PENDEKAR SAKTI : JILID-09
Setelah Loan Eng tiba di tempat terbuka di dalam hutan yang liar itu, tiba-tiba terdengar suitan keras sekali dan segera tampak berlompatan keluar anggota-anggota gerombolan yang jumlahnya dua puluh orang lebih diketuai oleh dua orang laki-laki muda bertubuh tinggi besar dan bermata liar. Inilah gerombolan yang belum lama ini bersarang di Bukit Lek-san, gerombolan yang amat ganas, yang sudah banyak merampok, menculik wanita, dan membakar rumah penduduk. Dua orang muda tinggi besar itu adalah kakak beradik bernama Sin Sai (Singa Sakti) dan Sin Houw (Harimau Sakti).
“Nona elok dan gagah siapakah yang bernyali demikian besar memasuki wilayah kami?” tanya Sin Sai sambil memandang kagum, ada pun Sin Houw adiknya juga memandang dengan mata penuh gairah.
“Namaku tak perlu diketahui oleh gerombolan perampok keji. Lebih baik kalian mengaku, apakah kalian ini yang suka mengganggu penduduk sekitar daerah ini? Jika betul, cepat berlututlah kalian semua agar menerima kematian tanpa menderita sakit lagi.”
Semua orang tertegun, karena mereka tidak mengira seorang wanita cantik akan berani mengucapkan kata-kata seperti itu. Sin Houw berkata kepada Sin Sai.
“Sai-ko, dia ini tentu mata-mata dari keparat she Ong itu, lebih baik tangkap saja!” sambil berkata demikian, dia menggerakkan golok besarnya untuk mengancam Loan Eng, lalu dengan mulut menyeringai dia berkata, “Nona manis, walau pun kau bersikap sombong, namun sikapmu tidak mengurangi rasa sukaku kepadamu. Marilah kau ikut saja dengan aku dan aku bersumpah bahwa kalau kau suka menjadi biniku, aku tidak akan mau lagi mengganggu lain wanita lagi!”
Sepasang mata Loan Eng yang jeli dan bagus lantas bernyala. Sekali dia menggerakkan tangannya, pedangnya yang mengkilat itu telah terhunus dan berada di tangan kanan.
“Bagus sekali, kau memilih kematian yang menyiksa dirimu. Hari ini, apa bila tidak dapat membasmi kalian anjing-anjing hina-dina ini, jangan sebut aku Pek-cilan lagi!” Sebagai penutup kata-katanya, Loan Eng lalu melompat maju dan menyambar ke arah leher Sin Houw!
Melihat sinar pedang yang mengkilat dan cepat ini, Sin Houw tidak berani memandang ringan. Dari gerakan ini dia maklum bahwa pendekar wanita di depannya itu mempunyai kepandaian tinggi, apa lagi nama julukan Pek-cilan bukan tidak terkenal dan dia pernah mendengar nama ini dipuji-puji orang.
Cepat dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya, dengan maksud hendak membuat pedang lawannya terpental dan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa pedang Loan Eng sama sekali tidak terpental, bahkan telapak tangan kepala rampok muda ini yang terasa sakit!
Dia berseru keras dan merasa terkejut sekali, akan tetapi tidak kehilangan kesigapannya karena goloknya juga terbuat dari baja yang amat baik maka tidak rusak. Ketika goloknya terpental oleh pedang lawan, dia lalu mengayun golok itu ke bawah dan menyerampang kedua kaki Loan Eng menggunakan gerak tipu Hong-sauw Pai-hio (Angin Menyapu Daun Rontok), sebuah gerak tipu serangan yang amat hebat dan berbahaya.
Diam-diam Loan Eng harus mengakui bahwa kepandaian kepala rampok muda ini tidak jelek, maka cepat ia memutar pedangnya berubah yang menjadi segundukkan sinar putih yang lihai sekali. Kepala rampok itu juga menahan dengan mengeluarkan ilmu goloknya yang ternyata adalah ilmu golok Go-bi-pai. Akan tetapi ilmu goloknya masih jauh untuk menandingi pedang di tangan Loan Eng sehingga dalam beberapa jurus saja Sin Houw sudah terdesak hebat.
Sin Sai berseru keras dan kepala rampok nomor satu ini lalu menerjang dengan goloknya yang ternyata masih lebih tinggi dan lebih lihai dari pada kepandaian adiknya. Juga para perampok diberi tanda sehingga sebentar saja Loan Eng dikeroyok hebat.
Pendekar wanita ini tidak menjadi gentar karenanya, bahkan ia makin gembira mainkan pedangnya. Tak lama kemudian, terdengarlah pekik-pekik kesakitan dan tubuh beberapa orang anak buah perampok roboh terguling terkena sambaran pedang di tangan nyonya janda yang cantik dan gagah itu.
“Mundur...!” teriak Sin Sai ketika melihat sudah lima orang anak buahnya roboh.
“Kita tangkap dia hidup-hidup!” seru Sin Houw pula.
Mereka lantas berkelahi sambil mundur. Belasan batang golok merupakan perisai dan menangkis serangan-serangan pedang Loan Eng yang bergerak cepat.
Akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah yang besar sekali. Loan Eng menjadi terheran-heran, mengapa dalam hutan yang liar itu bisa terdapat sebuah rumah gedung ini? Tiba-tiba semua lawannya melompat masuk ke dalam rumah itu dan pintu depannya tertutup dengan mengeluarkan suara keras!
Pek-cilan Thio Loan Eng ragu-ragu. Dia memandang bangunan di depannya yang kini nampak senyap. Tidak salah lagi, rumah ini tentu dulunya adalah sebuah kelenteng tua, pikirnya. Bagaimana kini bisa menjadi sarang penyamun?
Dia tidak tahu bahwa kelenteng ini memang sudah lama ditinggalkan para hwesio yang mendapat gangguan perampok-perampok ini, dan bahwa perampok lalu memperbaikinya dan menggunakan sebagai sarang mereka. Juga para wanita yang diculik, semua berada di dalam gedung yang besar dan memiliki pekarangan belakang yang luas sekali ini.
