PENDEKAR SAKTI : JILID-04


Tiba-tiba Lu Thong mendapat sebuah pikiran yang bagus. Ia lantas bersuit keras sambil menunjuk ke arah kakek itu, dan tiga ekor anjing serentak menyalak kemudian menubruk ke arah pengemis tadi! Pengemis tua itu terkejut bukan main dan dengan mata terbelalak ketakutan dia melangkah mundur.

“Siauw-kongcu, tahan anjing-anjingmu! Suruh mereka mundur, lekas!”

Lu Thong tersenyum geli, “Ang-bin Sin-kai, kau adalah kakekku sendiri, siapa yang mau menakut-nakutimu? Kau bunuhlah anjing-anjing busuk itu, aku tidak akan menyesal. Aku sengaja hendak melihat kelihaianmu, Kongkong!”

“Hushh... siapa bilang aku Ang-bin Sin-kai? Aku bukan... bukan...!” akan tetapi dia segera roboh terguling karena ditubruk oleh tiga ekor anjing yang galak-galak itu!

“Siauw-kongcu, aku adalah sahabat Lu Pin. Bagaimana kau berani menghinaku? Panggil anjing-anjingmu, lekas!”

Alangkah kecewanya hati Lu Thong melihat keadaan itu. Dengan jelas sekali dia melihat betapa kakek ini amat lemah. Jika tadinya dia merasa girang, sekarang dia amat merasa amat kecewa dan marah.

“Jadi kau bukan Ang-bin Sin-kai? Itu lebih baik lagi, biar anjing-anjingku mengantar kau keluar sebagai hukuman atas kelancanganmu masuk ke sini tanpa ijin!” Dia lalu memberi aba-aba kepada anjing-anjingnya untuk menyeret kakek itu keluar dari halaman.

Sungguh kasihan sekali kakek pengemis itu. Dia hanya dapat menjaga lehernya dengan kedua tangan, karena merasa takut kalau-kalau lehernya digigit anjing-anjing yang galak itu. Tiga anjing itu menggigit lengannya, kakinya, bajunya dan mencoba untuk menyeret keluar dari situ. Akan tetapi tubuh pengemis ini tinggi dan tentu saja dia terlalu berat bagi tiga ekor anjing itu.

“Siauw-kongcu... kau kejam... kau jahat! Lu Pin tak seperti ini... lepaskan aku!” pengemis ini berteriak-teriak kesakitan dengan lengan dan kakinya telah berdarah.

Akan tetapi Lu Thong bahkan tertawa bergelak melihat kejadian yang dianggapnya lucu ini.

“Ha-ha-ha-ha! Orang macam ini kuanggap Ang-bin Sin-kai! Ha-ha-ha-ha! Merangkaklah... merangkaklah keluar! Ha-ha-ha coba kau berlomba dengan anjing-anjing itu keluar!”

Karena tidak tahan lagi digigit oleh anjing-anjing itu, pengemis tadi sambil mengeluh lalu merangkak-rangkak keluar! Dia hendak berdiri, akan tetapi tiap kali berdiri dia lalu roboh kembali karena terkaman anjing-anjing itu. Baiknya dia selalu melindungi lehernya, sebab bila mana lehernya sampai kena digigit, pasti dia akan tewas! Baru saja dia merangkak beberapa jauhnya, dia diterkam dan diseret kembali oleh tiga ekor anjing itu.

Lu Thong tertawa terkekeh-kekeh melihat permainan baru ini. Seakan-akan dia melihat seekor tikus besar sekali sedang dipermainkan oleh tiga ekor kucing yang tidak hendak membunuhnya lebih dulu sebelum puas bermain-main!

Keadaan pengemis itu makin payah. Sekarang ia tidak minta dilepaskan, bahkan ia lalu melawan dan memukul, menggigit serta menjewer anjing-anjing itu sambil memaki-maki, “Lu Pin kau manusia durhaka! Tidak ingat kau betapa dahulu kau belajar syair dari aku! Tidak ingat kau betapa dulu beberapa cawan arakku memasuki perutmu! Dan sekarang cucumu berlaku begini? Ahhh...”

Akan tetapi Lu Thong tak mau mempedulikan omongan yang dianggapnya hanya ocehan belaka dari seorang pengemis yang ingin berpura-pura menjadi sahabat kongkong-nya. Kongkong-nya, menteri Lu Pin, menteri yang mulia dan berkedudukan tinggi, belajar syair dari pengemis ini? Bah, sungguh menggelikan dan menggemaskan!

“Kau menghina kongkong dan memasuki rumah ini seperti maling. Kau patut dihukum!” katanya.

Pada saat itu, dari luar pintu gerbang berlari masuk seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun, sebaya dengan Lu Thong. Anak ini berpakaian seperti pengemis dan kepalanya gundul.

“Sungguh biadab! Kejam sekali!” anak itu datang-datang berseru marah.

Anak itu kemudian memungut batu-batu untuk disambitkan pada anjing-anjing itu.

“Bukk!” terdengar suara ketika sambitannya mengenai tubuh anjing.

Anjing itu berkuik-kuik kesakitan, lalu menjauhkan diri dari kakek pengemis. Sambitan itu cukup bertenaga dan membuat anjing itu merasa kesakitan. Akan tetapi Lu Thong yang telah melihat perbuatan ini menjadi marah sekali. Ia berseru beberapa kali dan memberi aba-aba kepada ketiga ekor anjingnya sehingga binatang-binatang ini kembali menyerbu kakek itu.

Anak jembel yang gundul itu menjadi marah. Karena sambitannya tidak dapat menolong kakek pengemis, dia lalu melompat ke arah Lu Thong dengan beberapa lompatan yang jauh sehingga Lu Thong menjadi kaget sekali.

“Orang kejam, hayo kau panggil anjing-anjingmu!” anak gundul itu membentak dan selain suaranya nyaring sekali, juga dari sepasang matanya bersinar api, sikapnya amat kereng dan berpengaruh.

Lu Thong memang mempunyai sifat pengecut. Melihat sikap anak gundul itu dan melihat lompatannya yang kuat tadi dia telah menjadi takut. Kini melihat anak gudul itu berdiri di depannya dengan sikap mengancam dan memerintah, hatinya menjadi gentar. Cepat dia memanggil ketiga ekor anjingnya yang segera meninggalkan kakek jembel tadi, berlarian menghampiri Lu Thong dengan ekor digerak-gerakkan ke kanan kiri.

