanan sambil membasmi pasukan-pasukan musuh ini, maka mereka agak terlambat sampai di benteng di mana Hong Beng dan Goat Lan mengatur penjagaan pasukan mereka yang kecil jumlahnya.

Para penjaga benteng dari jauh sudah melihat tiga bayangan orang yang mendatangi dengan kecepatan luar biasa sekali. Ketika melihat tiga orang gagah itu berdiri di depan pintu gerbang, seorang penjaga membentak,

“Siapa diluar?!”

“Kami orang tua dari Sie Hong Beng dan Kwee Goat Lan. Apakah mereka ada di dalam?” seru Kwee An dengan suaranya yang nyaring.

Semua orang di dalam benteng itu tidak ada yang mengenal Pendekar Bodoh, isterinya, dan Kwee Taihiap, maka mendengar disebutnya orang-orang tua Hong Beng dan Goat Lan, mereka cepat membuka pintu dan tiga orang pendekar ternama itu diterima dengan sinar mata kagum dan juga girang. Siapa orangnya yang tak menjadi girang kedatangan pendekar-pendekar yang boleh diandalkan dalam daerah dan keadaan yang berbahaya sekali itu?

“Sie-enghiong bersama Kwee-lihiap baru dua hari ini pergi meninggalkan benteng untuk menyelidiki kedudukan musuh di gunung utara. Sie-enghiong malahan ada meninggalkan sepucuk surat, maka kebetulan sekali Sam-wi datang hari ini. Kami sendiri sudah merasa amat kuatir.” Kepala pengawal menyerahkan surat yang ditinggalkan oleh Hong Beng.

Cin Hai segera menerima surat itu dan membacanya,

Ayah, Ibu, Kwee-pekhu atau Lili dan siapa saja yang kebetulan menerima surat ini!

Kami, Sie Hong Beng dan Kwee Goat Lan, hari ini didatangi oleh Song Kam Seng yang menggambarkan bahwa Kwee Cin sudah diculik oleh Ban Sai Cinjin dan kini ditahan di dalam benteng orang-orang Mongol di bukit utara. Oleh karena itu kami segera pergi ke sana untuk menolong Adik Cin dan mencoba merampas kembali kitab obat yang juga dicuri oleh kawan-kawan Ban Sai Cinjin.

Dari sini menuju ke bukit itu melalui belakang benteng, menurut perhitungan Song Kam Seng, dapat dicapai dalam waktu satu setengah hari, maka jika dalam waktu tiga atau empat hari kami tidak kembali ke benteng, berarti kami telah tertahan atau terbinasa oleh musuh. Sekian harap menjadikan maklum.

Terima kasih,
Sie Hong Beng.

Tidak saja Cin Hai yang terkejut, tetapi Lin Lin dan Kwee An yang mendengar Cin Hai membacakan surat itu, menjadi amat kaget. Kwee An sendiri menjadi pucat wajahnya.

“Bagaimana bisa terjadi hal semacam ini?” tanyanya dengan mata mulai menjadi merah karena kemarahan mulai bernyala di dalam hatinya.

“Kita harus berlaku tenang dan sabar,” kata Cin Hai yang di dalam menghadapi segala macam urusan bersikap tenang seperti suhu-nya. “Menurut laporan kepala pengawal tadi mereka baru dua hari pergi. Apa bila sekarang kita menyusul ke sana, belum tentu kita dapat bertemu dengan mereka sehingga bahkan dapat menyulitkan keadaan. Kita harus percaya penuh kepada Hong Beng dan Goat Lan. Agaknya tak mungkin mereka berdua akan dapat ditawan musuh. Biarlah kita menanti sampai empat hari, jadi dua hari lagi, kalau mereka tidak pulang juga, barulah kita mengambil keputusan apa yang harus kita lakukan.”

Kwee An mengangguk menyatakan setuju. Sebetulnya dia merasa amat gelisah karena mendengar bahwa puteranya telah diculik orang, akan tetapi harus dia akui bahwa kalau sekarang ia nekat menyusul Goat Lan, amat dikuatirkan ia bahkan akan mempersulit dan mengacaukan usaha Hong Beng dan Goat Lan yang sedang berusaha menolong Kwee Cin. Lagi pula, ia tidak sangsi lagi akan kelihaian puterinya dan juga kelihaian Hong Beng yang seperti ucapan Pendekar Bodoh tadi, agaknya tidak mudah ditawan oleh musuh.

Alangkah girang hati semua orang, termasuk juga para prajurit di dalam benteng itu, ketika pada keesokan harinya, dari jurusan barat datanglah serombongan orang-orang Haimi yang dipimpin oleh Lili dan Ma Hoa diikuti pula oleh Sin-kai Lo Sian!

Ma Hoa cepat menceritakan sejelasnya pengalamannya sehingga puteranya, Kwee Cin, sampai diculik orang, berikut kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip, sebagaimana telah dituturkan dengan jelas pada bagian depan. Bukan main marahnya Cin Hai, Lin Lin dan Kwee An mendengar penuturan ini.

