PENDEKAR REMAJA : JILID-38


Sumur itu ternyata besar juga, kira-kira tiga tombak luasnya dan dikelilingi oleh dinding batu-batu karang yang kehitaman dan mengkilap. Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya, dia tidak melihat kelinci putih tadi! Ia menjadi penasaran sekali karena sumur itu ternyata kosong melompong tidak ada apa-apanya yang menarik, sedangkan kelinci itu lenyap begitu saja.

Ia menyelidiki bagian bawah dinding di seputar tempat itu kalau-kalau ada lubangnya dari mana kelinci itu dapat masuk. Usahanya berhasil karena memang benar di sebelah kiri terdapat lubang kecil di bagian bawah.

Ia mendongkol sekali, tentu kelinci tadi telah melarikan diri ke lubang ini, dan bagaimana dirinya bisa masuk? Lubang itu hanya dapat dimasuki kedua tangannya saja. Ia mencoba lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam lubang ini dan mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya bahwa di balik dinding ini pun merupakan ruang terbuka!

Lili makin tertarik. Ia memeriksa dinding itu dan mendapat kenyataan yang mendebarkan hatinya bahwa di situ terdapat pecahan yang merupakan sebuah pintu! Akan tetapi pintu ini rapat sekali dan ketika ia mencoba untuk mendorongnya, ternyata pintu itu kuat sekali.

Ia lalu mencari akal dan memeriksa lagi. Mungkin bukan pintu dorongan, melainkan pintu angkat seperti penutup lubang jendela, pikirnya. Ia lalu memasukkan kedua tangannya di dalam lubang di bawah pintu ini kemudian mengerahkan tenaganya mengangkat sambil mendorong ke luar.

Dia berhasil! Pintu bundar itu bergerak keluar, akan tetapi Lili harus segera melepaskan kedua tangannya karena pintu itu itu terlampau berat baginya. Peluhnya membasahi jidat dan ia beristirahat sebentar. Setelah tenaga terkumpul kembali ia lalu mencoba lagi, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat membuka pintu itu terus sampai dia dapat masuk melalui lubangnya.

Lili adalah seorang yang keras hati dan apa bila sudah mempunyai kehendak, maka akan berusaha mati-matian untuk mencapai kehendak ini. Berkali-kali dia mencoba dan ketika dia mengangkat untuk yang ke sekian belas kalinya, tiba-tiba pintu itu terbuka terus dan tidak menindih kembali seperti ada sesuatu yang mengganjalnya!

Cepat dia merayap masuk ke dalam ruang di balik pintu itu dan alangkah herannya ketika melihat bahwa pintu yang tebal dan berat sekali itu kini tertahan oleh sebatang tongkat bambu yang kecil dan panjang, sebatang tongkat yang dipegang oleh seorang nenek tua. Atau bukan manusiakah nenek ini? Lili memandang dengan mata terbelalak.

Dia melihat bentuk tubuh yang kurus kering dan kecil sekali, bongkok dan kulitnya sudah menjadi satu dengan tulang, melekat sehingga hampir kelihatan seperti sebuah rangka hidup. Rambut nenek ini putih semua dan awut-awutan menutupi mukanya yang berkulit kehitaman. Bajunya hitam menutupi kedua pundak terus bawah.

Kalau saja dua lubang yang merupakan matanya itu tidak bergerak-gerak dan tangan kiri yang memegang tongkat tidak sedang menjaga pintu batu, tentu Lili akan menyangkanya sebuah patung rusak. Tangan kanan nenek ini memegang kelinci putih yang sejak tadi dikejar-kejar oleh Lili.

Setelah dara itu masuk, nenek ini lalu menggerakkan tangan kanannya dan kelinci putih itu melayang keluar melalui pintu batu kemudian terdengar suara keras ketika ia menarik kembali tongkatnya dan daun pintu batu yang berat itu menimpa turun lagi dan menutup tempat itu. Akan tetapi tempat itu tetap terang karena mendapat cahaya matahari dari atas yang turun melalui lubang-lubang kecil yang tinggi sekali dari tempat itu.

Lili menjadi terkejut bukan main. Ia cepat memandang ke sekelilingnya dan tidak melihat sebuah pun jalan keluar. Ketika ia memandang kembali kepada nenek itu, kini nenek itu telah duduk bersila dan diam tak bergerak bagaikan patung asli dari batu hitam!

Lili mulai merasa takut. Dia seakan-akan berada di dalam kuburan, dikubur hidup-hidup bersama sebuah patung batu yang mengerikan, karena kelihatannya seperti tengkorak. Cepat dia menghampiri pintu batu tadi dan berusaha membukanya agar dapat keluar dan melarikan diri.

Akan tetapi seperti tadi, ia tidak mampu membuka pintu itu, tidak mampu membuka lebih lebar dari satu dim saja! Lalu bagaimanakah nenek tadi dapat menahan pintu itu dengan sebatang tongkat bambu?

Lili lalu menghampiri nenek itu dan dengan suara halus membujuk, “Nenek tua yang baik, maafkanlah kelancanganku masuk ke sini dan tolonglah aku keluar dari goa ini. Aku tidak dapat membuka pintunya.”

Berkali-kali ia mengucapkan permintaan ini akan tetapi jangankan membuka mata atau mulut, nenek aneh itu bergerak pun tidak. Mendadak Lili teringat dengan bulu tengkuk berdiri bahwa mungkin sekali nenek ini bukan manusia, melainkan seorang iblis penjaga bumi! Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Liok-te Pouwsat (Dewi Bumi), mohon ampun atas kekurang ajaran hamba. Hamba Sie Hong Li telah melakukan dosa karena berlancang masuk ke tempat kediaman Pouwsat tanpa disengaja, mohon ampun dan tolonglah hamba keluar dari kuburan ini!”

