PENDEKAR SAKTI : JILID-36
Terdorong oleh kejujurannya, lagi pula karena dia melihat bahwa Sui Ceng juga seorang gadis jujur, dia lalu memberanikan diri, menekan hatinya yang berguncang, lalu berkata dengan gagahnya.
"Kenapa aku gembira dapat menikah dengan engkau? Sui Ceng, karena aku... aku cinta kepadamu!"
Sui Ceng bengong. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini terus terang, tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan isi hatinya, mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi dia lalu teringat akan sesuatu dan mukanya menyatakan kemarahan.
"Kwan Cu, bagus benar watakmu! Bukankah kau sudah tahu bahwa aku ini tunangan The Kun Beng?"
"Memang aku sudah tahu," kata Kwan Cu mengangguk.
"Dan kau masih berani menyatakan cin... cinta... padaku?"
"Mengapa tidak?"
"Kau mengkhianati Kun Beng yang kau anggap kawan sendiri!"
Kwan Cu mengangguk. "Memang, akan tetapi kalau aku tidak berterus terang, bukankah itu berarti aku mengkhianati hati sendiri? Lagi pula, terus terang saja kukatakan bahwa Kun Beng tidak berharga untuk menjadi suamimu!"
Makin terheranlah gadis itu dan untuk kedua kalinya ia bengong. Kemudian ia bertanya dengan bibir tersenyum mengejek, "Hmm, dan kau pikir bahwa kaulah orang yang paling berharga untuk menjadi... menjadi suamiku?"
Kwan Cu mengangguk. "Memang, begitulah pikiranku."
Sui Ceng membanting-banting kakinya. "Kau sungguh kurang ajar sekali, Kwan Cu. Kau besar mulut! Kalau ada pedang di tanganku, tentu kau akan kuserang!"
"Kau sudah melakukan hal itu di atas perahu."
"Ya, akan tetapi terganggu, belum sampai aku menusuk dadamu."
“Kau ingin sekali membunuhku?"
"Ya, jika kau begitu sombong, begitu kurang ajar, dan begitu rendah budi memburukkan nama orang lain di depanku."
"Dengan ang-kin-mu itu pun kau dapat melakukan pembunuhan terhadapku, Sui Ceng. Mengapa kau tidak lakukan hal itu?"
Sui Ceng tertegun. "Selain sombong... kau… kau…"
“Ya...?"
"Kau juga tabah sekali. Kau orang aneh, dan agaknya kau sudah miring otakmu." Setelah berkata demikian, Sui Ceng lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Kwan Cu.
Kwan Cu mengangkat kedua tangan, meraba-raba kepalanya sendiri dan menggerutu.
"Benar-benarkah otakku telah miring? Kenapa aku begini tergila-gila setelah melihatnya? Ahh... jangan-jangan otakku sudah miring benar-benar... "
Sambil menggerutu dan mengeluh panjang pendek, Kwan Cu pergi dari situ. Ia langsung menuju bukit di mana terdapat Goa Tengkorak, tempat bersembunyi kongkong-nya, yaitu Menteri Lu Pin…..
********************
Di dalam Goa Tengkorak yang menyeramkan itu terdengar suara orang menangis.
"Kongkong, aku bersumpah untuk membasmi keturunan An Lu Shan manusia jahanam itu!” Terdengar orang yang menangis itu berkata dan suaranya lebih menyeramkan lagi karena bergema di dalam goa yang besar penuh tengkorak-tengkorak raksasa itu.
Orang ini adalah Lu Kwan Cu yang sudah berhasil mendapatkan Goa Tengkorak di mana kongkong angkatnya telah meninggal dunia. Pada waktu memasuki goa, Kwan Cu belum mengetahui bahwa Menteri Lu Pin telah meninggal dunia, tetapi sesudah dia membaca tulisan berukir di dinding, mencabut pedang Liong-coan-kiam, lalu menuju ke hio-louw, ia melihat makam kongkong-nya itu dan menangislah dia. Hatinya amat terharu.
Mereka itu dua saudara yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan. Lu Sin dan Lu Pin. Keduanya adalah orang-orang yang sangat dijunjung tinggi dan dikasihi oleh Kwan Cu. Sekarang keduanya tewas karena membela kebenaran, membela negara dan bangsa. Dan hanya dia seoranglah yang berkewajiban membalas dendam, atau lebih tepat lagi berkewajiban melanjutkan cita-cita mereka berdua.
Kwan Cu kemudian meninggalkan goa itu sesudah menutupi goa itu dengan batu-batuan dan alang-alang seperti yang dilakukan oleh Sui Ceng dulu. Hati dan pikirannya penuh cita-cita, dan tiba-tiba saja dia merasa sebagai seorang yang memanggul banyak macam tugas kewajiban.
Pertama-tama, ia akan membalas dendam kepada para pembunuh Ang-bin Sin-kai, yaitu Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin beserta para pembantu mereka. Ke dua, dia akan mencari keluarga An Lu Shan dan akan membunuh mereka semua, sesuai dengan pesan kongkong-nya, Menteri Lu Pin. Dan urusan ke tiga, dia juga harus mencari Kun Beng dan Swi Kiat, untuk memenuhi permintaan Gouw Kui Lan, gadis yang bernasib malang itu.
Berpikir tentang Kun Beng dan Swi Kiat, Kwan Cu teringat akan Bun Sui Ceng. Hatinya berdebar kalau dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu beberapa hari yang lalu. Sui Ceng benar-benar sudah menjadi seorang gadis yang melampaui keindahan gadis dalam mimpinya.
Ia benar-benar jatuh hati kepada gadis itu, dan hatinya perih kalau teringat bahwa gadis itu telah ditunangkan dengan Kun Beng. Bukan perih karena cemburu atau iri, melainkan karena dia mendapat kenyataan batwa Kun Beng bukanlah seorang pemuda yang patut menjadi suami Sui Ceng. Bukankah Kun Beng telah melakukan hal yang sangat rendah terhadap Gouw Kui Lan?