“Betapa pun juga,” kata Kwee An, “kita harus menanti sampai besok pagi. Kalau Goat Lan dan Hong Beng belum juga kembali barulah kita beramai akan menyerbu ke sana dan awaslah Ban Sai Cinjin kalau dia berani mengganggu Cin-ji (Anak Cin)!”

Sesudah membaca surat yang ditinggalkan oleh Hong Beng, Ma Hoa juga sependapat dengan suaminya, yaitu akan menanti sehari lagi. Akan tetapi tidak demikian dengan Lili. Diam-diam hati gadis ini merasa gemas dan benci sekali kepada Ban Sai Cinjin. Kakek pesolek itu sangat pengecut dan licin, siapa tahu kalau-kalau Hong Beng dan Goat Lan terjebak ke dalam perangkapnya?

Malam hari itu, Lili lalu bertemu dengan Nurhacu, orang Haimi yang tua dan banyak pengalaman di daerah utara ini. Dari Nurhacu dia mendapatkan banyak petunjuk tentang keadaan bukit di utara itu.

Benteng itu kini menjadi ramai dan penjagaan diperkuat dengan adanya pasukan Haimi yang juga gagah. Dan pada malam hari itu pula, Lili keluar dengan diam-diam melalui penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang Haimi, dan di bawah cahaya bulan purnama yang muram, gadis ini berlari cepat sekali menuju ke utara! Dia hendak menyusul Hong Beng dan Goat Lan, dan tentu saja kepergiannya ini tidak diberitahukan kepada ayah bundanya, karena dia tahu bahwa mereka pasti tidak akan mau meluluskannya.

Ada pun Lilani segera dapat merampas hati Lin Lin yang merasa suka dan amat kasihan melihat nasib gadis ini. Kwee An dan Cin Hai juga segera menganggap gadis ini seperti keponakan sendiri sehingga Lilani merasa amat terharu.

Gadis yang lincah dan rajin ini lalu cepat-cepat melayani pendekar-pendekar gagah itu sehingga dua pasang suami isteri itu semakin menyayanginya. Benar-benar Lilani dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekelilingnya, dan inilah yang membuat seseorang selalu disuka.

Tentu saja pada keesokan harinya, semua orang menjadi terkejut dan geger saat melihat betapa Lili telah tidak ada pula di dalam benteng. Cin Hai dan Lin Lin sudah mencari ke mana-mana, akan tetapi tidak nampak bayangan Lili. Nurhacu yang mendengar betapa semua orang mencari Lili, lalu menghadap Cin Hai dan menceritakan bahwa malam tadi Lili mencari keterangan sejelasnya tentang keadaan bukit di utara itu.

“Tidak salah lagi!” Cin Hai membanting kakinya. “anak bengal itu dengan lancang tentu sudah menyusul kakaknya ke sana!”

Pada saat semua orang tengah membicarakan urusan perginya Lili ini, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tak lama kemudian seorang pengawal dengan wajah berseri memberi laporan akan datangnya sebuah barisan yang besar sekali, yang dipimpin sendiri oleh Kam-ciangkun dari kota raja!

Semua orang menyambut dan benar saja bahwa yang memimpin barisan adalah Kam Liong. Dengan penuh hormat, Kam Liong memberi penghormatan kepada Cin Hai suami isteri dan Kwee An serta Ma Hoa, yang dianggapnya pendekar-pendekar yang tingkatnya lebih tinggi hingga semua orang secara diam-diam menaruh perhatian dan suka kepada panglima muda ini.

Ketika Kam Liong mendengar bahwa Hong Beng dan Goat Lan sudah empat hari tidak kembali dari penyelidikan mereka di markas musuh dan bahwa tadi malam Lili juga telah mengejar ke sana, pemuda ini lalu mengerutkan keningnya sambil berkata, “Berbahaya, berbahaya! Bukit itu penuh dengan tentara Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri berada di tempat itu! Ahh, terlalu berbahaya! Lebih baik kita segera menyerang dan menyerbu dengan mendadak, barang kali saja masih dapat menolong putera Kwee-lo-enghiong dan kedua Saudara Hong Beng dan Goat Lan!”

“Jangan, Kam-ciangkun. Itu terlalu berbahaya. Kita harus mencari daya upaya lain untuk menolong mereka itu, dan pula belum tentu ketiga orang anak kami akan mudah saja mengalami bencana di tempat itu!” kata Cin Hai.

Pada saat itu pula terdengar suara kaki kuda dan ternyata seorang Mongol yang berkuda dengan cepat sekali, datang membawa sesampul surat yang katanya harus disampaikan kepada Pendekar Bodoh!

Melihat orang Mongol itu datang membawa tanda utusan Raja Mongol, para prajurit tidak berani mengganggunya dan orang itu lalu dihadapkan kepada Cin Hai. Orang Mongol itu bertubuh tinggi kurus, bermata tajam dan ganas, sedangkan bibirnya menyeringai seperti sikap seorang yang tidak takut mati.

“Aku datang sebagai utusan Malangi Khan yang maha besar!” katanya setelah ia dibawa ke dalam benteng.

“Mana surat yang kau bawa?” Cin Hai bertanya.

