PENDEKAR REMAJA : JILID-40

Tak lama kemudian Lie Siong membuka kedua matanya dan cepat sekali dia melompat bangun. Kedua matanya memandang beringas bagaikan seekor harimau lapar mencium darah.

“Mana mereka? Mana pembunuh-pembunuh ibuku? Lili, katakan, mana mereka? Hendak kucekik semua batang lehernya!” Sambil membelalakkan sepasang matanya Lie Siong memandang ke sana ke mari dengan mata jelalatan.

Lili melompat bangun dan tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi dia memegang tangan Lie Siong.

“Siong-ko, tenanglah. Di mana kegagahanmu? Atur napasmu dan tenangkan batinmu, baru kita bicara lagi.”

Bagaikan seekor kambing jinak, Lie Siong menurut saja pada saat dipimpin oleh Lili dan disuruh duduk di atas tanah. Sambil berpegangan tangan, sepasang orang muda ini lalu duduk meramkan mata dan mengatur napas mengumpulkan tenaga.

Dengan setia Lili menyalurkan hawa dan tenaga dalam tubuhnya melalui telapak tangan Lie Siong untuk membantu pemuda ini. Ia sekarang tahu bahwa pemuda ini tadi pingsan karena pukulan batin yang berduka.

Pikiran Lie Siong kacau tidak karuan. Tadinya dia sudah dapat mengatur napasnya dan menentramkan pikiran dan batinnya yang tergoncang, akan tetapi, pada waktu ia merasa betapa dari dua telapak tangan Lili itu mengalir hawa hangat yang membantu peredaran darahnya, dia menjadi demikian terheran-heran, girang, terharu, sedih, semua tercampur aduk menjadi satu sehingga kembali tubuhnya menjadi panas dingin. Hawa Im dan Yang mengalir di tubuhnya saling bertentangan dan karena tidak seimbang, sebentar tubuhnya menjadi panas dan sebentar dingin sekali!

Lili dapat merasakan ini, maka dia lalu menghentikan emposan semangat dan hawa, lalu melepaskan tangannya dan berkata perlahan,

“Siong-ko, jangan kau kacaukan pikiran sendiri. Tenanglah dan ingat bahwa hidup atau mati bukan berada di tangan manusia.”

Akhirnya Lie Siong dapat menenangkan batinnya, kemudian dia membuka matanya dan dengan pandangan sayu dan muka pucat, dia bertanya,

“Di mana... dia? Mana ibuku?”

Lili menuding ke arah dua gunduk tanah di depan mereka, dan berkata perlahan, “Kami telah menguburnya baik-baik, di samping kuburan ayahmu.”

Lie Siong menoleh cepat dan melihat dua gundukan tanah. Yang satu sudah lama, akan tetapi yang ke dua masih baru sekali. Ia lalu menubruk dan menangis terisak-isak di atas kuburan ayah bundanya itu!

Lili tak dapat menahan keharuan hatinya dan ikut pula mengucurkan air mata, sedangkan Sin-kai Lo Sian berulang-ulang menarik napas panjang. Dia memberi tanda kepada Lili agar supaya mendiamkan saja pemuda itu, karena sewaktu-waktu air mata sangat baik sekali untuk penawar hati yang duka.

Setelah agak lama Lie Siong menangis sambil memeluk gundukan tanah itu, Lili berkata perlahan, “Tak baik bagi orang-orang gagah menumpahkan air matanya.”

Lie Siong mendengar ucapan ini dan terbangun semangatnya. Dia menyusut air matanya hingga kering dan kini matanya menjadi merah. Ia berlutut di depan gundukan-gundulcan tanah itu dan berkata dengan suara menyeramkan,

“Ayah, Ibu, anakmu bersumpah bahwa sebelum aku berhasil membunuh Ban Sai Cinjin, aku tak akan mau berhenti berusaha.”

Setelah berkata demikian, ia lalu bangun berdiri dan menoleh kepada Lo Sian, katanya, “Lo-pek, bagaimanakah terjadinya hal ini?”

Lo Sian kemudian menceritakan sejelasnya tentang sepak terjang Ang I Niocu, juga dia menceritakan pula tentang Lie Kong Sian yang tewas di tangan Ban Sai Cinjin karena dia sudah dapat mengingat itu semua. Setelah mendengar penuturan kakek pengemis yang budiman ini, Lie Siong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian.

“Lopek, kau benar-benar telah melakukan pembelaan hebat sekali terhadap kedua orang tuaku. Aku Lie Siong bersumpah bahwa selama hidup aku akan menganggapmu sebagai orang tuaku sendiri. Lo-pek, terimalah hormatku dan rasa terima kasihku yang tulus.”

Lo Sian menjadi terharu. “Lie Siong, sudah sepatutnya kau menganggap aku sebagai pengganti orang tuamu, oleh karena, dengan disaksikan oleh Hong Li, pada saat hendak menutup mata, ibumu berpesan agar supaya aku suka menjadi walimu. Oleh karena itu, mulai sekarang aku menganggap kau sebagai puteraku sendiri, Siong-ji.”

“Terima kasih, Lo-pek, terima kasih banyak,” kata Lie Siong dengan hati terharu sekali. “Dan sekarang maafkanlah, aku akan cepat menyusul dan mencari Ban Sai Cinjin. Kalau tugasku ini telah berhasil, barulah aku akan mencarimu dan selanjutnya kita hidup seperti ayah dan anak.” Setelah berkata demikian, Lie Siong hendak pergi.

“Tunggu dulu, aku pun hendak membalas dendamku kepada Ban Sai Cinjin. Marilah kita gempur dia bersama!” tiba-tiba Lili berkata sambil melangkah maju.

Lie Siong menengok ke arah dara itu. Tadinya ia tidak pernah mempedulikan kepada Lili oleh karena sebenarnya dia merasa amat jengah dan malu. Tadi gadis ini telah bersikap begitu lembut dan baik terhadapnya, sedangkan ia pernah melakukan hal-hal yang cukup dapat membuat gadis itu merasa marah dan sakit hati. Bahkan sepatu gadis itu hingga kini masih berada di saku bajunya!

“Nona, harap kau jangan menyusahkan diri sendiri. Biarlah urusan balas dendam ini aku lakukan sendiri karena ini sudah menjadi tugasku yang suci.”

