PENDEKAR SAKTI : JILID-02


“Orang tua, aku tidak bisa makan masakan ini.”

Untuk ketiga kalinya Tauw-cai-houw melengak. “He?! Mengapa?”

“Kita tidak saling mengenal, juga tidak ada hubungan sesuatu di antara kita. Kenapa kau datang-datang menghadiahkan dua mangkok masakan? Tentu ada udang di balik batu. Apakah sebenarnya kehendakmu?”

Kini Tauw-cai-hauw benar-benar tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan seorang anak kecil yang seaneh ini. Kata-kata itu tidak patut keluar dari mulut seorang anak-anak, pantasnya diucapkan oleh seorang dewasa yang sudah banyak pengalaman hidup!

“Anak, siapa namamu? Kau benar-benar cerdik, suka hatiku melihatmu.”

“Aku Lu Kwan Cu, dan siapakah kau, Lopek? Dan apa pula sebabnya kau datang-datang berlaku manis kepadaku? Aku tidak mempunyai sesuatu sebagai penukar dua mangkok masakan yang mahal ini.”

Tauw-cai-houw tertawa bergelak sehingga beberapa orang yang lewat di dekat tempat itu berhenti lalu memandang. Akan tetapi begitu Tauw-cai-houw itu memelototkan matanya, orang-orang itu merasa takut dan buru-buru pergi lagi.

“Anak bodoh, mengapa ribut-ribut mengenai penukaran? Aku pun mengambil masakan-masakan itu tanpa bayar!”

“Apa? Kau merampas dengan kekerasan?” tanya Kwan Cu dengan mata terbelalak.

“Tidak bisa disebut perampasan karena pemiliknya tidak tahu makanannya kuambil.”

“Kalau begitu kau mencuri!” dengan kata-kata ini, Kwan Cu lalu mendorong dua mangkok masakan itu sehingga terguling dan semua masakan yang masih mengebul panas itu lalu tumpah di atas tanah yang kotor. “Aku tidak sudi makan barang curian dan kau pencuri tua ini lekas pergi dan jangan mengganggu aku lagi!”

Dari perasaan heran, kakek itu kini menjadi marah. “Tolol, disuruh makan biar gemuk dan sehat, kau banyak membantah. Kau kira dapat membantah di depan Tauw-cai-houw?”

Sesudah berkata begitu, tangannya menyambar dan tahu-tahu Kwan Cu telah ditangkap lehernya seperti harimau menangkap kelinci. Lalu orang tinggi besar yang mengerikan ini melangkah lebar, membawa Kwan Cu yang tak dapat berkutik lagi.

Orang-orang yang melihat ini menjadi ribut. Ketika mereka mengejar dan melihat betapa kakek bermuka harimau itu berlari cepat sekali, mereka berteriak-teriak,

“Ahh, tentu dia penculik anak-anak itu! Kejar!”

“Tangkap penculik anak-anak!”

“Bunuh dia!”

Teriakan-teriakan susul-menyusul dan para pengejar makin banyak. Akan tetapi kakek itu benar-benar lihai karena dalam sekejap mata saja dia sudah hilang dari pandangan mata orang banyak, tidak tahu ke mana menghilangnya.

Sebentar saja, gegerlah seluruh kota Lung-to dan semua orang membicarakan tentang penculik itu. Banyak pula orang yang memberi bumbu sehingga tidak lama kemudian, orang menggambarkan penculik itu sebagai seorang siluman yang bermuka singa dan yang mengerikan sekali!

Para penjaga keamanan kota menjadi sibuk karena mereka berusaha untuk mencari dan menangkap penculik yang telah beberapa hari mengacau kota itu. Akan tetapi tetap saja tidak ada seorang pun tahu ke mana perginya si penculik.

Pada saat orang-orang sedang kebingungan dan geger, muncullah seorang wanita yang amat cantik dan juga bersikap gagah sekali. Wanita ini masih muda, usianya takkan lebih dari dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana berwarna putih, tetapi kesederhanaan pakaiannya ini yang menambah kecantikan wajah dan potongan tubuhnya yang langsing serta padat itu makin nampak nyata.

Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya beronce benang-benang sutera merah. Rambutnya yang panjang terurai ke belakang itu diikat dengan pengikat rambut dari sutera merah pula. Pinggiran bajunya yang putih bersih itu berwarna biru, menambah kepantasan. Siapakah wanita ini?

Melihat dari sikapnya, tak dapat diragukan lagi bahwa ia tentulah seorang wanita perkasa yang pandai ilmu silat. Dugaan ini tidak salah karena sesungguhnya dia dalah pendekar wanita yang terkenal dengan sebutan Pek-cilan (Bunga Cilan Putih). Sebenarnya nama sebutan ini lebih berdasarkan kecantikannya dan baju putihnya dari pada kegagahannya.

Namanya Thio Loan Eng, dan semenjak dewasa memang sudah banyak merantau dan melakukan perbuatan-perbuatan besar sehingga dapat mengangkat tinggi nama sendiri. Ilmu pedangnya sangat terkenal di kalangan kang-ouw, karena Loan Eng adalah putreri dari Thio Keng In, tokoh terkenal dari barat yang mempunyai ilmu pedang turunan dari keluarga Thio. Menurut kepercayaan orang, ilmu pedang keluarga Thio ini masih warisan dari ilmu pedang Thio Hui, tokoh besar dari jaman Sam Kok!

Ketika itu Loan Eng sedang berada di Lung-to. Dia mendengar suara ribut-ribut ini dan keluar dari kamar di hotelnya. Dengan cepat ia mendengar tentang penculikan seorang anak kecil oleh seorang saikong yang bermuka harimau, maka cepat pendekar wanita ini lalu mengadakan penyelidikan…..

********************

Sambil tertawa-tawa, Tauw-cai-houw membawa Kwan Cu ke dalam sebuah hutan yang sangat liar di sebelah selatan kota Lung-to, terpisah kurang lebih lima belas li. Di tengah hutan ini memang menjadi tempat persembunyiannya selama dia melakukan penculikan-penculikan terhadap anak-anak kecil di kota Lung-to.

Setelah tiba di tempat tinggalnya, yaitu sebuah lapangan yang dikelilingi oleh pepohonan besar, dia melemparkan Kwan Cu ke atas tanah. Anak ini terguling, akan tetapi segera melompat berdiri lagi dengan mata terbelalak. Kini dia benar-benar merasa seram ketika melihat betapa di atas tanah berserakan tulang-tulang manusia dan tengkorak-tengkorak. Kalau melihat ukuran tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak itu, dapat di duga bahwa itu adalah tengkorak dan tulang anak-anak kecil seperti dia!