“Harus kuserahkan sendiri kepada Pendekar Bodoh,” jawab utusan itu.

“Akulah orang yang dimaksudkan itu,” jawab Cin Hai.

Orang Mongol itu memandang seperti tak percaya. Orang ini tampaknya demikian lemah, pikirnya, mana mungkin dia adalah Pendekar Bodoh yang demikian terkenal dan bahkan ditakuti oleh Malangi Khan sendiri?

Cin Hai dapat menduga pikiran orang. Sambil tersenyum ia berkata, “Kalau kau hendak berlama-lama, biarlah aku mengambilnya sendiri!”

Tangan kirinya bergerak perlahan ke depan, mengarah ke dada orang Mongol itu. Orang Mongol itu cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya, akan tetapi ketika lengan tangannya beradu dengan tangan Cin Hai, ia kesakitan dan sedetik kemudian seruannya terhenti karena ia telah terkena totokan jari tangan kiri Cin Hai. Orang Mongol itu berdiri seperti patung dengan sikap masih menangkis sehingga nampak lucu sekali.

Cin Hai kemudian menggeledah saku orang itu dan mendapatkan sesampul surat yang ditujukan kepada Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya. Ketika ia membuka sampulnya dan membaca, ternyata bahwa surat itu adalah surat yang ditulis oleh Ban Sai Cinjin dan yang ditujukan kepadanya dan semua kawan-kawannya, bahwa kalau Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya ikut maju membantu bala tentara kerajaan, maka Kwee Cin akan dibunuh dan kepalanya akan dibawa ke medan perang.

Cin Hai dan Kwee An menjadi merah sekali mukanya. Cin Hai kemudian membebaskan totokannya dan setelah orang Mongol itu dapat bergerak lagi, ia membentak, “Kau bilang diutus oleh Malangi Khan, mengapa yang kau bawa ini adalah surat dari Ban Sai Cinjin?”

“Apakah bedanya Malangi Khan dan Ban Sai Cinjin?” Orang Mongol itu menjawab. “Ban Sai Cinjin telah menjadi tangan kanan Malangi Khan, maka setiap perintah Ban Sai Cinjin tentu sudah disetujui oleh Malangi Khan!”

“Baik, kau kembalilah kemudian sampaikan kepada Ban Sai Cinjin bahwa kami tak akan melanggar larangannya dan jangan dia sekali-kali berani mengganggu Kwee Cin karena kalau dia mengganggu anak itu, biar pun ia akan lari sampal ke neraka, pedangku pasti akan mendapatkan lehernya!”

Utusan itu lalu dilepaskan dan dengan kudanya yang luar biasa, utusan Mongol ini lalu membalap hingga sebentar saja dia hanya nampak sebagai titik hitam dengan debu yang mengebul di belakangnya.

“Nah, Kam-ciangkun, kau lihat dan mendengar sendiri. Kalau kita menyerbu begitu saja, pasti akan terbukti ancaman Ban Sai Cinjin yang berhati kejam dan curang.”

“Kalau demikian, Sie Taihiap. Biarlah siauwte memimpin sendiri barisan kerajaan untuk menggempur gunung itu. Ada pun Cu-wi sekalian lebih baik mengambil jalan belakang untuk mencari saudara-saudara yang sampai sekarang belum kembali.”

“Ini pun kurang sempurna, Kam-ciangkun,” kata Kwee An. “Memang kita semua sudah berpikir bulat untuk bersama-sama menghalau pengacau negara dan memusuhi barisan Mongol yang membikin kekacauan. Pihak Mongol selain banyak jumlahnya, juga di sana mereka dibantu oleh orang-orang pandai semacam Ban Sai Cinjin dan entah siapa lagi. Kalau kau maju dan sampai mengalami kekalahan, bukankah itu melemahkan semangat para prajurit? Lebih baik kau biarkan kami mencari anakku lebih dahulu dan kalau sudah berhasil dan selamat barulah kita bersama membikin pembalasan dan menghancurkan barisan Malangi Khan di bukit itu.”

“Berilah waktu lima hari kepada kami,” Cin Hai menyambung, “sesudah lewat lima hari boleh kau memimpin barisanmu menggempur musuh.”

Tentu saja Kam Liong tidak berani membantah dan menyatakan baik. Sikap pemuda ini amat menyenangkan hati dua pasang suami isteri pendekar itu, karena berbeda dengan sikap panglima-panglima lain yang biasanya amat sombong dan angkuh. Sikap panglima muda ini benar-benar menarik hati sehingga diam-diam Lin Lin menyampaikan kepada Ma Hoa dan Kwee An tentang lamaran yang diajukan oleh paman pemuda ini terhadap Lili.

“Memang dia orang baik, agaknya cukup pantas untuk menjadi mantumu,” kata Kwee An kepada adiknya ini, “tetapi betapa pun juga, sekarang belum waktunya bagi kita untuk membicarakan soal ini. Lagi pula dalam hal perjodohan harus ada persesuaian antara anak, ibu dan ayah. Jika ketiganya cocok barulah perjodohan itu dianggap baik dan akan berbahagia. Kita tunggu saja bagaimana pendapat Lili sendiri tentang pinangan itu.”

