PENDEKAR SAKTI : JILID-13
Melihat kehebatan ini, tujuh orang piauwsu yang lain lalu melompat ke atas kuda mereka dan melarikan diri dari situ! Kemudian mereka mengadakan perundingan dalam restoran untuk mencari jalan guna menolong Ong Kiat beserta Loan Eng dan kemudian datang rombongan anggota Sin-to-pang sehingga terjadi pertempuran sebagaimana yang sudah dituturkan di bagian depan.
Ada pun orang-orang Sin-to-pang kemudian menuturkan bahwa mereka mendengar pula mengenai bencana yang menimpa Loan Eng. Mereka menjadi marah sekali. Semenjak mendengar bahwa Loan Eng menikah dengan Ong Kiat, semua anggota Sin-to-pang ini sudah merasa sakit hati dan tidak senang kepada Hui-to Piauwkiok. Dan kini, mendengar bahwa Loan Eng mendapat bencana, mereka menganggap bahwa itu adalah kesalahan Ong Kiat. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa justru Toat-beng Hui-houw turun gunung mengganggu Ong Kiat karena Ong Kiat memperisteri Loan Eng dan karena Loan Eng telah membinasakan Tauw-cai-houw, sute dari Toat-beng Hui-houw!
Demikianlah, dua rombongan dari Sin-to-pang dan Hui-to Piauwkiok saling menuturkan apa yang mereka ketahui kepada Sui Ceng dan baru sekarang rombongan Sin-to-pang mengetahui duduk perkara yang sesungguhnya.
“Hanya ada dua jalan,” kata para piauwsu itu menutup penuturan mereka. “Pertama, kita minta bantuan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai, dan ke dua, kita harus minta bantuan Thian-san-pai untuk menghadapi Toat-beng Hui-houw yang lihai.”
Sementara itu, untuk beberapa lama Sui Ceng tidak dapat berkata-kata saking marahnya mendengar penuturan tentang bencana yang menimpa diri ibunya. Kini ia berseru keras dan mencela kata-kata mereka itu.
“Banyak cakap tanpa kerja tiada gunanya. Hayo kalian tunjukkan kepadaku di mana Ibu ditawan. Menghadapi siluman tua itu saja, kenapa mesti ribut-ribut minta bantuan orang lain?”
“Siauw-pangcu berkata benar! Sin-to-pang tak boleh memperlihatkan kelemahan. Hayo, kawan-kawan dari Hui-to Piauwkiok, marilah kita mengantar Pangcu ke tempat itu dan kita keroyok siluman itu!” kata orang-orang Sin-to-pang.
Akan tetapi, para piauwsu yang sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kelihaian Toat-beng Hui-houw, menjadi geli melihat sikap Sui Ceng dan para anggota Sin-to-pang. Ong Kiat dan Loan Eng sendiri dibantu oleh beberapa orang piauwsu yang tangguh, masih tidak berdaya menghadapi siluman tua itu, apa lagi anak kecil ini?
Melihat keraguan orang-orang Hui-to Piauwkiok, Sui Ceng membentak,
“Apakah kalian takut? Hemm, kalau aku berhasil menolong ayah tiriku, akan kuceritakan kepadanya bagaimana sikap kalian yang pengecut ini!”
Naik darah para piauwsu itu mendengar ejekan anak kecil ini.
“Siapa bilang kami takut? Hayo kita berangkat sekarang juga!” kata mereka.
Diam-diam Sui Ceng tersenyum karena dia telah berhasil membangunkan lagi semangat mereka. Orang-orang ini masih belum percaya kepadanya dan perlu dia memperlihatkan kepandaian agar mereka itu menjadi tenang dan bersemangat.
“Kalian boleh naik kuda dan maju secepatnya. Aku sendiri akan berlari cepat.”
Kembali diam-diam para piauwsu itu mentertawakan Sui Ceng.
“Hemm, anak ini sungguh sombong sekali dan keras seperti ibunya,” pikir mereka. Akan tetapi, karena rombongan Sin-to-pang yang datang berkuda itu pun telah mengaburkan kuda mereka, para piauwsu itu juga segera naik ke atas kuda dan menjalankan kuda mereka cepat sekali.
Pada saat mereka telah keluar dari kota Cin-leng, bukan main heran hati mereka ketika melihat seorang anak perempuan telah berlari-lari di depan kuda mereka. Ketika mereka memandang dengan penuh perhatian, tak salah lagi, anak kecil itu adalah Bun Sui Ceng adanya! Melihat kehebatan ilmu lari cepat dari ketua mereka, orang-orang Sin-to-pang bersorak,
“Hidup Siauw-pangcu!”
Ada pun orang-orang Hui-to Piauwkiok amat kagum dan diam-diam mereka pun menaruh harapan mudah-mudahan ketua mereka dan isterinya akan tertolong dari tangan siluman tua itu oleh anak perempuan yang ajaib ini. Ada pun Sui Ceng yang di depan, segera memberi tanda kepada orang-orang dari Hui-to Piauwkiok untuk menjadi penunjuk jalan karena dia sendiri belum tahu di mana adanya sarang Toat-beng Hui-houw.
Diam-diam Sui Ceng merasa agak khawatir juga. Bukan khawatir atau takut menghadapi Toat-beng Hui-houw, sama sekali tidak. Anak ini keberaniannya malah melebihi ibunya! Yang ia khawatirkan adalah gurunya. Ia tadi pergi tidak memberitahukan kepada Kiu-bwe Coa-li, dan takut kalau-kalau gurunya kelak akan menegur dan memarahinya.
Ketika tiba di tempat di mana kemarin harinya Loan Eng bertempur melawan Toat-beng Hui-houw, mereka semua kemudian berhenti dan turun dari kuda. Di situ masih nampak bekas-bekas pertempuran, bahkan mayat para piauwsu yang tidak keburu diambil oleh kawan-kawannya masih bergelimpangan di situ.
Kemudian Sui Ceng berseru menantang, “Toat-beng Hui-houw, lekas keluar! Marilah kita bertempur seribu jurus!”
Akan tetapi, biar pun berkali-kali ia berteriak, bahkan dibantu oleh para piauwsu bersama anggota Sin-to-pang yang memaki-maki, tidak terdengar jawaban dari iblis tua itu. Hanya gema suara mereka saja terdengar dari kanan dan kiri sehingga membuat burung-burung hutan beterbangan serta binatang-binatang kecil berlarian menyembunyikan diri di dalam semak-semak.