Tauw-cai-houw lalu mengambil sebuah kantong yang tadinya dia gantungkan di cabang pohon. Dia membuka kantong itu dan mengeluarkan sebutir buah yang kulitnya bersisik seperti kulit ular.

“Kau makanlah ini!” katanya kepada Kwan Cu sambil mengangsurkan buah itu.

Akan tetapi Kwan Cu tidak mau menerimanya, hanya menggelengkan kepala. Sinar mata anak ini sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut terhadap saikong yang setengah gila itu.

“Hayo makanlah!” kembali Tauw-cai-houw membentak, akan tetapi dengan bandel sekali Kwan Cu menggelengkan kepala.

Tauw-cai-houw menjadi marah. Dipegangnya leher Kwan Cu dan sekali tekan saja mulut anak itu terbuka. Buah ular itu diremasnya dalam tangan kanan dan dijejalkan ke dalam mulut Kwan Cu! Rasanya asam dan pahit, akan tetapi karena dijejalkan terus, terpaksa Kwan Cu menelannya!

Sungguh aneh, meski pun rasanya asam dan pahit, setelah memasuki perutnya, terasa perutnya hangat dan enak sekali! Dia tidak tahu bahwa buah ular itu adalah semacam buah yang langka dan merupakan obat yang sangat mukjijat khasiatnya terhadap aliran darah. Selain pembersih darah, juga dapat menguatkan tubuhnya.

Ternyata Tauw-cai-houw memaksa anak itu makan buah obat ini supaya tubuh anak ini menjadi kuat sehingga daging, darah, serta sumsumnya akan merupakan hidangan yang amat baik untuknya!

Setelah Kwan Cu menelan obat itu, Tauw-cai-houw tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, selama bertahun-tahun ini belum pernah aku mendapatkan seorang anak seperti engkau! Sekali ini aku pasti akan berhasil. Kau adalah seorang anak sin-tong (anak ajaib), jantung dan otakmu pasti akan menghasilkan semua usahaku selama ini. Ahhh, kau mengingatkan betapa semua anak-anak ini hanyalah sebangsa boan-tong (anak nakal) belaka. Hemm, sungguh menyebalkan!”

Kwan Cu tidak mengerti maksud kata-kata ini, hanya sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu memandang tajam.

“Kenapa matamu mendelik terus padaku?” Tauw-cai-houw membentak marah. “Tenang saja, matamu yang tajam itu tidak akan memasuki perutku, hanya akan membikin muak saja!”

Setelah berkata demikian, saikong ini kemudian menyalakan api unggun yang besar dan memasang pemanggang dari kayu seperti yang biasanya digunakan untuk memanggang binatang buruan.

Kwan Cu masih juga belum mengerti, hanya memandang segala tingkah laku orang tua yang aneh itu. Diam-diam dia membuat perbandingan, mana yang lebih aneh, kakek ini ataukan dua orang kakek yang saling hantam di tepi laut itu.

“Di dunia ini sungguh banyak sekali orang-orang aneh. Dia ini tentu juga miring otaknya!” katanya dan karena kata-kata ini tanpa disengaja diucapkan keras-keras, maka didengar oleh Tauw-cai-houw.

“Apa katamu? Kau berani memaki aku gila?”

“Kalau kau tidak gila, mengapa kau menangkapku dan membawaku ke sini? Kemudian kau juga memaksaku makan buah yang pahit dan tidak enak, perbuatan ini kalau tidak dilakukan oleh seorang gila, habis oleh siapa lagi!” Kwan Cu membantah berani.

“Benar, benar! Kau adalah sin-tong (anak ajaib), jika tidak demikian tak nanti kau berani mengeluarkan ucapan-ucapan seperti itu! Ha-ha-ha, ingin kudengar apa lagi yang akan kau katakan sesudah kau kupanggang di atas api itu!” dia menuding ke arah api unggun yang sudah menyala besar.

“Celaka, memang kau benar-benar gila!” Kwan Cu menarik napas panjang.

Sambil tertawa dengan suaranya yang serak, Tauw-cai-houw lalu menubruk dan dalam sekejap mata saja kedua tangan Kwan Cu telah ditelikung ke belakang dan diikat dengan tambang kulit pohon. Ia seperti seekor babi kecil yang sudah diikat keempat kakinya dan hendak dipanggang hidup-hidup. Kemudian, lebihan tambang pengikat tangan Kwan Cu yang masih panjang itu, oleh kakek itu diikatkan di atas cabang pohon, tepat di atas api yang bernyala-nyala!

Bila anak lain yang dipanggang seperti itu, tentu akan menjerit-jerit, akan tetapi Kwan Cu lain lagi wataknya. Anak ini benar-benar berhati baja dan walau pun dia sudah mulai merasakan hawa panas menyambarnya dari bawah, dia tetap menggigit bibir tidak mau menangis atau berteriak.

“Benar-benar sin-tong! Sin-tong!”

Melihat hal ini Tauw-cai-houw menjadi makin girang. Akan tetapi tiba-tiba dia menjadi pucat dan memaki-maki api di bawah tubuh Kwan Cu yang mengeluarkan suara…

“Ces, ces!” lalu padam!

Apa yang terjadi? Tadi sehabis dijejali buah ular yang masam dan pahit, Kwan Cu ingin sekali membuang air kecil. Akan tetapi karena dia tak sempat dan telah diikat tangannya, tentu saja dia tidak dapat membuang air kecil. Kini setelah digantung di atas, rasa panas membuat dia tak dapat menahan lagi, dan kencinglah dia begitu saja. Sungguh kebetulan sekali, air kencing yang banyak itu menimpa api unggun sehingga memadamkan api itu karena kayu bakarnya menjadi basah semua!

Kwan Cu berotak cerdik. Kini dia dapat menduga bahwa kakek gila di bawah ini adalah seorang pemakan daging anak-anak! Diam-diam dia bergidik juga, akan tetapi dia tidak takut! Agaknya sesudah terlepas dari bahaya maut di tengah samudera, perasaan takut anak ini memang telah lenyap.

“Lopek, apakah kau tidak mendengar suara tengkorak-tengkorak itu bicara?” tanya Kwan Cu kepada Tauw-cai-houw yang sedang mengumpulkan kembali kayu bakar yang kering sambil mengomel panjang pendek.