“Hemm, mereka pasti akan menjebakku,” pikir Pek-cilan Thio Loan Eng.
Sebagai seorang pendekar wanita yang banyak merantau dan sudah sering menghadapi penjahat-penjahat, tentu saja dia banyak pengalaman dan berlaku hati-hati. Akan tetapi, keberaniannya luar biasa sekali dan biar pun dia sudah bercuriga dan menyangka akan adanya perangkap yang dipasang, Loan Eng tak merasa takut. Dihampirinya pintu rumah gedung itu dan beberapa kali bacok saja, sambil mengeluarkan suara gaduh, daun pintu itu pecah dan roboh!
“Syuuut-syuuuut! Syuuuuut!”
Banyak sekali anak panah menyambar ke arah pintu itu dari depan kanan dan kiri. Kalau saja Loan Eng tadi terus menerjang masuk ke dalam, tentu ia akan terancam oleh anak panah ini. Akan tetapi pendekar wanita ini sudah berlaku hati-hati sekali, dan setelah tadi merobohkan pintu, dia melompat ke samping sehingga semua anak panah itu mengenai tempat kosong.
Setelah semua anak panah yang terlepas dari tempat-tempat rahasia itu habis, barulah Loan Eng menerjang masuk sambil memutar pedangnya, memasuki pintu yang sudah tidak berdaun lagi itu. Dia melihat keadaan dalam rumah sunyi saja, dan tidak nampak seorang pun manusia.
Akan tetapi, baru saja ia melangkah beberapa tindak dengan amat hati-hati, tiba-tiba dari arah belakang gedung itu terdengar suara ribut-ribut dan di antara suara-suara manusia itu Loan Eng mendengar seruan-seruan.
“Tangkap penjahat! Padamkan api...!”
Loan Eng diam-diam tersenyum dan juga terheran. Pasti ada orang lain yang menyerbu sarang gerombolan ini. Akan tetapi dia tidak tertarik, malah ingin terus menerjang masuk untuk membasmi gerombolan penjahat itu. Tiba-tiba terdengar isak tangis dan dia dapat memastikan bahwa di sebelah kanannya di mana nampak sebuah daun pintu kamar, ada seorang wanita yang sedang menangis sedih sekali.
“Siapa dia? Kenapa menangis? Ah, tentu seorang wanita yang diculik oleh gerombolan,” pikir Loan Eng. “Aku harus menolong dia.” Setelah berpikir demikian, ia tidak jadi menuju ke ruang belakang, melainkan menghampiri daun pintu kamar itu.
Suara tangis itu makin mengeras dan tanpa banyak ragu-ragu lagi, Loan Eng membacok kedua pinggiran daun pintu hingga terlepaslah daun pintu itu dari tiangnya. Seperti juga tadi, Loan Eng tidak langsung menerjang masuk, bahkan mudur dua tindak ke belakang sambil memandang tajam.
Ia tak melihat apa-apa di dalam kamar itu, kosong melompong dan juga tidak kelihatan orang. Suara tangis wanita yang tadi kini sudah pindah ke belakang kamar itu. Loan Eng melihat bahwa di dalam kamar itu terdapat sebuah pintu lain yang agaknya menembus ke ruang tengah, maka ia lalu masuk ke dalam kamar ini.
Baru saja ia melangkah lima tindak di dalam kamar ini dengan hati-hati sekali, tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar sebuah toya dari belakang. Pendekar wanita yang gagah ini tanpa menengok kemudian menggerakkan pedangnya ke belakang, diayun dari kanan sambil memutar tubuhnya. Akan tetapi anehnya, toya itu tidak dipegang oleh siapa pun juga dan kini sisanya tinggal sepotong masih tergantung di atas.
Ketika Loan Eng berdongak ke atas, ia tersenyum sindir. Ia tahu bahwa itulah sebuah senjata rahasia yang di gerakkan oleh alat-alat per dan yang otomatis bergerak memukul apa bila ada orang memasuki kamar dan alat penggeraknya kena terinjak. Tetapi ia tidak takut dan melangkah terus!
Baru dua tindak dia melangkah, agaknya ia kena menginjak alat-alat penggerak lagi yang dipasang di bawah permadani, karena mendadak terdengar suara keras dan tiga macam senjata menyerangnya dari tiga jurusan! Sebatang golok melayang keluar dari tembok dan menyambar ke arah kakinya dengan gerakan membabat, sebatang tombak yang runcing tiba-tiba saja keluar dari tembok sebelah depan dan menusuk ke arah perutnya, ada pun senjata ketiga adalah sebuah ruyung besar yang dengan kecepatan kilat menyambar kepalanya. Jadi, sekaligus Loan Eng diserang kaki, perut dan kepalanya!
Namun, Pek-cilan tidak gentar sedikit pun juga.
“Perampok busuk, siapa takut dengan senjata-senjatamu?” bentaknya.
Cepat dia merendahkan tubuh untuk menghindarkan kepala dari sambaran ruyung dan golok yang menyambar ke arah kakinya itu dapat di tendangnya secara luar biasa sekali! Memang Loan Eng memiliki ilmu tendang yang hebat sehingga nyonya muda ini berani menghadapi senjata musuh yang tajam atau runcing dengan kedua kakinya! Ada pun tombak yang menusuk ke arah perutnya dapat di babat putus dengan pedangnya.
“Gerombolan perampok, hari ini aku harus dapat membasmi kalian semua!” Loan Eng berseru dan hendak menerjang pintu yang berada di kamar itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja dari langit-langit kamar menyambar turun semacam jala yang lebarnya memenuhi kamar itu. Loan Eng terkejut sekali dan hendak melompat keluar dari kamar itu, namun tidak keburu. Sebelum ia tiba di pintu tadi, jala itu sudah menerkamnya dan ternyata bahwa itu bukanlah jala biasa melainkan jala yang terbuat dari kawat-kawat baja yang lemas akan tetapi kuat sekali!