“Kau pikir hanya kau saja seorang yang menaruh hati dendam kepada kakek jahanam itu? Dengarlah, sebelum kau mengetahui nama Ban Sai Cinjin, muridnya sudah pernah menculikku di waktu aku masih kecil, bahkan telah membunuh mati kakekku! Kemudian aku juga pernah bertempur melawan Ban Sai Cinjin dan dirobohkan dengan cara curang. Apakah itu bukan perbuatan yang harus dibalas? Belum diingat lagi betapa dia sudah mengajak kawan-kawannya memusuhi kakakku Hong Beng dan calon iparku Goat Lan!”

“Aku telah mendengar akan hal itu, Nona. Akan tetapi perjalanan ini jauh dan sukar sekali karena aku sendiri belum tahu di mana adanya Ban Sai Cinjin. Tadi pun sudah terlihat betapa Ban Sai Cinjin mempunyai kawan-kawan yang berkepandaian tinggi, maka dapat dibayangkan betapa sukar dan berbahayanya pekerjaan ini.”

“Kau kira hanya kau sendiri saja yang memiliki keberanian? Kau kira aku takut kepada Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya?” Dengan wajah merah ia menegakkan kepala dan mengangkat dada, sepasang matanya bersinar marah. Timbul sifat-sifat keras dari dara yang seperti ibunya ini.

Sebetulnya, tak dapat disangkal lagi Lie Siong akan merasa girang dan suka sekali bila melakukan perjalanan bersama gadis yang setiap saat menjadi kenangannya ini. Akan tetapi apa yang ia katakan tadi memang keluar dari hatinya yang tulus. Ia merasa kuatir kalau-kalau gadis yang dicintainya ini akan menghadapi mala petaka kalau ikut mencari Ban Sa Cinjin dan kawan-kawannya yang berbahaya dan berkepandaian tinggi.

Ia ingin membereskan musuh besarnya ini seorang diri saja dan kemudian, barulah dia akan mendekati gadis ini. Baginya sendiri, tidak usah takut karena dia sudah menerima gemblengan hebat dari gurunya yang baru, akan tetapi Lili...?

Tentu saja dia tidak tahu bahwa Lili juga berpikir sebaliknya! Gadis ini pernah bertempur melawan Lie Siong dan meski pun dia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tidak rendah, akan tetapi apa bila menghadapi keroyokan Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu dan yang lain-lain, bisa berbahaya.

Dia sendiri sudah membuktikan bahwa walau pun dengan tangan kosong, Ilmu Pukulan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat sudah cukup hebat untuk digunakan menjaga diri. Pendek kata, kedua orang muda ini saling memandang ringan karena tidak tahu bahwa masing-masing telah menemukan guru baru.

“Harap kau bersabar, Nona...,” Lie Siong berkata pula.

“Sungguh menyebalkan!” Lili berseru marah.

“Apa yang menyebalkan?” Lie Siong mengerutkan kening dan bertanya tak senang pula. Kalau dia dianggap menyebalkan...

“Sebutanmu dengan nona-nonaan itu! Kau adalah putera dari Ie-ie Im Giok, walau pun bukan keluarga kita sudah seperti saudara saja, atau tepatnya, kita orang segolongan. Kenapa mesti berpura-pura sheji (sungkan) seperti orang asing? Tadi kau bisa menyebut namaku, apakah sekarang sudah lupa lagi? Namaku Sie Hong Li atau seperti sebutanmu tadi cukup dengan Lili saja. Siapa sudi kau panggil nona?”

Merah muka Lie Siong mendengar ini dan untuk sesaat ia hanya menundukkan mukanya saja seperti seorang anak kecil dimarahi ibunya! Lo Sian hampir tidak dapat menahan gelak tawanya melihat sikap kedua orang muda yang sama-sama keras hati ini.

“Lili,” kata Lie Siong dengan lidah berat karena sesungguhnya dia merasa sungkan dan malu-malu untuk menyebut nama ini dengan mulutnya, sungguh pun nama ini setiap saat disebut-sebutnya dengan suara hatinya, “harap kau jangan main-main dan suka berpikir masak-masak. Tentu saja aku maklum bahwa kau memiliki keberanian dan tidak takut menghadapi Ban Sai Cinjin. Akan tetapi… urusan membalas dendam kedua orang tuaku ini biarlah kau serahkan saja kepadaku sendiri. Hanya akulah seorang yang berhak untuk menuntut pembalasan, karena dua orang tuaku hanya mempunyai aku seorang! Lili... maukah kau memberi sedikit kelonggaran padaku dan tidak akan merampas harapanku ini? Jangan kau mendahului aku menewaskan Ban Sai Cinjin!”

Lili tertegun. Hemm, jadi demikiankah gerangan maksud hati pemuda ini? Dia tak dapat menjawab lagi hanya memandang dengan sepasang matanya yang bening.

“Siong-ji, kau keliru!” tiba-tiba Lo Sian berkata dan kedua orang muda itu terkejut karena tadi keduanya telah lupa sama sekali akan orang tua ini! “Sebagai calon mantu, Lili juga berhak penuh seperti engkau pula untuk membalas sakit hati ayah bundamu!” Sesudah ucapan ini keluar, barulah Lo Sian sadar bahwa dia telah bicara terlalu banyak dan tak terasa lagi dia menutup mulutnya dengan tangan.

Tiba-tiba Lili merasa mukanya panas dan menjadi merah sekali, karena itu dia kemudian menundukkan mukanya. Kenapa Lo Sian membuka rahasia ini? Sungguh terlalu, pikirnya dengan gemas, akan tetapi juga girang.

Ada pun Lie Siong yang mendengar ucapan ini otomatis lalu menengok ke arah Lili dan ketika melihat gadis itu menundukkan mukanya, ia menjadi makin tak mengerti. Tadinya ia menganggap Lo Sian hanya bergurau saja untuk menggoda dia dan Lili, akan tetapi mengapa Lili gadis galak itu tidak menjadi marah, bahkan kelihatan malu-malu?

“Lo-pek, mengapa kau main-main dalam keadaan seperti ini? Mengapa Lo-pek menyebut Lili sebagai calon mantu ayah bundaku? Apakah artinya ini?”

