PENDEKAR SAKTI : JILID-24


“Nona Liyani, kau sudah berada di sini?” tanya Kwan Cu dengan kikuk sekali.

Biasanya dia menyebut tanpa nona segala, akan tetapi pagi hari ini karena merasa malu dan jengah mendapatkan gadis itu di dalam kamarnya, maka tanpa terasa dia menyebut ‘Nona’. Padahal di dalam bahasa Kuyu tidak terdapat sebutan Nona, akan tetapi dalam gugupnya dia meyebut ‘siocia’ yang berarti Nona.

“Eh, saudara Kwan Cu, apakah artinya siocia?” tanya Liyani sambil memandang dengan matanya yang lebar bening.

“Ohh, ya, aku lupa. Itu bahasaku, digunakan untuk menyebut seorang gadis yang belum menikah,” jawabnya.

Liyani mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Lucu sekali kedengarannya. Semua hal yang ada padamu lucu dan menyenangkan. Melihat cara kau tidur pun kelihatan lucu dan menyenangkan.”

Kwan Cu terheran. “Lucu? Bagaimana sih tidurku?” tanyanya ingin tahu.

“Kau tidur begitu anteng seperti… seperti seorang wanita.”

“Seperti wanita? Apa maksudmu?”

“Atau seperti seorang anak kecil. Kau tidur berbeda dengan laki-laki dewasa di sini. Kau sama sekali tidak mendengkur, bahkan napasmu demikian halus. Seperti anak-anak.”

“Hemm...” Kwan Cu merasakan kemendongkolannya yang sudah sering kali dia rasakan semenjak dia datang di situ dan merasa dirinya menjadi bahan tertawaan.

“Memang... aku masih anak-anak, anak kecil yang tak ada sifat jantan,” katanya dengan sebal.

Ia lalu melompat turun dari pembaringan yang terlalu panjang dan terlalu lebar untuknya itu. Dia berdiri dan terpaksa mendongak untuk memandang wajah gadis itu karena kalau mereka berdua berdiri berhadapan, tinggi tubuhnya hanya sampai pada pinggang gadis itu, bahkan lebih rendah lagi!

Liyani dapat merasakan suara kecewa dan mendongkol dalam kata-kata Kwan Cu, maka sambil tersenyum dia membungkuk dan meraba kedua pundak pemuda ini.

“Tidak, saudara yang baik. Kau sama sekali tidak seperti anak kecil. Meski pun kau kecil sekali, akan tetapi gagah dan mengagumkan, bahkan ayah berkata bahwa agaknya kau masih keturunan dewa.”

“Gila!” kata Kwan Cu makin gemas.

“Aku pun tidak percaya,” kata Liyani tertawa, “Kau manusia biasa, hanya dari bangsa yang bertubuh kecil. Akan tetapi kau memang gagah dan baik, aku suka sekali padamu. Ehh, saudaraku yang baik. Menurut perkiraanmu, siapakah yang akan menang di antara Wisang dan Kasang?”

“Kau mengharapkan siapa yang menang?” tanya Kwan Cu.

Liyani cemberut dan Kwan Cu menjadi geli. Lenyap kemendongkolannya yang tadi. Lucu sekali melihat gadis tinggi besar seperti itu masih bersikap manja seperti seorang anak kecil atau seorang gadis manja.

“Belum menjawab pertanyaanku, kau sudah balas bertanya. Jawablah dulu.”

Kwan Cu menjawab terus terang. “Walau pun hari ini mereka bertanding seharian penuh, kurasa takkan ada yang akan kalah atau yang menang. Kedua orang itu agaknya hanya bertanding pura-pura belaka. Karena kemarin mereka bertempur di tempat yang agak jauh, maka tidak kentara. Sekarang mereka akan bertanding di lapangan terbuka, tentu akan kelihatan kalau mereka masih berpura-pura.”

“Menurut pandanganmu... siapakah yang lebih baik di antara kedua orang itu?”

Diam-diam Kwan Cu merasa geli dalam hatinya. Gadis ini sedang melakukan pemilihan dan kepercayaannya kepadanya begitu besar sehingga minta nasehat dan pertimbangan darinya dalam hal memilih jodoh!

“Hemm... Bagaimanakah aku mampu mengatakan hal itu? Aku belum kenal mereka dan menurut keadaan luarnya, memang mereka itu sama muda, sama tangkas serta sama kuat. Sukarlah mengatakan yang mana lebih baik.” Kwan Cu berkata terus terang, tetapi dengan hati-hati.

“Wisang orangnya kasar. Pernah dia mengejar dan hendak memaksaku supaya berlaku manis kepadanya,” kata gadis itu cemberut.

“Kalau begitu agaknya Kasang lebih menarik hatimu,” kata Kwan Cu memancing.

“Memang dia lebih baik dari pada Wisang, akan tetapi sekarang dia pun kelihatan kasar bagiku.”

“Apakah ada orang lain yang lebih baik dan halus dari padanya?” Kwan Cu memancing karena siapa tahu kalau-kalau ada pemuda lain yang lebih menarik hati gadis aneh ini.

“Semua pemuda di dusun ini kasar-kasar belaka, bila tidur mendengkur seperti binatang, sikapnya kasar menyakitkan hati, tidak ada yang halus menyenangkan seperti engkau!” gadis itu menarik napas panjang.

Kwan Cu sangat terkejut dan merasa khawatir sekali. Celaka, bagaimanakah pendirian gadis aneh ini?

“Aku kelihatan halus karena aku kecil sekali. Lihat, aku tidak setinggi pinggangmu.”

Liyani menarik napas panjang, nampak kecewa sekali. “Itulah! Kalau kau memilikii tubuh sebesar kami, tak akan susah payah aku memilih calon jodohku.”

Berdebar hati Kwan Cu. Benar-benar gila gadis ini, pikirnya dan dia mulai merasa takut berada berdua saja dengan gadis ini.

“Akan tetapi walau pun kecil kau baik sekali, saudara Kwan Cu. Aku suka kepadamu.” Sambil berkata demikian dengan jari-jari tangannya, gadis itu menyentuh bahu Kwan Cu.

Pemuda ini sudah kebingungan, baiknya pada saat itu datang pelayan yang membawa air pencuci muka dan makanan pagi.

