PENDEKAR SAKTI : JILID-19


Akan tetapi, terdengar suara ketawa bergelak dan tiba-tiba Siangkoan Hai sudah lenyap dari atas tembok itu, karena ketika tadi Ui-eng Suthai melayang naik, dia telah membetot tangan kedua muridnya dan membawa mereka melompat turun ke dalam.

“Bangsat tua, bagus sekali kau mengantarkan nyawa!” Pek-eng Sian-jin membentak dan segera menyerang dengan pedangnya.

Melihat serangan ini, segera tahulah Siangkoan Hai bahwa ilmu pedang Pek-eng Sianjin benar-benar lihai dan tenaganya bahkan lebih kuat dari pada Ui-eng Suthai. Maka ia pun tidak berani berlaku ayal.

Tanpa dapat terlihat saking cepatnya, dia sudah menyimpan kembali sepasang kipasnya dan kini Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengeluarkan tombaknya! Ia mainkan tombak itu dan pandangan mata Pek-eng Sianjin segera berkunang-kunang saat melihat ujung tombak di tangan kakek pendek kecil itu berubah menjadi puluhan banyaknya!

Tombak itu tergetar dan mengaung dengan suara yang menyakitkan telinga, sedangkan setiap kali pedangnya terbentur oleh ujung tombak, hampir saja pedangnya terpental dan terlepas dari pegangan. Pada waktu secara nekat Pek-eng Sianjin melompat ke atas lalu menukik ke bawah sambil membabat dengan pedangnya ke arah leher lawan, Siangkoan Hai memutar tombaknya sehingga pedang lawan tertempel dan ikut terputar.

“Turun kau!” bentak Siangkoan Hai.

Benar saja, tanpa dapat menahan diri lagi Pek-eng Sianjin terbetot turun dan pedangnya menancap di atas tanah dengan tubuhnya masih di atas! Untuk sejenak, seakan-akan Pek-eng-Sianjin berubah menjadi sebatang tongkat panjang, dengan tangan memegang gagang pedang yang tertancap di atas tanah dan kakinya lurus ke atas. Akan tetapi dia segera dapat melompat dan membalik sehingga dia dapat berdiri kembali, lalu mencabut pedangnya.

“Nanti dulu sebelum kalian melanjutkan permainan wayang ini!” Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru. “Aku datang bukan untuk mencari permusuhan, sungguh pun aku tidak akan menolak setiap pertempuran yang menggembirakan. Namun, sebenarnya kedatanganku ini untuk bertanya kepada kalian, mengapa kalian suka menculik anak-anak muda? Di mana mereka itu semua dan mengapa melakukan kejahatan itu?”

Pek-eng Sianjin tertawa mengejek. “Hemm, pernah pinto mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai sebagai seorang gagah, tidak tahunya hanyalah seorang kakek kate yang lancang mulut lancang tangan dan tukang mencampuri urusan orang lain! Kami memilih dan mengumpulkan murid-murid kami supaya dapat mewarisi ilmu pedang kami, lalu ada sangkut paut apakah dengan kau orang tua?”

Mendengar ucapan ini. Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkejut dan tertegun. Kalau demikian halnya, dia telah salah duga! Ia melirik ke kanan kiri dan melihat di situ terdapat belasan orang-orang muda laki-laki dan perempuan yang semuanya berwajah tampan dan cantik sekali. Mereka ini dengan pedang di tangan sudah pula mengurung Kun beng dan Swi Kiat! Sikap mereka itu semua bermusuh, seolah-olah mereka tidak suka ada orang-orang mengganggu lima orang guru mereka!

Akan tetapi, pandangan mata Siangkoan Hai amat tajam dan dari sinar mata orang-orang muda yang layu dan keluar dari wajah yang kepucatan, dia pun tahu bahwa orang-orang muda itu menderita sekali di dalam batin mereka. Entah apa yang telah terjadi dengan mereka, namun Siangkoan Hai tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dengan semua orang muda itu. Ia segera teringat akan sesuatu dan bertanya lagi,

“Ah, begitukah gerangan kenapa kalian berlima mengumpulkan pemuda-pemuda tampan dan dara-dara cantik?” dia menghitung dengan matanya, lalu bertanya lagi, “Jadi semua murid-muridmu berjumlah tujuh belas orang?”

Pek-eng Sianjin mengangguk sambil tertawa. “Murid-muridku hebat semua, bukan? Hee, Pak-lo-sian, kau juga mempunyai dua orang murid yang baik, tidak perlu kau merasa iri hati.”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengangguk-anggukkan kepala seakan-akan merasa setuju dengan omongan ini. Akan tetapi dia lalu berkata keras sambil menepuk kepalanya.

“Ucapanmu benar sekali! Akan tetapi, melihat murid-muridmu banyak yang perempuan dan manis-manis pula, tiba-tiba saja timbul keinginanku untuk mempunyai seorang murid perempuan pula! Eh, Kun-lun Ngo-eng, kalian berlima seperti garuda-garuda yang suka menyambar anak-anak ayam, berikanlah seorang anak murid perempuan kepadaku!”

Kun-lun Ngo-eng main mata dan saling pandang sambil tersenyum. Tidak tahunya kakek pendek kecil yang lihai ini tidak banyak bedanya dengan mereka! Ang-eng Sianjin yang berpakaian serba merah itu tertawa bergelak lalu berkata,

“Ha-ha-ha, orang tua pendek kecil, ternyata kau rakus juga ya? Karena kau telah datang dan berhasil masuk ke sini, nah... kau lihatlah murid-murid kami yang cantik-cantik, dan pilihlah yang paling jelita menurut penglihatanmu!”

Ang-eng Sianjin memang cerdik dan dapat berpikir cepat. Dia tadi sudah menyaksikan kelihaian kakek kecil ini dan tahu bahwa biar pun mengeroyok lima, belum tentu dia dan saudara-saudaranya akan sanggup menang, maka lebih baik kehilangan seorang ‘murid’ dari pada harus menghadapi resiko yang lebih berbahaya.

Ada pun Kun Beng dan Swi Kiat pada saat mendengar percakapan ini, merahlah muka mereka dan dengan mata melotot mereka memandang kepada suhu mereka. Dua orang anak ini sudah mengenal baik kebersihan hati suhu mereka, lalu mengapa suhu-nya kini berkata seperti itu? Sudah miringkah otak guru mereka ini?

