PENDEKAR SAKTI : JILID-07


“Kwan Cu, marilah kau ikut dengan aku saja ke kota raja. Kau akan kudidik dengan ilmu kesusastraan, dan sungguh pun aku tidak sepandai mendiang gurumu, akan tetapi kau akan berhasil dengan cita-citamu. Kau tinggallah bersama aku, kau kuanggap sebagai cucuku sendiri, Kwan Cu.”

Terharu sekali hati Kwan Cu. Belum pernah ada orang yang sikapnya demikian halus dan ramah tamah kepadanya, apa lagi seorang pembesar tinggi seperti Menteri Lu Pin ini.

“Hamba boleh menyebut kongkong kepada Taijin?”

“Tentu saja, karena dalam pandanganku, kau adalah cucuku sendiri, Kwan Cu.”

Saking girangnya Kwan Cu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan menteri tua itu dan tak tertahankan pula dua titik air mata kemudian mengalir turun ke pipinya yang kurus. “Kongkong...” katanya.

Lu Pin juga merasa terharu, segera dipeluknya anak itu. “Kau harus berganti pakaian, cucuku, dan besok kau ikut aku ke kota raja.”

“Tidak, Kongkong. Tidak sekarang. Biarlah kelak aku akan mencari Kongkong. Sekarang aku mempunyai tugas lain yang lebih penting.”

“Tugas...?” Menteri Lu Pin membelalakkan matanya. “Kau...? Tugas apa dan dari siapa, cucuku?”

“Tugas yang telah dipesankan oleh mendiang Gui-lopek, dan tugas itu adalah...” Anak ini menengok ke kanan kiri, kemudian melanjutkan dengan perlahan, “tugas mencari kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng.”

Kembali untuk ke sekian kalinya menteri tua itu tertegun. Kemudian dia menghela napas. “Memang kau seorang anak ajaib! Benar-benar kau bocah ajaib! Baiklah, aku juga tahu bahwa orang-orang aneh seperti Ang-bin Sin-kai dan kau tak akan mudah dibantah. Kau pergilah, akan tetapi ingat bahwa aku selalu menanti kau sebagai kongkong-mu!”

Sesudah berkata demikian, Menteri Lu Pin lalu memberi bekal sekantong uang emas kepada Kwan Cu, dan memberitahukan An Lu Shan agar semua anak buahnya jangan mengganggu anak ini. Sesudah berpamit dan menghaturkan terima kasihnya, Kwan Cu bersembahyang lagi di hadapan makam Gui Tin, lalu pergilah anak ini, menuju ke Goa Liang-san untuk mencari simpanan kitab-kitab mendiang gurunya…..

********************

Sesudah berhasil merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dengan hati gembira sekali Hek-mo-ong berlari cepat sambil tertawa-tawa menuju ke rumahnya di puncak gunung Hek-mo-san. Ia tinggal bersama dua orang adiknya dan isteri serta ipar-iparnya di dalam satu rumah besar di kampung yang cukup ramai, di mana dia dianggap sebagai seorang tuan tanah yang cukup kaya-raya. Memang sejak bertahun-tahun yang lalu, Hek-mo-ong tidak berkelana lagi di dunia kang-ouw, melainkan hidup aman di dalam kampung ini.

Ketika dia melangkah masuk ke dalam rumahnya, dia disambut oleh dua orang adiknya yang juga dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kasar, yang menyambutnya bersama isteri-isterinya yang cantik. Isteri Hek-mo-ong sendiri masih muda, lagi cantik dan genit sekali. Melihat kegembiraan Hek-mo-ong, mereka beramai-ramai mengajukan pertanyaan.

Akan tetapi Hek-mo-ong hanya menjawab sambil tertawa-tawa. “Lekas bikin masakan yang enak, keluarkan arak yang wangi! Kita rayakan hari besar ini, karena tak lama lagi aku Hek-mo-ong akan menjagoi di seluruh permukaan bumi! Tunggu saja kalian, Ang-bin Sin-kai, Jeng-kin-jiu, Pak-lo-sian, Hek-i Hui-mo, dan Kiu-bwe Coa-li! Sebentar lagi, kalian terpaksa harus bertekuk lutut dan tunduk kepadaku, mengakui keunggulan Hek-mo-ong sebagai orang yang terpandai! Ha-ha-ha-ha-ha!”

Adik-adiknya, ipar-iparnya, juga isterinya sudah tahu akan keanehan watak Hek-mo-ong, karena itu mereka tidak berani bertanya lagi sebelum orang ini menceritakannya sendiri. Maka, segera makanan dan arak disediakan lalu mereka makan minum dengan gembira sekali.

Setelah makan kenyang, barulah Hek-mo-ong mengeluarkan peti hitam itu dari sakunya, meletakkannya di atas meja sambil berkata bangga.

“Lihat, inilah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

“Twa-pek (Uwa), mengapa kitab seperti kotak kayu?” memotong seorang anak kecil yang menjadi putera dari saudara termuda.

“Kau tahu apa?!” bentak ayahnya atau adik termuda dari Hek-mo-ong. “Kotak itu hanya tempat saja, tentunya.”

Karena tidak sabar lagi, mereka lalu mendesak kepada Hek-mo-ong untuk membuka peti itu. Pada waktu peti itu dibuka, kedua orang adik Hek-mo-ong menjenguk dari kanan kiri. Hek-mo-ong tertawa-tawa, lalu menggunakan kedua tangannya untuk membuka peti itu.

“Ser! Serr! Serrr…!”

Berturut-turut, tujuh batang anak panah yang secara pandai dipasang oleh An Lu Shan itu menyambar ke atas cepat sekali. Kalau saja bukan Hek-mo-ong, tentu orang yang membukanya akan mati saat itu juga, terpanggang oleh anak-anak panah itu.

Akan tetapi Hek-mo-ong sudah mempunyai kepandaian yang amat tinggi. Begitu melihat menyambarnya cahaya hitam dari dalam peti, dia berseru keras dan kedua tangannya bergerak menangkis sehingga anak-anak panah itu terpental ke kanan kiri.

Celaka sekali, kedua adiknya yang menjenguk dari kanan kiri itu tidak sempat mengelak dan tepat sekali muka mereka tertembus anak-anak panah sehingga mereka roboh tak berkutik lagi. Muka itu menjadi bengkak dan biru, amat mengerikan.