Ke mana perginya Toat-beng Hui-houw? Dan bagaimana nasib Loan Eng dan Ong Kiat? Tak jauh dari tempat Sui Ceng bersama kawan-kawannya berseru menantang, terdapat sebuah goa besar sekali di bukit batu karang. Goa inilah tempat sembunyi atau sarang Toat-beng Hui-houw dan ke dalam goa ini pula dia membawa Loan Eng dan Ong Kiat.
Pada saat itu, bukan dia tidak mendengar seruan-seruan yang ramai dari hutan itu, akan tetapi dia tengah asyik dengan perbuatannya yang amat terkutuk dan bukan merupakan perbuatan manusia lagi. Di dalam ruangan sebelah kiri goa itu, Loan Eng rebah di atas pembaringan batu dalam keadaan lumpuh dan tak dapat menggerakkan kaki tangannya karena jalan darahnya sudah dipukul dengan tiam-hoat (ilmu menotok) oleh iblis tua itu.
Biar pun ia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, namun Loan Eng masih sadar dan tahu bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang iblis yang jahat sekali. Beberapa kali dia melirik ke dalam ruangan yang suram-suram itu karena mendapat penerangan cahaya matahari yang masuk melalui mulut goa. Akan tetapi dia tidak melihat suaminya, dan dia diam-diam mengeluh.
Mendadak terdengar suara terkekeh-kekeh dan masuklah tubuh Toat-beng Hui-houw di dalam ruangan itu. Loan Eng mengerahkan seluruh tenaga untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, akan tetapi sia-sia belaka, bahkan usahanya ini melemaskan seluruh tubuhnya dan membuat luka di pundaknya terasa sakit sekali, hampir tak tertahankan.
“Ha-ha-ha! He-he-he! Pek-cilan, kau telah membunuh sute-ku dan sekarang kau sudah terjatuh ke dalam tanganku! Ha-ha-ha, kau benar-benar seperti bunga cilan putih. Cantik dan bersih. He-he-he! Darahmu tentu segar dan bersih pula, dan dapat membikin aku muda kembali!”
Sambil tertawa-tawa, kakek botak berkuku panjang ini menghampiri pembaringan batu di mana Loan Eng terlentang tak berdaya. Lebih dahulu kakek ini meraba kaki tangan Loan Eng, untuk melihat bahwa korbannya benar-benar masih berada dalam keadaan lumpuh tertotok sehingga tidak akan dapat melakukan serangan yang tiba-tiba.
Kemudian, dia mendekatkan mukanya pada muka Loan Eng yang tentu saja merasa jijik sekali. Akan tetapi apa dayanya? Dia menahan tekanan hatinya dan ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh manusia iblis ini terhadap dirinya. Masih banyak waktu untuk membalas dendam, pikirnya. Tunggu saja kalau aku sampai terbebas.
Akan tetapi, perbuatan yang kemudian dilakukan oleh Toat-beng Hui-houw benar-benar di luar dugaannya. Belum pernah ada seorang manusia, betapa gilanya pun, melakukan perbuatan keji seperti itu. Ketika dia sudah mendekatkan mukanya dengan muka Loan Eng, ternyata dia tidak berbuat kurang ajar, bahkan kini mukanya diarahkan pada leher Loan Eng yang berkulit halus.
Tiba-tiba Loan Eng merasa betapa mulut kakek itu menempel pada lehernya, membuat ia merasa ngeri dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia mengira bahwa kakek ini hanya ingin mencium lehernya saja. Akan tetapi, tidak tahunya, kakek ini tidak mau melepaskan lehernya lagi dan sampai lama, mulut kakek itu masih menempel pada lehernya.
Pelan-pelan Loan Eng merasa betapa kakek itu menggunakan giginya untuk menggigit lehernya yang terasa perih, kemudian ia merasa betapa mulut kakek itu mulai menghisap darah dari luka di leher bekas gigitan! Bukan main ngerinya hati Loan Eng menghadapi perbuatan kakek siluman ini sehingga kepalanya menjadi makin pening, tubuhnya makin lemas dan tak lama kemudian, nyonya muda ini menjadi pingsan!
Toat-beng Hui-houw ternyata membuktikan ancamannya. Dia hendak menghisap darah pembunuh sute-nya ini, bukan saja dengan maksud membalas dendam, akan tetapi juga untuk suatu maksud, yakni dia hendak ‘mengoper’ darah wanita muda yang cantik jelita itu agar supaya dia akan menjadi awet muda! Pikiran dari seorang yang telah lenyap peri kemanusiaannya, seorang yang telah berubah menjadi iblis jahat!
Sesudah kenyang menghisap darah Loan Eng, Toat-beng Hui-houw tertawa-tawa girang dan melompat-lompat keluar. Ia merasa telah menjadi muda kembali! Sebetulnya bukan karena isapan darah yang dilakukan seperti seorang iblis keji itu, melainkan disebabkan perasaan dan pikirannya yang sudah tidak normal lagi itulah yang membuat dia merasa seolah-olah menjadi muda kembali! Ia pun keluar dari goa dan kini dia mendengar suara tantangan yang keluar dari hutan.
“Ha-ha-ha, segala tikus busuk! Toat-beng Hui-houw berada disini, kalian mau apa?”
Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sepenuhnya hingga terdengar sampai jauh. Seperti tokoh-tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi, Toat-beng Hui-houw juga pandai Ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), maka tentu saja suaranya ini bergema jauh dan terdengar baik-baik oleh Sui Ceng dan kawan-kawannya.
Mendengar suara ini, Sui Ceng lalu melompat dan berlari cepat menuju ke arah suara itu, diikuti oleh kawan-kawannya yang segera tertinggal jauh. Dengan berkuda saja piauwsu dan anggota Sin-to-pang masih tidak dapat menandingi ilmu lari cepat Sui Ceng, apa lagi sekarang mereka berlari biasa!
Pada saat tiba di depan goa, Sui Ceng melihat seorang kakek yang mengerikan sedang menari-nari, berlompat-lompatan dan bernyanyi!
“Aku menjadi muda kembali, muda kembali...! Ha-ha-ha…! Toat-beng Hui-houw menjadi muda kembali!”
Untuk sesaat, Sui Ceng tertegun. Yang berada di hadapannya itu seperti bukan manusia lagi, melainkan seorang iblis yang mengerikan. Akan tetapi, Sui Ceng yang baru berusia delapan tahun itu tidak merasa takut sedikit pun juga. Dia bahkan melangkah maju dan menghadapi iblis tua itu dengan sikap tenang dan tabah.