“Baginda menanti di kebun belakang dan orang-orang telah berkumpul untuk meyaksikan pertandingan,” kata pelayan itu.

Setelah pelayan itu keluar, Kwan Cu mencuci muka. Ia merasa lega sekali ditinggal pergi Liyani, seakan-akan terlepas dari mulut harimau! Dengan cepat dia makan, kemudian dia pun pergi menuju ke belakang rumah di mana terdapat sebuah kebun yang besar sekali.

Benar saja, di sana sudah berkumpul banyak orang. Liyani duduk di dekat ayahnya dan ketika Kwan Cu datang, gadis itu memegang tanganya dan menarik duduk di dekatnya.

Wisang dan Kasang sudah berdiri berhadapan. Ketika mereka melihat betapa Kwan Cu duduk di dekat Liyani, mereka memandang dengan mata penuh kebencian. Pemuda cilik ini benar-benar memanaskan perut mereka. Pertama-tama pemuda cilik itulah yang telah menggagalkan rencana mereka membunuh Lakayong, dan sekarang agaknya pemuda itu hendak merebut hati Liyani.

Akan tetapi mereka tidak dapat terus memandang Kwan Cu, karena Raja Lakayong telah memberi aba-aba sehingga kedua pemuda itu segera mulai pertandingan dengan hebat. Otot-otot tubuh mereka bergerak-gerak dan keduanya saling serang bagaikan dua ekor harimau bertarung.

Akan tetapi, belum lama mereka bertanding, tahulah Kwan Cu bahwa benar-benar kedua orang ini sedang main gila dan tidak bertempur sesungguhnya. Raksasa-raksasa bodoh yang menonton di situ, termasuk juga raja Lakayong dan puterinya, betul-betul memang kena diakali.

Kwan Cu menjadi gemas bukan main. Selagi dia berpikir-pikir dan mencari tahu apakah gerangan maksud kedua orang raksasa muda ini dengan perkelahian secara pura-pura itu, tiba-tiba kedua orang yang bertarung berhenti.

Wisang menjura kepada Lakayong dan berkata,

“Aku dan Kasang mempunyai kekuatan dan kepandaian yang sama, tidak mungkin ada yang kalah atau menang. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kami berdua menghadapi raja bersama. Kalau kami kalah, biarlah kami mati di bawah pukulan tangan raja!”

Kini tahulah Kwan Cu akan maksud mereka. Jadi mereka sudah bermufakat untuk tidak merobohkan lawannya supaya mereka dapat menghadapi Raja yang kuat itu bersama! Dalam kemarahannya Kwan Cu segera melompat ke tengah lapangan kemudian berkata dengan suara kaku,

“Kalian ini orang-orang curang dan jahat! Apa kalian aku tidak tahu bahwa kalian sengaja tak mau menjatuhkan lawan? Kalian tidak sungguh-sungguh bertempur, sengaja hendak mengeroyok Raja yang sudah tua!”

Wajah Wisang serta Kasang menjadi pucat dan saling memandang, kemudian mereka menghadapi Kwan Cu dengan mata mendelik.

“Saudara Kwan Cu, kalau mereka ingin menghadapi aku, biarlah. Akan kulawan mereka berdua. Orang-orang ini memang perlu dihajar!” kata Raja Lakayong dengan gagah dan dia sudah berdiri dengan tegapnya.

Memang tubuh Raja ini luar biasa sekali, masih sekepala lebih tinggi dari pada dua orang raksasa muda itu, bahkan otot-ototnya lebih besar dan nampaknya kuat sekali. Semua orang menyatakan pujian kepada mereka yang gagah ini.

Akan tetapi Kwan Cu tetap merasa khawatir. Dua orang raksasa muda ini dapat menipu mereka, ini menandakan bahwa mereka ini lebih cerdik dari orang-orang itu. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu sudah mempunyai akal untuk menjatuhkan raja yang meski pun nampak kuat namun jauh lebih tua itu.

“Tidak! Tidak patut dua orang muda mengeroyok orang yang jauh lebih tua.”

Wisang menjadi marah sekali. Ia membanting kaki tangannya dan tergetarlah tanah yang diinjaknya saking kuatnya tenaga kakinya ini.

“Jahanam kecil, cacing busuk yang mau mampus! Kau siapa maka berani mencampuri urusan bangsa kami? Kau berani membuka mulut, apakah kau berani pula menghadapi kami secara laki-laki yang memiliki keberanian dan kekuatan, tidak seperti perempuan yang hanya bisa mempergunakan mulutnya?”

Panas dada Kwan Cu mendengar hinaan ini. Ia menjura kepda Raja Lakayong sambil berkata,

“Raja Lakayong saudaraku yang baik, perkenankanlah aku untuk menghadapi mereka ini dan memberi hajaran kepada mereka sebagai wakilmu.” Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu lalu menghadapi dua orang raksasa itu sambil berkata,

“Kalian majulah dan aku akan menghadapi kalian berkelahi dengan sesungguhnya, tidak berpura-pura seperti tadi!”

Wisang tertawa bergelak. Suaranya keras dan parau hingga menggetarkan anak telinga.

“Huaa-ha-ha-ha! Kau anak kecil kupencet dengan ibu jariku saja pasti akan gepeng! Kau menantang kami berdua?”

“Manusia sombong, pantas saja puteri Liyani tak suka padamu, kau kasar dan sombong. Jangankan baru kalian berdua, biar pun kau mampu mengubah dirimu menjadi sepuluh, aku tak akan mundur setapak pun!”

“Setan kecil, kau sudah bosan hidup!” teriak Wisang.

Dia segera menggerakkan kepalan tangannya yang besarnya laksana kepala Kwan Cu itu, menonjok ke arah kepala pemuda kecil ini. Akan tetapi Kwan Cu cepat mengelak dan sekali dia melompat sambil mengerakkan kaki, kaki kanannya lalu menyambar ke perut Wisang yang besar.

“Ngekkkk!”

Tubuh Wisang yang besar itu terpental ke belakang dan dia jatuh terduduk sambil kedua tangannya memegangi perut.

“Aduh… aduh… bangsat kecil... Aduuuh...!” Ia mengaduh-aduh karena tiba-tiba perutnya merasa mulas sekali.

Semua orang yang menonton, termasuk juga Raja Lakayong sendiri, menjadi melongo dan memandang terheran-heran, tak dapat mengeluarkan ucapan saking herannya.

