PENDEKAR SAKTI : JILID-30


“Lu Thong, apa kehendakmu?” tanya Kwan Cu dan pandangan matanya mulai keras dan tajam.

“Kehendakku?” jawab Lu Thong menyindir. “Sudah kukatakan semenjak tadi bahwa aku menghendaki kau membantuku untuk mencapai cita-citaku.”

“Aku tidak sudi!”

“Kau tetap bocah bodoh yang keras kepala seperti dulu! Sebetulnya banyak hal yang kau hutang dariku, Kwan Cu. Pertama-tama, kau menyatakan hendak memusuhi suhu-ku, ini sudah merupakan dosa-dosa, namun aku masih mengampuni kalau kau bekerja sama. Kedua kalinya, kalau memang sudah mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau harus menyerahkan kitab itu padaku! Ketiga kalinya, masih ingatkah kau betapa dahulu pada saat kita masih sama-sama kecil, kau tidak mampu mengalahkan aku dan suhu-mu berkata bahwa kelak kita harus mengadu kepandaian lagi? Nah, karena sekarang kau berkeras kepala, perkenalkanlah tiga orang sahabatku ini. Mereka adalah Pek-lek-kiam Sam-sin-kai (Tiga Pengemis Sakti Berpedang Kilat)! Mereka adalah orang-orang gagah di dunia kang-ouw namun mereka dapat melihat mulianya cita-citaku sehingga mereka mau membantuku. Masa seorang manusia semacam engkau berani menolak ajakanku yang baik?”

Bukan main panasnya hati Kwan Cu mendengar ucapan yang sangat menghina serta merendahkannya itu.

“Banyak anjing-anjing penjilat yang akan melonjorkan kaki depan ketika melihat orang melemparkan tulang kepadanya, akan tetapi aku tidak termasuk golongan ini, Lu Thong. Sudahlah, aku tidak punya banyak waktu untuk melayani obrolanmu.”

Sesudah berkata demikian Kwan Cu hendak pergi meninggalkan taman bunga itu. Akan tetapi tiba-tiba tiga orang pengemis sakti itu menghadang dengan pedang di tangan.

“Kalian mau apa?!” bentak Kwan Cu.

Lu Thong memberi isyarat dengan tangan dan seorang di antara tiga pengemis tua itu menjawab, “Hendak mencoba kepandaian seorang manusia sombong seperti engkau!”

Ucapan ini ditutup dengan berkelebatnya tiga batang pedang yang menyambar laksana kilat. Tidak percuma mereka memperoleh julukan Pedang Kilat, karena gerakan pedang mereka benar-benar amat cepat sehingga pedang itu lenyap tidak kelihatan dan nampak hanya sinarnya saja yang berkilauan seperti kilat menyambar.

Ini kalau dilihat oleh mata orang lain. Akan tetapi bagi mata Kwan Cu gerakan itu tidak seberapa hebat. Bahkan dengan kepandaiannya yang luar biasa, yakni penglihatan serta pengertian tentang pokok dasar segala pergerakan orang dalam bersilat, dia sudah lebih dulu dapat menduga ke mana tiga batang pedang itu hendak menyerangnya!

Oleh karena itu, dia melakukan gerakan cepat sekali dan mendahului mereka. Ia maklum bahwa serangan mereka itu akan disusul dengan gerakan lain, hal ini dapat dia lihat dari pergerakan pundak dan pandangan mata mereka. Maka, sebelum tiga orang itu sempat melanjutkan serangan mereka setelah Kwan Cu mengelak cepat, pemuda ini pun sudah dapat mendahului mereka dengan ketokan-ketokan telapak tangan yang dimiringkan ke arah pangkal lengan.

“Plak! Plak! Plak!”

Tiga kali jari-jari tangannya yang dibuka itu menyentuh pangkal lengan kanan lawan dan terdengarlah jeritan susul-menyusul, kemudian tiga batang pedang terlempar ke atas dan ketiga orang Pengemis Sakti Berpedang Kilat itu lalu mengaduh-aduh sambil memegangi pangkal lengan kanan dengan tangan kirinya. Ada pun pedang yang tadi mereka pegang, tentu saja terpental jauh karena tangan mereka mendadak menjadi kaku dengan jari-jari terbuka, seakan-akan terkena aliran listrik yang maha kuat!

Untuk sesaat Lu Thong tertegun melihat hal yang tak diduga-duganya ini, akan tetapi di lain saat dia sudah melompat dengan senjata pada tangannya. Seperti main sulap saja melihat dia tiba-tiba memegang sebatang toya yang panjangnya ada lima kaki dan kedua ujung toya itu berkilauan karena memang ujungnya terbuat dari pada emas.

Bagaimana tiba-tiba saja pemuda ini bisa memegang sebatang toya panjang yang tadi tidak kelihatan dia bawa? Ternyata bahwa toya itu dibuat secara istimewa, bersambung-sambung dan dapat di tekuk-tekuk sehingga dapat digulungkan di pinggang, tertutup oleh baju luar.

“Kwan Cu, ternyata selama kau tidak muncul, kau sudah mempunyai kepandaian yang lumayan. Hendak kulihat apakah kau cukup kuat pula menahan seranganku!” bentak Lu Thong sambil mengayun toyanya.

Kwan Cu dapat merasakan angin sambaran toya ini dan teringatlah dia akan Jeng-kin-jiu, tokoh besar selatan yang terkenal sebagai ahli gwakang dan mempunyai tenaga seperti gajah. Menurut penuturan Ang-bin sin-kai dahulu, untuk masa itu, tingkat kepandaian dari Jeng-kin-jiu sudah amat tinggi dan dia merupakan satu-satunya ahli gwakang yang dapat mengatur tenaga sehingga mampu menggunakan tenaga sampai seribu kati kuatnya!