Anak gundul itu lari menghampiri pengemis tua yang sudah payah, lalu menolongnya.

“Kasihan sekali kau, orang tua,” katanya menghibur sambil membantu kakek itu berdiri.

Kakek pengemis itu memandang kepada anak gundul ini dengan mata terheran, penuh kekaguman.

“Siapa kau?” tanyanya sambil meringis kesakitan karena kakinya yang penuh koreng itu kulitnya sudah banyak yang pecah-pecah tergigit anjing-anjing yang galak tadi.

“Aku? Namaku Lu Kwan Cu.”

Mendadak jembel tua itu merenggutkan tangan Kwan Cu yang memegangnya. “Jangan sentuh aku! Aku tidak sudi ditolong oleh seorang she Lu lagi!” katanya

Kwan Cu tersenyum. “Orang tua, tidak baik menilai pribadi orang dari she dan namanya! Bukankah peribahasa dahulu kala menyatakan bahwa menilai pribudi seseorang lihatlah hati dan perbuatannya, jangan melihat nama, pakaian, dan mulutnya?”

Mata kakek yang tadi memandang penuh kebencian, kini tiba-tiba memandang dengan kagum dan terbelalak lebar. “Ehh, anak siapakah kau? Murid siapa?”

Kwan Cu tersenyum. “Aku tidak tahu siapa orang tuaku, dan aku bukan murid siapa pun.”

Kakek itu tersenyum, dan ini mengherankan Kwan Cu. Bagaimana dengan tubuh penuh luka-luka itu orang ini masih dapat tersenyum? Ia lalu membantu kakek itu berdiri dan kini pengemis tua itu tidak lagi menolak bantuannya.

Bagaimana Kwan Cu tahu-tahu datang ke tempat itu? Memang, anak ini telah melakukan perjalanan jauh sekali sampai ke kota raja, tanpa ada tujuan yang tetap. Ketika dia tiba di pintu gerbang kota raja, dan ketika matanya terbelalak kagum sekali dan terheran-heran menyaksikan bangunan-bangunan yang demikian megah dan besarnya, tiba-tiba saja dia mendengar suara terkekeh-kekeh yang sudah di kenalnya.

Ia cepat menengok dan tampaklah olehnya seorang hwesio gundul yang tubuhnya bulat seperti bola berdiri di bawah pintu gerbang itu sambil memandangnya. Hwesio ini sedang makan makanan dari sebuah mangkok butut, yaitu mangkok yang biasanya dibawa oleh seorang hwesio untuk minta makanan dari siapa saja yang dijumpainya saat dia merasa lapar. Mangkok itu dipegang di tangan kiri, tangan kanannya menjumputi makanan, ada pun di bawah lengan kanannya itu terjepit sebatang tongkat hwesio yang panjang.

“Ehh, losuhu berada di sini?” tanya Kwan Cu sambil buru-buru maju menjura.

“Ha-ha-ha, Kwan Cu, kau masih ingat kepadaku?” kata hwesio itu yang bukan lain adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang dulu dijumpainya di tepi laut, hwesio yang bertempur mati-matian melawan Ang-bin Sin-kai karena memperebutkan dia!

Kak Thong Taisu kemudian melemparkan mangkoknya yang butut sehingga makanan itu tumpah di atas tanah. “Makanan busuk, diberi oleh seorang yang pelit!”

Kemudian ia memukulkan tongkatnya ke mangkok itu, dan aneh sekali! Mangkok itu tidak menjadi hancur, bahkan lalu mencelat ke atas yang segera diterima dengan tangannya, dan mangkok itu kini telah menjadi bersih seperti dicuci saja.

“Hm, orang-orang kota raja ini semuanya kaya-kaya dan pelit-pelit, menyebalkan sekali!”

“Losuhu, kalau teecu boleh bertanya, Losuhu datang dari manakah dan hendak pergi ke mana?” tanya Kwan Cu

“Pinceng datang dari belakang dan hendak menuju ke depan,” hwesio tua itu menjawab seperti orang berkelakar. “Sekarang telah bertemu dengan kau, muridku, maka aku tidak khawatir lagi akan kelaparan, karena sudah ada orang yang akan mencarikan makanan untukku!”

“Teecu bukan murid Losuhu, tetapi tentu saja teecu mau mencarikan makanan untuk Losuhu, yaitu kalau Losuhu merasa lapar.”

Kak Thong Taisu nampak amat terkejut. “Apakah kau sudah bertemu Ang-bin Sin-kai dan sudah diambil murid olehnya?”

Kwan Cu menggelengkan kepalanya. ”Tidak, teecu tidak bertemu dengan Locianpwe itu. Akan tetapi seandainya bertemu, teecu juga tidak akan menjadi muridnya.”

“Ha-ha-ha-ha, kepalamu yang gundul itu keras juga kiranya!” Setelah berkata demikian, dengan tongkatnya Kak Thong Taisu mengemplang kepala Kwan Cu.

“Plakk!” ujung tongkat itu mengenai kepala yang gundul itu.

Akan tetapi biar pun ia merasa sakit sekali dan kepalanya tiba-tiba menjadi benjol, Kwan Cu tidak menaruh hati sakit atau pun marah. Dia hanya mengejapkan matanya tiga kali untuk menahan sakit. Diam-diam dia malah merasa geli mendengar kata-kata hwesio ini.

Hwesio ini sendiri mempunyai kepala yang gundul, bundar, besar, juga amat licin, akan tetapi masih memaki dirinya sebagai kepala gundul! Sungguh cocok kata-kata kuno yang menyatakan bahwa mencari keburukan orang lain sama mudahnya seperti kita mencari kerbau di ladang, sebaliknya untuk mengetahui keburukan sendiri sama sulitnya dengan mencari sebuah jarum di dalam tumpukan rumput kering!

“Bagaimana, apakah kau masih tidak mau menjadi muridku?”

Kwan Cu menggeleng kepala dan dia teringat akan pengalaman-pengalamannya selama ini. Dia menarik kesimpulan bahwa hanya orang-orang ahli silat yang selalu menimbulkan keributan dan kerusuhan, serang-menyerang atau bunuh-membunuh.