Kembali Lili mengulangi permohonannya ini sampai sepuluh kali, akan tetapi nenek itu tetap saja duduk bersila tanpa membuka mata atau mulut. Akhirnya Lili menjadi marah sekali. Ia melompat bangun dan membentak,

“Aha, tak tahunya engkau seorang Iblis Bumi yang jahat, ya? Kau hendak mengurungku sampai mati di sini atau sampai menjadi tua dan buruk seperti engkau? Lebih baik aku mati! Akan tetapi sebelum aku mati, kalau kau tidak mau membuka pintu goa ini, kaulah yang akan kubikin mampus lebih dulu!”

Lili mencabut Liong-coan-kiam yang berkilauan di dalam keadaan suram-suram itu. Dia menggerak-gerakkan pedangnya untuk menakut-nakuti nenek itu, dan benar saja, nenek itu sekarang membuka sepasang matanya yang mencorong laksana mata kucing. Akan tetapi, bukannya menjadi takut, bahkan tiba-tiba saja nenek itu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara ketawa yang membuat bulu tengkuk Lili berdiri saking seramnya. Nenek itu ketawa tiada ubahnya seperti mayat atau tengkorak tertawa!

“Kau menertawakan aku? Agaknya kau tak tahu sampai di mana kelihaian pedang Liong-coan-kiam ini!” Sambil berkata demikian, Lili kemudian mainkan pedangnya dengan hebat, menyerang nenek itu.

Akan tetapi, pedangnya terbentur dengan tongkat bambu dan terpental kembali, diiringi suara ketawa nenek itu. Lili tahu bahwa nenek ini tentu memiliki kepandaian tinggi, maka ia lalu mainkan jurus-jurus dari Liong-coan Kiam-sut ciptaan ayahnya. Pedangnya lenyap menjadi segulung sinar yang mengurung tubuh nenek itu.

Akan tetapi ke mana pun juga pedangnya berkelebat, selalu pedang ini terbentur kembali oleh tongkat bambu yang luar biasa itu dan tiba-tiba, dibarengi oleh suara ketawanya, nenek itu menggunakan tangan kanannya merampas pedang Lili! Dengan sangat mudah dia menangkap pedang itu dan membetotnya tanpa Lili mampu berdaya apa-apa! Dan ketika gadis ini memandang, ia membelalakkan kedua matanya karena sekali tekuk saja dengan jari-jari tangan kanannya, pedang Liong-coan-kiam telah dipatahkan!

“Nenek gila, kau berani merusak pedangku?!” bentak Lili dengan marah dan sekarang ia mengeluarkan kipasnya, kemudian tanpa menanti lagi ia lalu mainkan ilmu kipas yang ia pelajari dari Swi Kiat Siansu, yakni Ilmu Kipas San-sui San-hoat yang lihai.

Kembali ia terperanjat ketika semua jurus dari San-sui San-hoat diperlihatkan, sekali ulur tangannya saja nenek itu sudah merampas kipasnya dan mematahkannya pula seperti pedang tadi! Lili menjadi makin gelisah.

Celaka, pikirnya. Sekarang aku harus menemui kematian di tempat ini. Akan tetapi dia tidak menjadi takut, bahkan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir. Kini ia maju menyerang dengan tangan kosong, dan memainkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajari dari orang tuanya, yaitu Pek-in Hoat-sut diganti-ganti dengan Kong-ciak Sin-na!

Dua macam ilmu silat tangan kosong ini adalah ilmu yang tangguh dari Bu Pun Su. Akan tetapi ketika digunakan menghadapi nenek ini agaknya seperti tenaga air sungai bertemu dengan laut karena nenek itu sambil tertawa-tawa kini juga memainkan Pek-in Hoat-sut untuk melawan Lili! Akhirnya Lili kehabisan tenaga dan dia pun roboh pingsan di depan nenek itu saking lelah, lapar, marah dan putus harapan!

Pada saat Lili siuman kembali, nenek itu memberinya tiga butir buah hitam dan memberi tanda agar dia makan buah itu. Lili merasa tubuhnya letih dan lapar, maka karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, dia menjadi seperti seekor harimau betina yang menemui manusia kuat. Ia makan tiga butir buah itu yang ternyata enak dan wangi dan perutnya terasa penuh dan kenyang!

Kemudian nenek itu menggurat-guratkan ujung tongkatnya di atas lantai. Ternyata bahwa nenek itu telah menuliskan beberapa huruf yang cukup indah. Lili lalu membacanya,

Kau berjodoh untuk menjadi muridku selama dua pekan. Engkau harus mempelajari ilmu silat ciptaanku yang kuberi nama Hang-liong Cap-it Ciang-hoat (Sebelas Jurus Ilmu Silat Penakluk Naga). Akan tetapi ada syaratnya, yaitu di waktu kau masih mempelajari dan melatih ilmu silat ini selama satu bulan kau tidak boleh bicara dan harus bertapa gagu!

Lili merasa aneh sekali. Akan tetapi sesudah dia maklum bahwa dia tidak akan mati dan bahkan menjadi murid seorang yang pandai luar biasa, dia pun menjadi girang dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.

“Teecu akan mentaati semua perintah Suthai.”

Demikianlah, selama dua pekan, dara perkasa ini mempelajari semacam ilmu silat yang baru dan yang luar biasa lihainya, dan biar pun ilmu silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat hanya terdiri dari sebelas jurus, akan tetapi setiap jurus memerlukan gerakan yang sukar dan sempurna serta tenaga yang luar biasa.

Setiap hari gurunya menempelkan telapak tangan kiri pada telapak tangan kanannya, sedangkan tangan kiri Lili lalu disuruh mendorong daun pintu itu untuk membukanya. Pertama kali Lili masih saja tidak kuat, kecuali setelah gurunya mengerahkan tenaga dan menyalurkannya melalui telapak tangannya. Tetapi begitu gurunya melepaskan tempelan telapak tangannya, pintu itu turun kembali tanpa Lili dapat menahannya!

Akan tetapi lambat laun, setelah sembilan hari, Lili dapat membuka daun pintu itu dengan tenaganya sendiri! Ternyata bahwa lweekang-nya telah meningkat secara luar biasa dan cepat sekali. Setelah dua minggu, tamatlah pelajarannya.

