PENDEKAR SAKTI : JILID-22
“Saudara yang baik, sebagai seorang pemuda aku hanya ingin meluaskan pengetahuan saja, hendak melihat apakah yang terdapat di sebelah sana samudera yang luas ini.”
Kong Hoat memandang kepadanya dengan kagum dan dari pandangan mata ini tahulah Kwan Cu bahwa sebetulnya pemuda itu ingin pergi seperti dia. Tak terasa pula fajar telah menyingsing dan Kwan Cu segera berdiri lalu berpamit kepada tuan rumah.
“Nanti dulu, kau boleh mempergunakan dayung simpananku yang paling baik,” kata Kong Hoat yang segera berlari ke belakang. Tak lama kemudian dia kembali sambil membawa sebatang dayung berwarna hitam yang panjang dan berat.
“Dayung ini masih jauh lebih baik dari pada lima batang dayung biasa.” kata Kong Hoat gembira, “Kau seorang pemuda gagah perkasa, maka sangat cocok memegang dayung ini, saudara Kwan Cu.”
Kwan Cu menerima dayung itu dan ternyata bahwa dayung itu terbuat dari baja hitam yang kuat sekali. Selain dapat digunakan sebagai dayung, juga dapat digunakan sebagai senjata yang boleh diandalkan.
“Terima kasih saudara Kong Hoat. Kau baik sekali dan mudah-mudahan saja aku akan mendapat kesempatan membalas budimu yang baik ini,” kata Kwan Cu girang.
Kong Hoat lalu memberikan perahunya kepada Kwan Cu, bahkan membantu Kwan Cu mengangkat perahu itu ke tepi pantai dan menurunkannya di air. Matahari baru nampak sinarnya yang kemerahan pada permukaan laut, akan tetapi raja siang itu sendiri belum memperlihatkan dirinya yang agung.
“Ingat, saudara Kwan Cu, dalam bulan ini angin bertiup dari selatan menuju ke utara dan ombak yang paling dahsyat terdapat di mulut Laut Po-hai. Bagian barat tidak berbahaya akan tetapi kalau kau memasuki Laut Po-hai, hati-hati jangan kau membiarkan perahumu mendekati kepulauan yang berada di sebelah utara dekat mulut Sungai Yalu, karena di situ terdapat pulau-pulau aneh yang amat berbahaya. Selain itu, terdapat pula batu-batu karang yang sukar dilalui perahu. Itu semua masih belum hebat, karena sebelum tiba di daerah berbahaya itu, kau akan berhadapan dengan ikan-ikan hiu yang sangat liar dan ganas.”
“Terima kasih atas segala nasehatmu, saudara Kong Hoat, akan kuingat baik-baik semua nasehat itu,” jawab Kwan Cu.
Tiba-tiba nenek tua Liok-te Mo-li datang berlari-larian. Tangannya membawa bungkusan kuning dan ia berkata kepada Kwan Cu, “Kau seorang pemuda yang berani, dan sebagai tamuku, sudah semestinya jika aku memberi sedikit bekal. Nah, kau terimalah beberapa helai daun Liong-cu-hio (Daun Mustika Naga) ini sebagai bekal di tengah pelayaranmu yang berbahaya itu.” Sambil berkata demikian, nenek itu memberikan bungkusan kuning kepada Kwan Cu.
Kwan Cu menerimanya sambil menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika dia teringat akan nama daun itu sebagai daun ajaib, yang membunuh jangkerik-jangkerik malam tadi, dia menjadi ngeri.
“Maaf, Suthai, biar pun teecu berterima kasih sekali, akan tetapi tolonglah menerangkan kepada teecu yang bodoh tentang khasiat daun-daun ini untuk teecu. Terus terang saja teecu masih merasa ngeri apa bila melihat kelihaian daun ini. Sekarang Suthai memberi bekal ini, bagaimanakah teecu harus mempergunakannya?”
Liok-te Mo-li tertawa berkikikan. ” Memang, siapa orangnya yang tak akan merasa ngeri? Memegang saja tanganmu akan menjadi hangus! Akan tetapi ada pula daya penolaknya, anak muda, sebelum kau memegang daun-daun ini, kau basahi kedua tanganmu dengan air laut lebih dulu. Air garam itu mempunyai daya untuk menolak racun yang keluar dari daun-daun itu. Pada waktu kau menghadapi bahaya dari ikan-ikan buas, kau lemparkan saja daun-daun ini ke dalam air dan karena air laut menutupi racun daun, tentu ikan-ikan itu tidak mengetahui akan bahayanya daun-daun ini sehingga mereka akan menelannya mentah-mentah. Dan jika mereka kemasukan daun-daun ini di dalam perutnya, ha-ha-ha, kau akan melihat pesta yang hebat akan tetapi terhindar dari ancaman ikan-ikan itu. Nah, selamat kau akan berlayar, anak muda. Kelak apa bila bertemu dengan gurumu, katakan bahwa Liok-te Mo-li masih hidup dan mengharapkan dapat bertemu dengan dia.” Sambil tertawa-tawa nenek itu lau berlari pergi meninggalkan Kwan Cu dan Kong Hoat.
“Selamat saudara Kwan Cu. Ternyata ibuku amat suka kepadamu, kalau tidak demikian tidak mungkin kau akan diberi daun Liong-cu-hio itu. Kau tahu, dia amat sayang kepada daun-daun aneh itu dan agaknya dia akan rela mengorbankan nyawanya untuk menjaga daun-daun itu. Sekarang atas kehendak sendiri dia memberi daun-daun kepadamu, itu pertanda bahwa kita memang berjodoh. Harap kau berhasil dengan usahamu, saudaraku yang baik.”
Kwan Cu terkejut dan memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan kepada pemuda tinggi besar itu. Kong Hoat tertawa bergelak dan kembali sepasang matanya mengucurkan air mata!
“Jangan heran, kawanku. Kami bukanlah orang jahat dan juga orang-orang terlalu bodoh. Ibu dan aku sudah dapat menduga bahwa kau tentu mencari sesuatu atau setidaknya mengandung maksud tertentu sehingga kau berani berlayar menuju ke pulau-pulau aneh itu. Kalau tidak demikian, sungguh hanya seorang yang miring otaknya yang mau pergi berlayar ke sana tanpa tujuan tertentu. Dan kami tahu betul bahwa kau tidak berotak miring, bahkan cerdik sekali.”