Hampir saja Swi Kiat yang berwatak keras ini membuka mulut, akan tetapi tangannya disentuh oleh Kun Beng. Bocah ini masih tidak percaya dan menduga bahwa suhu-nya tentu main-main saja dengan lima orang aneh itu.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai memang betul main-main dan sengaja mengeluarkan ucapan tadi untuk memancing saja. Kini dia memandang kepada murid-murid perempuan yang cantik dan berpakaian mewah itu, lalu menggelengkan kepalanya dan berkata,

“Tidak ada yang cocok! Kembang-kembang ini sudah terpengaruh oleh pelajaran kalian, aku tidak mau. Aku ingin yang masih bersih, yang masih baru. Ehh, Kun-lun Ngo-eng, bukankah kemarin kalian menculik anak perempuan kepala suku bangsa Hui? Di mana dia? Mengapa tidak ada di antara mereka? Coba kau keluarkan yang itu, mungkin cocok menjadi muridku!”

Berubahlah wajah lima orang aneh itu ketika mendengar ini. Mereka tahu bahwa ternyata kakek ini datang untuk mencari perkara. Terdengar Kun-lun Ngo-eng berseru keras dan lima batang pedang dicabut serentak.

“Kau memang mencari mampus!” bentak Pek-eng Sianjin dan segera memimpin empat orang saudaranya menyerang.

Siangkoan Hai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, terbukalah kedokmu sekarang! Kau kira aku tidak tahu bahwa anak-anak ini sudah terpengaruh oleh racun dan kehilangan kehendak sendiri? Kalian benar-benar iblis yang harus mampus!”

Setelah berkata demikian, dia menggerakkan tombaknya secara luar biasa sekali cepat dan kuatnya sehingga lima orang lawannya mencelat mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran hawa pukulan tombak itu!

Belasan orang anak murid Kun-lun Ngo-eng juga serentak bergerak menyerang Kun Beng dan Swi Kiat. Dua orang anak muda ini cepat melawan. Kun Beng mempergunakan tombaknya dan Swi Kiat mempergunakan sepasang kipasnya.

Ternyata bahwa orang-orang muda itu merupakan makanan lunak bagi Kun Beng dan Swi Kiat karena mereka itu hanya pandai beraksi belaka dengan pedang mereka, namun tidak mempunyai ilmu kepandaian yang berarti. Sebentar saja beberapa orang di antara mereka sudah roboh tunggang-langgang. Baiknya dua orang murid Pak-lo-sian ini sudah dipesan oleh suhu mereka supaya tidak menewaskan nyawa lawan, kalau tidak tentulah mereka akan mengamuk, terutama sekali Swi Kiat yang sudah merasa marah sekali.

Ada pun Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sekarang sudah tahu akan rahasia lima orang lawannya yang betul-betul jahat dan merupakan penjahat-penjahat cabul yang berkedok pakaian pendeta, menjadi marah sekali. Permainan tombaknya makin lama makin kuat sehingga lima orang lawannya benar-benar terdesak hebat.

Ilmu pedang mereka memang luar biasa, namun menghadapi jago tua tokoh besar dari utara ini, mereka benar-benar kalah pengalaman, kalah latihan dan juga kalah tenaga. Pak-lo-sian memang mempunyai dasar watak yang amat baik dan berbudi tinggi, namun sekali dia marah, dia bisa berubah menjadi ganas di samping kesombongannya dan sifat yang tidak mau kalah oleh siapa pun juga dalam hal ilmu silat!

Makin lama, gerakan ilmu pedang lima orang Garuda Kun-lun-san itu makin mengendur dan kini mereka berkelahi sambil mundur, masuk ke dalam ruangan depan bangunan itu. Akan tetapi Pak-lo-sian Siangkoan Hai mana mau memberi ampun dan melepaskan lima orang itu?

Dengan ganasnya dia menyerbu terus dan mengejar mereka masuk ke dalam bangunan. Pada saat itu, kakek kate yang sedang marah ini agak kehilangan kewaspadaannya dan dengan nekat dia menyerbu. Niatnya hanya satu, yaitu membasmi kelima orang ini dan membalaskan dendam orang-orang muda yang terjatuh dalam tangan Kun-lun Ngo-eng dan menjadi seperti boneka-boneka hidup itu.

Lima orang Garuda Kun-lun itu tidak kuat menghadapi amukan Siang-koan Hai, maka mereka segera meloncat ke dalam serta menutup pintunya. Sekali ayunkan tombaknya, terdengar suara keras dan pecahlah pintu itu!

Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyerbu masuk dan mendadak dari atas turun batu besar menimpa kepalanya! Namun Siangkoan Hai tidak akan mendapat sebutan Dewa Utara dan tidak akan disebut tokoh terbesar di utara kalau dia tidak dapat menghadapi bahaya serangan mendadak ini.

Batu yang beratnya seribu kati itu menimpa kepalanya dari atas secara mendadak dan agaknya tak dapat dielakkan pula. Siangkoan Hai tidak menjadi gugup, bahkan dia hanya mempergunakan tangan kirinya, mendorong batu itu dari samping sehingga batu itu tidak menimpa kepalanya, sebaliknya terlempar ke depan ke arah lima orang lawannya!

Kun-lun Ngo-eng terkejut bukan main. Mereka cepat meloncat mundur sehingga batu itu menimpa lantai dan sambil menerbitkan suara gaduh, lantai itu pecah dan berhamburan! Ketika debu yang tebal itu menipis, Siangkoan Hai tak melihat lawan-lawannya lagi yang sudah melenyapkan diri melalui tirai debu tadi.

“Lima ekor anjing busuk, kalian jangan harap akan dapat melepaskan diri dari tombakku!” bentak Siangkoan Hai yang menjadi makin marah.

Kakek ini lantas meloncat dan menendang roboh pintu terusan sehingga daun pintu itu pecah. Ia tiba di sebuah ruangan yang aneh bentuknya dan yang membuat dia bingung untuk sejenak. Pintu ruangan ini dipasangi cermin sehingga dia melihat bayangannya sendiri di dalam cermin-cemin itu. Tiba-tiba cermin itu terbuka dan dari situ menyambar puluhan anak panah.