Kwan Cu juga maklum bahwa Lu Thong tentu sudah mewarisi tenaga serta kepandaian suhu-nya, maka dia berlaku sangat hati-hati. Karena kepandaian yang dia dapatkan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, serta pelajaran ilmu-ilmu silat yang banyak macamnya yang dia pelajari dari lukisan-lukisan di dinding goa-goa pulau pohon berdaun putih, dia tahu bagaimana caranya harus menghadapi serangan toya yang bertenaga besar ini. Dengan lincahnya dia mengelak ke sana ke mari menghindarkan diri dari sambaran toya yang datang bertubi-tubi.

Setelah menghadapi toya Lu Thong beberapa belas jurus saja, bukan main gembiranya hati Kwan Cu karena dia telah dapat mengerti akan pokok dasar gerakan permainan toya itu. Ia diam-diam merasa kagum, heran dan juga berterima kasih sekali akan pelajaran-pelajaran dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, oleh karena ilmu toya dari Jeng-kin-jiu yang demikian hebatnya, baru belasan jurus saja sudah dapat dia tangkap inti sarinya!

Kalau dia mau, dia akan dapat meniru setiap gerakan dan serangan Lu Thong! Namun, dia tahu pula bahwa dalam hal tenaga gwakang, dia tidak dapat mengimbangi tenaga Lu Thong, sedangkan ilmu toya itu harus dilakukan dengan tenaga gwakang, barulah dapat berjalan sempurna.

Maka Kwan Cu segera mencabut sulingnya dan dia mulai melakukan serangan balasan. Dia dapat menghadapi Lu Thong dengan enak saja karena sekarang dia dapat melihat jelas cara lawan bergerak, bahkan dia telah tahu ke mana toya akan menyambar hanya dengan memperhatikan gerak pundak dan paha lawan saja!

Sebaliknya Lu Thong menjadi heran bukan main. Pukulannya selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kwan Cu menggunakan ginkang untuk mengelak dari pukulannya, hal ini tak akan mengherankan dirinya. Yang membuat dia tiada habis heran adalah cara Kwan Cu mengelak. Sebelum toyanya bergerak menyambar, lawannya itu telah melangkah ke arah yang berlawanan dengan tujuan pukulan toyanya, seolah-olah Kwan Cu sudah tahu lebih dulu bagaian mana yang hendak diserang.

Kemudian Kwan Cu mainkan sulingnya dan terkejutlah Lu Thong. Serangan suling Kwan Cu ini gerakannya benar-benar sama dengan serangan toyanya, hanya bedanya apa bila dia menyerang dengan gwakang untuk menghancurkan kepala atau mematahkan tulang, adalah Kwan Cu mempergunakan sulingnya untuk menotok jalan darah yang berbahaya.

Pertempuran ini benar-benar berat sebelah. Lu Thong segera terdesak hebat dan tidak kuat menghadapi lawannya lebih lama lagi. Setiap serangannya dapat dielakkan terlebih dulu oleh lawannya yang berbalik menyerangnya, kadang-kadang dengan ilmu silatnya, akan tetapi mendadak diubah lagi dengan ilmu silat lain yang sama sekali tak dikenalnya! Akhirnya, setelah kepalanya pening dan tenaganya mulai berkurang, sebuah totokan dari Kwan Cu tepat mengenai iganya.

Lu Thong merasa seluruh tubuhnya lemas, kedua tangannya menggigil dan terlepaslah toyanya dari pegangan. Kwan Cu cepat-cepat menyusulkan sebuah totokan pula ke arah pundak, kini untuk membebaskan totokan pertama tadi. Dia lalu melompat ke belakang, berdiri tegak dan berkata,

“Lu Thong, melihat muka Kongkong Lu Pin, aku masih mengampuni nyawamu. Harap kau insyaf dan berubah menjadi manusia baik-baik sesuai dengan darah keluargamu. Selamat tinggal!” Sebelum Lu Thong dapat menjawab, sekali berkelebat Kwan Cu telah lenyap dari situ.

Lu Thong menarik napas panjang dan membanting tubuhnya di atas bangku. Dia tidak mempedulikan ketiga orang pembantunya yang sedang berdiri dengan muka kesakitan di situ, bahkan lalu memberi isyarat dengan tangannya agar tiga orang itu meninggalkannya seorang diri.

“Dia benar-benar hebat. Tentu Im-yang Bu-tek Cin-keng telah berada di tangannya,” pikir Lu Thong penasaran.

Ia tidak menyusahkan keadaan suhu-nya yang terancam oleh Kwan Cu, juga sama sekali tak memikirkan kata-kata Kwan Cu tadi. Yang dipikirkan hanya cita-citanya saja. Sayang Kwan Cu yang sakti tak mau membantunya, pikirnya. Bagaimana seorang pemuda yang sudah lemah imannya ini dapat mendengarkan nasehat Kwan Cu?

Sampai berhari-hari Lu Thong masih bermurung saja. Hiburan kelima orang selirnya yang cantik-cantik tidak mengubah kekesalan hatinya. Setiap hari dia memutar otak, mencari jalan baik…..

********************

Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit tampak melompat-lompat di atas genteng-genteng tebal dari kompleks bangunan istana yang megah. Tiada seorang pun manusia menyangka bahwa malam hari itu ada orang yang berloncat-loncatan di atas genteng bangunan itu.

Memang, biar pun penjagaan daerah istana ini amat ketat, namun tidak ada seorang pun kepala jaga menyuruh anak buahnya menjaga di atas genteng. Siapakah orangnya yang mampu menembus penjagaan sehingga dapat berlari-larian di atas genteng? Penjagaan seluruh pintu istana amat kuat dan daerah istana itu sendiri dikelilingi oleh dinding yang tebal dan tinggi sekali, apa lagi dijaga oleh penjaga-penjaga yang berdiri pada sepanjang tembok! Seekor burung pun tidak akan dapat lewat tanpa terlihat oleh barisan penjaga.

Akan tetapi, bukan iblis atau dewa yang berlompat-lompatan di atas genteng, melainkan seorang manusia biasa. Bukan lain adalah Kwan Cu, pemuda yang sudah memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga membuatnya menjadi seorang sakti.