“Bagus, bagus! Bukankah dia hebat sekali, Ayah?” terdengar Liyani bersorak sorai sambil bertepuk tangan.

Suara ini menyembuhkan rasa sakit di perut Wisang. Raksasa muda ini segera bangkit berdiri lagi dan kedua matanya seolah-olah mengeluarkan sinar berapi. Giginya berkerot dan kemarahannya memuncak. Ia lantas memandang kepada Kwan Cu sedemikian rupa sehingga Kwan Cu merasa seakan-akan dia hendak ditelan bulat-bulat oleh raksasa itu.

“Majulah, majulah kalian berdua, dan akan kuberi pelajaran bagaimana caranya berkelahi dengan sunguh-sunguh,” kata Kwan Cu mengejek.

Sambil menggereng keras, Wisang cepat menubruk maju, diikuti oleh Kasang yang juga merasa penasaran melihat Kwan Cu mengejek mereka. Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet cepatnya, Kwan Cu mengelak dan sekali tubuhnya berkelebat, dia terlepas dari ancaman tubrukan dua orang raksasa itu.

Beberapa kali Wisang dan Kasang menubruk. Di dalam kegemasannya, mereka hendak menangkap dan meremas tubuh yang mungil itu. Akan tetapi, dengan sengaja Kwan Cu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi, ia mudah saja mengelak dari semua tubrukan yang dilakukan dengan kuat sekali namun baginya amat lambat itu.

Setelah menubruk berkali-kali hanya mengenai angin saja dan mendengar betapa Liyani menyoraki dan menertawai mereka, dan juga para penonton mulai mengeluarkan seruan pujian, panaslah hati Wisang dan Kasang. Kedua jago raksasa ini maklum bahwa lawan yang kecil itu gesit sekali sukar untuk ditangkap, maka mereka merubah siasat mereka.

Kini mereka tidak lagi menubruk, melainkan menendang dan memukul. Maksud mereka, sekali saja pukulan atau tendangan mengenai tubuh yang kecil itu, tentu pemuda kecil itu akan terlempar jauh dengan tulang remuk!

Akan tetapi betapa pun besar tenaga mereka, gerakan mereka amat lamban dan mereka bertempur hanya mengunakan tenaga tanpa mempergunakan otak. Mana bisa mengenai tubuh Kwan Cu yang sudah menerima latihan ginkang dari Ang-bin Sin-kai?

Menghadapi semua serangan itu, Kwan Cu bersilat dengan ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to (Mengatur Pintu Menolak Ratusan Golok). Gerakannya amat lincah dan gesit, dilakukan sambil tertawa-tawa mengejek. Pemuda ini mengatur kedudukan dirinya sedemikian rupa sehingga dia berada di tengah-tengah dan kedua lawannya berada di kanan kirinya atau kadang-kadang di depan dan belakangnya.

Dia sengaja tidak segera merobohkan mereka. Kalau dia mau, banyak sekali lowongan untuk memukul roboh dua orang raksasa itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau melakukan hal ini. Ia memang hendak menghajar kedua orang itu agar tunduk betul-betul dan kelak tidak akan menimbulkan keributan lagi menggangu Raja Lakayong yang baik.

Dia mengelak sambil kadang-kadang mengirim pukulan ke arah perut, dagu atau dada, cukup keras sehingga membuat dua orang raksasa itu mengaduh-aduh akan tetapi tidak cukup keras untuk merobohkan mereka.

Bahkan dalam kegembiraannya timbullah kenakalan pada Kwan Cu. Beberapa kali dia melompat tingi dan menggunakan jari tangan untuk menjewer telinga yang lebar, menarik hidung yang besar atau mencubit pipi yang lebar sambil tertawa-tawa.

Dipermainkan secara begini dan mendengar suara tertawa Liyani makin geli, ditambah pula surak sorai para penonton dan suara ketawa Raja Lakayong yang merasa kagum, heran dan juga geli, dua orang raksasa muda ini seakan-akan menjadi gila dibuatnya.

“Iblis kecil, akan kuhancurkan kepalamu!” kata Wisang geram.

Bahkan Kasang yang tidak segalak Wisang, sekarang sudah menjadi marah sekali dan membentak,

“Setan cilik, aku patahkan batang lehermu!”

“Ha-ha-ha-ha! Mau pecahkan kepala dan batang leher?” kata Kwan Cu menghadapi dua orang raksasa yang berada di kanan kirinya sambil tertawa mengejek. ”Ini kepalaku, ini leherku. Pecahkanlah, patahkanlah kalau bisa. Ha-ha-haaa!”

Wisang lalu menyergap maju dengan tangan kanan memukul. Kasang menubruk dengan tangan kanan mencengkeram. Kwan Cu diam saja berdiri seenaknya, seakan-akan tidak melihat adanya bahaya yang mengancam dari kanan kiri!

Liyani menjerit ngeri dan semua menahan napas karena serangan itu sudah dekat sekali. Agaknya tiada jalan keluar bagi Kwan Cu dan alangkah ngerinya apa bila pukulan dan cekikan kedua orang muda itu betul-betul mengenai kepala dan leher pemuda yang kecil itu!

Akan tetapi, ketika dua orang raksasa itu sudah dekat sekali tangannya pada tubuhnya, tiba-tiba saja Kwan Cu tertawa geli dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Dia sudah mempergunakan gerakan yang disebut Tui-teng Kui-cauw (Melompat Mundur Pulang ke Sarang), yakni sebuah cabang dari gerakan Yan-cu Kui-cauw (Burung Walet Pulang ke Sarang).

Kegesitan tubuhnya seperti burung walet saja. Ketika tubuhnya tiba-tiba saja lenyap dari tengah-tengah, kedua orang raksasa itu tiada ampun lagi saling gebuk dengan serunya. Kepalan tangan Wisang menghantam kepala Kasang, sedangkan tangan kanan Kasang kena mencengkeram jidat Wisang.

“Blukk! Blekk!”

Terdengar suara keras, disusul oleh jeritan mereka.

“Celaka!”

“Aduhh…!”

Keduanya terhuyung-hunyung ke belakang, memegangi kepala dan jidat yang terpukul oleh tangan masing-masing.