“Ehh, kakek tua miring otak!”
Toat-beng Hui-houw segera menghentikan tariannya dan memandang heran. Bagaimana ada seorang anak perempuan kecil berani memakinya?
“Kaukah Toat-beng Hui-houw yang berani menangkap ibuku dan ayah tiriku? Lekas kau lepaskan mereka, barangkali nona kecilmu masih dapat mengampuni dosa-dosamu!”
Toat-beng Hui-houw menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan. Lagi mimpikah dia? Ataukah benar-benar ada seorang gadis cilik yang manis dan elok berdiri dengan gagah dan berani serta mengeluarkan ucapan macam itu kepadanya? Kemudian ia tertawa bergelak.
“Jadi kau memang puteri Pek-cilan? Ha-ha-ha! Memang bunga cantik berbiji manis pula! Agaknya darahmu lebih segar dari pada darah ibumu. Ha-ha-ha! Mari, mari! Kau hendak bertemu dengan ibumu bukan?” Sambil berkata demikian, dia cepat menubruk hendak menangkap Sui Ceng, seperti laku seorang kecil menubruk seekor burung yang indah.
Akan tetapi, betapa heran hati iblis ini ketika tiba-tiba tubuh kecil itu lenyap dan tahu-tahu sebuah kaki yang kecil mungil dalam sepatu merah bersulam bunga, bahkan menendang mukanya! Toat-beng Hui-houw terkejut dan heran, cepat dia miringkan kepalanya, akan tetapi ternyata bahwa tendangan ini adalah tendangan pancingan belaka dan sebelum Toat-beng Hui-houw sempat mengelak, perutnya sudah kena ditendang oleh sebuah kaki lain yang sama mungilnya!
“Bukkk!”
Kaki Sui Ceng tepat mengenai perut, akan tetapi bukan Toat-beng Hui-houw yang roboh, melainkan tubuh Sui Ceng sendiri yang terlempar ke belakang! Akan tetapi, bagai seekor burung walet, gadis cilik ini dapat berpoksai (membuat salto) di udara dan turun dengan ringan sekali.
Apa bila tadi Toat-beng Hui-houw sampai terkena tendangan Sui Ceng, bukan karena dia kurang lihai, akan tetapi karena kakek ini memandang rendah dan tidak mengira sama sekali bahwa bocah ini akan dapat melakukan gerakan sehebat itu!
Pada saat ditubruk tadi, secepat kilat Sui Ceng melakukan gerakan melompat Can-liong Seng-thian (Naga Terbang Naik ke Langit), kemudian disusul oleh tendangan Ji-liong-twi (Tendangan Sepasang Naga) yang bertubi-tubi sehingga dia berhasil menendang perut lawannya.
Akan tetapi, yang ditendangnya tertawa saja sedangkan dia sendiri terpental jauh. Bukan main kagetnya Sui Ceng dan anak ini maklum bahwa tenaga dan kepadaian lawannya betul-betul hebat sekali. Sebaliknya Toat-beng Hui-houw juga amat kagum menyaksikan kegesitan anak perempuan ini, namun kalau saja dia tahu bahwa anak ini adalah murid Kiu-bwe Coa-li, tentu akan lenyap keheranannya dan terganti oleh kekagetan hebat.
“Anak manis, aku harus mendapatkan darahmu!” katanya berkali-kali dan dia menubruk lagi.
Akan tetapi, berkat kegesitan dan ginkang-nya yang luar biasa, Sui Ceng lagi-lagi dapat menghindarkan diri. Pada waktu itu rombongan piauwsu dan para anak buah Sin-to-pang sudah datang di situ dan mereka menonton pertempuran dengan mata terbelalak kagum.
Anggota-anggota Sin-to-pang merasa bangga melihat ‘siauw-pangcu’ mereka itu berani menghadapi Toat-beng Hui-houw dengan tangan kosong. Melihat betapa kakek itu bagai seekor harimau buas yang menubruk ke sana sini, sedangkan tubuh Sui Ceng bagaikan seekor burung walet beterbangan dan berkelit cepat sekali, mereka itu tanpa terasa pula meleletkan lidah saking kagum dan tegangnya.
Kalau Toat-beng Hui-houw bermaksud membunuh Sui Ceng, tentu takkan sukar baginya. Biar pun untuk menjamah tubuh anak ini sulit sekali karena memang kegesitan Sui Ceng dapat mengimbangi kegesitan lawannya yang berjuluk Harimau Terbang, namun bila dia mau, dengan hawa pukulan tangannya, dia dapat merobohkan gadis cilik ini.
Akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Hui-houw mendapat pikiran lain. Tadi ia menghisap darah Loan Eng hanya karena hendak membalas sakit hati atas kematian sute-nya dan ingin awet muda. Sekarang melihat Sui Ceng yang masih terhitung anak-anak, dia takut kalau-kalau dia berubah menjadi anak-anak pula apa bila dia menghisap darah anak ini! Memang bodoh, gila, dan jahat merupakan satu keluarga, dan kakek ini telah mempunyai ketiga-tiganya.
“Aku tidak mau isap darahmu! Aku akan menangkapmu, memelihara dalam sangkar, kau burung cantik!” katanya berkali-kali dan kini dia menyerang dengan kedua tangannya.
Alangkah herannya hati Sui Ceng ketika melihat betapa kini sepuluh jari tangan iblis tua itu seperti tidak berkuku lagi. Ternyata bahwa kuku-kuku jarinya sudah dapat digulung ke dalam!
Berkali-kali dia mendesak hendak menangkap tanpa melukai tubuh Sui Ceng, namun hal ini benar-benar tidak mudah. Sui Ceng sudah mendapat gemblengan dari Kiu-bwe Coa-li, dan dalam hal ginkang dan kegesitan, memang semenjak kecil gadis cilik yang lincah ini berbakat baik sekali.
Ketika melihat betapa Sui Ceng terdesak, sambil berteriak-teriak nekat para piauwsu dan anak buah Sin-to-pang lalu menyerbu dengan golok di tangan. Baik anggota Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti), mau pun para piauwsu dari Hui-to Piauwkiok (Expedisi Golok Terbang) adalah ahli-ahli senjata golok, maka sekarang belasan batang golok berkilauan dan bergerak-gerak mengurung Toat-beng Hui-houw. Otomatis Sui Ceng juga terkurung karena dua orang ini bertempur begitu cepatnya sehingga mereka seakan-akan menjadi satu bayangan besar!