Tidak sukar baginya untuk melewati penjagaan yang kokoh kuat itu, karena gerakannya memang sangat cepat. Dari balik sebatang pohon, dia dapat melompat ke atas dinding tembok tanpa terlihat oleh penjaga, karena gerakannya itu luar biasa cepatnya. Mungkin juga ada di antara penjaga yang melihat sosok bayangan berkelebat, akan tetapi tentu dia mengira bahwa itu hanyalah bayangan pohon yang tersinar oleh lampu penerangan di luar tembok.

Kwan Cu sudah melakukan penyelidikan di luar istana dan mendapat keterangan bahwa memang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu beserta tokoh-tokoh lain yang sudah membunuh Ang-bin Sin-kai tidak berada di kota raja. Akan tetapi dia belum mau meninggalkan kota raja.

Pertama, karena dia hendak menyelidiki di dalam istana dahulu, siapa tahu kalau-kalau di antara musuh-musuh besarnya itu ada yang bersembunyi di dalam istana. Kedua, dia ingin menyelidiki karena dia sempat teringat akan ucapan Pangeran An Kong, putera An Lu Kui. Ia mendengar bahwa pangeran itu hendak melakukan perbuatan jahat terhadap seorang wanita yang disebutnya bunga liar. Tergerak hatinya untuk sekalian menyelidiki keadaan pangeran botak itu dan kalau perlu menolong wanita tadi.

Dahulu dia pernah dibawa oleh suhu-nya ke istana, akan tetapi ketika dia datang dengan suhu-nya, mereka langsung menuju ke dapur istana dan tak pernah menyelidiki keadaan istana dari atas genteng. Oleh karena itu, Kwan Cu tidak tahu betul akan letak istana itu. Dia hanya mencari-cari dari atas genteng dan mengintai ke bawah setiap kali dia melihat ada ruangan di bawah genteng.

Di bawah genteng bangunan-bangunan istana yang tinggi itu terdapat langit-langit yang tebal, maka agak sukarlah baginya untuk memeriksa keadaan di bawah. Apa lagi banyak sekali terdapat loteng, karena rumah-rumah di situ sebagian besar bertingkat. Sering kali ia harus menggunakan kakinya untuk bergantung dengan kepala di bawah dan mengintai dari celah-celah tiang genteng.

Akan tetapi, dia hanya mendapatkan orang-orang berpakaian mewah sedang berpesta, dikelilingi oleh wanita-wanita cantik yang bermain tetabuhan, bernyanyi atau menari. Ada pula orang-orang yang berpakaian perwira sedang melakukan tugas menjaga, agaknya mereka adalah para pengawal istana.

Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan yang berada di ujung timur dan di ruangan besar nampak lampu dinyalakan terang. Beberapa orang laki-laki sedang duduk menghadapi meja panjang, seakan-akan orang sedang mengadakan rapat. Tertarik hati Kwan Cu dan dia segera menuju ke bangunan itu.

Ia selalu berlaku amat hati-hati. Maka, ketika dia tiba di tempat yang agak gelap, dengan gerakan ringan sekali bagai daun kering tertiup angin, pemuda sakti ini melayang turun, lalu berjalan perlahan menuju ke tempat itu.

Dari balik jendela dia mengintai ke dalam. Benar saja, di dalam ruangan yang amat lebar itu dia melihat ada lima orang laki-laki yang sedang bercakap-cakap dengan perlahan, agaknya membicarakan sesuatu yang amat penting. Tiga orang di antaranya berpakaian sebagai panglima tinggi, sedangkan yang dua orang adalah hwesio-hwesio setengah tua yang kelihatannya kuat dan bertubuh tegap.

Ketika Kwan Cu melayangkan pandangan matanya, dia mengenal seorang di antara tiga panglima itu. Orang itu bukan lain adalah An Lu Kui, adik dari An Lu Shan. Geli hatinya memikirkan betapa dahulu dia pernah mempermainkan panglima ini, atau lebih tepat lagi gurunya yang mempermainkannya, karena dia memukul panglima ini dalam pondongan Ang-bin Sin-kai.

Panglima itu masih nampak tegap dan gagah, walau pun sudah kelihatan agak tua. Air mukanya menunjukkan seorang yang penuh cita-cita dan teringatlah penuturan Lu Thong bahwa An Lu Kui termasuk seorang di antara tiga golongan yang ingin memperebutkan kedudukan raja di tempat itu!

Dia tidak mengenal dua orang panglima yang lainnya itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa mereka pun memiliki kepandaian silat inggi. Juga dua orang hwesio setengah tua itu dia tidak kenal. Kalau saja dia tidak melihat An Lu Kui di situ, tentu Kwan Cu sudah pergi lagi. Akan tetapi kehadiran An Lu Kui menarik perhatiannya. Dia ingin mendengar percakapan mereka.

“Apakah Ji-wi Suhu (bapak pendeta berdua) telah menyampaikan pesanku pada putera mahkota?” terdengar An Lu Kui bertanya kepada dua orang hwesio itu.

Kwan Cu maklum bahwa yang disebut putera mahkota tentulah putera dari An Lu Shan yang telah membunuh ayahnya sendiri itu. Karena itu dia mendengarkan dengan penuh perhatian.

Seorang di antara dua hwesio itu menganguk-angguk, “Sudah, Ong-ya.”

Kwan Cu merasa geli mendengar sebutan ini. Sebutan itu biasanya ditujukan terhadap seorang pangeran muda.

“Apa pendapat beliau?” tanya An Lu Kui.

“Beliau merasa bahwa memang perlu diadakan perundingan ini, sebab harta yang dibawa oleh Menteri Lu Pin itu memang amat banyak dan berguna sekali untuk kerajaan.”

Mendengar jawaban hwesio itu, berdebar hati Kwan Cu. Mereka membicarakan tentang kongkong-nya, Lu Pin, untung tadi dia mendengarkan ucapan ini.