Tentu saja isteri-isteri mereka menangis dan menjerit-jerit memeluki mayat dua orang itu. Hek-mo-ong sendiri untuk beberapa lama berdiri bagaikan patung, akan tetapi sesudah mengeluarkan kitab itu dan membalik-balikkan lembarannya, timbul lagi kegembiraannya.

“Sudah, jangan menangis lagi. Mereka sudah mati, sudahlah. Sudah patut kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng didapatkan dengan pengorbanan besar. Urus jenazah mereka baik-baik, dan kalian ini tidak usah menangis, mulai sekarang boleh ikut aku saja sebagai pengganti suami-suamimu.”

Tidak seorang pun berani membantah, akan tetapi ucapan ini saja sudah cukup dipakai ukuran orang macam apa adanya Hek-mo-ong ini! Tanpa menghiraukan perkabungan dan sambil tertawa-tawa, dia lalu minum arak dan membalik-balik lembaran kitab yang baru saja dirampasnya itu.

Akan tetapi, mendadak dia menjadi pucat sekali dan mukanya meringis-ringis menahan sakit. Kedua tangannya bergerak memegangi perut, dada, dan leher karena dia merasa betapa bagian-bagian tubuh itu terasa amat panas dan sakit.

“Celaka... keparat An Lu Shan... aduh...!” Ia terhuyung-huyung, menubruk meja sehingga kitab itu terlempar ke atas lantai.

Isterinya beserta ipar-iparnya memburu dan menubruknya.

“Aduh...” Hek-mo-ong menjerit-jerit, ada pun mulutnya mulai berbusa. “Awas... peti itu... jangan disentuh... aduh, mati aku!” tubuhnya kaku, matanya mendelik, mulutnya berbusa dan dia tidak bernapas lagi!

Apa bila orang lain, tentu sudah semenjak tadi mati karena pengaruh racun. Tadi dia memegang-megang peti, kemudian makan. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang kasar seperti Hek-mo-ong, biar pun tangannya kotor, kalau mau makan terus saja makan tanpa mencuci atau membersihkan tangannya, maka sebentar saja racun di tangannya terbawa masuk ke perut. Akan tetapi dia memang bertubuh kuat sehingga racun itu agak lama merobohkannya.

Isteri-isteri dari tiga orang itu beserta anak-anak dan keluarganya, tentu saja menangis dan sebentar saja di situ terdengar jerit tangis ramai sekali. Pada waktu dua orang adik Hek-mo-ong tadi tewas, mereka tidak berani menangis karena takut kepada Hek-mo-ong. Setelah sekarang Hek-mo-ong sendiri mati, semua orang menangis sepuasnya!

Dengan dibantu oleh para tetangga dan orang sedusun yang datang berlayat, keluarga itu lalu mengurus tiga jenazah itu. Dan atas perintah isteri Hek-mo-ong, peti hitam itu lalu dibakar, ada pun kitabnya lalu ditaruh di atas meja sembahyang yang diletakkan di depan peti mati Hek-mo-ong. Tiga peti mati dijajarkan dan peti mati Hek-mo-ong ditempatkan di tengah-tengah. Juga meja sembahyangnya paling besar.

Pada keesokan harinya, pada waktu orang-orang masih ramai bersembahyang dan hio mengebulkan asapnya bergulung-gulung, seorang tokouw datang ke tempat itu! Tangan kanan tokouw itu memegang cambuk berbulu sembilan helai, sedangkan tangan kirinya menggandeng tangan seorang anak perempuan yang mungil dan cantik manis. Tokouw ini bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li dan muridnya Bun Sui Ceng!

Pada saat Kiu-bwe Coa-li melihat tiga peti mati itu berjajar di halaman dan semua orang menangis dan berkabung, dia mengerutkan keningnya. Ada pun keluarga Hek-mo-ong segera menyambut tokouw ini, bagai layaknya menyambut seorang pertapa wanita yang mereka anggap datang untuk memberi hiburan kepada warga yang mati.

“Silakan duduk, Suthai,” kata mereka.

Kiu-bwe Coa-li tidak menjawab, melainkan memandang ke arah peti-peti mati, kemudian matanya mencari-cari sesuatu dengan pandangan yang tajam sekali.

“Di mana Hek-mo-ong?” tanyanya tiba-tiba dengan suara kereng.

Ditanya demikian, isteri dari Hek-mo-ong melangkah maju dan menangis.

“Suthai yang mulia, suamiku telah meninggal dunia,” lalu tangisnya makin menjadi.

Kiu-bwe Coa-li tertegun dan memandang tajam. “Yang mana petinya?” tanyanya pula.

Karena tidak menyangka buruk, isteri Hek-mo-ong lalu menunjuk ke arah peti mati yang berada di tengah-tengah sambil berkata, “Itulah peti mati suamiku.”

Dengan langkah perlahan Kiu-bwe Coa-li lalu menghampiri peti itu. Sui Ceng tak senang melihat peti mati, maka semenjak tadi dia sudah melepaskan tangannya dari gandengan gurunya. Sekarang anak ini duduk di atas sebuah bangku dan memandang ke arah meja sembahyang dengan perasaan heran serta kagum melihat hiasan-hiasan dalam upacara sembahyang itu.

Kiu-bwe Coa-li mendekati peti mati Hek-mo-ong, kemudian mengulur tangan kirinya dan menepuk-nepuk peti mati itu beberapa kali secara perlahan. Semua orang menyangka bahwa pendeta wanita itu memberi berkah kepada yang mati, maka mereka menjadi terharu dan girang. Tidak seorang pun di antara mereka pernah mengira bahwa tepukan-tepukan perlahan itu adalah serangan-serangan pukulan lweekang yang dahsyat bukan main!

Ternyata bahwa Kiu-bwe Coa-li masih belum percaya penuh akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati itu. Kemudian dia melirik ke arah peti mati yang berada di kanan kiri peti mati Hek-mo-ong.

“Siapa yang berada di dalam dua peti mati itu?” tanyanya kepada isteri Hek-mo-ong.

“Mereka adalah kedua adik suamiku, Suthai,” jawab nyonya itu sambil sesunggukan. Dan kembali ramai orang-orang menangis di tempat itu.

Pada saat itu terdengarlah suara ketawa keras. Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan peti-peti mati itu sudah berdiri seorang hwesio gemuk bundar berpakaian serba hitam yang berkali-kali menyebut nama Buddha.