Para pengeroyok itu menjadi bingung. Mereka hanya dapat berteriak-teriak saja dan tidak berani sembarangan turun tangan, karena baru sedetik mereka melihat bayangan lawan, tiba-tiba bayangan itu lenyap dan berganti dengan bayangan Sui Ceng! Kedua orang ini berputaran, melompat ke sana ke mari, bagaimana mereka dapat membantu Sui Ceng?
“Jangan bantu aku! Jangan datang mendekat!” Sui Ceng berseru, akan tetapi terlambat.
Ketika tubuh Toat-beng Hui-houw mendadak menerjang ke arah para pengeroyok sambil meninggalkan Sui Ceng, terdengarlah jeritan berturut-turut dan empat orang pengeroyok roboh tak bernyawa lagi!
“Siluman tua, kau kejam sekali!” teriak Sui Ceng.
Anak ini secepat kilat menyambar sebatang golok dari seorang piauwsu yang roboh, lalu dia segera menerjang lagi ke depan dengan nekat, memutar golok sehingga merupakan segunduk sinar yang menyilaukan.
“Ha-ha-ha, burung cantik, kau harus menjadi peliharaanku!” berkata Toat-beng Hui-houw sambil menghadapi serangan-serangan Sui Ceng dengan tenang.
Ada pun para pengeroyok, ketika melihat betapa empat orang kawan mereka terbunuh dengan demikian mudahnya, serta mendengar perintah Sui Ceng, lalu mengundurkan diri dan menonton dari jauh saja. Mereka bukan merasa takut atau tidak mau membantu, akan tetapi mereka maklum sepenuhnya bahwa bantuan mereka itu sia-sia belaka dan tidak akan sanggup menolong, bahkan mereka pasti akan mengantarkan nyawa dengan cuma-cuma saja.
Sekarang gerakan Sui Ceng tidak lagi secepat dan segesit tadi. Hal ini karena sekarang gadis cilik ini memegang sebatang golok yang besar dan cukup berat. Tadinya Sui Ceng sengaja mengambil golok karena dia hendak bertempur mati-matian mengadu jiwa, akan tetapi sebaliknya, dengan golok di tangan justru dia mendatangkan kerugian pada dirinya sendiri. Golok itu terhadap Toat-beng Hui-houw tidak ada artinya sama sekali, sebaliknya menghambat gerakan sendiri.
Hanya dalam beberapa jurus saja, masih sambil tertawa-tawa, Toat-beng Hui-houw telah berhasil menangkap pinggangnya dan sekali dia menotok jalan darah thian-hu-hiat pada pundak gadis cilik itu, lemaslah tubuh Sui Ceng dan golok itu terlepas dari pegangan!
Pada saat itu tampak menyambar beberapa sinar halus sekali. Sinar ini adalah bulu-bulu halus dan panjang yang sekaligus menyerang Toat-beng Hui-houw di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian dari bulu-bulu halus ini melibat tubuh Sui Ceng dan sekali renggut, tubuh Sui Ceng sudah terlepas dari pegangan Toat-beng Hui-houw, kemudian melayang ke depan!
Toat-beng Hui-houw terkejut bukan main menghadapi serangan ini. Dia telah terkejut dan jeri melihat macam senjata yang menyerangnya, karena dari senjata ini saja tahulah dia bahwa yang datang menyerangnya adalah Kiu-bwe Coa-li! Kalau ada rasa takut di dalam dada Toat-beng Hui-houw manusia siluman ini, maka rasa takut itu mungkin hanyalah tertuju kepada lima orang tokoh besar di kalangan kang-ouw, di antaranya ialah Kiu-bwe Coa-li ini!
“Kiu-bwe Coa-li, mengapa kau mencampuri urusanku, sedangkan aku selamanya belum pernah mengganggumu?” katanya penasaran.
Ia cepat melompat ke belakang sebab jeri menghadapi pecut sembilan bulu dari Kiu-bwe Coa-li yang kini telah berdiri di hadapannya sambil menggandeng tangan Sui Ceng yang sudah dibebaskan dari totokan pula.
Diam-diam Kiu-bwe Coa-li mengerti mengapa muridnya tadi sampai kalah oleh Toat-beng Hui-houw. Tadi begitu datang melihat muridnya berada dalam pelukan kakek siluman itu, dia lalu melakukan serangan pecutnya yang paling dan jarang sekali ada orang mampu menghindarkan diri, yakni ilmu serangan Kiu-seng Kan-goat (Sembilan Bintang Mengejar Bulan).
Sembilan helai bulu pecutnya menyerang dari berbagai jurusan. Akan tetapi dia hanya berhasil merampas kembali muridnya dan sama sekali tidak dapat melukai kakek itu. Dari sini saja dia ketahui bahwa kepandaian kakek itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaian muridnya.
“Siluman jahat, apa matamu sudah menjadi buta?” jawab Kiu-bwe Coa-li dan sepasang matanya mengeluarkan sinar membakar. “Kau berani mengganggu murid pinni (muridku), maka sekarang kau harus mati!”
Bukan main kagetnya Toat-beng Hui-houw.
“Dia ini muridmu...? Ahh, Kiu-bwe Coa-li, sungguh mati aku tidak tahu bahwa dia adalah muridmu. Akan tetapi, bukankah aku tidak mengganggunya? Kalau aku bermaksud untuk mengganggunya, apakah sekarang ia masih dapat bernapas?”
“Kau memang tidak melukainya, akan tetapi kau telah menghinanya, berarti kau sudah menghinaku pula. Maka bersiaplah untuk mati!”
Kembali Kiu-bwe Coa-li menggerakkan pecutnya, melakukan serangan-serangan dengan cara yang ganas dan tidak mengenal ampun sama sekali. Memang watak Kiu-bwe Coa-li luar biasa ganasnya. Sekali ia turun tangan, ia tidak akan merasa puas kalau lawannya belum roboh binasa!
Toat-beng Hui-houw bukannya orang lemah. Bangkit rasa penasarannya. Dia memang merasa segan bertempur melawan Kiu-bwe Coa-li dan tentu dia bersedia mengalah jika berurusan dengan orang yang dia anggap memiliki kedudukan lebih tinggi itu. Akan tetapi kalau dia didesak, dia terpaksa melawan.