Gurunya bertanya kepadanya melalui tulisan di atas lantai,

Aku menurunkan ilmu silat ini kepadamu hanya karena kau pernah mempelajari Pek-in Hoat-sut dari Lu Kwan Cu (Bu Pun Su). Pernah apakah kau dengan dia?

Dia adalah Sucouw-ku (Kakek Guruku),’ jawab Lili, juga dengan tulisan di atas lantai karena dia menepati janjinya bertapa gagu selama sebulan! Kemudian ia menambahkan. ‘Dan bolehkah teecu bertanya, siapakah nama Suthai?

Nenek yang bagai tengkorak itu hanya menuliskan tiga huruf di atas lantal yang berbunyi, ‘Bu-liang-sim’ yang artinya ‘Tiada Pribudi’, kemudian ia menudingkan tongkatnya ke arah pintu goa mengusir Lili pergi dari situ.

Lili berlutut dan mencium tangan gurunya yang aneh ini sebagai tanda berterima kasih, kemudian dia lalu membuka batu besar yang menjadi pintu goa dan keluar dari goa itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat kelinci putih yang dulu dilempar keluar oleh gurunya masih berada di situ, akan tetapi kelinci ini telah menjadi begitu kurus karena selama dua pekan tidak makan!

Kalau dulu Lili ingin sekali makan dagingnya, sekarang gadis ini malah menjadi kasihan melihatnya. Dia memegang binatang itu pada kedua telinganya, kemudian membawanya melompat ke atas, keluar dari sumur itu. Setelah sampai di atas, dia lalu memandang ke kanan kiri dan melemparkan kelinci itu ke dalam semak belukar.

Dia menarik napas panjang dengan penuh kebahagiaan karena merasa bersyukur masih dapat hidup setelah mengalami pengalaman yang semikian hebat. Kemudian, setelah dia menghafal keadaan di sekeliling tempat itu untuk mengingat tempat tinggal gurunya, dia lalu menggunakan semak-semak untuk menutupi lubang itu agar jangan sampai terlihat oleh orang lain.

Kemudian pergilah dia dari sana, sambil tidak lupa untuk melatih Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang masih harus dipelajarinya terus. Meski pun dia sudah kehilangan Liong-coan-kiam serta kipasnya, dua senjata yang diandalkannya, akan tetapi sekarang karena dia sudah mendapatkan ilmu silat yang luar biasa ini, dia merasa lebih percaya kepada diri sendiri dari pada dahulu…..

********************

Sesudah Malangi Khan menyatakan damai dengan bala tentara Kaisar, perdagangan di tapal batas utara menjadi ramai lagi, bahkan lebih ramai dari pada sebelum terjadinya perang. Kota-kota di utara yang tadinya kosong dan sunyi karena ditinggalkan oleh para penduduknya yang pergi mengungsi, sekarang menjadi penuh lagi, bahkan bertambah pula oleh orang-orang Han dan orang Mongol yang datang untuk mencari untung dalam perdagangan di tempat itu.

Kota Kun-lip juga menjadi ramai sekali. Kota ini terletak di sebelah selatan tembok besar dan perdagangan di situ ternyata maju sekali. Oleh karena itu, tidak heran apa bila kota ini banyak dikunjungi orang dan karenanya, hotel dan restoran menjadi subur dan maju.

Setelah mendengar bahwa peperangan telah selesai dan semua orang itu telah kembali ke selatan, Lili tidak segera kembali ke Shaning karena dia masih belum menghabiskan tapa gagunya. Dia merasa amat tidak enak untuk berhadapan dengan orang-orang yang dikenalnya, terutama keluarganya, dalam keadaan bertapa gagu dan tidak boleh bicara ini!

Sekarang ia maklum kenapa gurunya yang aneh itu melarangnya bicara selama sebulan dalam waktu ia masih melatih diri dengan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat. Selain tapa gagu ini merupakan ujian yang berat bagi kekerasan hatinya untuk bertekun mempelajari ilmu silat yang aneh dan sukar itu, juga pada waktu melatih ilmu silat ini, tenaga lweekang selalu terkumpul di dalam dadanya sehingga dengan mudah disalurkan ke arah kedua tangannya. Kalau ia membuka mulut bicara, maka itu berarti perhatiannya akan terpecah dan hawa yang terkumpul itu bisa buyar atau membocor keluar. Memang, untuk berlatih Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dibutuhkan perhatian yang khusus dan pengerahan tenaga dalam yang sepenuhnya.

Pada pagi hari itu, sudah genap dua puluh hari dia bertapa gagu. Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat telah hampir sempurna dilatih. Tiga hari lagi dia sudah dapat membuka pantangan bicara, dan hari itu dia berjalan-jalan di dalam kota Kun-lip. Ketika ia berjalan sampai di depan sebuah restoran besar, tiba-tiba ada orang memanggilnya,

“Lili...!”

Ia cepat menengok dan melihat Song Kam Seng tengah duduk di belakang sebuah meja di halaman luar restoran itu sambil menghadapi hidangan.

“Nona Hong Li, kau hendak kemanakah? Silakan duduk dan mari kita bercakap-cakap. Sudah sangat lama kita tidak bertemu. Bagaimana keadaan kedua orang tuamu?” Kam Seng bertanya dengan ramah dan nyata sekali kegembiraannya bertemu dengan nona ini.

Akan tetapi, biar pun di dalam hatinya Lili tidak marah lagi kepada Kam Seng yang telah memperlihatkan jasa-jasanya dalam keadaan perang yang lalu, namun tentu saja ia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini karena dia masih sedang berpantang bicara. Maka dia berpura-pura tidak melihat, cepat membuang muka dan hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan pemuda itu.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Gadis liar, baru sekarang aku mendapat kesempatan melunaskan perhitungan!”

Tiba-tiba dari belakangnya, Lili merasa sambaran angin hebat dan cepat ia lalu miringkan tubuh melompat ke kanan. Ternyata yang baru menyerangnya itu adalah Ban Sai Cinjin dengan huncwe mautnya!