Lo Sian sudah mengenal watak Lie Siong, pemuda yang tidak suka banyak bicara, akan tetapi yang berhati keras dan jujur. Setelah terlanjur bicara, dia tidak dapat menutupinya lagi, maka ia lalu menceritakan dengan jelas betapa Ang I Niocu telah menganggapnya sebagai wali dan telah menetapkan perjodohan antara Lie Siong dan Lili!

“Nah, setelah sekarang kau mengetahui bahwa menurut pesan ibumu, Lili adalah calon jodohmu biar pun belum diajukan pinangan resmi kepada Sie Taihiap, apakah kau pikir tidak sepatutnya kalau Lili memperlihatkan baktinya kepada mendiang calon mertuanya? Ingatlah, Siong-ji, kau mengaku aku sebagai pengganti orang tuamu dan aku pun sudah menganggap engkau sebagai puteraku sendiri. Kau harus tahu bahwa lawan-lawan yang akan kau hadapi adalah orang-orang yang selain lihai juga amat cerdik dan curang. Ban Sai Cinjin kiranya tidak perlu kau takuti kepandalan silatnya, akan tetapi kau benar-benar harus awas dan waspada menghadapi siasatnya yang licin dan curang. Dengan adanya Lili membantumu, bukankah kalian akan menjadi lebih kuat dan lebih berhasil membalas dendam? Tidak saja tenagamu akan menjadi berlipat dua kali sebab kepandaian Lili juga tidak rendah, bahkan kalian bisa saling menjaga dan saling bela.”

Lili yang mendengarkan semua ucapan ini sekarang tidak berani mengangkat mukanya yang kemerahan. Setelah kini rahasia itu dibuka kepada Lie Siong, entah mengapa, dia tidak berani memandang pemuda itu dengan langsung.

Ada pun Lie Siong juga menjadi merah mukanya, sebentar dia menoleh kepada makam ibunya dengan hati terharu, kemudian kadang-kadang dia mengerling ke arah Lili dengan hati berdebar tidak karuan. Juga pemuda ini tidak dapat menjawab ucapan Lo Sian tadi sehingga orang tua itu tersenyum, lalu menganggap bahwa kedua orang muda itu kini sudah setuju untuk melakukan perjalanan bersama.

“Lie Siong, dan kau Lili. Berhati-hatilah kalian melakukan tugas yang berat ini. Aku akan kembali ke rumah Sie Taihiap untuk melaporkan semua hal ini agar mereka pun segera beramai-ramai menyusulmu untuk memberi bantuan.”

Setelah berkata demikian, Lo Sian kemudian meninggalkan dua orang muda itu dengan tindakan kaki cepat.

********************

Sepasang remaja itu berdiri saling berhadapan. Sampai lama sunyi saja, bibir serasa terkunci rapat-rapat karena malu untuk mengeluarkan suara. Lucu sekali kalau dilihat. Lili menundukkan mukanya yang kemerahan ada pun Lie Siong memandang ke lain jurusan tanpa bergerak.

Pemuda ini mengerutkan keningnya. Dia seharusnya berterima kasih kepada mendiang ibunya yang demikian tepatnya memilihkan calon isteri untuknya. Ia mencintai Lili, ini ia tidak ragu-ragu lagi. Bayangan gadis itu tidak pernah meninggalkan cermin hatinya. Akan tetapi pada saat itu teringatlah dia kepada Lilani.

Lili adalah seorang gadis yang cantik dan pandai, puteri dari Pendekar Bodoh, seorang gadis terhormat yang pasti akan didatangi oleh peminang-perninang dari kalangan tinggi. Bagaimana ia dapat menjadi suami Lili padahal ia yang telah melakukan perbuatan amat memalukan dengan Lilani? Dia yang sudah melanggar kesusilaan, yang menyia-nyiakan cinta Lilani dan yang mencemarkan kepercayaan gadis Haimi itu padanya? Apakah kelak Lili takkan hancur hatinya kalau mendengar tentang dia dan Lilani?

Dia tahu bahwa tak mungkin selama hidup ia akan merahasiakan hal itu dari Lili, karena dengan menyimpan rahasia itu berarti bahwa ia akan menyiksa batin sendiri selamanya, akan selalu merasa sebagai seorang yang berdosa dan tidak bersih terhadap Lili!

“Siong-ko, mengapa kau diam saja. Aku merasa seakan-akan telah menjadi patung, kau juga!” tiba-tiba Lili gadis yang lincah gembira ini lebih dulu memecahkan kesunyian. Tidak kuatlah gadis seperti Lili harus berdiam seperti itu lebih lama lagi.

Lie Siong terkejut dan terbangun dari lamunannya. Ia mengangkat muka dan bertemulah dua pasang mata. Lili memandang dengan jujur dan terang, membuat Lie Siong merasa makin kotor dan tak berharga pula.

“Lili... aku... aku merasa tidak pantas...,” dia menghentikan kata-katanya.

“Tidak pantas bagaimana, Siong-ko? Lanjutkanlah!” dengan kening berkerut Lili bertanya, hatinya merasa tidak enak.

“Tidak pantas seorang pemuda seperti... aku melakukan perjalanan bersama seorang dara seperti... engkau! Sudahlah, Lili, lebih baik kau pulang saja, biar aku sendiri mencari dan menghancurkan kepala Ban Sai Cinjin. Kau tunggu saja di rumah dan kelak... kelak mungkin kita akan bertemu lagi, bila aku tidak roboh di tangan musuh-musuhku. Selamat berpisah!” Tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu melompat jauh dan pergi meninggalkan tempat itu.

Lili membanting-banting kakinya dengan gemas. Dia merasa tidak dipandang mata dan diremehkan sekali. Dengan marah dia pun cepat berkelebat mengejar.

Lie Siong heran sekali melihat betapa gadis itu sudah dapat menyusulnya, padahal dia sudah mempergunakan ilmu ginkang-nya yang paling tinggi dan tadinya dia merasa pasti bahwa gadis itu tidak mungkin dapat menyusulnya. Saking herannya dia menghentikan larinya dan menengok.