Untuk beberapa lamanya, Loan Eng menjadi bingung dan gelagapan. Dia meronta-ronta ke sana ke mari di dalam jala, seperti seekor ikan emas di dalam jala seorang nelayan. Makin keras Loan Eng meronta, makin erat pula jala baja itu menekan tubuhnya!
Pendekar wanita ini lalu diam tak bergerak. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Dia tidak boleh gugup menghadapi bahaya ini, kemudian ia menggunakan pedangnya, digosokkan pada kawat jala seperti orang orang menggergaji.
Dengan pengerahan tenaga lweekang-nya, dia berhasil membuat kawat itu putus! Loan Eng girang sekali dan bekerja terus. Tak lama kemudian, ia telah dapat membikin putus beberapa helai kawat jala dan kini ia akan mudah saja dapat menerobos keluar dari jala yang sudah bocor itu. Akan tetapi dia tidak mau keluar, bahkan memegangi bagian jala yang sudah rantas, karena ia mendengar suara orang mendatangi.
Muncullah dari pintu depan dengan seorang anggota gerombolan yang tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, aku dapat menangkap seekor ikan duyung!” serunya girang. “Aduh cantiknya! Manis, kalau kau berjanji mau menjadi biniku, segera aku akan melepaskan kau dari jala itu. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi mendadak dia menjadi pucat dan selanjutnya dia takkan dapat tertawa atau menangis lagi karena pada saat dia tertawa tadi, Loan Eng sudah menerobos keluar dan sekali pedangnya berkelebat, tubuh anggota gerombolan ini sudah putus menjadi dua pada bagian pinggangnya!
Dengan marah sekali Loan Eng lantas menendang pintu dalam kamar itu yang menjadi pecah dan terbuka. Di situ ia melihat pemandangan yang bikin alisnya terangkat naik dan giginya digigitkan.
Ternyata di balik pintu itu adalah sebuah ruangan yang cukup luas dan di seberang sana dia melihat seorang wanita yang pakaiannya cobak-cabik sedang di seret-seret oleh Sin Houw, kepala perampok ke dua. Wanita itu masih muda sekali, mukanya pucat dan air matanya mengalir membasahi pipinya. Rambutnya yang hitam panjang itu terurai dan kini dijambak oleh Sin Houw yang menyeretnya ke arah lain.
“Jahanam keparat!” Loan Eng memaki dan cepat ia berlari mengejar.
Akan tetapi, celaka sekali baginya! Tak tahunya bahwa Sin Houw sengaja berlaku kejam kepada wanita itu, yakni seorang di antara banyak wanita yang diculik oleh gerombolan, hanya dengan maksud agar Loan Eng menjadi marah, menjadi kurang hati-hati dan terus mengejarnya.
Pada waktu pendekar wanita ini berlari mengejar sampai di tengah-tengah ruangan itu, tiba-tiba saja permadani yang diinjaknya menyeplos ke bawah! Di situ tidak ada lantainya sama sekali dan merupakan lobang yang bentuknya segi empat, besarnya ada sepuluh kaki dan dalam sekali, hanya luarnya ditutupi dengan permadani tebal. Tentu saja kalau diinjak lalu nyeplos ke bawah berikut permadaninya!
Bukan main kagetnya hati Loan Eng, bukan karena kejatuhan itu, melainkan karena yang menerima tubuhnya di bawah adalah air yang dingin! Ia masih berusaha berpegang pada permadani yang tebal dan lebar itu, akan tetapi permadani itu berat sekali dan sesudah terkena air, terus saja tenggelam!
Loan Eng terpaksa cepat-cepat melepaskan pegangannya dan merasa betapa tubuhnya akan tenggelam terus. Bukan main dalamnya sumur yang lebar sekali ini, sedangkan dia tidak pandai berenang!
Pada saat itu air bergolak dan permadani yang tadinya sudah tenggelam, kini tersembul kembali dengan cepatnya. Air muncrat tinggi dan pucatlah muka Loan Eng ketika melihat ujung ekor ikan yang besar!
Ternyata bahwa di dalam sumur lebar itu hidup seekor ikan yang besar dan tadi menjadi marah karena permadani itu tenggelam. Kini ikan itu mulai mengamuk dan menyerang permadani tadi. Terdengarlah suara kain robek dan sebentar saja permadani itu sudah cobak-cabik.
Ketika Loan Eng merasa tubuhnya hampir tenggelam, pendekar wanita ini menendang-nendangkan kedua kakinya ke bawah sehingga dia bisa mumbul kembali. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaganya menusuk dinding sumur dengan pedangnya yang tidak pernah lepas dari tangannya. Biar pun dinding sumur itu berbatu dan keras, namun pedang Loan Eng dengan mudah menancap sampai setengahnya.
Kini nyonya muda itu mempunyai pegangan, yakni gagang pedangnya dan karena tubuh di dalam air menjadi ringan sekali, maka ia dapat mengambang sambil berpegang pada pedangnya. Akan tetapi, setelah bahaya tenggelam tertolong, kini datang bahaya yang lebih hebat lagi, yaitu ikan itu!
Beberapa kali kepala ikan tersembul dan ngeri sekali hati Loan Eng melihatnya. Ikan itu di depan mulutnya memiliki sebatang senjata runcing seperti tombak dan tahulah Loan Eng bahwa itu ikan cucut yang jahat dan suka makan orang!
“Celaka,” pikirnya dengan hati berdebar.
Apa bila dia berada di darat, biar pun ada sepuluh ekor binatang macam ini, dia takkan merasa jeri. Akan tetapi, karena dia tidak berdaya dan di dalam air kepandaiannya tiada gunanya lagi, tentu saja bahaya yang kini dia hadapi adalah bahaya maut yang sukar dielakkan lagi.
“Betapa pun juga, aku harus dapat melawannya,” pikir Loan Eng dengan gemas.
Cepat-cepat nyonya muda ini mengerahkan tenaga lweekang-nya dan dengan tangan kiri berpegang pada gagang pedang, jari-jari tangan kanannya ditusukkan kepada dinding sumur. Hebat juga tenaga lweekang nyonya ini karena biar pun ia merasa ujung jari-jari tangannya sakit, namun dia berhasil mencengkeram dinding itu dan membuat lobang di mana ia bisa memegang atau menjadikan sebagai tempat tangannya berpegang pada lekukan lobang. Lalu ia cepat mencabut pedang dengan tangan kanan karena ia melihat air berombak dan ikan itu muncul lagi!