Kakek ini memang sedang berada di kota itu dan tadi ketika Kam Seng duduk seorang diri, sebetulnya kakek itu sedang memesan masakan ke meja pengurus restoran, maka Lili tidak melihatnya. Ketika kakek ini melihat Lili, timbullah marahnya karena dia teringat betapa gadis ini pernah menghina dan mengganggunya, dan betapa ayah gadis ini juga sudah menghinanya secara luar biasa sekali.

Karena Lili tidak bisa membalas dengan kata-kata, gadis ini hanya berdiri dan menatap ke arah Ban Sai Cinjin dengan alis berkerut dan mata bernyala. Ia tidak ada nafsu untuk berkelahi oleh karena ia sedang melatih ilmu silatnya yang sebentar lagi akan sempurna. Kalau ia pergunakan dalam pertempuran, maka akan banyak hawa dipergunakan dan ini berarti ia menderita rugi sebelum ilmu silatnya tamat. Kalau saja ia sudah tamat, tentu dengan gembira gadis yang suka berkelahi ini akan melayani dan menghajarnya.

“Bocah, bersedialah untuk mati!” kembali Ban Sai Cinjin membentak sambil sekaligus dia mengirim dua macam serangan.

Tangan kanannya memukulkan huncwe maut ke arah kepala Lili sedangkan kaki kirinya diangkat untuk mengirim tendangan yang menjaga kalau-kalau gadis itu akan melompat ke belakang.

Melihat gerakan kakek ini, Lili segera tahu bahwa dibandingkan dengan dahulu, kakek ini telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Memang benar, Ban Sai Cinjin yang telah mengalami kekalahan berkali-kali, dan bahkan telah dihajar setengah mati oleh Pendekar Bodoh, menjadi sakit hati dan dengan prihatin dia lalu memperdalam ilmu silatnya atas bantuan suheng-nya, yaitu Wi Kong Siansu yang lihai dan yang berjuluk Toat-beng Lomo (Iblis Tua Pencabut Nyawa ).

Menghadapi serangan Ban Sai Cinjin yang hebat ini, Lili lalu merendahkan tubuhnya dan menekuk lutut, mengelak dengan gerakan dari Ilmu Silat Sian-li Utauw, karena ia masih belum mau mempergunakan ilmu silatnya yang baru.

“Susiok, jangan ganggu Nona Sie!” Kam Seng berkali-kali berseru mencegah susiok-nya, sedangkan orang-orang yang makan di restoran itu terutama yang dekat dengan tempat pertempuran, pada melarikan diri dengan ketakutan.

Delapan jurus sudah dimainkan oleh Ban Sai Cinjin untuk merobohkan Lili. Akan tetapi setelah melatih Ilmu Silat Hang-liong Cap-it Ciang-hoat, ternyata gadis ini telah mendapat kemajuan yang sangat luar biasa dalam ilmu ginkang sehingga tubuhnya menjadi ringan dan gesit sekali. Sambaran-sambaran huncwe maut dari Ban Sai Cinjin itu seakan-akan menyerang sehelai bulu yang sedemikan ringan sehingga yang diserang telah melayang pergi sebelum pukulannya tiba.

“Susiok, jangan berlaku kejam!” tiba-tiba saja Kam Seng yang semenjak tadi memandang dengan penuh kegelisahan, kini mendadak meloncat maju dan…

“Tranggg…!” terdengar suara nyaring ketika huncwe itu tertangkis oleh pedang di tangan Kam Seng!

Lili menggunakan kesempatan ini untuk melompat jauh dan berdiri memandang kepada kedua orang yang kini saling berhadapan itu. Sepasang mata Ban Sai Cinjin mendelik dan terputar-putar saking marahnya, dan karena pipi kanannya masih ada tanda bekas luka-luka goresan yang dihadiahkan oleh Pendekar Bodoh kepadanya di benteng orang Mongol, maka ia terlihat menyeramkan sekali. Seakan-akan apilah yang keluar dari mulut dan hidungnya dan ia seolah-olah hendak menelan pemuda yang berdiri di depannya itu.

“Bangsat terkutuk! Jadi kau hendak membalas budi kami dengan pengkhianatan? Kau hendak membela orang yang menjadi musuh kami, menjadi musuhku sekaligus musuh gurumu? Kau berani melawan Susiok-mu, anjing tak kenal budi?”

“Susiok, kalau kau menyerang orang lain, aku masih dapat melihatnya, akan tetapi Nona itu... ? Tidak, Susiok, biar pun aku harus mati, aku akan membelanya!”

“Bangsat, kau cinta padanya, ya? Kau jatuh cinta kepada anak musuh besarmu ini? Kau benar-benar anjing pengecut, karena itu kau harus mampus!” Dengan kemarahan yang meluap-luap, Ban Sai Cinjin menyerang murid keponakannya sendiri.

Song Kam Seng cepat menangkis dengan pedangnya, akan tetapi walau pun dia sudah memperoleh warisan ilmu silat yang tinggi dari Wi Kong Siansu, bagaimana dia dapat melawan susiok-nya (paman gurunya)? Sebentar saja ia telah terdesak hebat sekali dan hanya dapat menangkis sambil mundur.

Sementara itu, Lili berdiri dengan sepasang mata menjadi basah. Dia teringat pula akan pengalamannya dahulu ketika ia tertawan oleh Ban Sai Cinjin. Betapa pemuda itu telah menciumnya dan hampir saja mencemarkan namanya. Betapa pemuda itu hampir saja membunuhnya dan semua itu hanya dicegah oleh perasaan cinta kasih dari pemuda itu.

Ia maklum bahwa Kam Seng amat membenci ayahnya dan juga tentu sudah berusaha membencinya karena ayah Kam Seng tewas dalam tangan Pendekar Bodoh, akan tetapi ternyata pemuda itu tetap tidak mampu membencinya, bahkan sampai sekarang cintanya terhadap dirinya masih amat besar sehingga pemuda itu sampai berani melawan paman guru sendiri dan berani pula mengorbankan nyawa. Mengingat sampai di sini, Lili segera melompat maju hendak membantu Kam Seng, akan tetapi terlambat!