“Omitohud!” Kemudian, sambil mengoceh seorang diri, dia berkata lagi, “Tidak tahunya iblis neraka telah mendahului pinceng (aku) dan merenggut nyawa Hek-mo-ong.”

“Hemm, Hek-i Hui-mo, alat penciumanmu lebih tajam dari seekor anjing buduk!” berkata Kiu-bwe Coa-li dengan senyum mengejek.

Hwesio itu yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo, tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha! Kiu-bwe Coa-li, kau benar-benar cepat. Hampir saja pinceng ketinggalan!”

Setelah berkata demikian, hwesio ini lalu melakukan upacara sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong. Akan tetapi yang dia pakai sembahyang bukannya hio yang dibakar, melainkan tiga batang hio hitam yang tidak dibakar. Orang-orang merasa heran sekali, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li maklum bahwa tiga batang hio hitam itu sebenarnya bukanlah hio, melainkan tiga batang jarum hitam yang disebut Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam)!

Mulut hwesio ini berkemak-kemik membaca doa, kemudian setelah selesai sembahyang dia menggerakkan tangannya dan lenyaplah tiga batang hio hitam itu! Orang-orang lain tidak tahu ke mana perginya benda-benda hitam itu dan mereka mengira hwesio gemuk ini main sulap.

Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan tahu bahwa hwesio Tibet yang lihai ini telah menyambitkan jarum-jarum itu yang meluncur laksana kilat ke arah tiga buah peti mati dan telah menembusi peti-peti itu untuk menyerang isinya! Jadi seperti juga dia sendiri, Hek-i Hui-mo Si Iblis Terbang Baju Hitam ini tidak percaya akan kematian Hek-mo-ong dan diam-diam menyerang isi peti mati!

“Sebelum mati, suamimu membawa sebuah peti kecil terisi kitab, di manakah ditaruhnya peti itu? Peti itu adalah milikku, sekarang harap dikeluarkan dan dikembalikan kepadaku!” Kata Kiu-bwe Coa-li kepada isteri Hek-mo-ong.

“Peti celaka itu!” seru isteri Hek-mo-ong. “Peti hitam celaka itulah yang telah membunuh suamiku dan adik-adiknya! Kami telah membakar peti siluman itu, Suthai!”

Terdengar seruan tertahan dan tahu-tahu Kiu-bwe Coa-li bersama Hek-i Hui-mo sudah bergerak dan berdiri di depan nyonya itu, sikap mereka mengancam dan beringas sekali.

“Sudah dibakar?!” tanya Hek-i Hui-mo dengan suara parau dan keras sehingga nyonya Hek-mo-ong terkejut sekali.

“Dan isinya, kitab itu... apakah terbakar pula?” tanya Kiu-bwe Coa-li, pandang matanya mengancam.

Kalau nyonya itu menganggukkan kepala, tak salah lagi dia tentu akan mati dalam sekali pukul oleh dua orang tokoh kang-ouw yang amat mengerikan itu. Akan tetapi nyonya itu menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah meja sembahyang di depan peti mati Hek-mo-ong.

“Itulah dia kitab setan itu, yang tadinya berada di dalam peti hitam.”

Tubuh Kiu-bwe Coa-li berkelebat ke arah meja hendak mengambil kitab itu. Akan tetapi tahu-tahu di dekat kitab itu, di atas meja, terdengar bunyi nyaring dan tiga batang jarum hitam telah menancap di situ! Kiu-bwe Coa-li cepat melompat ke belakang dan menoleh pada Hek-i Hui-mo yang berdiri tersenyum-senyum!

“Aha, Hek-i Hui-mo! Kau hendak main-main dengan pinni?” tanya Kiu-bwe Coa-li dengan pandang mata tajam dan cambuknya digerak-gerakkan dalam tangannya.

“Kiu-bwe Coa-li, kita datang di tempat yang sama dan dengan maksud yang sama pula. Tidak boleh kau mau menang sendiri saja! Aku pun membutuhkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”

Dua orang tokoh besar itu berdiri saling pandang dengan sikap mengancam. Keduanya sama jauhnya dari meja sembahyang di mana keduanya maklum bahwa bergerak lebih dahulu berarti bahaya maut. Mereka saling menanti, dan sekali lawannya bergerak, tentu akan mengirim serangan.

Ada pun keluarga Hek-mo-ong, ketika sadar dan tahu bahwa dua orang ini sebenarnya sama sekali bukanlah orang-orang suci yang datang hendak menghibur mereka, bahkan sebaliknya adalah orang-orang jahat yang datang hendak mengacau, menjadi panik dan makin bersedih. Terdengar tangisan-tangisan dan sebentar saja keadaan di situ menjadi gaduh sekali.

Tiba-tiba terdengar suara orang mencela, “Hee, kalian ini apakah sudah gila? Menangis tidak karuan padahal seharusnya bersyukur! Hayo diam semua jangan menangis, kalau tidak akan kutampar mulutnya siapa yang menangis!”

Semua orang terheran dan kaget sehingga suara tangisan benar-benar lenyap. Memang, seperti biasanya di dalam sebuah kematian, sebagian besar tangisan orang hanyalah air mata buaya belaka, yaitu tangis palsu asal keluar air mata saja agar membuktikan bahwa mereka benar-benar berduka!

Ternyata yang baru saja menegur adalah seorang kakek berpakaian seperti pengemis yang tubuhnya kurus tinggi. Sesudah semua orang berhenti menangis, kakek ini lantas bernyanyi! Suara nyanyinya yang parau itu mengucapkan kata-kata yang cukup aneh!

Ahh, Hek-mo-ong!
Kau benar-benar amat berbahagia!
Kau telah kembali ke asalmu semula,
tidak seperti kami yang masih menjadi manusia!
Ahh, kau benar-benar berbahagia, Hek-mo-ong!

Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo yang tadinya saling pandang dan sudah bersiap-siap untuk memperebutkan kitab di atas meja sembahyang itu, seketika air mukanya berubah ketika melihat pengemis kurus kering ini.

“Ang-bin Sin-kai, engkau juga datang? Kau tidak mau ketinggalan pula?” Kiu-bwe Coa-li menyindir.

“Ha-ha-ha-ha, tua bangka dari timur mana mau mengalah? Ada tulang baik dan daging gemuk, tentu datang anjing!” Hek-i Hui-mo juga menyindir.