Mereka berempat lalu berunding mengenai urusan mereka untuk menolong Kwee Cin dan juga mencari Hong Beng, Goat Lan dan Lili.

“Lebih baik kita bagi-bagi tugas,” kata Kwee An, “biarlah aku dan Cin Hai pergi ke sarang mereka. Ada pun kau dan Lin Lin tinggallah saja di sini. Siapa tahu kalau-kalau utusan Mongol tadi hanya merupakan pancingan supaya kita semua pergi mengejar ke sana dan meninggalkan benteng ini. Jika kita semua pergi dan mereka tiba-tiba datang menyerang, kasihan sekali kalau sampai Kam-ciangkun mengalami kekalahan hebat! Kurasa aku dan Cin Hai berdua sudah cukup untuk menyelidiki keadaan mereka di gunung itu.”

“Apa yang dikatakan oleh Kwee An memang benar dan aku merasa setuju sekali,” kata Cin Hai yang walau pun menjadi adik ipar Kwee An namun selalu menyebut namanya begitu saja karena sudah menjadi kebiasaan semenjak mereka belum menikah.

Biar pun merasa kecewa, namun Lin Lin dan Ma Hoa tidak membantah, karena memang tepat apa yang diusulkan oleh Kwee An itu. Pula tugas menjaga benteng itu tidak kalah pentingnya, kalau tidak dapat disebut lebih berbahaya.

Berangkatlah Cin Hai dan Kwee An pada hari itu juga menuju ke bukit utara itu. Seperti juga Lili, sebelum berangkat mereka meminta keterangan mengenai kedudukan bukit itu kepada Nurhacu, karena biar pun Cin Hai dan Kwee An pernah mengadakan perantauan di daerah utara pada waktu mereka muda, namun mereka belum pernah naik ke bukit itu.

Nurhacu yang tadinya dipaksa membantu orang-orang Mongol, tentu saja sudah pernah masuk ke dalam markas besar Malangi Khan. Sebab itu dengan jelas ia menggambarkan kedudukan markas musuh yang terjaga kuat itu.

Setelah kedua orang pendekar itu meninggalkan kaki Bukit Alkata-san di sebelah utara dan sedang berlari cepat menuju ke bukit yang menjulang tinggi di sebelah utara itu, dari sebuah tikungan jalan tiba-tiba saja keluarlah seorang pemuda tampan yang berlari cepat dengan gerakan gesit sekali. Pemuda itu lalu berhenti menghadang di tengah jalan ketika dia melihat dua orang laki-laki setengah tua yang berlari cepat itu.

Cin Hai dan Kwee An merasa curiga dan mereka pun cepat menahan kaki mereka dan berhenti di depan pemuda itu. Untuk beberapa lama mereka saling pandang, kemudian pemuda itu dengan sikap sopan lalu menjura dan bertanya,

“Mohon tanya, siapakah Ji-wi Lo-enghiong yang gagah ini? Dalam keadaan seperti saat ini, melihat dua orang gagah menuju ke utara, sungguh amat mengherankan hati.”

“Anak muda, kau pandai sekali membolak-balik kenyataan. Kami yang menuju ke utara belum dapat dikatakan aneh, sebaliknya kau seorang pemuda yang gagah akan tetapi dalam waktu seperti ini berkeliaran di daerah musuh betul-betul menimbulkan kecurigaan besar!”

Merahlah wajah pemuda itu. “Maaf, kau berkata benar, Lo-enghiong. Memang aku Song Kam Seng sudah salah memilih jalan. Akan tetapi aku sedang berusaha mencari jalan yang benar. Kuulangi lagi, siapakah gerangan Ji-wi yang terhormat?”

Mendengar disebutnya nama ini, berubah wajah Cin Hai dan juga Kwee An. Kedua orang pendekar ini telah membaca surat Hong Beng dan tahu bahwa Hong Beng dan Goat Lan pergi meninggalkan benteng setelah dipancing oleh pemuda ini! Dan pula, Cin Hai sudah mendengar dari Lili bahwa pemuda ini adalah putera Song Kun dan sudah mengancam hendak membalas dendam kepadanya!

“Hemm, jadi kaukah yang bernama Song Kam Seng putera Song Kun? Ketahuilah, aku yang disebut Pendekar Bodoh dan ini adalah saudara tuaku bernama Kwee An! Hayo lekas kau ceritakan di mana adanya anak-anak kami, Hong Beng, Goat Lan dan Kwee Cin?”

Mendengar bahwa yang kini berhadapan dengannya adalah musuh besarnya, pembunuh ayahnya, tiba-tiba Kam Seng menjadi makin marah. Ia lalu memandang kepada Cin Hai dengan mata tajam, lalu mencabut pedangnya dan berkata,

“Bagus, jadi kaukah yang bernama Sie Cin Hai, orang yang telah membunuh ayahku dan membuat ibu dan aku hidup menderita selama bertahun-tahun? Manusia kejam, kau telah berhutang nyawa, maka sudah selayaknya sekarang aku menagihnya!” Sambil berkata demikian, Kam Seng lalu mengayun pedangnya menusuk dada Cin Hai.