Tidak boleh! Kun Beng tidak seharusnya menjadi suami Sui Ceng. Dia akan mencegah terjadinya perjodohan itu! Kasihan kepada Kui Lan, juga kasihan kepada Sui Ceng.
Dengan cepat Kwan Cu melakukan perjalanan menuju ke kota raja karena dia hendak menyelidiki betul-betul di mana dia dapat mencari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan semua musuh yang lain. Dia teringat kepada Lu Thong, cucu kongkong-nya yang berhati khianat itu.
Dia akan mempergunakan kekerasan dan memaksa Lu Thong mengaku di mana adanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Juga dia akan mengunjungi An Kong putera An Lu Kui. Kali ini dia akan membunuh orang ini, juga An Lu Kui, karena mereka ini adalah keluarga An Lu Shan juga.
Semenjak Kwan Cu menyerbu ke kota raja serta berhasil menolong Kui Lan keluar dari gedung An Kong, tembok kota raja lalu dijaga makin keras. Jangankan manusia biasa, seekor burung pun agaknya tidak mungkin lewat di atas tembok kota raja tanpa terlihat oleh para penjaga yang jumlahnya amat banyak dan selalu melakukan penjagaan secara bergilir.
Akan tetapi Kwan Cu bukanlah manusia biasa, juga bukan burung yang tidak mempunyai akal budi. Dengan gerakannya yang amat gesit, Kwan Cu dapat melewati penjagaan dan melompat ke atas tembok, mempergunakan kegelapan malam sehingga dia dapat masuk ke kota raja tanpa terlihat oleh siapa pun juga.
Ternyata bahwa di dalam kota raja telah terjadi perubahan besar. Di antara mereka yang bersaingan merebutkan kedudukan, Si Su Beng kawan pemberontak An Lu Shan sudah berhasil membunuh putera An Lu Shan yang dulu membunuh ayahnya sendiri. Kemudian Si Su Beng juga berhasil menduduki tempat tertinggi. Hal ini adalah berkat bantuan para jagoannya, terutama sekali berkat bantuan Kiam Ki Sianjin, tosu yang berjuluk Pak-kek Sian-ong itu.
Meski diam-diam An Lu Kui dan kaki tangannya menaruh hati dendam karena pangeran yang terbunuh itu adalah keponakannya sendiri, namun An Lu Kui tidak berani berbuat sesuatu. Hanya diam-diam dia mengumpulkan kawan-kawannya dan mencari jalan untuk merampas kembali kedudukan ‘Yang Dipertuan’ di Kerajaan Tang yang sudah dirampas itu.
Malam itu gelap dan dingin sekali hawanya. Kwan Cu pertama-tama segera menuju ke rumah gedung di mana tinggal An Kong, pangeran botak putera An Lu Kui yang dahulu pernah diserbunya ketika dia menolong Gouw Kui Lan. Baginya An Kong juga keturunan atau keluarga An Lu Shan, maka patut dibinasakan. Lagi pula, manusia macam An Kong itu memang sudah pantas jika menerima hukuman mati, karena selama hidupnya hanya mengotorkan dunia serta melakukan kejahatan dan kekejian belaka.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, Kwan Cu berhasil mengintai ke dalam. Di ruangan tengah ia melihat An Kong tengah bercakap-cakap dengan dua orang perwira yang telah dikenalnya sebagai panglima-panglima pembantu An Lu Kui yang dulu sudah pernah dia kalahkan. Mereka itu adalah Cang Kwan yang berwajah brewok dan Liong Tek Kauw, dua orang panglima yang mempunyai kepandaian tinggi, akan tetapi yang bagi Kwan Cu bukan apa-apa.
Melihat An Kong, bangkit amarah di dada Kwan Cu, karena tidak saja pangeran botak ini mengingatkan dia akan Kui Lan yang bernasib malang, akan tetapi dia juga teringat akan keluarga Lu yang terbinasa karena kekejaman keluarga An.
"An Kong anjing botak, aku datang untuk mengambil nyawamu!" kata Kwan Cu sambil melayang ke bawah.
Tadi ketika mengintai, dia mempergunakan dua kakinya dikaitkan pada balok melintang di bawah genteng. Kini tubuhnya melayang bagaikan seekor garuda menyambar.
An Kong dan dua orang panglima itu terkejut sekali. Pangeran botak ini cepat mencabut cambuk dan kebutannya, dan melihat bahwa yang datang adalah pemuda yang pernah merobohkannya dan merampas Kui Lan yang membuatnya tergila-gila, dia marah sekali.
"Bagus, kau datang mencari mampus!" serunya dan sebelum tubuh Kwan Cu tiba di atas lantai, kebutan dan cambuknya sudah menyambar dari kanan kiri.
Tapi kali ini kedatangan Kwan Cu bukan untuk main-main atau menguji kepandaiannya. Dia datang dengan maksud membunuhi musuh-musuh besar yang membuat Menteri Lu Pin sekeluarga terbinasa secara sia-sia.
Begitu melihat kebutan dan cambuk melayang dari kanan kiri, dengan sekelebatan saja ia telah melihat dari pundak orang ke mana arah tujuan serangan ini. Setelah menguasai pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, tingkat kepandaian pemuda ini memang tak bisa diukur lagi tingginya. Ia sudah mengetahui semua pokok dasar segala macam serangan ilmu silat. Maka, menghadapi serangan dari An-kong ini, dia telah tahu bagaimana untuk melayaninya.
Dengan tangan kirinya, dia mempergunakan gerak tipu Kong-ciak Siu-po (Burung Merak Sambut Mustika), yakni sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya sendiri Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak). Dalam sekejap mata, sebelum An Kong tahu apa yang telah terjadi, cambuknya telah kena dirampas oleh tangan kiri Kwan Cu.
Pemuda sakti ini tidak berhenti sampai di situ saja. Dan pada saat kedua kakinya sudah menginjak lantai, tangan kanannya lantas bergerak melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut, menghantam ke arah kebutan yang memukul dari kanannya.