Mendengar ini, Tauw-cai-houw menjadi terkejut sekali.

“Bohong! Bocah nakal, mana ada tengkorak bicara? Tutup mulutmu, kau sudah kenyang, akan tetapi aku sudah lapar sekali!”

“Siapa yang membohong? Aku mendengar dengan jelas tengkorak-tengkorak di bawah itu berkata-kata.”

Kini Tauw-cai-houw menghentikan pekerjaannya dan dia memandang ke atas di mana Kwan Cu tergantung dengan muka di bawah.

Kwan Cu mengeluarkan suara mengejek. “Mana kau dapat mendengarnya? Aku adalah seorang anak sin-tong (anak ajaib), ingatkah kau?”

Wajah Saikong itu berubah, sedikit pucat. “Apa kata mereka?” tanyanya, suaranya tidak begitu keras seperti tadi.

“Turunkanlah dulu aku dari sini, nanti kuceritakan apa yang kudengar tentang mereka,“ kata Kwan Cu.

Memang otak Tauw-cai-houw tak begitu beres, maka mendengar ini, dia lalu cepat-cepat menurunkan Kwan Cu.

“Lepaskan dulu ikatan tanganku. Ikatanmu kuat sekali sehingga kau membikin tanganku sakit,” kata pula anak ini, suaranya tetap tenang seperti tidak terjadi sesuatu yang hebat dan yang mengancam nyawanya.

Mendengar ini Tauw-cai-houw ragu-ragu, akan tetapi dia lalu menggerutu, “Dibuka juga apa kau kira bisa pergi lari?” dia lalu membuka ikatan kedua tangan Kwan Cu.

Anak ini menggosok-gosok kedua pergelangan tangannya yang terasa sakit dan kulitnya kelihatan matang biru.

“Hayo lekas ceritakan, apa yang kau dengar dari tengkorak-tengkorak itu?”

Kwan Cu melirik ke kanan kiri dan diam-diam dia merasa seram melihat rangka manusia ini. Selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, oleh karena itu diam-diam dia merasa betapa kepalanya yang gundul itu menjadi dingin sekali.

Tanpa disengaja dia meraba kepalanya. Dan setelah meraba, dia mengeluarkan seruan tertahan. Ternyata bahwa kepalanya kini menjadi pelontos dan licin sekali, semua rambut yang tadinya masih ada sedikit-sedikit telah lenyap sama sekali, menjadi licin!

Melihat air muka anak itu terkejut dan terheran-heran, Tauw-cai-houw tertawa bergelak. “Rambutmu, baik yang di kepala mau pun yang di tubuh, telah rontok semua oleh daya coa-ko (buah ular) tadi. Apa kau kira aku doyan makan daging berbulu dan berambut?”

Kwan Cu mendongkol sekali. Jadi buah yang pahit tadi gunanya untuk membikin rambut dan bulu-bulunya rontok sehingga dia bagaikan seekor ayam yang dicabut bulu-bulunya sebelum dimasak? Terlalu sekali!

“Nah, hayo ceritakan, tengkorak-tengkorak itu berkata apa?” Tauw-cai-houw berkata tak sabar lagi.

“Mereka saling bercaka-cakap membicarakan kau,” Kwan Cu mulai memberi keterangan. “Katanya bahwa hari ini adalah hari kematianmu, karena sebagai seorang anak sin-tong, dagingku panas dan sumsumku beracun, sehingga begitu kau memakan aku, kau pasti akan mampus!”

Sekarang Tauw-cai-houw betul-betul menjadi pucat dan tanpa terasa lagi dia melangkah mundur sampai tiga tindak. Dia memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak, dan diam saja pada saat melihat anak itu berjalan pergi sambil berkata, “Karena itu demi keselamatanmu sendiri, jangan kau makan aku!”

Kwan Cu berjalan pergi dan dia tidak berani menengok lagi. Hatinya berdebar karena dia tidak mendengar orang itu mengejar. Benar-benarkah dia dapat mengakalinya demikian mudah?

Akan tetapi, tiba-tiba dia mendengar angin menyambar dan tahu-tahu dia telah ditangkap lagi! Seperti tadi, dua tangannya telah diikat kembali dan Tauw-cai-houw berkata dengan suara mengancam,

“Sin-tong, betapa pun juga, tetap saja kau akan kupanggang! Kau kira aku akan begitu bodoh? Aku akan mengambil sekerat dagingmu dan sedikit sumsummu, lalu kuberikan kepada harimau lebih dulu! Kalau harimau yang makan dagingmu dan sumsummu tidak mati, kenapa aku harus jeri makan kau?” Sambil tertawa terbahak-bahak Tauw-cai-houw membawa kembali Kwan Cu ke tempat tadi.

Kali ini Kwan Cu betul-betul putus harapan. Akan tetapi, anak ini tetap tak mau menangis atau menjerit minta tolong. Ia menghadapi dengan mata terbuka, bahkan matanya makin besar cahayanya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih, dibarengi bentakan nyaring.

“Siluman jahat, lepaskan anak itu!” Bentakan ini dibarengi menyambarnya pedang yang bercahaya ke arah dada saikong itu.

Tauw-cai-houw kaget sekali karena gerakan serangan pedang ini bukan main cepatnya. Ia pun terpaksa melepaskan tubuh Kwan Cu yang jatuh membelakang.

Kwan Cu merasa jidatnya sakit terbentur batu, akan tetapi anak ini tidak mengeluh dan cepat-cepat miringkan kepala untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata olehnya bahwa yang menyerang penculik itu adalah seorang wanita baju putih yang cantik sekali.

Ketika penyerang yang bukan lain adalah Thio Loan Eng ini menemukan jejak penculik yang membawa lari anak kecil, dia kemudian menyusul terus sampai ke dalam hutan dan kebetulan sekali dia melihat Tauw-cai-houw hendak memegang seorang anak kecil. Dia terkejut sekali ketika mengenal saikong ini, juga berbareng marah sekali, maka langsung ia lalu menyerangnya dengan tusukan Sin-liong Jut-tong (Naga Sakti Keluar Goa).

Tauw-cai-houw adalah seorang yang tinggi ilmu silatnya, maka biar pun diserang dengan tiba-tiba secara hebat ini, masih dapat dia melepaskan Kwan Cu. Kemudian sekali saja tangannya bergerak, dia telah mencabut sebatang golok yang amat besar dan tajam.

“Bangsat kecil, siapa kau berani sekali menyerangku?!” bentak Tauw-cai-houw sambil memalangkan goloknya di depan dada dengan sikap mengancam.