“Dan beliau memberi kekuasaan penuh kepada Ji-wi untuk membicarakan hal itu dengan kami?” tanya An Lu Kui.

Hwesio itu mengangguk. “Itulah sebabnya maka beliau sengaja mengutus pinceng (saya) berdua untuk merundingkan soal ini dengan Ong-ya dan dengan Si-ciangkun (Panglima Si).”

“Bagus,” kata An Lu Kui. “Memang dalam menghadapi para pemberontak yang semakin kuat serta dalam mengatur rencana untuk mencari Lu Pin, kita harus bersatu padu dan mengerahkan seluruh tenaga. Herannya, kenapa sampai sekarang Panglima Si Su Beng tidak datang?”

“Pinto (aku, sebutan pendeta To) datang!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh.

Diam-diam Kwan Cu terkejut. Orang yang dapat mendengar percakapan ini dari jauh dan sekaligus mengirimkan jawaban, tentu saja adalah seseorang berkepandaian tinggi yang mahir menggunakan Ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh). Maka pemuda ini cepat menyelinap dan bersembunyi di tempat yang gelap.

Tidak lama kemudian, menyambar angin dan tiba-tiba seorang tosu (Pendeta Agama To) setengah tua yang berjenggot panjang telah berada di ruang itu. Mata tosu ini tajam dan memandang di sekelilingnya, kemudian dia berkata kepada semua yang berada di dalam ruangan.

“Kalian amat sembrono, membicarakan urusan penting harus berhati-hati dan menyelidiki lebih dulu kalau-kalau ada orang lain ikut mendengar!” Setelah berkata demikian, tubuh tosu ini berkelebat ke atas genteng agaknya untuk menyelidiki apakah betul-betul tidak ada orang lain yang bersembunyi.

Kwan Cu semakin terkejut dan cepat dia menyelinap ke belakang bangunan, berlindung di dalam gelap. Ia mendengar suara An Lu Kui perlahan kepada hwesio itu.

“Dia itulah orang baru dari Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin, benar-benar lihai sekali!”

Tak lama kemudian, kembali bayangan tosu itu melayang turun dan berkata,

“Keadaan aman, tidak seekor burung pun pinto lihat di atas genteng!”

An Lu Kui tertawa bergelak. “Kiam Ki Totiang terlalu curiga! Di tempat ini, siapakah yang berani mati melakukan pengintaian? Mari Totiang, silakan duduk. Karena Totiang belum lama datang, agaknya belum kenal dengan dua orang sahabat ini. Mereka ini adalah Mo Beng Hosiang yang berjulukan San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) dan Mo Keng Hosiang yang berjuluk Hun-san-pian (Ruyung Pemecah Gunung). Ji-wi Suhu, inilah pembantu sekalian penasehat, dan juga guru dari Panglima Si Su Beng yang bernama Kiam Ki Sianjin yang berjuluk Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara).”

Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk dan membalas penghormatan kedua orang hwesio itu.

“Hmm, hemm, apakah bukan Bu-eng Siang-hiap (Sepasang Pendekar Tanpa Bayangan) yang tersohor? Bagus, bagus, dalam kerajaan ada sepasang naga yang menjaga, takut apa lagi?”

Pujian ini sekaligus merupakan ejekan dan sikap memandang rendah. Hal ini terasa oleh Mo Beng Hosiang yang berwatak keras, karena itu biar pun dia sudah mendengar nama besar Kiam Ki Sianjin, dia pura-pura bertanya,

“Pinceng (saya) sudah mendengar nama Pak-lo-sian (Dewa Kutub Utara) Siangkoan Hai yang namanya menggegerkan dunia, tak tahu masih ada hubungan apakah dengan Toyu (Sahabat)?”

Wajah Kiam Ki Sianjin merengut, akan tetapi tiba-tiba dia tertawa untuk menyembunyikan ketidak senangannya mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Adat Kiam Ki Sianjin ini memang sombong. Dia pernah mencari Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang dianggapnya mengembari namanya.

Mereka berdua, kedua tokoh yang memakai julukan Dewa Utara ini, kemudian bertempur hebat. Sesudah hampir satu harian mereka bertempur, akhirnya Kiam Ki Sianjin terpaksa meninggalkan lawannya yang ternyata amat lihai dan yang tidak mampu dirobohkan itu. Semenjak itu dia merasa benci sekali kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Maka kini mendengar ucapan Mo Beng Hosiang, dia merasa tersindir. Siapa tahu kalau hwesio gundul ini sudah mendengar akan pertempuran itu.

Suara ketawa dari Kiam Ki Sianjin amat aneh, meninggi merendah seperti suara kuda liar meringkik. Akan tetapi tenaga khikang yang terkandung di dalam suara itu seakan-akan menggetarkan tiang-tiang ruangan itu.

“Gunung dan bukit biar pun sama-sama menonjol tidak dapat dikatakan sama. Naga dan ular biar pun berbentuk serupa tetap ada perbedaan. Mana Pak-lo-sian bisa disamakan dengan pinto?” Jawabannya ini sudah menyatakan alangkah sombongnya tosu ini yang menganggap diri sendiri seakan-akan gunung dan Pak-lo-sian hanyalah bukit, atau yang mengumpamakan diri sendiri naga sedangkan Pak-lo-sian hanya ular biasa!

Sebagaimana sudah dituturkan oleh Lu Thong kepada Kwan Cu, di antara mereka ini memang terdapat persaingan. Bu-eng Siang-hiap bersama dua orang hwesio gundul itu adalah pengikut setia dari pangeran mahkota yang pada waktu itu boleh dibilang paling berkuasa, ada pun Kiam Ki Sianjin adalah guru dari pemberontak Si Su Beng yang sudah lama mengilar dan ingin sekali merampas kedudukan.