Dengan satu serangan secepat kilat, Ban Sai Cinjin telah berhasil mengemplang kepala pemuda itu yang terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya terlepas dari tangannya! Ban Sai Cinjin memburu maju hendak memberi pukulan maut, akan tetapi tiba-tiba dia merasa iganya disambar oleh angin pukulan yang hebat sekali! Ia cepat-cepat memutar tubuhnya dan mengelak dari pukulan Lili ini, kemudian ia mengayun huncwe-nya ke arah kepala gadis ini.

Lili menyambutnya dengan gerakan dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan dengan amat mudah huncwe itu terampas olehnya, ditekuk di antara jari tangannya dan…

“Pletak!” patahlah huncwe maut dari Ban Sai Cinjin yang diandal-andalkan itu!

Terbelalak mata Ban Sai Cinjin memandang ke arah Lili karena tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini mampu merampas huncwe-nya dengan tangan kosong. Ia segera melompat ke belakang dan melarikan diri!

Lili hendak mengejarnya akan tetapi dia mendengar keluhan perlahan, maka dia teringat kembali kepada Kam Seng. Cepat-cepat ia menghampiri pemuda yang merintih-rintih itu. Bukan main mencelos dan terheran hatinya ketika melihat kepala pemuda itu telah retak dan berlumur darah!

Lili berlutut dan mengangkat kepala pemuda itu, kemudian dipangkunya dan dengan sapu tangannya, dia menyusuti darah yang mengalir ke arah mata Kam Seng. Pemuda itu membuka matanya dan tersenyum!

“Lili... akhirnya aku dapat menebus dosaku kepadamu... aku sudah tersesat... aku salah duga... ayahmu seorang pendekar besar, seorang budiman, ada pun ayahku... ayahku... dia... dia seperti aku... tersesat…” sampai di sini kedua mata pemuda itu mengalirkan air mata.

Lili tidak dapat menahan keharuan hatinya dan dia mendekap muka Kam Seng dengan kedua tangannya sambil menangis terisak-isak! Walau pun tidak boleh bicara, gadis ini masih boleh menangis atau tertawa, demikian pesan gurunya.

“Lili... kau menangis...? Kau menangisi aku? Terima kasih! Kau memang gadis baik... tak pantas menangisi seorang siauw-jin (orang rendah) seperti Song Kam Seng... Lili, terima kasih... sampaikan hormatku kepada ayah bundamu..., dan salamku kepada... kepada... semua keluargamu juga kepada Kam-ciangkun... tunanganmu...”

Maka habislah napas Kam Seng, pemuda bernasib malang itu yang pada saat terakhir dapat menghembuskan napas penghabisan dalam pangkuan dara yang dicinta sepenuh hatinya!

Lili menggunakan tulisan untuk menyuruh pengurus restoran membeli peti mati. Gadis ini masih memiliki banyak potongan uang emas, maka segala urusan penguburan jenazah Kam Seng dapat dilakukan dengan baik. Orang-orang yang berada di situ menganggap bahwa dia adalah seorang gadis gagu, maka tak seorang pun merasa heran bahwa dia tidak dapat bicara.

Setelah beres mengurus pemakaman dan bersembahyang di depan makam Song Kam Seng, Lili lalu melanjutkan perjalanannya. Sekarang kebenciannya kepada Ban Sai Cinjin bertambah lagi, dan dia berjanji di dalam hati untuk membalaskan sakit hati Song Kam Seng, pemuda yang malang itu.

Hatinya berdebar tidak enak kalau dia teringat akan kata-kata terakhir dari Kam Seng, yang menyebut-nyebut Kam-ciangkun sebagai tunangannya. Sampai di mana kebenaran ucapan ini? Ia tidak merasa bertunangan dengan Kam Liong, sungguh pun paman dari Kam Liong, yaitu Sin-houw-enghiong Kam Wi yang kasar dan sembrono itu dulu pernah membikin dia marah karena hendak menjodohkannya dengan Kam Liong secara begitu saja!

Juga diam-diam ia merasa girang karena di dalam usahanya menolong Kam Seng tadi, ia sudah mempergunakan sejurus dari Hang-liong Cap-it Ciang-hoat dan yang sejurus itu telah membuat ia berhasil merampas dan mematahkan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin!

Dia maklum bahwa sebelum dia memiliki ilmu silat ini dengan sempurna, meski pun dia memegang pedang dan kipas, belum tentu ia akan dapat mengalahkan kakek itu secepat dan semudah tadi! Maka ia lalu melatih diri dengan amat tekun dan rajinnya dan tiga hari kemudian ia telah berani mengakhiri pantangannya bicara.

Dari kota Kun-lip, Lili kemudian menuju ke selatan dan di dalam perjalanannya pulang ke Shaning, ia bermaksud untuk singgah terlebih dulu di dusun Tong-sin-bun, untuk mencari kalau-kalau Ban Sai Cinjin berada di tempat itu. Dia teringat pula bahwa Ang I Niocu juga menuju ke tempat itu dalam usahanya mencari pembunuh suaminya, maka dia kemudian mempercepat perjalanannya sebab ia pun merasa kuatir apa bila Ang I Niocu mengalami kecelakaan pula.

Menghadapi orang-orang seperti Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang selain lihai juga amat curang dan licik, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya, walau yang menghadapi mereka itu seorang pendekar wanita hebat seperti Ang I Niocu sekali pun!

Ketika dia tiba di dusun Tong-sin-bun menuju ke rumah Ban Sai Cinjin, sebuah gedung besar dan mewah, dia terkejut sekali karena gedung itu kini sudah lenyap, rata dengan bumi dan menjadi abu! Ia pernah mendengar bahwa Lie Siong dahulu pernah membakar bagian dari rumah ini, akan tetapi sekarang rumah ini betul-betul telah habis dan menjadi abu. Perbuatan siapakah ini?

Agar jangan menarik perhatian orang dan membuat pihak Ban Sai Cinjin bersiap-siap, ia diam-diam lalu meninggalkan Tong-sin-bun dan masuk ke dalam hutan di mana terdapat kelenteng tempat Ban Sai Cinjin bersama kawan-kawannya bersembunyi itu. Dia sengaja menunggu sampai hari menjadi gelap, baru ia menggunakan kepandaiannya jalan malam dan masuk ke dalam hutan dengan cepat.