“Krakk!"
Terdengar kebutan itu patah berikut tulang lengan An Kong, lalu disusul oleh menjeritnya pangeran botak itu yang terlempar ke belakang kemudian jatuh sambil mengerang-erang kesakitan.
"Kau kejam sekali! Ada permusuhan apa di antara kau dan aku maka datang-datang kau menjatuhkan tangan maut?" teriak An Kong sambil memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tidak saja dia terheran-heran dan sangat kagum, akan tetapi dia juga amat ketakutan melihat sinar mata Kwan Cu yang tajam berpengaruh.
"Ingat saja apa yang sudah terjadi dengan keluarga Lu. Kau sebagai keluarga An harus mati."
Setelah berkata demikian, dari tempat ia berdiri, Kwan Cu mengarahkan pukulan kepada pangeran botak itu. Biar pun jarak antara mereka ada dua tombak, dan tangan Kwan Cu tak pernah menyentuh dada An Kong, namun pangeran ini menjerit dan tewas pada saat itu juga karena hawa pukulan Pek-in Hoat-sut yang keluar dari pukulan tangan Kwan Cu telah menghancurkan isi dadanya!
Untuk sesaat, dua orang perwira pembantu An Lu Kui berdiri bengong dan tidak mampu berkata-kata. Akan tetapi melihat pangeran itu rebah miring tak bernapas lagi, mereka menjadi marah dan segera menyerbu dengan senjata di tangan.
Kwan Cu tentu saja tidak gentar, akan tetapi dia pun tak sudi melayani orang-orang yang tidak ada sangkut paut dengan urusannya. Sekali tubuhnya bergerak, dua orang perwira itu sudah roboh tertotok. Mereka sendiri tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.
Memang, dengan penglihatannya yang sudah luar biasa, lagi pula karena dia mempunyai gerakan cepat sekali, Kwan Cu telah mendahului mereka dan sebelum serangan mereka sampai dia telah menotok mereka dengan kedua tangannya.
Kwan Cu menyeret tubuh Cang Kwan, si panglima brewok. Dijambaknya rambutnya dan diberdirikan, lalu dibebaskannya dari totokan.
"Hayo katakan, di mana adanya An Lu Kui?" bentaknya sesudah orang itu terbebas dari totokan.
Cang Kwan gemetar ketakutan. Ia adalah seorang panglima yang sudah memiliki banyak pengalaman bertempur dan kepandaiannya boleh dibilang telah menduduki tempat yang cukup tinggi. Akan tetapi dalam tangan pemuda ini, dia tak lebih seperti seorang bocah yang bodoh dan canggung saja.
"An-ciangkun berada di gedungnya sendiri," jawabnya perlahan.
"Di manakah itu? Hayo kau antar aku!"
Kwan Cu mengempit tubuh yang tinggi besar itu bagaikan seorang dewasa mengempit sebuah boneka, lalu tubuhnya berkelebat keluar dari ruangan itu terus melayang naik ke atas genteng. Atas petunjuk Cang Kwan, mereka kemudian tiba di atas sebuah gedung yang angker di dalam lingkungan bangunan-bangunan istana.
"Kau panggil An Lu Kui naik, lekas jika minta nyawamu selamat!" Kwan Cu mengancam perlahan.
Karena sudah tidak berdaya dalam kempitan pemuda sakti ini, Panglima Cang Kwan lalu berteriak, suaranya parau memecah kesunyian malam.
"An-ciangkun, harap kau suka keluar, siauwte menanti di atas genteng. Penting sekali!" teriaknya.
Hening sesaat, kemudian terdengar suara orang dari bawah genteng, terheran-heran.
"Eh, eh, ehh, bukankah yang di atas itu Cang-ciangkun? Kenapa tidak turun saja?" itulah suara An Lu Kui, dan tak lama kemudian nampak bayangan orang di bawah genteng.
Kwan Cu melemparkan tubuh Cang Kwan ke bawah dan dia sendiri kemudian melompat menyusul. Karena tadi sudah berjanji hendak mengampuni nyawa panglima itu, Kwan Cu mendahului sampai di tanah dan dengan sebelah kaki dia menendang tubuh yang jatuh itu, mencegah tubuh itu terbanting hancur. Akan tetapi tendangan ini pun cukup membuat Cang Kwan pingsan untuk beberapa lama.
Ada pun An Lu Kui ketika melihat siapa orangnya yang datang bersama Cang Kwan, menjadi terkejut sekali dan hendak berlari masuk. Namun dia kalah cepat dan dengan sebuah pukulan tangan kiri, Kwan Cu membuat An Lu Kui roboh terguling dengan tulang iga patah-patah!
"lnilah pembalasan dari keluarga Menteri Lu Pin yang sudah binasa oleh keluargamu!" kata Kwan Cu.
Melihat panglima itu masih bergulat dengan maut, pemuda ini tidak tega dan sekali dia mengerahkan tenaga Pek-in Hoat-sut memukul ke arah An Lu Kui, panglima itu tewas tanpa banyak penderitaan lagi.
Tiba-tiba berkelebat empat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Kwan Cu telah dikurung oleh empat orang kakek. Tiga orang di antara mereka adalah tosu-tosu yang berjenggot panjang.
Kwan Cu segera mengenal bahwa seorang di antara tiga tosu itu bukan lain adalah Kiam Ki Sianjin yang lihai, dan tosu ke dua dia masih ingat adalah Pek-eng Sianjin, ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang dulu pernah dibasmi oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai. Yang seorang lagi ialah seorang hwesio berkepala gundul dan bertubuh gemuk. la tidak kenal siapa adanya hwesio ini dan tidak kenal pula tosu ke tiga, akan tetapi sikap mereka menunjukkan bahwa mereka pun memiliki kepandaian tinggi.
"Eh, ehh, ehh, dia sudah membunuh An-ciangkunl" Kiam Ki Sianjin berseru kaget. "Anak muda, bukankah engkau adalah murid Ang-bin Sin-kai yang bernama Lu Kwan Cu, yang dulu pernah menyerbu di istana?”