Pendekar Bodoh hanya tersenyum saja dan sama sekali tidak menangkis atau mengelak. Akan tetapi dari samping mendadak berkelebat bayangan pedang dan dengan kerasnya pedang Kam Seng terpukul oleh pedang yang digerakkan oleh Kwee An hingga pedang itu terpental kembali dan hampir terlepas dari pegangan Kam Seng!

“Song Kam Seng, jangan kau berlaku sembrono! Ayahmu Song Kun bukan mati dibunuh oleh Pendekar Bodoh, akan tetapi dia mati karena kejahatannya sendiri. Seorang gagah membela kebenaran tanpa memandang kepada hubungan keluarga! Jika kiranya ayahmu itu masih hidup dan menjadi seorang yang amat jahat, apakah kau juga akan membantu dia dan ikut-ikutan menjadi jahat?”

Dengan pandangan mata liar Kam Seng membalikkan tubuh dan menghadapi Kwee An. “Kau bilang ayahku jahat? Apa maksudmu?”

“Memang hal yang paling sulit di dunia ini adalah mengakui atau melihat kesalahan pihak sendiri. Ayahmu dahulu mengancam jiwa Lin Lin yang sudah menjadi tunangan Cin Hai. Adikku itu terkena racun orang jahat, kemudian obat penawarnya dirampas oleh ayahmu, dan ayahmu mengancam hendak melenyapkan obat penawar itu kalau adikku tidak mau menjadi isterinya!”

Dengan singkat akan tetapi jelas, Kwee An lalu menceritakan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Song Kun pada waktu mudanya dan bahwa kematian Song Kun terjadi di dalam pertempuran melawan Cin Hai yang membela diri, jadi sekali-kali bukan Pendekar Bodoh yang sengaja membunuhnya.

Mendengar penuturan ini, pucatlah wajah Kam Seng. Alangkah bedanya dengan cerita yang telah didengarnya dari Ban Sai Cinjin! Mana yang benar? Akan tetapi suara hatinya membisikkan bahwa dia harus lebih percaya kepada dua orang pendekar besar ini dari pada kepada Ban Sai Cinjin yang berhati khianat.

“Biar pun andai kata mendiang ayahku benar jahat, sebagai puteranya aku harus berani menghadapi kenyataan dan berani pula membalaskan sakit hatinya. Kini aku menantang kepada Pendekar Bodoh untuk mengadu kepandaian, lepas dari soal siapa salah siapa benar antara dia dan ayahku. Aku hanya hendak memenuhi kewajiban sebagai seorang anak yang harus berbakti kepada ayahnya. Apa bila aku kalah, sudahlah, mungkin ayah yang memang bersalah dalam pertempuran dahulu.” Sambil berkata demikian, kembali pemuda itu menghadapi Cin Hai dengan sikap menantang.

“Bocah lancang!” Kwee An membentak marah. “Kau mengandalkan apakah maka berani menantang Pendekar Bodoh? Mudah saja menyatakan tentang sakit hati dan dendam. Ketahuilah bahwa aku pun menaruh dendam kepadamu bila pandanganku sepicik engkau! Kau telah memancing dan mencelakakan puteriku Goat Lan dan bahkan mungkin kau sudah membantu susiok-mu Ban Sai Cinjin untuk menculik anakku Cin-ji! Nah, bukankah aku pun boleh berdendam kepadamu? Coba kau hadapi pedangku dulu kalau memang kau memiliki kepandaian!”

Akan tetapi, sambil tersenyum Cin Hai berkata, “Biarkanlah, Kwee An, biarkan anak ini, memperlihatkan tanduknya! Sikapnya mengingatkan kepadaku akan ayahnya, Song Kun. Demikian berani dan keras hati. Ehh, Kam Seng, aku sudah mendengar namamu disebut oleh puteriku, Lili. Kau sudah menyeberang ke pihak jahat dan menjadi murid dari Wi Kong Siansu? Kau salah, anak muda. Kalau saja kau tetap menjadi murid Nyo Tiang Le dan kemudian kau datang kepadaku, mengingat hubungan ayahmu dengan aku, kiranya aku takkan menolak untuk memberi bimbingan kepadamu. Sekarang kau bahkan hendak menantangku bertempur? Hemm, cobalah maju dan jangan ragu-ragu, seranglah sesuka hatimu.”

Mendengar ucapan yang tenang ini dan melihat sikap yang acuh tak acuh dari Pendekar Bodoh musuh besarnya, Kam Seng menjadi ragu-ragu. Tadi ia sudah merasai kelihaian tangkisan pedang Kwee An. Baru Kwee An saja sudah demikian hebat tenaganya, apa lagi Cin Hai yang kabarnya memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Kwee An!