Loan Eng berdiri tegak sambil menudingkan pedangnya kepada Tauw-cai-houw.

“Siluman keji! Telah lama nonamu mendengar tentang kejahatanmu dan kebetulan sekali kita bertemu di sini. Inilah tandanya bahwa riwayat Tauw-cai-houw akan segera tamat. Orang jahat, kau telah kehilangan anakmu sendiri, mengapa kau sekarang berlaku kejam terhadap anak-anak orang lain? Apakah kau sudah tidak memiliki perasaan lagi sehingga kau membuat anak-anak menjadi seperti ini?” Dengan tangan kiri Loan Eng menunjuk ke arah tengkorak-tengkorak yang menggeletak di kanan kiri Kwan Cu.

Sejak tadi Tauw-cai-houw berdiri bengong dan takjub. Belum pernah dia melihat seorang wanita yang dalam pandangan matanya sedemikian cantik jelitanya, yang mengingatkan dia kepada istrinya dulu! Kemudian mendengarkan ucapan Loan Eng dia seperti tersadar dan untuk beberapa lama dia tak dapat berkata-kata!

“Tauw-cai-houw, bersedialah untuk mampus!” Loan Eng membentak ketika melihat orang itu hanya berdiri memandangnya dengan mata terbelalak kagum.

Dengan seruan ini, wanita perkasa itu kembali menyerang dengan pedangnya dan kali ini dia menggerakkan pedangnya secara lihai bukan main. Inilah ilmu pedang keturunan dari keluarganya dan meski pun Tauw-cai-houw amat lihai, namun dia segera menjadi repot sekali menghadapi serangan pedang ini.

“Nona, tahan, Nona... aku tak dapat melawanmu...”

Loan Eng membelalakkan matanya yang bagus. Dia merasa sangat heran mendengar suara lawannya dan ketika ia memandang, ternyata bahwa saikong yang bertubuh besar dan bermuka seperti harimau itu telah menangis tersedu-sedu!

“Nona, jangan serang aku... apa bila kau kehendaki aku akan melepaskan anak ini, aku akan melakukan apa saja yang kau kehendaki, akan tetapi... jangan kau tinggalkan aku selamanya...”

Loan Eng sudah mendengar tentang Tauw-cai-houw, dan sudah mendengar pula tentang riwayat orang aneh ini, juga tahu bahwa orang ini otaknya miring. Akan tetapi mendengar kata-kata permintaan itu, mau tidak mau ia merasa jengah dan merahlah mukanya.

“Keparat!” serunya marah.

Pedangnya membacok lagi dengan gerak tipu Batu Karang Menimpa Jurang. Bacokan ini hebat sekali dan demikian cepatnya sehingga tak mungkin bisa dielakkan pula. Terpaksa Tauw-cai-houw menangkis dengan goloknya.

“Traaang...!” Bunga-bunga api berpijar dan Loan Eng merasa tangannya tergetar hebat.

“Nona, jangan serang aku… jangan tinggalkan aku…” berkali-kali Tauw-cai-houw berkata dengan suara penuh permohonan.

Akan tetapi Loan Eng menjadi makin penasaran dan sangat marah. Ia menyerang terus bertubi-tubi dan lawannya hanya menangkis atau mengelak cepat, sama sekali tidak mau membalas, hanya minta-minta dengan suara pilu.

Sesungguhnya, Loan Eng sendiri merasa bahwa kepandaian saikong ini masih lebih lihai dari padanya. Kalau Tauw-cai-houw membalas, tentu wanita perkasa ini akan terdesak. Akan tetapi, saikong itu tak mau membalas sedikit pun juga dan betapa pun lihainya, ilmu pedang yang dimainkan oleh Loan Eng merupakan ilmu pedang yang amat baik dan juga kepandaian Loan Eng sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Maka bagaimana dia dapat mempertahankan diri terus tanpa membalas?

Sesudah melakukan perlawanan selama lima puluh jurus lebih, akhirnya sebuah bacokan pedang Loan Eng menyerempet lengan kanannya sehingga ada segumpal daging dekat sikunya terbabat pedang dan goloknya lepas dari pegangan.

“Aduh, nona... jangan lukai aku...” Saikong itu berseru.

Akan tetapi Loan Eng mendesak terus dan…

“Cep! Cep!” dua kali ujung pedangnya berhasil menusuk pundak dan paha lawannya.

Tauw-cai-houw mengaduh-aduh dan terhuyung-huyung mundur. “Nona... Nona… jangan lukai aku...” Dia masih terus berseru dan mengangkat kedua tangannya ke atas sambil memandang kepada Loan Eng dengan sinar mata mengasih.

Diam-diam Loan Eng merasa kasihan juga terhadap orang ini. Akan tetapi mengingat semua kejahatan-kejahatannya yang sudah melampaui batas prikemanusiaan, Loan Eng menggigit bibirnya yang merah lalu melompat maju dengan sebuah tusukan hebat sekali.

“Aduh, istriku... mengapa kau berhati sekejam itu?” Tauw-cai-houw menjerit dan setelah memanggil-manggil istrinya, tubuhnya berkelojotan.

Tak lama kemudian dia menghembuskan nafas terakhir. Dadanya sudah tertembus oleh pedang Loan Eng yang cepat membersihkan pedangnya dan sekali tebas saja dia telah memutuskan tali yang mengikat kedua tangan Kwan Cu.

Loan Eng mengira bahwa anak ini akan berlutut menghaturkan terima kasih kepadanya, akan tetapi dia kecelik besar. Kwan Cu bahkan berdiri tegak di depannya dengan sinar mata bernyala-nyala, kemudian mencela, “Kau kejam sekali!”

Loan Eng benar-benar tertegun .

“Apa? Aku kejam? Kalau aku kejam, habis bagaimana kau menganggap dia itu?” Dengan pedangnya ia menunjuk ke arah mayat Tauw-cai-houw.

“Dia? Dia jahat.” Jawab Kwan Cu tanpa ragu-ragu lagi.

“Hemm, anak bodoh. Kalau aku tidak berlaku seperti yang kau sebut kejam tadi, apa kau kira sekarang kau masih dapat bernafas lagi? Mungkin kau sudah masuk dan berada di dalam perutnya yang gendut itu.”

“Akan tetapi tidak perlu dibunuh,” bantah Kwan Cu.