Bukan main dahsyatnya ikan itu. Panjangnya ada empat kaki dan kini ia menjadi marah sekali. Ketika ia melihat seorang manusia terapung, ia lalu menyerang dengan tombak di depan mulutnya dengan kecepatan luar biasa!
Loan Eng sudah bersiap sedia. Segera ia menggerakkan pedangnya menangkis tombak itu. Ia merasa seluruh lengannya kaku tergetar saking kuatnya ikan itu menyerang. Akan tetapi dia tidak menyangka bahwa ikan itu benar-benar cerdik, karena berbareng dengan memutarnya tubuhnya karena tangkisan tadi, ekornya menyabet ke depan!
Sebetulnya bagi Loan Eng serangan ini tidak hebat sekali, yang celaka adalah air yang muncrat ke arah mukanya sehingga dia sukar membuka mata! Akan tetapi nyonya ini masih sempat menggerakkan pedang, diputar di depannya dan ketika ekor itu menyabet, terlukalah tubuh ikan itu oleh ujung pedang yang runcing tajam.
Akan tetapi, berbareng dengan tubuh ikan yang meronta kesakitan, terdengar suara kain yang memberebet dan pecahlah ujung lengan baju Loan Eng terkena sambaran ekor ikan. Hebat sekali karena ujung lengan baju itu membelit pada ekor sehingga ketika ikan itu meluncur pergi, terdengar suara kain terobek dan tahu-tahu semua pakaian Loan Eng bagian atas sudah robek!
Pendekar wanita ini bingung sekali. Bajunya terlepas dan terobek dari tubuhnya, terbawa oleh ikan itu sehingga bagian atas tubuhnya hanya tertutup dengan pakaian dalam yang sempit dan tipis sehingga dia kini dalam keadaan setengah telanjang.
“Bedebah! Kau harus mampus!” seru Loan Eng dengan marah sekali.
Akan tetapi berbareng ia pun menjadi merah mukanya saking malu dan jengah. Andai kata ia tertolong dan dapat keluar dari sumur ini, bagaimana ia berani bertemu dengan orang?
Ikan itu kini tidak berani menyerang, tubuhnya berputar-putar karena ekornya terasa sakit sekali. Air sumur itu mulai menjadi kemerahan karena darahnya dan Loan Eng hampir menjadi pingsan oleh bau amis yang memuakkan perutnya.
Dia mengincar dan bersiap-siap. Ketika ikan itu berenang berputaran dan berada dekat dengan dia, cepat sekali pedangnya dia gerakkan ke arah perut, menusuk kuat-kuat lalu menggerakkan pedang ke belakang tubuh ikan sehingga perut itu terbelah! Ikan itu lalu meronta-ronta hebat sekali, air muncrat sehingga tubuh Loan Eng bergerak-gerak karena gelombang air. Akan tetapi hanya sebentar saja karena perut ikan itu sudah terbuka dan isi perutnya berhamburan keluar. Matilah binantang itu.
Akan tetapi, air menjadi semakin merah dan bau amis tak tertahankan lagi. Ia mengeluh dan pegangannya pada lobang di dinding sumur makin mengendur. Ia masih ingat untuk menancapkan pedang pada dinding sekuatnya dan kini ia dapat berpegang pada gagang pedang lagi. Demikianlah, pendekar wanita ini bergantung pada gagang pedang dalam keadaan setengah pingsan. Dia mulai putus asa karena tidak melihat jalan keluar sama sekali. Tubuhnya terasa kedinginan, karena dalam keadaan setengah telanjang itu, air yang dingin bagaikan menyusup ke dalam tulang-tulangnya.
Pada saat yang sangat berbahaya ini, tiba-tiba dari atas sumur terayun sehelai tambang dan terdengar suara orang.
“He, kawan yang berada di bawah. Lekas berpegang pada tambang!”
Pikiran Loan Eng sudah nanar dan pening. Ia tidak teringat akan apa-apa lagi, tidak ingat akan keadaan tubuhnya yang setengah telanjang. Melihat tambang terayun di dekatnya, ia cepat menyambar, mencabut pedangnya dan bergantung pada tambang itu. Bau amis membuat dia muak dan lemah sehingga tak kuasa lagi untuk merayap melalui tambang.
Perlahan-lahan tambang itu ditarik orang ke atas dan setibanya di lantai dalam ruang di mana dia tadi terjeblos, Loan Eng yang sudah pening sekali masih sempat melihat wajah seorang pemuda yang tampan. Ia berusaha mempertahankan rasa muaknya, akan tetapi tak tertahankan lagi dan ia muntah-muntah lalu tak sadarkan diri.
Akan tetapi tidak lama ia jatuh pingsan. Ketika kembali membuka mata, dia cepat-cepat melompat dan pada saat dia melompat itu, terbukalah sehelai baju panjang yang tadinya menutupi bagian atas tubuhnya. Dengan terkejut Loan Eng melihat betapa bagian atas tubuhnya itu setengah telanjang! Bukan main kagetnya dan cepat-cepat dia menyambar baju panjang itu dan dikerobongkan pada tubuhnya kembali. Ia menengok dan melihat seorang lelaki berdiri tak jauh dari situ sambil memandangnya dengan senyum!
“Loan Eng, baiknya kau lekas sadar kembali. Aku sudah khawatir karena mereka masih mengancam keselamatan kita.”
“Ohhh...” Loan Eng terkejut sekali dan mukanya menjadi merah seperti kepiting di rebus. “Kau… Ong Kiat...? Bagaimana kau bisa berada di sini...?”
Orang muda itu tersenyum lagi, wajahnya tampan dan bagi Loan Eng, tak ada perubahan pada wajah yang dikenalnya baik-baik semenjak masa kanak-kanak itu.