Liyani tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut saking gelinya. Lakayong juga tertawa terbahak-bahak dan di antara para penonton lebih ramai lagi, sampai-sampai ada yang tertawa demikian gelinya sehingga dia terjungkal dari batu yang didudukinya!

Dapat dibayangkan betapa marahnya Wisang dan Kasang. Setelah kepala mereka yang terasa pening berputar-putar itu sembuh, mereka memandang Kwan Cu.

“Nah, begitulah caranya orang berkelahi benar-benar. Tidak seperti tadi hanya pura-pura dan main-main saja,” Kwan Cu mengejek.

Tanpa berkata apa-apa dua orang muda raksasa itu lalu menyerang kembali, kini makin ganas dan marah. Justru inilah yang dikehendaki Kwan Cu. Makin marah mereka, makin mudahlah baginya untuk mempermainkan mereka dan makin sering pula kedua orang itu saling pukul dan saling tendang.

Bahkan satu kali Kwan Cu berlaku berani luar biasa. Dia membiarkan dirinya terpegang oleh Wisang! Semuanya menahan napas dan kembali terdengar Liyani menjerit cemas, bahkan terdengar Lakayong berteriak, ”Jangan bunuh dia!”

Akan tetapi tentu saja Wisang yang menjadi marah sekali tidak mau mendegar larangan ini dan dia bergerak hendak mencekik leher Kwan Cu! Melihat kesempatan ini, Kasang juga menubruk maju dan ikut memegang Kwan Cu. Pendeknya, kalau dilihat begitu saja agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan untuk terlepas lagi.

Akan tetapi, sebenarnya memang pemuda ini sengaja membiarkan dirinya terpegang. Begitu merasa bahwa kedua raksasa itu sudah memeganginya, dia cepat bergerak dan kedua kakinya menendang ke atas dengan tubuh terjungkir balik, kaki kirinya menendang ke arah mata wisang dan kaki kanan ke arah mata Kasang!

Dua orang raksasa itu memekik kesakitan dan mata kanan mereka sudah menjadi biru, sakitnya bukan main! Untuk sedetik pegangan mereka mengendur sebab sebelah tangan mereka otomatis meraba mata yang terluka. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwan Cu untuk memberontak dan melepaskan diri, terus melompat pergi.

Kini dengan mata terpejam, saking sakit dan marahnya, kedua orang muda raksasa itu menubruk maju dan dengan sendirinya saat dua tangan mereka mencengkeram, mereka saling cekik dan saling cengkeram, mencari lawan sambil mencengkeram dan memukul sekenanya. Maka benar-benar berkelahilah mereka satu dengan yang lain dan terdengar mereka teraduh-aduh.

Kwan Cu menganggap bahwa permainannya sudah cukup. Ia melompat ke atas, berdiri dengan kaki kiri di pundak Wisang dan kaki kanan di pundak Kasang menjambak rambut ke dua raksasa itu sambil mengerahkan tenaga, menarik rambut itu mengadukan kepala mereka satu kepada yang lain.

“Dukkkkkkkk!”

Dua buah kepala yang besar sekali itu saling tumbuk, disusul oleh jerit mereka.

“Aduuuuuuuh…!”

Ketika Kwan Cu melompat turun, tubuh kedua orang raksasa itu terputar lalu roboh tak bergerak lagi. Mereka jatuh pingsan dan di kepala mereka ini tumbuh benjol yang besar dan biru!

Ramailah sorak sorai para penonton. Liyani memandang ke arah Kwan Cu dengan sinar mata yang menakutkan hati Kwan Cu. Raja Lakayong cepat menghampiri Kwan Cu dan tiba-tiba raja ini berkata,

“Saudara Kwan Cu, cobalah kita bermain-main sebentar!” sambil berkata demikian raja ini bergerak memukul ke arah Kwan Cu.

Pemuda ini terkejut luar biasa. Pukulan raja ini mendatangkan angin keras tanda bahwa tenaganya besar sekali. Ia mengelak dan melompat mundur sambil berseru,

“Eh, ehh, ehhh, raja Lakayong saudaraku, mengapa kau menyerbuku?”

“Aku amat kagum melihat kegagahanmu. Puaskanlah hatiku, saudaraku, aku ingin sekali mencoba kepandaianmu sendiri,” kata Lakayong sambil menyerang terus dengan cepat. Gerakan raja ini jauh lebih kuat dan cepat dari pada gerakan kedua orang raksasa muda itu.

Kwan Cu dapat memaklumi isi hati Raja ini. Sebagai orang yang menghargai kepandaian dan kegagahan, melihat seorang gagah lain, tentu saja Raja ini menjadi gatal tangan dan belum merasa puas jika belum menguji kepandaiannya oleh tangan sendiri. Pendeknya, kini Raja ini ingin mencoba kepandaiannya atau yang lajimnya di negerinya disebut pibu (mengadu kepandaian)! Maka Kwan Cu segera melayaninya dengan hati-hati sekali.

Ia menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa Raja ini telah mentaati pelajarannya dan sekarang semua pukulan serta tendangannya ditujukan ke arah bagian tubuh yang berbahaya. Kalau Raja ini yang tadi menghadapi Wisang dan Kasang, ada kemungkinan kedua orang raksasa muda itu akan tewas dalam pertempuran. Pukulan Raja ini keras sekali dan kepala raksasa muda itu agaknya akan pecah jika terkena pukulan dahsyat ini.

Namun, semua gerakan pukulan Lakayong tiada bedanya gerakan Wisang dan Kasang, sama sekali dilakukan secara ngawur, hanya mengandalkan tenaga saja, sama sekali tak menuruti teori ilmu berkelahi yang baik. Oleh karena itu, kalau dia mau, Kwan Cu dapat merobohkannya dengan mudah saja.

Akan tetapi dia tidak tega untuk melakukan hal ini, karena kalau mengalahkan Lakayong dengan mudah, sedikitnya akan turunlah penghargaan rakyat kepada Raja mereka ini. Ia lalu sengaja membiarkan dirinya terdesak dan sesudah pertempuran berjalan agak lama, cepat sekali dia menggunakan ilmu silat Sin-ci Tin-san, menotok jalan darah thian-hu-hiat dari lawan.

Tiba-tiba Lakayong merasa betapa tubuhnya lemas tidak berdaya sama sekali sehingga dia roboh perlahan. Kwan Cu cepat menyusuli dengan totokan lain dan pulih kembalilah kesehatan Raja itu.