Kwan Cu berdiri tenang dan tersenyum. "Benar, Kiam Ki Sianjin. Sekarang engkau dan kawan-kawanmu datang apakah hendak menangkap aku?"
Empat orang kakek itu saling pandang dan tertawa. Mereka kagum sekali melihat sikap pemuda yang amat tenang dan tabah itu. Kiam Ki Sianjin juga tertawa.
"Bagus, bagus. Kau bahkan telah mewakili kami membunuh orang yang mempunyai hati khianat ini. Marilah ikut kami dan kita bicara dengan jelas di tempat terang."
Sebetulnya Kwan Cu tidak mempunyai kepentingan dengan mereka, akan tetapi melihat Pek-eng Sian-jin, perutnya sudah menjadi panas. Inilah seorang di antara mereka yang mengeroyok gurunya, Ang-bin Sin-kai. Hal ini dia dengar dari pujangga Tu Fu.
Maka, seketika itu juga dia memiliki niat hendak menewaskan tosu musuh besar gurunya itu pula. Oleh karena itu, tanpa banyak kata lagi dia lalu mengikuti empat orang kakek itu menuju ke sebuah bangunan yang paling tinggi di antara semua bangunan di situ.
Ruang depan bangunan ini amat lebar dan ke situlah Kiam Ki Sianjin mengajaknya pergi. Kwan Cu mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi matanya melirik ke arah Pek-eng Sianjin dengan penuh kebencian.
"Orang muda she Lu, apakah kau membunuh An-ciangkun atas suruhan Pangeran Lu Thong?” Kiam Ki Sianjin bertanya setelah mempersilakan pemuda itu duduk menghadapi meja bundar yang terukir indah.
"Aku tidak mempunyai hubungan dengan Lu Thong. Aku membunuh An Lu Kui dan juga An Kong, karena aku sudah bersumpah untuk membasmi semua keluarga jahanam An Lu Shan dan para kaki tangannya."
"Hemm, kau benar sekali, orang muda. Memang keluarga An amat jahat dan palsu, oleh karenanya kami juga memusuhi mereka. Keluarga An sudah kami lenyapkan semua, tapi sayang sekali masih ada seorang lagi yang sempat melarikan dirinya. Dialah keturunan terakhir dari An Lu Shan."
"Siapakah dia?" Kwan Cu mendesak sebab dia memang amat tertarik mendengar bahwa masih ada keturunan An Lu Shan yang masih hidup.
“Namanya An Kai Seng, entah dia kini berada di mana. Akan tetapi dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan mempunyai banyak kawan-kawan."
"Aku pasti akan mendapatkannya!" kata Kwan Cu tegas.
"Bagus, kau memang seorang patriot sejati. Memang penindas rakyat harus diberantas semua sampai habis!" kata Kiam Ki Sianjin yang merasa dirinya amat cerdik telah dapat mempergunakan tenaga Kwan Cu secara tidak langsung untuk membasmi orang-orang yang mengancam kedudukan Si Su Beng, yakni raja baru yang menjadi majikannya!
Sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, Si Su Beng berhasil merebut tahta dan menduduki tempat tertinggi di istana, memegang kekuasaan terbesar. Karena ia maklum bahwa keluarga An Lu Shan tentu akan menaruh hati dendam, diam-diam Si Su Beng menyuruh Kiam Ki Sianjin mencari jalan untuk membasmi saja semua orang yang dapat mendatangkan ancaman bagi kedudukannya. Kini berjumpa dengan Kwan Cu, dengan cerdik Kiam Ki Sianjin sengaja mengobarkan api di dada Kwan Cu dan merasa diri amat pandai.
Akan tetapi, alangkah kagetnya pada waktu dia melihat Kwan Cu berdiri dan pemuda ini tertawa bergelak.
"Kiam Ki Sianjin, monyet tua! Lidahmu yang tidak bertulang itu menyemburkan kata-kata yang tidak lebih harum dari pada kentut busuk! Orang semacam kau ini tahu apa akan perjuangan membela rakyat? Kau sendiri menjadi kaki tangan raja penjajah, menindas rakyat. Tidak malukah kau sebagai seorang Han? Hah, benar-benar memualkan perutku! Aku sendiri tidak ada urusan denganmu, akan tetapi tunggu saja kau akan pembalasan rakyat! Penjajah pasti akan terusir semua dari tanah air dan bila aku telah menyelesaikan tugas-tugasku, aku pun akan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah asing dan memberi hukuman kepada pengkhianat-pengkhianat bangsa macam engkau ini!"
Kiam Ki Sianjin menjadi pucat mukanya, demikian pula kawan-kawannya. Bukan karena takut terhadap ancaman Kwan Cu, melainkan karena marah mendengar omongan yang setidaknya menikam ulu hati itu.
"Bangsat bermulut lancang! Kau kira bisa demikian enak saja menghina kami dan dapat keluar dengan kepala utuh dari sini? Kau mencari mampus sendiri!"
Kwan Cu tertawa mengejek. "Siapa takut padamu? Aku bahkan hendak bicara lebih dulu dengan babi kurus Pek-eng Sianjin yang berdiri di sana itu!"
Dia melangkah maju dan menghadapi Pek-eng Sianjin yang berdebar-debar jantungnya. "Pek-eng Sianjin, mengakulah! Apakah dahulu kau ikut pula mengeroyok suhu Ang-bin Sin-kai sehingga suhu mengalami kebinasaan?"
"Pinto… (aku) pinto tidak tahu apa-apa " jawab tosu itu dengan gugup.
Memang dia sudah mendengar akan kelihaian pemuda murid Ang-bin Sin-kai ini, maka dia sudah merasa gentar sekali.
“Hemm, ternyata kau bernyali tikus! Akan tetapi kau mengaku atau tidak, bagiku sama saja. Kau mesti mampus! Kau, Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, dan yang lain-lain!"