“Akan tetapi, alasan itu tidak cukup untuk membuat kalian menduga bahwa aku pergi dengan tujuan sesuatu,” Kwan Cu membantah.
“Sahabat baik, kau kira kami orang-orang yang tidak bertelinga? Sudah biasa bahwa di tempat-tempat yang aneh dan berbahaya terdapat pula barang-barang yang berbahaya dan aneh. Mustika yang paling baik adalah mustika naga. Gigi yang terbaik adalah gigi harimau, sedangkan tanduk yang paling kuat adalah tanduk di mulut gajah. Kami sudah mendengar bahwa di pulau-pulau yang amat aneh dan berbahaya itu terdapat barang-barang aneh dan amat berharga. Aku sendiri kalau tidak ditahan oleh ibuku, sudah lama menyelidiki keadaan pulau-pulau aneh itu.”
Ketika mengeluarkan kata-kata ini, Kong Hoat nampak kecewa sekali. Akan tetapi dia cepat-cepat menyambungnya, ”Apa pun juga yang kupikirkan, memang ibu lebih benar. Kepandaianku belum cukup tinggi untuk dapat kugunakan menyelidiki pulau-pulau yang berbahaya itu, berbeda dengan kau, saudara Kwan Cu. Ilmu kepandaianmu amat tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian ibu sendiri, maka hanya kaulah yang kiranya akan dapat mendatangi pulau itu dengan berhasil.”
“Kau terlalu memujiku, saudara Kong Hoat. Akan tetapi biarlah pujianmu itu kuangggap sebagai doamu dan terima kasih banyak atas keramahanmu dan juga sampaikan terima kasihku kepada ibumu, mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali kelak.”
Setelah berkata demikian, Kwan Cu mulai mendayung perahunya ke tengah, dipandang oleh Kong Hoat yang berdiri bagaikan raksasa muda, dengan kedua kakinya dipentang lebar dan kedua tangannya di pinggang. Pemuda ini merasa iri hati dan ingin sekali dia dapat mengggantikan Kwan Cu berlayar menuju pulau-pulau yang penuh rahasia itu.
Dayung pemberian Kong Hoat memang baik sekali. Dayung ini panjang dan berat, ada pun ujungnya lebar serta cekung sehingga sekali saja mendayung, perahu bergerak maju dengan pesat. Kwan Cu merasa gembira sekali dan setelah beberapa kali menggerakkan dayungnya, perahunya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
Pemandangan indah sekali. Permukaan air tenang laksana kaca, diam tak bergerak dan berkilauan, berwarna hijau kemerahan karena sinar matahari yang merah terbayang di permukaan air. Air yang diterjang oleh kepala perahunya memecah menjadi dua seperti sutera digunting. Tenaga dayungnya demikian kuat sehingga air pecah oleh perahunya tanpa mengeluarkan suara. Perahunya meluncur cepat tanpa bergoyang, nyaman dan enak sekali.
Kehidupan di laut nampak mati. Tiada seekor pun burung laut terbang di atas air, tiada seekor pun ikan nampak bergerak pada permukaan laut. Benar-benar hening dan sunyi menimbulkan suasana yang menyeramkan, seakan-akan laut itu berubah menjadi alam maut yang tiada ujungnya.
Namun Kwan Cu tidak merasa takut. Biar pun dia tidak pernah berlayar dan tidak pernah berada di laut, hatinya hanya berdebar penuh ketegangan. Dia teringat bahwa dulu dia dianggap sebagai ‘anak laut’ oleh Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua kakek yang menemukan dia terlempar oleh ombak samudra.
Agaknya kenangan inilah yang membuat Kwan Cu selalu berdebar aneh apa bila dia teringat akan laut. Kini setelah dia mendapatkan dirinya terapung di atas laut seorang diri di dalam perahunya, dia merasa seakan-akan dia sudah kembali ke alam asalnya dari mana dia datang!
Sesudah matahari mulai nampak di permukaan laut, berupa bola besar berwarna merah yang bernyala-nyala, mulailah tampak kehidupan. Air yang tadinya ‘tidur’ mulai bergerak sedikit dan di kanan kiri perahunya mulai terlihat air itu berkeriput, mulai terdengar suara mencicit dari burung-burung laut yang berterbangan di atas air, menyambar-nyambar ke air mencari mangsa pengisi perut. Mulai terdengar air berkecipak kalau ada ikan yang mulai ‘mandi’ cahaya matahari di permukaan air. Mulai kelihatan kehidupan di dalam air melalui sinar matahari, karena kini makin banyaklah kelihatan ikan berenang ke sana ke mari seperti kesibukan orang-orang yang bangun dari tidur dan mulai dengan pekerjaan masing-masing.
Melihat semua ini, Kwan Cu tertarik sekali dan dia menghela napas berulang-ulang. Dia pun teringat akan ajaran-ajaran dari Gui Tin atau Gui-siucai yang sudah meninggal dunia. Gurunya itu dahulu sering kali mengajarkannya mengenai filsafat hidup, tentang ujar-ujar para cerdik pandai di jaman dahulu.
Alam itu kekal abadi
karena hidup bukan untuk diri pribadi.
Ucapan di atas itu dari Nabi Lo Cu dan kini Kwan Cu menyaksikan betapa hebatnya dan besarnya alam dunia. Hidup dekat dengan masyarakat, yakni dengan sesama manusia, ucapan ini takkan ada artinya atau setidaknya takkan kelihatan isi atau inti sarinya. Ini dikarenakan manusia memang hidup penuh nafsu dan selalu melakukan sesuatu dengan tujuan demi kepentingan diri pribadi. Mementingkan diri pribadi inilah sumber dari pada segala mala petaka yang terjadi di antara manusia.
Kini, setelah berada seorang diri di atas lautan, mata Kwan Cu terbuka dan dia melihat serta mengakui kebesaran alam yang kekal abadi, melihat pula apa maksud kata-kata pujangga atau Nabi Lo Cu tentang alam yang hidup bukan untuk kepentingan diri pribadi.