“Tiada waktu bicara sekarang, Loan Eng. Lekas kau pakailah pakaian kering ini dan kita bersiap-siap menghadapi mereka!” Sambil berkata demikian, Ong Kiat lalu melemparkan segulung pakaian wanita kepada Loan Eng, lalu membalikkan tubuhnya, membelakangi Loan Eng.
Makin merah muka Loan Eng. Kalau bukan Ong Kiat yang sudah dipercaya penuh, dia tidak sudi berganti pakaian di dekat orang laki-laki, sungguh pun laki-laki itu telah berdiri membelakanginya. Akan tetapi dia harus berganti pakaian, karena kalau nanti bertempur melawan gerombolan, bagaimana ia dapat bergerak dengan baju panjang mengerobongi tubuhnya yang setengah telanjang itu? Cepat-cepat ia membuka semua pakaiannya dan apa bila pada waktu itu ada perlombaan berganti pakaian, pasti Loan Eng akan menjadi juaranya. Demikian cepatnya ia berganti pakaian!
“Jadi kaukah orang yang menolongku dari sumur tadi?” tanyanya perlahan.
“Tiada harganya untuk disebut-sebut, Loan Eng. Kau tahu bahwa aku selalu siap sedia untuk membelamu dengan taruhan nyawa sekali pun!”
Berdebar jantung janda muda itu. Dia memeras rambutnya, lalu di gelungnya.
“Punyamukah jubah panjang ini, Ong Kiat?”
“Ya, aku melihat kau... kau kedinginan, maka aku kerobongkan baju luarku.”
Dengan muka terasa panas biar pun masih basah oleh air, Loan Eng mengerling ke arah punggung orang muda itu. “Dan… kau... kau melihat...”
“Apa, Loan Eng?”
“...tidak apa-apa! Aku sudah selesai berpakaian, Ong Kiat!”
Orang muda itu memutar tubuhnya dan mereka saling pandang.
“Ahh, kau tidak berubah, Loan Eng. Masih seperti dulu.”
“Siapa bilang tidak berubah? Aku sekarang sudah tua.”
“Kau keliru! Setiap orang pasti akan mengatakan bahwa kau tidak ada ubahnya seorang gadis berusia tujuh belas tahun saja. Sungguh, kau tidak berubah, Loan Eng.”
“Kau pun tidak berubah, Ong Kiat, yakni... watakmu, masih baik seperti dulu.”
“Jadi keadaan jasmaniku berubah dalam pandanganmu?”
“Hanya pakaianmu!”
Ong Kiat tertawa dan biar pun usianya sudah hampir tiga puluh tahun, ketika tertawa dia nampak masih muda sekali.
“Memang aku telah menjadi piauwsu (pengantar dan pengawal barang kiriman) dan aku tinggal di kota Hak-keng, tidak jauh dari sini.”
Percakapan mereka terhenti karena terdengar suara orang dan dan tindakan kaki.
“Akan kubasmi semua gerombolan anjing itu!” kata Loan Eng perlahan dan tanpa berjanji dulu, kedua orang ini lalu melompat menerjang ke arah pintu, keluar dari ruangan itu.
Alangkah kagetnya Sin Sai dan Sin Houw yang memimpin orang-orangnya ketika melihat dua orang itu. Mereka tidak mengira bahwa Loan Eng sudah dapat keluar dari sumur itu. Namun Loan Eng dan Ong Kiat tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka untuk berheran-heran lebih lama lagi karena Loan Eng sudah lantas menggerakkan pedangnya dan menerjang dengan hebat sekali. Juga Ong Kiat telah menerjang dengan goloknya yang terkenal karena dia adalah anak murid Thian-san-pai yang berkepandaian tinggi.
Hebat sekali sepak terjang dua orang muda yang marah ini. Terutama sekali Loan Eng. Pendekar wanita ini mengarahkan serangannya khusus kepada Sin Sai dan Sin Houw yang mengeroyoknya, sedangkan Ong Kiat dengan enaknya membabati para anak buah gerombolan yang segera roboh sambil menjerit kesakitan.
Hanya dalam waktu tiga puluh jurus saja, berturut-turut Sin Sai dan Sin Houw roboh dan tewas di ujung pedang Loan Eng. Kemudian berdua Ong Kiat ia membasmi semua anak buah gerombolan. Tak seorang pun dapat melarikan diri.
Ong Kiat lalu mengajak Loan Eng menyerbu ke dalam gedung itu. Mereka membebaskan orang-orang wanita yang tadinya diculik oleh gerombolan itu dan jumlah mereka semua adalah sembilan orang, penduduk dusun-dusun dan juga ada dua orang berasal dari kota Hak-keng.
Ong Kiat segera mengumpulkan barang-barang kawalannya yang tadinya dirampok oleh gerombolan itu. Ia tak mau mengambil lain barang berharga untuk keperluannya sendiri, bahkan lalu membagi-bagikan barang-barang lainnya kepada sembilan orang wanita itu yang berlutut di depan Loan Eng dan Ong Kiat sambil menghaturkan terima kasih.
Mereka membakar gedung sarang gerombolan itu, lalu kedua orang gagah ini mengantar sembilan orang wanita itu menuju Hak-keng. Kiranya tidak perlu diceritakan betapa dua orang muda pendekar ini disambut dengan penuh kegembiraan dan rasa terima kasih oleh keluarga para korban itu. Terutama sekali Ong Kiat yang memang sudah terkenal di kota Hak-keng sebagai seorang pendekar yang budiman, mendapat sambutan hangat, bahkan kepala daerah di Hak-keng memberi gelar Hak-keng Taihiap kepadanya.
Kemudian, di ruang tamu di rumah Ong Kiat, dua orang pendekar itu duduk menghadap arak. Loan Eng merasa terharu melihat betapa keadaan rumah bekas kawannya ini sunyi saja, hanya ada dua orang pelayan wanita tua yang mengurus rumah tangga.
“Ong Kiat, di mana orang tuamu?”
Ong Kiat menarik napas panjang. “Mereka sudah meninggal dunia ketika wabah penyakit mengamuk di kota ini.”