“Orang she Lie! Kalau kau tidak sudi melakukan tugas ini bersamaku, apakah kau kira aku Sie Hong Li tak dapat melakukannya sendiri? Kita sama-sama lihat saja siapa nanti yang akan lebih cepat berhasil membasmi Ban Sai Cinjin!” Setelah berkata demikian, Lili lalu mengerahkan ilmu lari cepat dan membelok ke kiri meninggalkan Lie Siong!

Lie Siong tertegun, tidak hanya melihat kemarahan gadis itu akan tetapi melihat betapa ginkang dari gadis ini benar-benar telah demikian hebatnya sehingga belum tentu kalah olehnya! Ia ingat betul bahwa dahulu ketika bertempur dengan dia, kepandaian Lili belum setinggi ini. Bagaimana gadis ini demikian cepat majunya? Apakah ia khusus dilatih dan digembleng oleh Pendekar Bodoh?

Betapa pun juga, Lie Siong masih belum tahu bahwa gadis ini bahkan sudah mahir Ilmu Pukulan Hang-liong Cap-it Ciang-hoat yang sangat lihai, dan mengira bahwa Lili hanya mendapat kemajuan dalam hal ginkang saja. Kini melihat kenekatan gadis itu mencari Ban Sai Cinjin dan tidak mau pulang, ia menjadi terkejut dan gelisah.

Apa bila sampai gadis itu berhasil bertemu dengan Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya, bukankah itu berbahaya sekali? Tanpa terasa lagi, dia pun lalu mengubah arah tujuannya dan dia berlari cepat mengejar ke arah kiri.

Lili melakukan perjalanan cepat dengan tujuan Pegunungan Thian-san. Gadis ini teringat bahwa karena musim chun yang dinanti-nantikan untuk memenuhi tantangan Wi Kong Siansu dan kawan-kawannya tak lama lagi tiba, paling banyak tiga puluh lima hari lagi, maka tentu Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, dan yang lain telah menuju ke sana.

Beberapa hari kemudian dia sampai di kota Kun-lin-an. Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya juga sudah berada di kota ini, bahkan telah bertemu dengan Bouw Hun Ti di tempat ini.

Sebagaimana dituturkan pada bagian depan, Bouw Hun Ti pergi mencari jago-jago silat yang suka membantu mereka untuk menghadapi Pendekar Bodoh sekeluarga. Dan pada waktu itu, Bouw Hun Ti sudah berada di Kun-lin-an bersama tiga orang tosu tua yang bertubuh kurus kering, akan tetapi tiga orang tosu ini sesungguhnya adalah tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi.

Ketika Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, dan ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui melarikan diri dari kejaran Lili dan Lie Siong, mereka tiba di kota ini dan bertemu dengan Bouw Hun Ti. Segera mereka membuat rencana untuk membikin pembalasan. Dengan adanya ketiga orang tosu itu, mereka merasa cukup kuat untuk menghadapi Pendekar Bodoh.

Memang, tiga orang tosu itu bukanlah orang-orang sembarangan saja, mereka adalah ketua dari Pek-eng-kauw (Perkumpulan Agama Garuda Putih) dari barat, bernama Thai Eng Tosu, Sin Eng Tosu, dan Kim Eng Tosu. Mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hendak menghadapi Pendekar Bodoh, tiga orang ketua Pek-eng Kauw-hwe ini dengan senang hati sanggup membantu dan ikut pergi bersama Bouw Hun Ti.

Memang tiga orang kakek ini mempunyai dendam terhadap Pendekar Bodoh. Sebetulnya bukan kepada Cin Hai mereka menaruh dendam, melainkan kepada Bu Pun Su yang telah menewaskan guru mereka. Akan tetapi oleh karena Bu Pun Su sudah meninggal dunia, maka dendam mereka itu kini hendak mereka balaskan terhadap murid dari Bu Pun Su!

Oleh karena Lili telah melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah sekali, setelah makan dan membersihkan tubuh serta berganti pakaian, dara perkasa ini lalu masuk ke dalam kamarnya di sebuah hotel untuk beristirahat. Saking lelahnya maka sebentar saja ia telah pulas dan di dalam tidurnya bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu dengan Lie Siong dan bertengkar urusan sepatunya yang dirampas dulu, kemudian mereka saling menyerang dengan hebat!

Lili tertegun dengan hati terkejut karena ia benar-benar mendengar suara senjata beradu nyaring sekali dan suara orang bertempur hebat! Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia hendak melompat turun dari pembaringan, tubuhnya tidak dapat digerakkan! Ia hendak mengerahkan tenaga, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa dia sudah menjadi korban totokan yang luar biasa sekali sehingga ia menjadi lumpuh kaki tangannya. Sementara itu, suara pertempuran di atas genteng makin menghebat dan dengan bingung serta tak berdaya Lili berpikir-pikir apakah yang sesungguhnya telah terjadi.

Sebagaimana diketahui, setelah ditinggalkan oleh Lili di tengah hutan itu, Lie Siong lalu mengejar dan secara diam-diam dia mengikuti perjalanan gadis yang dikasihinya itu. Dia tak berani memperlihatkan muka karena dia merasa malu dan kuatir kalau-kalau Lili akan menjadi marah.

Untuk melepaskan gadis itu begitu saja dan mencari jalan sendiri, dia tidak tega karena maklum betapa lihainya lawan-lawan yang mereka kejar-kejar. Maka secara diam-diam ia hendak melindungi gadis itu dan bila sampai mereka bertemu dengan musuh, bukankah mereka akan dapat menghadapi dengan lebih kuat?

Demikianlah, ketika Lili bermalam di hotel di kota Kun-lin-an, secara diam-diam Lie Siong mengintai dan setelah melihat gadis itu memasuki kamarnya, ia pun kemudian menyewa sebuah kamar di hotel itu juga! Dia sudah mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi menjumpai Lili dan menyatakan terus terang kehendaknya, yaitu melakukan perjalanan bersama. Dia sudah nekat dan bersedia untuk ditertawakan atau bahkan dimaki, karena melakukan perjalanan macam ini sungguh tidak enak baginya.