Akan tetapi Kam Seng tidak takut. Hatinya telah bulat untuk membalas dendam ayahnya sehingga ia mengorbankan perasaannya dan berpindah ke pihak Ban Sai Cinjin. Bukan karena ia lebih cocok dengan rombongan ini, tidak, karena sebenarnya ia benci melihat kejahatan kakek pesolek itu. Ia rela berguru kepada Wi Kong Siansu hanya karena dia ingin tercapai maksudnya membalas dendam kepada musuh besarnya, yaitu Pendekar Bodoh.

Kalau ia teringat betapa ia dan ibunya terlunta-lunta setelah ayahnya tewas, sakit hatinya terhadap Pendekar Bodoh makin besar. Dan sekarang setelah ia bertemu dengan musuh besarnya, meski pun dia ingat musuhnya itu ayah dari Lili, gadis satu-satunya di dunia ini yang dicintainya, meski pun ia telah mendengar keterangan dari Kwee An betapa dahulu sebenarnya ayahnya yang salah dan jahat, namun bagaimana ia dapat membatalkan niat hatinya hendak membalas dendam?

Sekarang melihat sikap Cin Hai, amat tidak enak hati Kam Seng. Dia sebenarnya segan melawan pendekar yang bersikap tenang dan gagah ini, akan tetapi dia malu terhadap bayangannya sendiri kalau dia tidak melanjutkan niatnya yang telah terpendam di dalam hati sampai bertahun-tahun lamanya. Maka dia paksakan hatinya dan berseru, “Ayah di alam baka! Lihat bahwa anak telah melakukan usaha sekuat tenaga!”

Sambil berkata demikian dia lalu maju menyerang dengan hebat sekali kepada Pendekar Bodoh. Akan tetapi, dengan cara yang amat membingungkan mata Kam Seng, tahu-tahu pendekar besar itu telah dapat mengelak dari tusukan pedangnya. Ia menjadi penasaran dan melanjutkan serangannya sambil mengeluarkan ilmu pedang yang ia pelajari dengan susah payah dari Wi Kong Siansu.

Kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia menghadapi Lili, ilmu kepandaian pemuda ini sudah maju amat pesat dan jauh. Tidak saja ilmu pedangnya yang sudah menjadi kuat dan cepat, juga tenaga lweekang-nya sudah bertambah dan ginkang-nya pun amat baik mendekati kesempurnaan.

Diam-diam dalam hatinya Cin Hai memuji, akan tetapi dengan amat mudahnya Pendekar Bodoh mengelak dari setiap serangan. Pendekar Bodoh tidak mencabut pedangnya, dan hanya mempergunakan ujung lengan bajunya untuk kadang-kadang menyampok pedang kalau ia tidak keburu mengelak.

Dari sampokan ujung lengan baju ini saja Kam Seng sudah merasa terkejut bukan main. Gurunya sendiri, Wi Kong Siansu, juga ahli dalam hal bersilat dengan ujung lengan baju, akan tetapi kiranya tidak sehebat ini.

Kam Seng semakin mempercepat gerakan pedangnya sehingga tubuhnya lenyap dalam sinar pedangnya yang bergulung-gulung. Pemuda ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, mengambil keputusan untuk bertempur sampai nyawanya melayang! Dia merasa seakan-akan ayahnya juga menyaksikan pertempuran ini dari alam baka, maka dia tidak mau berlaku mengalah dan mendesak Pendekar Bodoh dengan nekat.

Pendekar Bodoh maklum bahwa biar pun ia telah mengenal ilmu pedang pemuda ini dan dapat menjaga diri, akan tetai dia tidak dapat menaksir sampai di mana kehebatan ilmu pedang ini apa bila dimainkan oleh Wi Kong Siansu. Ia telah mendapat tantangan dari Wi Kong Siansu, karena itu dia merasa kebetulan sekali kini dapat menghadapi ilmu pedang pendeta itu yang dimainkan oleh seorang muridnya yang pandai.

Menurut taksirannya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Kam Seng ini paling banyak baru tujuh puluh bagian tingkatnya. Maka dia lalu mencabut sulingnya yang selalu terselip di pinggangnya. Pendekar Bodoh boleh ketinggalan pakaian atau uang, akan tetapi dia tak pernah ketinggalan suling dan pedangnya! Suling ini merupakan senjatanya yang sangat istimewa, bahkan lebih lihai dari pada pedangnya Liong-cu-kiam!

Setelah mencabut sulingnya, makin serulah pertempuran itu. Sekarang Pendekar Bodoh menggunakan sulingnya untuk mengimbangi ilmu pedang Kam Seng. Sebenarnya kalau dia mau, dalam dua puluh jurus saja pasti dia akan dapat merobohkan Kam Seng. Akan tetapi Pendekar Bodoh memang ingin sekali mengukur sampai di mana kelihaian ilmu pedang ini yang kelak akan dihadapinya pula.

Tubuh Kam Seng sudah penuh keringat. Cin Hai berhasil memancingnya hingga pemuda itu menghabiskan seluruh jurus dari ilmu pedang yang dipelajarinya dari Wi Kong Siansu! Memang inilah maksudnya, dan setelah ilmu pedang itu habis dimainkan, Cin Hai segera mengerahkan tenaga pada sulingnya sehingga pada saat pedang dan suling menempel, pedang itu tak dapat ditarik kembali!