“Kiu-bwe Coa-li, kau terlalu sekali. Kau kira aku Toat-beng Hui-houw takut menghadapi Kiu-bwe Joan-pian-mu (Pecut Berbulu Sembilan)?”
“Siapa peduli takut atau tidak? Aku hanya ingin kau mampus, habis perkara!” Kiu-bwe Coa-li mendesak terus.
Toat-beng Hui-houw mengeluarkan suara nyaring dan kini sepuluh kuku jari tangannya telah mulur kembali, panjang-panjang, tajam dan runcing mengerikan! Ia cepat mengelak dari serangan lawannya lantas membalas dengan serangan pukulan yang mendatangkan hawa dingin dan berbau amis.
Ternyata bahwa siluman tua ini telah mengeluarkan pukulan-pukulan maut disertai racun yang keluar dari hawa pukulan kukunya ini! Kalau tadi dia mengeluarkan ilmu ini, dalam beberapa jurus saja Sui Ceng tentu telah roboh binasa.
Menghadapi pukulan-pukulan hebat ini, Kiu-bwe Coa-li pertama-tama mendorong tubuh muridnya sehingga Sui Ceng terpental dan terpaksa melompat jauh ke pinggir, kemudian wanita sakti ini lalu memutar pecutnya sampai berbunyi mengaung dan kadang-kadang diselingi suara bergeletar dan dari pecutnya yang berekor sembilan ini keluar hawa yang menyambar-nyambar dan yang menolak hawa pukulan berbisa dari Toat-beng Hui-houw.
Para piauwsu dan anggota Sin-to-pang, semenjak tadi berdiri seperti patung. Munculnya seorang tokouw yang memegang cambuk ini saja sudah membuat mereka heran sekali, karena tak seorang pun di antara mereka melihat kedatangannya. Kemudian cara pecut tokouw itu merampas Sui Ceng dan kemudian mendengar pula bahwa tokouw ini adalah Kiu-bwe Coa-li yang tersohor dan menjadi guru Sui Ceng, mereka makin terbelalak.
Kini, sesudah pertandingan antara Toat-beng Hui-houw dan Kiu-bwe Coa-li berlangsung, mereka lalu menjadi bengong dan melongo. Menurut pendapat mereka, pertandingan ini bukan pertempuran orang-orang pandai, karena keduanya berdiri tidak pernah berpindah dari tempat masing-masing dan hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak-gerak luar biasa cepat ke depan. Hampir saja ada yang tertawa menyaksikan pertandingan ini, karena gerakan kedua orang tua itu seakan-akan mereka sedang membadut.
Akan tetapi Sui Ceng menonton dengan wajah penuh ketegangan. Ia pun maklum bahwa permainan cambuk dari gurunya sedang dihadapi oleh lawan dengan ilmu pukulan berisi lweekang yang tinggi sekali tingkatnya. Pada waktu dua orang tua itu sedang bertempur dengan mengandalkan hawa pukulan lweekang, maka mereka hanya berdiri berhadapan dan saling memukul dari jauh, sama sekali tidak mengubah kedudukan kaki.
Akan tetapi, tak beberapa lama kemudian, Toat-beng Hui-houw terpaksa harus mengakui keunggulan lawannya, oleh karena bulu-bulu pecut Kiu-bwe Coa-li makin lama semakin mendesaknya, makin lama semakin dekat serangan ujung cambuk itu, terus mendesak hawa pukulannya yang hendak menentangnya.
Ia maklum bahwa kalau sampai ujung cambuk itu mengenai tubuhnya, sukarlah baginya untuk menyelamatkan diri lagi. Dia cukup mengenal akan kelihaian totokan ujung cambuk di tangan Kiu-bwe Coa-li, seorang di antara tokoh besar dunia persilatan.
“Cukup, siluman betina! Kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain kali aku pasti akan mengalahkanmu!” kata Toat-beng Hui-houw sambil melompat mundur.
“Keparat pengecut! Kau belum mampus, bagaimana bisa bilang cukup?” berseru Kiu-bwe Coa-li sambil mengejar dan melakukan serangan kilat.
Toat-beng Hui-houw cepat mengerahkan tenaganya menangkis sambil melompat jauh, namun tetap saja sebuah dari pada sembilan ekor pecut itu dengan tepat menghantam pahanya. Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya ke arah bagian tubuh ini sehingga ketika pecut itu dengan suara nyaring menampar paha, hanya kain dan kulitnya saja yang pecah, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam.
Gentarlah hati Toat-beng Hui-houw. Ia cepat melompat dan menyambar sebatang pohon besar. Sekali cabut saja jebollah pohon itu dan dia melontarkan pohon ke arah Kiu-bwe Coa-li yang mengejarnya! Terpaksa Kiu-bwe Coa-li melompat pergi dari sambaran pohon yang besar itu, dan ketika hendak melanjutkan pengejarannya, ia teringat pada muridnya.
“Mari, Sui Ceng, kita kejar siluman itu!” katanya sambil menggandeng tangan muridnya.
Akan tetapi Sui Ceng menarik tangannya dan berkata, “Nanti dulu, Suthai. Teecu harus menolong Ibu lebih dahulu.”
Kiu-bwe Coa-li menghentikan langkahnya. “Ibumu? Di mana dia?”
“Dia telah ditawan oleh Toat-beng Hui-houw. Karena itulah maka teecu datang ke tempat ini. Mungkin Ibu disembunyikan di dalam goa itu.” Sui Ceng menunjuk ke arah goa.
Kiu-bwe Coa-li mengerutkan keningnya. Dia sudah tahu persis akan kejahatan Toat-beng Hui-houw dan jika orang sudah terjatuh ke dalam tangan siluman itu, jangan harap akan tertolong lagi jiwanya.
“Kalau begitu, kita harus cepat-cepat melihat dan memeriksa goa itu,” katanya.
Guru dan murid ini kemudian berlari-larian memasuki goa. Para piauwsu beserta anggota Sin-to-pang juga mendekati goa, akan tetapi mereka tidak berani lancang memasuki goa, hanya menanti dan berkumpul di luar goa sambil membicarakan pertempuran dahsyat yang tadi mereka saksikan.