“Dan kau hidup sebatang kara?”
Ong Kiat mengangguk.
“Apakah kau tidak… tidak beristri?”
Mendengar pertanyaan ini, seketika merahlah wajah Ong Kiat dan dia menjawab agak kasar, “Loan Eng, kau kira aku laki-laki macam apakah? Selama hidup, aku tidak akan melanggar sumpahku!”
Kini Loan Eng menghela napas sambil menundukkan mukanya. Ia masih ingat baik-baik akan sumpah Ong Kiat, bahwa pemuda ini tidak akan menikah dengan lain orang wanita kecuali dengan Thio Loan Eng yang sudah di jodohkan oleh orang tuanya kepada Bun Liok Si!
“Loan Eng, kau baik-baik saja selama ini? Bahagiakah hidupmu?”
“Ahh, Ong Kiat. Kau tidak tahu. Aku adalah seorang yang paling berdosa, seorang istri yang tidak baik. Aku... aku telah membunuh suamiku sendiri.”
Akan tetapi Ong Kiat tidak heran mendengar ini. “Aku sudah tahu, Loan Eng. Aku sudah mendengar tentang semua keadaanmu.” Kemudian untuk menggembirakan suasana, dia bertanya. “Ahh, ya, bagaimana dengan puterimu? Sudah besarkah?”
Berseri wajah Loan Eng. “Kalau tidak ada puteriku, agaknya aku takkan ada di dunia ini.” Setelah berhenti sebentar, Loan Eng lalu mengubah percakapan yang tak enak itu. “Ong Kiat, bagaimana kau bisa berada di sarang gerombolan itu dan kebetulan sekali dapat menolongku keluar dari dalam sumur?”
Ong Kiat lalu bercerita. Telah beberapa tahun dia menjadi piauwsu dan karena gagahnya dan jujurnya, maka dia dipercaya penuh oleh banyak pedagang dan bangsawan. Pada suatu hari, pembantu-pembantunya mengantarkan barang-barang berharga dari seorang bangsawan dan barang-barang itu harus diantarkan ke kota raja. Pada waktu itu, Ong Kiat tidak berada di Hak-keng karena piauwsu muda ini sedang mengantarkan sebuah keluarga yang melakukan perjalanan jauh. Ketika dia datang di Hak-keng kembali, dia mendengar bahwa barang kiriman itu dirampok oleh gerombolan di dalam hutan itu.
Marahlah Ong Kiat dan seorang diri saja dia kemudian membawa goloknya melakukan penyelidikan. Melihat gerombolan itu terdiri dari dua puluh orang lebih, ia lalu melakukan pembakaran di bagian belakang gedung itu, tidak tahu bahwa Loan Eng sudah menyerbu masuk ke dalam. Ong Kiat maklum akan kelihaian gerombolan ini, karena dia pun tahu bahwa bekas kelenteng ini memang mempunyai banyak bagian-bagian rahasia.
Dia lantas merobohkan beberapa orang anggota gerombolan dan menyerbu ke dalam. Ia datang pada saat yang tepat karena dia melihat empat orang gerombolan mengintai dari pintu sebuah ruangan besar, di mana terdapat sumur rahasia itu. Dia dapat merobohkan dua orang anggota gerombolan dan yang dua lagi lari keluar.
Maka waktu kedatangannya tepat sekali dan dia masih sempat menolong Loan Eng dari bahaya maut. Ia tadinya tidak tahu bahwa orang yang terjebak adalah Loan Eng, wanita satu-satunya di dunia ini yang menjadi pujaan kalbunya.
Melihat keadaan Loan Eng cepat Ong Kiat mengerobongi tubuh wanita yang dikasihinya ini dengan baju luarnya, kemudian dia menyerbu ke dalam kamar belakang dan meminta sesetel pakaian dari seorang wanita tawanan untuk diberikan kepada Loan Eng setelah pendekar manita ini siuman kembali.
Mendengar penuturan Ong Kiat ini, Loan Eng lalu berkata kagum, “Tak kusangka bahwa kepandaianmu telah maju demikian hebatnya, Ong Kiat.”
“Ahh, mana bisa dibandingkan dengan ilmu pedangmu?” jawab Ong Kiat merendah, lalu dengan wajah bersungguh-sungguh ia berkata, “Loan Eng, setelah kau sekarang menjadi janda, hanya hidup berdua saja dengan puterimu, kiranya adakah harapan bagiku untuk membantumu mendidik puterimu itu? Aku akan menganggap dia sebagai anakku sendiri, Loan Eng.” Sambil berkata demikian, dia menatap wajah bekas kawannya itu dengan penuh harapan.
Loan Eng tertegun dan menundukkan mukanya yang menjadi merah! Terus terang saja, dahulu sebelum dijodohkan dengan Bun Liok Si, diam-diam ia juga merasa suka kepada Ong Kiat, kawan mainnya semenjak ia kecil. Setelah mulai dewasa rasa suka ini menjadi perasaan cinta kasih yang terpendam.
Akan tetapi, setelah menjadi istri Bun Liok Si, perasaan terhadap Ong Kiat ini diusirnya jauh-jauh, dan tidak pernah dipikirkannya lagi. Sebagai seorang istri, ia harus mencinta suaminya dan harus bersetia lahir dan batin! Biar pun suaminya telah meninggal dunia, namun andai kata ia tidak bertemu Ong Kiat, agaknya selama hidupnya ia pun tidak akan mengingat lagi kepada bekas kawan itu.
Akan tetapi, nasib agaknya menghendaki lain, karena dalam keadaan yang sangat tidak tersangka-sangka, ia bertemu dengan pemuda ini. Dan lebih hebat lagi, ternyata bahwa Ong Kiat masih tetap setia dan tidak mau menikah dengan wanita lain, bahkan sekarang mengajukan pinangan kepadanya! Dapat dibayangkan betapa gelisah serta bingungnya hati Loan Eng menghadapi pinangan pemuda ini.