"Lu Kwan Cu, kau bermulut besar!" Kiam Ki Sianjin membentak marah. "Kau bersikap seakan-akan kau merupakan tuan rumah di sini. Kau tamuku dan kau harus tahu sopan santun. Orang muda macam engkau ini hendak membunuh tokoh-tokoh besar yang kau sebutkan tadi? Ha-ha-ha, kau seperti katak dalam sumur. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!"
Ada pun Pek-eng Sianjin ketika mendengar dan melihat sikap Kiam Ki Sianjin, segera teringat bahwa dia sudah berlaku pengecut sekali, maka dengan muka merah dia pun berkata,
“Anak muda, biar pun aku tidak ikut turun tangan ketika gurumu mampus, aku hadir pula di sana. Habis kau mau apakah?" Sambil berkata demikian, Pek-eng Sianjin mencabut pedangnya dan bersikap gagah.
"Nanti dulu, Pek-eng Toyu. Pinto yang menjadi tuan rumah, jadi pinto pula yang berhak memberi hajaran kepada pemuda kurang ajar ini!" Kiam Ki Sianjin mencegah.
Dia lalu melangkah maju menghadapi Kwan Cu dengan sikap menantang. "Lu Kwan Cu, apakah kau berani menerima tantanganku sebagai tuan rumah di sini? Mari kau layani aku barang sepuluh jurus atau kalau kau tidak berani, kau harus minta maaf kepada kami dan kau boleh pergi. Kami akan memberi ampun kepadamu mengingat bahwa kau sudah berjasa membinasakan keluarga An yang menjadi musuh kami pula."
Kwan Cu marah sekali, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. la bersikap tenang karena maklum bahwa dia sedang menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.
"Kiam Ki Sianjin! Kita pernah bertemu sekali dan pedangmu telah kupatahkan. Apakah kau masih ada muka untuk mencoba kepandaianku pula? Ingat, kali ini bukan pedangmu yang akan kupatahkan, mungkin lehermu yang panjang itu! Urusanku dengan keluarga An tiada sangkut-pautnya denganmu, juga urusanku dengan Pek-eng Sianjin. Aku tidak hendak bermusuhan denganmu di sini, kecuali aku membantu perjuangan rakyat dan kau menjilati pantat raja asing! Akan tetapi kalau kau masih penasaran akan kepandaianmu sendiri yang masih dangkal, marilah, aku akan melayani segala macam lagu yang ingin kau nyanyikan!"
Kiam Ki Sianjin sudah maklum bahwa ilmu silat pemuda itu lihai sekali, bahkan dengan pedang hitamnya, dia pun tak berhasil mengalahkan pemuda ini ketika dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Kwan Cu di ruang pertemuan istana. Karena itu kini dia berlaku cerdik dan hendak mencegah Kwan Cu mengeluarkan ilmu-ilmu pukulan yang aneh-aneh itu. Ia menyambar sebuah meja pada kakinya dan berkata,
"Kita memang tidak mempunyai alasan untuk saling bunuh. Mari kita mencoba-coba saja kepandaian menggunakan meja ini. Kau pilihlah sebuah meja sebagai senjata!"
Kiam Ki Sianjin sengaja memilih senjata yang aneh dan kaku ini karena sesungguhnya dia telah mempelajari dengan baik cara menggunakan meja, bangku atau kursi sebagai senjata, yakni untuk menjaga serangan tiba-tiba ketika dia tidak bersiap dengan senjata tajam. Dia telah melatih diri dan menciptakan bermacam ilmu silat tinggi dengan perabot rumah tangga ini, maka sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan baik ini untuk memuaskan penasaran hatinya, hendak membalas kekalahannya dengan senjata meja yang bagi orang lain tentu kaku akan tetapi baginya menguntungkan itu. Dia sudah siap dengan sindiran-sindiran dan menyatakan bahwa lawannya takut kalau saja Kwan Cu akan menolak penggunaan senjata yang aneh itu.
Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang sudah menguasai segala macam pokok dasar ilmu silat yang dia pelajari dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Maka sambil tersenyum dia menyambar sebuah meja pada kakinya pula dan berkata,
"Baik, Kiam Ki Sianjin. Aku menerima tantanganmu!"
Pemuda ini lalu menoleh kepada Pek-eng Sian-jin dan berkata, "Tosu siluman, biarlah kau bernapas lega untuk beberapa lama, karena nyawamu masih diperpanjang sebentar lagi!"
"Jangan banyak mengobrol, lihat senjata!” Kiam Ki Sianjin membentak sambil mengayun mejanya, mulai dengan serangan yang amat ganas dan hebat.
Kwan Cu terkejut. Tidak disangkanya bahwa dengan sebuah senjata seperti itu, Kiam Ki Sianjin dapat melakukan serangan yang benar-benar hebat sekali, tidak kalah hebatnya dengan serangan senjata tajam yang lain.
Ia cepat melompat untuk menghindarkan diri, tak berani menangkis sebelum mempelajari cara Kiam Ki Sianjin melakukan penyerangannya. Meja itu mukanya bundar dan dengan memegangi kaki meja, Kiam Ki Sianjin melakukan serangan-serangan dari balik meja itu sehingga sulit pula bagi Kwan Cu untuk melihat pergerakan pundak dan paha lawannya!
Inilah yang dikehendaki oleh Kiam Ki Sianjin. Ia dapat menduga bahwa Kwan Cu tentulah awas sekali dan bisa melihat arah serangan-serangannya sebagaimana pernah dia alami ketika dia mempergunakan pedang untuk menyerang pemuda itu. Maka dia memilih meja yang bermuka bundar itu sehingga meja itu merupakan perisai dan bisa digunakan untuk mengatur siasat serangannya!
Selama belasan jurus, Kwan Cu hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya mengelak ke sana ke mari. Pukulan-pukulan dengan meja itu sungguh-sungguh hebat sekali, angin pukulannya sampai terasa oleh tiga orang kakek yang menonton pertempuran. Bahkan beberapa batang lilin yang menyala di meja lain telah padam oleh tiupan hawa pukulan itu!