Untuk sesaat, Lakayong hanya dapat duduk dengan mata terbelalak heran. Kemudian ia mengangkat kedua tangan, berdiri dan memeluk Kwan Cu sambil berkata jelas,

“Saudara Kwan Cu hebat sekali. Aku dapat dikalahkan dengan mudah!”

Para penonton terheran-heran, lalu bersorak memuji Kwan Cu.

“Hidup calon raja kita!” mereka bersorak-sorak.

Liyani berlari menghampiri Kwan Cu dan tanpa terduga-duga, gadis ini berlutut sehingga tingginya sama dengan Kwan Cu, lalu memeluk dan menciumnya seperti dulu! Kwan Cu cepat memberontak melepaskan diri dengan muka pucat. Ia tadi merasa kaget setengah mati karena orang-orang itu menyorakinya sebagai calon raja. Ia lebih kaget bukan main ketika Liyani menciuminya dan kekagetannya menjadi-jadi ketika mendadak Liyani yang memegang tangannya berkata keras,

“Dia inilah calon jodohku!”

Mau rasanya Kwan Cu melarikan diri dari tempat itu. Semua kejadian ini membuat dirinya menjadi bingung setengah mati. Ia lalu berkata kepada semua orang.

“Tidak, tidak! Aku bukanlah calon raja dan calon jodoh Liyani. Jodohnya adalah Kasang karena Kasang lebih kuat dari pada Raja !”

Semua orang terdiam dan melongo. Juga Liyani dan Lakayong. Akan tetapi Kwan Cu berkata, “Aku tidak mungkin menjadi calon raja karena aku harus pergi dari sini. Dan aku tak bisa jadi calon jodoh Liyani karena aku... aku orang kecil, tidak sesuai untuk menjadi jodohnya.”

“Itu bukan alasan!” Liyani membantah. “Hanya dengan alasan yang jujur dari bangsaku aku mau menerima penolakan ini!”

“Alasan jujur yang bagaimanakah?”

“Pertama, kalau kau mau menyatakan bahwa kau membenciku, aku tidak keberatan kau menolakku. Ke dua, hanya kalau kau sudah mempunyai calon jodoh atau bahkan sudah mempunyai jodoh perempuan lain, baru aku mau mencari lain jodoh.”

Kwan Cu menjadi makin bingung dan ia menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Ia berada dalam keadaan yang teramat sulit. Untuk menyatakan bahwa ia membenci Liyani, selain hal itu tak sesuai dengan hatinya yang sama sekali tidak membenci gadis raksasa ini, juga amat berbahaya karena tentu semua orang di sana akan memusuhinya.

Untuk mengaku bahwa dia sudah punya calon jodoh atau isteri, tidak mungkin pula. Akan tetapi, alasan kedua ini sebetulnya lebih ringan dan lebih aman. Setelah berpikir-pikir dia menjawab tanpa ragu-ragu,

“Aku tidak membencimu, Liyani. Dan aku memang belum punya jodoh. Akan tetapi aku sudah mempunyai calon jodoh, seorang gadis di negeriku.”

Tiba-tiba Liyani menangis! Kwan Cu menjadi bingung sekali.

“Jangan berduka, Liyani. Kita tidak cocok menjadi jodoh, namun aku sudah mempunyai calon jodoh yang besarnya sama denganmu. Jodohmu adalah pemuda tinggi besar yang gagah seperti Kasang.”

“Calon jodohmu itu... Apakah kau suka kepadanya?” tanya Liyani sambil menyusuti air matanya.

“Tentu saja, aku… suka sekali padanya,” jawab Kwan Cu menelan ludah.

“Dan dia… apakah dia suka padamu?”

“Tentang itu… barang kali dia suka, belum kutanyakan.”

“Cantikkah dia?”

“Cantik sekali, yaitu menurut pandangan mataku.”

“Siapa namanya?”

Tak disangkanya bahwa Liyani begitu nekat dan terus bertanya dengan teliti. Bagaimana harus dijawabnya? Ia tadi membohong dan kini dia tidak dapat menjawab.

“Siapa namanya?” Liyani mendesak.

“Namanya… apa perlunya kusebut-sebutkan namanya? Kau tak akan mengenalnya.”

“Kalau begitu kau bohong!”

Kwan Cu terkejut. Pikirannya diputar-putar dan terbayanglah wajah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis cilik itu saja yang patut menjadi jodohnya.

“Namanya Bun Sui Ceng!” akhirnya dia berkata dan mukanya berubah menjadi merah sekali ketika dia berkata demikian.

Kembali Liyani menangis makin keras. “Sekarang tak ada lagi orang yang patut menjadi jodohku, hanya kau yang bisa mengalahkan ayah!”

“Siapa bilang? Kasang bisa mengalahkan ayahmu,” kata Kwan Cu yang mendapat siasat baik sekali.

Pada waktu itu Kasang beserta Wisang sudah siuman kembali dan turut mendengarkan percakapan itu. Mendengar betapa Kasang dipuji-puji oleh Kwan Cu dan bahkan hendak dijodohkan dengan Liyani, Wisang menggereng keras dan tiba-tiba menyerang Kasang! Serangan itu hebat sekali dan dilakukan selagi Kasang tidak bersiap, maka jika pukulan yang ditujukan ke arah kepala itu mengenai sasaran, amat berbahayalah bagi Kasang.

Kwan Cu yang melihat hal ini, cepat-cepat melompat dan sebelum pukulan Wisang itu mengenai Kasang, tubuh Wisang terpental ke belakang dan dia roboh tak dapat bangun kembali. Tulang pundaknya sudah patah dan biar pun Kwan Cu merasa kasihan, namun pukulannya tadi memang dia sengaja. Dia juga tidak mau mengobati atau menyambung tulang pundak itu, karena bila Wisang tidak dibikin cacat, kelak tentu dia akan mengacau lagi. Kini Wisang biar pun akan sembuh, tenaga tangan kanannya akan lenyap dan dia tidak berbahaya lagi.

Ada pun Lakayong yang mendengar omongan Kwan Cu, menjadi heran dan bertanya, “Saudara Kwan Cu, betul-betulkah Kasang dapat mengalahkan aku?”

“Tentu saja, akan tetapi tidak sekarang, boleh dicoba besok pagi. Dia sekarang menjadi muridku dan dia akan kuberi pelajaran sehari ini.”