Ketika dia tiba di sebuah hutan pohon pek di mana di tengahnya terdapat sebuah bukit kecil, tiba-tiba ia menahan langkah kakinya. Ia mendengar suara orang menangis di atas bukit kecil itu!

Kalau saja Lili bukan seorang yang berhati tabah, tentu ia akan merasa ngeri dan seram mendengar suara orang menangis di dalam hutan yang gelap, liar, dan sunyi itu. Akan tetapi, puteri Pendekar Bodoh ini tidak menjadi takut, bahkan cepat menghampiri tempat itu!

Malam hari itu bulan muncul setelah hampir tengah malam, akan tetapi cahayanya masih terang dan permukaannya masih lebih dari separuhnya. Oleh karena sinar bulan memang mengandung sesuatu yang romantis akan tetapi sekaligus juga menyeramkan, tergantung dari tempat di mana bulan mematulkan cahayanya, maka di dalam hutan itu kelihatan benar-benar mengerikan.

Pohon-pohon pek yang besar itu kini di bawah sinar bulan nampak laksana setan-setan raksasa sedang menjulurkan lengannya yang panjang hendak menangkap orang. Setiap rumpun merupakan binatang berbentuk aneh yang berwarna hitam, yang bersiap untuk menyeruduk siapa saja yang lewat di hutan itu.

Semua keseraman ini ditambah lagi oleh suara binatang hutan. Sudah sepatutnya kalau orang akan merasa lebih ketakutan dan bulu tengkuknya berdiri apa bila pada saat dan di tempat seperti itu, tiba-tiba mendengar pula suara tangis orang!

Akan tetapil Lili yang sangat tabah hatinya, bahkan menjadi penasaran dan ingin sekali tahu siapa orangnya yang menangis di dalam hutan itu dan mengapa pula ia menangis. Ketika ia menyusup-nyusup di antara pohon-pohon pek dan tiba di bukit kecil itu, tiba-tiba ia terkejut sekali oleh karena kini orang yang menangis itu mengeluarkan kata-kata yang amat jelas terdengar dan yang membuat wajahnya menjadi pucat sekali. Ia masih belum percaya dan memperhatikan baik-baik suara itu sambil menahan tindakan kakinya.

“Ang I Niocu... tidak kusangka akan begini jadinya nasibmu dan nasib suamimu yang gagah perkasa. Ahh, kini aku teringat... aku teringat akan semua hal yang mengerikan itu...”

“Suhu...!” Lili berteriak pada saat mengenal suara Sin-kai Lo Sian, Pengemis Sakti yang tadinya berada di benteng Alkata-san ketika ia meninggalkan benteng itu dahulu.

Gadis ini melompat dan setelah sampai di puncak bukit kecil di mana terdapat tanaman bunga mawar hutan yang amat lebat, ia melihat Sin-kai Lo Sian itu sedang berlutut dan di depannya menggeletak tubuh Ang I Niocu yang berlumuran darah dan tubuhnya penuh luka-luka!

“Ie-ie Im Giok...!” jeritan Lili ini terdengar amat nyaring dan sambil tersedu-sedu gadis ini menubruk Ang I Niocu dan mengangkat kepala wanita itu yang terus dipangkunya.

Ang I Niocu ternyata masih belum mati dan ketika dia memandang kepada Lili, bibirnya tersenyum! Karena cahaya bulan hanya suram-suram, maka sekarang wajah Ang I Niocu nampak cantik luar biasa dan senyumnya manis sekali, memlbuat hati Lili menjadi makin terharu.

“Ie-ie Im Giok, mengapa kau sampai menjadi begini? Suhu, apakah yang terjadi dengan Ie-ie Im Giok??” tanyanya kepada Ang I Niocu dan juga kepada Sin-kai Lo Sian.

“Lili anak manis... tenanglah dan biarkan Sin-kai menceritakan tentang... suamiku…” Ang I Niocu sukar sekali mengeluarkan kata-kata karena lehernya telah mendapat luka hebat pula. Kemudian wanita itu memandang kepada Lo Sian memberi tanda supaya Lo Sian menceritakan pengalamannya dahulu.

Karena maklum bahwa nyawa Ang I Niocu tak akan tertolong lagi, maka Lo Sian segera menuturkan dengan singkat pengalamannya dahulu di tempat ini bersama Lie Kong Sian, peristiwa yang sudah lama dilupakannya akan tetapi yang sekarang tiba-tiba saja telah kembali dalam ingatannya.

“Aku ingat betul...” ia mulai dengan wajah pucat. “Lie Kong Sian Taihiap mengejar Bouw Hun Ti murid Ban Sai Cinjin di kuil itu karena Lie Kong Sian Taihiap hendak membalas dendam kepada Bouw Hun Ti yang sudah menculik Lili dan juga telah membunuh Yo-lo-enghiong (Yousuf). Akan tetapi di kuil, ia dihadapi oleh Wi Kong Siansu. Pertempuran itu hebat sekali dan agaknya Lie Kong Sian Tai-hiap tidak akan kalah kalau saja pada saat itu Ban Sai Cinjin tidak berlaku curang. Dengan amat licik kakek mewah itu menyerang dengan huncwe mautnya, dan Bouw Hun Ti menyerang pula dengan tiga batang panah tangan beracun. Akhirnya Lie Kong Sian Taihiap terkena pukulan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dan akhirnya tewaslah dia!” Lo Sian berhenti sebentar, sedangkan Ang I Niocu yang mendengarkan nampak gemas sekali dan mengerutkan giginya sehingga berbunyi.

“Kemudian dengan sedikit akal, yaitu menakut-nakuti murid Ban Sai Cinjin si hwesio kecil kepala gundul Hok Ti Hwesio yang hendak membelek dada Lie-taihiap karena hendak mengambil jantungnya, akhirnya aku dapat merampas jenazahnya dan menguburkannya di tempat ini.”

Demikianlah, Lo Sian kemudian menuturkan pengalamannya seperti yang telah dituturkan dengan jelas di dalam jilid terdahulu dari cerita ini.