Kiam Ki Sianjin adalah seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi, kiranya tidak akan kalah tinggi oleh tingkat dari kelima tokoh besar, sungguh pun namanya tidak begitu terkenal seperti nama mereka. Oleh karena itu, ketika dahulu dia dikalahkan oleh Kwan Cu, hatinya terasa sakit dan penasaran bukan main. Dia prihatin sekali karena kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau, maka semenjak saat itu, dia lalu melatih diri dengan luar biasa rajinnya, bahkan memperpanjang waktu semedhinya dan memperhebat latihan napas untuk memperkuat tenaga lweekang-nya.
Tidak aneh bahwa sekarang ketika menghadapi Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin seakan-akan seorang dengan tenaga baru. Dia memang sudah siap dan kini dengan penuh nafsu dia hendak membalas kekalahannya yang dulu.
Kwan Cu merasa kagum sekali. Gerakan tosu tua itu menurutkan gerakan ilmu silat tinggi yang lihai. Bagaimana seorang dapat menggunakan meja dengan gerak-gerak tipu yang demikian teratur baik? Tidak salah lagi, kakek ini tentu sudah menciptakan ilmu silat yang sengaja dimainkan dengan perabot rumah tangga ini.
Kwan Cu yang cerdik tidak kekurangan akal. Dia segera mengerahkan ginkang-nya dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor burung saja, melayang ke atas dan tiap kali datang serangan meja dari Kiam Ki Sianjin, Kwan Cu segera mengelak dengan lompatan tinggi sehingga kepalanya hampir mengenai langit-langit!
Dari atas barulah dia dapat melihat kepala dan pundak lawannya dan dengan demikian, dia dapat melihat macam gerakan dari serangan lawannya itu. Otaknya memang sudah menjadi tajam dan pengingat betul setelah dia membaca habis isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka sekali melompat, berarti satu kali dia mendapat sejurus ilmu silat meja itu.
Menghadapi kegesitan pemuda itu, Kiam Ki Sianjin menjadi penasaran dan juga mulai kewalahan. Mejanya tidak pernah mengenai sasaran. Ketika untuk ke sekian kalinya dia menyerang dan Kwan Cu mengelak sambil melompat ke atas, dia memburu dan cepat menghantam kedua kaki Kwan Cu yang masih berada di tengah udara.
"Roboh kau!" seru Kiam Ki Sianjin.
"Sabar, orang tua," jawab Kwan Cu.
Dengan cepat dia menggerakkan dua kakinya ke kanan kiri, dipentang untuk meluputkan kedua kaki itu dari pukulan meja yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga. Ada pun meja yang dipegang oleh tangan kanannya, lalu dipukulkan ke bawah untuk melindungi tubuhnya yang melayang turun.
"Bagus sekali!" tak terasa lagi Kiam Ki Sianjin memuji saking kagumnya melihat betapa dengan mudahnya pemuda itu lagi-lagi dapat menggagalkan serangannya.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Kiam Ki Sianjin mengeluarkan seruan tertahan ketika Kwan Cu secara mendadak membalas serangan-serangannya yang semenjak tadi dielakkan saja oleh Kwan Cu. Bukan berseru kaget dan heran karena hebatnya serangan pemuda itu, melainkan heran karena pemuda itu memainkan silat meja yang tadi dimainkannya!
Ilmu silat meja itu merupakan ciptaannya sendiri, bagaimana pemuda ini mampu meniru sedemikian baiknya? Apakah di waktu dia berlatih di dalam kamarnya, pemuda ini secara diam-diam mengintainya?
Terpaksa Kiam Ki Sianjin menangkis meja lawan dengan mejanya. Semenjak tadi, walau pun keduanya mempergunakan senjata meja yang demikian besar, belum satu kali pun juga dua meja itu bertemu. Hal ini disengaja oleh Kwan Cu yang hendak menggunakan ginkang-nya untuk dapat meneliti dan mempelajari ilmu silat lawan yang aneh. Sekarang setelah dia sendiri yang menyerang, lawannya menangkis keras. Dua meja bertumbukan di udara.
"Krakkk!"
Meja di tangan Kiam Ki Sianjin jatuh ke atas lantai. Ternyata bahwa dua kaki meja yang dipegang oleh kakek ini sudah patah dan kini tertinggal di tangannya. Juga sebuah kaki meja yang berada di tangan Kwan Cu patah, namun yang patah adalah kaki meja lain, bukan yang sedang dipegangnya sehingga ‘senjata’ itu masih berada di tangannya.
Muka Kiam Ki Sianjin merah sekali. Dia tahu bahwa dalam pertemuan meja tadi dengan cara yang amat cerdik dan tidak terlihat olehnya, Kwan Cu sudah menggunakan tangan kiri memukul meja dan berkat tenaga lweekang yang sudah matang pemuda itu berhasil mematahkan kaki meja yang dipegang oleh lawannya.
Sebenarnya, Kiam Ki Sianjin masih merasa penasaran dan hendak mencoba lagi, akan tetapi karena sudah terang bahwa meja yang dipegangnya jatuh di atas lantai, maka dia merasa malu untuk mengambilnya kembali. Terpaksa dia kemudian tersenyum pahit dan berkata,
"Lu Kwan Cu enghiong, kau benar-benar hebat. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, pinto minta pengajaran darimu."
Kwan Cu memang tidak ada niat memusuhi kakek ini. Dia tidak suka bermusuhan dan juga tidak mau mencari perkara dengan orang-orang tanpa alasan dan sebab yang kuat. Maka dia pun menjura dan berkata sungguh-sungguh, "Kiam Ki Sianjin, kepandaianmu benar-benar tinggi dan aku yang muda dan bodoh benar-benar kagum sekali. Sekarang aku mohon perkenanmu sebagai tuan rumah untuk berurusan dengan Pek-eng Sianjin. Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar lunas."
Kwan Cu lalu menoleh kepada Pek-eng Sianjin dan berkata mengejek, "Pek-eng Sianjin, marilah kita keluar dari rumah orang supaya kita dapat membereskan perhitungan!"