Ia maklum akan kemuliaan hati dan kebaikan watak Ong Kiat, dan ia berani memastikan bahwa andai kata ia meneriman pinangan ini, ia akan dapat hidup beruntung. Dan juga puterinya, Sui Ceng, pasti akan menemukan seorang ayah tiri yang jauh lebih baik adat wataknya dari pada ayahnya sendiri yang sudah meninggal! Akan tetapi... hatinya masih terasa berat untuk menerima pinangan ini. Memang, pada masa itu di Tiongkok, adalah merupakan suatu hal yang langka dan tidak mungkin bagi seorang janda, apa lagi sudah mempunyai anak, untuk bisa menikah lagi.
Melihat sampai sekian lamanya Loan Eng tidak menjawab dan menunduk saja dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Ong Kiat lalu bertanya dengan nada mendesak. “Loan Eng, bagaimana jawabmu? Apakah masih juga aku tidak mempunyai harapan?”
Loan Eng mengangkat mukanya memandang dan Ong Kiat melihat betapa sepasang mata yang bening itu menjadi basah.
“Ong Kiat, bagaimana aku harus menjawabmu? Aku tidak ingin menyakitimu, tidak ingin mengecewakanmu, kau begitu baik... Sedangkan aku...”
“Hushh Loan Eng, jangan ucapkan kata-kata seperti itu. Aku bukan seorang anak-anak lagi. Marilah kita bicara dengan tenang, tidak baik kalau orang-orang yang sudah banyak menderita seperti kita ini masih dapat dikuasai oleh nafsu.”
Mendengar ucapan ini, legalah Loan Eng. Ia mengangkat mukanya lagi dan sekarang ia memandang dengan berani. Pandangan matanya penuh kekaguman.
“Loan Eng, aku dapat menduga isi hatimu. Kau tentu suka sekali menerima pinanganku, akan tetapi kau merasa tidak enak, sebagai seorang janda muda menikah lagi, bukan?”
Loan Eng mengangguk, “Bukan cuma itu saja, Ong Kiat. Aku sudah membunuh suamiku sendiri karena dia menyeleweng, karena cemburu. Apa bila sekarang aku menikah lagi dengan kau, apakah orang lain tidak akan mengatakan bahwa aku sengaja membunuh suamiku untuk dapat menikah lagi dengan orang lain?”
Ong Kiat mengerutkan keningnya. Beralasan juga kata-kata wanita yang dicintainya ini. “Akan tetapi, Loan Eng. Dalam hal pembentukan rumah tangga, suara orang luar selalu hanya mendatangkan kerusakan belaka. Apa sangkut pautnya orang lain dengan kita? Pula, hendak kulihat siapa orang-orangnya yang berani mencacimu? Pendeknya begini, Loan Eng. Kau pulanglah dan pikirkanlah masak-masak. Aku tak terburu-buru dan masih tetap bersabar, karena sudah bertahun-tahun aku menanti, bahkan aku telah mengambil keputusan tak akan menikah dengan orang lain. Masa aku tidak dapat bersabar menanti sampai kau dapat mengambil keputusan? Ingatlah selalu, bahwa di Hak-keng, aku selalu menanti kedatanganmu dan anakmu.”
Demikianlah, Loan Eng lalu pulang ke Tun-hang dengan berat hati dan ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Dan dalam perjalanan pulang inilah ia bertemu dan menolong Lu Kwan Cu dari tangan Tauw-cai-houw sebagaimana sudah dituturkan pada bagian depan.
Kemudian terjadilah peristiwa penculikan Sui Ceng oleh para anak buah suaminya, yakni anggota-anggota Sin-to-pang. Melihat keadaan ini, hati Loan Eng merasa ngeri. Dia takut kalau-kalau puterinya yang hanya satu-satunya dan sangat dikasihinya itu benar-benar akan menjadi ketua dari Sin-to-pang! Karena itu ia kemudian membawa pergi puterinya, meninggalkan Lu Kwan Cu.
Ke manakah perginya Loan Eng dan Sui Ceng. Mudah diduga. Ke mana lagi kalau tidak ke Hak-keng, ke tempat tinggal Ong Kiat, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi harapan Loan Eng. Bukan demi rasa cintanya kepada Ong Kiat maka ia datang kepada piauwsu muda itu, melainkan karena ia bingung bagaimana harus mendidik Sui Ceng tanpa ayah. Ia tahu bahwa di samping Ong Kiat, ia akan merasa kuat dan tabah, dan Sui Ceng akan mendapatkan rumah tangga yang kokoh kuat dan berbahagia.
Ong Kiat menerima mereka dengan gembira bukan main. Pernikahan lalu dilangsungkan secara amat sederhana. Ong Kiat cuma mengundang teman-teman dan kenalan-kenalan yang dekat, dan upacara pernikahan hanya cukup dengan sembahyang dan disaksikan oleh para tamu. Akan tetapi, dalam upacara ini, terjadilah hal yang sangat hebat sekali.
Selagi para tamu bergembira-ria minum arak dan makan hidangan, sedangkan Loan Eng telah kembali ke kamarnya, tiba-tiba dari luar datang seorang tokouw (pendekar wanita) yang tua akan tetapi berwajah kereng sekali. Pendeta wanita ini memegang sebatang cambuk berbulu sembilan. Dia bukan lain adalah Kiu-bwe Coa-li, tokoh besar ke dua dari selatan!
Pada saat itu Loan Eng tengah memeluk puterinya sambil menangis terisak-isak. Selama dilakukan upacara pernikahan, Sui Ceng marah-marah dan menangis saja. Anak ini tidak mau keluar dari kamar.
“Ibu, kau terlalu! Mengapa menikah dengan Paman Ong Kiat?” demikian berkali-kali anak kecil ini menegur ibunya dengan muka cemberut.
“Ssttt, anakku. Bukankah paman Ong sangat baik? Dia akan menjadi ayahmu yang baik sekali.”
“Ahh, aku tidak suka, Ibu. Ayahku ketua dari Sin-to-pang, baik mati atau hidup dia tetap ayahku!”
Mendengar ucapan ini, Loan Eng memeluk puterinya dan menangis. Ia tidak tahu harus berbuat dan berkata bagaimana. Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di bagian luar.