Malam itu Lie Siong tidak dapat pulas. Kalau dia memikirkan hidupnya, dia menjadi amat gelisah. Kedua orang tuanya telah tewas dalam keadaan amat menyedihkan, yaitu terbunuh oleh orang jahat. Kemudian di dalam perantauannya dia telah bertemu dengan Lilani yang membuat ia selalu menyesali pertemuan itu, dan akhirnya ia bertemu dengan Lili yang sudah membetot sukmanya serta menguasai cinta kasihnya, bahkan mendiang ibunya telah berniat menjodohkan dia dengan Lili.

Akan tetapi kalau dia teringat akan Lilani, hatinya menjadi perih sekali. Memang betul bahwa dia telah memenuhi kewajibannya seperti yang telah dinasehatkan oleh Thian Kek Hwesio, orang tua bijaksana ahli pengobatan yang tinggal di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu itu. Yaitu kewajiban untuk mengantar Lilani sampai dapat bertemu dengan suku bangsanya kembali.

Kini Lilani telah berkumpul dengan suku bangsanya dan urusannya dengan Lilani telah beres. Akan tetapi betulkah urusan itu telah beres? Kalau sampai Lili mengetahui hal itu bukankah akan terjadi ribut besar?

Benar-benar Lie Siong menjadi pusing memikirkan hal ini. Tiba-tiba dia mendengar suara di atas genteng dan terheranlah hatinya. Itu bukan suara orang berjalan, pikirnya. Lebih pantas kalau suara seekor burung besar mengibaskan sayapnya dan turun dengan kaki hampir tak bersuara di atas genteng!

Kalau saja ia melakukan perjalanan seorang diri, tentu pemuda ini akan terus berbaring di atas tempat tidurnya, menanti saja apa yang akan terjadi. Akan tetapi pada waktu itu, pikirannya penuh dengan penjagaan terhadap Lili, maka dia lantas cepat-cepat memakai sepatunya dan menyambar Sin-liong-kiam. Setelah itu, dia lalu membuka daun jendela dan secepat kilat dia melompat keluar, terus melayang naik ke atas wuwungan rumah hotel itu.

Alangkah terkejutnya ketika ia melihat tiga orang tosu tinggi kurus berdiri di atas genteng tepat di atas kamar Lili dan seorang di antara mereka meniupkan asap hijau ke dalam kamar. Pada waktu Lie Siong menengok, selain tiga orang tosu ini masih nampak pula bayangan seorang gemuk memegang huncwe. Ban Sai Cinjin! Bukan main marahnya Lie Siong dan tanpa banyak cakap lagi ia segera menerjang dengan pedangnya, menyerang tiga orang tosu yang sedang mempergunakan obat pulas untuk mencelakai Lili!

Memang yang datang adalah tiga orang ketua Pek-eng Kauw-hwe yang dibawa oleh Ban Sai Cinjin. Kakek berhuncwe ini telah melihat Lili berada di dalam kota ini pula. Sesudah menyelidiki dan mengetahui bahwa gadis musuhnya itu bermalam di hotel itu, dia lalu mengajak kawan-kawannya untuk menawan gadis itu.

Wi Kong Siansu mula-mula menyatakan tidak setuju, karena perbuatan ini dianggapnya terlalu memalukan mereka sebagai orang-orang gagah dan tokoh-tokoh terkemuka. Akan tetapi Ban Sai Cinjin lalu menyatakan bahwa ia sama sekali tidak hendak mencelakai Lili, hanya hendak menawannya saja sebagai tanggungan kalau-kalau mereka kelak kalah oleh Pendekar Bodoh! Biar pun kalah, apa bila mereka menguasal Lili, tentu Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya tidak berani membunuh atau mencelakai mereka.

Alasan-alasan yang cerdik dari Ban Sai Cinjin membuat Wi Kong Siansu tidak mampu membantah, akan tetapi tetap saja kakek kosen ini tak mau ikut turun tangan melakukan penangkapan itu. Juga Hailun Thai-lek Sam-kui walau pun paling doyan berkelahi tetapi tidak suka untuk turut membantu penangkapan ini. Oleh karena itu Ban Sai Cinjin lalu minta pertolongan tiga orang ketiga Pek-eng-kauw itu.

Kepandaian tiga orang kakek ini memang sangat hebat, kiranya tidak di sebelah bawah kepandaian Wi Kong Siansu. Selain Ilmu Silat Garuda Putih yang khusus mereka miliki, juga cara mereka melompat adalah seperti gerakan burung garuda, dengan dua lengan dipentang dan lengan baju yang lebar seperti sayap.

Selain ini, Kim Eng Tosu yang termuda di antara mereka, juga merupakan seorang ahli dalam hal penggunaan obat tidur dan racun-racun yang lihai untuk merobohkan lawan. Memang, Kim Eng Tosu ini pada waktu mudanya terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang amat ditakuti orang.

Pada saat tiga orang kakek ini sedang melakukan usaha mereka menangkap Lili dengan menggunakan asap memabukkan, Lie Siong lantas menerjang mereka dan mengerjakan Sin-liong-kiam dengan hebatnya. Dia tidak menerima pelajaran khusus dari gurunya yang baru, kecuali permainan gundu. Akan tetapi, gurunya itu telah banyak memberi perbaikan terhadap ilmu pedangnya dan ilmu silatnya. Setiap kali ia berlatih silat di depan gurunya, selalu gurunya itu mencela ini dan memperbaiki itu sehingga ilmu pedang dan ilmu silat pemuda ini mendapat kemajuan yang luar biasa sekali, di samping kemajuan-kemajuan dalam ginkang dan lweekang-nya.

Akan tetapi ketika dia menyerang tiga orang orang tosu itu dengan marah, ketiga ketua Pek-eng-kauw itu hanya mengebutkan lengan baju mereka yang lebar dan mereka sudah dapat mengelak dengan cepat sekali. Bahkan Kim Eng Tosu dan Sin Eng Tosu segera menggerakkan tangan mereka dan meluncurlah ujung lengan baju yang panjang-panjang itu melakukan serangan pembalasan yang hebat.

Lie Siong kaget sekali melihat kelihaian mereka, akan tetapi ia lalu memutar pedangnya sedemikian rupa dan melawan mereka dengan sepenuh tenaga. Kim Eng Tosu dan Sin Eng Tosu juga tertegun menyaksikan seorang pemuda yang memiliki kepandaian selihai ini, maka mereka berlaku hati-hati sekali.