Lihat saja matahari itu. Dia muncul dan tenggelam sesuai dengan tugasnya yang sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Ia melakukan tugasnya, semata-mata untuk memberi atau menjadi berguna bagi tiap makhluk yang membutuhkannya, sedikit pun tak pernah meminta, itulah sang matahari.
Lihatlah lautan bebas, pusat kehidupan, tidak saja pusat kehidupan berjuta macam ikan dan benda hidup lainnya, juga pusat kehidupan manusia dan makluk di darat. Dari laut datangnya zat kehidupan, karena dari lautlah datangnya air di darat. Akan tetapi, seperti matahari sifatnya, laut pun tidak pernah meminta, hanya memberi sifat alam yang suci.
Alam memberi, memberi dan memberi, tak pernah meminta. Segala sesuatu di alam ini dapat dipergunakan oleh manusia, bahkan sesudah manusia mati, bumi masih memberi tempat untuk menyelimuti jenazahnya!
Kwan Cu tersenyum melihat burung beterbangan di angkasa dan ikan-ikan berenang di dalam air dengan bebas dan senangnya. Mengapa justru burung diberi sayap sehingga pandai terbang di angkasa sedangkan ikan diberi kesanggupan untuk hidup di dalam air? Alangkah besar perbedaan antara dua jenis binatang ini dan mereka ini keduanya adalah makluk hidup!
Alangkah besar kekuasaan Thian, alangkah indahnya alam beserta isinya, alangkah gaib dan penuh rahasia mukjijat yang luar biasa hebatnya. Semua ini adalah pekerjaan Thian. Dan dia, seorang manusia, seorang makluk jenis lain pula, kini menjadi saksi atas segala keindahan itu.
Sambil menikmati kehebatan pembukaan kebesaran alam di depan matanya, Kwan Cu melanjutkan gerakan dayungnya, menuju ke arah kelompok pulau terdekat yang nampak dari sana sebagai bayang-bayang membiru. Hatinya penuh diliputi kesegaran semangat dan kegembiraan. Dorongan aneh membuat dia demikian girangnya sehingga pemuda ini sambil mendayung perahunya lalu bernyanyi!
Menjelang tengah hari belum juga perahunya tiba di kelompok pulau yang semenjak pagi tadi sudah kelihatan. Kwan Cu terheran-heran. Pulau-pulau itu tidak juga berubah.
Apakah perahunya tidak bergerak maju? Tidak mungkin, pikirnya. Memang karena di seluruh penjuru perahu hanya kelihatan air belaka, nampaknya perahu itu tidak bergerak. Akan tetapi kalau dilihat air yang terpecah oleh kepala perahunya, jelas kelihatan bahwa perahunya bergerak dengan pesat ke depan.
Inilah keanehan pertama yang dialami oleh Kwan Cu. Sebetulnya kelompok pulau-pulau itu masih amat jauh. Hanya sinar matahari yang menipunya sehingga kelihatannya amat dekat kelompok pulau itu.
Ia merasa penasaran dan mengerahkan tenaganya, mendayung lebih cepat lagi ke arah kelompok pulau itu. Ia memang tidak tahu di mana letaknya pulau yang dijadikan tempat penyimpanan kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Di dalam kitab sejarah peninggalan Gui-suicai hanya ditulis bahwa kitab rahasia itu disimpan di dalam sebuah pulau kosong, kecil dan berbentuk bundar yang ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih, yang terdapat di antara pulau-pulau besar di lautan ini. Akan tetapi, Kwan Cu mengambil keputusan untuk mengunjungi semua pulau yang berada di situ dan akhirnya tentu dia akan dapat mencari pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih itu.
Akan tetapi sesudah matahari condong ke barat, terjadi keanehan kedua. Apa bila tadi kelompok pulau-pulau itu tak pernah juga kelihatan semakin mendekat biar pun dia telah mendayung perahunya secara cepat sekali selama setengah hari, kini tiba-tiba kelompok pulau itu bahkan menghilang dari pandangan mata!
Kwan Cu menghentikan gerakan dayungnya kemudian memandang ke sekeliling dengan bingung. Tidak salah lagi tadi kelompok pulau itu berada di depan, mengapa kini tiba-tiba lenyap? Sebenarnya hal ini juga akibat permainan matahari yang membuat kepulauan itu seakan lenyap ditelan uap putih yang membubung naik dari laut sehingga pandang mata pemuda itu tak dapat menembusnya dan membuat kelompok kepulauan itu tidak terlihat olehnya.
Kwan Cu teringat akan kata-kata Kong Hoat tentang keanehan lautan ini, karena itu dia pun tersenyum dan berkata, “Memang aneh sekali. Tetapi biarlah, aku harus melanjutkan dan mengambil jurusan yang berlawanan dengan matahari, sebab siapa tahu kalau-kalau kepulauan tadi akan mucul pula setelah puas menggodaku.”
Pemuda yang tabah ini lalu mendayung terus dan mulai berpeluh karena matahari telah membakar kulitnya. Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan gemuruh yang mengerikan dari arah kiri.
Kwan Cu yang tak biasa berlayar, tidak tahu suara apakah itu. Ia menghentikan gerakan dayungnya, akan tetapi setelah dia memandang ke sekelilingnya dia tak melihat sesuatu, hanya nampak awan-awan hitam di arah selatan dan timur. Kembali terdengar suara itu, kini lebih hebat lagi dan Kwan Cu merasa seakan-akan suara itu timbul dari dasar laut.
“Hebat! Suara apakah itu? Suara Hai-liong-ong (Naga Raja Laut) ataukah suara makhluk lain yang hebat? Hemm, benar-benar luar biasa hebat alam ini, besar dan berkuasa!”
Dia merasa dirinya amat kecil tak berarti dan lambat-laun timbul juga kengerian di dalam hatinya, sesungguh pun tidak boleh dibilang bahwa Kwan Cu merasa takut. Namun, dia merasa lebih tenang andai kata Ang-bin Sin-kai gurunya berada di situ bersamanya pada saat itu.