“Mengapa kau tidak mau menjadi muridku? Hayo jawab dan beri penjelasan yang betul, bila tidak akan kuketok kepalamu sampai pecah!” Hwesio gemuk itu nampak tidak sabar dan mendongkol sekali. Orang-orang muda sedunia akan berebut menjadi muridnya, dan anak gundul jembel ini, dia bahkan menampik!

“Mengapa?” Kwan Cu mengerutkan kening, mengingat-ingat lalu berkata dengan suara tetap, “Karena teecu teringat akan peribahasa kuno yang menyatakan bahwa, binatang menggunakan kekerasan karena dia tidak berakal, maka seorang manusia lebih rendah dari pada binatang apa bila dia melakukan kekerasan. Nah, oleh karena itu, teecu tidak suka belajar ilmu silat, Losuhu. Teecu anggap peribahasa itu tepat sekali. Binatang yang tidak berakal, mempergunakan kekerasan tanpa kesadaran, sebaliknya kalau manusia melakukan kekerasan, dia sadar sepenuhnya kalau kelakuannya itu salah dan jahat!”

Hwesio itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak lebar, lalu dia memandang ke atas sambil tertawa bergelak-gelak. Suara ketawa ini keras dan hebat sekali sehingga Kwan Cu merasa tanah yang diinjaknya sampai tergetar akibat gema suara tertawa itu.

Ada pun orang-orang yang lewat di situ, menjadi kaget sekali, akan tetapi ketika mereka memandang dan mencoba mendekati, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu lantas memandang kepada mereka dengan mata dipelototkan. Mereka menjadi sangat ketakutan dan pergi lagi cepat-cepat!

“Ha-ha-ha! Lucu, lucu, lucu! Ehhh, Kwan Cu, kata-katamu itu membuat mataku melihat seekor lembu yang baru lahir menyusui seekor lembu tua yang menjadi neneknya!”

“Mana, Losuhu?” tanya Kwan Cu yang merasa heran. “Mana ada anak lembu yang baru terlahir dapat menyusui lembu lain, neneknya pula?”

Hwesio itu menudingkan jarinya kepada Kwan Cu. “Kaulah anak lembu itu! Kau hendak memberi pelajaran kepadaku tentang filsafat, bukankah itu sama saja dengan seekor anak lembu hendak menyusui neneknya? Ha-ha-ha, kau tahu satu tidak tahu lima, tahu lima tidak tahu sepuluh! Kwan Cu, tidak ada sesuatu di permukaan bumi ini yang memiliki sifat tunggal, semua tentu memiliki dua sifat yang bertentangan, dua sifat yang bagi kita manusia biasa disebut menguntungkan dan merugikan! Apakah kau pernah mendengar orang mengeluh karena hari sedang hujan yang lain mengeluh karena tidak ada hujan? Pernahkah kau mendengar munculnya matahari disambut dengan senyum oleh seorang akan tetapi sebaliknya disambut dengan muka cemberut oleh orang lainnya? Semua hal mempunyai dua sifat, tergantung pada yang menghadapinya. Kekerasan tak terkecuali, memiliki dua sifat menguntungkan dan merugikan. Hee, anak gundul goblok, tahukah kau sekarang bahwa belum tentu kekerasan itu salah dan jahat seperti anggapanmu tadi?”

Kwan Cu mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali karena memang dia suka akan filsafat-filsafat kebatinan. Dia sudah terlalu banyak membaca buku kuno dan semenjak belajar membaca, otaknya sudah dijejali oleh segala macam filsafat ini.

“Benar-benarkah semua hal di dunia ini mempunyai dua sifat baik dan buruk, Losuhu?”

Hwesio itu mengangguk-anggukkan kepalanya yang bundar. “Tentu! Coba kau sebutkan sesuatu sebagai contoh.”

Kwan Cu menengok ke sana ke mari, dan tiba-tiba dia menunjukkan telunjuk ke arah tahi kuda yang bertumpuk di pinggir jalan. “Apakah barang kotor itu juga memiliki sifat baik? Teecu menganggapnya kotor dan hanya merugikan saja, mengotori jalan, menimbulkan bau tak sedap dan menjijikkan kalau di pandang.”

“Anak bodoh, itu karena kau memandangnya dari segi yang merugikan saja. Tahukah kau bahwa keluarnya benda itu dari perut kuda mendatangkan dua macam keuntungan? Pertama, keuntungan bagi si kuda sendiri karena kalau tidak bisa keluar perutnya akan kembung dan dia akan mati! Kedua, tahi kuda itu kalau sudah meresap ke dalam tanah akan menjadi pupuk yang amat baik dan menyuburkan tanah. Bukankah itu keuntungan-keuntungan belaka dan termasuk sifat-sifat baik?”

Kwan Cu melengak dan terpaksa dia tersenyum geli. Sepasang matanya yang lebar dan bersinar-sinar itu bergerak ke kanan kiri, menandakan bahwa otaknya yang cerdik tengah bekerja keras. Dia mencari akal untuk mengalahkan hwesio gemuk ini dengan pendirian yang aneh itu.

“Losuhu, ada satu hal lagi. Apakah kejahatan juga mempunyai sifat baik?”

Sekarang Kak Thong Taisu yang melengak. Dia merasa seperti dadanya di todong oleh senjatanya sendiri. Senjata makan tuan! Akan tetapi hwesio ini adalah seorang manusia yang sudah matang luar dalam, tentu saja tidak mau kalah. Sambil menggerak-gerakkan kedua matanya yang seperti kelereng itu, dia berkata,

“Tentu saja bocah tolol! Kalau saja tidak ada kejahatan di dunia ini, mana mungkin ada kebaikan? Siapa mau bicara kebaikan bila tidak ada kejahatan? Siapa bisa mengatakan baik kalau tidak ada buruk dan mana di dunia ini ada orang berbudi kalau tidak ada orang jahat? Kejahatan merupakan imbangan dari pada kebajikan seperti Im (positif) menjadi imbangan dari pada Yang (negatif), kalau salah satu tidak ada mana mungkin dunia bisa berputar dan matahari bisa terbit dan tenggelam?”

Filsafat ini terlalu berat bagi otak Kwan Cu yang masih kecil, maka untuk beberapa lama dia bengong saja.

Sebaliknya setelah berkata demikian Kak Thong Taisu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, anak bodoh, anak tolol!”

