PENDEKAR SAKTI : JILID-15


“Tadi sudah siauwte ceritakan bahwa kemarin hari ketika siauwte bersama pujangga Tu Fu, tiba-tiba ada seorang tinggi gemuk yang berkepala gundul, malam-malam datang dan menculik Tu-siucai. Gerakan orang itu cepat sekali dan ketika siauwte berusaha untuk menolong Tu-siucai, dengan sekali dorong saja siauwte roboh tak sadarkan diri. Karena cepatnya gerakan orang itu, siauwte tak sempat mengenal mukanya, hanya tahu bahwa kepalanya gundul dan pakaiannya seperti pakain pendeta. Tubuhnya gemuk sekali.”

“Apakah bajunya hitam semua?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.

Lie Seng menggelengkan kepalanya. “Entahlah, karena sebelum menyerang, orang itu melambaikan tangan ke arah lampu yang menjadi padam seketika.”

Kwa Ok Sin berdiri kemudian berkata, “Demikianlah persoalan pertama yang kita hadapi. Ternyata bahwa Tu-siucai telah diculik orang jahat yang lihai, entah dengan maksud apa. Karena kita semua sudah mengenal Tu-siucai sebagai seorang sastrawan yang berjiwa gagah, maka sudah menjadi kewajiban kita semua untuk menggunakan kepandaian dan mencoba menolong Tu-siucai dari tangan orang jahat.”

Warta ini menggirangkan hati Kwan Cu. Tanpa dapat ditahan lagi dia berkata dengan suaranya yang kecil nyaring.

“Penculiknya pasti Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”

Semua orang terkejut.

“Ehh, anak gundul, bagaimana kau berani menuduh Kak Thong Taisu?” terdengar suara keras dan yang membentak ini adalah Pouw Hong Taisu ketua dari Thian-san-pai yang semenjak tadi memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata membenci.

Tak senang hati Kwan Cu mendengar suara yang galak ini, maka dia menjawab dengan suara kasar juga. “Karena hanya si gundul itulah yang mempunyai alasan untuk menculik seorang sastrawan besar!”

“Diam kau, Kwan Cu!” Ang-bin Sin-kai menegur.

Ketika guru dan murid ini saling bertemu pandang, tahulah Kwan Cu akan kesalahannya sendiri. Ia maklum bahwa urusan Im-yang Bu-tek Cin-keng ini tidak perlu diketahui oleh orang lain, maka dia lalu menundukkan muka dan menutup mulut.

“Muridku ini memang panjang lidah,” kata Ang-bin Sin-kai kepada semua orang.

“Tuduhannya tadi hanya kira-kira saja, karena memang muridku sudah pernah melihat Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang berkepala gundul dan bertubuh gendut. Betapa pun juga, aku akan pergi ke kota raja untuk menyelidiki apakah benar-benar Jeng-kin-jiu yang menculik Tu-siucai.”

“Syukurlah, memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelidiki dan coba menolong Tu-siucai,” kata Kwa Ok Sin, kemudian dia berpaling kepada Pouw Hong Taisu ketua Thian-san-pai sambil berkata,

“Karena masalah pertama telah dibicarakan, maka lebih baik sekarang Taisu menuturkan lagi persoalan kedua yang Taisu bawa jauh-jauh dari Thian-san!” Sambil berkata begini, Kwa Ok Sin lalu duduk kembali dan kini semua mata memandang kepada Pouw Hong Taisu yang sudah bangkit berdiri dengan muka merah.

Pouw Hong Taisu bertubuh jangkung, mukanya lonjong dan rambutnya yang digelung di atas kepala itu masih hitam sekali sungguh pun usianya tak kurang dari lima puluh tahun. Di punggungnya kelihatan gagang sepasang golok, karena memang tokoh Thian-san-pai in terkenal sekali sebagai seorang ahli ilmu silat siang-to (sepasang golok).

“Cu-wi sekalian, sesungguhnya bukan hanya pinto (aku) seorang saja yang membawa persoalan ini seperti yang telah kuceritakan tadi. Soal yang kubawa juga persoalan dari sahabatku Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai. Kami mempunyai persoalan yang sama, karena muridnya dan murid pinto sudah terbunuh mati oleh seorang saja.” Sampai di sini Pouw Hong Taisu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata bernyala. Agaknya orang tua ini sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Pouw Hong Taisu lantas menggebrak meja dan aneh sekali. Cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang-bin Sin-kai dan berada di hadapan Pengemis Sakti ini, tiba-tiba mencelat ke atas tinggi sekali. Benar-benar hebat demonstrasi tenaga lweekang dari tokoh Thian-san-pai ini, karena begitu banyak cawan arak di atas meja, namun begitu dia menggebrak meja yang mencelat hanyalah cawan arak milik Ang-bin Sin-kai saja, tepat seperti dikehendakinya!

Melihat ini, terkejutlah Ang-bin Sin-kai karena dia maklum bahwa orang sedang marah kepadanya. Akan tetapi dengan tenang sekali dia mengulur tangan menerima kembali cawannya dan meletakkannya lagi di hadapannya.

“Tenang, Pouw Hong Taisu, ceritakanlah dengan jelas persoalannya lebih dahulu, jangan marah-marah seperti anak kecil!” kata Ang-bin Sin-kai untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Bin Kong Siansu yang juga sekarang telah berdiri di dekat Pouw Hong Taisu. Tokoh Kim-san-pai ini lalu berkata mengejek.

“Pinto merasa heran sekali melihat ketenanganmu, Ang-bin Sni-kai! Kau bahkan masih dapat memberi nasihat kepada Pouw Hong Taisu untuk berlaku tenang. Sungguh berani mati dan tak tahu malu sekali!”

Sambil melontarkan kata-kata ini, Bin Kong Siansu mengerakkan tangan kanannya ke arah cawan arak di depan Ang-bin Sin-kai dan...

“Praaaakk!”