Mendengar kata-kata ini, diam-diam Loan Eng menjadi heran. Ia tadi telah merasa heran kenapa anak ini tidak pernah mengeluh atau menangis. Tadinya ia mengira bahwa anak ini tentu ditotok jalan darah bagian Ah-hiat sehingga membuatnya menjadi gagu, akan tetapi ternyata anak ini tidak apa-apa. Mengapa ada anak demikian bandel dan kuat?

Jidat anak itu masih berdarah bekas terbentur ketika jatuh tadi, akan tetapi sedikit pun tidak pernah mengeluh. Dan sekarang, kata-kata itu lagi. Sungguh-sungguh tidak pantas keluar dari mulut seorang anak kecil!

Dia merasa tidak seharusnya berbantah dengan seorang anak berusia lima tahun, akan tetapi anak ini lain lagi. Kata-katanya membuatnya merasa penasaran. Ia telah menolong nyawa anak ini dan apa balasannya? Celaan! Sungguh membuat penasaran dan gemas.

“Bocah ingusan! Kau tahu apa? Kau lihat rangka-rangka itu? Jika si jahat itu tak kubunuh, kau pun akan menjadi rangka, dan bukan kau saja, masih banyak anak-anak kecil akan ditangkapnya, kemudian dibunuhnya secara keji. Aku telah membunuh seorang jahat dan melenyapkan bencana demi keselamatan banyak orang anak-anak seperti engkau. Dan engkau menganggap aku kejam?”

Setelah mendengar pembelaan ini, baru agaknya Kwan Cu mau mengerti. Dia kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul sambil berkata, “Toanio, kau benar dan aku yang salah. Terima kasih banyak atas pertolonganmu tadi.”

Loan Eng mau tidak mau harus tersenyum biar pun hatinya mendongkol sekali. Alangkah mahalnya ucapan ‘terima kasih’ dari anak jembel ini. Akan tetapi diam-diam ia tertarik. Anak ini bukan anak biasa, dan cara anak ini mengaku kesalahan sendiri, benar-benar mengherankan dan mengagumkan hatinya.

“Anak, siapakah namamu?”

“Namaku Lu Kwan Cu.”

“Sebatang kara?”

Kwan Cu mengangguk sunyi.

“Tidak ada tempat tinggal?”

Kwan Cu menggeleng, juga tanpa berkata sesuatu.

Loan Eng menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Alangkah banyaknya anak-anak terlantar seperti Kwan Cu ini. Banyak sudah dia bertemu dengan anak-anak seperti ini, sebatang kara, berkeliaran menjadi pengemis, dan tak jarang mati kelaparan. Akan tetapi, belum pernah dia bertemu dengan jembel kecil seperti Kwan Cu ini. Juga wajah anak ini berbeda sekali dengan lain-lain jembel.

“Kwan Cu, maukah kau ikut dengan aku?”

“Ke mana?”

“Ke mana saja aku membawamu pergi.”

“Mengapa? Untuk apa?”

“Anak bodoh, apa kau lebih suka berkeliaran seorang diri di dunia yang penuh kejahatan ini? Baru saja kau mengalami peristiwa yang mengancam nyawamu, apakah kau tidak ingin ikut dengan aku, menjadi muridku?”

“Menjadi muridmu, Toanio? Belajar apa?”

“Benar-benar pepat pikiranmu. Tentu saja belajar ilmu silat!”

“Untuk apa belar silat?”

“Bodoh! Kalau kau memiliki kepandaian silat, apakah segala macam orang jahat seperti Tauw-cai-houw itu dapat mengganggumu?”

“Tidak, Toanio,” Anak itu menggelengkan kepalanya yang gundul. “Aku tidak suka belajar silat.”

“He? Kenapa?” Wanita cantik itu bertanya heran.

“Aku tidak mau belajar menjadi orang kejam.” Kwan Cu teringat akan dua orang aneh di pantai laut. “Ilmu silat hanya dapat dipergunakan untuk memukul orang, bahkan untuk membunuh orang. Aku tidak suka pukul orang, juga tidak suka bunuh orang!”

Mendengar filsafat kanak-kanak ini, hati nyonya itu menjadi tertegun. Betul-betul anak ini luar biasa sekali. Loan Eng bermata tajam dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia dapat pula melihat bahwa anak ini bertulang baik sekali untuk belajar silat.

“Jika aku mendapat kesempatan belajar, aku ingin belajar membaca dan menulis, bukan belajar menggerakkan senjata tajam yang mengerikan,” jawab Kwan Cu dengan suara tetap.

“Hemm, kau kira aku hanya dapat menggerakkan pedang saja? Aku pun pernah belajar ilmu surat.”

Kwan Cu sangat girang sekali. “Kalau begitu aku mau menjadi muridmu, Toanio!”

Setelah berkata demikian, serta merta anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Loan Eng yang kembali melengak, kemudian ia tertawa. Ketika Kwan Cu memandang, anak ini heran juga. Setelah tertawa nyonya ini tampak cantik sekali bagaikan matahari yang bersinar terang, sedangkan tadinya ada bayangan kemuraman di wajah manis itu, seakan-akan matahari yang tertutup mendung.

“Toanio, bolehkah teecu (murid) mengetahui namamu yang mulia?”

“Aku disebut orang Pek-cilan, namaku Thio Loan Eng.”

Kwan Cu mencatat nama ini di dalam otaknya, kemudian setelah Loan Eng mengajaknya pergi, dia mengikuti wanita perkasa ini tanpa banyak cakap lagi. Loan Eng merasa amat kasihan pada Kwan Cu, maka ia ingin menolong anak ini.

“Kau ikut aku ke rumahku didusun Tun-hang, di sana kau boleh belajar membaca dan menulis, akan tetapi kau harus membantu pekerjaan di rumah,” katanya.

Kwan Cu mengangguk-angguk. “Tentu saja, Toanio. Aku pun tidak suka bila menganggur saja.”

Diam-diam Loan Eng berpikir. Anak ini bukan anak sembarangan, pikirnya. Sudah terang anak ini punya keberanian luar biasa, juga keuletan menderita yang amat mengagumkan. Selain itu, pandangan serta pikirannya mendalam dan luas, dan ucapan belakangan ini membayangkan bahwa ia mempunyai keangkuhan pula.

“Di mana orang tuamu? Siapakah mereka?” tanyanya sambil berjalan perlahan karena kalau ia menggunakan ilmu berjalan cepat, tentu anak ini akan tertinggal jauh.

“Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa namaku adalah Lu Kwan cu, yang lain-lain aku tidak tahu sama sekali.”