Betapa pun hebatnya Kam Seng mengeluarkan tenaga untuk membetot pedangnya, tetap saja pedang itu tidak dapat terlepas dari suling yang menempelnya. Akhirnya Cin Hai menggerakkan tangannya membetot dan sambil berseru keras Kam Seng pun terpaksa melepaskan gagang pedangnya karena tidak kuat menghadapi tenaga tarikan luar biasa ini.

“Kam Seng, kau mempunyai bakat yang cukup baik. Sayang sekali kau mempelajari ilmu silat yang keliru. Kepandaianmu apa bila dibandingkan dengan kepandaian ayahmu, ahh, kau ketinggalan amat jauh! Kalau saja kau tidak dibikin buta oleh dendam dan sakit hati yang bodoh dan sesat, aku akan suka sekali memberi bimbingan kepadamu, mengingat hubunganku dengan mendiang ayahmu.”

Kam Seng menjadi malu sekali. “Aku sudah kalah...” katanya dengan muka ditundukkan dan air matanya hampir menitik turun, wajahnya merah sekali. “Kalau Ji-wi menganggap aku tersesat dan jahat, bunuhlah, apa gunanya hidup dalam kesesatan dan kehinaan?”

Cin Hai merasa terharu melihat keadaan putera dari Song Kun ini, maka dia kemudian melangkah maju mengembalikan pedang yang dirampasnya tadi sambil menepuk-nepuk pundaknya. “Anak muda, aku tidak dapat menyalahkan engkau! Aku sendiri pada waktu muda selalu menjadi korban dari nafsu sendiri, melakukan perbuatan tanpa dipikir dulu dan menganggap diri sendiri selalu benar! Ketahuilah, bahwa kebaktian terhadap orang tua bukan asal berbakti saja. Membela nama orang tua bukan asal kau dapat membasmi musuh-musuh orang tuamu saja. Kau harus dapat mempergunakan akal sehat dan otak yang jernih. Apa bila orang tuamu melakukan sesuatu kesalahan, sebagaimana sudah menjadi lajimnya setiap manusia yang kadang-kadang tersesat dari jalan kebenaran, jalan satu-satunya bagimu untuk berbakti adalah dengan menebus kesalahan orang tuamu itu. Biar pun ayahmu telah dianggap jahat oleh dunia kang-ouw dan oleh orang-orang gagah, akan tetapi kalau kau sebagai putera tunggalnya dapat melakukan kebaikan, nama buruk ayahmu itu akan terhapus oleh perbuatan-perbuatanmu yang mulia. Sebaliknya, jika kau dibutakan oleh dendam tanpa melihat sebab-sebab kematian ayahmu, kau berarti akan menambah kotor nama ayahmu sehingga kau merupakan seorang anak yang durhaka!”

Kam Seng memandang dengan wajah pucat dan kedua matanya terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan menerima wejangan seperti ini dari mulut musuh besarnya! Ia makin ragu-ragu, tak tahu apa yang harus diucapkan mau pun dilakukannya.

“Ketahuilah bahwa kita semua ini berada di bawah pengaruh hukum alam, yaitu sebab dan akibat. Segala peristiwa yang terjadi merupakan akibat dan juga menjadi sebab dari peristiwa lain yang akan terjadi. Kematian ayahmu di dalam tanganku juga merupakan akibat yang kini menyebabkan kau mencari dan hendak membalas padaku! Maka aku tidak marah kepadamu, karena di dalam segala petistiwa yang kujumpai, aku menengok dan mencari pada sebabnya. Tak mungkin kau ingin membunuhku tanpa sebab, seperti juga tidak mungkin tanganku membunuh ayahmu jika tidak ada sebab-sebab yang kuat! Carilah sebab-sebabnya dan kau tidak akan kaget melihat akibatnya karena kalau semua sebabnya sudah kau ketahui, akibat-akibatnya akan kau anggap sewajarnya!”

Tunduklah hati Kam Seng mendengar kata-kata yang mengandung filsafat tinggi akan tetapi mudah ditangkap ini. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai dan tak dapat menahan isak tangisnya!

“Susiok (Paman guru), ampunkanlah teecu dan ampunkan pula semua dosa mendiang ayahku...,” katanya dengan hati terharu.

“Tidak ada salah atau benar dalam hal ini, Kam Seng, dan tidak perlu maaf memaafkan. Di dalam setiap perbuatan itu terkandung kesalahan dan kebenaran, tergantung siapa yang melihatnya. Aku sudah cukup girang melihat kau dapat berpikir dengan otak sehat.” Cin Hai mengangkat pemuda itu berdiri lagi.

“Bagus, semua kegelapan sudah menjadi terang sekarang,” kata Kwee An. “Akan tetapi, Kam Seng, kau masih harus menerangkan tentang keadaan puteraku dan juga tentang keadaan Goat Lan dan Hong Beng. Kedatanganmu memberitahukan kepada mereka itu bukankah hanya satu pancingan belaka?”