Cawan itu pecah berkeping-keping seperti telah dipukul dengan palu besi! Padahal yang menyerang cawan arak itu hanya angin pukulan tangan saja dari Bin Kong Siansu. Dari sini saja sudah dapat diukur sampai bagaimana hebatnya kepandaian tokoh Kim-san-pai ini.

Kwan Cu tertawa geli mendengar ucapan suhu-nya. Dia tadi sudah menyaksikan sikap kedua orang tosu itu, dan sudah mendengar pula kata-kata mereka, maka karena selama ini dia selalu berada dengan suhu-nya dan merasa yakin bahwa suhu-nya tidak pernah melakukan hal yang tidak patut, dia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalah fahaman dari fihak mereka.

Oleh karena ini, anak ini pun merasa tenang-tenang saja, bahkan ada kegembiraan di dalam hatinya. Dia bahkan mengharapkan agar suhu-nya dapat bertanding melawan dua orang jago tua dari Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu agar di dalam pertempuran yang hebat, dia mendapat pemandangan yang bagus dan penambahan pengalaman!

“Bin Kong dan Pouw Hong dua tua bangka yang sudah pikun. Apa sih harganya untuk main-main seperti ini? Lebih baik kau bicara terus terang, sebetulnya ada urusan apakah maka kalian seperti kemasukan setan dan marah-marah padaku?” kata Ang-bin Sin-kai sambil memandang kepada dua orang tosu itu.

“Pengemis busuk, kau masih berpura-pura tidak tahu? Kau sudah membunuh mati Ong Kiat, murid yang pinto tahu betul belum pernah melakukan pelanggaran dan yang selalu bersikap sebagai seorang pendekar yang patut menjadi kebanggan Thian-san-pai. Akan tetapi, mengapa kau seorang tua yang sudah mendapat nama baik malah menurunkan tangan kejam dan membunuhnya? Tak perlu banyak cakap lagi, sekarang kebetulan kau datang sehingga memudahkan pinto untuk membalas dendam dan menagih hutang. Kini bersiaplah! Mari kita mengadu nyawa, tua sama tua, jangan hanya berani mengganggu orang-orang muda!” Sambil berkata begitu, tokoh Thian-san-pai ini mencabut sepasang goloknya yang ternyata berwarna kebiruan menyilaukan mata.

Inilah sebuah tantangan terbuka dan kini semuanya memandang ke arah Ang-bin Sin-kai untuk melihat bagaimana tokoh besar dari timur itu bersikap. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai masih bersikap tenang dan kini kakek pengemis ini memandang kepada Bin Kong Siansu sambil berkata,

“Bin Kong Siansu, baru saja Pouw Hong Taisu dari Thian-san-pai sudah melontarkan tuduhannya. Agar dapat sekaligus membereskan persoalan ini, cobalah kau menuturkan pula tentang muridmu yang katanya kubunuh itu.”

Melihat sikap Ang-bin Sin-kai, Bin Kong Siansu merasa ragu-ragu, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga.

“Benar-benarkah kau tidak tahu atau hanya berpura-pura, Ang-bin Sin-kai? Seperti juga murid Pouw Hong Taisu, muridku, atau lebih tepat cucu muridku yang bernama Pek-cilan Thio Loan Eng yang menjadi isteri dari Ong Kiat anak murid Thian-san-pai, juga terbunuh olehmu secara sewenang-wenang? Karena itu, sekarang engkau pun harus menghadapi sebatang pedangku untuk menentukan siapa yang harus membayar nyawa muridku!” Bin Kong Siansu lalu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning emas telah berada di tangannya.

Tiba-tiba terdengar orang menjerit dan Kwan Cu sudah melompat maju menghadapi Bin Kong Siansu.

“Siapa bilang Thio-toanio mati? Bohong! Bohong semua! Thio-toanio tidak mati...!”

“Hmm, anak gundul, otakmu sudah agak miring rupanya. Kami sendiri telah menyaksikan kuburan dari Thio Loan Eng. Dia dibunuh oleh gurumu, kau masih mau main sandiwara untuk menutupi kedosaan gurumu?!” Bin Kong Siansu membentak diikuti tangan kirinya menyambar menempiling kepala Kwan Cu yang gundul.

Gerakan itu cepat sekali sehingga meski pun Kwan Cu mengelak, tetap saja dia terkena kemplangan tangan kiri tosu itu. Tubuh Kwan Cu mencelat dan bergulingan menabrak meja kursi, akan tetapi anak ini tidak apa-apa, lalu bangkit berdiri lagi.

“Thio-toanio mati...? Terbunuh...? Ahhh, Suhu, kita harus membalaskan sakit hatinya...” katanya setengah menangis sambil menghampiri suhu-nya.

“Bocah lancang, kau diamlah saja, jangan turut campur,” kata Ang-bin Sin-kai menghibur.

Kakek ini maklum bahwa mendengar tentang kematian Pek-cilan, kesedihan muridnya mungkin masih lebih besar dari pada kesedihan dan kemarahan Bin Kong Siansu, tokoh Kim-pan-sai itu.

“Bin Kong dan Pouw Hong, apa kalian berdua menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa aku membunuh murid-murid kalian?” tanya Ang-bin Sin-kai.

“Apa bila kami melihat dengan mata kepala sendiri, apakah kau kira masih dapat hidup sampai sekarang?!” bentak Pouw Hong Taisu marah.

Ketua Thian-san-pai ini memang wataknya sedikit sombong. Berbeda dengan Bin Kong Siansu yang agak jeri menghadapi Ang-bin Sin-kai, ketua Thian-san-pai ini menganggap kepandaian sendiri akan dapat mengatasi kepandaian Pengemis Sakti Muka Merah.

“Kalau begitu, siapakah yang memberi tahu kepada kalian bahwa aku sudah membunuh murid kalian?”

Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu saling pandang, kemudian Bin Kong Siansu yang menjawab,

“Ang-bin Sin-kai, kami mendengar dari seorang yang boleh dipercaya benar-benar, dan kami sudah bersumpah tidak akan memberitahukan namanya kepada siapa pun juga.”

”Hm, hem, hemm, jadi kalian percaya penuh kepadanya?”