Tentu saja di dalam hati mereka satu terhadap yang lain sudah ada perasaan dendam dan permusuhan. Sekarang hanya atas usul An Lu Kui yang juga mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar, mereka bersedia datang berkumpul untuk merundingkan cara untuk menghancurkan rakyat yang memberontak di sana-sini dan untuk mencari Menteri Lu Pin bersama harta benda yang dibawa pergi oleh bekas menteri itu. Tak mengherankan apa bila di dalam percakapan mereka terdengar ucapan-ucapan yang menyindir dan saling memandang rendah.

Mendengar ucapan Kiam Ki Sianjin yang menyombongkan diri, Mo Beng Hosiang yang berwatak keras menjadi tak senang.

“Memang nama besar Pak-lo-sian menjulang tinggi seperti gunung dan dahsyat laksana naga!” katanya sambil memandang kepada Kiam Ki Sianjin dengan mata menantang.

Terang sekali bahwa ucapan ini sengaja dikeluarkan untuk menekan kesombongan Kiam Ki Sianjin karena kedudukan tosu itu menjadi terbalik, bukan seperti gunung dan naga melainkan seperti bukit dan ular!

Melihat suasana sudah mulai panas di antara dua orang kepercayaan dari dua golongan itu, diam-diam An Lu Kui menjadi girang. Sebagai golongan ke tiga tentu saja dia suka sekali melihat perpecahan antara dua wakil golongan saingannya itu. Akan tetapi dia pun merasa khawatir kalau-kalau dua orang itu akan bertempur.

Pada masa itu, dia justru membutuhkan tenaga golongan-golongan saingannya ini untuk mencapai cita-citanya, yakni pertama-tama menindas pemberontakan rakyat, dan kedua untuk mencari Lu Pin dan harta pusaka kerajaan. Setelah dua hal ini tercapai dan beres, baru dia akan mencari jalan untuk menggulingkan kedudukan dua golongan saingannya itu. Dari sini saja dapat dilihat bahwa An Lu Kui benar-benar cerdik sekali.

Ia melompat di antara kedua orang itu dan menjura sambil berkata,

“Pada waktu rumah tangga aman dan tentram, saudara-saudara saling bercakaran masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau rumah tangga sedang terancam bahaya kebakaran, semua saudara harus bersatu padu memadamkan api! Demikianlah ujar-ujar kuno yang baik sekali kita ingat selalu. Oleh karena itu, harap Ji-wi suka bersabar dan mengingat bahwa kedatangan kita berkumpul di sini adalah untuk merundingkan hal-hal yang amat penting demi keselamatan negara.”

An Lu Kui masih merupakan orang yang sangat berpengaruh karena dia adalah paman dari putera mahkota. Maka Mo Beng Hosiang segera menjura dan berkata kepada Kiam Ki Sianjin.

“Kiam Ki Toyu harap sudi memaafkan pinceng kalau ada kata-kata pinceng yang kurang tepat.”

Kiam Ki Sianjin lalu berkata sambil tertawa. “Tidak apa, tidak apa! Mo Beng Suhu belum mengenal pinto dengan baik, tentu masih belum percaya.”

Suasana damai dan persahabatan dapat cepat ditimbulkan pula berkat ketangkasan dan kecerdikan An Lu Kui. Semua orang lalu duduk menghadapi meja panjang.

“Ang-ciangkun dipersilakan untuk menguraikan rencananya,” kata Kiam Ki Sianjin.

Dia menggunakan ujung lengan bajunya yang lebar untuk mengebut mukanya, mengusir hawa panas. Padahal malam hari itu udara sangat dingin. Tosu yang sombong ini masih saja ingin mendemonstrasikan kelihaiannya! Ingin dia menonjolkan diri dan menunjukkan bahwa dia bukanlah ‘orang biasa’!

Melihat sikap tosu ini, diam-diam Kwan Cu menjadi geli hatinya. Dianggapnya tosu ini bersikap ketolol-tololan, akan tetapi melihat gerakan tosu tadi, dia dapat menduga bahwa memang tosu ini memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

“Menurut hasil penyelidikan mata-mata kita,” An Lu Kui mulai bicara, “pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para petani kini makin merajalela. Semua ini adalah karena pimpinan dan dorongan dari orang-orang di dunia kang-ouw yang masih bersetia kepada pemerintah Tang yang sudah kita hancurkan. Akan tetapi, walau pun mendapat pimpinan orang-orang pandai, agaknya mereka itu tidak akan banyak berdaya kalau saja tidak ada sumber uang yang membiayai segala keperluan mereka. Mereka terdiri dari petani-petani miskin dan untuk mencukupi keperluan mereka sehari-hari, bukanlah biaya yang ringan. Kemudian mata-mata kita mendapat berita bahwa selain para hartawan yang masih setia kepada Kerajaan Tang menyumbang uang, terutama sekali biaya-biaya itu ditutup oleh sumber uang yang sangat besar, yakni bukan lain dari bekas Menteri Lu Pin sendiri!”

“Ahh, tentu harta pusaka kerajaan itu yang dipergunakannya!” teriak Kiam Ki Sianjin.

“Memang! Anjing Lu Pin itu sudah menghamburkan harta yang dibawanya lari itu untuk membiayai pemberontakan,” kata An Lu Kui marah.

“Keparat jahanam!” Mo Beng Hosiang turut memaki. “Kalau begitu berarti bahwa semua pemberontakan rakyat itu adalah atas anjuran Lu Pin yang menjadi biang keladinya.”

An Lu Kui mengangguk-angguk. “Begitulah kiranya. Memang, semenjak dulu pun sudah diketahui oleh semua orang bahwa Menteri Lu Pin merupakan menteri yang paling setia terhadap Kerajaan Tang. Seluruh keluarganya sudah binasa dalam membela Kerajaan Tang dan sampai sekarang pun ia masih ingin menegakkan Kerajaan Tang. Oleh karena itu, kurasa untuk memadamkan pemberontakan ini, cara yang paling baik adalah mencari sampai dapat menteri setan itu. Kalau dia sudah dibinasakan dan harta pusaka Kerajaan Tang bisa dirampas, kiraku tanpa dipukul, para pemberontak itu dengan sendirinya akan mengundurkan diri.”