Dia teringat akan suhu-nya dan diam-diam dia tertawa dengan hati penuh kasih sayang terhadap suhu-nya itu. Suhu-nya seorang manusia aneh yang kuat dan hebat bagaikan lautan ini. Kembali terdengar suara gemuruh dan kini suara ini terdengar begitu hebat sehingga Kwan Cu tidak tahan untuk tidak menengok ke belakang.
Mendadak anak muda ini memandang dengan mata terbelalak ke arah kiri. Dari tengah lautan yang tidak bertepi itu dia melihat sesuatu yang tinggi dan panjang sedang datang bergulung kepadanya. Sesuatau yang nampak belang-belang putih hitam, seperti seekor naga.
“Hai-liong-ong…,” kata suara hatinya penuh kengerian.
Memang hebat sekali penglihatan pada waktu itu. Dari arah kiri benda itu datang, makin lama makin panjang dan besar, dan meski pun benda itu masih jauh, telah datang angin bertiup keras, membuat air di depan perahu bergelombang.
Gelombang makin besar dan tiba-tiba Kwan Cu merasa terkejut sekali karena berbareng dengan suara gemuruh laksana derap kaki ribuan ekor kuda di samping suara lengking tinggi panjang seperti suara ribuan batang suling yang ditiup secara aneh seperti kalau Yok-ong meniup suling, perahunya terangkat tinggi-tinggi dan permukaan laut, tiba-tiba naik tinggi sekali, lalu turun lagi seperti kalau di daratan terjadi gempa bumi yang hebat. Dan kini benda panjang seperti naga itu telah datang dekat, membawa bunyi gemuruh dan tahulah Kwan Cu dengan hati tidak karuan rasanya bahwa yang disangka naga itu sebenarnya adalah gelombang laut hebat!
“Celaka…!” serunya dan dia mencoba untuk menahan keseimbangan perahunya dengan dayung.
Akan tetapi, di dalam tangan samudra yang besar kuat dan hebat tenaganya itu, tenaga Kwan Cu hanya merupakan tenaga seekor semut bagi seorang raksasa. Perahu berikut Kwan Cu yang masih memegang dayung lantas terputar-putar, membuat kepala pemuda itu menjadi pening sekali.
Namun dia masih dapat berlaku tenang dan cepat Kwan Cu melemparkan dayungnya ke dalam perahu. Dengan kedua tangan dia memegangi pinggir perahu karena satu-satunya harapan baginya adalah perahunya itu. Walau pun perahunya akan terbalik, tetap saja perahu kayu itu takkan tenggelam dan akhirnya tentu akan terapung juga. Kalau dia tidak terlepas dari perahu, dia masih ada harapan untuk menyelamatkan dirinya.
Tiba-tiba saja, sebuah gelombang atau lebih tepat disebut anak gelombang yang nakal menerjang perahu dan melontarkannya ke atas bagikan seorang anak kecil melontarkan sebutir batu kerikil saja. Perahu terlempar ke atas. Dayungnya terlempar keluar dan oleh karena dayung itu terbuat dari baja, maka benda ini jatuh lebih dulu, ditelan gelombang dan agaknya akan menjadi tontonan bagi penghuni laut.
Sedangkan Kwan Cu yang turut terlempar ke atas, hampir saja direnggutkan keluar dari perahu pula. Baiknya dia berlaku gesit dan cepat, kedua tangannya memeluk perahu sekuat tenaga dan agaknya hanya maut saja yang kuasa merenggutnya terlepas dari perahu itu! Mati hidup aku harus bersama perahuku ini, pikirnya nekat.
Perahu bersama Kwan Cu terhempas kembali ke dalam air, disambut oleh gelombang, diputar-putarkan, dipermainkan, dikocok ke sana ke mari dengan sangat hebatnya. Kwan Cu masih memeluk perahu, kadang-kadang ia berada di atas perahu, kadang-kadang dia berada di bawah perahu dan hanya dapat menahan napas lalu berusaha membalikkan tubuhnya sehingga berhasil di atas perahu, kadang-kadang dia dan perahunya lenyap ditelan gelombang dan timbul pula di tempat lain.
Siksaan ini dibarengi dengan bunyi-bunyian yang luar biasa dan yang membuat pemuda itu merasa seakan-akan dia telah berada di dasar neraka. Satu keanehan terjadi. Ketika dia dipermainkan oleh gelombang menderu, tiba-tiba saja dia teringat akan sesuatu dan seakan-akan terbayang dalam ingatannya suatu pengalaman yang hampir sama dengan pengalaman yang sedang dia alami sekarang ini.
Tiba-tiba saja teringatlah ia betapa ia pernah menjadi permainan gelombang dan ombak seperti ini, teringat pula betapa orang-orang sekapal telah tenggelam ditelan gelombang, betapa kapal itu karam dan membawa pula dua orang yang kini terbayang jelas di depan matanya.
“Ayah…! Ibu…!” tiba-tiba Kwan Cu memekik keras.
Sekarang terbayanglah seorang laki-laki dan seorang wanita dan baru sekarang dia tahu bahwa wajah-wajah ini adalah wajah-wajah ayah bundanya yang tewas dalam amukan gelombang! Tahulah dia sekarang mengapa dia ditemukan oleh Ang-bin Sin-kai bersama Jeng-kin-jiu dan dianggap sebagai ‘anak laut’. Ayah bundanya dulu tewas di lautan dan kini agaknya dia sendiri pun akan mengalami nasib yang sama.
“Ayah...! Ibu...! Tolonglah anakmu…,” ia berbisik.
Kemudian timbul marahnya kepada gelombang dan laut. “Kakek laut kau tidak mungkin dapat menewaskan aku!” pekiknya nyaring sambil memeluk perahu itu erat-erat.
Sebagai jawaban, sebuah gelombang yang besar kemudian mengangkat perahunya dan melemparkan perahu itu ke atas jauh dari situ. Kwan Cu ikut terlempar, akan tetapi kini terbangun semangatnya untuk melawan gelombang yang dulu telah menewaskan kedua orang tuanya, timbul semangatnya untuk berjuang menghadapi kekuatan alam ini, untuk hidup.