Suaminya masih melayani tamu di depan, maka mendengar suara ribut-ribut itu, Loan Eng cepat-cepat melepaskan penutup kepalanya, dan memang ia berpakaian sederhana. Kemudian dia segera bertindak keluar, meninggalkan puterinya yang masih berbaring menangis di atas tempat tidur.
Ketika Loan Eng tiba di luar, ia terkejut sekali. Ia melihat seorang tokouw dikelilingi oleh banyak tamu dan suaminya menghadapi tokouw itu dengan marah-marah.
“Suthai, kau terlalu sekali! Bagaimana kau bisa minta begitu saja anak orang. Harap kau jangan mengganggu kami, Suthai. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan sehingga kau datang-datang hendak mengacau?”
Mendengar ucapan suaminya, Loan Eng terkejut sekali dan ia berseru keras, “Ong Kiat, jangan kurang ajar...!”
Semua orang menjadi terkejut dan lebih-lebih heran mereka ketika melihat betapa Loan Eng lalu berlari dan sesudah tiba di hadapan tokouw itu, Loan Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depannya dan mengangguk-anggukkan kepala.
“Teecu mengaku salah, harap Locianpwe sudi memberi maaf kepada teecu sekalian...,” katanya dengan suara amat menghormat.
Kiu-bwe Coa-li tersenyum dan lenyaplah kekakuan pada mukanya.
“Hemm, Loang Eng, kau masih muda, tentu saja kau ingin berumah tangga lagi. Pinni datang bukan hendak mengganggu, hanya untuk meminta anakmu, karena bukankah dia hanya mengganggu kebahagianmu saja?”
Pada saat itu Sui Ceng sudah muncul pula, karena anak ini tadi mengejar ibunya. Melihat tokouw itu, Sui Ceng tertegun. Mengapa ibunya berlutut di depan tokouw aneh ini?
Sementara itu ketika melihat Sui Ceng, Kiu-bwe Coa-li lalu menggerakkan cambuknya. Dua helai bulu cambuknya itu melayang dan tahu-tahu sudah melibat tubuh Sui Ceng. Dengan sekali betot saja, tubuh anak itu sudah melayang ke arahnya dan diterima terus dipondong oleh pendeta wanita itu. Sui Ceng bersorak girang.
“Hebat, hebat! Kau lihai sekali, Suthai,” kata Sui Ceng.
Kiu-bwe Coa-li tertawa. “Mau kau turut aku belajar silat? Di sini kau hanya mengganggu ibumu yang sedang bersenang-senang!”
Sui Ceng memandang kepada ibunya yang masih berlutut, kemudian memandangi Ong Kiat yang berdiri di dekat situ, lalu dia memandang kembali kepada Kiu-bwe Coa-li dan menganggukkan kepalanya.
“Aku ingin belajar silat, karena aku adalah ketua dari Sin-to-pang. Aku harus lihai!”
“Bagus, hayo kau ikut aku pergi!” Sambil berkata demikian, Kiu-bwe Coa-li membawa Sui Ceng.
“Sui Ceng...!” Loan Eng mengeluh akan tetapi tidak berani mengejar.
Tokouw itu menengok dan berkata dengan suara kereng, “Loan Eng, apa kau tidak rela memberikan anakmu sebagai muridku?”
“Bukan tidak rela, hanya teecu berat berpisah dari dia...,” jawab ibu ini.
Kiu-bwe Coa-li tertawa mengejek. “Bukankah kau sudah mendapatkan suami baru? Dia yang akan menghiburmu dan kau akan lupa kepada anakmu!”
“Suthai, kau terlalu sekali!” Ong Kiat membentak. “Kembalikan Sui Ceng kepada kami!” Piauwsu muda ini lalu melompat mengejar dan menubruk, hendak marampas Sui Ceng.
“Ong Kiat, jangan…!” Loan Eng memberi peringatan, namun terlambat.
Begitu Kiu-bwe Coa-li menggerakkan tangannya, tubuh Ong Kiat terpental ke belakang bagaikan tertiup angin puyuh.
“Hemm, kalau tidak ingat kau seorang pengantin baru, tentu kau sudah menggeletak tak bernyawa pula!” berkata Kiu-bwe Coa-li dan sekali ia menggerakkan tubuhnya, lenyaplah bayangan bersama Sui-Ceng.
Loan Eng menangis, dipeluk dan dihibur oleh suaminya yang masih saja terheran-heran bagaimana dia tadi sampai terpental ke belakang, karena dia tak dapat melihat tangkisan atau serangan wanita tua yang lihai itu.
“Sudahlah, Loan Eng. Tak perlu kita bersedih terus. Bukankah Sui Ceng berada dalam tangan orang sakti? Ia akan menerima latihan ilmu silat yang luar biasa. Guru-guruku sendiri di Thian-san tidak mungkin dapat menandingi kelihaian nenek tadi. Siapakah dia itu?”
Sesudah menyusut air matanya dan dapat menentramkan hatinya, Loan Eng berkata, ”Tidak tahukah kau siapa dia? Dia adalah Kiu-bwe Coa-li!”
“Ayaaa...! Pantas saja ia demikian lihai dan aneh. Baiknya ia masih tidak berlaku kejam padaku, kalau tidak demikian, bagaimana aku masih bisa hidup?” kata Ong Kiat.
“Dia telah beberapa kali menolongku dan aku percaya bahwa anakku tentu akan aman di dalam pendidikannya, akan tetapi, bagaimana aku bisa senang ditinggal oleh anakku?” Loan Eng mengeluh sedih.
Ong Kiat menghiburnya dengan penuh cinta kasih dan perhatian sehingga lambat laun dapat juga Loan Eng mengatasi kedukaannya.
Demikianlah keadaan dan pengalaman Loan Eng sehingga Kiu-bwe Coa-li dapat muncul memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng bersama Bun Sui Ceng yang kini telah menjadi muridnya. Sekarang baik kita mengikuti pengalaman dan perjalanan Lu Kwan Cu lebih lanjut…..
********************
Komentar
Posting Komentar