“Tentu saja kami percaya! Dia orang terhormat, tidak seperti engkau!” Pouw Hong Taisu membentak sambil melangkah maju dengan sepasang goloknya siap untuk menyerang.

Bersinar sepasang mata Ang-bin Sin-kai. “Kalau aku bilang bahwa aku tidak membunuh murid-muridmu, apakah kalian tidak percaya padaku?”

Bin Kong Siansu ragu-ragu, akan tetapi Pouw Hong Taisu membentak,

“Siapa bisa percaya kepada seorang yang telah membunuh mati muridku?”

Akan tetapi Bin Kong Siansu lalu cepat-cepat berkata, “Ang-bin Sin-kai! Orang yang telah memberi tahukan mengenai pembunuhan itu adalah seorang yang ternama dan dia telah bersumpah. Maka apa bila kau juga mau bersumpah bahwa kau tidak membunuh anak muridku, aku Bin Kong Siansu berjanji hendak menyelidiki lebih lanjut urusan ini.”

Ang-bin Sin-kai makin marah. Ia menggebrak meja di depannya dan empat kaki meja itu melesak ke dalam sampai setengahnya, akan tetapi semua cawan arak yang berada di atas meja tidak ada satu pun yang terguling!

“Kalian percaya omonganku atau tidak, habis perkara! Kalian kira aku ini orang macam apakah? Kalian percaya, bagus. Tidak percaya pun boleh, siapa pusing? Hayo Kwan Cu, kita pergi!”

Ang-bin Sin-kai menggandeng tangan muridnya, bangkit meninggalkan bangkunya. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba menyambar tubuh dua orang dan tahu-tahu Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu telah berdiri menghadang di depannya.

“Jembel pembunuh! Enak saja kau mau minggat dari hukuman mati!” bentak Pouw Hong Taisu yang langsung menyerang dengan sabetan sepasang goloknya yang kebiruan.

“Kwan Cu, menyingkir ke sana!” kata Ang-bin Sin-kai.

Secepat kilat kaki kanan Ang-bin Sin-kai menendang pantat muridnya sehingga tubuh Kwan Cu mencelat seperti bal karet ke pojok ruangan di mana terdapat tumpukan meja yang agaknya memang kelebihan dan ditumpuk di situ supaya tidak memenuhi ruangan. Sambil berpoksai dan berjumpalitan dengan gerakan Koai-liong Hoan-sin (Naga Siluman Balikkan Badan), bocah gundul itu lalu mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat turun ke atas meja itu dengan baik, lalu menonton dengan enaknya!

Ada pun Ang-bin Sin-kai yang menghadapi sabetan sepasang golok dari kanan dan kiri, berlaku tenang akan tetapi cepat sekali. Ia maklum akan kelihaian ilmu golok dari ketua Thian-san-pai ini, maka melihat dua sinar kebiruan menyambar dari kanan kiri mengarah leher dan perut, dia lalu menggenjot tubuhnya mencelat mundur menghindarkan diri.

“Ang-bin Sin-kai, makanlah golokku!” Pouw Hong Taisu mengejar sambil menghujankan serangan bertubi-tubi yang kesemuanya amat berbahaya.

Permainan golok kakek Thian-san-pai ini memang sangat hebat. Tingkat kepandaiannya sudah mencapai puncak, maka sepasang goloknya itu menyambar-nyambar merupakan sepasang tangan maut. Nampak dua gulungan sinar biru yang terang sekali bergulung-gulung mengepung tubuh Ang-bin Sin-kai!

Melihat permainan golok ini, Kwan Cu menjadi kagum sekali dan dia memuji dari tempat duduknya yang tinggi.

“Bagus, bagus! Sinar golok yang bagus sekali!”

Anak ini terlalu percaya terhadap suhu-nya sehingga seruannya tadi sama sekali tidak tercampur rasa kekhawatiran terhadap keselamatan gurunya. Dalam hal ini dia memang benar, karena betapa pun hebat ilmu golok dari tokoh Thian-san-pai itu, namun gerakan Ang-bin Sin-kai lebih hebat dan cepat lagi.

Kakek ini nampaknya seperti tengah menari-nari di antara gulungan sinar biru itu. Yang membuat Kwan Cu menjadi bengong dan kagum adalah ketika dia mendapat kenyataan bahwa dalam menghadapi sepasang golok tokoh dari Thian-san-pai itu, suhu-nya hanya mempergunakan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to (Atur Pintu Tahan Ratusan Golok) yang telah dia pelajari!

Ahhh, betapa tadinya dia memandang rendah ilmu silat tangan kosong ini! Betapa buta matanya yang menganggap gurunya berat sebelah karena telah memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa) kepada Lu Thong. Dan sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa ilmu silat yang telah dia pelajari dengan baik itu, yakni Pai-bun Tui-pek-to, ternyata oleh gurunya telah dimainkan dan dapat dipergunakan untuk menghadapi amukan Pouw Hong Taisu dengan sepasang goloknya!

Pada saat dia memperhatikan permainan kedua tangan dan kaki suhu-nya, dia menjadi makin heran. Pai-bun Tui-pek-to yang dimainkan oleh suhu-nya itu sama sekali tidak ada bedanya dengan permainannya sendiri, bahkan gerakan suhu-nya itu nampaknya terlalu lambat. Bagaimana dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan yang begitu tangguh?

Ketika dia mencurahkan perhatiannya, barulah dia tahu. Setiap kali senjata golok Pouw Hong Taisu menyambar, kalau suhu-nya tidak sempat lagi untuk mengelak, suhu-nya lalu menggunakan tangan untuk dipukulkan ke arah golok itu dan benar-benar heran sekali, golok itu selalu terpukul oleh angin keras sehingga menjadi mencong dan menyeleweng arahnya!

Ia maklum bahwa dalam mainkan Pai-bun Tui-pek-to, perbedaan antara dia dan gurunya adalah bahwa gurunya hanya bergerak dengan perhitungan yang tepat sekali menunggu perkembangan serangan lawan. Tiap gerakan suhu-nya bukan hanya gerakan percuma, melainkan gerakan yang penuh isi, tak mau bergerak dengan sia-sia atau untuk selingan belaka. Maka bocah gundul ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan tahulah dia kini akan arti kata-kata suhu-nya yang sering menyatakan bahwa semua ilmu silat itu lihai, tergantung orang yang menggerakkan atau memainkannya!