“Losuhu,” Kwan Cu mendapatkan bahan pula pada saat mendengar makian ini. “Apakah kebodohan juga mempunyai sifat baik?’

“Tentu saja, jika tidak bodoh dulu, mana bisa menjadi pintar? Tanpa adanya kebodohan, mana manusia mengenal kepintaran?”

Dibalik seperti ini, Kwan Cu mulai dapat menangkap dan dia tertawa bergelak, menimpali suara ketawa hwesio gemuk itu sehingga dua orang ini tertawa-tawa, membikin semua orang yang lewat di situ memandang terheran-heran.

”Orang-orang miring otaknya…” demikian mereka berbisik.

“Kwan Cu, kau ini terlalu sekali. Perutku menjadi lapar karena kau mengajakku bercakap-cakap saja. Hayo cepat kau carikan makanan untukku. Makanan enak hanya terdapat di rumah-rumah para bangsawan.”

Hwesio gemuk ini mengajak Kwan Cu memasuki kota raja. Kak Thong Taisu menyuruh Kwan Cu berjalan lebih dulu dan menyuruh anak ini minta makanan dari rumah gedung bangsawan. Kwan Cu menurut dan kebetulan sekali dia memasuki halaman gedung dari pembesar Lu di mana dia melihat Lu Thong sedang menyuruh tiga ekor anjing-anjingnya mengeroyok seorang kakek pengemis itu sebagaimana telah di tuturkan di bagian depan dari cerita ini.

“Lopek, marilah kita keluar dari halaman orang kaya ini,” kata Kwan Cu sambil menolong pengemis tua yang terluka oleh gigitan-gigitan anjing tadi.

Dengan susah payah pengemis itu berdiri, dan merangkulkan lengan kirinya pada leher Kwan Cu. Kemudian terseok-seok mereka keluar dari tempat itu.

Akan tetapi, setelah kini anak gundul itu tidak berada di dekatnya lagi, Lu Thong timbul keberaniannya. Dia berseru keras dan tiga ekor anjing itu kembali menyalak-nyalak dan menyerbu Kwan Cu dan pengemis tua yang sedang berjalan terpincang-pincang hendak keluar!

Kwan Cu tidak berdaya karena dia sedang menggandeng kakek itu keluar. Pengemis itu demikian lemah sehingga kalau dia di lepaskan pegangannya, tentu orang tua itu akan roboh! Sebaliknya pengemis tua itu tak mempedulikan sama sekali tiga ekor anjing yang menggonggong-gonggong dan mengurungnya. Wajah pengemis tua ini menjadi terang berseri dan dia bahkan bernyanyi dengan suara yang tinggi!

Alam hidup bukan untuk diri pribadi,
karenanya dapat kekal abadi!
Tidak seperti Lu manusia hina (siauw jin),
lupa akan asal usulnya!
Setelah hidup mewah dan kaya,
si miskin ia hina!
Mana dia akan dapat tahan lama?

Nyanyian ini terus diulang-ulanginya dan diam-diam Kwan Cu merasa kagum. Susunan kata-katanya amat indah dan dia puji kakek ini yang dapat menghubungkan ujar-ujar Lo Cu dengan kata-kata lain yang isinya menyinggung-nyinggung orang she Lu yang dia tidak tahu entah siapa! Ia masih ingat bahwa bait pertama yaitu, ‘Alam hidup bukan untuk diri pribadi, karenanya dapat kekal abadi’ merupakan ujar-ujar dari nabi Lo Cu mengenai pelajaran To.

Tiga ekor anjing itu mengejar terus. Pada saat mereka hendak menubruk dan menyerang dua orang yang keluar itu, tiba-tiba dari atas menyambar turun tubuh dengan kepalanya yang gundul kelimis.

Kak Thong Taisu telah berada di situ, tertawa bergelak sambil berkata, “Nyanyian orang edan!”

Akan tetapi biar pun dia tujukan ucapannya ini kepada kakek pengemis tadi, sebetulnya dia sama sekali tidak memperhatikan kakek pengemis dan Kwan Cu.

“Cocok betul dia dengan bocah tolol.”

Kemudian, ketika Kak Thong Taisu melihat tiga anjing yang mengejar-ngejar pengemis itu dan Kwan Cu, matanya berseri-seri.

“Ahh, anjing bagus, daging gemuk!”

Sambil berkata demikian, hwesio ini melangkah dua tindak sambil menggerakkan kedua tangannya dan tahu-tahu dia sudah dapat menangkap tiga ekor anjing itu pada ekornya! Benar-benar hebat tenaga Si Tangan Seribu Kati ini, karena dia memegang buntut tiga ekor anjing itu hanya dengan tangan kiri dan sekali lagi tangan kanannya mengayun…

“Prakk!” terdengar suara dan pecahlah kepala tiga ekor anjing itu menghantam lantai!

Lu Thong memandang peristiwa ini dengan mata terbuka lebar. Dia tidak marah melihat tiga ekor anjingnya dibunuh orang, bahkan dia lalu menghampiri hwesio itu dan berkata, “Losuhu, agaknya kau lebih hebat dari pada Ang-bin Sin-kai!”

Kak Thong Taisu membalikkan tubuh, melempar mayat tiga ekor anjing tadi, kemudian memandang pada anak itu. Ia menatap wajah Lu Thong dari kepala sampai ke kakinya, penuh perhatian dan diam-diam dia mengakui bahwa anak ini pun memiliki tulang dan bakat yang baik sekali, sungguh pun tidak sebaik Kwan Cu.

“Kau tahu apa tentang Ang-bin Sin-kai?” tanyanya.

“Dia adalah kakak dari kongkong-ku, kenapa aku tidak tahu? Dia lihai sekali, akan tetapi melihat kepandaian losuhu, kau berani bertaruh bahwa Losuhu tentu lebih lihai!”

“Hemm, jadi kau cucu dari Lu Pin?”

Lu Thong mendongkol sekali. Sudah dua kali dalam satu hari ini orang menyebut nama kakeknya begitu saja. Kakeknya Lu Pin adalah seorang menteri, bagaimana ada seorang pengemis tua dan seorang hwesio menyebut namanya begitu saja. Akan tetapi kali ini Lu Thong tidak mau memperlihatkan muka marah. Ia cerdik sekali dan dia ingin belajar ilmu silat, maka dia lalu menjura dan berkata,

“Betul sekali, Losuhu. Teecu yang rendah dan bodoh adalah cucu dari orang tua itu. Tapi sayang sekali… teecu bernasib buruk .”