Lie Siong belum pernah menghadapi ilmu sesat seperti yang mereka mainkan itu, yaitu dengan kedua lengan terbuka dan ujung lengan baju menyambar-nyambar, persis seperti dua ekor burung garuda besar yang menyabet-nyabet dengan sayap dan kadang-kadang menendang dengan kaki.

Ada pun Ban Sai Cinjin setelah melihat bahwa yang datang adalah Lie Siong, menjadi marah sekali dan sambil tertawa bergelak dia pun maju mengurung.

“Ji-wi Toyu, pemuda ini jahat seperti serigala, harus dibunuh!”

Sementara itu, Thai Eng Tosu mempergunakan kesempatan itu untuk melompat masuk ke dalam kamar Lili yang belum terkena pengaruh asap tadi karena keburu datang Lie Siong. Akan tetapi dalam keadaan masih tidur ia telah ditotok oleh Thai Eng Tosu yang lihai sehingga ketika ia terbangun dengan kaget, ia telah tak berdaya lagi.

Thai Eng Tosu memang cerdik sekali. Pada saat tadi dia menyaksikan gerakan seorang pemuda yang demikian cepat dan lihainya, dia pikir lebih baik membuat gadis di dalam kamar tidak berdaya karena dia telah mendengar dari Ban Sai Cinjin bahwa gadis itu pun lihai sekali. Bila sampai gadis itu bangun dan maju berdua dengan pemuda ini, agaknya tidak akan mudah menangkapnya! Maka setelah membuat Lili tidak berdaya, barulah dia melompat lagi ke atas genteng untuk mengeroyok Lie Siong!

Sebetulnya dalam hal kepandaian, kalau diadakan perbandingan, meski pun dengan Ban Sai Cinjin seorang saja, Lie Siong sudah tentu kalah latihan serta kalah pengalaman. Pemuda ini dapat mengatasi Ban Sai Cinjin hanya karena dia menang tenaga, menang semangat, dan juga pemuda ini semenjak kecilnya mempelajari ilmu silat yang bermutu tinggi.

Terutama sekali karena akhir-akhir ini, biar pun dalam waktu singkat, Lie Siong menerima gemblengan yang amat hebat dari orang luar biasa, tokoh persilatan tersembunyi seperti kakek tukang main kelereng itu. Maka, dalam hal ginkang dan lweekang, dia sekarang tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin!

Namun, tetap saja Ban Sai Cinjin merupakan seorang lawan berat baginya. Apa lagi sekarang di situ terdapat tiga orang tosu yang kepandaiannya rata-rata lebih tinggi dari pada kepandaian Ban Sai Cinjin.

Lie Siong melakukan perlawanan secara nekad. Dia memutar pedang naganya dengan secepat kilat dan mengerahkan seluruh tenaga serta kepandaiannya untuk merobohkan empat orang pengeroyoknya.

Akan tetapi, diam-diam Lie Siong harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia menghadapi lawan-lawan yang berat seperti empat orang kakek ini. Terutama sekati Thai Eng Tosu yang bersenjatakan sebatang suling kecil. Bukan main lihai dan berbahayanya sehingga beberapa kali Lie Siong hampir saja terkena totokan suling ini kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke samping.

Melihat betapa Lie Siong sukar sekali dirobohkan, Ban Sai Cinjin menjadi gemas. Maka tiba-tiba sekali, di luar dugaan ketiga orang tosu kawannya dan juga Lie Siong, Ban Sai Cinjin melepaskan tiga batang jarum beracun ke arah pemuda itu.

Lie Siong sedang sibuk menahan serangan tiga orang ketua Pek-eng-kauw yang lihai, maka tentu saja dia tidak bersiap sedia menghadapi serangan gelap ini. Tetapi dia dapat melihat menyambarnya tiga sinar hitam ke arah tubuhnya. Cepat ia menangkis dengan kebutan tangan kiri yang menggunakan hawa pukulan Pek-in Hoat-sut, namun sebatang jarum hitam tetap saja menancap pada paha kirinya di atas lutut.

Lie Siong menggigit bibir dan menahan sakit, akan tetapi seketika itu juga dia merasa betapa separuh tubuhnya seakan-akan mati. Dia terkejut sekali dan maklum bahwa dia telah terkena jarum berbisa, maka dia kemudian melompat ke bawah dan melarikan diri secepatnya.

Diam-diam Ban Sai Cinjin merasa girang dan juga kagum karena sedikit pun juga tidak terdengar keluhan sakit dari mulut pemuda itu, padahal dia maklum bahwa jarumnya itu mendatangkan rasa sakit yang luar biasa dan di dalam waktu tiga hari, pemuda itu tentu akan mati!

Dengan cepat ia lalu melompat turun dan memondong tubuh Lili yang tak berdaya lagi itu keluar dari kamar dan dibawa pergi bersama tiga orang tosu lihai itu! Kedatangan mereka disambut oleh Wi Kong Siansu dan Hailun Thai-tek Sam-kui yang diam-diam merasa girang juga bahwa dua orang di antara calon lawan mereka yang tangguh telah berhasil dikalahkan.

“Bagaimana pun juga harap kau berlaku hati-hati dan jangan sekali-kali mencemarkan namaku dengan perbuatan hina, Sute!” Wi Kong Siansu berkata kepada Ban Sai Cinjin sambil melirik ke arah tubuh Lili yang masih setengah pingsan.

Ban Sai Cinjin tersenyum. “Jangan kuatir, Suheng. Maksudku pun hanya untuk mencegah Pendekar Bodoh berlaku kejam terhadap kita.”

Dia lalu menghampiri Lili, menotok jalan darah Koan-goan-hiat dan Kian-ceng-hiat pada kedua pundak, kemudian dia membebaskan gadis itu dari keadaannya yang lumpuh. Lili terbebas dari totokan Thai Eng Tosu tadi, akan tetapi sepasang lengannya tidak dapat dipergunakan karena kedua lengan itu telah menjadi lemas tidak bertenaga lagi sebagai akibat dari totokan Ban Sai Cinjin tadi.