Siangkoan Hai hendak memutar tombaknya, akan tetapi tiba-tiba lantai yang diinjaknya merosot turun membawa tubuhnya ke bawah pula! Dia tidak dapat keluar dari kurungan ini, karena semua pintu menyemburkan anak panah, maka terpaksa dia hanya bersiap sedia menghadapi segala bahaya. Lantai yang turun ini akhirnya berhenti dan Siangkoan Hai mendapatkan dirinya terkurung di dalam sumur yang dindingnya terbuat dari pada besi tebal dan keadaan di situ gelap sekali!

Terdengarlah suara orang-orang tertawa, disusul oleh suara Jeng-eng Mo-li yang merdu dan nyaring.

“Siangkoan Hai, kau boleh bertapa di situ sampai mampus. Murid-muridmu akan menjadi murid kami dan sewaktu-waktu kau boleh melihat mereka. Ha-ha-ha!”

Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya bisa memaki-maki gemas, akan tetapi Kun-lun Ngo-eng sudah pergi meninggalkan tempat itu. Suara tertawa mereka makin lama makin menjauh. Siangkoan Hai memukul-mukulkan tongkatnya di sekitarnya, akan tetapi yang nampak hanya bunga api berpijar. Dia benar-benar tidak berdaya lagi! Dewa Utara yang gagah perkasa itu kini seperti seekor naga yang terkurung dan tidak berdaya keluar.

Kun Beng dan Swi Kiat masih mengamuk di halaman depan dan kini para murid Kun-lun Ngo-eng yang berpakain mewah itu telah dibikin kocar-kacir.

“Suheng, jangan berlaku kejam kepada mereka. Kulihat mereka ini seperti orang-orang mabuk.” Berkali-kali Kun Beng memperingatkan suheng-nya.

Kalau sudah marah, Swi Kiat tidak peduli lagi kepada orang lain dan tidak kenal kasihan. Di sana-sini nampak tubuh para murid itu bergelimpangan, mengerang kesakitan karena pukulan dan tendangan dua orang muda itu.

Tiba-tiba muncul lima orang aneh yang tadi bertempur dengan Siangkoan Hai. Melihat mereka, Kun Beng dan Swi Kiat menjadi pucat, karena munculnya lima orang ini berarti bahwa suhu mereka tentu telah mengalami bencana.

“Di mana Suhu-ku?” seru Swi Kiat sambil melompat ke tempat mereka.

Pek-eng Sianjin tertawa bergelak, dan Ui-eng Suthai menghampiri Swi Kiat, memandang tajam dengan mata kagum.

“Kau benar-benar gagah, orang muda,” katanya.

Ada pun Jeng-eng Mo-li juga melompat ke depan Kun Beng, mengulurkan tangan untuk meraba pipi pemuda itu. Kun Beng mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pipinya telah disentuh oleh wanita berpakaian hijau ini.

“Kau tampan sekali,” kata Jeng-eng Mo-li.

Melihat sikap mereka, Kun Beng tak dapat menahan sabar lagi dan mencabut tombaknya yang tadi sudah disimpan. Apa lagi Swi Kiat. Dengan muka merah dan dada berombak, pemuda cilik ini mengeluarkan kipasnya dan serentak menyerang Ui-eng Suthai yang berada di depannya. Juga Kun Beng segera mengerjakan tombaknya untuk menyerang Jeng-eng Mo-li sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

“Bagus, pemuda yang tampan dan gagah, memiliki kepandaian yang berisi juga!” berkata Ui-eng Suthai sambil mengelak dari serangan Swi Kiat.

“Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Pemuda yang ini pun ilmu tombaknya tidak tercela. Benar-benar pemuda yang menawan hati!” Jeng-eng Mo-li berkata sambil terus tertawa ha-ha-hi-hi dan menghadapi Kun Beng dengan tangan kosong.

Memang, kepandaian Swi Kiat dan Kun Beng sudah tinggi dan boleh dibilang luar biasa kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda yang sebaya dengan mereka. Akan tetapi kini mereka menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga sudah matang pengalamannya.

Beberapa jurus kemudian, setelah menghindarkan diri dari serangan dua orang pemuda itu tanpa membalas sedikit pun, Ui-eng Suthai lalu mencabut keluar sehelai sapu tangan kuning dari saku bajunya dan sekali ia mengebutkan sapu tangan itu ke arah muka Swi Kiat, pemuda ini mencium bau yang amat wangi dan yang membuatnya lemas dan pening. Tak tertahankan lagi dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan di dalam pelukan Ui-eng Suthai!

Hampir berbareng, Jeng-eng Mo-li juga mengebutkan sapu tangannya yang berwarna hijau dan juga Kun Beng roboh pingsan dalam pelukannya. Sambil tertawa-tawa dengan pipi menjadi merah, kedua orang wanita cabul ini lalu memondong tubuh korban mereka dan membawanya lari ke dalam, diikuti pandangan mata tiga orang saudara seperguruan mereka yang tersenyum-senyum geli. Demikianlah perangai Kun-lun Ngo-eng yang bejat moralnya!

Tertawannya Pak-lo-sian Siangkoan Hai, menimbulkan kemarahan besar pada Kun-lun Sam-lojin. Mereka menganggap bahwa kini Kun-lun Ngo-eng berlaku keterlaluan sekali. Kun-lun Sam-lojin mengenal Pak-lo-sian sebagai tokoh besar di dunia kang-ouw, dan jika sekarang orang tua itu sampai mendapat celaka di Kun-lun-san, bukankah itu membuat buruk nama Kun-lun-pai?

“Mereka sudah terlalu berani. Apa bila didiamkan saja, akhirnya kita jugalah yang akan mendapatkan nama buruk. Kejahatan merajalela di depan mata, apakah kita harus diam saja?” berkata Seng Giok Siansu, orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin. Memang orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin ini beradat paling keras di antara saudara-saudaranya.

“Habis apakah yang harus kita lakukan? Twa-suheng Seng Thian Siansu melarang kita mencampuri urusan mereka dan mencari permusuhan. Apa bila kita turun tangan, tentu twa-suheng marah sekali,” kata Seng Te Siansu hati-hati.