Sesudah Kwan Cu mendapat kesempatan bertemu dengan Lakayong seorang diri saja, ia lalu menceritakan siasatnya. Dalam pertempuran tadi, dia mendapat kenyataan bahwa sifat-sifat Kasang memang lebih baik dari pada Wisang dan rencana pembunuhan raja itu pun tentu Wisang yang mengaturnya.

“Liyani suka kepada Kasang, maka harap besok kau suka mengalah pada Kasang agar puterimu suka menerima pinangannya. Kau melakukan ini demi kebahagiaan puterimu, apakah kau tidak suka?” tanya Kwan Cu.

Mengertilah Lakayong dan dia mengangguk-angguk. Kwan Cu sebetulnya tidak memberi pelajaran apa-apa kepada Kasang, hanya nasehat-nasehat agar supaya pemuda ini tidak mengacau lagi dan agar besok menghadapi Lakayong, dia tahu bahwa raja itu sengaja mengalah. Kasang berterima kasih sekali dan mengaku bahwa dia memang telah kena bujukan Wisang yang jahat.

Demikianlah, atas rencana Kwan Cu yang sudah disetujui dan dibantu pelaksanaannya oleh raja Lakayong dan Kasang, pada keesokan harinya, bertempat di kebun itu, hanya disaksikan oleh Liyani seorang saja, dilakukan pertandingan antara Lakayong melawan Kasang. Dalam pertandingan yang kelihatan hebat ini namun yang sesungguhnya hanya main-main belaka, akhirnya Raja Lakayong kena ditubruk dan ditangkap oleh sepasang lengan Kasang yang kuat. Lakayong mencoba untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak dapat dan akhirnya mengaku kalah sambil berkata,

“Ah, setelah menjadi murid saudara Kwan Cu kau benar-benar hebat sekali, Kasang. Aku menerima kalah!”

Kasang segera menjatuhkan diri berlutut di depan rajanya dengan wajah berseri. “Mohon ampun sebanyaknya atas segala kedosaanku,” katanya. “Dalam kesempatan ini untuk kedua kalinya kuulangi pinanganku terhadap Liyani.”

Lakayong berpaling kepada puterinya.

“Liyani, kau sudah mendengar sendiri pinangan Kasang yang gagah perkasa. Nah, seperti biasa, keputusannya terserah kepadamu.”

Terdengar sedu sedan di leher gadis itu. ”Terserah pada ayah saja, aku hanya menurut.”

“Bagus! Kasang, calon menantuku, kami menerima pinanganmu!” kata Raja itu gembira sekali.

Liyani memandang ke arah Kwan Cu, lalu menangis dan berlari pergi.

Kwan Cu menghaturkan selamat kepada Kasang dan Lakayong, dan kedua orang itu sebaliknya tiada hentinya mengucapkan terima kasih mereka, karena dengan akal dan siasat Kwan Cu belaka maka gadis yang keras kepala itu dapat ditundukkan.

“Sekarang aku mohon diri hendak melanjutkan pelayaranku,” kata Kwan Cu.

Lakayong mengerutkan keningnya. “Kalau mungkin, kami tidak ingin berpisah denganmu lagi, saudaraku yang baik. Akan tetapi kalau kami memaksa, itu tidak adil namanya. Kau hendak pergi ke manakah?”

“Aku hanya ingin berkelana saja dan aku mendengar adanya sebuah pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian tentang pulau itu dan di mana letaknya?”

Lakayong dan Kasang memandang dengan mata terbelalak lebar.

“Apa?!” seru Raja raksasa itu. ”Kau hendak mencari pulau bayangan?”

Kwan Cu memandang heran. ”Pulau bayangan? Apa maksudmu? Aku hanya mendengar bahwa pulau itu kecil, berbentuk bundar dan ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian akan pulau itu?”

“Benar, yang kau maksudkan ini tentu Pulau Bayangan! Saudaraku yang baik harap kau batalkan saja niatmu itu. Kami sudah sering kali berperahu di sekitar kepulauan ini dan sering kali mendadak melihat pulau yang kau maksudkan itu. Akan tetapi apa bila kami mendekatinya, tiba-tiba dia menghilang! Pulau itu sangat aneh dan jauh sehingga kami mengambil kesimpulan bahwa pulau itu tentu bukanlah berada di sekitar sini, melainkan berada di seberang laut jalan maut.”

“Di manakah laut jalan maut itu? Aku akan mencari ke sana.”

Kasang mengeluarkan seruan kaget, dan Lakayong menjadi pucat.

“Jangan, saudara Kwan Cu. Jangan sekali-kali kau melintasi batas laut itu. Sudah banyak saudara-saudara kami yang tewas di sana. Laut itu adalah batas yang tidak boleh dilalui manusia, sebab di sana banyak terdapat keajaiban yang merupakan tangan maut. Siapa pun juga tidak mungkin dapat melalui batas itu. Lebih baik kau mengunjungi pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di sekitar sini.”

“Tidak, Raja yang baik. Aku akan mencobanya, betapa pun besar bahaya yang akan aku hadapi.”

Lakayong menarik napas panjang. “Kau orang aneh, mungkin juga kau akan berhasil menjelajahi pulau itu. Akan tetapi hati-hatilah, memang benar-benar berbahaya sekali di daerah itu. Aku sendiri pernah mencobanya, namun terpaksa aku kembali setelah tiba di batas laut itu. Bukan main ganasnya. Letaknya di sebelah timur pulau kami ini, tepat dari mana matahari muncul.”

“Terima kasih dan selamat tinggal, Raja Lakayong, dan kau juga, saudara Kasang. Yang baik-baiklah kau menjaga Liyani.” Setelah berkata demikian Kwan Cu lalu pergi ke pantai mencari perahunya, diikuti oleh Lakayong dan Kasang.

Ketika penduduk mendengar tentang kepergian Kwan Cu, berbondong-bondong mereka mengantar sampai ke pantai. Akan tetapi di antara sekian banyaknya orang, tak nampak bayangan Liyani.