Gadis ini berdiri dengan tegak dan tiba-tiba kedua kakinya menendang ke arah Ban Sai Cinjin dengan tendangan Soan-hong-lian-hoat-twi, yaitu kedua kakinya secara bertubi-tubi mengirim tendangan berantai yang amat berbahaya!

Ban Sai Cinjin terkejut sekali dan cepat dia melompat pergi, lalu berkata dengan gemas, “Lihat, Suheng, betapa jahatnya gadis liar ini. Hmm, ingin aku menghancurkan kepalanya dengan sekali ketuk agar ia tidak dapat menimbulkan kepusingan lagi!” Ia menggenggam huncwe-nya erat-erat.

Wi Kong Siansu melompat maju dan menghadapi Lili yang memandang dengan mata mendelik. Sedikit pun gadis ini tidak takut biar pun dengan kedua tangan lumpuh ia telah tak berdaya sama sekali.

“Nona Sie, kenapa kau begitu bodoh? Kami tidak akan mengganggumu, hanya kau harus tahu bahwa di antara keluargamu dengan kami timbul permusuhan. Dengan menawan kau, Nona, kami berusaha untuk meredakan permusuhan ini. Bulan depan akan diadakan pertemuan pibu dan dengan kau berada di pihak kami, pinto akan berusaha agar supaya ayahmu dan kawan-kawannya tidak berlaku kejam. Betapa pun juga, kita semua masih orang-orang segolongan, maka lebih baik kita menghabisi segala permusuhan yang telah lewat.”

“Enak saja kau bicara, tosu murah!” bentak Lili dengan marah sekali. Kemudian ketika melihat Bouw Hun Ti berdiri di dekat Ban Sai Cinjin sambil memandang dirinya dengan senyum sindir, ia lalu mengertak gigi dan berkata, “Dengarlah, Wi Kong Siansu! Aku tidak tahu mengapa seorang seperti kau membela orang-orang berhati iblis macam Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin! Dengan kau dan yang lain-lainnya boleh saja aku menghabiskan permusuhan, akan tetapi aku tak akan pernah memberi ampun kepada dua ekor binatang bermuka manusia ini!”

“Suheng, biar kubunuh gadis liar ini!” Ban Sai Cinjin berseru marah.

“Majulah, binatang! Kedua kakiku pun masih sanggup memecahkan dadamu!” teriak Lili menantang.

“Sabar, Sute, mengapa mengumbar nafsu? Nona Sie, sikapmu ini benar-benar hanya akan menyusahkan dirimu sendiri saja. Kalau kau menurut saja ikut dengan kami ke Thian-san, kami tak akan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau menimbulkan kesulitan, agaknya terpaksa kau harus dibikin lumpuh dan hal ini tentu tak kau kehendaki, bukan?”

Biar pun dia merasa amat mendongkol dan ingin memaki-maki semua orang itu, tetapi ia merasa bahwa ucapan Wi Kong Siansu ini ada benarnya juga. Ia sudah tak berdaya lagi, maka meski pun ia akan mengamuk dengan kedua kakinya, tetap saja ia takkan sanggup menang. Kalau sampai dia dibikin lumpuh seperti tadi, lebih tidak enak lagi, maka dia lalu diam saja sambil menundukkan mukanya.

Gadis ini tidak takut sama sekali. Ia diam saja untuk memutar otak mencari jalan bagai mana agar ia dapat melepaskan diri dari kekuasaan orang-orang ini. Ia telah mendengar pertempuran-pertempuran di atas genteng dan menduga-duga siapakah orangnya yang bertempur melawan Ban Sai Cinjin. Ia tidak tahu bahwa tadi Lie Siong sudah berusaha menolongnya, dan bahwa pemuda itu kini sudah melarikan diri dengan menderita luka hebat oleh panah beracun dari Ban Sai Cinjin…..

********************

Lie Siong melarikan diri dengan hati gelisah sekali. Rasa sakit yang hebat pada kakinya tidak melebihi sakit hatinya, karena ia selalu berkuatir memikirkan nasib Lili. Kalau saja ia tidak memikirkan Lili, tadi pun dia tentu akan menerjang mati-matian dan biar pun sudah terluka hebat, dia lebih baik mati dari pada melarikan diri. Akan tetapi dia harus menolong Lili, oleh karena itu dia harus hidup untuk dapat menyusul dan menolong Lili.

Ia telah berlari jauh sekali dan perbuatannya ini menghebatkan pengaruh bisa di luka itu. Dia kini merasa seluruh tubuhnya panas dan pandang matanya berkunang-kunang. Dia memang hendak mempertahankan diri, akan tetapi pandangan matanya makin gelap dan akhirnya dia terhuyung-huyung dan roboh di atas rumput tak sadarkan diri lagi.

Ban Sai Cinjin tidak akan sedemikian tersohor namanya apa bila tidak sangat lihai dalam menggunakan huncwe maut dan kalau saja senjata rahasianya tidak amat ganas. Kakek ini memang seorang ahli dalam penggunaan racun yang amat ganas dan jahat, maka dia merasa pasti bahwa pemuda putera Ang I Niocu yang sudah terkena racun pada panah hitamnya tentu akan mati dalam waktu tiga hari.

Memang keadaan Lie Siong mengerikan sekali. Kaki kirinya dari batas paha ke bawah telah berwarna kehitam-hitaman dan tubuhnya panas sekali. Ia pingsan dan menggeletak di atas rumput sampai fajar mendatang.

Tapi Ban Sai Cinjin agaknya lupa bahwa mati hidup seseorang tak dapat ditentukan oleh manusia yang mana pun juga. Apa bila Thian (Tuhan) menghendaki, seseorang boleh hidup walau pun nampaknya tidak mungkin bagi pendapat seorang manusia, sebaliknya seorang yang nampak sehat segar boleh mati di saat itu juga apa bila telah dikehendaki oleh Thian.

Demikianlah, ketika Lie Siong rebah seperti mati di atas rumput dan tubuhnya diselimuti embun pagi, datanglah dua sosok bayangan orang yang melalui tempat itu. Dua orang ini gerakannya cepat sekali dan ketika melihat seorang pemuda menggeletak di tempat itu, mereka lalu mendekati dan memeriksa.