“Memang sukar,” kata Seng Jin Siasu, “menurutkan twa-suheng dan tinggal peluk tangan saja, hati dan pribadi tidak mengijinkan. Jika menyerbu Kun-lun Ngo-eng dan melanggar larangan twa-suheng, berarti pembangkangan terhadap saudara tua. Akan tetapi, kurasa lebih baik kita melanggar larangan dari pada melanggar peri kemanusiaan dan kewajiban sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi peri kebajikan! Sekarang twa-suheng lagi bersiulian (bersemedhi) dan tidak mungkin diganggu. Bagaimana kalau diam-diam kita pergi ke sana dan mengusir orang-orang jahat sambil menolong Pak-lo-sian? Kalau kelak twa-suheng marah, biarlah kita beramai mohon maaf dan memberi alasan yang tepat.”

Akhirnya dua orang saudaranya menyetujui, dan berangkatlah mereka bertiga menyerbu bangunan besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Terjadi pertempuran amat hebat antara Kun-lun Ngo-eng dan Kun-lun Sam-lojin. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari Kun-lun Ngo-eng lihai sekali dan jumlah mereka juga lebih besar.

Dalam pertempuran mati-matian, Seng Giok Siansu, orang ketiga dari Kun-lun Sam-lojin akhirnya roboh lantas tewas oleh jarum dari Ui-eng Suthai yang disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa). Ada pun dua orang tokoh Kun-lun-pai yang lain, yaitu Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, terluka dan dapat ditawan!

Sesudah terjadi peristiwa yang hebat ini, barulah Seng Thian Siansu keluar dari tempat pertapaannya dan turun gunung. Dia memaksa diri biar pun tubuhnya sudah tua serta lemah, dan berniat hendak mengadu nyawa dengan Kun-lun Ngo-eng. Agaknya, biar pun kepandaiannya lihai, kakek yang sudah amat tua ini akan menghadapi bencana di depan bangunan tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Baiknya di tengah jalan dia bertemu dengan Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!

Mendengar penuturan kakek tua renta itu, Ang-bin Sin-kai menjadi marah sekali.

“Locianpwe, mereka itu sungguh-sungguh jahat dan layak sekali dibasmi. Kiranya tidak perlu Locianpwe sendiri yang mengotorkan tangan, biar teecu mewakili Locianpwe untuk membereskan persoalan ini, menolong Pak-lo-sian serta sute-sute dari Locianpwe,” kata Ang-bin Sin-kai.

“Terima kasih, Ang-bin Sin-kai, terima kasih. Apa bila bukan engkau yang mengajukan penawaran membantu, agaknya aku takkan percaya dan terpaksa turun tangan sendiri, meski tenagaku sudah lemah. Akan tetapi aku pecaya penuh padamu dan kau wakililah aku. Kelak sebelum mati mungkin sekali aku akan dapat meninggalkan sesuatu bagimu.”

Ang-bin Sin-kai tersenyum, lalu menoleh kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, kau mendengar sudah bahwa Locianpwe hendak memberi hadiah sesuatu. Kelak kalau ada kesempatan, kau wakililah gurumu menerima hadiah itu.”

Sesudah itu, Ang-bin Sin-kai memberi hormat kepada Seng Thian Siansu, lalu mengajak muridnya cepat-cepat menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng…..

********************

Pada saat siuman kembali, Kun Beng mendapatkan dirinya sedang rebah di atas sebuah pembaringan yang ditilami dengan kain sutera hijau. Pembaringan itu indah sekali dan bantalnya disulam benang emas, berbau harum sekali. Kamar itu pun sangat indahnya, dihiasi dengan dinding yang dipenuhi gambar-gambar pemandangan dan bunga, dengan perabot-perabot yang serba mahal dan indah seperti kamar seorang puteri bangsawan.

Semua ini masih belum mengherankan hati Kun Beng yang masih merasa pening. Akan tetapi ketika mendengar suara ketawa merdu di dekatnya dan dia menengok, serentak dia melompat turun dari pembaringan kemudian berdiri di atas lantai. Ternyata bahwa di dekatnya tadi duduk Jeng-eng Mo-li yang tertawa-tawa manis kepadanya.

Perempuan ini sekarang tak kelihatan galak lagi, melainkan telah berhias dengan bedak dan gincu tebal. Lagaknya tersenyum-senyum dengan mata melirik-lirik itu benar-benar membuat Kun Beng merasa bulu tengkuknya berdiri dan muak sekali. Pemuda yang baru menjelang dewasa ini masih belum paham akan segala kemesuman perempuan cabul seperti Jeng-eng Mo-li, akan tetapi dia telah dapat merasakan dan mengerti akan sikap perempuan itu dan karenanya dia merasa muak sekali.

Seketika itu juga teringatlah dia akan semua peristiwa yang terjadi dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan dan dibawa ke kamar perempuan rendah ini. Wajahnya menjadi merah sekali saking jengah dan marahnya.

“Anak yang baik, kau telah berada disini. Berlakulah manis kepadaku dan kau akan hidup sebagai seorang pangeran di tempat ini,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara dibuat-buat agar terdengar menarik merdu.

“Siluman jahat!” Kun Beng membentak.

Pemuda ini hendak melompat keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja tiba di pintu, lengan kanannya telah ditangkap oleh Jeng-eng Mo-li dan perempuan itu menariknya kembali ke dalam kamar.

“Kalau kau keluar, kau akan menjumpai maut. Di luar menanti kematian dan di dalam kamar kau akan hidup penuh kesenangan,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara bernada membujuk.

“Anjing hina-dina, lebih baik aku mati!” seru Kun Beng dan kali ini pemuda ini mengayun tangan kanan memukul ke arah kepala Jeng-eng Mo-li!

Akan tetapi, dengan mudah saja Jeng-eng Mo-li miringkan kepala mengelak dari pukulan ini. Bahkan sekali menggerakkan tangan, dia telah bisa menangkap pergelangan tangan Kun Beng dan sebelum pemuda itu sempat bergerak, lengan kedua sudah ditangkap pula sehingga Kun Beng sama sekali tidak berdaya lagi!