Hwesio ini mengangkat alis dan memandang penuh perhatian, ”Apa katamu? Bernasib buruk sesudah kau mengenakan pakaian demikian indahnya, tinggal di gedung demikian mewahnya?”

Mendengar ini, tiba-tiba Lu Thong menangis, menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu dan merenggutkan hiasan rambut serta pakaiannya sehingga sobek-sobek. “Buat apa semua kemewahan ini, Losuhu? Teecu ingin sekali belajar ilmu silat yang tinggi.”

“Kau masih cucu Ang-bin Sin-kai, apa susahnya untuk memenuhi keinginan itu?”

“Losuhu, inilah yang membuat hati teecu selalu tidak senang. Ang-bin Sin-kai tidak mau mengajar silat kepada teecu!”

Diam-diam Kak Thong Taisu berpikir. Anak ini cukup cerdik dan berbakat baik, dia telah dikecewakan oleh Kwan Cu yang tidak mau menjadi muridnya, sekarang ada anak ini yang ditolak oleh Ang-bin Sin-kai! Mengapa dia tidak mau mengambilnya sebagai murid? Hendak dia lihat bagaimana Ang-bin Sin-kai kelak apa bila melihat keturunannya belajar ilmu silat dari padanya!

“Ehh, anak, siapa namamu?”

“Teecu bernama Lu Thong.”

Girang hati Kak Thong Taisu, karena nama anak ini ada persamaan dengan namanya .

“Kalau aku mengajar silat kepadamu bagaimana?”

Bukan main girangnya hati Lu Thong. Serta merta dia lalu menjatuhkan diri dan berlutut di depan hwesio itu, “Suhu, teecu akan belajar dengan giat!”

“Akan tetapi kau harus ikut aku merantau, menjadi pelayanku, juga mengemis makanan untukku dan hanya boleh makan sisa makananku. Sangggupkah?”

Tentu syarat-syarat ini amat berat, bahkan terdengar sangat mengerikan di dalam telinga Lu Thong. Akan tetapi, oleh karena anak ini memang cerdik, dia tidak mau menurutkan perasaannya.

”Teecu hanya akan tunduk kepada semua perintah Suhu. Akan tetapi teecu mendengar suhu tadi memuji anjing-anjing itu sebagai daging-daging gemuk, apakah Suhu suka bila teecu menyuruh orang memasaknya?”

Berseri wajah Kak Thong Taisu. “Tentu saja, aku sampai lupa! Sangat disayangkan kalau daging-daging gemuk itu dibuang begitu saja.”

Pada saat itu, beberapa orang muncul dari dalam dan mereka ini terkejut sekali ketika melihat Lu Thong berlutut di depan seorang hwesio gemuk. Mereka adalah Lu Seng Hok dan istrinya yang diikuti oleh beberapa pelayan. Tadi Lu Thong memang telah berbohong kepada pengemis tua itu ketika dia mengatakan bahwa ayahnya tidak berada di rumah.

“Thong-ji, kau sedang apa di situ? Siapakah hwesio ini?” Lu Seng Hok bertanya kepada anaknya dengan kening di kerutkan.

“Ayah, dia ini adalah suhu-ku, bernama...” Lu Thong menengok kepada Kak Thong Taisu karena dia memang belum mengetahui nama suhu-nya.

“Kak Thong Taisu, berjuluk Jeng-kin-jiu!” hwesio itu berkata sambil tertawa dan matanya memandang kepada Seng Hok dengan sikap menggoda.

Hwesio ini memang adatnya aneh sekali. Jika orang biasa, melihat sikap kurang senang dari tuan rumah, tentu akan segera pergi. Akan tetapi dia sebaliknya. Dia malah sengaja mempermainkan tuan rumah dan pada saat itu pun dia telah mengambil keputusan untuk tinggal di gedung ini!

Ada pun Lu Seng Hok yang mendengar nama yang amat terkenal ini, diam-diam merasa makin tak senang. Nama Jeng-kin-jiu sudah amat terkenal sebagai orang yang berwatak aneh dan ditakuti orang.

“Bukankah kau ingin berguru kepada Ang-bin Sin-kai?” tanya Seng Hok karena dia tidak berani melarang begitu saja atau mengusir hwesio ini.

“Ayah, Suhu jauh lebih lihai dari pada Ang-bin Sin-kai. Lihat saja ketiga ekor anjing itu. Sekali tangkap dan sekali banting, tiga ekor anjing itu sudah mampus! Suhu ingin makan daging anjing, harap ayah menyuruh tukang masak segera memasaknya!”

Kak Thong Taisu tertawa bergelak. “Tak disangka-sangka pinceng akan berada di antara keluarga Lu Pin. Aha, bila saja Ang-bin Sin-kai melihat ini. Ha-ha-ha!” kemudian dengan langkah lebar dia mengikuti muridnya dan tuan rumah memasuki gedung yang indah itu.

Demikianlah, mulai hari itu Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tinggal di rumah Lu Seng Hok, hidup senang, setiap hari minta disediakan makanan yang paling enak. Ia juga mengajar ilmu silat kepada Lu Thong dan semakin gembira melihat betapa anak ini benar-benar berbakat baik.

Akan tetapi, orang seperti hwesio ini mana betah tinggal terus-terusan di dalam rumah? Sering kali dia pergi tanpa bilang terlebih dahulu dan datang pula tanpa memberi tahu. Kadang-kadang mengajak muridnya, kadang-kadang sendiri dan semua orang, termasuk Lu Thong yang sudah mengetahui watak luar biasa dari Kak Thong Taisu, tidak berani menegur.

Pendeknya, Kak Thong Taisu ini boleh berbuat apa saja yang ia suka di dalam rumah itu dan semenjak di situ ada Kak Thong Taisu, menteri Lu Pin tidak mau datang ke rumah puteranya. Hal ini untuk mencegah kejadian yang tidak enak oleh karena sikap hwesio ini memang sangat kasar dan tidak mau menghormat sama sekali…..