Loan Eng makin merasa heran. Sungguh kasihan, mungkin semenjak kecil sudah hidup merantau seorang diri, pikirnya.

“Toanio, kenapa orang gila tadi menyebut kau sebagai istrinya? Dan mengapa ada orang makan anak kecil?” Kwan Cu bertanya.

Loan Eng lalu menceritakan keadaan Tauw-cai-houw. Ia telah mendengar riwayat orang itu dari mendiang ayahnya.

“Dia mempunyai riwayat yang amat menyedihkan. Isterinya yang masih muda dan cantik telah lari dengan laki-laki lain, meninggalkan seorang anak kecil. Kemudian dia merantau bagaikan orang gila mencari-cari isterinya, menggendong anaknya yang masih kecil itu. Pada waktu dia tiba di dalam sebuah hutan dan menurunkan anaknya dari gendongan, anaknya itu diterkam harimau! Ketika itu ia tengah mencari buah-buahan untuk anaknya, dan saat dia datang menolong ternyata sudah terlambat. Anaknya telah menjadi mangsa harimau yang kelaparan. Ia lalu mengamuk dan seperti orang gila dia membunuh seluruh harimau yang ada di dalam hutan itu. Pukulan batin ini terlampau berat baginya sehingga selain benci terhadap harimau, juga timbul iri hatinya setiap kali dia melihat anak kecil. Akhirnya, kegilaannya memuncak dan dia membunuh serta makan daging setiap anak kecil yang diculiknya. Kau masih beruntung hanya menderita luka pada jidatmu setelah tertangkap olehnya, sedikit saja aku terlambat kau pun akan akan menjadi mangsanya. Entah bagaimana, dia telah berubah seperti seekor harimau dan menganggap diri sendiri sebagai harimau yang suka makan anak kecil. Karena itu maka di kalangan kang-ouw dia dikenal sebagai Tauw-cai-houw atau Harimau Menagih Hutang, yaitu hutang nyawa anaknya!”

“Aduh kasihan sekali. Kalau begitu memang lebih baik dia mati,” kata Kwan Cu.

Akan tetapi, pada saat itu Loan Eng memandang padanya. Pendekar wanita ini teringat akan luka di jidat Kwan Cu dan kini ketika ia melirik ke arah jidat anak itu, ia menjadi heran sekali. Jidat yang tadinya matang biru dan agak terluka di tengah-tengah benjol itu, kini lukanya telah lenyap sama sekali.

“Coba aku melihat luka di jidatmu!” katanya dan cepat ia memegang kepala anak itu.

Benar-benar mengherankan sekali karena luka itu sekarang sama sekali tidak berbekas lagi. Kulit itu halus saja dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bekas terluka. Sungguh tak mungkin sekali! Menurut kebiasaan, luka dan benjol seperti itu tak akan lenyap dalam waktu satu dua hari, akan tetapi baru beberapa jam saja luka pada jidat anak ini sudah lenyap.

Melihat air muka nyonya perkasa itu terheran-heran, Kwan Cu bertanya,

“Ada apakah yang aneh pada jidatku, Toanio?”

“Kau tadi diberi makan apa oleh Tauw-ci-houw?” tanya Loan Eng tanpa mempedulikan pertanyaan Kwan Cu.

“Sebelum dia memanggangku, dia menjejalkan sebutir buah yang pahit dan masam ke dalam mulutku sehingga terpaksa aku menelannya.”

“Buah yang kulitnya bersisik seperti ular?”

Pada waktu Kwan Cu mengangguk membenarkan, Loan Eng menjadi terkejut dan girang sekali sehingga dia memegang kedua pundak Kwan Cu dengan keras. Anak itu lantas menyeringai kesakitan sehingga Loan Eng cepat melepaskan pegangannya.

“Apanya yang hebat, Toanio? Buah itu tidak enak sekali.”

“Kau tahu apa? Buah itu khasiatnya hebat bukan main. Ratusan orang kang-ouw bahkan berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan buah yang hanya terdapat di puncak Hoa-san dan yang pohonnya hanya berbuah setiap lima puluh tahun sekali ini! Kau mau tahu kehebatannya?” Loan Eng mencabut pedangnya dan secepat kilat ia menggoreskan ujung pedangnya pada lengan kiri Kwan Cu.

Anak itu terkejut, akan tetapi biar pun merasa sakit dan perih, dia tidak mengeluh, hanya memandang pada Loan Eng dengan perasaan heran. Kulit lengannya terbuka dan darah mengalir keluar. Akan tetapi hanya sebentar saja, karena darah itu segera menutup kulit dan cepat sekali mengering. Sebentar saja lenyaplah rasa sakit dan pada saat Loan Eng menggosok-gosok darah kering itu, ternyata bahwa luka pada kulitnya telah tertutup lagi, hanya ada bekas guratan yang halus sekali, hampir tidak kelihatan!

“Kau lihat, hebat bukan? Kecuali terputus uratmu, kulit dan dagingmu menjadi kebal dan biar pun dapat terluka, kau akan segera sembuh kembali. Kalau kau sudah mempelajari lweekang, bahkan kau tak akan dapat terluka oleh senjata tajam! Kau benar-benar amat beruntung, Kwan Cu!”

Sebenarnya Kwan Cu masih kurang mengerti. Akan tetapi melihat khasiat buah itu, dia mengeluarkan lidahnya saking kagumnya.

“Semua ini berkat pertolonganmu, Toanio. Kalau kau tidak datang menolong, apa artinya buah itu bagiku?”

Besar juga hati Loan Eng. Betapa pun juga, anak ini ternyata tahu akan terima kasih. “Baiknya Tauw-cai-houw telah gila. Kalau dia sendiri yang makan buah itu, apakah aku dapat menang dalam pertempuran melawan dia tadi?”

Walau pun mulutnya bilang begitu, namun di dalam hatinya Loan Eng tahu bahwa kalau saja Tauw-ci-houw tidak tertarik oleh kecantikannya dan teringat akan isterinya, ia takkan dapat menang menghadapi orang gila itu yang kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya.

“Kwan Cu, berjalan seperti ini, dalam sebulan belum tentu kita akan sampai di Tun-hang. Hayo kugendong kau!”

Kwan Cu memandang ragu. “Toanio, pakaianku kotor.”

“Habis mengapa?” Wanita perkasa itu memandang sambil tersenyum.

“Pakaianmu begitu bersih, aku takut akan mengotorkan pakaianmu saja.”

“Anak bodoh!” seru nyonya itu.