Berkali-kali Ang I Niocu mengertak gigi saking gemasnya, kemudian ia berkata, “Bangsat terkutuk Ban Sai Cinjin! Sayang aku tak memiliki kesempatan lagi untuk menghancurkan batok kepalanya! Akan tetapi, sedikitnya aku sudah membalaskan dendam suamiku dan aku puas telah dapat membunuh Hok Ti Hwesio serta menghancurkan kuil itu.” Setelah mengeluarkan ucapan ini dengan penuh kegemasan, kembali napasnya menjadi berat dan keadaannya payah sekali.

“Suhu, mengapa tidak merawat Ie-ie lebih dulu? Keadaannya demikian hebat....”

Lo Sian menggeleng kepalanya, dan terdengar Ang I Niocu berkata lagi dengan kepala masih di pangkuan Lili, “Percuma, Lili... percuma... luka-lukaku amat berat... aku tak kuat lagi...!”

“Ie-ie Im Giok! Jangan berkata begitu, Ie-ie!” Lili menangis!

“Anak baik, setelah suamiku meninggal dan aku... aku sudah mendapatkan makamnya... apakah yang lebih baik selain... menyusulnya? Kuburkanlah jenazahku nanti di dekatnya, Hong Li, dan kau... sekali lagi kutanya... apakah kau membenci Siong-ji...?”

Bukan main terharunya hati Lili. Dia tidak kuasa menjawab dengan mulut, hanya mampu menggelengkan kepalanya saja. Ia sendirl tak pernah dapat menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri apakah ia sesungguhnya membenci Lie Siong. Memang kadang-kadang timbul rasa gemasnya terhadap pemuda itu, akan tetapi kegemasan ini adalah karena ia teringat akan hubungan pemuda itu dengan... Lilani! Lebih tepat disebut cemburu dari pada gemas.

“Kalau begitu... Hong Li, berjanjilah bahwa kau… kau akan suka menjadi isterinya! Aku... aku akan merasa gembira sekali, dan juga ayahnya akan... puas melihat kau sebagai... mantunya! Sukakah kau, Hong Li...!”

Lili tentu saja tidak dapat menjawab pertanyaan ini, meski pun ia dapat mengerti bahwa pertanyaan ini keluar dari mulut seorang yang sudah mendekati maut dan yang harus dijawab.

“Ie-ie Im Giok, kenapa kau tanyakan hal ini kepadaku? Bagaimana aku harus menjawab, Ie-ie? Urusan pernikahan tentu saja aku hanya menurut kehendak orang tuaku.”

“Cin Hai dan Lin Lin tentu akan setuju…,” kemudian dengan napas makin berat, Ang I Niocu berkata kepada Lo Sian, “Lo-enghiong, kau... kuserahi kekuasaan untuk... menjadi wakilku... untuk menjadi wali dari Siong-ji... engkaulah yang akan mengajukan lamaran kepada Pendekar Bodoh...”

“Tentu, Ang I Niocu, tentu aku suka sekali. Aku merasa sangat terhormat untuk menjadi wakilmu dalam hal ini,” jawab Lo Sian dengan terharu.

Keadaan Ang I Niocu makin lemah dan setelah memanggil-manggil nama Lie Kong Sian serta menyebut nama Lie Siong, akhirnya wanita pendekar yang gagah perkasa, yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan ini, menghembuskan napas terakhir di dalam pangkuan Lili, diantar oleh tangis dara itu.

Setelah menangisi kematian Ang I Niocu sampai malam terganti pagi, Lili dan Lo Sian lalu menguburkan jenazah Ang I Niocu di sebelah kiri makam Lie Kong Sian. Kemudian mereka duduk menghadapi makam dan dalam kesempatan ini, Lo Sian lalu menuturkan keadaan dan pengalaman Ang I Niocu seperti yang ia dengar dari penuturan Ang I Niocu sendiri sebelum Lili datang.

Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, sesudah berkumpul sebentar dengan Lili, Ang I Niocu dengan hati marah sekali pergi mencari pembunuh suaminya dan menyusul puteranya. Dari gadis inilah pertama kali dia mendengar bahwa suaminya telah terbunuh orang, dan bahwa Lie Siong telah melakukan penyelidikan untuk mencari pembunuh itu.

Sampai beberapa lamanya dia merantau ke selatan, sehingga akhirnya pergilah dia ke Tong-sin-bun, karena dari Lili dia mendengar Lie Siong pernah ke sana. Juga dia ingin sekali bertemu dan memberi hajaran kepada Ban Sai Cinjin, juga hendak mendapatkan Bouw Hun Ti yang sudah berani menculik Lili di waktu kecil.

Ketika ia tiba di luar dusun Tong-sin-bun, tiba-tiba saja ia melihat seorang pengemis yang berpakaian tambal-tambalan akan tetapi bersih sekali, tengah duduk di pinggir jalan dan memandang kepadanya dengan mata penuh perhatian. Melihat keadaan pengemis tua ini, Ang I Niocu berpikir-pikir sebentar, dan teringatlah ia bahwa yang berada di depannya ini tentulah Sin-kai Lo Sian, Si Pengemis Sakti yang menurut penuturan Lili menjadi guru gadis itu dan juga telah diculik oleh puteranya! Akan tetapi, sebelum Ang I Niocu sempat menegurnya, Sin-kai Lo Sian telah mendahuluinya menegur sambil berdiri dan memberi hormat,

“Bukankah Siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang terhormat?”

“Sin-kai Lo-enghiong, kau mempunyai pandangan mata yang tajam,” jawab Ang I Niocu. “Di manakah puteraku?”

“Siauwte tidak tahu, Niocu, semenjak kami berpisah di Alkata-san, kami tak pernah saling bertemu lagi.”

Ang I Niocu mengerutkan keningnya, kemudian ia lalu menghampiri Lo Sian dan berkata, “Menurut penuturan Hong Li, katanya puteraku sudah berlaku kurang ajar dan menculik Lo-enghiong, sebetulnya apakah kehendak anak itu? Apakah betul kau mengetahui siapa pembunuh suamiku?”