“Dia adalah putera Ang I Niocu...!” seru suara seorang laki-laki.

“Betul, Koko, dia adalah Lie Siong penolong dari Adik Cin!” seru yang wanita, seorang gadis yang cantik jelita. Mereka ini bukan lain adalah Goat Lan dan Hong Beng yang kebetulan sekali lewat di tempat itu dan mendapatkan Lie Siong menggeletak di jalan.

“Aduh, panas sekali tubuhnya!” Hong Beng berseru ketika dia meraba jidat Lie Siong.

“Lihat, Koko, pahanya terluka dan tentu terkena serangan senjata beracun. Mari, angkat dia ke tempat yang lebih baik, Koko. Aku harus cepat-cepat mencoba menolongnya!” kata Goat Lan, murid dari mendiang Yok-ong Sin Kong Tianglo Raja Tabib!

Hong Beng lalu memondong tubuh Lie Siong yang amat panas itu dan mereka membawa pemuda itu masuk ke dalam sebuah hutan kecil dan meletakkan pemuda itu di bawah pohon besar, di atas tanah yang bersih dan kering.

Goat Lan menurunkan buntalan pakaiannya, menggulung lengan baju dan mengeluarkan obat-obat penolak racun yang selalu dibekalnya. Kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dan sangat cekatan, menjadikan kekaguman Hong Beng yang membantunya, Goat Lan lalu menyingsingkan pakaian Lie Siong dari bawah sehingga nampak paha yang terluka oleh panah tangan itu. Tanpa ragu-ragu lagi gadis ini lalu menggunakan bambu runcing itu untuk ditusukkan ke luka yang telah membengkak dan berwarna merah kehitaman itu.

Darah hitam mengalir keluar dari luka tusukan bambu runcing ini dan Goat Lan segera menggunakan jari telunjuknya untuk menotok pangkal paha dan beberapa bagian jalan darah di kaki kiri Lie Siong. Kemudian ia mengurut kaki itu, menghalau darah yang sudah terkena racun supaya keluar dari paha itu hingga Hong Beng sendiri diam-diam merasa ngeri dan mengutuk orang yang menggunakan panah tangan.

Kemudian Goat Lan lalu menempelkan obat pada luka di paha itu, minta supaya Hong Beng membereskan pakaian Lie Siong. Setelah kepala Lie Siong dibasahi air dan sedikit arak dimasukkan ke dalam mulutnya, pemuda ini siuman kembali. Akan tetapi ia masih menutup kedua matanya dan bibirnya bergerak, “Lili... Lili...!”

Goat Lan dan Hong Beng saling pandang penuh arti dan keduanya tersenyum kecil. Goat Lan lalu mencairkan tiga butir pil merah ke dalam arak dan menyuruh tunangannya agar meminumkannya.kepada Lie Siong.

Barulah Lie Siong membuka matanya dan ia memandang kepada mereka dengan mata mengandung keheranan. Akan tetapi dia segera meramkan kedua matanya kembali dan mengeluh. Kakinya terasa sakit bukan main.

“Jangan bergerak dulu, Saudara Lie Siong dan minumlah obat ini segera,” Hong Beng berkata dengan ramah.

Lie Siong kembali membuka mata dan sambil menatap wajah Hong Beng, ia lalu minum obat itu yang terasa pahit akan tetapi berbau harum itu. Sesudah obat itu memasuki perutnya, ia merasa betapa panas di dalam dada dan perutnya berangsur-angsur mulai menghilang. Kemudian, tiba-tiba ia tak dapat lagi menahan rasa kantuknya dan tubuhnya menjadi lemas, terus dia tertidur nyenyak. Memang ini adalah akibat khasiat dari obat yang diberikan oleh Goat Lan itu.

“Tidak lama lagi dia akan sembuh,” kata Goat Lan kepada Hong Beng. “Kalau dia terus pulas itu berarti bahwa racun di dalam tubuhnya telah bersih, kalau dia tidak dapat pulas, agaknya terpaksa aku harus mengeluarkan banyak darahnya lagi. Sekarang dia hanya memerlukan obat penambah darah saja.” Hong Beng mengangguk-angguk dan kembali ia memandang pada tunangannya dengan penuh kekaguman sehingga Goat Lan menjadi merah mukanya.

“Mengapa kau memandangku seperti itu?” tegurnya.

“Lan-moi, kau... hebat sekali!”

“Hushh, aku hanya murid yang bodoh dari Yok-ong guruku,” kata gadis ini.

Dengan kata-kata ini Goat Lan seakan-akan hendak mengingatkan kepada Hong Beng bahwa yang patut mendapat pujian ialah mendiang gurunya. Memang demikianlah watak yang sangat baik dari Goat Lan. Tidak suka sombong dan selalu merendahkan diri, biar terhadap tunangan sendiri sekali pun.

Mereka tidak merasa heran pada waktu tadi Lie Siong menyebut-nyebut nama Lili dalam igauannya, karena kedua orang muda ini belum lama yang lalu telah berjumpa dengan Lo Sian. Dari Sin-kai Lo Sian mereka telah mendengar tentang kematian Ang I Niocu dan mendengar akan pesan Ang I Niocu untuk menjodohkan Lie Siong dengan Lili. Kemudian Sin-kai Lo Sian melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Pendekar Bodoh.

Ada pun Goat Lan dan Hong Beng melanjutkan perjalanan untuk mencari Ban Sai Cinjin. Memang, kedua orang muda ini meninggalkan tempat tinggal mereka dengan dua tujuan. Pertama-tama untuk mencari Lili yang belum juga pulang, kedua kalinya untuk mencari Ban Sai Cinjin, karena Goat Lan ingin minta kembali Thian-te Ban-yo Pit-kip yang telah dicuri oleh Ban Sai Cinjin.

Orang tua mereka berpesan agar mereka berhati-hati, kemudian Pendekar Bodoh bahkan berpesan agar supaya mereka terus saja menuju ke Thian-san, karena tidak lama lagi Pendekar Bodoh sendiri pun akan menuju ke sana untuk menyambut tantangan pibu dari Wi Kong Siansu dan kawan-kawannya. Oleh karena itulah, maka Goat Lan dan Hong Beng mengambil jalan ini dan bertemu dengan Lie Siong.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)