Akan tetapi baik Hek-I Hui-mo mau pun Kiu-bwe Coa-li kini lebih waspada dan bersiap lagi mengawasi gerak-gerik Ang-bin Sin-kai, menjaga jangan sampai pengemis kurus itu mendahului mereka mengambil kitab di atas meja!

“Kau benar, Setan Hitam! Memang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng tidak boleh terjatuh ke dalam tanganmu yang kotor!” Ang-bin Sin-kai yang dimaki itu tersenyum-senyum saja.

Mendadak menyambar angin keras dan tubuh seorang lain yang gemuk bundar seperti tubuh Hek-i Hui-mo, datang bagaikan ‘menggelundung’! Ternyata dia adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Tiasu, tokoh pertama dari selatan.

“Omitohud, bakal ramai sekarang!” katanya sambil matanya yang bundar itu jelalatan ke kanan kiri. “Pengemis bangkotan, kau juga sudah ada di sini?” katanya kepada Ang-bin Sin-kai.

Pembaca tentu masih ingat akan hwesio gemuk ini, karena pada permulaan cerita ini, dia sudah muncul bersama Ang-bin Sin-kai dan mengadu kepandaian di pinggir pantai Laut Po-hai, maka tak perlu kiranya dituturkan pula betapa hebat dan lihai kepandaian hwesio gemuk ini!

“Bagus, bagus! Dengan munculnya si gundul gendut ini, benar-benar menggembirakan!” berkata Ang-bin Sin-kai yang segera menyambar sebuah bangku dan menduduki bangku itu. Matanya terus mengincar ke arah kitab yang terletak di atas meja sembahyang.

Empat tokoh besar ini telah mengetahui kepandaian masing-masing dan tak seorang pun di antara mereka berani lancang bergerak untuk mengambil kitab itu. Sudah jelas bahwa mereka semua datang untuk memperebutkan kitab itu, namun karena kitab itu berada di atas meja dan mereka berempat sudah berada di sana, siapakah yang berani lancang turun tangan lebih dulu? Oleh karena itu, Ang-bin Sin-kai memilih tempat duduk, karena dia tahu bahwa menanti sambil berdiri saja amat melelahkan.

Tidak tahunya, akalnya ini diketahui pula oleh yang lain-lain, maka yang tiga orang lagi pun segera menyambar bangku dan ikut duduk! Empat orang itu kini duduk tak bergerak mengelilingi meja sembahyang dalam jarak yang sama jauhnya. Masing-masing memutar otak mencari akal bagaimana dapat mengambil kitab itu!

Tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li berseru nyaring dan tahu-tahu pecutnya yang berbulu sembilan helai itu menyambar ke arah meja. Ia hendak mencoba mengambil kitab itu dengan ujung cambuknya.

Akan tetapi, sebelum pecut itu mencapai kitab, sebatang tongkat berkepala naga datang menyambar dan menangkis pecut itu sehingga terpental kembali! Ternyata Hek-i Hui-mo yang duduknya paling dekat dengan Kiu-bwe Coa-li telah menangkis dan menggagalkan niat wanita sakti itu!

“Eh, ehh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li,” kata hwesio dari Tibet ini sambil tertawa terkekeh.

Pada saat Kiu-bwe Coa-li memandang, dia melihat Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu juga memandangnya dengan senyum penuh arti. Senyum yang menyatakan bahwa mereka berdua ini pun tidak akan tinggal diam saja kalau wanita tua itu turun tangan.

“Hemm, berat nih...,” pikir Kiu-bwe Coa-li, lalu ia duduk kembali sambil mengerling ke kiri kanan. “Apakah kalian begitu pengecut tidak berani mendahului turun tangan mengambil kitab itu?” tanyanya.

Akan tetapi, tiga orang kakek itu tidak menjawab, hanya duduk saja sambil tersenyum-senyum. Benar-benar keadaan mereka lucu sekali, kini hanya duduk diam saja, bagaikan empat orang kawan lawan yang baru bertemu dan mengobrol mengitari meja!

“Bagus, baiknya aku belum terlambat!” mendadak terdengar suara halus dan datanglah seorang kakek bertubuh pendek kecil diikuti oleh dua orang anak laki-laki di tempat itu.

Semua orang menengok dan ternyata kakek ini adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, tokoh besar dari utara! Ada pun dua orang anak kecil itu adalah murid-muridnya, yakni Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng.

Dua orang anak-anak ini sudah sering kali mendengar dari suhu mereka tentang empat orang tokoh yang kini duduk mengelilingi meja sembahyang. Maka, mereka tidak berani mendekat, lalu menghampiri Ben Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li, karena melihat anak perempuan yang mungil dan cantik duduk di tempat agak jauh sambil menonton.

“Bagus, tua bangka dari utara sekarang sudah datang, kaulah yang boleh mulai mencoba mengambil kitab itu. Bukankah untuk itu kau datang?” tanya Kiu-bwe Coa-li.

Akan tetapi Siangkoan Hai Si Dewa Dari Utara bukanlah seorang bodoh. Hanya melihat sekelebatan saja, dia tahu bahwa empat orang ini tidak berani mengambil kitab, karena kalau seorang mengambil, yang lain tentu akan mencegahnya. Ia tertawa terkekeh-kekeh sambil memandang mereka berempat itu berganti-ganti.

“Heh-heh-heh! Dunia ini ternyata tak lebih lebar dari pada setapak tangan. Tak kusangka bahwa aku di sini akan bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan Jen-kin-jiu Kak Thong Taisu dari selatan! Hek-i Hui-mo dari barat dan Ang-bin Sin-kai dari timur! Hebat benar! Apakah seluruh dunia sudah terbakar oleh api neraka sehingga iblis-iblis dan setan-setan datang berkumpul di sini? Dan berkumpul mengelilingi meja kematian pula! Heh-heh-heh! Orang yang berada di dalam peti mati ini benar-benar seorang yang beruntung dan terhormat. Kaisar sendiri kalau mati tak mungkin dapat mengundang datang setan-setan dari barat, timur dan selatan!”

“Ehh, tua bangka kecil, kau lupa menyebutkan iblis dari utara!” kata Ang-bin Sin-kai.

“Ha-ha-ha!” Jeng-kin-jiu tertawa. “Memaki orang lain memang mudah, mana bisa memaki diri sendiri?”