Pek-eng Sianjin menjadi pucat wajahnya. Dia maklum bahwa kalau Kiam Ki Sianjin saja tidak mampu merobohkan pemuda ini, apa lagi dia. Tanpa malu-malu lagi dia lalu berkata kepada Kwan Cu,
"Orang muda, kalau kau bermaksud membalas dendam atas kematian Ang-bin Sin-kai, kau telah berlaku ngawur saja bila menantang pinto. Ketahuilah bahwa sebetulnya pinto tidak menjatuhkan sebuah jari pun juga atas diri Ang-bin Sin-kai, dan yang membikin gurumu itu tewas hanyalah Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dan Toat-beng Hui-houw. Kalau tidak percaya, kau boleh bertanya kepada Kiam Ki Sianjin atau kepada siapa pun juga."
Kwan Cu merasa ragu-ragu. Tentu saja dia tidak mau menurunkan tangan kepada orang yang benar-benar tidak berdosa.
"Kiam Ki Sianjin, benarkah keterangannya itu?"
"Memang begitulah sepanjang yang pinto dengar. Akan tetapi pinto tidak menyaksikan sendiri, bagaimana pinto dapat menanggung?" jawab Kiam Ki Sianjin.
Sebetulnya, tosu ini walau pun tidak melihat sendiri, tahu bahwa memang benar Pek-eng Sianjin tidak ikut membunuh Ang-bin Sin-kai. Namun sikap Pek-eng Sianjin dianggapnya amat pengecut dan memalukan, maka dia sengaja memberi jawaban bercabang.
"Betapa pun juga, kau adalah kaki tangan para pembunuh suhu, akan tetapi aku mau percaya asal saja kau suka bersumpah bahwa kau tidak ikut mengeroyok suhu," akhirnya Kwan Cu berkata sambil memandang tajam kepada Pek-eng Sianjin.
Pucatlah muka Pek-eng Sianjin. Ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah ternama juga, kini kata-katanya tidak dipercaya oleh seorang bocah, inilah penghinaan yang amat besar. Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan yang baik.
Kalau dia menolak untuk bersumpah, dia harus menghadapi Kwan Cu dan dia tahu kalau hal itu terjadi, dia akan mendapat malu dan hinaan lebih hebat lagi. Biarlah sekarang dia menderita hinaan orang, kelak masih ada waktu untuk membalasnya, pikirnya. Dengan muka sebentar pucat sebentar merah dia lalu berkata,
"Pinto bersumpah bahwa pinto tidak ikut mengeroyok Ang-bin Sin-kai, demi kehormatan dan nama baik pinto."
Kwan Cu tertawa bergelak, hatinya puas. Memang manusia seperti Pek-eng Sianjin yang telah dia ketahui kualitasnya sebagai manusia bejat akhlak, harus diberi hajaran, biar pun dia tidak mendapat kesempatan menghajar jasmaninya, setidaknya dia sudah memberi tamparan kepada batinnya.
"Pek-eng Sianjin, baik sekali kau tadi mau bersumpah. Sebetulnya memang tak perlu kau bersumpah, karena aku dapat menduga bahwa kau juga tidak akan mampu dan berani mengeroyok mendiang guruku dengan kepandaianmu yang masih dangkal itu." Kembali Kwan Cu tertawa.
Menggigil tubuh Pek-eng Sianjin saking hebatnya gelora kemarahannya. Ia merasa telah dipermainkan dan dihina secara hebat oleh pemuda ini, maka dia berkata dengan mata bernyala-nyala,
"Lu Kwan Cu, untuk membalas hinaanmu ini, aku hendak menantangmu untuk mengadu kepandaian denganmu sebulan lagi di tempat kediamanku di Bukit Leng-san. Beranikah kau datang ke sana memenuhi tantanganku?"
Kwan Cu tersenyum menyindir. "Kau kira aku tidak tahu bahwa di sana kau tentu akan menantikan dengan kawan-kawanmu untuk mengeroyok? Akan tetapi jangan khawatir, aku pasti datang tepat pada waktunya. Kau tunggu sajalah!"
Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Pek-eng Sianjin lalu pergi dari tempat itu, juga sama sekali tidak menoleh kepada Kiam Ki Sianjin. Hatinya mendongkol sekali karena Kiam Ki Sianjin sama sekali tidak membelanya ketika dia dihina oleh Kwan Cu.
Sebelum Kwan Cu pergi, hwesio gundul yang semenjak tadi memandang semua sepak terjang Kwan Cu, segera mengebutkan lengan bajunya kemudian menghadapinya sambil tersenyum.
"Perlahan dulu, orang muda. Kau yang masih begini muda mempunyai kepandaian tinggi dan watak yang sombong pula. Benar-benarkah pendengaran pinceng bahwa kau adalah murid Ang-bin Sin-kai si pengemis itu?"
Kwan Cu melirik. Baru sekarang dia memperhatikan hwesio ini. Tubuh hwesio ini pendek bundar, bibirnya selalu tersenyum dibuat-buat dan pakaian pendetanya terbuat dari pada kain mahal dan amat mewah. Sinar matanya memandang rendah sekali, karena memang sesungguhnya hwesio ini tidak percaya apa bila pemuda sehijau ini memiliki kepandaian yang dapat mengalahkan Kiam Ki Sianjin.
"Losuhu siapakah dan ada maksud apa mengajak berbicara kepadaku?" jawab Kwan Cu acuh tak acuh, akan tetapi dia menunda kepergiannya.
Hwesio itu lalu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Kiam Ki Sianjin sambil berkata, "Kiam Ki Toyu, kau sebagai tuan rumah dan pinceng sebagai seorang tamu, telah semestinya pinceng minta perkenanmu untuk bermain-main sebentar dengan pemuda ini. Telah lama pinceng mendengar tentang kepandaian Ang-bin Sin-kai, sayang sekali sebelum mencoba kepandaiannya, dia sudah keburu meninggal dunia. Sekarang, secara kebetulan bertemu dengan muridnya di sini, pinceng ingin sekali menguji warisan ilmu silat dari pengemis itu."