********************

Kwan Cu berjalan bersama kakek pengemis yang luka-luka dan di sepanjang jalan kakek pengemis itu masih bernyanyi-nyanyi. Kwan Cu seorang anak yang cerdik, mendengar nyanyian yang isinya memaki-maki dan mencela orang she Lu, dia tahu bahwa kakek ini tentu dibikin sakit hati oleh she Lu.

“Lopek, apakah anak bangsawan tadi she Lu?”

Kakek itu berhenti bernyanyi, kemudian memandang padanya. Akan tetapi sebelum dia menjawab, tiba-tiba kakek itu meramkan matanya. Wajahnya semenjak tadi sudah pucat dan sekarang matanya berkunang. Tubuhnya lemas dan dia lalu terkulai, pingsan dalam dekapan Kwan Cu. Ternyata bahwa kakek ini telah kehilangan banyak darah dan karena semenjak tadi dia menahan sakit dengan nyanyiannya, kini setelah ia berhenti bernyanyi, rasa sakit itu datang menyerang dirinya bagaikan gelombang besar yang menelannya!

Kwan Cu cepat menarik tubuh kakek ini dan karena anak itu diam-diam telah mempunyai tenaga besar, dengan mudah dia mengangkat dan memondong tubuh yang kurus kering ini ke pinggir jalan. Dia meletakkan tubuh pengemis tua itu di bawah pohon, lalu cepat pergi ke sebuah kedai yang ramai.

Pelayan kedai itu baik hati. Ketika Kwan Cu menceritakan keadaan pengemis tua yang sengsara, diberinya anak ini semangkok bubur hangat dan sedikit sisa arak. Kwan Cu menghaturkan terima kasih dan cepat kembali ke tempat dia meletakkan tubuh pengemis tua tadi. Setelah dia menuangkan sedikit arak ke dalam mulut kakek itu, maka pengemis tua ini siuman kembali dan dia menerima bubur yang disuapkan ke dalam mulutnya oleh Kwan Cu.

“Anak, kau baik sekali. Baru sekarang aku orang she Gui bertemu dengan seorang yang menaruh perhatian kepada lain orang yang sengsara,” katanya. Dengan bantuan Kwan Cu, dia lalu duduk bersandar kepada sebatang pohon.

Sementara itu, hari telah menjadi panas dan hawa di bawah pohon besar itu sejuk benar.

“Kita mengaso di sini dulu, ehh, siapa pula namamu tadi? Kau she Lu dan namamu?”

“Kwan Cu,” jawab anak gundul itu sambil menahan perutnya yang terasa perih saking laparnya.

“Lu Kwan Cu, nama yang cukup baik, sayang she-nya itu! Ehhh, anak, bagaimana kau sampai bisa mempunyai she Lu?” kakek itu bertanya.

“Entahlah, Gui-lopek. Aku sendiri tidak tahu kenapa namaku Lu Kwan Cu. Aku mendapat nama ini begitu saja, dan kupikir, betapa pun buruknya nama ini masih lebih baik dari pada yang tidak bernama sama sekali. Pula, apakah artinya nama? Waktu lahir manusia tidak bernama, dan kalau sudah mati, namanya lenyap pula bersama tubuhnya ke dalam tanah.”

Kakek itu membelalakkan matanya. “Ah, benar-benar ajaib! Dari mana kau mendapatkan semua pengertian itu? Kau murid siapa?”

“Bukan murid siapa-siapa, Lopek, juga bukan anak siapa-siapa. Aku tahu semua itu dari buku-buku kuno.”

“Hm, lebih aneh lagi. Seorang anak pengemis yang jembel dan miskin dapat membaca kitab...”

“Masih kalah aneh dengan seorang kakek pengemis yang ternyata ahli sastra dan syair!” kata Kwan Cu. Mereka saling pandang, lalu tertawa.

“Bagus, Kwan Cu. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan! Ketahuilah olehmu, dahulu Menteri Lu Pin yang mulia itu pernah belajar ilmu kesusastraan padaku! Pernah pula dia tinggal di rumahku dan makan dari mangkokku. Aku adalah ahli sastra, ahli bahasa kuno dan namaku Gui Tin. Gui-siucai bukanlah nama yang tak dikenal orang!”

“Sayang aku tidak mengenalnya, Lopek,” kata Kwan Cu.

Untuk sesaat kakek ini nampak kecewa dan marah akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang Kwan Cu yang mengandung kejujuran, kakek ini lalu tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya!

“Aahh, memang lebih mudah memaki orang dari pada memaki diri sendiri! Aku tidak lebih baik dari pada manusia she Lu itu. Aku masih saja di kotori oleh kesombongan dan ingin namaku dikenal oleh semua orang! Hanya kesombongan dan impian kosong belaka. Kau benar, Kwan Cu. Nama Gui-siucai memang nama kosong belaka. Apa anehnya pada diri seorang pengemis kelaparan yang dikeroyok anjing? Ha-ha-ha! Akan tetapi pertemuan kita ini bukan kebetulan saja, tentu sudah diatur oleh Thian yang maha adil! Kau cerdas dan suka dengan kesusastraan. Maukah kau mengoper pengetahuan yang memberatkan jiwaku ini?”

Kwan Cu memang cerdik, akan tetapi mendengar ucapan ini, dia masih ragu-ragu akan maksudnya. “Apa kau maksudkan bahwa kau hendak mengajarkan semua pengetahuan sastramu, Lopek?”

Gui Tin mengangguk. “Apa kataku! Kau memang cerdas dan hanya kaulah yang akan mewarisi pengetahuanku.”

Kwan Cu merasa girang sekali. Memang dia paling senang akan kesusastraan, maka mendengar ini dia berlutut di depan kakek pengemis tadi, menyatakan kesediaan untuk ‘mengoper’ semua pengetahuan dari Gui-siucai.

Gui Tin puas sekali. Sambil mengurut-urut kedua kakinya yang sakit-sakit, dia berkata, “Kwan Cu, setelah sekarang kita menjadi guru dan murid, ada baiknya kalau kau berterus terang. Siapakah sebetulnya orang tuamu dan kau datang dari mana?”