Disindir oleh dua orang kakek itu, Siangkoan Hai hanya tersenyum-senyum saja, lalu dia menghampiri peti mati di mana tersimpan jenazah Hek-mo-ong. Empat orang yang lain segera memandang dengan penuh perhatian dan kecurigaan. Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang peti mati itu, lalu berkata lagi,

“Ingin aku melihat orang yang mendapat kehormatan demikian besar!” sambil berkata demikian, dua tangannya bergerak ke arah peti dan tiba-tiba sambil mengeluarkan suara keras, tutup peti itu telah dibukanya!

Semua keluarga yang mati berseru keras dan lari berserabutan ke belakang dan keluar, cepat-cepat pergi dari tempat itu. Mereka ketakutan setengah mati karena kedatangan lima orang yang seperti iblis-iblis berkeliaran itu.

Pemandangan yang nampak di dalam peti memang mengerikan sekali. Tadinya, karena pengaruh racun jahat yang memasuki perut Hek-mo-ong, muka orang ini sudah menjadi hitam kebiruan. Akan tetapi sekarang, kepalanya telah pecah sedangkan di ulu hatinya menancap jarum hitam! Inilah akibat dari pukulan lweekang dari Kiu-bwe Coa-li yang tadi meraba-raba peti dan serangan jarum hitam dari Hek-i Hui-mo!

“Siancai, siancai...!” Pak-lo-sian menyebut sambil cepat-cepat menutupkan peti kembali. “Benar-benar Hek-mo-ong telah mampus. Bahkan tiga kali mampus.”

Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li, dan kedua orang murid Pak-lo-sian, segera berdiri menonton semua itu. Mereka bertiga sama sekali tidak takut melihat pemandangan yang mengerikan itu. Bahkan Sui Ceng dengan senyuman yang membuat pipi kirinya dekik, melirik ke arah The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, lalu berkata,

“Guru kalian itu bertubuh kecil, akan tetapi berkepala besar. Orang sombong seperti dia mana bisa mendapatkan kitab?”

Mendengar ucapan ini, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas lalu menjawab, “Kau bocah ingusan tahu apa? Lihat betapa suhu kami akan merampas kitab itu!”

“Huh! Sebelum dia menyentuh kitab, kepalanya akan hancur seperti kepala Hek-mo-ong oleh tangan guruku!” kata Sui Ceng sambil menjebikan bibirnya yang merah.

“Betulkah?” seru Swi Kiat penasaran. “Atau kepalamu yang akan pecah terlebih dulu oleh tanganku?” Sikapnya mengancam dan dia seakan-akan hendak menyerang nona cilik itu.

“Suheng, kenapa mencari perkara? Tiada salahnya dia ini membela dan memenangkan gurunya sendiri. Kita lihat sajalah buktinya nanti.” The Kun Beng mencegah suheng-nya.

Mendengar ini, Sui Ceng melirik ke arah Kun Beng dan diam-diam di dalam hatinya Sui Ceng merasa jauh lebih suka kepada Kun Beng dari pada Swi Kiat.

Sementara itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang tak mau membuang-buang banyak waktu untuk menanti sambil memandangi kitab yang amat diinginkannya itu, tiba-tiba melompat dan sekali sambar saja dia sudah mengambil kitab itu. Akibatnya hebat sekali. Serentak empat orang tokoh yang lain bangun dan bergerak menyerang.

“Lepaskan kitab itu!” seru Kiu-bwe Coa-li yang lebih dulu menyerang dengan cambuknya.

Siangkoan Hai cepat mengelak, akan tetapi dia disambut oleh serangan bertubi-tubi dari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan Ang-bin Sin-kai! Serangan-serangan tiga orang ini tentu saja tak bisa dipandang ringan, sebab kepandaian mereka setingkat dengan kepandaian Siangkoan Hai.

Dengan kaget Siangkoan Hai mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya melompat ke belakang secepatnya, namun masih saja sebuah pukulan dari jauh yang dilancarkan oleh Ang-bin Sin-kai mengenai pundaknya sehingga dia menjadi terhuyung-huyung!

Pada saat itu, Kiu-bwe Coa-li telah menubruk lagi dan sekali renggut, dengan gerak tipu Dewi Kwan Im Merampas Bunga, kitab di tangan Siangkoan Hai itu telah dapat dirampas olehnya!

Kiu-bwe Coa-li yang sudah dapat merampas kitab hendak melompat ke arah muridnya dan hendak melarikan diri sambil membawa muridnya itu. Akan tetapi sebelum ia tiba di depan Sui Ceng, di depannya telah menghadang Hek-i Hui-mo!

“Enak saja kau mau membawa pergi kitab itu? Lepaskan!” kata Iblis Terbang Baju Hitam ini dan tasbihnya di tangan kiri menyambar ke arah dada Kiu-bwe Coa-li!

Serangan hebat ini dapat mendatangkan maut, karena meski pun hanya berupa tasbih, namun senjata aneh ini bukan main lihainya, merupakan segundukan cahaya putih yang bulatan tasbih itu menghantam ke arah jalan darah di dada.

Kiu-bwe Coa-li cepat menggerakkan pecutnya menangkis. Terdengar suara keras sekali dan bunga api berpijar ketika dua senjata aneh ini bertemu. Keduanya tergetar mundur dan sebelum Kiu-bwe Coa-li sadar, ia hanya merasa kitab itu dibetot orang dan terlepas dari pegangannya!

Ketika ia menoleh, ternyata bahwa kitab itu telah berpindah ke dalam tangan Ang-bin Sin-kai! Kakek pengemis ini tertawa-tawa sambil memegang kitab itu tinggi-tinggi, seperti sikap seorang kanak-kanak yang menggoda kawan-kawannya.

“Jembel tua, kau serahkan kitab itu kepadaku!” seru Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil mengulur tangan hendak merampas. Tangan kirinya diulur hendak merampas, ada pun tangan kanannya menonjok dada pengemis tua itu!

Pada saat yang sama Hek-i Hui-mo, Kiu-bwe Coa-li, dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga tidak tinggal diam dan sebentar saja Ang-bin Sin-kai telah dikeroyok empat!

Ang-bin Sin-kai maklum bahwa dia tak mungkin dapat melawan empat orang lihai ini, dan walau pun dia melarikan diri, ilmu lari cepat mereka pun tidak kalah olehnya. Maka dia cepat berseru, “Tahan serangan!”