Lo Sian mengangguk. “Tidak salah lagi, Niocu. Yang membunuh Lie Kong Sian Taihiap adalah Ban Sai Cinjin.”

Kemudian Pengemis Sakti ini lalu menuturkan pengalamannya, ketika dia dan Lie Siong tertangkap oleh Ban Sai Cinjin dan betapa kakek mewah itu mengaku sudah membunuh Lie Kong Sian.

“Jadi kau sendiri tidak ingat lagi bagaimana suamiku dibunuhnya dan di mana pula dia dikubur?” Ang I Niocu menahan gelora hatinya yang kembali diserang oleh gelombang kedukaan dan kemarahan.

Lo Sian menggeleng kepalanya dengan sedih. “Itulah, Niocu, sampai sekarang pun aku belum mendapatkan ingatanku kembali. Aku sengaja datang ke sini untuk menyegarkan ingatanku dan siapa tahu kalau-kalau aku akan teringat kembali. Akan tetapi, kalau kau datang hendak menuntut balas...”

“Tentu saja aku hendak menuntut balas! Di mana adanya bangsat besar Ban Sai Cinjin?” Ang I Niocu memotong dengan tak sabar lagi.

“Nanti dulu, Niocu, kau harus berlaku hati-hati di tempat ini, karena Ban Sai Cinjin bukan seorang diri saja. Dia sendiri mempunyai kepandaian yang luar biasa dan biar pun aku percaya penuh bahwa kau tentu akan sanggup mengalahkannya, akan tetapi di dalam rumah atau kuilnya berkumpul orang-orang yang pandai. Di sana ada Wi Kong Siansu yang menjadi suheng-nya dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada Ban Sai Cinjin sendiri. Ada pula Hok Ti Hwesio yang walau pun hanya menjadi muridnya, akan tetapi hwesio ini memiliki hoatsut (ilmu sihir) yang mengerikan. Bahkan di situ sekarang telah berkumpul pula Hailun Thai-lek Sam-kui atas undangan Wi Kong Siansu, dan masih ada beberapa orang tokoh kang-ouw lagi yang tidak kukenal namanya. Oleh karena itu, kalau toh Niocu hendak menyerbu ke sana, harap suka berlaku hati-hati.”

“Lekas katakan, di mana letak rumahnya dan di mana pula kuilnya? Aku hendak mencari Ban Sai Cinjin!” bentak Ang I Niocu dengan muka merah karena ia sudah menjadi marah sekali dan sekian nama-nama besar tadi sama sekali tidak masuk ke dalam telinganya.

Lo Sian menjadi heran sekali, dan melihat kemarahan orang dia tidak berani membantah lagi. Dia telah cukup banyak mendengar tentang watak Ang I Niocu yang luar biasa dan keras, dan kalau dia sampai membuat Ang I Niocu jengkel, salah-salah dia bisa dipukul roboh, maka dia lalu cepat-cepat memberi petunjuk di mana adanya rumah gedung Ban Sai Cinjin dan di mana pula letak kuil di dalam hutan dekat dusun Tong-sin-bun itu.

Setelah mendapat keterangan yang jelas dari Lo Sian, Ang I Niocu tanpa mengucapkan terima kasih segera menggerakkan tubuhnya dan lenyap dari depan Lo Sian. Pengemis Sakti ini mengerutkan keningnya.

Ia percaya penuh akan kelihaian Ang I Niocu yang sudah disaksikan pula kesempurnaan ginkang-nya sehingga dapat melenyapkan diri demikian cepatnya, akan tetapi tetap saja dia merasa sangsi apakah pendekar wanita itu mampu mengalahkan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang benar-benar merupakan lawan yang tak mudah untuk dikalahkan. Sedangkan Lie Kong Sian, suami pendekar wanita itu yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari pada Ang I Niocu, juga roboh oleh Ban Sai Cinjin, apa lagi Ang I Niocu! Maka dengan hati gelisah dia lalu mengejar ke dalam dusun itu.

Ternyata oleh Ang I Niocu bahwa di dalam gedung yang mewah itu tidak terdapat Ban Sai Cinjin atau pun tokoh-tokoh lainnya, kecuali hanya beberapa belas orang anak buah dan murid-murid baru, juga beberapa orang wanita muda yang menjadi selirnya.

Di dalam kemarahan dan kebenciannya, Ang I Niocu membunuh semua orang di dalam rumah ini dan kemudian membakar gedung mewah itu! Kini kebakaran lebih hebat dari pada perbuatan Lie Siong satu tahun yang lalu, karena sekarang yang terbakar adalah seluruh gedung sehingga tempat yang tadinya mewah itu kini menjadi tumpukan puing! Hal ini dapat terjadi karena Ang I Niocu membakar gedung itu lalu menjaganya di depan, melarang orang-orang yang hendak memadamkannya.

Kemudian pendekar wanita yang marah ini lalu menuju ke kuil di dalam hutan! Hari telah menjadi gelap dan pada waktu dia tiba di dekat kuil, di dalam rumah kelenteng itu telah dipasang api yang terang.

Ada pun Lo Sian dengan hati merasa ngeri melihat sepak terjang pendekar wanita ini dari jauh, melihat betapa rumah gedung itu dimakan api dan tak seorang pun penghuninya dapat berlari keluar! Diam-diam dia menarik napas panjang menyesali perbuatan Ban Sai Cinjin yang mengakibatkan kekejaman yang demikian luar biasa dari pendekar wanita yang murka itu.

Kemudian, setelah melihat bayangan merah itu berlari cepat sekali menuju ke hutan, dia pun lalu menggunakan kepandaiannya berlari cepat menyusul. Lo Sian maklum bahwa menghadapi Ang I Niocu, dia sama sekati tidak berdaya. Hendak menolong, tentu takkan diterima, pula kepandaiannya sendiri dibandingkan dengan Ang I Niocu, masih kalah jauh sekali. Maka ia hanya menonton saja dari jauh, siap untuk menolongnya apa bila perlu dan tenaganya mengijinkan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)