Sebelum Kwan Cu sempat menjawab, ia telah dipondong. Sebentar kemudian Kwan Cu merasa kepalanya pening karena nyonya itu berlari cepat sekali bagaikan seekor burung sedang terbang.

“Aduh cepatnya!” serunya girang setelah dia menjadi biasa dengan kelajuan ini.

“Kau mau mempelajarinya?”

“Tentu saja, Toanio. Kepandaian ini amat besar gunanya. Aku suka mempelajarinya.”

Loan Eng tetap berlari cepat dan kembali nyonya perkasa ini tersenyum. Anak ini baik sekali, cocok untuk menjadi kawan anakku, pikirnya.

“Bukankah tadi kau bilang tidak suka belajar ilmu silat?”

“Ehh, apakah berlari cepat termasuk ilmu silat, Toanio? Yang aku tidak suka adalah ilmu memukul dan membunuh orang. Ilmu berlari cepat seperti ini tidak dapat melukai orang. Aku suka mempelajarinya!”

Dengan berlari cepat sekali, dalam beberapa hari saja Loan Eng sudah sampai di dusun Tun-hang, sebuah dusun kecil di kaki gunung Fu-niu akan tetapi mempunyai daerah dan tanah yang subur sekali. Kehidupan penduduk di situ hanya bercocok tanam, akan tetapi meski pun hidupnya sangat sederhana, namun mereka cukup makan dan sehat, bahkan boleh dibilang makmur.

Rumah keluarga Thio cukup terkenal, karena selain rumah ini paling besar di antara semua rumah di Tun-hang, juga siapakah yang tidak mengenal Bun-pangcu, mendiang suami Loan Eng?

Dahulu Loan Eng tinggal di situ dengan ayahnya dan kemudian setelah ia menikah dan ayahnya sudah meninggal dunia, ia tinggal bersama dengan suaminya, seorang gagah perkasa bernama Bun Liok Si, ketua dari Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti) yang berpusat di kota Cin-an.

Sin-to-pang terkenal sebagai perkumpulan orang gagah, dan seperti dapat diduga dari nama perkumpulannya, perkumpulan ini terkenal karena ilmu goloknya yang lihai. Tentu ilmu golok yang amat hebat. Setelah Bun Liok Si menikah dengan Thio Loan Eng, nama perkumpulan ini menjadi semakin terkenal karena Loan Eng merupakan seorang tokoh yang diindahkan dari dunia kang-ouw.

Pernikahan itu amat berbahagia dan Loan Eng beserta suaminya dikaruniai seorang putri yang mungil dan yang diberi nama Bun Sui Ceng. Akan tetapi ketika Sui Ceng berusia tiga tahun, terjadi peristiwa yang hebat sekali.

Untuk mengurus perkumpulannya yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, Bun Liok Si sering kali pergi ke kota Cin-an. Akhir-akhir ini makin sering Liok Si pergi ke Cin-an dan semakin lama saja dia berada di kota itu meninggalkan anak isterinya. Loan Eng tidak bercuriga, karena sebagai seorang isteri yang bijaksana, ia mencintai dan juga percaya penuh kepada suaminya.

Akan tetapi, di antara pembantu-pembantu suaminya, terdapat seorang pemuda yang diam-diam menaruh hati cinta pada Loan Eng yang cantik jelita. Pada suatu hari, pemuda ini menjumpai Loan Eng dan menceritakan bahwa kini Bun Liok Si mempunyai seorang kekasih di kota Cin-an, dan bahwa kekasihnya itu telah dijadikan isteri kedua. Karena itulah maka Bun Liok Si jarang sekali pulang ke dusun dan betah sekali tinggal di Cin-an.

Thio Loan Eng adalah seorang wanita yang berhati keras sekali, persis seperti mendiang ayahnya. Ia mencinta dan percaya pada suaminya, akan tetapi kalau dipermainkan, dia menjadi seorang iblis wanita!

Dengan marah sekali ia lalu membawa pedangnya dan menyusul ke Cin-an. Benar saja, ia lalu mendapatkan suaminya berada dalam rumah seorang nona cantik yang menjadi penyanyi terkenal di kota itu. Meluaplah kemarahannya dan dia membunuh perempuan itu. Juga ia menyerang suaminya kalang kabut dengan pedangnya.

Bun Liok Si merasa bersalah dan minta ampun, akan tetapi Loan Eng tidak mau memberi ampun dan meyerang terus. Kalau saja Bun Liok Si mau melawan dengan goloknya yang lihai, agaknya isterinya tak akan menang. Akan tetapi pada waktu itu, Bun Liok Si yang sudah merasa bersalah itu berlaku mengalah dan tidak mau membalas.

Ilmu pedang Loan Eng cepat dan ganas sekali, maka akhirnya pedang di tangan nyonya muda yang marah besar ini menembus dada suaminya sendiri! Di dalam saat terakhir Bun Liok Si masih memaafkan isterinya dan berpesan supaya isterinya itu merawat Sui Ceng baik-baik!

Sesudah melihat suaminya menggeletak tak bernyawa di depan kakinya, barulah Loan Eng merasa menyesal sekali. Ia lalu mendengar bahwa memang sudah lama suaminya itu dibujuk-bujuk dan dirayu-rayu oleh nona penyanyi ini. Ketika ia menyelidiki, ternyata bahwa nona penyanyi ini sudah bersekutu dengan pemuda yang melaporkan kepadanya tentang ketidak setiaan suaminya!

Loan Eng menjadi sadar. Pada hari itu juga ia mencari pemuda yang menjadi pembantu suaminya dan tanpa ampun lagi ia membunuh pemuda ini!

Perkumpulan Sin-to-pang menjadi gempar, tetapi tak ada seorang pun berani menentang Loan Eng atau Pek-cilan yang ilmu pedangnya hebat itu. Bun Liok Si sangat dicinta oleh semua anggotanya, maka para anak buah Sin-to-pang menaruh dendam pada Loan Eng, sungguh pun mereka tidak berani menyatakan secara berterang. Loan Eng juga tak mau peduli lagi akan perkumpulan mendiang suaminya, dan ia hidup berdua dengan puterinya di rumah besar warisan orang tuanya sendiri di dusun Tun-hang.

Pada saat Loan Eng yang memondong Kwan Cu tiba dipinggir dusun Tun-hang, tiba-tiba dia menghentikan larinya ketika melihat tiga orang laki-laki yang kepalanya diikat sapu tangan putih berdiri di pinggir jalan dan memandangnya dengan tajam.