Setelah ‘mengukur’ tingkat ilmu golok dari Thian-san-pai itu, Ang-bin Sin-kai sudah dapat menguras semua gerakan ilmu golok ini dan diam-diam Pengemis Sakti ini mencatat di dalam hatinya beberapa gerakan golok yang dianggapnya luar biasa serta sangat baik untuk dijadikan penambah pengetahuan ilmu silatnya.

Beginilah sikap seorang jagoan besar. Di dalam setiap pertempuran menghadapi lawan tangguh dia selalu membuka matanya untuk memetik beberapa gerakan yang baik dari lawannya. Dengan sikap seperti ini maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan selalu makin tinggi saja kepandaiannya dan semakin tenar namanya.

Kalau Ang-bin Sin-kai mau, sebetulnya dengan mudah saja dia akan dapat merobohkan Pouw Hong Taisu. Akan tetapi betapa pun juga, tokoh besar dari timur ini dahulunya adalah seorang sastrawan. Maka masih ada sifat-sifat sopan dan halus di dalam dirinya dan dia merasa tidak seharusnya dia merobohkan tokoh pertama dari Thian-san-pai di hadapan orang banyak.

Selain hal ini akan menjatuhkan nama Pouw Hong Taisu, juga akan menimbulkan akibat dendam dan bibit permusuhan dengan partai Thian-san-pai yang besar. Lagi pula, ketua Thian-san-pai ini menyerang dirinya karena menduga bahwa dia membunuh anak murid Thian-san, karena itu tidak seharusnya ketua ini dirobohkan. Ia hanya mau merobohkan seorang yang memang jahat dan ketua Thian-san-pai ini biar pun agak keras kepala dan sombong, namun sekali-kali bukan orang jahat!

“Pouw Hong Taisu, biarlah pinto menggantikanmu menghadapi Ang-bin Sin-kai!” tiba-tiba Bin Kong Siansu berkata keras.

Pedangnya berubah menjadi sinar yang panjang dan gemerlapan, mengalahkan cahaya sepasang golok ketua Thian-san-pai itu. Ternyata bahwa tokoh dari Kim-san-pai itu telah turun tangan menyerang Ang-bin Sin-kai dengan hebatnya.

Tadi dia telah menyaksikan kehebatan Ang-bin Sin-kai dan tahu bahwa kawannya itu tak akan dapat menangkan Pengemis Sakti yang benar-benar amat luar biasa itu. Ia sendiri pun masih sangsi apakah dia akan sanggup mengalahkan Ang-bin Sin-kai, akan tetapi karena dia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya, dia sengaja maju sebelum Pouw Hong Taisu dirobohkan untuk menolong kawan ini.

Akan tetapi Pouw Hong Taisu benar-benar berhati keras. Walau pun dia maklum bahwa lawannya ini lihai sekali dan sukarlah baginya untuk menang, akan tetapi kalau mundur, berati dia mengalah atau kalah.

“Tidak, Bin Kong Siansu. Aku harus menjatuhkan pengemis ini!” jawabnya dan sepasang goloknya langsung diputar semakin hebat dalam gerakan-gerakan terlihai dari ilmu golok Thian-san-pai.

“Ha-ha-ha, tua bangka pikun. Majulah kalian berdua, mari kita tua sama tua main-main sebentar!” Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak.

Tiba-tiba tubuhnya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya menyambar-nyambar di antara sinar golok dan pedang! Baru kini kakek ini menunjukkan kelihaiannya.

Tidak saja dua orang pengeroyoknya yang sangat terkejut karena seakan-akan mereka berdua mengeroyok sesosok bayangan setan, akan tetapi juga Kwan Cu duduk dengan bengong karena matanya yang terlatih masih tidak mampu mengikuti gerakan suhu-nya yang demikian cepatnya! Sekarang dia betul-betul melihat suhu-nya dengan kepandaian yang sesungguhnya, yang membuat hatinya berdebar bangga dan kagum.

Tiba-tiba Kwan Cu merasa tubuhnya terikat oleh sesuatu yang kuat sekali dan sebelum dia sempat memberontak, tubuhnya sudah terlempar naik ke atas melalui genteng yang sudah dilobangi dan nyeplos terus ke atas genteng! Ketika dia membuka matanya yang terheran-heran, ternyata dia telah berdiri di depan Kiu-bwe Coa-li dan Bun Sui Ceng!

“Ehh..., apa artinya ini...?” tanyanya sambil memandang muka Sui Ceng yang manis dan kini bersinar seperti sepasang bintang pagi.

“Artinya, jika aku tak memerlukanmu, pada saat ini juga aku tentu sudah menghancurkan batok kepalamu yang gundul ini sebab ternyata kau adalah seorang penipu cilik, seorang pembohong pandai yang kurang ajar sekali!”

Kwan Cu memandang kepada nenek sakti itu dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar. “Eh, ehh, ehhh…! Suthai, mengapakah datang-datang marah besar kepada teecu? Apa kesalahanku?”

“Kau tahu tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli, mengapa dahulu tidak mau memberi tahu kepadaku?”

“Itulah rahasiaku sendiri, Suthai. Kenapa harus dibuka kepada orang lain? Dan aku yang menutup rahasiaku sendiri, Suthai anggap pembohong dan penipu? Dalam hal apakah teecu membohong dan perbuatan mana pula yang merupakan penipuan?”

Dilawan dengan amat tabah oleh bocah gundul ini, Kiu-bwe Coa-li tertegun dan tak dapat menjawab!

“Sudahlah tak perlu banyak cakap. Sekarang kau harus ikut pinni dan membawa pinni ke tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau kau masih ingin hidup lebih lama lagi di dunia ini. Kalau kau menolak, sekarang juga kuhancurkan batok kepalamu.”