Berkata begini, dia melempar kitab ke atas meja sembahyang kembali.

Empat orang yang menyerangnya tertegun dan tidak jadi menyerang, karena serangan mereka itu pun hanya berdasarkan ingin merampas kitab, sedangkan kini kitab sudah berada di atas meja lagi, untuk apa menyerang lawan yang sama lihainya itu?

“Hayo, siapa berani mengambil kitab itu, dialah jagoan sejati!” Ang-bin Sin-kai tertawa dan kembali menduduki bangkunya yang tadi.

Empat orang yang lain merasa ragu-ragu dan akhirnya mereka pun menduduki bangku dan duduk lagi mengelilingi meja sembahyang di mana terdapat kitab itu. Semua orang maklum bahwa apa bila dia memberanikan diri mengambil kitab itu, tentu akan langsung diserang oleh empat orang lainnya dan hal ini tidak mungkin, karena bahayanya terlalu besar. Akhirnya, tak seorang pun di antara mereka berani turun tangan mengambil kitab, dan kelima orang ini hanya saling pandang dan tertawa ha-ha-hi-hi-hi, tertawa masam!

Terdengar suara ketawa kanak-kanak dan yang tertawa adalah Sui Ceng dan Kun Beng. Dua orang anak ini merasa geli karena pemandangan itu benar-benar terlihat lucu sekali! Sebaliknya, Gouw Swi Kiat yang berdarah panas itu merasa mendongkol sekali. Benar suhu-nya tidak mampu mengambil kitab itu dan kini gurunya, seperti yang lain-lain, hanya duduk saja menghadapi meja sembahyang seperti patung.

Dari sikap mereka ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sui Ceng dan Kun Beng memiliki sifat periang yang sama, ada pun Swi Kiat mempunyai sifat pemarah dan keras.

“Suhu, apa sih sukarnya mengambil kitab? Ambil dan lawan mereka, masa Suhu akan kalah?” seru Swi Kiat kepada suhu-nya.

“Hush, diam kau. Tahu apa kau tentang urusan ini?” bentak suhu-nya dan Swi Kiat makin mendongkol.

“Sayang kepandaianku masih belum sempurna. Kalau tidak, aku sama sekali tidak takut menghadapi mereka!” ia mengomel.

Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.

“Pak-lo-sian, muridmu yang itu benar-benar keras seperti batu. Tidak seperti muridmu yang ke dua itu, yang lunak seperti air!” katanya.

Keluarga dari Hek-mo-ong yang melihat betapa lima orang itu bertempur tak karuan rupa, kemudian kini duduk lagi mengelilingi meja sembahyang, menjadi terheran-heran, takut, dan juga cemas. Akhirnya, isteri Hek-mo-ong memberikan diri maju sambil membungkuk-bungkuk.

“Mau apa kau?” Kiu-bwe Coa-li membentak sehingga nyonya itu menjadi pucat.

“Kami bermaksud hendak mengubur jenazah tiga orang keluarga kami ini, apakah tidak boleh?” tanya nyonya itu dengan suara gemetar.

Di antara kelima orang tokoh yang aneh serta menyeramkan itu, Ang-bin Sin-kai boleh dibilang memiliki watak yang paling lembut. Ia menaruh kasih kepada nyonya ini, maka sambil menggerakkan tangan dia berkata, “Uruslah jenazah itu baik-baik dan bawa pergi dari sini. Akan tetapi, jangan sekali-kali berani menyentuh meja sembahyang kalau kalian sayang kepada nyawa sendiri.”

Setelah mendengar kata-kata ini, nyonya Hek-mo-ong lalu segera memberi tanda kepada keluarganya dan beramai-ramai akan tetapi hati-hati sekali supaya jangan mengganggu lima orang aneh itu, mereka lalu mengangkat tiga buah peti mati itu untuk dikuburkan.

Akan tetapi, lima orang itu tetap saja duduk mengelilingi meja sembahyang tanpa berani turun tangan, akan tetapi juga tidak sudi mengalah dan tidak mau meninggalkan tempat itu!

Hari sudah mulai senja. Tiba-tiba Sui Ceng yang merasa kesal berkata kepada gurunya, “Suthai, perutku lapar, hidangan di meja sembahyang itu tidak diperlukan, bukan? Lebih baik berikan kepada teecu!”

Kiu-bwe Coa-li boleh jadi seorang wanita sakti yang berhati baja dan terkenal ganas, akan tetapi terhadap muridnya ini, ia menaruh hati kasih sayang yang besar. Mendengar kata-kata muridnya ini, ia lalu bangkit dari tempat duduknya dan menggerakkan pecutnya yang berbulu sembilan itu ke arah meja. Secara luar biasa sekali dua helai bulu pecutnya melibat pinggir piring sebelah bawah dan mengangkat piring itu yang terus dilontarkan ke belakang dimana muridnya berdiri!

Hebat sekali demonstrasi tenaga lweekang ini, karena piring yang penuh kue mangkok itu melayang tanpa kuenya jatuh sama sekali! Sui Ceng menyambut piring ini dengan kedua tangannya dan ternyata selama ikut dengan gurunya, anak perempuan ini sudah memiliki kepandaian yang lumayan juga karena ia dapat menyambut piring itu tanpa ada kue yang jatuh.

Bocah ini lalu mengambil sebuah mangkok dan makan kue dengan enaknya. Pada saat makan kue, dia melirik ke arah Kun Beng dan tiba-tiba saja dia menyodorkan piring kue mangkok itu kepada Kun Beng.

Anak laki-laki ini tersenyum dan mengambil sebuah kue mangkok, lalu dimakannya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Sui Ceng juga menyodorkan piringnya kepada Swi Kiat, akan tetapi Swi Kiat membuang muka kemudian berjalan ke dalam rumah untuk minta makanan dari tuan rumah yang segera melayaninya dengan ramah karena takut kepada gurunya. Benar-benar keras hati anak ini.

Akan tetapi Sui Ceng tidak menghiraukannya, bahkan lantas mencela kepada Kun Beng, “Suheng-mu itu kepala batu. Aku tidak suka kepadanya!”

Sebaliknya Kun Beng memuji nona kecil ini, “Kau baik hati, aku suka kepadamu.”

“Hm, memberi kue bukan berarti bahwa aku suka kepadamu!” jawab Sui Ceng merengut. “Hanya karena aku tadi mendengar suara perutmu berkeruyuk!”