Kwan Cu menurunkan perahunya di air dan dia sudah menerima dua buah dayung yang baik dari Raja Lakayong sebagai pengganti dayungnya ketika perahunya diserang oleh taufan beberapa hari yang lalu. Orang-orang di pantai melambaikan tangan, malah Raja Lakayong menghapuskan dua butir air mata yang menitik turun ke atas pipinya. Semua orang terharu, terutama sekali Lakayong dan Kasang yang sudah merasa betapa besar jasa pemuda kecil itu bagi mereka.

“Selamat tinggal, saudara-saudaraku yang baik. Kita yieee... (selamat tinggal)...” berkata Kwan Cu sambil mendayung perahunya ke timur. Karena dia mempergunakan tenaga lweekang, maka sebentar saja dia sudah meninggalkan pulau besar yang mendatangkan pengalaman-pengalaman aneh kepadanya itu.

Tiba-tiba terdengan seruan suara nyaring.

“Saudara Kwan Cu…!”

Kwan Cu menoleh dan alangkah herannya ketika dia melihat sebuah perahu layar besar yang dikendarai oleh... Liyani!

“Ehh, kau Liyani. Hendak pergi ke manakah kau?” tanyanya heran.

“Aku sengaja menantimu di sini, aku hendak pergi bersamamu!”

Baiknya Kwan Cu masih ingat bahwa dia berada di dalam perahu, kalau tidak tentu dia akan melompat ke belakang dan berjungkal ke dalam air saking kagetnya.

“Ikut pergi bersamaku?! Kau gil... ehh, apa maksudmu?”

“Kau telah menipuku! Apa kau kira aku tak tahu bahwa dalam pertandingan antara ayah dan Kasang, ayah sengaja berlaku mengalah dan semua itu adalah rencanamu belaka? Kau menghendaki dan memaksa aku menerima Kasang sebagai jodohku, mengapa?”

Kwan Cu menelan ludah. Hebat benar gadis ini, pikirnya. Ia mendekatkan perahunya ke perahu besar Liyani, mengikatkan tali di kepala perahu gadis itu, lalu melompat masuk ke dalam perahu besar, berdiri menghadapi gadis raksasa itu.

“Dengarlah baik-baik, Liyani. Tuduhanmu tadi kuterima dan aku minta maaf. Memang aku sengaja melakukan hal itu. Ketahuilah, kau tak mungkin ikut dengan aku sebab kita tidak sesuai, dan di negeriku kau hanya akan menjadi tontonan dan buah tertawaan seperti ketika aku berada di pulaumu, bahkan kau akan mengalami gangguan-gangguan yang tak mengenakkan hati. Aku memang ingin melihat kau menjadi isteri Kasang, karena dia pemuda baik dan cocok menjadi jodohmu. Apa lagi, ayahmu pun menghendaki demikian. Ada pun aku... sudah kukatakan bahwa aku mempunyai calon jodohku sendiri.”

“Bun Sui Ceng...?”

Kwan Cu tertegun. Nama gadis murid Kiu-bwe Coa-li itu malah masih teringat oleh Liyani! Apa boleh buat, ia mengangguk membenarkan.

“Kau tidak bohong?”

Kwan Cu menggelengkan kepala.

“Berani kau bersumpah?”

Kwan Cu melongo.

“Bersumpah? Bersumpah bagaimana?”

“Bersumpah bahwa kau benar-benar suka kepada gadis yang bernama Bun Sui Ceng itu, bahwa kau benar-benar menghendaki dia menjadi jodohmu.”

Kwan Cu menjadi bingung sekali. Dia mencoba untuk membayangkan wajah Sui Ceng yang manis dan tergeraklah hatinya. Mengapa tidak? Sui Ceng merupakan gadis yang memang disukanya, tidak saja gadis itu memang baik terhadapnya, bahkan ibu gadis itu, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, adalah manusia pertama yang berlaku baik kepadanya.

“Aku bersumpah bahwa aku suka kepada Bun Sui Ceng dan bahwa aku menghendaki ia menjadi jodohku,“ kata Kwan Cu dan ketika dia mengucapkan kata-kata ini, dia berlaku sungguh-sungguh.

Liyani menangis. Lalu gadis ini berdiri dengan muka menengadah ke langit serta kedua tangannya dipentang lebar.

“Dengarlah, dewa awan, dewa matahari dan dewa laut. Kalian telah menjadi saksi atas sumpah saudara Kwan Cu! Apa bila kelak dia melanggar sumpahnya, biarlah kalian yang menghukumnya dan biarlah saudara Kwan Cu selama hidupnya tidak akan mendapatkan jodoh!”

Suara gadis ini sedemikian menyeramkan sehingga Kwan Cu merasa bulu tengkuknya berdiri.

“Kau terimalah ini sebagai tanda mata dariku. Selama hidup aku tak akan melupakanmu, saudara Kwan Cu.”

Biar pun bagi Liyani tusuk konde itu kecil saja, namun bagi Kwan Cu merupakan benda sebesar pisau belati. Ia menerimanya dan berkata dengan terharu,

“Terima kasih, Liyani. Aku pun tak akan melupakanmu, takkan melupakan kau, ayahmu, dan semua orang yang berada di atas pulaumu.”

Setelah berkata demikian, Kwan Cu melompat kembali ke dalam perahunya, melepaskan ikatan dan mendayung perahunya, terus ke arah timur. Ketika dia menengok, dia melihat Liyani masih berdiri di perahunya sambil memandang ke arahnya. Dilihat dari jauh, Liyani tidak kelihatan besar lagi, melainkan nampak sebagai dara biasa yang bertumbuh tinggi semampai, berpinggang ramping dan bentuk tubuh yang indah.

Kwan Cu melambaikan tangan dan dibalas oleh Liyani. Pemuda ini lalu menghela napas panjang, kemudian mendayung cepat perahunya tanpa menoleh lagi…..

********************

Kwan Cu terus mendayung perahunya dengan cepat menuju ke timur. Matahari sudah naik tinggi melewati kepalanya. Dia melihat pulau-pulau yang gundul di sebelah kiri, akan tetapi dia tidak mau mendarat. Ingin dia segera tiba di daerah laut maut yang diceritakan oleh Lakayong.

Akan tetapi, dia melihat laut yang amat tenang dan yang agaknya tidak ada batasnya itu. Kalau dia melihat ke timur, yang nampak hanyalah air belaka dan jauh di sebelah timur air laut bertemu dengan kaki langit sehingga sukar dibedakan di mana batasnya, karena warna laut dan langit hampir sama.