“Teecu masih mau hidup karena di dalam hidup teecu masih ada dua hal yang harus teecu penuhi, yakni pertama mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kedua kalinya, membalaskan sakit Thio-toanio yang telah terbunuh orang!” Sambil berkata demikian, dia memandang kepada Sui Ceng.

Anak perempuan ini tiba-tiba mengucurkan air matanya dan membalas pandangan Kwan Cu dengan penuh arti. “Terima kasih, Kwan Cu, akan tetapi aku sendiri yang kelak akan menghancurkan kepala si keparat Toat-beng Hui-Houw!” kata Sui Ceng.

“Apa...?! Pembunuh ibumu Toat-beng Hui-houw?” muka Kwan Cu menjadi girang sekali. “Dan suhu di bawah dikeroyok orang karena disangka suhu yang membunuh ibumu!”

Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li langsung menotok pundak Kwan Cu yang segera menjadi lemas tak berdaya lagi!

“Sui Ceng, cepat bawa bocah gundul ini ke luar kota dan tunggulah aku di pingggir hutan sebelah utara. Biar aku lebih dahulu membereskan Ang-bin Sin-kai si manusia pelanggar sumpah!”

Sui Ceng mengangguk dan dia segera memondong Kwan Cu dan meloncat pergi! Biar pun seluruh tubuhnya lumpuh, namun panca indera Kwan Cu masih bekerja baik, maka kagumlah dia melihat kemajuan ilmu lari Sui Ceng yang walau pun menggendongnya, masih dapat berlari dengan ringan dan cepat sekali.

Ada pun Kiu-bwe Coa-li setelah melihat Sui Ceng membawa Kwan Cu pergi jauh, lalu menyambar turun ke dalam ruangan di mana Ang-bin Sin-kai masih dikeroyok dengan hebat oleh dua orang kakek tua Kim-san-pai dan Thian-san-pai.

Menghadapi ilmu pedang Kim-san-pai yang betul-betul ganas dan gerakannya amat kuat, Ang-bin Sin-kai menjadi kagum dan gembira. Tak mungkin lagi baginya untuk main-main seperti tadi ketika menghadapi Pouw Hong Taisu seorang, karena kini keroyokan kedua orang tokoh besar itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan begitu saja.

Oleh karena itu, begitu tubuhnya berkelebatan untuk menghindari serangan lawan, ia pun mulai membalas dengan pukulan-pukulannya yang sangat lihai. Beberapa kali dia hampir saja berhasil memukul runtuh senjata lawan, akan tetapi kedua orang kakek yang cukup mengenal kelihaiannya, bertempur dengan hati-hati dan saling membantu.

“Tar! Tar! Tar!”

Pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi nyaring sekali dan tahu-tahu sembilan sinar menyambar ke arah medan pertempuran! Inilah pecut ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li yang telah turun tangan. Bagai sembilan ekor ular sakti, bulu-bulu cambuk itu melayang-layang dan setiap helai merupakan senjata maut yang luar biasa lihainya.

Pada saat itu, karena kini Ang-bin Sin-kai membalas serangan kedua orang lawannya, Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu mencurahkan seluruh perhatian pada serangan Ang-bin Sin-kai dan tidak bisa menjaga datangnya ‘ular-ular hidup’ ini. Maka tanpa dapat dicegah pula, sepasang golok di tangan Pouw Hong Taisu serta pedang di tangan Bin Kong Siansu, gagangnya telah terkena libatan bulu-bulu cambuk dan ditarik oleh Kiu-bwe Coa-li sehingga senjata-senjata itu terlepas dari pegangan!

Ada pun Ang-bin Sin-kai, biar pun dia menghadapi keroyokan dua orang yang lihai, tetapi memang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka kedatangan Kiu-bwe Coa-li ini dia ketahui baik-baik. Apa lagi saat terdengar bunyi bergeletar tadi, tahulah dia bahwa senjata istimewa dari Kiu-bwe Coa-li telah beraksi. Ia tidak berani lengah dan ketika tiga helai bulu cambuk menyambar ke arahnya, dia segera menggulingkan tubuhnya sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah tubuh Kiu-bwe Coa-li!

Ang-bin Sin-kai sengaja mengerahkan tenaga membalas dengan pukulan maut, karena tiga helai bulu cambuk tadi pun menyerangnya dengan maksud membunuh. Dia merasa heran dan juga marah mengapa datang-datang Kiu-bwe Coa-li hendak membunuhnya, sedangkan terhadap dua orang tokoh Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu, iblis wanita ini hanya merampas senjata mereka saja.

Pukulan yang dilancarkan Ang-bin Sin-kai mengandung hawa yang dahsyat sekali dan biar pun jarak antara Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li ada tiga tombak, namun nenek sakti itu merasakan datangnya hawa pukulan yang menyambar ke arah lambung dan ulu hatinya! Terpaksa ia menarik cambuknya sambil melompat ke kanan menghindarkan diri dan dengan demikian, dia gagal menyerang Ang-bin Sin-kai, namun berhasil merampas senjata-senjata Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu!

Ketua Kim-pan-sai dan ketua Thian-san-pai menjadi marah sekali. Akan tetapi mereka juga amat terkejut menyaksikan kelihaian nenek sakti yang dikenal baik namanya namun belum pernah disaksikan kepandaiannya itu.

“Suthai, apakah maksud kedatanganmu ini dan mengapa kau mencampuri urusan kami?” kata Pouw Hong Taisu dengan mata bernyala merah.

Kiu-bwe Coa-li menjebikan bibirnya dengan mengejek, “Hemm, tua bangka tak tahu diri! Kalau aku tidak datang turun tangan, apakah kau kira akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai? Ada dua hal yang mengharuskan aku turun tangan. Pertama, karena kalian telah menyerang orang yang tidak berdosa, ke dua, karena aku sendiri yang akan memberi hajaran pada Ang-bin Sin-kai, si manusia pelanggar sumpah!”

“Kiu-bwe Coa-li!” Pouw Hong Taisu membentak marah, “Kau tidak tahu, pengemis jahat ini telah membunuh murid-murid kami!”