Dia menyodorkan lagi piringnya dan tanpa sungkan-sungkan Kun Beng lalu mengambil sebuah kue lagi. Keduanya saling pandang dan tertawa. Diam-diam kedua anak kecil ini telah mendapat kecocokan dalam pertemuan yang aneh ini.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa melihat ini. “Eh, Ular Betina Buntut Sembilan (Kiu-bwe Coa-li)! Muridmu itu baik sekali, tidak seperti engkau! Kelak kalau ada jodoh, aku akan menemuimu untuk membicarakan urusan mereka berdua itu!”

Akan tetapi Kiu-bwe Coa-li diam saja, bahkan memperlihatkan muka yang tidak senang. “Kalian ini orang-orang lelaki sungguh menjemukan dan menggemaskan sekali!” katanya sambil membanting kaki kirinya. “Masa kita harus duduk diam saja dan menjadi patung di sini? Baik diatur begini saja. Aku hendak menantang kalian maju melawan aku seorang demi seorang, jangan main keroyokan! Kalau ada yang dapat mengalahkan cambukku ini, biarlah aku mengalah dan tidak mengharapkan kitab itu lagi. Hayo, siapa berani maju lebih dulu?”

Sambil berkata demikian, wanita sakti ini kemudian bangkit berdiri dan mengayun-ayun cambuknya dengan sikap menantang sekali. “Akan kuhancurkan kepala kalian empat orang laki-laki tolol.”

Melihat sikap gurunya, Sui Ceng merasa girang dan bangga sekali. Ia menoleh kepada Kun Beng dan Swi Kiat lalu berkata, “Lihat, guruku lebih gagah perkasa. Mana orang seperti gurumu dapat melawan dan mengalahkannya?”

Karena kata-kata ini diucapkan dengan keras, maka terdengar pula oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang menjadi panas perutnya juga. Ia melompat bangun dari bangkunya menghadapi Kiu-bwe Coa-li. Memang watak dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini sombong dan dalam hal ilmu silat, dia tidak pernah mau mengalah terhadap siapa pun juga.

“Kiu-bwe Coa-li, siapa sih yang takut menghadapi cambukmu sembilan ekor itu? Mari kita main-main sebentar!” Sambil berkata demikian, orang pendek kecil ini lalu mengeluarkan sepasang kipas.

Inilah senjata yang amat lihai dari Siangkoan Hai, yakni sepasang kipas warna hitam dan putih. Ia mempunyai ilmu silat kipas yang disebut Im-yang San-hoat, yang permainannya membutuhkan tenaga lweekang dan gwakang yang dimainkan berbareng.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempunyai dua macam ilmu silat yang tinggi dan lihai, yakni ilmu kipas ini dan ilmu tombak. Selain dua macam ilmu silat dengan senjata yang amat lihai ini, juga dia mempunyai ilmu silat tangan kosong yang jarang ada bandingannya di dunia ini. Sekarang, karena dia menghadapi Kiu-bwe Coa-li yang memegang sebuah cambuk, yakni senjata yang lemas, dia merasa rugi kalau harus menghadapinya dengan tombak, maka dia memilih sepasang kipasnya untuk menghadapinya.

Dua orang sakti itu telah saling berhadapan dan agaknya tidak lama lagi mereka akan bergebrak ramai.

“Nanti dulu!” berkata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sambil melompat maju dan tubuhnya yang bulat itu seakan-akan menggelundung maju dan tahu-tahu telah berada di tengah, di antara kedua jago tua yang hendak bertanding. “Harus diadakan perjanjian lebih dulu yang adil!”

“Apa maksudmu, keledai gundul?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.

“Kalau dalam pertandingan ini ada yang kalah dan sampai mampus, itu lebih baik lagi. Akan tetapi kalau tidak sampai mati dan dia sudah dirobohkan, dia harus pergi dan tidak berhak lagi menginginkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Yang menanglah yang akan menghadapi lawan ke dua!” Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu menerangkan.

Ang-bin Sin-kai maklum dalam pertandingan antara orang-orang lihai ini, sukar dibilang bahwa yang kalah masih dapat hidup, maka dia segera melompat maju juga dan sambil tertawa-tawa dia mengacung-acungkan tangannya seperti yang hendak mengusulkan sesuatu dalam rapat!

“Nanti dulu, aku pun mau mengajukan saran yang adil! Kata-kata si gundul gendut ini ada betulnya, akan tetapi masih kurang adil.”

“Cecak kering, bagaimana kau bilang masih kurang adil?” Jeng-kin-jiu bertanya sambil tertawa lebar.

“Kalau dibiarkan dua orang berhantam, biar pun ada yang menang, tentu si pemenang itu sudah empas-empis napasnya dan sudah habis tenaganya, maka bagaimana dia harus menghadapi lawan ke dua? Ini tidak adil, karena tentu dia akan kalah oleh tenaga baru! Lebih baik kalau dalam tiap pertandingan dibatasi, yakni dengan pembakaran hio pendek yang kering. Begitu pertempuran dimulai, hio dinyalakan dan setelah hio terbakar habis, pertempuran harus dihentikan.”

“Hmm, hio akan terbakar habis setelah ilmu silat dimainkan tiga puluh jurus kurang lebih. Bagaimana kalau tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang?” tanya Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Ang-bin Sin-kai menggaruk-garuk kepalanya. “Kalau tidak ada yang kalah, dapat diulang kembali untuk kedua kalinya.”

Semua orang menyatakan setuju, maka Ang-bin Sin-kai cepat-cepat menyalakan hio dan ditancapkan di tempat hio yang berada diatas meja sembahyang.

“Mulai!” kata Ang-bin Sin-kai sambil mengangkat tangan ke atas seperti seorang wasit pertandingan!

“Lihat senjata!” Kiu-bwe Coa-li berseru dan menggerakkan pecut menyerang lawannya.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai menangkis dengan kipas di tangan kiri yang berwarna putih. Inilah kipas yang dimainkan dengan tenaga lweekang dan yang cepat sekali digunakan untuk menangkis.

Seperti diketahui, ujung pecut adalah benda lemas, maka walau pun oleh pemegangnya digerakkan dengan pengerahan tenaga dalam, saat tertangkis oleh kipas yang mengebut akan bertolak kembali. Akan tetapi, Siangkoan Hai tidak berani berlaku lambat. Cepat dia membalas serangan lawan dengan kipas kanan yang berwarna hitam sambil kerahkan tenaga gwakang.