“Bodoh, kau menurutlah saja. Aku sangat sayang kepadamu karena kau lain dari pada pemuda-pemuda yang lemah itu. Kalau kau mau berlaku manis dan tidak membandel, kau akan kujadikan pangeran di antara mereka semua dan kau tidak usah diberi minum arak pembius. Kau lihat, orang-orang muda yang berada di sini dipaksa dengan minum obat sehingga mereka seperti boneka hidup. Aku tidak suka akan boneka-boneka hidup, aku ingin seorang kekasih yang betul-betul suka kepadaku. Nah, berlakulah manis, kau tentu akan hidup bahagia di sini.”

Namun, sebagai jawaban atas bujukan ini, kaki Kun Beng bergerak-gerak cepat sekali dan tahu-tahu dia telah mengirim tendangan yang amat kuat dan berbahaya sekali bagi keselamatan Jeng-eng Mo-li! Karena Jeng-eng Mo-li sedang memegangi kedua tangan Kun Beng dengan dua tangannya sendiri, maka tendangan yang tiba-tiba dan datangnya dari jarak dekat ini tak dapat ditangkis.

Terpaksa dia melepaskan pegangannya dan melompat mundur. Namun Kun Beng yang sudah menjadi marah dan benci sekali kepada perempuan ini, cepat menyambar meja di depannya dan dengan meja di tangan, dia menyerang Jeng-eng Mo-li dengan hebatnya!

“Bocah tak kenal budi!” Jeng-eng Mo-li membentak keras karena dia pun merasa jengkel sekali menghadapi pemuda yang nekat ini.

Dengan sebuah bangku di tangan, dia menangkis serangan Kun Beng dan terdengarlah suara keras ketika meja dan bangku beradu. Patah-patah kaki meja yang dipegang Kun Beng dan pemuda ini sendiri terlempar oleh benturan pukulan ini. Namun Kun Beng tidak takut dan dia melangkah maju lagi dengan kedua tangan terkepal, siap untuk menyerang dan melawan mati-matian.

Kalau saja Kun Beng tidak memiliki wajah yang tampan dan yang menarik hati Jeng-eng Mo-li, tentu perempuan ini telah menggunakan kepandaian untuk membunuhnya. Meski Jeng-eng Mo-li merasa amat tersinggung dan juga kecewa, akan tetapi ia masih sayang kepada pemuda ini. Maka, ketika Kun Beng menyerbu lagi, cepat ia mengebutkan sapu tangan hijaunya dan robohlah Kun Beng untuk kedua kalinya!

Sama halnya dengan Kun Beng, di kamar lain Swi Kiat sedang digoda dan dibujuk oleh Ui-eng Suthai. Pemuda yang berangasan ini memaki-maki dan memberontak sehingga terpaksa Ui-eng Suthai menotoknya dan memberinya minum semacam arak yang sudah dicampur dengan bisa yang amat luar biasa.

Bisa ini seketika itu juga membuat lumpuh semangat dan menutup semua pikiran hingga Swi Kiat seakan-akan menjadi boneka hidup yang hanya mempunyai satu maksud, yakni menurut serta mentaati segala kehendak dan perintah yang dikeluarkan Ui-eng Suthai! Namun sebelum Swi Kiat berada dalam keadaan lumpuh itu, satu pikiran terkandung di dalam otaknya, yakni pikiran membenci perempuan karena dia merasa muak dan benci kepada semua lagak dan kelakuan Ui-eng Suthai.

Ada pun Pak-lo-sian Siangkoan Hai orang aneh yang wataknya juga luar biasa sekali itu, setelah mendapat kenyataan bahwa dia tidak dapat keluar dari sumur kering, bukannya menjadi gelisah atau bingung. Sehabis memaki-maki Kun-lun Ngo-eng dengan kata-kata kotor, bahkan dia lalu bernyanyi-nyanyi dengan suara keras sehingga gemanya keluar dari sumur dan terdengar sampai jauh dari bangunan besar itu! Akan tetapi, tidak lama kemudian suaranya tidak terdengar lagi, agaknya orang tua ini telah tidur pulas. Betulkah Siangkoan Hai dapat tidur dalam keadaan seperti itu?

Sama sekali tidak! Kakek yang aneh ini ketika bergerak-gerak dan meraba-raba di dalam sumur kering, tiba-tiba tangannya menyentuh tulang-tulang manusia. Ketika dia meraba terus, ternyata bahwa tulang-tulang itu masih utuh, bahkan ada pula tengkoraknya. Dan di tangan rangka manusia ini, dia mendapatkan selembar benda terbuat dari pada kulit.

Siangkoan Hai mengambil benda itu, kemudian disimpannya pada saku bajunya, hendak diselidikinya apa bila dia dapat keluar dari kurungan itu. Ia percaya penuh bahwa tentu suara nyanyiannya yang keras dapat terdengar oleh orang-orang gagah yang berada di Kun-lun-san, maka setelah menyimpan benda itu, kembali dia bernyanyi-nyanyi keras.

Kakek ini tidak merasa khawatir karena menghadapi kepandaian Kun-lun Ngo-eng, dia tak usah takut. Mereka berlima tidak dapat mengganggunya walau pun dia telah tertawan di dalam sumur.

Ada pun soal makan, Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini adalah seorang yang aneh. Pernah dia tidak makan sampai sebulan lamanya dan sekali dia ‘membuka puasanya’ dia dapat menghabiskan belasan kati daging dan beberapa guci arak besar! Selama dia sanggup mempertahankan diri, tentu akan datang orang gagah menolongnya, pikir kakek ini.

Tidak seperti Ui-eng Suthai yang sudah tidak sabar lagi dan terus saja memberi minum arak pembius kepada Swi Kiat, Jeng-eng Mo-li masih merasa sayang kepada Kun Beng. Bila pemuda ini siuman, beberapa kali dia membujuk dengan kasar dan halus, kemudian membuat pemuda ini pingsan kembali dengan kebutan sapu tangan hijaunya. Namun, Kun Beng berjiwa gagah dan bersemangat pendekar, mana dia sudi menuruti kehendak perempuan cabul yang berjiwa kotor itu?

“Kau benar-benar bandel dan agaknya kau lebih suka menjadi seekor anjing hidup!” kata Jeng-eng Mo-li marah dan jengkel sekali.