“Bodoh, kalian tua bangka-tua bangka bodoh! Pembunuh Pek-cilan Thio Loan Eng dan Ong Kiat bukanlah Ang-bin Sin-kai, melainkan Toat-beng Hui-houw dan hal ini pinni (aku) telah menyaksikan sendiri!”

Mendengar kata-kata ini, tentu saja dua orang tokoh persilatan itu kaget sekali dan muka mereka menjadi pucat. Mereka telah melakukan kesalahan luar biasa besarnya terhadap Ang-bin Sin-kai dan hal itu bukan urusan yang kecil saja. Akan tetapi pada saat mereka menengok kepada Ang-bin Sin-kai, orang tua ini hanya tersenyum-senyum saja.

“Nah, terimalah senjata-senjatamu kembali, kalau kalian tidak bisa menerima dan binasa karenanya, jangan salahkan aku, anggap saja sebagai hukumanmu!” kata Kiu-bwe Coa-li dan begitu ia menggerakkan cambuknya, sepasang golok itu terlepas dan meluncur ke arah Pouw Hong Taisu sedangkan pedang itu meluncur ke arah Bin Kong Siansu!

Luncuran ini hebat sekali, cepatnya melebihi anak panah ada pun tenaganya melebihi tusukan seorang ahli silat! Kedua ketua Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu terkejut sekali.

Dengan gerakan Monyet Sakti Memetik Bunga, Bin Kong Siansu dapat mengelak ke kiri dan tangannya menyambut pedangnya sendiri pada gagangnya. Dia berhasil menerima pedangnya itu akan tetapi dia merasa telapak tangannya pedas sekali.

Yang lebih hebat adalah Pouw Hong Taisu karena tosu ini menghadapi serangan dari sepasang goloknya yang meluncur ke arah tenggorokan, akan tetapi tangan kirinya agak terlambat menyambar yang meluncur ke lambung. Terpaksa dia melemparkan tubuh ke kiri sehingga golok itu meluncur terus mengancam seorang tamu muda yang duduk di belakangnya!

Keadaan amat berbahaya bagi tamu muda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh Ang-bin Sin-kai berkelebat dan sekali tendang saja, golok itu terlempar ke atas dan menancap pada tiang melintang di atas hingga separuhnya. Gagang golok itu bergoyang-goyang, tanda bahwa luncuran tadi amat kuatnya!

Pouw Hong Taisu menjadi pucat, demikian pula semua tamu. Ternyata bahwa gedung Bun-bu-pang telah kedatangan dua orang tamu yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali.

Walau pun mereka sudah mendengar dan mengenal Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh-tokoh besar yang tiada taranya, akan tetapi baru hari ini mereka kebetulan bisa menyaksikan kepandaian mereka yang betul-betul hebat. Keringat dingin mengucur pada jidat mereka, terutama sekali Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu yang sudah merasa bersalah terhadap Ang-bin Sin-kai yang mereka tuduh secara keji sekali.

Kini Kiu-bwe Coa-li menghadapi Ang-bin Sin-kai. Sepasang matanya menyatakan bahwa nenek sakti ini sedang marah bukan main.

“Ang-bin Sin-kai, pengemis hina dina. Kau benar-benar berjiwa pengemis rendah dan tidak merasa jijik untuk menelan ludah sendiri yang sudah kau keluarkan di atas lumpur busuk! Orang lain boleh kau bodohi begitu saja, akan tetapi pinni tidak sudi kau tipu!” sambil berkata demikian Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu mengancam sembilan jalan darah di tubuh Ang-bin Sin-kai!

Ang-bin Sin-kai kaget sekali menghadapi serangan yang hebat ini. Ia sebenarnya terkejut bukan karena jeri melainkan heran kenapa iblis wanita ini betul-betul menyerang dengan niat membunuh. Kesalahan apakah yang sudah diperbuatnya? Agaknya hari ini dia sial benar-benar, semua orang menuduhnya yang bukan-bukan dan menghendaki jiwanya!

Menghadapi Kiu-bwe Coa-li jauh sekali bedanya dengan menghadapi keroyokan Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu, karena dia maklum bahwa nenek ini benar-benar lihai dan sangat berbahaya. Cepat Ang-bin Sin-kai menggunakan ginkang-nya untuk mencelat mundur sehingga bulu-bulu cambuk yang panjang itu tidak sampai mengenai tubuhnya.

Ia mengangkat kedua tangan sambil berkata keras, “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li! Kau agaknya tidak lebih waras dari dua orang yang menyerang aku tadi. Katakan lebih dulu kenapa kau menganggap aku si tua bangka ini sebagai si pelanggar sumpah?”

“Bagus, jembel siluman masih hendak berputar lidah! Mengakulah bahwa kau dahulu pernah bersumpah tidak akan mempergunakan Lu Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betul tidak?”

“Betul,” jawab Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.

Kiu-bwe Coa-li tersenyum mengejek. “Dan bila mana kau melanggar sumpahmu itu, kau bersumpah akan mampus seperti anjing, betulkah?”

“Memang begitulah kira-kira bunyi sumpahku.”

Mata kiu-bwe Coa-li mendelik. “Jahanam! Dan sekarang kau ternyata bersama Kwan Cu mencari kitab peninggalan Gui Tin untuk mencari tahu di mana disimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Karena itu, kau harus mampus seperti anjing di bawah cambukku.”

Terbelalak mata Ang-bin Sin-kai memandang nenek sakti itu. “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu. Dari manakah kau bisa mengetahui semua ini?”

“Semua orang sudah tahu. Empat tokoh besar di seluruh penjuru sudah tahu, mengapa aku tidak?”

“Kiu-bwe Coa-li, siluman perempuan yang galak. Memang betul Kwan Cu mencari kitab peninggalan itu atas pesanan mendiang Gui-siucai, apakah hubungannya dengan aku? Ingat, sumpahku adalah apa bila aku mempergunakan dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kini soalnya lain lagi, bukan aku yang mencari, melainkan anak itu. Dia berhak mendapatkannya, karena bukankah dia hanya memenuhi pesanan terakhir dari gurunya yakni Gui-suicai?”