“Mengapa kalian memandang saja kepadaku?” tanya nyonya cantik ini dengan ketus.

Tiga orang itu berubah air mukanya dan mereka cepat memberi hormat sambil menjura.

“Tidak, Thio-toanio, kami tidak bermaksud apa-apa, hanya merasa heran melihat toanio menggendong seorang anak laki-laki yang tidak kami kenal,” berkata seorang di antara mereka.

“Bukan urusanmu, jangan ambil pusing! Ehh, siapakah sekarang yang menjadi pangcu (ketua) dari Sin-to-pang?” tiba-tiba ia bertanya.

“Belum ada, Toanio, dan kebetulan sekali Toanio bertanya tentang hal ini. Sesungguhnya kami bertiga untuk sementara ini mengurus perkumpulan, sementara menunggu adanya seorang ketua. Oleh karena kita sudah membicarakan perkumpulan, biarlah kami bertiga mengulangi lagi permohonan kami pada Thio-toanio. Harap Toanio sudi mengingat akan usaha dan jerih payah Bun-pangcu dan suka memimpin perkumpulan kami yang...”

“Cukup! Aku sampai bosan mendengarkannya. Berapa kali sudah kukatakan bahwa aku tak peduli lagi dengan perkumpulan busuk itu? Perkumpulan yang hanya mengutamakan nafsu dan pelanggaran susila?”

“Toanio terlalu tidak adil!” Salah seorang di antara mereka berseru. “Hanya seorang yang melanggar, akan tetapi Toanio mengutuk kami semua. Apa kematian Bun-pangcu masih belum cukup merupakan tebusan dosa? Apakah...?”

Belum habis orang itu berbicara, tangan Loan Eng menyambar dan terdengar orang itu berseru kesakitan, lantas tubuhnya terlempar ke belakang sampai lima langkah. Ternyata bahwa tangan Loan Eng tadi sudah memukul pundaknya sehingga sambungan tulang pundaknya terlepas!

Loan Eng lalu memandang dengan mata penuh ancaman. “Semoga sedikit hajaran ini membikin kalian kapok dan tidak akan mengganggu aku lagi!” Setelah berkata demikian, Loan Eng melompat pergi dan sebentar saja nyonya yang keras hati ini telah masuk ke dalam dusun, langsung menuju ke rumahnya.

Kwan Cu senang tinggal di rumah keluarga Thio. Tidak saja Loan Eng sangat suka dan bersikap baik sekali padanya, juga Bun Sui Ceng, putri dari Loan Eng ternyata adalah seorang anak yang manis dan lincah.

Sui Ceng senang kepada Kwan Cu karena anak ini jauh lebih cerdik dari padanya, dan dalam banyak hal selalu Kwan Cu menjadi penasihatnya. Sui Ceng menganggap Kwan Cu sebagai kakaknya sendiri dan demikian Kwan Cu merasa mendapatkan seorang adik yang manis. Terhadap Loan Eng, Kwan Cu berlaku penuh hormat dan dia pun amat rajin membantu pekerjaan rumah sehingga nyonya janda ini amat suka padanya.

Akan tetapi, apa bila semenjak kecil Sui Ceng amat gemar belajar ilmu silat, sebaliknya Kwan Cu tidak pernah mau belajar ilmu pukulan, dan lebih tekun mempelajari ilmu surat dan juga ilmu ginkang! Sebentar saja Kwan Cu sudah memiliki ilmu meringankan tubuh yang mengagumkan Loan Eng.

Benar sebagaimana dugaannya, Kwan Cu amat baik bakatnya, bahkan dalam usia enam tahun anak ini sudah tahu cara-cara melatih diri dalam hal siulian atau semedhi! Di luar kesadaran anak itu sendiri, diam-diam Loan Eng melatih ginkang dan lweekang kepada Kwan Cu.

Dua tahun lewat tanpa terasa dan usia Kwan Cu sudah tujuh tahun. Di dalam waktu dua tahun itu dia sudah dapat mempelajari ilmu surat, dan kini dia sudah lancar serta pandai membaca kitab-kitab tebal, bahkan dengan lancarnya dia sanggup membaca kitab-kitab berat yang berisi ujar-ujar para nabi! Benar-benar dalam hal ini pun Loan Eng merasa terkejut dan terheran sekali atas kecerdasan otak anak yang pendiam itu.

Keluarga Thio adalah keluarga yang kaya, maka selain gedung yang besar itu, Loan Eng juga menerima warisan berupa barang-barang berharga. Akan tetapi nyonya janda ini hidup secara sederhana, hanya dibantu oleh dua orang pelayan yang sekalian bekerja sebagai pengasuh Sui Ceng. Semenjak suaminya meninggal, nyonya ini sering kali pergi merantau dan meninggalkan anaknya di dalam asuhan pelayan itu.

Pada suatu pagi Kwan Cu dan Sui Ceng bermain-main di depan rumah. Thio Loan Eng sedang pergi ke kota, membeli barang-barang keperluan yang tidak dapat dibeli di dusun mereka.

Sui Ceng sedang memamerkan kepandaian silatnya kepada Kwan Cu. Anak perempuan yang berusia lima tahun ini memang memiliki gerakan yang lincah dan gesit, karena itu Kwan Cu memandang dengan hati gembira. Di dalam pandangan Kwan Cu, Sui Ceng bergerak-gerak bagaikan orang menari-nari sehingga tak terasa pula dia bertepuk tangan memuji.

“Bagus, adik Ceng. Sayang gerakanmu kurang cepat.”

“Apa? Kurang cepat? Kwan Cu, kau tidak pernah belajar silat, lalu bagaimana kau berani lancang mengatakan kurang cepat?” Sui Ceng bertanya penasaran.

“Memang aku tak pernah belajar karena aku tidak suka dengan ilmu pukul orang, akan tetapi kalau aku melihat ibumu mengajarmu, ternyata gerakan ibumu jauh lebih cepat dari padamu. Oleh karena itu maka aku bilang gerakanmu kurang cepat.”

Sui Ceng tidak jadi marah. Jika demikian halnya kata-kata tadi bukan merupakan celaan. “Mana bisa aku dibandingkan dengan ibu? Tentu saja aku kalah cepat. Ibu adalah orang yang paling cepat gerakannya di dunia ini.”

Kwan Cu diam saja. Akan tetapi diam-diam dia berpikir bahwa jika dibandingkan dengan dua orang kakek yang dulu dilihatnya di dekat pantai, ibu anak ini kalah jauh sekali.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)