Ada pun Sui Ceng dan gurunya yang memasuki goa, mendapat kenyataan bahwa goa itu lebar sekali dan di dalamnya terbagi-bagi menjadi tiga ruangan. Mereka memasuki ruang sebelah kiri dan membuka pintu ruangan itu yang terbuat dari pada kayu. Cahaya yang memasuki ruangan ini suram-suram saja, namun Sui Ceng segera mengenal tubuh yang terbaring membujur di atas pembaringan batu, sebab yang terlentang itu tidak lain adalah Loan Eng, ibunya sendiri!
“Ibuuu...!” Sui Ceng melompat dan menubruk ibunya.
Kiu-bwe Coa-li yang berdiri di belakang muridnya, segera mengulur tangan dan dengan beberapa totokan di jalan darah nyonya muda yang nampak lemas dan tidak berdaya lagi itu, dapatlah Loan Eng menggerakkan tubuhnya. Akan tetapi dia sudah demikian lemas sehingga hampir tidak kuat mengangkat tangannya. Ternyata bahwa darahnya hampir habis terisap oleh Toat-beng Hui-houw, manusia iblis itu!
“Ibu... kau kenapakah...?” Sui Ceng menggoyang-goyang tubuh ibunya dan memandang dengan mata terbelalak.
“Sui Ceng... kau datang...?” Suara Loan Eng lemah sekali, dan hanya terdengar seperti bisik-bisik saja, “Kebetulan sekali... aku ada pesan untukmu...”
“Suthai, tolong Ibuku, mengapa dia begitu lemah?” kata Sui Ceng tanpa mempedulikan kata-kata ibunya, karena ia tidak mau percaya bahwa ibunya akan mati.
Kiu-bwe Coa-li memegang pergelangan tangan Loan Eng, dan dia nampak terkejut, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan ketika ia memeriksa leher sebelah kiri dari nyonya muda itu, terdengar wanita sakti ini menggertakkan giginya.
“Jahanam benar...” bisiknya.
Ternyata bahwa kulit leher dari Loan Eng yang putih halus itu kini telah terluka dan di luar luka ini masih terdapat tanda gigitan dan darah-darah yang telah mengering!
“Ibumu tidak akan tertolong lagi, Sui Ceng. Dia sudah kehabisan darah,” katanya tenang. Mendengar ini, Sui Ceng menubruk ibunya dan menangis.
“Sui Ceng, anakku selamanya tidak akan menangis sedih,” kata Loan Eng. Mendengar tangis anaknya, agaknya Loan Eng mendapat tambahan tenaga baru. “Agaknya memang aku harus menebus dosaku pada kematian ayahmu yang kubunuh sendiri. Aku berpesan kepadamu, Sui Ceng. Kelak kau harus menjadi jodohnya murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena aku telah menerima pinangan orang tua itu. Nama murid itu The Kun Beng. Nah... hanya sekian pesanku...!” Loan Eng makin lemas.
“Ibu..., aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini. Akan kucincang hancur tubuh iblis itu...!” kata Sui Ceng di antara tangisnya.
Meski tubuhnya telah lemas sekali, mendengar kata-kata anaknya, Loan Eng memaksa bibirnya tersenyum. Ia merasa senang dan bangga melihat sikap puterinya yang gagah.
“Kau tentu akan berhasil, Sui Ceng, di bawah pimpinan gurumu yang sakti... dan tentang Sin-to-pang... kau... kau benar, perkumpulan mendiang ayahmu itu amat baik…, mereka telah berusaha menolongku... jadilah ketua yang baik kelak...! Sui Ceng, jangan lupa kau tunangan The Kun Beng murid Pak-lo-sian... nah, selamat tinggal, anakku...”
Habislah tenaga nyonya itu dan Pek-cilan Thio Loan Eng, pendekar wanita yang cantik dan gagah perkasa itu, menghembuskan napas terakhir dalam pelukan puterinya.
“Ibu...! Ibu...!” Sui Ceng menangis, kemudian dengan mata beringas ia bangkit berdiri dan berdongak ke atas sambil berkata,
“Toat-beng Hui-houw, manusia iblis. Tunggulah, akan tiba waktunya aku Bun Sui Ceng menghancurkan kepalamu!”
“Tenanglah, Sui Ceng. Apa sih sukarnya membikin mampus manusia seperti Toat-beng Hui-houw itu? Sekarang juga aku dapat mengejarnya dan membikin tamat riwayatnya,” kata Kiu-bwe Coa-li yang merasa kasihan kepada muridnya yang tersayang itu.
“Tidak, Suthai, dia tidak boleh mati di tanganmu atau di tangan siapa juga. Teecu sendiri yang akan membalaskan sakit hati ini.”
Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk. “Boleh saja, Sui Ceng. Asalkan kau belajar dengan rajin, tak lama lagi kau akan dapat melaksanakan cita-citamu ini. Juga baik-baik saja kau menjadi ketua Sin-to-pang. Hanya aku merasa agak menyesal mengapa ibumu demikian tergesa-gesa menjodohkan kau dengan murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai.”
Sui Ceng tidak menjawab oleh karena di dalam hati gadis cilik ini sama sekali belum ada pikiran mengenai jodoh, bahkan ia menganggap ibunya tadi bersenda gurau saja. Ia lalu melanjutkan pemeriksaan di dalam goa.
Di kamar lainnya mereka mendapatkan tubuh Ong Kiat, juga sudah tewas dengan tubuh penuh luka-luka. Walau pun ketika Ong Kiat masih hidup, Sui Ceng tidak suka kepada piauwsu ini karena sudah mengawini ibunya, namun kini melihat piauwsu muda itu yang telah menjadi suami ibunya tewas dalam keadaan mengerikan dan menyedihkan, ia lalu berlutut pula dan berkata perlahan dengan janji bahwa dia akan membalaskan sakit hati mendiang ayah tirinya ini.
Lalu Sui Ceng dan gurunya keluar dari goa, disambut oleh para anggota Sin-to-pang dan para piauwsu yang memandang penuh hormat.
“Saudara-saudara sekalian, Ibu beserta Ayah sudah tewas di tangan iblis itu. Kelak aku sendiri yang akan membalaskan sakit hati dan membunuh iblis keparat itu, supaya kalian semua bertenang hati. Sekarang, kalian lakukanlah tugas kewajiban masing-masing, dan tunggu hingga aku datang untuk memimpin Sin-to-pang. Ada pun para piauwsu, terserah, hendak menjadi anggota Sin-to-pang baik-baik saja, mau melanjutkan pekerjaan sebagai piauwsu pun boleh. Hanya pesanku, baik Hui-to Piauwkiok mau pun Sin-to-pang, harus bekerja sama dalam segala hal. Ingat bahwa akulah yang mewarisi keduanya dan aku pula yang bertanggung jawab atas segala sepak terjang kalian!”