“Akan tetapi, di manakah kita bisa mendapatkan anjing she Lu itu?” bertanya Mo Keng Hosiang atau Si Ruyung Pemecah Gunung.

“Benar, di mana kita bisa mencari dia? Sudah bertahun-tahun orang-orang kita mencari dia dengan sia-sia. Agaknya dia sudah mampus dan hartanya jatuh ke dalam tangan pemberontak.” Kata Mo Beng Hosiang.

“Tadinya aku pun mengira bahwa anjing she Lu itu sudah mampus,” An Lu Kui berkata, “akan tetapi baru-baru ini aku mendapat berita lain yang menyatakan bahwa dia tengah bersembunyi di dalam sebuah goa dan dari sanalah dia mengatur serta merencanakan semua pemberontakan para petani.”

Mendengar ini, tidak saja kedua hwesio serta Kiam Ki Sianjin menjadi sangat tertarik, bahkan Kwan Cu yang mendengar di luar juga amat tertarik. Hati pemuda ini berdebar keras dan baru sekaranglah terbuka matanya betapa gagah dan mulia adanya kongkong angkatnya, Menteri Lu Pin.

Ketika dia mendengar dari sastrawan Tu Fu, dia memang sudah merasa amat bangga akan kongkong angkatnya itu. Akan tetapi, selama ini pikirannya dipenuhi oleh keadaan suhu-nya yang meninggal dunia dikeroyok orang, maka hal menteri setia itu hampir tidak dia pikirkan lagi.

Akan tetapi sekarang, mendengar semua penuturan ini, tergerak hatinya dan dia merasa sangat kagum terhadap Menteri Lu Pin. Seluruh keluarganya sudah musnah, dia sendiri yang sudah tua sampai terlunta-lunta, dikejar-kejar, namun menteri tua yang amat setia itu masih saja berjuang melawan penjajah!

“Kongkong benar-benar luar biasa, aku harus dapat mencarinya dan membelanya,” kata Kwan Cu di dalam hati dan dia memperhatikan lagi keadaan di dalam, ingin sekali tahu di mana tempat persembunyian kakek angkatnya itu.

“Di goa manakah dia bersembunyi?” teredengar Kiam Ki Sianjin bertanya.

Suara tosu ini tinggi dan mengandung penuh gairah, karena siapakah orangnya di dalam istana itu yang tidak menjadi gairah hatinya mendengar bahwa tempat sembunyi Lu Pin telah diketemukan? Bukan dikarenakan mereka terlalu membenci menteri ini, akan tetapi semata-mata karena menteri itu membawa harta pusaka kerajaan!

Inilah yang merupakan daya penarik luar biasa. Selain harta yang dibawa Menteri Lu Pin, harta yang terdapat di dalam istana itu sudah menjadi rebutan dan sebentar saja sudah habis. Sekarang semua hati dan mata yang selalu membayangkan harta dunia, ditujukan kepada harta pusaka yang dibawa pergi oleh Menteri Lu Pin.

“Inilah yang masih harus diselidiki,” An Lu Kui menjawab sambil mengeluarkan segulung kertas. “Menurut penyelidikan, dia bersembunyi dalam sebuah goa rahasia yang terdapat di Bukit Tengkorak Raksasa. Akan tetapi di dalam peta tak terdapat bukit yang bernama demikian dan nama ini pun baru-baru ini saja muncul menjadi sebutan orang. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan mata-mata, bukit ini adanya di antara Pegunungan Tai-hang dan Pegunungan Lu-liang, agaknya tidak jauh dari lembah Sungai Fen-ho yang mengalir di situ.”

An Lu Kui lalu membuka gulungan kertas itu di atas meja dan enam orang itu lalu melihat dengan penuh perhatian.

“Pembantuku ini, Cang-ciangkun, sudah memimpin pasukan penyelidik. Cang-ciangkun, coba kau jelaskan lagi bagaimana hasil penyelidikanmu itu,” An Lu Kui berkata kepada seorang di antara dua orang panglima yang semenjak tadi tidak ikut bicara.

Panglima perang yang di sebut Cang-ciangkun itu adalah seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, berwajah kereng dan penuh brewok. Ia menarik bangkunya lebih dekat ke meja, lalu menunjuk ke arah peta itu dengan telunjuknya.

“Pasukan penyelidik yang kupimpin sudah sampai di bagian ini. Di sepanjang jalan kami mencari keterangan dan dari beberapa orang tua petani kami mendengar bahwa daerah ini dahulu sering didatangi oleh seorang pengemis tua yang aneh.”

“Ang-bin Sin-kai...,” kata Kiam Ki Sianjin perlahan.

An Lu Kui mengangguk membenarkan.

“Kemudian kami tiba di lembah Sungai Fen-ho dan di situlah kami mendengar adanya goa rahasia di Bukit Tengkorak Raksasa dan menurut keterangan beberapa orang petani yang kami paksa, daerah ini sering kali didatangi oleh orang-orang yang kelihatannya gagah dan membawa-bawa pedang dan tombak. Biar pun tak seorang pun yang pernah mendatangi Goa Tengkorak atau Bukit Tengkorak Raksasa, namun agaknya yang suka datang itu adalah para pemimpin pemberontak, sebab setelah mereka pergi lagi, menurut petani itu, mereka membawa barang-barang buntalan yang kelihatannya berat.”

Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk. “Sangat boleh jadi...”

Akan tetapi tiba-tiba dia menahan kata-katanya dan secepat kilat dia melompat ke arah jendela. Memang pada waktu itu, Kwan Cu sangat memperhatikan dan ingin sekali dia juga dapat melihat peta di atas meja itu. Maka saking tertariknya, dia melakukan gerakan yang menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit suara ini ternyata sudah dapat ditangkap oleh pendengaran Kiam Ki Sianjin yang amat tajam.