Mendengar pertanyaan ini Kwan Cu menjawab sejujurnya, ”Lopek sesungguhnya aku tak berbohong ketika aku berkata bahwa aku tak tahu siapa orang tuaku dan dari mana aku datang. Seingatku tahu-tahu aku telah berada di pantai Laut Po-hai dan melihat Ang-bin Sin-kai berkelahi dengan Kak Thong Taisu, karena mereka berdua memperebutkan aku untuk menjadi muridnya! Akan tetapi aku tidak mau menjadi murid mereka.”

Mendengar ini, Gui Tin membelakkan matanya. ”Aduh, aduh! Kalau tidak mendengar dari mulutnya sendiri, siapa yang sudi percaya? Tidak mau menjadi murid Ang-bin Sin-kai? Benar-benar aneh pernyataan ini. Akan tetapi sudahlah, kau memang seorang sin-tong (anak ajaib) dan agaknya kau akan lebih berhasil dari pada aku. Kita anggap saja bahwa kau memang sengaja diturunkan oleh Thian untuk menguras dan mengoper semua apa yang pernah kupelajari. Sekarang, kau dengarlah riwayatku agar kau tahu orang macam apa yang sekarang menjadi gurumu.”

Sampai matahari terbenam ke kaki langit sebelah barat, pengemis itu bercerita mengenai riwayat hidupnya. Dia memang seorang terpelajar yang sejak kecilnya hanya bergulung dengan kitab-kitab saja. Selain ahli sastra dan telah lulus dalam ujian kota raja sehingga berhak menyandang gelar siucai, Gui Tin ini juga tekun sekali mempelajari kitab-kitab kuno sehingga dia berhasil memecahkan segala macam tulisan-tulisan kuno yang tidak dapat di baca oleh para sastrawan lain!

Ketika dia masih muda, banyak sekali kaum sastrawan datang padanya untuk menerima wejangan-wejangan atau menghisap sedikit ilmu sehingga tidak ada orang yang tidak mengenal Gui Tin yang disebut Gui-siucai. Akan tetapi, watak dari Gui Tin amat aneh.

Ia benci akan kedudukan dan pangkat. Karena itu, ketika kaisar yang mendengar akan kepandaiannya memanggilnya untuk diberi kedudukan tinggi, Gui Tin menolaknya secara keras! Tentu saja kaisar merasa tersinggung dan terhina, lalu menitahkan pasukan untuk menangkap Gui Tin!

Akan tetapi, para pembesar yang merasa sangat kagum kepada sastrawan yang pandai ini, mencegah dan mintakan ampunan kepada kaisar sehingga hukuman kepada Gui Tin diubah, dari hukuman mati kepada hukuman buang! Ia dilarang tinggal di kota raja dan harus keluar dari situ!

Gui Tin menjadi marah dan penghinaan ini membuat perubahan hebat dalam hidupnya. Ia menjadi seperti gila dan sambil berteriak-teriak memaki-maki kaisar, dia lalu keluar dari kota raja!

Sudah tentu saja perbuatannya ini membikin marah orang banyak. Gui Tin tentu sudah terbunuh mati kalau saja dia tidak ditolong oleh dua orang gagah yang menangkap dan membawanya pergi ke utara. Dua orang gagah ini ternyata adalah putera-putera Kaisar Mongol!

Ketika itu, pemerintahan Mongol memperluas kebudayaan mereka dengan mempelajari kitab-kitab dari Tiongkok yang dapat mereka rampas dari perpustakaan Kaisar Han. Akan tetapi karena banyak terdapat kitab-kitab yang kuno dan sulit sekali dibaca, maka setelah melihat keadaan Gui Tin, dua orang putera kaisar yang ternyata perkasa sekali itu lalu menolong Gui-siucai dan membawanya ke Mongol!

Kaisar mendengar tentang hal ini. Gui Tin kemudian dianggap sebagai pengkhianat yang melarikan diri ke daerah asing, maka seluruh keluarganya lalu ditangkap dan dihukum mati!

Sampai belasan tahun Gui Tin tinggal di Mongolia, di mana dia bekerja menterjemahkan kitab-kitab kuno yang sangat sukar dibaca. Dalan kesempatan ini Gui Tin memperdalam pengetahuannya dengan mempelajari bahasa-bahasa daerah yang banyaknya puluhan macam. Juga dia menemukan kitab-kitab kuno yang ternyata berisikan pelajaran penting sekali mengenai ilmu perang, ilmu silat dan lain-lain. Akan tetapi sebagai seorang ahli sastra, Gui Tin tidak suka mempelajari tentang ilmu silat.

Kembali Gui Tin menghadapi bahaya hebat ketika Kaisar Mongol minta agar supaya dia menterjemahkan kita-kitab ilmu perang serta ilmu silat. Tadinya Gui Tin memang mau mengerjakan perintah itu, akan tetapi ketika dia mendengar bahwa bala tentara Mongol makin maju dalam ilmu perangnya, dan bahkan kini mempunyai niat hendak menyerang ke selatan, dia menjadi terkejut dan gelisah sekali.

Tidak, betapa pun juga, dia tidak mau menjadi pengkhianat! Biar kaisar memperlakukan dirinya secara tidak adil, betapa pun dia tidak suka kepada para pembesar-pembesar di negaranya sendiri yang amat korup dan lalim, namun dia masih mencinta tanah airnya, masih menjunjung tinggi negaranya sendiri!

Oleh karena itu, dia lalu menghentikan segala penterjemahan kitab-kitab perang dan ilmu silat! Biar pun demikian, telah banyak ilmu perang yang di terjemahkan dan telah banyak pula ilmu silat yang tinggi-tinggi dia terjemahkan, sehingga sekarang banyak tokoh-tokoh besar di kalangan bangsa Mongol memiliki ilmu silat yang luar biasa!

Menghadapi pemogokan yang dilakukan oleh Gui Tin dalam menterjemahkan ilmu silat dan ilmu perang, Kaisar Mongol menjadi marah dan hampir saja Gui Tin dibunuh kalau tidak di halangi oleh dua orang pangeran yang dahulu menolongnya. Sebaliknya, Gui Tin hanya diusir dari Mongol! Untuk kedua kalinya satrawan ini diusir oleh kaisar dan kini dia pergi dengan penuh perasaan jemu menghadapi manusia.

Beberapa tahun kemudian, orang melihat seorang kakek pengemis yang kurus kering. Tidak seorang pun mengetahui bahwa dia ini adalah Gui Tin atau Gui-siucai yang dahulu namanya begitu dimuliakan orang, bahkan sangat dikagumi oleh kaisar dan juga kaisar Mongol!