“Bohong! Kau sengaja memutar balikkan kenyataan untuk menutupi kesalahanmu. Apa kau takut mampus?”

Ang-bin Sin-kai mulai marah. “Kiu-bwe Coa-li, alangkah sombongmu. Kau kira aku takut kepadamu? Kau boleh menuduh apa pun juga, aku tidak takut dan kau mau apa?”

“Bangsat tua, mampuslah!” Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya.

“Tar! Tar! Tar!”

Cambuknya berbunyi keras sekali sehingga semua orang yang berkumpul di situ menjadi jeri dan tak terasa pula segera mindur mepet ke tembok, takut kalau-kalau terkena ujung cambuk yang lihai itu.

Kiu-bwe Coa-li mengamuk seperti iblis. Ujung cambuknya kalau mengenai bangku, maka pecahlah bangku itu seperti dibacok kapak tajam. Sengaja dia menggunakan cambuknya menangkap meja dan bangku, lalu dilontarkannya meja bangku itu ke pinggir sehingga sibuklah orang-orang yang berada di situ untuk mengelak dari hujan bangku yang tadi mereka duduki.

Yang celaka adalah kaum sastrawan, karena berbeda dengan kaum persilatan yang bisa menangkis atau mengelak, mereka ini tertimpa meja serta bangku sehingga menderita benjol!

Ruangan yang luas itu kini bersih dari meja dan bangku, dan tanpa membuang waktu lagi, Kiu-bwe Coa-li serentak menyerang dengan cambuknya. Ang-bin Sin-kai yang tahu kelihaian lawan tidak mau berlaku sembrono menghadapinya dengan tangan kosong.

Memang biasanya kakek ini tidak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran menghadapi siapa pun juga. Akan tetapi karena dia tahu bahwa cambuk dari Kiu-bwe Coa-li amat berbahaya, sekarang dia mencabut suling pemberian dari Hang-houw-siauw Yok-ong untuk menangkis.

Pertempuran antara kedua orang tokoh besar ini berlangsung amat hebatnya. Biar pun orang-orang yang berkumpul di situ telah berdiri mepet pada tembok, namun sambaran angin yang keluar dari cambuk dan kedua tangan Ang-bin Sin-kai masih terasakan oleh mereka yang membuat rambut dan pakaian mereka berkibar dan kulit terasa dingin!

Suara yang mengiringi pertempuran ini pun terdengar amat mengerikan. Tidak saja suara bersiutnya bulu-bulu cambuk yang sembilan helai banyaknya itu diselingi dengan suara menjetar yang menulikan telinga, juga suara dari suling yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai menimbulkan suara angin yang mengerikan. Karena suling ini digerakkan secara cepat sekali, angin yang memasuki lubang-lubang suling menimbulkan suara bagaikan seekor binatang buas menangis.

Semua orang bergidik mendengar suara-suara ini dan kaburlah pandangan mata mereka melihat betapa bayangan dua orang tokoh besar itu lenyap sama sekali. Di ruangan itu kini hanya terlihat gulungan sinar yang tak tentu ujudnya, yang bergerak-gerak ke sana ke mari sehingga sukar untuk diduga siapa yang menang siapa yang kalah.

Melihat cara Kiu-bwe Coa-li mainkan cambuknya, Ang-bin Sin-kai merasa terkejut bukan main. Pernah dia menyaksikan permainan cambuk lawannya ini, yaitu dulu ketika mereka berebutan kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan biar pun dia sendiri belum pernah menghadapi Kiu-bwe Coa-li, namun dia sudah dapat mengukur kelihaian lawan ini. Akan tetapi sekarang permainan cambuk itu sudah maju dengan pesat sekali. Berat dan aneh.

Tiba-tiba dia teringat akan tenaga lweekang yang pernah didapat bocah gundul itu dalam mempelajari lweekang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Maka mengertilah dia bahwa entah dengan cara bagaimana, iblis wanita ini sudah pula mempelajari ilmu lweekang dari kitab palsu itu!

Menduga tentang ini, otomatis Ang-bin Sin-kai menoleh ke arah tumpukan meja di mana tadi dia melemparkan Kwan Cu supaya terhindar dari pada gangguan lawan. Alangkah kagetnya ketika dia tidak melihat muridnya berada di situ. Ia sudah tahu akan ketaatan muridnya ini dan tak mungkin Kwan Cu berani pergi dari situ tanpa perkenannya. Tentu telah terjadi sesuatu dengan anak itu.

Pikiran ini membuat Ang-bin Sin-kai marah sekali dan tiba-tiba dia berseru keras sekali. Begitu kedua tangannya bergerak dia telah dapat memegang tiga helai bulu pecut dan direnggutnya sekuat tenaga!

Kiu-bwe Coa-li sangat terkejut dan cepat dia mempergunakan bulu pecut yang lain untuk dipukulkan ke arah kepala Ang-bin Sin-kai. Dia maklum bahwa untuk lain orang, sekali pukulan dengan ujung sehelai bulu pecut saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Akan tetapi menghadapi Ang-bin Sin-kai, belum tentu dia mampu merobohkan kakek ini dengan semua bulu pecutnya dirangkap menjadi satu kalau tidak mengenai bagian yang penting seperti ubun-ubun kepala!

Ang-bin Sin-kai marah sekali dan begitu dia menarik, tiga helai bulu pecut itu copot! Akan tetapi serangan enam helai bulu pecut sudah menyambar ubun-ubun kepalanya, maka cepat-cepat dia mengelak sambil miringkan tubuhnya. Betapa pun cepat gerakannya, dia terlambat dan beberapa helai bulu pecut masih mengenai pundaknya yang menimbulkan rasa sakit dan ngilu.