“Kakek gelombang, setelah membunuh orang tuaku, tak mungkin kau bisa membunuhku pula. Orang tuaku akan mencegahmu!” teriaknya berkali-kali.
Kwan Cu bagaikan gila. Biar pun dia diterima oleh gelombang lain, lalu dilemparkan dan diterima kembali seperti sebuah bal dalam sebuah permainan serombongan anak-anak nakal, dia tetap bersemangat, bahkan kini dia tidak merasa takut sedikit pun juga. Rasa takutnya berubah menjadi kegembiraan!
“Kakek laut, mari kita bermain-main!” serunya berkali-kali. “Marilah kita berkelahi sebagai laki-laki kalau kau memang jantan!”
Demikianlah, biar pun sedang dipermainkan oleh gelombang laut dan taufan menghebat, sedikit pun Kwan Cu tidak merasa takut, sebaliknya dia menantang dan merasa gembira. Hal inilah yang sesungguhnya menolong nyawanya.
Orang-orang yang menghadapi maut, jika dia dapat berlaku tenang dan tidak putus asa, akalnya akan bertambah dan dia tidak menjadi gugup. Demikian pula dengan Kwan Cu. Kegembiraan dan semangatnya membuat ia tahan menderita, malah tenaganya menjadi besar dan kini dia mulai mempergunakan kaki tangannya untuk memukul dan mendorong ombak, mencari jalan bagi perahunya agar meluncur ke tempat yang aman.
Memang, kalau diperhatikan di antara gelombang yang menghebat itu, terdapat air yang tenang yakni air yang berada di antara dorongan dua gelombang yang membalik. Kwan Cu berjuang mati-matian dengan hati gembira, sambil menantang-nantang gelombang dan akhirnya dia berhasil mendorong perahunya ke tempat yang agak aman, yakni yang gelombangnya tak begitu besar. Akhirnya ia berhasil membalikkan perahunya dan duduk di dalam perahu.
Memang betul di situ masih ada ombak menyerang. Akan tetapi dengan dua tangannya di pinggir perahu menekan-nekan dan mendorong-dorong air, Kwan Cu dapat mencegah perahunya berputaran dan dapat beristirahat sejenak setelah menjadi permainan ombak yang membuat tenaganya habis dan tubuhnya lelah sekali.
Ia tidak tahu bahwa gelombang tadi telah membawa perahunya ke tengah laut dan telah membawa dia jauh sekali dari tempat di mana dia bertemu dengan taufan. Juga Kwan Cu tidak merasa lagi bahwa dia tadi telah berhadapan dengan maut dalam waktu yang amat lama.
Seperti datangnya, tiba-tiba saja taufan berhenti, laut tenang sekali. Kwan Cu tidak tahu bahwa gelombang tadi sebetulnya hanya ‘lewat’ saja dan kini taufan yang mengamuk itu masih mengamuk hebat di tempat lain. Setelah air laut menjadi tenang, tenang pula hati Kwan Cu dan barulah pemuda ini tahu bahwa amukan taufan tadi begitu lama sehingga waktu itu telah menjelang senja!
Hal ini bisa dia duga dari keadaan matahari yang telah tenggelam di barat, meninggalkan sinar melayu dan di timur sudah nampak bulan pudar seperti wajah seorang dara jelita yang sedang sakit dan sangat pucat. Langit bersih sekali, laut tenang dan benar-benar mengherankan.
Tiba-tiba Kwan Cu menjadi muak dan tak tahan pula dia muntah-muntah di luar perahu. Tadi di waktu di ombang-ambingkan oleh gelombang, dia merasa gembira, kini setelah keadaan menjadi tenang, dia bahkan merasa tidak enak dan mual sekali. Akan tetapi, tidak banyak yang dimuntahkan karena semenjak malam tadi, semenjak makan daging ikan Kilin bersama Kong Hoat dan ibunya, dia tidak makan apa-apa lagi.
Perutnya mulai berkeruyuk minta isi. Akan tetapi di tengah laut itu, dari mana dia bisa mendapatkan makan? Dia teringat akan daun Liong-cu-hio pemberian Liok-te Mo-li. Tak terasa tangannya meraba punggung dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa bungkusan pakaiannya masih terikat pada punggung dan bahwa bungkusan daun mukjijat itu pun masih berada di situ, sungguh pun kesemuanya itu basah kuyup seperti tubuh dan pakaiannya yang dipakainya.
Tiba-tiba, bagai sebuah layar hitam dibuka yang tadinya menyembunyikan sesuatu yang dirahasiakan, dia melihat bayangan sebuah pulau yang penuh dengan pepohonan tinggi besar. Ia menjadi girang bukan main. Di sanalah terdapat makanan, pikirnya.
Dengan penuh semangat Kwan Cu kemudian mempergunakan kedua tangannya untuk digerakkan seperti dayung. Perahu pun meluncur ke depan, menuju pulau itu, dan Kwan Cu makin terheran-heran.
Ketika tadi untuk pertama kalinya dia melihat pulau itu, pohon-pohon yang telah kelihatan amat besar dan karenanya dia mengira bahwa pulau itu tentulah sudah amat dekat. Akan tetapi, meski pun perahunya jelas mendekati pulau dan daratan semakin nampak nyata, ternyata bahwa pulau itu masih jauh dan kini pohon-pohon sudah kelihatan begitu besar sampai-sampai Kwan Cu beberapa kali menggosok kedua matanya.
“Apakah aku sedang bermimpi? Ataukah mataku yang sudah tak beres lagi? Kalau tidak bermimpi dan mataku tidak rusak, tentu otakku yang sudah menjadi berubah dan tidak waras lagi!”
Tidak mengherankan apa bila Kwan Cu berkata demikian, karena apa yang dilihatnya memang sukar untuk dapat diterima oleh akal sehat. Setelah perahunya makin dekat, dia melihat daratan yang luar biasa luasnya dan yang paling hebat adalah pepohonan yang dari jauh sudah nampak besar-besar tadi.
Kini setelah dekat, pohon-pohon itu ternyata luar biasa besarnya dan biar pun Kwan Cu sudah banyak merantau dengan suhu-nya serta sudah sering kali memasuki hutan-hutan besar liar di mana tumbuh pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun usianya, tetapi selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan pohon-pohon sebesar yang tumbuh di pulau itu! Makin dekat, makin heranlah dia karena nampak kehijauan yang tinggi seperti alang-alang!