“Tidak, Kwee Taihiap, sama sekali tidak! Biar pun harus kuakui bahwa aku telah salah memilih kawan dan telah terjerumus ke dalam lembah kejahatan, namun aku tetap tidak menjadi seorang pengkhianat negara dan bangsa! Aku merasa jijik melihat Susiok Ban Sai Cinjin, dan merasa sayang bahwa aku tak dapat menegurnya. Sesungguhnya, ketika aku melihat bahwa puteramu yang masih kecil itu datang bersama Ban Sai Cinjin dan mendengar bahwa dia hendak menggunakan puteramu itu untuk mencegah orang-orang gagah membantu tentara kerajaan, aku menjadi gelisah sekali. Hendak menolong dan membawa pergi puteramu, aku tidak berani. Maka aku lalu berlaku nekat dan diam-diam mengunjungi benteng Alkata-san di mana aku bertemu dengan Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng. Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan bahwa aku memberi gambaran tentang jalan belakang yang akan membawa mereka ke tempat kediaman Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain. Sudah kukatakan bahwa tempat itu berbahaya sekali, akan tetapi ternyata Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng amat nekat dan datang juga ke sana...”

“Lalu bagaimana? Apa yang terjadi dengan mereka?” tanya Kwee An dengan rasa ingin tahu sekali.

“Kini mereka juga telah tertawan oleh Ban Sai Cinjin!” kata Kam Seng. “Oleh karena itu siauwte sengaja hendak pergi ke benteng Ji-wi untuk memberitahukan hal ini dan tak terduga sama sekali telah bertemu dengan Ji-wi di sini.”

“Tak mungkin!” kata Kwee An.

“Sukar dipercaya bahwa Hong Beng bersama Goat Lan akan dapat tertawan sedemikian mudahnya,” kata Cin Hai.

Kam Seng tersenyum. “Harus diakui bahwa kepandaian Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng sangat lihai dan memang agaknya akan sukar sekali untuk mengalahkan dan menawan mereka. Akan tetapi dalam hal kecerdikan, mereka itu masih kalah jauh oleh orang-orang seperti Ban Sai Cinjin! Mereka berdua bukan tertawan karena kekerasan, akan tetapi mereka terpaksa mengalah dan menurut setelah Ban Sai Cinjin mengancam hendak membunuh Kwee Cin kalau mereka melawan terus!”

“Pengecut hina dina yang curang!” Kwee An berseru marah. “Akan kuhancurkan kepala manusia itu!”

“Kwee Taihiap, bagaimana jika Ban Sai Cinjin mengancam padamu untuk membinasakan puteramu sebelum kau turun tangan?” tanya pemuda itu.

Kwee An tak dapat menjawab, hanya mengertak gigi dengan marah dan gemas sekali.

“Kam Seng, kau yang mengetahui keadaan mereka, tidak maukah kau menolong kami? Tidak maukah kau melawan kejahatan dan membela kebenaran untuk menebus nama buruk mendiang ayahmu?” kata Cin Hai.

“Susiok, kedatangan teecu seperti telah kuceritakan tadi, sesungguhnya untuk memberi tahu kepada benteng tentara kerajaan. Sebetulnya tak usah dikuatirkan karena Kwee Cin telah diminta oleh Malangi Khan dan dijadikan kawan bermain putera Malangi Khan yang bernama Kamangis dan yang usianya sebaya. Untuk sementara ini, meski pun Ban Sai Cinjin sendiri tidak boleh berlaku sesuka hatinya untuk membunuh Kwee Cin yang disuka oleh Kamangis putera Malangi Khan! Akan tetapi, untuk merampas kembali anak itu pun bukan merupakan hal yang mudah.”

Kemudian dengan jelas Kam Seng segera menggambarkan tempat kedudukan Ban Sai Cinjin dan juga istana Malangi Khan di dalam benteng itu yang berada di tengah-tengah. Sesudah menuturkan semua ini, Kam Seng segera minta diri untuk kembali ke benteng Mongol itu. Ia berjanji bahwa ia akan memasang telinga dan mata serta akan berusaha menolong Goat Lan dan Hong Beng.

“Betapa pun juga, kita harus berusaha menolong Cin-ji,” kata Kwee An kepada Cin Hai setelah Kam Seng pergi.

Cin Hai mengerutkan kening. “Sekarang lebih ruwet lagi. Kalau kita berkeras memasuki istana Malangi Khan dan andai kata berhasil merampas dan menyelamatkan Cin-ji, lalu bagaimana dengan nasib Goat Lan dan Hong Beng? Dan di mana pula adanya Lili? Ah, kita harus mencari akal dan berlaku hati-hati.”

Kedua orang pendekar besar itu duduk di bawah pohon dan bertukar pikiran. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk berpisah.

Cin Hai hendak menuju ke tengah benteng, masuk ke dalam istana Malangi Khan, ada pun Kwee An akan mencari Goat Lan dan Hong Beng di belakang benteng, di tempat tinggal Ban Sai Cinjin dan kaki tangannya. Kwee An menyetujui hal ini oleh karena ia pun mengakui bahwa Cin Hai mempunyai kepandaian yang lebih tinggi maka patut menerima tugas yang lebih berbabaya dan berat.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)