Ketika Kiam Ki Sianjin melompat ke dekat jendela terus keluar dari situ dengan gerakan Monyet Tua Melompati Cabang, lebih dulu Kwan Cu telah melompat pergi dan sebelum Kiam Ki Sianjin masuk kembali, pemuda ini telah mendahului masuk dari pintu depan. Dengan tenang dia berjalan menuju ruangan itu, disambut oleh An Lu Kui dan kawan-kawannya dengan mata terbelalak.

“Siapa... kau...…?” An Lu Kui bertanya.

Maksudnya hendak membentak marah, akan tetapi melihat cara pemuda itu yang masuk begitu saja tanpa mereka ketahui, membuat dia sangat terheran-heran dan gugup. Apa lagi ketika dia mengajukan pertanyaan itu, tubuh pemuda ini berkelebat ke arah mereka!

An Lu Kui dan kawan-kawannya bersiap menyambut. Akan tetapi tiba-tiba tubuh pemuda itu terapung ke atas kepala mereka, terus ke atas lalu sebelum menyentuh langit-langit, tiba-tiba tubuh itu berjungkir balik dan kini bagaikan seekor capung beterbangan di dalam kamar, tubuh pemuda itu menukik ke bawah dan tahu-tahu gulungan peta itu telah dapat dirampasnya!

An Lu Kui hendak menubruk, akan tetapi terlambat karena Kwan Cu sudah melompat pula dari atas meja melalui kepalanya dan kini pemuda itu telah berdiri di tengah ruangan sambil tersenyum-senyum. Ada pun peta itu lantas dia masukan ke dalam saku dengan sikap amat tenang!

Untuk sejenak, An Lu Kui beserta kawan-kawannya tercengang, karena sesungguhnya gerakan pemuda tadi luar biasa sekali. Tiada ubahnya seekor capung atau burung yang begitu ringan dan gesit. Apa bila tidak menyaksikan dengan mata sendiri sukarlah untuk mempercayai kejadian itu.

“Siapa kau yang berani mati bermain gila di sini?” kembali An Lu Kui membentak dan kini panglima ini mencabut sepasang tombaknya yang lihai.

Kwan Cu tersenyum dan menjawab, “An-ciangkun, apakah baik kabarmu? Kau sudah kelihatan tua, akan tetapi tetap saja ganas dan galak!”

Mendengar ini, An Lu kui tercengang dan tidak jadi menyerang. Sebaliknya Cang Kwan panglima brewokan itu membentak,

“Bangsat kecil, siapakah kau yang sudah bosan hidup?”

“Bangsat besar, aku bernama Lu Kwan Cu. Kalian tadi membuka mulut besar hendak menangkap kongkong-ku Lu Pin? Jangan bermimpi, Kawan!”

“Bohong besar!” seru Liong Tek Kauw panglima kedua pembantu An Lu Kui, “Aku tahu benar keadaan Menteri Lu Pin dan dia tidak mempunyai cucu yang bernama Lu Kwan Cu!”

Kwan Cu tersenyum lagi. “Tentu kau seorang panglima pengkhianat dan penjilat maka kau tahu baik akan keadaan kongkong-ku. Akan tetapi aku tidak peduli akan kata-katamu itu, pengkhianat. Pendeknya, jangan kalian bermimpi untuk menangkap Menteri Lu Pin yang setia dan gagah berani, pahlawan bangsa! Tidak seperti kalian ini, hanya kumpulan katak-katak busuk yang berbahaya.”

“Tangkap dia!” tiba-tiba An Lu Kui berseru keras. “Dia adalah bocah gundul murid dari Ang-bin Sin-kai! Aku ingat sekarang, dia memang sudah diakui cucu oleh Lu Pin!” Sambil berkata demikian, An Lu Kui lalu menyerang dengan sepasang tombaknya.

Kwan Cu mengelak tangkas sambil menyindir. “Hmm, kau sudah ingat betapa dahulu aku pernah membagi beberapa kali tamparan kepadamu, An-ciangkun?”

“Bangsat, mampuslah kau!” An Lu Kui berseru sengit dan tombaknya melakukan gerakan menyilang dari kanan kiri, hendak menggunting leher pemuda itu.

Akan tetapi, hanya dengan merendahkan tubuhnya sedikit saja, Kwan Cu sudah berhasil membebaskan diri dari ancaman, sepasang tombak itu hanya melayang melewati atas kepalanya. Cang Kwan dan Liong Tek Kauw, dua orang panglima pembantu An Lui Kui dengan marah maju menyerang dengan golok besar mereka yang menyambar-nyambar menyilaukan mata ketika terkena cahaya lampu yang terang.

“Rebahlah kalian!” bentak Kwan Cu.

Tahu-tahu, ketika dua batang golok itu sudah dekat dengan tubuhnya dari kanan kiri, dia melompat ke belakang dan sebelum dua orang panglima itu dapat menarik kembali golok mereka, dua kali berturut-turut Kwan Cu menotok dengan telujuknya dan sunggguh aneh! Dua orang panglima itu roboh dan terus bergulingan sambil mengaduh-aduh, kemudian mereka tak bergerak lagi, rebah dengan tubuh lemas tak berdaya di dekat dinding.

Kwan Cu tidak mau membuang banyak waktu. Ketika dia melihat An Lu Kui tercengang, dia cepat menggerakkan kakinya, melompat sambil menendang dua kali ke arah tangan panglima itu. Terdengar suara keras ketika sepasang tombak itu terlepas dari pegangan An Lu Kui dan terlempar jauh ke atas lantai mengeluarkan suara nyaring.

An Lu Kui masih mencoba untuk mengelak ketika tangan Kwan Cu menyambar, namun terlambat. Pundaknya kena ditepuk sehingga panglima ini jatuh terduduk dengan tubuh lemas dan setengah tubuhnya sebelah kanan terasa lumpuh!

Pada saat itu, terasa angin pukulan menyambar dari depan dan belakang. Kiranya dua orang hwesio itu sudah turun tangan.