Malam tiba dan baiknya bulan purnama muncul berseri. Kwan Cu terus saja mendayung dan akhirnya karena lelah, menjelang tengah malam setelah bulan purnama naik tinggi, dia tidur pulas di dalam perahu, membiarkan perahunya itu berdiam tak bergerak di atas air yang tenang.

Untung baginya bahwa tadi orang-orang di pulau raksasa memberi bekal kue manis yang besar sekali kepadanya, sebesar dua kepalanya, sehingga dia tak menderita kelaparan. Untuk minumnya, dia pun sudah membawa bekal seguci minuman yang rasanya wangi dan tawar, tidak seperti arak namun dapat menghangatkan perut.

Kwan Cu tertidur sampai lama sekali. Ia baru sadar ketika perahunya bergoyang-goyang. Saat dia membuka matanya ternyata bulan purnama sudah lenyap dan sebagai gantinya, matahari mengintip di kaki langit sebelah timur, memancarkan cahaya kemerahan yang menimbulkan pemandangan indah sekali.

Akan tetapi Kwan Cu tak mungkin dapat menikmati keindahan alam itu karena ketika dia melihat ke bawah, yaitu ke pinggiran perahunya untuk mengetahui mengapa perahunya bergoyang-goyang, dia menjadi terkejut bukan main. Pada sekeliling perahunya kelihatan banyak sekali ikan-ikan besar, sebesar perahunya, berenang ke sana ke mari dan setiap kali tubuh ikan melanggar perahunya, perahu itu bergoyang-goyang!

“Celaka…” pikir Kwan Cu.

Ikan itu banyak sekali dan kalau dia mengunakan dayung memukul dan mengusir, tentu ikan itu akan marah. Bila sampai ikan-ikan itu menyerbu perahunya, akan celakalah dia. Juga tidak mungkin untuk mendayung perahu karena dayungnya tentu akan melanggar tubuh ikan yang terdekat. Keadaannya seperti seekor domba yang dikurung oleh puluhan ekor harimau yang siap menerkam setiap saat.

“Celaka, bagaimana baiknya sekarang?”

Kwan Cu diam saja sambil duduk di dalam perahunya. Dia memegang dayung siap akan memukul ikan yang akan menyerbu perahunya. Akan tetapi ikan-ikan itu hanya berenang ke sana ke mari, kadang kala sengaja menyenggol perahu hingga perahu itu bergoyang-goyang hampir terbalik.

“Kurang ajar, mereka sengaja mempermainkan aku,” pikir Kwan Cu.

Dia teringat akan daun Liong-cu-hio yang berada di dalam bungkusan kainnya. Ia teringat ketika Liok-te Mo-li, nenek yang aneh itu memberi bekal daun-daun ini kepadanya, nenek itu berkata bahwa apa bila dia diserang dan diancam oleh ikan-ikan buas maka dia dapat menggunakan daun-daun itu untuk menyelamatkan diri.

Dengan perlahan dia membuka bungkusannya, membasahi kedua tangannya dengan air laut, lalu mengambil dua helai daun itu. Ia merasa heran sekali karena daun-daun itu sama sekali tidak mengering, masih segar seperti ketika habis dipetik.

“Mudah-mudahan Liok-te Mo-li tidak berbohong,” pikir Kwan Cu.

Dia melemparkan sehelai daun ke kanan dan sehelai pula ke kiri sambil mengerahkan tenaga. Daun-daun itu meluncur dan jatuh di air. Setelah tiba di air dan terapung, kedua daun itu bergerak-gerak bagaikan benda hidup. Kwan Cu tidak heran melihat ini, karena dulu pun sudah pernah melihat betapa daun-daun itu bergerak-gerak tiap kali tersentuh sesuatu.

Ia memandang penuh perhatian dan harapan. Maka terjadilah sesuatu yang amat hebat. Seekor ikan yang berada paling dekat dengan daun itu, tadinya tidak mengacuhkannya sama sekali, akan tetapi begitu daun itu bergerak-gerak dia cepat menyambar kemudian menelannya. Akan tetapi, begitu daun itu tertelan olehnya, seketika itu juga tubuhnya terapung dalam keadaan mati! Perutnya yang putih itu nampak tersembul di permukaan air.

Sudah menjadi kebiasaan liar dari ikan-ikan itu, apa bila melihat seekor ikan lainnya mati, mereka segera menyerbu untuk makan dagingnya. Akan tetapi, tiap kali ikan menggigit segumpal daging dari ikan yang mati itu, ikan ini pun terapung dalam keadaan mati pula! Namun ikan-ikan itu bodoh sekali dan yang lain-lain serentak berpesta, menyerbu yang sudah mati sehingga sebentar saja air penuh dengan bangkai ikan.

Kwan Cu bergerak memandang ke belakangnya. Di sebelah kiri perahu dia meyaksikan pemandangan yang sama. Di sana pun ikan-ikan berpesta pora, yang hidup menyerbu yang mati untuk terkena racun daun Liong-cu-hio sehingga menjadi bangkai pula tanpa dapat menggelepar lagi.

“Hebat…!” Kwan Cu berseru dengan hati ngeri.

Ia bergidik melihat betapa bangkai ikan makin banyak saja terapung di permukaan laut. Agaknya semua ikan di tempat itu akan mati terkena racun yang jahat. Kini tahulah dia akan arti ucapan Liok-te Mo-li bahwa ia akan menyaksikan ‘pesta’ yang menggembirakan kalau melemparkan daun itu ke laut.

Kwan Cu segera mendayung perahunya cepat-cepat, pergi dari tempat itu. Dia merasa ngeri, juga merasa malu kepada diri sendiri. Ia anggap perbuatannya tadi rendah dan pengecut. Kalau dia tahu bahwa akibat daun itu akan demikian hebat, tentu dia akan mencari jalan lain untuk menyelamatkan diri dari keadaannya yang terancam tadi.

“Aku tak akan mempergunakan daun-daun iblis ini lagi,” pikirnya. “Terlalu keji!”

Dengan cepat dia lalu mendayung perahunya ke arah matahari yang mulai nampak di permukaan laut sebelah timur. Ia mendayung perahunya cepat sekali, namun belum juga kelihatan adanya pulau di sebelah sana, bahkan dia tidak melihat adanya lautan yang disebut jalan maut itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)