Ia keluar dari kamar dan tak lama kemudian ia datang kembali diikuti oleh seorang gadis muda yang cantik dan seorang pemuda yang tampan, akan tetapi wajah dua orang muda ini pucat dan sinar matanya lenyap seakan-akan tidak bercahaya lagi.

Melihat mereka ini, Kun Beng bergidik karena kini dia pun maklum bahwa yang dianggap murid-murid Kun-lun Ngo-eng, tidak tahunya hanyalah orang-orang muda yang berada di bawah pengaruh obat pembius sehingga mereka ini lebih tepat disebut boneka-boneka hidup!

Jeng-eng Mo-li berkata kepada Kun Beng,

“Anak bodoh, kau lihat ini. Sukakah kau menjadi seperti mereka?” Kemudian wanita jahat itu menoleh kepada sepasang pemuda-pemudi yang berdiri seperti patung di situ, sambil memandang tajam dan membentak keras,

“Kalian berdua sekarang menjadi anjing. Hayo merayap di atas empat kakimu!”

Sesudah mendengar ucapan ini, dua orang muda itu segera berlutut dan merangkak-rangkak memutari kamar itu bagaikan dua ekor anjing jantan dan betina! Sambil tertawa genit Jeng-eng Mo-li kemudian mengambil dua potong kue dari atas meja yang tadinya dipergunakan untuk membujuk dan menjamu Kun Beng, melemparkan dua potong kue itu di atas lantai dan berkata lagi,

“Makan kue itu seperti anjing makan, pergunakan mulutmu!” Dan benar saja, dua orang muda itu lalu makan kue itu seperti dua ekor anjing saja!

“Keluar dari sini!” Jeng-eng Mo-li membentak dan berlarilah keluar dua orang muda itu seperti anjing-anjing dipukul!

Menyaksikan pertunjukan yang hebat ini, Kun Beng menjadi pucat sekali dan segera mukanya berubah merah.

“Perempuan iblis, kau harus mampus!” Sambil berkata demikian, pemuda ini melompat dan menerkam Jeng-eng Mo-li, hendak mencekik leher perempuan jahat ini.

Akan tetapi memang kepandaiannya kalah jauh, beberapa gebrakan saja dia telah kena ditotok jalan darahnya dan tak dapat berkutik lagi. Jeng-eng Mo-li kini sudah marah sekali dan habis kesabarannya.

“Kalau kau tidak mau menurut kepadaku, baik! Kau akan menjadi boneka hidup!”

Setelah berkata demikian, dia lalu mengambil sebotol arak berwarna hitam dan ketika dia membuka tutup botol itu, bau yang keras sekali memenuhi kamar. Dia menghampiri Kun Beng yang sudah di atas pembaringan tak dapat bergerak lagi dan hendak menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari luar kamar.

“Perempuan iblis!”

Dan menyambarlah angin pukulan yang demikian kerasnya sehingga ketika Jeng-eng Mo-li mengelak, botol di tangannya itu terpukul oleh angin pukulan dan terlepas dari pegangan! Botol itu jatuh pecah di atas lantai, dan bau yang keras itu makin menghebat.

Jeng-eng Mo-li terkejut sekali karena suara itu adalah suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Dia cepat melompat keluar kamar dari pintu rahasia. Pak-lo-sian Siangkoan Hai tidak mempedulikannya, sebaliknya lebih dulu membebaskan muridnya dari pengaruh totokan, kemudian dia mengajak Kun Beng melompat keluar.

Bagaimanakah Pak-lo-sian dapat keluar dari sumur kering dan dapat menolong Kun Beng pada saat yang amat tepat? Mudah diduga bahwa ini tentulah hasil usaha Ang-bin Sin-kai, akan tetapi sesungguhnya bukan hasil kerja kakek sakti ini, melainkan muridnya yang menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dengan cepat sekali Ang-bin Sin-kai dan muridnya berlari cepat menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng atau Lima Garuda dari Kun-lun-san itu. Tak seperti Siangkoan Hai yang menantang dari depan, Ang-bin Sin-kai mengambil jalan dari atas! Dia sudah dapat menduga bahwa orang seperti Pak-lo-sian itu kalau sampai kalah, tentu di situ terdapat tempat-tempat rahasia dan jebakan-jebakan.

Dia memegang tangan Kwan Cu dan mengajak muridnya melayang naik ke atas pagar tembok yang tinggi. Kemudian, dengan menggenjotkan sebelah kaki ke atas tembok, dia dapat melompat terus genteng dengan gerakan sedemikian ringannya sehingga sedikit pun tidak terdengar oleh orang-orang yang berada di bawah.

Dalam percakapan dengan Seng Thian Siansu, Ang-bin Sin-kai sudah mendengar bahwa di dalam bangunan itu, orang-orang yang berbahaya hanyalah Kun-lun Ngo-eng saja, sedangkan para ‘murid-muridnya’ tidak memiliki kepandaian berarti.

“Kwan Cu, kau lihat baik-baik. Pada saat aku sudah di keroyok oleh lima orang Kun-lun Ngo-eng itu, kau baru boleh turun dan segera cari orang-orang yang perlu ditolong,” kata pengemis sakti itu kepada muridnya.

Kemudian, guru dan murid ini sampai di tengah-tengah bangunan itu di mana terdapat sebuah ruangan di bawahnya. Mereka melihat tiga orang laki-laki tua dan seorang wanita setengah tua yang cantik dan genit duduk menghadapi meja dan sedang makan minum dengan senangnya.

Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Ang-eng Sianjin, dan Hek-eng Sianjin sedangkan yang perempuan adalah Ui-eng Suthai. Ada pun Jeng-eng Mo-li tidak kelihatan karena wanita busuk ini sedang membujuk dan mengancam Kun Beng di dalam kamarnya sendiri!

Mereka ini dilayani oleh anak-anak muda laki-laki dan perempuan yang bergerak seperti patung hidup. Kwan Cu terkejut sekali ketika melihat Swi Kiat berada di antara para anak muda yang melayani empat orang tokoh jahat itu. Seperti anak-anak muda yang lain, Swi Kiat juga berwajah pucat dan pandang matanya tak bersinar.