Tadi mereka hanya menonton saja karena memang sebetulnya di dalam hati mereka, dua orang hwesio ini tidak suka kepada An Lu Kui dan mencurigainya. Akan tetapi, setelah melihat An Lu Kui dan dua orang pembantunya telah roboh, mereka tidak mau tinggal diam dan segera menyerang.

Mo Beng Hosiang Si Tangan Kilat menyerang dengan kedua tangannya yang jari-jarinya dibuka, melakukan pukulan hebat sekali sesuai dengan julukannya. Ada pun Mo Keng Hosiang Si Ruyung Pemecah Gunung sudah menyerang dengan ruyungnya yang aneh. Joan-pian (ruyung lemas) itu merupakan rantai pendek yang ujungnya sudah dipasangi bola baja sebesar kepalan tangan dan digerakkan dengan ayunan keras menghantam punggung Kwan Cu.

Pemuda ini terkejut sekali melihat datangnya serangan yang memang hebat sekali ini. Dengan tangan kirinya dia menangkis pukulan Mo Beng Hosiang sehingga hwesio itu terhuyung ke belakang. Bola baja di ujung joan-pian yang dipakai menyerang oleh Mo Keng Hosiang hampir saja mengenai sasarannya, yakni punggung Kwan Cu.

Pemuda ini yang maklum menghadapi lawan-lawan tangguh, cepat mencabut sulingnya sambil mengelak dengan gerakan Kong-ciak Kai-peng (Merak Membuka Sayap) hingga serangan senjata Mo Keng Hosiang lewat di atas punggung serta kepalanya. Sekaligus Kwan Cu menyerang Mo Beng Hosiang yang sudah maju lagi itu dengan sulingnya.

Mo Beng Hosiang bukan seorang lemah, dia memiliki ilmu pukulan yang di sebut Pek-lek Sin-jiu (Tangan Geledek Sakti). Menghadapi pukulan suling yang meski pun dilakukan secara perlahan akan tetapi telah dapat dia duga kehebatannya itu, dia cepat menampar dengan tangan kanannya. Jari-jari tangan kanan ini menegang dan kaku laksana baja. Tamparannya dilakukan keras luar biasa dengan maksud membuat suling itu remuk atau terlepas dari pegangan Kwan Cu.

Namun pemuda ini sudah mempunyai kepandaian yang tak dapat diukur tingginya. Baru melihat sekali saja dia sudah tahu ke mana tamparan itu di arahkan. Maka, sebelum tamparan itu datang, sulingnya sudah ditarik ke bawah dan tangan kirinya yang tadi dia pentang, memukul ke depan sambil tubuhnya diputar sedemikian rupa, dan cepat sekali sebelah kakinya menendang ke arah Mo Keng Hosiang!

Bukan main hebatnya serangan ini dan amat indah pula gerakannya sehingga terdengar pujian, “Bagus sekali!”

Yang memuji ini adalah Kiam Ki Sianjin yang berdiri menonton saja. Seperti sikap Bu-eng Siang-hiap saat menonton pertempuran antara Kwan Cu dengan An Lu Kui bersama dua orang pembantunya, kini Kiam Ki Sianjin juga menonton saja, enggan membantu kedua orang hwesio itu yang memang tidak disukainya.

Namun diam-diam dia sangat memperhatikan gerakan pemuda aneh itu dan makin lama kedua mata tosu ini semakin terbelalak lebar karena selama hidupnya belum pernah dia menyaksikan ilmu silat demikian anehnya seperti yang sedang dimainkan oleh pemuda pemegang suling itu!

Kiam Ki Sianjin adalah seorang kang-ouw yang ulung dan banyak pengalaman. Sudah banyak dia melihat ilmu silat tinggi-tinggi dan serba aneh. Bahkan dia mampu mengenal ilmu silat dari lima tokoh besar dunia persilatan, yakni ilmu-ilmu silat dari Ang-bin Sin-kai, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, dan Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi belum pernah dia melihat ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda ini.

Tadi dia telah mendengar seruan An Lu Kui bahwa pemuda ini adalah murid dari Ang-bin Sin-kai dan memang betul, gerakan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang dari Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi setelah dia perhatikan, ternyata banyak sekali perbedaannya.

Pemuda ini bergerak seenaknya saja seperti bukan orang main silat, lebih patut disebut main-main saja, seperti seorang pemuda tidak becus main silat yang berpura-pura mau bermain silat. Akan tetapi, semua gerakannya menghindarkan diri dari serangan kedua lawannya tepat sekali dan biar pun gerakannya ketolol-tololan, akan tetapi bukan main hebatnya.

Apa lagi setelah dia memperhatikan dan melihat betapa pemuda itu kini bersilat tepat seperti ilmu silat yang dimainkan oleh kedua lawannya, Kiam Ki Sianjin menjadi bengong! Setiap kali diserang oleh Mo Beng Hosiang, pemuda itu melayani hwesio tangan kilat itu dengan ilmu silat yang sangat mirip dengan Pek-lek Sin-jiu! Ada pun apa bila Mo Keng Hosiang yang menyerang, pemuda ini juga menghadapinya dengan ilmu silat tepat sama seperti yang dimainkan oleh Ruyung Pemecah Gunung itu.

“Iblis muda dari manakah dia? Ilmu silat apa yang telah dia pelajari?” Demikian Kiam Ki Sianjin bertanya-tanya di dalam hatinya sendiri.

Tosu yang cerdik itu sengaja tidak mau turun tangan lebih dulu. Bukan saja karena dia memang tak suka untuk membantu dua orang hwesio kepercayaan putera mahkota yang diam-diam dimusuhi pula oleh muridnya, yaitu Si Su Beng, akan tetapi juga dia hendak mempelajari terlebih dahulu gerakan pemuda itu untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaiannya supaya nanti kalau dia harus menghadapi pemuda itu, dia sudah dapat mengetahui cara bagaimana harus melawannya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)