Dia mengerahkan tenaga lweekang untuk melawan pecutan ini dan tubuhnya mendadak menubruk maju dengan kedua tangan dipentang. Ternyata dalam kemarahannya Ang-bin Sin-kai sudah mengeluarkan tipu serangan yang sangat berbahaya, yakni pukulan yang disebut Pukulan Ombak Mengamuk! Kakek muka merah ini telah dapat menangkap dan meniru inti pukulan serangan ombak terhadap batu karang pada waktu dia masih suka bermain-main dengan ombak di pinggir Laut Po-hai!

Kiu-bwe Coa-li berseru kaget ketika hawa pukulan lawan membuat semua bulu pecutnya terpental kembali dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang! Ia kembali berseru dan tiba-tiba tubuhnya melayang naik untuk menghindari serangan lawan.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk melompat naik dan nyeplos dari genteng yang sudah berlubang, di atas meja di mana tadi Kwan Cu berada. Ia maklum bahwa muridnya keluar dari tempat ini.

“Kwan Cu...!” Ia berteriak di atas genteng sambil memandang ke kanan dan kiri. Namun keadaan di situ sunyi saja, tak nampak bayangan seorang pun manusia.

“Kwan Cu...! Hai... Kwan Cu bocah gundul, kau di mana?!” kembali kakek ini berseru memanggil sambil mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga seruan ini tentu akan bisa terdengar oleh Kwan Cu seandainya anak itu berada dalam jarak beberapa lie saja dari tempat itu.

Dan memang betul, Kwan Cu dapat mendengar suara gurunya yang memanggil ini, akan tetapi dia tidak berdaya karena dia telah lumpuh dan pada saat itu dia rebah di bawah pohon ditunggu oleh Bun Sui Ceng yang mendongeng kepadanya tentang Pek-cilan Thio Loan Eng yang terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw!

“Jangan kau khawatir, Kwan Cu. Biar pun kelihatan galak, guruku berhati mulia dan kau pasti tak akan diganggunya, asal saja kau mau memberi petunjuk kepadanya bagaimana untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng,” kata Sui Ceng kepada bocah gundul itu.

Ada pun Ang-bin Sin-kai, setelah memanggil beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, menjadi semakin gelisah dan bingung. Ia berpikir sejenak dan timbul dugaannya bahwa Kwan Cu tentu telah diculik oleh Kiu-bwe Coa-li pada saat dia masih dikeroyok oleh dua Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau anak itu bersembunyi di dalam rumah?

Ia lalu melompat kembali turun ke tengah ruangan itu dan dia tidak melihat lagi bayangan Kiu-bwe Coa-li. Orang-orang yang berada di situ tadi melihat Ang-bin Sin-kai melayang naik melalui atap yang bolong, dan Kiu-bwe Coa-li setelah mengeluarkan suara tertawa yang nyaring dan mendirikan bulu tengkuk, lalu berkelebat pergi dari pintu. Semua orang menahan napas. Dan sekarang melihat Ang-bin Sin-kai melayang turun kembali, mereka memandang penuh perhatian.

“Di mana adanya muridku?” tanya Ang-bin Sin-kai kepada mereka.

Tak seorang pun menjawab.

“Hai...! Tulikah kalian semua? Di mana adanya Kwan Cu muridku yang tadi duduk di atas tumpukan meja itu?”

Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu melangkah maju. Dua orang kakek ini segera merangkap dua tangan dan memberi hormat dengan muka nampak malu dan menyesal.

“Muridmu sudah diambil oleh Kiu-bwe Coa-li ketika kau tadi bertempur melawan kami,” kata Pouw Hong Taisu dengan suara menyesal. “Semua adalah kesalahan kami, Ang-bin Sin-kai dan kami mohon maaf sebanyaknya. Benar-benar tadi kami semua berlaku amat buruk terhadapmu. Maaf, maaf...,” kata Bin Kong Siansu dengan hati tidak enak sekali.

“Marah, menyesal! Ahh, orang-orang seperti kalian masih bisa diombang-ambingkan oleh perasaan dan nafsu, sungguh lucu dan menggelikan sekali!” kata Ang-bin Sinkai gemas. “Ehh, orang she Kwa, apakah kau pun tidak malu menjadi ketua Bun-bu-pang?” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu melompat pergi meninggalkan rumah perkumpulan Bun-bu-pang itu. Semua orang saling pandang dan menghela napas.

“Biarlah hal ini merupakan pelajaran bagi kita sekalian,” kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang. “Lain kali kita harus berlaku hati-hati sekali dalam memutuskan sesuatu urusan, harus melakukan penyelidikan sedalam-dalamnya dan tidak percaya begitu saja kata-kata orang lain.”

Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu menjadi merah mukanya. Diam-diam mereka mengutuk Hek-i Hui-mo, karena sebenarnya Hek-i Hui-mo yang membakar hati mereka dan Hek-i Hui-mo yang memberi tahu mereka bahwa Ang-bin Sin-kai yang membunuh murid-murid mereka.

“Kiu-bwe Coa-li, hati-hati kau! Apa bila sampai kau ganggu muridku, aku Ang-bin Sin-kai belum mau mati sebelum mencabuti sembilan ekormu,” sepanjang jalan Ang-bin Sin-kai berkata begini meski pun hatinya tak begitu mengkhawatirkan akan keadaan muridnya.

Ia tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li menculik Kwan Cu ada maksudnya, yakni hendak mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi oleh karena kitab sejarah peninggalan Gui Tin yang dapat memberi petunjuk di mana adanya kitab sakti itu telah dicuri orang, tentu Kwan Cu akan berkata terus terang dan Kiu-bwe Coa-li tentu akan berusaha merampas kembali kitab sejarah yang tercuri.

“Betulkah Jeng-kin-jiu yang telah mencurinya? Tak salah lagi, karena Kwan Cu menduga Jeng-kin-jiu, tentu Kiu-bwe Coa-li akan menyusul pendeta gundul gendut itu ke kota raja. Hemm, tiada jalan lain, aku pun harus menyusul ke sana. Betapa pun juga, kitab sejarah itu tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain, harus menjadi milik Kwan Cu yang memang berhak.”

Setelah mengambil keputusan begini, Ang-bin Sin-kai lalu berlari cepat menuju ke kota raja…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)