Tadinya Ang-bin Sin-kai hendak menunggu sampai lima tokoh jahat itu berkumpul semua supaya dia dapat menyerang mereka dan memberi kesempatan kepada muridnya untuk menolong Pak-lo-sian, murid-muridnya, dan lain orang yang ditawan di situ. Akan tetapi saat kakek pengemis ini menyaksikan keadaan orang-orang muda itu, seketika mukanya menjadi merah padam dan alisnya berdiri. Kemarahannya memuncak, karena kakek ini mengerti apakah yang menimpa pada diri anak-anak muda itu!

Pada saat Ang-bin Sin-kai yang sudah marah sekali itu hendak turun tangan, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan juga amat ringannya, kemudian disusul oleh suara orang menyuling lagu kuno yang indah!

“Hang-hong-siauw Yok-ong datang...,” Ang-bin Sin-kai berkata perlahan pada muridnya. Kemudian dia berkata kepada bayangan yang datang itu.

“Yok-ong (Raja Obat), kebetulan sekali kau datang. Banyak pekerjaan mulia untukmu!” Setelah berkata demikian, dengan hati girang dan besar, Ang-bin Sin-kai melompat turun dan segera melayang ke atas meja di tengah ruangan itu.

Ketika tadi mendengar suara suling dari Hang-hong-siauw Yok-ong, empat orang tokoh Kun-lun Ngo-eng itu terkejut sekali dan masing-masing melompat bangun dari tempat duduknya, apa lagi ketika mereka mendengar suara Ang-bin Sin-kai yang belum mereka kenal.

Tentu saja mereka amat kaget ketika mendengar suara orang di atas ruangan. Bagai mana ada orang bisa berada di atas genteng tanpa mereka dengar sama sekali suara kakinya? Padahal mereka rata-rata memiliki pendengaran yang amat tajam!

Oleh karena itu, dapat dibayangkan alangkah hebat kekagetan mereka ketika tiba-tiba bertiup angin kencang dibarengi berkelebatnya bayangan manusia dan tahu-tahu di atas meja yang mereka hadapi tadi, kini telah berdiri seorang kakek pengemis yang rambut dan jenggotnya panjang dan pakaiannya tidak karuan macamnya. Ketika dari atas, kakek ini melayang ke atas meja dan kini berdiri di atas dua buah mangkok sayur, memandangi masakan-masakan di atas meja sambil tersenyum-senyum lalu berkata mengejek,

“Masakan busuk... aku tidak doyan...!”

Pek-eng Sianjin tahu bahwa tempat tinggalnya kedatangan orang pandai yang tentu telah mengetahui akan semua peristiwa yang belum lama terjadi. Memang dia sudah merasa tidak enak sekali dengan tertawannya Pak-lo-sian dan juga Kun-lun Sam-lojin, dan tentu saja dia dapat menduga bahwa kedatangan kakek pengemis ini tentu ada hubungannya dengan orang-orang kang-ouw yang tertawan itu.

Maka dia lalu memberi tanda rahasia kepada tiga orang saudaranya dan serentak empat orang ini mengepung serta menyerang tubuh Ang-bin Sin-kai yang masih berdiri di atas meja dengan kedua kaki di atas mangkok. Yang diserang hanya menggerakkan kedua kakinya dengan sangat tenang dan melayanglah empat buah mangkok berisi sayuran ke arah empat penyerangnya!

Ketika Pek-eng Sianjin dan ketiga orang saudaranya melihat mangkok melayang ke arah mereka, cepat mereka memukul dengan pedang dan alangkah kaget hati mereka ketika telapak tangan mereka terasa sakit dan panas walau pun mangkok-mangkok itu berhasil dipukul pecah.

Mereka mendesak maju dan mengurung meja. Tetapi dengan mangkok-mangkok di atas meja, Ang-bin Sin-kai melayani mereka dengan cara menendangi mangkok-mangkok itu ke arah empat pengeroyoknya.

Sementara itu, Hang-hong-siauw Yok-ong juga melayang turun, akan tetapi raja obat ini sama sekali tidak ikut bertempur. Bahkan dia tertawa geli melihat cara Ang-bin Sin-kai melayani keempat orang lawannya. Untuk beberapa lamanya Hang-hong-siauw Yok-ong menonton sambil tertawa-tawa.

Kemudian dia menotok roboh semua orang muda yang tadi melayani Pek-eng Sianjin dan saudara-saudaranya. Tubuh para orang muda itu oleh Yok-ong dikumpulkan di sudut ruangan yang lebar itu, dibaringkan saja berjajar di atas lantai, lalu dia mencari-cari lagi anak-anak muda lainnya yang memang banyak terculik oleh lima orang jahat itu.

Setelah melihat suhu-nya dikeroyok oleh empat orang lawan di dalam ruangan itu, Kwan Cu lalu melompat turun ke bagian belakang. Tugasnya ialah menolong orang-orang yang tertawan di situ, akan tetapi di manakah tempat untuk menyimpan para tawanan?

Ketika dia tengah mencari, tiba-tiba dia mendengar suara orang bernyanyi. Ia mengenal suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai, maka cepat-cepat dia menghampiri tempat dari mana suara itu datang, yakni dari dalam sebuah sumur yang amat dalam dan gelap.

“Pak-lo-sian Locianpwe...!” Kwan Cu memanggil dari atas sumur.

Suara nyanyian itu berhenti dan tak lama kemudian terdengar suara tertawa.

“Ha-ha-ha, bocah gundul. Bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai? Lekas kau cari tambang yang panjang dan masukkan ujungnya ke dalam sumur. Ujung yang lain kau ikatkan saja kepada tiang agar aku dapat naik!”

“Baik, Locianpwe, tunggulah sebentar.”

Kwan Cu lalu berlari-lari ke belakang untuk mencari tambang yang cukup panjang. Dia bertemu dengan beberapa ‘murid’ Kun-lun Ngo-eng yang segera menyerangnya. Akan tetapi, sebetulnya para murid ini hanya mengerti ilmu silat kembangan saja dan mereka itu bertempur bagai orang-orang yang digerakkan oleh mesin, maka sebentar saja Kwan Cu sudah dapat meloloskan diri dari kepungan.

Anak gundul yang cerdik ini dapat melihat sikap mereka yang aneh, maka dia menjadi curiga dan tidak mau memukul atau merobohkan mereka, hanya menangkis saja yang membuat mereka terpental mundur. Akhirnya Kwan Cu dapat menemukan tambang yang panjang dan cepat dia membawa tambang itu ke tempat di mana terdapat sumur tadi.