Hancur hati Gui Tin ketika dia mendengar betapa keluarganya sudah dimusnahkan dan semua dijatuhi hukuman mati. Makin rusak batinnya, dan dia merantau ke sana ke mari seperti seorang edan.

Kemudian dia tiba di kota raja dan teringat akan Lu Pin, seorang kawannya yang paling baik, atau boleh juga dibilang seorang bekas muridnya yang paling dia sayang. Dia juga kagum melihat bakat luar biasa dari Lu Pin dalam hal seni ukir, maka dia ingin sekali bertemu dan mengunjungi rumah Lu Seng Hok saat mendengar bahwa Seng Hok adalah putera dari Lu Pin.

Tidak tahunya, di halaman gedung ini dia dihina dan hampir saja mati digigit anjing-anjing yang dikerahkan oleh Lu Thong, cucu dari Lu Pin bekas sahabat baiknya itu! Tentu saja hatinya menjadi sakit sekali dan makin bencilah dia kepada manusia, kepada dunia dan kepada diri sendiri.

"Demikianlah Kwan Cu. Kalau tidak bertemu dengan engkau, agaknya aku tidak melihat sesuatu lagi untuk lebih lama tinggal di dunia ini. Dengan adanya kau, aku masih ingin hidup beberapa tahun lagi untuk menumpahkan semua yang telah kupelajari kepadamu."

Kwan Cu merasa terharu sekali, dan semenjak saat itu dia memandang kepada gurunya ini dengan penuh penghormatan, penuh kasih sayang dan dia merawat Gui Tin dengan penuh kesabaran dan kesetiaan. Dia tidak ragu-ragu untuk mengemiskan makanan untuk gurunya ini, atau menggendong tubuh gurunya yang lemah bila perjalanan jauh membuat kaki Gui Tin pecah-pecah dan tulangnya sakit-sakit.

"Kwan Cu, aku heran sekali melihat engkau. Bagaimana kau bisa berlari secepat ini dan tubuhmu begitu kuat? Bukankah kau belum mempelajari ilmu silat?" tanya Gui Tin ketika pada suatu hari Kwan Cu berlari cepat sambil menggendongnya.

"Belum pernah, Suhu. Sebenarnya, aku hanya pernah mendapat petunjuk dari Pek-cilan Thio Loan Eng tentang cara bersemedhi dan mengatur napas, juga tentang menyalurkan hawa dari tian-tan ke seluruh tubuh untuk menguatkan urat-urat dan melancarkan jalan darah. Entahlah, semenjak aku membiasakan diri siulian, aku merasa tubuhku kuat dan ringan sekali pada waktu berlari."

"Hm, itulah pelajaran pokok dari ginkang dan lweekang! Anak yang baik, aku sendiri pun telah banyak menterjemahkan ilmu-ilmu itu, sayangnya dulu aku tidak menaruh perhatian sehingga aku sudah lupa lagi dengan isinya dan tidak pernah mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi."

"Mengapa, Gui-lopek? Bagiku mempelajari ilmu silat sama halnya dengan mendatangkan bencana terhadap diri sendiri. Aku tidak suka belajar silat!"

"Ha-ha-ha-ha, kesukaan kita sama dan pendapat kita sama pula. Sayangnya Kwan Cu, pendapat ini salah sama sekali!"

Saking herannya Kwan Cu segera berhenti berlari. Kemudian gurunya minta diturunkan dari gendongan. Mereka berhenti dan duduk di pinggir jalan yang berumput.

"Mengapa begitu, Suhu?"

Gui Tin menarik napas panjang. "Memang kita kaum sastrawan memandang dunia dari segi keindahan. Kita adalah pencinta damai dan suka akan ketentraman, sesuai dengan kehendak alam yang suci. Akan tetapi kita lupa bahwa dalam keadaan negara kacau, justru ilmu silat jauh lebih penting dan lebih cocok untuk dipergunakan bagi kebaikan seluruh manusia! Kita lupa bahwa hidup ini memang perjuangan, ada pun perjuangan itu tergantung dari keadaan. Bila mana negara sedang dalam keadaan makmur dan damai, memang ilmu silat hanyalah mendatangkan kekacauan saja, dan ilmu kesusastraan dan kesenianlah yang diperlukan untuk memperkembangkan kebudayaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini..." Kembali Gui Tin menarik napas panjang. "Apakah artinya kepandaian seorang ahli sastra? Lihatlah saja Lu Pin itu biar pun dia seorang ahli sastra, namun dalam keadaan kacau ini apa yang dapat ia perbuat? Melainkan kekacauan yang keluar dari otaknya, buktinya cucunya sudah menjadi jahat karena selalu terbenam dan mabuk akan kemewahan dan kemuliaan dunia!"

"Akan tetapi, Gui-lopek. Bukankah ilmu silat itu adalah ilmu yang berdasarkan kekerasan, kasar, dan termasuk kepandaian yang jahat saja? Coba saja dipikir, untuk apa ilmu silat selain menggunakan pukulan untuk menghantam orang lain, mempergunakan tendangan menyerang orang lain, mainkan senjata tajam untuk melukai dan membunuh? Nabi-nabi seperti Khong Cu, Lo Cu dan yang lainnya, pernahkah mereka itu menggunakan pedang untuk mengalahkan orang?"

"Memang benar, akan tetapi mereka itu pun tidak dapat mendatangkan damai di dalam negeri. Pula, kita sudah melupakan bahwa yang bersifat jahat itu bukanlah ilmu silatnya, melainkan orang-orang yang mempunyai ilmu itu. Ilmu kepandaian apa saja, baik bun (kesusastraan) mau pun bu (ilmu silat), tetap merupakan ilmu yang tidak mempunyai sifat baik mau pun buruk. Baik atau buruknya tergantung dari orang yang memilikinya! Segala apa yang sudah ada di dunia ini sudah ada, dan kekal sifatnya, hanya yang tidak kekal saja yang dipengaruhi oleh baik mau pun buruk. Seperti air tenang, baru bergerak kalau ada angin lalu atau sesuatu jatuh ke dalamnya."

Kwan Cu berpikir. Ada persamaan dalam ucapan gurunya ini dengan ucapan Kak Thong Taisu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)