Para anggota Sin-to-pang dan anggota Hui-to Piauwkiok menjadi sedih sekali mendengar betapa ketua mereka telah tewas, akan tetapi melihat sikap dan mendengar ucapan Sui Ceng yang benar-benar gagah dan bersemangat, yang sesungguhnya mengherankan sekali keluar dari mulut anak yang masih demikian hijau, terbangunlah semangat mereka dan serentak menyatakan setuju.
Jenazah Loan Eng dan Ong Kiat diurus dan dirawat baik-baik. Setelah memberi hormat terakhir kepada makam ibu dan ayah tirinya, Sui Ceng lalu melanjutkan perjalanannya mengikuti gurunya.
Sejak saat itu Sui Ceng makin tekun belajar dan semua ilmu kepandaian dari Kiu-bwe Coa-li direnggut dan diteguknya seperti seorang kehausan minum air segar. Juga dia dan gurunya sangat tekun mempelajari ilmu silat aneh yang mereka dengar dari Tu Fu yang membacakan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Sebagaimana diketahui, isi kitab ini sebenarnya palsu, bahkan di dalamnya terkandung pelajaran ilmu silat dan latihan tenaga dalam secara terbalik. Kalau sekiranya Sui Ceng sendiri yang melatih diri menurut bunyi kitab ini, tentu ia akan mendapatkan kepandaian palsu yang membahayakan tubuhnya seperti halnya Kwan Cu.
Akan tetapi, ia berada di bawah asuhan Kiu-bwe Coa-li, seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat tinggi kepandaiannya. Maka tentu saja Kiu-bwe Coa-li tidak dapat tertipu dan nenek yang sakti ini tahu bagaimana harus melatih ilmu silat aneh ini tanpa merusak tenaga sendiri.
Cara melatihnya bukan seperti yang dilakukan oleh Lu Kwan Cu, yang menjiplak begitu saja dan menelan semua pelajaran tanpa dipilih lagi. Kiu-bwe Coa-li tidak mau berlaku sembrono dan sebagai seorang ahli silat tinggi, ia tahu mana yang tidak betul dan mana yang berguna. Oleh sebab itu, di antara pelajaran-pelajaran yang masih ia ingat bersama muridnya, lalu dia saring dan pilih lagi, memilih mana yang sekiranya berguna dan dapat dipakai untuk mempertinggi kepandaiannya.
Melihat ketekunan muridnya, Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan nenek sakti ini lalu membatalkan niatnya yang hendak mencoba ilmu silat barunya kepada seorang di antara tokoh-tokoh besar, bahkan ia lalu mengajak muridnya tinggal di puncak Bukit Wu-yi-san yang berada di Tiongkok Selatan, perbatasan Propinsi Hok-kian dan Kiang-si.
Kiu-bwe Coa-li memang berasal dari Hok-kian, maka ia disebut tokoh besar selatan yang ke dua. Sebagaimana diketahui, tokoh besar selatan yang pertama adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yang selalu merantau di seluruh propinsi selatan dan tak tentu tempat tinggalnya…..
********************
Sementara itu, Hek-i Hui-mo dengan cepat membawa lari Lai Siang Pok yang menjadi ketakutan dan kaget setengah mati itu. Anak ini menangis dan minta dengan suara amat menyedihkan agar supaya dia dilepaskan kembali, namun Hek-i Hui-mo menjawab,
“Kau ingat baik-baik semua isi kitab yang di baca oleh Tu-siucai tadi, barulah kau ada harapan untuk hidup terus!”
Mendengar ini Siang Pok pun mengerti bahwa kakek yang menyeramkan ini benar-benar membutuhkan bantuan untuk mengingat bunyi isi kitab tadi, maka karena maklum bahwa hal itulah satu-satunya jalan baginya untuk dapat menolong diri sendiri dari bahaya, dia lalu mengumpulkan seluruh ingatan dan perhatiannya kepada bunyi isi kitab yang aneh itu.
Lai Siang Pok adalah seorang anak yang amat cerdik luar biasa dan semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah bundanya dalam ilmu kesusastraan. Oleh karena itu dia telah biasa menghafal, dan meski pun tadi dia mendengarkan isi kitab yang dibaca oleh Tu Fu dengan setengah hati saja, namun dia telah hampir dapat mengingat semuanya!
Setelah jauh dari kota Kai-feng, Hek-i Hui-mo menurunkan Lai Siang Pok dan berkata,
“Coba kau sekarang mengulang kembali isi kitab itu, hendak kudengar apakah kau ada gunanya bagiku atau tidak!”
Siang Pok mengumpulkan ingatannya, kemudian mengulang apa yang tadi didengarnya. Mendengar ini, Hek-i Hui-mo menjadi girang sekali karena semua yang diingat olehnya sendiri dari isi kitab itu, ternyata tidak ada seperempatnya dari apa yang dapat diingat oleh Siang Pok!
“Anak baik...! Kau patut menjadi muridku!” katanya girang sambil menepuk-nepuk pundak anak itu.
Tepukan ini bukanlah tepukan biasa, akan tetapi tepukan hendak memeriksa keadaan tubuh dan tulang dari anak laki-laki ini. Akan tetapi dia mempunyai watak yang tabah dan keras hati, maka digigitnya bibir untuk menahan rasa sakit.
“Bagus, tidak jelek!” kata Hek-i Hui-mo yang kemudian tertawa bergelak. “Hendak kulihat kelak, siapa yang paling pandai memilih dan mengajar muridnya. Ha-ha-ha, Siang Pok, kau menjadi muridku dan kelak kaulah yang akan menjagoi di antara murid-murid semua orang gila itu. Ha-ha-ha!”
Siang Pok tidak mengerti apa yang dimaksud oleh kakek hitam ini, akan tetapi diam-diam ia menjadi girang juga. Sering kali anak ini membaca cerita-cerita kuno tentang pendekar dan pahlawan, kemudian diam-diam dia mengagumi sepak terjang dan kegagahan para pendekar itu.
Sekarang mendengar bahwa dia hendak diambil murid oleh kakek yang telah ia saksikan sendiri kelihaiannya, tentu saja dia menjadi girang. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan Hek-i Hui-mo sambil berkata,
“Segala petunjuk dari Suhu akan teecu pelajari dengan rajin.”