Tentu saja Kiam Ki Sianjin tidak keberatan, bahkan diam-diam dia merasa girang sekali. Ia sudah tahu dan merasai kelihaian Kwan Cu, maka sekarang dia dapat melihat sampai di mana kehebatan hwesio ini, karena dalam waktu-waktu yang akan datang, dia banyak mengharapkan bantuan hwesio ini. Ia lalu memandang kepada Kwan Cu dan berkata,
"Orang muda she Lu, ketahuilah bahwa Losuhu adalah Bian Ti Hosiang dari Bu-tong-pai. Bian Ti Losuhu menyatakan hendak mengadakan sedikit permainan silat denganmu, apa kau berani menghadapinya?"
Memang Kiam Ki Sianjin orangnya cerdik. Kalau saja dia bertanya apakah Kwan Cu suka menghadapi hwesio itu, tentu saja Kwan Cu akan menyatakan tidak sudi, sebab pemuda ini memang tidak ingin bertempur dengan orang-orang yang tak ada urusan dengan dia. Akan tetapi dia sengaja bertanya apakah Kwan Cu berani menghadapi tokoh Bu-tong-pai itu, maka tidak ada jalan lain bagi pemuda itu kecuali menerima!
"Orang sudah memaksa untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja aku yang muda berterima kasih akan diberi pelajaran," jawab Kwan Cu sambil tersenyum dan menatap tajam kepada Bian Ti Hosiang.
Hwesio ini mencabut pedangnya sambil berkata, "Omitohud, hari ini pinceng benar-benar girang dapat mencoba ilmu kepandaian mendiang Ang-bin Sin-kai. Lu-sicu, keluarkanlah pedangmu yang kau sembunyikan di balik jubahmu itu."
Kwan Cu sangat terkejut. Dia memang membawa pedang Liong-coan-kiam, peninggalan dari kakeknya, Menteri Lu Pin, akan tetapi dia sengaja menyimpan pedang itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan pedang itu hanya pada waktu menghadapi musuh-musuh besarnya.
Tadi dalam menewaskan An Kong dan An Lu Kui, dia tidak perlu mengeluarkan pedang Liong-coan-kiam karena kepandaian mereka masih terlampau rendah baginya. Bila kelak dia bertemu dengan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, atau juga Toat-beng Hui-houw, barulah dia akan menggunakan Liong-coan-kiam.
Kini hwesio gemuk ini dapat mengetahui bahwa dia membawa-bawa sebatang pedang, hal itu menandakan bahwa mata hwesio ini amat tajam. Ia pun sudah pernah mendengar nama Bian Ti Hosiang dari mendiang Ang-bin Sin-kai, dan tahu bahwa dia kini sedang berhadapan dengan tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Karena itu dia cepat menjura sambil tertawa.
“Ahh, tidak tahunya boanpwe (aku yang rendah) berhadapan dengan Bian Ti Hosiang Locianpwe dari Bu-tong-pai. Kiam-hoat (ilmu pedang) dari Bu-tong-pai sudah tersohor di seluruh jagad, mana boanpwe berani mengimbangi ilmu pedang itu dengan ilmu pedang lain? Apa lagi antara boanpwe dan Locianpwe tidak terdapat permusuhan sesuatu, maka biarlah untuk main-main sebentar boanpwe mempergunakan ini."
Kwan Cu mencabut keluar sulingnya pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong. Sulingnya ini tidak dirampas oleh bajak sungai.
Mendengar kata-kata Kwan Cu, Bian Ti Hosiang diam-diam kagum akan sikap pemuda yang pandai membawa diri dan ternyata dapat bersopan santun, berbeda sekali dengan kata-kata yang ditujukan kepada Pek-eng Sianjin tadi.
Akan tetapi, di samping kekagumannya, dia juga merasa tidak enak sekali. Dia, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai yang dijuluki Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat), kini akan dihadapi oleh seorang pemuda yang hanya memegang sebatang suling bambu! Dia ragu-ragu, akan tetapi Kiam Ki Sianjin segera tersenyum berkata,
"Bian Ti Suhu, dia telah memandang rendah kepadamu, mengapa tidak lekas-lekas mulai dan membabat putus sulingnya untuk menghancurkan kesombongannya?"
Bian Ti Hosiang teringat bahwa hal ini adalah kehendak pemuda itu sendiri. Apa bila dia bergerak cepat, dalam satu dua jurus saja pasti dia akan membabat putus suling itu dan hal ini saja sudah membuktikan akan keunggulannya. Ia segera membentak keras untuk menimbulkan pengaruh lweekang-nya,
"Lu-sicu, bersiaplah menghadapi pedangku!"
Bentakan ini disusul oleh sebuah tusukan ke arah dada Kwan Cu, akan tetapi tusukan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga kalau pemuda itu menangkis, dia akan membabat suling sekuat tenaga. Inilah gerak tipu Tian-kiam Kiat-ciang (Mengulur Pedang Memotong Tangan), sebuah tipu dari Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat yang lihai.
Namun siasat ini tidak mempan sama sekali terhadap Kwan Cu karena pemuda ini sudah tahu akan maksud lawannya, sungguh pun dia belum mengenal jurus ini. Maka alangkah kagetnya hati Bian Ti Hosiang ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh lalu menyusul dengan serangan balasan yang sama, yakni mempergunakan Tian-kiam Kiat-ciang yang sama baiknya dengan gerakannya.
Pemuda yang bergerak belakangan ini bahkan jauh lebih cepat dari pada dia. Sulingnya ditusukkan ke dada, lalu sebelum pedang hwesio itu membabat suling, suling itu sudah lebih dahulu digerakkan menyamping membabat pedang!
Sungguh lucu sekali kalau melihat tarikan muka hwesio gemuk itu pada saat pedangnya yang hendak membabat suling kini bahkan didahului oleh suling itu.....
Komentar
Posting Komentar