Pulau setan apakah yang berada di hadapanku itu? Akan tetapi tidak dapat lama dia mengagumi dan mengherankan pemandangan di atas pulau yang ternyata luas sekali itu, karena cuaca telah menjadi gelap dan kini yang nampak hanyalah pohon-pohon raksasa yang kelihatan tinggi besar dan hitam menyeramkan dengan latar belakang langit yang pucat.
Kwan Cu sudah lelah sekali, bukan karena kehabisan tenaga karena pemuda yang telah mendapat gemblengan hebat dari Ang-bin Sin-kai ini sanggup mengatur pernapasannya sehingga tenaganya telah kembali pulih lagi. Akan tetapi, perutnya yang lapar dan perih itulah yang membuat tubuhnya lemas dan letih. Kalau saja dia tadi tidak muntah-muntah, agaknya dia tidak akan merasa begitu letih. Sudah sering kali dia berpuasa, tiga hari tiga malam tidak makan saja baginya belum apa-apa.
Cuaca makin gelap dan hanya dengan bayangan pohon-pohon besar sebagai petunjuk, Kwan Cu terus mengayuh perahunya dengan kedua tangannya ke darat. Namun air laut yang berkeriput itu tidak dapat menerima sinar bulan dengan baik sehingga nampak air menghitam, hanya berkilau di sana-sini.
Mendadak perahu Kwan Cu tertahan oleh sesuatu yang berat. Kwan Cu mendorong air supaya perahunya menyingkir dari penghalang itu. Dia mengira bahwa perahunya tentu terhalang oleh batu karang yang tidak dapat dilihatnya dalam kegelapan itu. Akan tetapi langkah kagetnya ketika tiba-tiba ‘batu karang’ itu bergerak-gerak!
Karena tertarik hatinya, Kwan Cu mengulur tangannya untuk mendorong ‘batu karang’ yang dapat bergerak-gerak itu. Hampir dia berteriak ketika jari-jarinya menjamah benda yang lunak, seperti... seperti tubuh seorang makhluk.
“Tentu ikan yang terdampar ke pantai,” pikirnya menetapkan hatinya yang berdebar.
“Ooleihaaaaiii…!!” terdengar ‘batu karang’ atau ‘ikan’ itu berteriak keras sekali.
Kwan Cu tersentak kaget sehingga hampir saja dia terjungkal ke dalam air. Ia kemarin malam sudah merasa sangat heran menyaksikan ikan Kilin yang ditangkap oleh Kong Hoat, karena selamanya dia belum pernah melihat ikan seaneh itu. Akan tetapi sekarang, mendengar seekor ikan besar dapat mengeluarkan suara ‘ooleihaaaiii...!’ dengan suara mirip seperti manusia, benar-benar membuat dia merasa ragu-ragu apakah benar-benar dia belum menjadi gila!
Dengan hati-hati sekali dia kembali mendekatkan tangannya ke depan. Kini menghadapi sesuatu yang begini aneh, dia untuk sementara lupa kepada pulau itu dan belum ingin mendarat sebelum menyelidiki terlebih dahulu sebetulnya ikan macam apakah yang bisa mengeluarkan suara seperti itu.
‘Hayalieee…!”
Kwan Cu menarik kembali tangannya yang seperti dipagut ular dan tiba-tiba merasa bulu tengkuknya berdiri satu demi satu. Bukan main! Di dunia ini tidak mungkin ada ikan bisa mengeluarkan suara seperti itu.
Akan tetapi rasa keingin tahuannya melebihi rasa ngerinya. Ia mendorong air sehingga perahunya maju dan kini dia mempergunakan kedua tangannya untuk menangkap ke depan. Dia berlaku hati-hati sekali dan menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan sikap siap sedia, kalau-kalau ‘ikan’ itu akan menggigitnya tentu dia akan cepat memukul.
Akan tetapi, keheranannya memuncak ketika kedua tangannya dengan tepat sekali kena memegang dua buah telinga manusia yang besar sekali. Saking terkejutnya, Kwan Cu tidak melepaskan kedua buah telinga itu, sebaliknya dia memandang ke depan dengan mata terbelalak sambil mengerahkan seluruh tenaga pandangan matanya.
Kebetulan sekali cahaya bulan agak terang. Ia mula-mula melihat sepasang mata lebar yang mengkilap. Kemudian, kelihatanlah olehnya sebuah kepala manusia yang besarnya empat atau lima kali kepala manusia biasa! Kepala ini gundul dan sedikit rambut kepala diikat. Kulit muka dan kepalanya hitam sekali, dan inilah yang membuat kepala ini tidak kelihatan di dalam gelap!
“Seorang manusia!” pikir Kwan Cu dengan girang.
Di tempat yang aneh seperti itu, pertemuan dengan seorang manusia, bagaimana pun anehnya manusia itu, tentu amat menggirangkan hatinya. Untuk sesaat dia lupa bahwa manusia berkulit hitam ini mempunyai kepala yang luar biasa sekali besarnya.
“Saudara siapakah? Dan kenapa malam-malam berada di laut? Apakah saudara sedang mandi? Maafkan jika perahuku menganggumu.” Demikianlah pemuda itu bicara dengan gembira sambil melepaskan pegangan kedua tangannya pada telinga orang.
Sebaliknya, muka yang besar itu memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak lebar dan mulutnya yang berbibir lebar itu mengeluarkan kata-kata yang sama sekali asing bagi telinga Kwan Cu. Ketika kepala ini bicara, kadang-kadang nampak deretan gigi yang besar dan putih berkilat dari balik bibir tebal.
Mendengar ucapan orang itu, teringatlah Kwan Cu bahwa orang ini tentulah seorang dari suku bangsa yang tidak mengerti bahasa Han dan mempunyai bahasa daerah sendiri. Karena itu dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Maaf, aku tidak mengerti bahasamu dan kau agaknya juga tidak mengerti pula apa maksud kata-kataku. Maafkan aku tidak mengganggu lebih lama, karena aku hendak mendarat.”