“Bagus, mari kita cepat pulang agar kau bisa segera berlatih. Kau sudah tertinggal jauh oleh murid-murid mereka itu.”
“Pulang? Ke mana, Suhu?”
“Ha-ha-ha, tentu saja ke Tibet, ke barat! Hayo!” Sambil berkata demikian, Hek-i Hui-mo menyambar tubuh muridnya.
Sekejap kemudian terpaksa Siang Pok meramkan kedua matanya karena angin bertiup kencang sekali, membuat kedua matanya pedas ketika suhu-nya membawanya lari luar biasa cepatnya seakan-akan terbang!
Walau pun Hek-i Hui-mo melakukan perjalanan cepat sekali dan jarang berhenti di jalan, namun dia harus menggunakan waktu sebulan lebih baru tiba di Tibet, daerah barat yang jauh itu. Siang Pok diterima dengan penuh penghormatan dan juga perasaan iri hati oleh orang-orang di barat, karena bila menjadi murid Hek-i Hui-mo, selain dianggap mendapat kehormatan tinggi, juga dianggap sebagai yang menerima kurnia besar.
Namun Siang Pok tidak mempedulikan semua itu dan mulai saat gurunya menurunkan pelajaran ilmu silat kepadanya, dia belajar dengan amat rajin dan tekun sehingga boleh dibilang lupa makan dan lupa tidur! Melihat ini, Hek-i Hui-mo semakin sayang kepadanya, karena makin besar harapan di hatinya, murid ini kelak akan menjunjung tinggi namanya dan akan mengalahkan semua murid tokoh-tokoh besar yang sudah berlatih lebih dulu.
Seperti juga Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo yang bernama Thian Seng Hwesio ini, jarang sekali keluar dan bersembunyi saja di kelentengnya, memberi latihan-latihan kepada Lai Siang Pok, karena seperti juga Kiu-bwe Coa-li, dia ingin mempelajari isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang didengarnya dari Tu Fu, kemudian kalau sudah mempelajarinya dengan sempurna, bersama muridnya dia akan mencari tokoh-tokoh lain untuk ditantang pibu!
Seperti telah kita ketahui, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang terjatuh ke dalam tangan Hek-i Hui-mo dan yang kemudian isinya dibacakan oleh pujangga besar Tu Fu sambil didengarkan oleh Kiu-bwe Coa-li dan Hek-i Hui-mo bersama murid-murid mereka, adalah kitab palsu. Akan tetapi biar pun palsu, kitab ini ditulis di jaman dahulu oleh orang yang pandai dan hafal akan isi kitab aslinya, maka biar pun palsu, isi kitab ini merupakan pelajaran yang aneh dan luar biasa sekali.
Bagi orang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja kitab ini tidak ada artinya sama sekali dan jika orang biasa melatih diri meniru pelajaran isi kitab ini, bukannya mendapat kemajuan dan kepandaian tinggi, malah tubuh orang itu akan menjadi rusak. Akan tetapi sebaliknya, apa bila yang mendengarnya adalah orang-orang berilmu tinggi seperti Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li, mereka dapat menangkap serta menerima isi kitab untuk disaring kembali dan untuk dijadikan bahan menyempurnakan kepandaian silat mereka.
Oleh karena inilah, maka hasil dari pada mendengarkan isi kitab itu bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li sangat jauh berlainan. Pelajaran yang mereka dengar itu, lalu diolah dan disaring sesuai dengan ilmu kepandaian yang sudah ada pada mereka, maka tentu saja tidak sama.
Bagi Kiu-bwe Coa-li, pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng yang telah didengarnya dari pujangga Tu Fu itu mendatangkan kemajuan yang hebat sekali dalam hal ilmu lweekang, yakni penggunaan tenaga dalam. Walau pun pelajaran lweekang di dalam kitab itu tidak karuan dan sengaja dibolak-balikkan oleh penulis kitab palsu, namun sungguh kebetulan sekali perhatian Kiu-bwe Coa-li dan muridnya, Sui Ceng, justru dikerahkan ke jurusan ini.
Dengan kecerdikannya yang luar biasa, Kiu-bwe Coa-li bertekun mengupas pelajaran ini dan akhirnya dia pun dapat menemukan ilmu aslinya dengan jalan meraba-raba serta menduga-duga. Ia lalu memperbaiki dengan caranya sendiri, sesuai dengan kepandaian yang telah dimilikinya, sehingga akhirnya dia pun mendapatkan ilmu silat berdasarkan pelajaran Im-yang Bu-tek Cin-keng yang seluruhnya menggunakan tenaga lweekang yang hebat luar biasa!
Sebaliknya, setelah mendengar dan mempelajari isi kitab itu, Hek-i Hui-mo mendapatkan gerakan-gerakan istimewa yang sesuai benar untuk menyempurnakan ilmu tongkatnya. Ilmu tongkat Hek-i Hui-mo, yakni permainan tongkat Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga), memang telah terkenal dan lihai sekali. Kini, setelah dia mempelajari isi kitab itu, dia mendapatkan sesuatu yang cocok sekali dan yang dapat dia olah sedemikian rupa sehingga ilmu tongkatnya menjadi maju dengan pesat dan kini merupakan ilmu tongkat yang aneh dan luar biasa!
Jika biasanya dia mainkan dua senjata, yakni tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan dan tasbih di tangan kiri, di mana tongkat menjadi alat penyerang dan tasbih sebagai alat penangkis, kini dengan hanya mainkan tongkatnya saja kelihaiannya sudah berlipat kali melebihi sepasang senjatanya itu. Sebab itu dia lalu tekun memperdalam kepandaiannya bermain tongkat yang kelak akan diturunkan kepada murid tunggalnya, yakni Lai Siang Pok.
Sebetulnya, kalau orang mengetahui isi dari pada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli, orang takkan merasa heran mengapa isi kitab yang dibaca Tu Fu itu mendatangkan dua macam ilmu jauh berlainan bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li. Kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng memang merupakan raja kitab ilmu silat di dunia ini!
Di situ terdapat pelajaran pokok dan dasar dari pada segala macam gerakan ilmu silat di atas dunia. Ilmu silat dengan tangan kosong mau pun dengan senjata yang bagaimana pun juga, kesemuanya berpokok dan berdasar sama, yakni berdasarkan menyerang dan bertahan. Ada pun inti sari dari pada dua gerakan ini memang menjadi isi dari Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli.....
********************
Komentar
Posting Komentar