Wanita sakti itu cepat mengelak. Ketika ia mengayun cambuknya, kembali sembilan helai bulu cambuk bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular yang hidup dan mengancam nyawa lawan!

“Satu jurus!” seru Ang-bin Sin-kai menghitung, seakan-akan anak kecil yang bergembira melihat dua orang kawan berhantam!

Serangan Kiu-bwe Coa-li benar-benar lihai. Cambuknya itu walau pun hanya bergagang satu, akan tetapi karena ujungnya memiliki sembilan helai bulu panjang yang bergerak masing-masing dari segala jurusan, maka merupakan sembilan senjata yang amat lihai.

Namun Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga bukan orang sembarangan. Sepasang kipasnya bisa digerakkan hingga menimbulkan angin berputar. Dari mana pun juga bulu-bulu pecut itu menyerang, selalu dia dapat mengebut senjata lawannya sehingga dia terhindar dari bahaya maut. Ada pun kipas hitamnya juga berkali-kali menyerang yang semuanya dapat pula dihindarkan oleh Kiu-bwe Coa-li.

“Guruku pasti menang!” kata Sui Ceng sambil mulutnya terus bergerak-gerak makan kue mangkok. Dalam ketegangannya, tak terasa pula makin cepat ia makan kue itu sehingga mulutnya yang kecil itu bergerak-gerak lucu.

“Tak mungkin! Guruku yang akan membikin mampus gurumu!” kata Swi Kiat.

Sui Ceng mendelikkan matanya. “Siapa bilang? Kalau gurumu sampai terkena cambukan guruku, nyawanya tentu melayang ke akhirat!”

“Ssttt……! Jangan ribut-ribut!” Kun Beng mencela kedua orang anak itu. “Kita lihat saja siapa yang yang akan menang.”

Pertempuran itu benar-benar hebat sekali. Bahkan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Ang-bin Sin-kai, mau tidak mau harus memuji kelihaian dua orang itu. Ang-bin Sin-kai yang merasa gembira sampai seperti anak kecil dan menghitung terus.

“Dua puluh delapan jurus! Dua puluh sembilan…! Ahh, cukup! Hio-nya sudah padam lagi. Tahan!”

Mendengar ini Kiu-bwe Coa-li dan Siangkoan Hai lalu melompat mundur sambil menahan senjata masing-masing. Nampak bayangan kecewa di muka Kiu-bwe Coa-li, sedangkan Siangkoan Hai juga merasa penasaran sekali karena tak dapat mengalahkan lawannya.

“Kau hebat, Ular Betina! Benar-benar aku kagum sekali!” katanya.

“Dalam babak ke dua nanti kau pasti akan kurobohkan, Pak-lo-sian,” kata Kiu-bwe Coa-li dengan muka merah. “Sekarang siapakah yang akan melawan aku?” tantangnya.

“Hee, kau jangan begitu bernafsu dan serakah, Kiu-bwe Coa-li!” Ang-bin Sin-kai mencela, “Sekarang giliran orang-orang lain, jangan main borong semua.”

Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu sudah melompat dan saling berhadapan sehingga Kiu-bwe Coa-li terpaksa mengundurkan diri, duduk di tempatnya yang tadi.

“Eh, ehh, aku dulu!” Ang-bin Sin-kai berkata kebingungan setelah melihat dua orang yang sama gundul, sama bundar bulat itu saling berhadapan. “Siapa nanti lawanku?”

“Cecak kurus, kau minggirlah dan nyalakan lain hio!” Kak Thong Taisu berkata, “Hek-i Hui-mo Si Setan Hitam patut menjadi lawanku!”

Ketika Ang-bin Sin-kai menyalakan lain hio, terdengar suara gelak terbahak yang merdu dan nyaring. Ternyata Sui Ceng dan Kun Beng tertawa bergelak sambil menudingkan jari tangan ke arah Jeng-kin-kiu dan Hek-i Hui-mo.

Memang lucu sekali dua orang ini. Keduanya gendut sekali dan kelihatannya seperti dua ekor babi kebiri yang gemuk sedang berhadapan. Wajah Hek-i Hui-mo kelihatan seram dan galak, sedangkan Kak Thong Taisu memang selalu kelihatan tertawa-tawa. Mereka ini tiada ubahnya seperti dua orang pelawak yang beraksi.

Akan tetapi, ketika keduanya sudah bergerak saling serang, hebatnya bukan main. Meja sembahyang yang terkena sambaran pukulan mereka sampai bergerak-gerak, juga lantai sampai tergetar dan beberapa macam barang yang letaknya terlalu tinggi dan berada di atas meja, roboh terguling!

Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mainkan sebuah toya besar yang berat. Memang hwesio tokoh selatan ini adalah seorang ahli gwakang yang memiliki tenaga seperti gajah, maka toya yang berat itu di tangannya hanya merupakan ranting yang ringan saja dan ketika diputarnya, merupakan segulungan sinar yang mendatangkan angin ribut!

Sebaliknya, Hek-i Hui-mo juga memiliki tenaga besar, sedangkan Tongkat Kepala Naga (Liong-thouw-tung) pada tangan kanannya, ditambah pula dengan tasbih di tangan kiri, merupakan sepasang senjata aneh yang dapat mengimbangi ancaman toya Jeng-kin-jiu.

“Tang! Tung! Tang! Tung!” berkali-kali terdengar suara dibarengi bunga api berpencaran ke sana ke mari kalau senjata-senjata itu bertemu dengan kerasnya.

Menghadapi pertandingan yang dilakukan dengan tenaga kasar dan nampak dahsyat sekali ini, Sui Ceng, Kun Beng, dan Swi Kiat sampai berdiri melongo saking tertarik dan juga merasa ngeri. Mereka yang semenjak kecil telah terdidik ilmu dapat membayangkan kehebatan sambaran-sambaran senjata itu yang akan dapat meremukkan batu karang, apa lagi kepala manusia yang gundul-gundul seperti Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo itu! Tentu akan pecah berantakan.

“Cukup! Hio sudah padam!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.

Pertandingan kali ini lebih cepat habisnya. Hal ini oleh karena sambaran senjata mereka yang digerakkan tenaga luar biasa itu mendatangkan angin dan membuat nyala api hio makin membesar dan cepat menghabiskan hio itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)