Sambil berkata demikian, Kwan Cu mempergunakan jari telunjuknya untuk menuding ke arah darat. Sesudah itu, pemuda ini kemudian menggunakan tangan untuk mendayung perahunya ke pinggir.
Akan tetapi tiba-tiba saja, orang yang terbenam di air sampai lehernya itu menggerakkan leher dan tahu-tahu sepasang lengan yang amat besar dan panjang timbul di permukaan air dan diletakkan di atas perahu Kwan Cu. Sepasang lengan yang hitam serta besar dan panjang itu mempunyai tenaga yang amat kuat sehingga ketika menindih perahu, perahu kecil itu tertindih hampir tenggelam!
Kwan Cu terkejut sekali, bukan oleh tenaga tindihan ini, akan tetapi karena besar dan panjangnya lengan yang berotot besar itu. Barulah dia teringat akan besarnya kepala di permukaan air. Sampai lama dia melihat kepala dan lengan orang hitam itu dan dengan bulu tengkuk berdiri dia membayangkan alangkah tingginya orang ini. Seorang raksasa yang belum pernah didengarnya dalam buku dongeng, apa lagi dilihatnya!
Kemudian dia melihat bahwa pergelangan kedua tangan itu terbelenggu oleh rantai baja yang kuat. Ketika mendengar suara orang itu, tahulah dia bahwa orang itu minta tolong kepadanya agar suka membuka belenggu itu.
Teringatlah Kwan Cu akan sebuah dongeng yang dibacanya dari buku kuno, dongeng yang terjadi di tanah barat. Dalam dongeng itu diceritakan betapa seorang anak laki-laki membebaskan seorang jin dari belenggu, akan tetapi setelah dibebaskan, jin itu bahkan hendak memakan anak itu.
Dongeng itu singkatnya begini:
Seorang bocah nelayan menjala ikan di laut. Yang tersangkut di dalam jalanya bukannya ikan-ikan besar, namun sebuah pundi-pundi yang tertutup mulutnya. Karena ingin tahu apa isinya, dibukanya sumbat mulut pundi-pundi itu. Apa isinya? Bukan emas permata atau harta benda, melainkan asap hijau yang bergulung ke atas kemudian membentuk ujud yang mengerikan, yakni seorang jin raksasa.
Kemudian jin raksasa itu hendak menjadikan anak itu sebagai mangsanya. Tapi anak itu mendapat akal. Dia berpura-pura heran dan tak percaya bahwasannya seorang raksasa begitu besar dapat masuk ke dalam pundi-pundi yang demikian kecilnya. Dikatakannya kalau raksasa itu sanggup membuktikan bahwa benar-benar dia dapat masuk ke dalam pundi-pundi, baru dia mau percaya bahwa raksasa itu seorang jin dan dia mau dimakan tanpa perlawanan.
Jin raksasa itu tertawa bergelak dan berubah menjadi asap, lalu kembali masuk ke dalam pundi-pundi itu. Anak itu cepat mengambil sumbat, lantas menutup pundi-pundi kembali seperti tadi sehingga jin itu tidak dapat keluar, kemudian dibuangnya pundi-pundi itu ke dalam laut kembali!
Kwan Cu teringat akan dongeng itu. Raksasa yang terbenam di dalam laut ini apakah seorang jin pula? Kalau nanti raksasa ini hendak memakannya, tidak ada akal baginya untuk menyelamatkan diri.
Akan tetapi aku bukan anak penakut, pikirnya. Kalau dia bermaksud jahat, aku sanggup melawannya. Orang tinggi besar yang bertenaga kuat seperti dia ini, belum tentu memiliki kecerdikan. Bukankah dia begitu bodoh sehingga setelah kedua tangannya dibelenggu, dia mandah tinggal di dalam air dan tidak bisa keluar dengan jalan kaki di darat?
Ia bodoh sekali dan patut dikasihani. Sebagai manusia terhadap manusia lain, aku harus menolongnya. Bukankah dia juga seorang manusia? Dengan berpikir demikian, Kwan Cu mulai berusaha untuk membuka belenggu tangan raksasa itu.
Ketika mulai berusaha membuka belenggu, Kwan Cu melihat betapa bibir yang tebal itu tersenyum ramah. Agaknya orang hitam besar ini amat gembira melihat Kwan Cu sudah mengerti akan kehendaknya dan mau melepaskannya dari pada belenggu.
Akan tetapi, dalam usahanya mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya bergoyang-goyang sehingga tenaga Kwan Cu menjadi buyar. Dua kakinya harus memiliki landasan yang kuat dan keras. Tanpa banyak pikir lagi dia lalu melompat turun dari perahu ke air.
Akan tetapi, segera pemuda ini gelagapan dan kena minum banyak air! Kwan Cu cepat mengerakkan tangan menangkap pinggir perahunya dan cepat mengayun tubuhnya naik kembali ke dalam perahu. Ia menyumpah-nyumpah, memaki-maki diri sendiri.
“Bodoh! Tolol! Mengapa aku lupa bahwa raksasa ini bertubuh tinggi sekali? Dia boleh jadi tak tenggelam ke air, hanya sampai ke lehernya, akan tetapi bagiku tentu terlalu dalam.”
Hampir saja dia tenggelam di dalam air yang ternyata masih amat dalam itu! Kwan Cu memutar otaknya. Rantai besi yang mengikat tangan raksasa itu cukup kuat. Ia percaya akan dapat mematahkannya kalau saja dia mendapat landasan kaki yang kuat. Dari atas perahu amat sukar, sebab jika terlampau banyak dia mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya itu bergoyang dan meluncur pergi.
“Mari kita mendarat!” katanya berulang-ulang kepada kepala itu sambil menuding ke arah pantai. “Di sana akan kulepaskan belenggumu. Kau akan bisa berjalan ke sana?”
Akan tetapi raksasa itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil memperlihatkan sepasang lengannya yang terbelenggu, seakan-akan dia hendak berkata bahwa dengan kedua tangan terbelenggu, tak mungkin dia berjalan ke darat. Alangkah gobloknya, Kwan Cu menyumpah-nyumpah dengan gemas.