“Locianpwe, tangkap tambang!” serunya ke dalam sumur sambil mengulur tambang itu ke dalam sumur yang amat gelap itu.

Kwan Cu tidak mengikatkan ujung tambang pada tiang, kan tetapi memeganginya dan membelit-belitkan pada dua tangannya. Tak lama kemudian tambang itu bergerak-gerak dan dengan cepatnya tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai merayap naik melalui tambang bagaikan seekor kera saja.

Ketika tiba di atas dan melihat betapa tambang itu dipegangi oleh Kwan Cu, Pak-lo-sian tertawa memuji. Akan tetapi Kwan Cu berkata,

“Cepat, Locianpwe, teecu mendengar suara Kun Beng memaki-maki di kamar belakang sebelah kiri. Agaknya dia dalam bahaya!”

Memang pada waktu mencari tambang tadi, Kwan Cu mendengar suara Kun Beng yang sedang memaki-maki Jeng-eng Mo-li. Bocah gundul ini tidak berani menolong karena dia dapat menduga bahwa orang kelima dari Kun-lun Ngo-eng sangat boleh jadi berada di kamar itu dan dia maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih jauh untuk menghadapi lawan tangguh.

Mendengar ini, Pak-lo-sian Siangkoan Hai segera melompat dan lenyap dari situ. Seperti sudah dituturkan di bagian depan, dengan tepat sekali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menyelamatkan Kun Beng dari bahaya terkena obat bius yang amat berbahaya. Ada pun Jeng-eng Mo-li setelah berlari keluar dan melihat empat orang saudaranya mengeroyok Ang-bin Sin-kai namun kelihatan amat terdesak, segera membantu.

“Ha-ha-ha! Kini lengkap Kun-lun Ngo-mo (Lima Iblis Kun-lun-san)! Bagus, bagus!” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menggerakkan kakinya.

Terdengar teriakan kaget dan tubuh Ui-eng Suthai terlempar ke arah Yok-ong yang kini berada di sudut, menjaga orang-orang muda yang semua telah ditotoknya dan sekarang dibaringkan berjajar di atas lantai, belasan orang jumlahnya.

Sambil meniup sulingnya, Yok-ong semenjak tadi menonton pertandingan antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok lima orang. Nampaknya dia gembira sekali dan sulingnya ditiup keras, menyanyikan lagu perang sehingga sesuai sekali dengan jalannya pertempuran. Karena inilah maka Ang-bin Sin-kai merasa mendongkol sekali dan sengaja menendang seorang lawannya ke arah Yok-ong.

Melihat tubuh wanita jahat itu melayang ke arahnya, Yok-ong tidak menghentikan suara sulingnya. Dia hanya mengangkat kaki kirinya dan sekali mendupak, tubuh Ui-eng Suthai telah dikirim kembali ke tengah medan pertempuran!

Pak-lo-sian Siangkoan Hai sebelum membawa Kun Beng ke tempat itu, terlebih dahulu menolong dan membebaskan Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, dua orang tokoh Kun-lun-pai yang ditawan di dalam sebuah kamar besi. Kemudian beramai-ramai mereka menuju ke ruang tengah di mana terjadi pertempuran antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok lima.

Pak-lo-sian marah sekali ketika mendengar dari Kun Beng mengenai kejahatan Kun-lun Ngo-eng. Apa lagi ketika tiba di ruang itu dia melihat muridnya yang pertama, Swi kiat, rebah bersama orang-orang muda lain dengan muka pucat.

“Harus kubikin mampus kelima Kun-lun Ngo-eng!” katanya penuh geram.

Ang-bin Sin-kai yang sedang mempermainkan lima orang lawannya kebetulan sekali bisa melihat betapa Pak-lo-sian Siangkoan Hai masuk melalui sebuah pintu, diikuti oleh Kun Beng dan dua orang kakek Kun-lun-pai. Kakek pengemis ini segera berkata,

“Hee, Pak-lo-sian, mari kau ikut main-main!” serunya dan kembali seorang pengeroyok, kini Hek-eng Sianjin, terlempar tubuhnya terkena dorongannya.

Tubuh Hek-eng Sianjin berputar-putar di tengah udara dan melayang menuju ke tempat Pak-lo-sian Siangkoan Hai berdiri. Kakek sakti dari utara yang telah merasa amat gemas dan marah kepada lima orang jahat itu, mengulur tangan kanannya. Sekali sambar dia sudah dapat menangkap leher Hek-eng Sianjin.

“Mampuslah kau!” serunya dan tubuh itu dia lemparkan ke arah dinding.

Terdengar suara keras ketika kepala Hek-eng Sianjin pecah beradu dengan dinding batu yang keras itu. Tubuhnya menggeletak di bawah tembok dan darah mengalir membasahi lantai.

Yok-ong menghentikan tiupan sulingnya dan berkata memuji,

“Memang begitulah seharusnya menghukum orang jahat. Kalau tidak dihabiskan jiwanya, iblis yang mengeram di dalam tubuhnya tak akan mau pergi!”

Namun baru saja dia menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai telah menangkap lengan Ui-eng Suthai yang ternyata masih dapat mengeroyok juga sesudah tadi digunakan sebagai bal oleh Yok-ong dan Ang-bin Sin-kai, kemudian sambil membetot dia melemparkan tubuh Ui-eng Suthai ke arah Yok-ong!

“Ini bagianmu!” seru Ang-bin Sin-kai lantang.

“Eh, eh, ehh, aku tidak biasa menghancurkan kepala orang!” kata Yok-ong gugup karena tidak tersangka bahwa dia harus menewaskan seorang di antara Kun-lun Ngo-eng.

Dia seorang Raja Obat, kesukaannya menyembuhkan orang sakit dan mencegah orang tercengkeram dan dibawa oleh Giam-lo-ong (Raja Maut). Bagaimana ia bisa membunuh orang? Maka setelah tubuh Ui-eng Suthai itu melayang ke dekatnya, dia lalu mendorong kembali sehingga tubuh wanita itu terpental ke arah Pak-lo-sian Siangkoan Hai.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)