Akhirnya dia mendapat akal. Raksasa itu berdiri di dalam air dengan teguh dan kokohnya seperti batu karang. Kenapa dia tidak menggunakan tubuh raksasa ini sebagai landasan kakinya? Setelah berpikir demikian, dia melompat dari dalam perahu, menubruk ke arah raksasa itu dan bergantung pada pundak yang lebar itu, kedua kakinya hanya sampai di perut!
Cepat-cepat Kwan Cu menginjakkan kedua kakinya pada pinggang raksasa itu tanpa mempedulikan protes dari si raksasa dan sekarang kedua tangannya dapat bekerja baik. Ketika dia mengerahkan tenaga beberapa lamanya, akhirnya terlepaslah belenggu itu!
“Yoleihi, yoleihi!” raksasa itu berkata keras berkali-kali dan kelak tahulah Kwan Cu bahwa raksasa itu bermaksud menyatakan terima kasih kepadanya. Setelah itu, raksasa hitam itu lalu berenang ke tepi pantai dengan gerakan kedua lengannya yang kuat.
“Tolol, dia begitu tinggi, mengapa tidak mau berjalan kaki saja ke pantai ketika tangannya terbelenggu tadi, sebaliknya menanti tangannya bebas untuk dapat berenang ke darat? Tolol sekali orang itu.” Sambil bersungut-sungut ini, Kwan Cu mendayung perahunya ke darat.
Setelah dia sampai di daratan, barulah dia melihat kenyataan yang membuat pemuda ini menghentikan makiannya terhadap si raksasa, sebaliknya dia tiada hentinya memaki diri sendiri sebagai orang bodoh dan tolol dengan hati geli.
Setibanya di darat, ternyata bahwa raksasa itu sibuk menggunakan sepasang tangannya yang kuat untuk melepaskan belenggu yang mengikat pergelangan kedua kakinya. Itulah sebabnya mengapa tadi dia berdiri saja di laut dan tidak berdaya sama sekali. Untuk berjalan ke darat, kedua kakinya terikat, untuk berenang, sepasang lengannya pun masih terbelenggu!
Ketika Kwan Cu mendarat dan menarik perahunya ke pantai, raksasa itu masih sibuk menarik-narik belenggu yang mengikat kakinya. Melihat ini, Kwan Cu lalu mendekati dan menggunakan tangannya membantu. Sekali renggut saja, terlepaslah belenggu itu.
“Yoleihi, yoleihi…! Dasa alihee teelu…,” kata raksasa itu dengan pandang mata kagum sekali. Dia menyatakan terima kasih dan kagum akan kekuatan Kwan Cu yang dengan sekali renggut telah berhasil mematahkan kakinya.
Akan tetapi Kwan Cu tidak memperhatikan kata-kata raksasa ini karena dia memang tidak mengerti artinya sama sekali. Sebaliknya dia kini mengagumi apa yang dilihatnya di dalam cahaya bulan.
Pertama-tama dia kagum sekali melihat raksasa hitam yang sekarang sudah berdiri di hadapannya dengan kedua kaki terpentang. Biar pun dia telah dapat menduganya, tetapi dia tetap merasa terkejut melihat tubuh raksasa ini kurang lebih dua setengah atau tiga kali manusia biasa dengan lengan berbulu serta otot-otot memenuhi tubuh yang bidang dan kuat sekali.
Rambutnya hanya sedikit, diikat di tengah-tengah kepala ada pun pakaian yang menutup tubuh hanyalah sehelai cawat dan ikat pingang, terbuat dari pada kain yang tebal. Selain bentuk tubuhnya yang besar dan tinggi, selebihnya tidak ada yang luar biasa, melainkan sama saja dengan orang biasa.
Raksasa itu memandang ramah kepada Kwan Cu, kemudian ia mengulur tangannya dan memegang tangan pemuda ini. Kwan Cu terkejut dan teringat akan dongeng tentang jin, akan tetapi dia tidak takut lagi. Di darat dia tak usah takuti raksasa ini dan dia lalu teringat bahwa raksasa itu terbelenggu di tengah laut tentu ada sebabnya. Atau lebih tepat, tentu ada orang lain yang melakukan hal itu.
Dengan demikian besar sekali kemungkinan bahwa di pulau yang aneh ini tentu terdapat makhluk lain yang jahat, karena hanya orang jahat saja yang mau melakukan siksaan terhadap raksasa ini dengan membelenggu kaki tangannya kemudian membiarkan dia terbenam di dalam laut. Dari pada bertemu dan dimusuhi oleh orang-orang jahat itu, lebih baik dia ikut dengan raksasa yang tersenyum ramah kepadanya ini.
Maka berjalanlah Kwan Cu sambil digandeng tangannya oleh raksasa itu. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Kwan Cu mengagumi segala sesuatu yang serba besar di pulau itu. Dari pohon-pohonnya, semua tanamannya, sampai rumput dan batu, bahkan katak yang dilihatnya berlompatan di dalam hutan, serba besar, kurang lebih tiga kali ukuran biasa!
Yang mengherankan hatinya, walau pun tubuhnya besar, akan tetapi suara raksasa ini tidak lebih keras dari pada suara manusia biasa, sungguh pun lebih besar dan parau. Ada pun raksasa itu tidak kalah herannya dari pada Kwan Cu sendiri. Dia memandang kepada ‘orang kecil’ ini dan sering tertawa bergelak dengan nada geli, membuat Kwan Cu menjadi mendongkol juga.
“Kau mentertawakan aku, sebaliknya kau pun akan menjadi tontonan yang menggelikan jika kau tiba di duniaku. Kau dan aku mana lebih tahu tentang kebaikan dan keburukan? Yang besar mencela terlalu kecil, yang kecil bilang terlalu besar, memang demikian sifat manusia, tak dapat menerima kekuasaan alam yang serba gaib.”
Biar pun Kwan Cu berfilsafat dengan seribu kata-kata, mana raksasa itu dapat mengerti? Sebaliknya, ketawanya makin terbahak-bahak, seakan-akan kata-kata dan bahasa Kwan Cu amat aneh dan menggelikan, seperti suara burung hantu yang aneh sekali.....
Komentar
Posting Komentar