PENDEKAR SAKTI : JILID-40
“Siauw-ya... lekas bangun...!”
Wi Wi Toanio dan Kai Seng melompat dari tempat tidur dan Kai Seng segera membuka pintu.
"Ada apa?" tanyanya dengan muka pucat, karena memang hatinya selalu merasa tidak enak.
Yang menggedor pintu adalah pelayan yang kemarin memberi laporan padanya. Pelayan itu kelihatan gugup ketika mewartakan.
"Pemuda Lu Kwan Cu itu benar-benar berani mati datang ke sini, sekarang dia sedang dihadapi oleh tujuh kauwsu."
Muka hartawan muda itu semakin pucat. "Lekas kau beri tahukan kepada semua pelayan agar supaya apa bila ditanya menyatakan bahwa aku dan Toanio tidak berada di rumah. Awas, jangan ada yang membocorkan hal ini. Kemudian kau cepat-cepat mengundang semua sahabatku yang pandai ilmu silat, minta bantuan mereka dan katakan bahwa di rumahku kedatangan seorang penjahat yang mengacau."
"Baik, Siauwya!" kata pelayan itu yang cepat berlari pergi, dan di dalam hatinya kembali pelayan ini mengomel panjang pendek. "Baru kedatangan seorang seperti pemuda yang lemah itu saja sudah ribut bukan main seperti kedatangan setan!"
"Wi Wi, lekas kau bertukar pakaian pelayan, lepaskan semua perhiasanmu itu!" kata Kai Seng.
Dia sendiri juga cepat-cepat menanggalkan pakaian dan memakai pakaian pelayan yang memang sudah disiapkan sejak kemarin. Saking gugupnya, dia sampai terbalik memakai celana dan baju, sehingga dalam terburu-buru ingin cepat itu, dia bahkan semakin lambat mengenakan pakaian samarannya itu.
Inilah hasil perundingan dengan tujuh orang pengawalnya kemarin. Dalam perundingan itu diambil keputusan bahwa bila Lu Kwan Cu benar-benar datang menyerang, Kai Seng dan Wi Wi Toanio akan menyamar sebagai pelayan, kemudian melihat perkembangan selanjutnya.
Dengan senyum sindir berkembang di bibirnya yang manis, Wi Wi Toanio memandang kelakuan suaminya itu. Yang dipandang melirik dan merahlah wajahnya karena memang dari kegugupannya ketika mengenakan pakaian ini saja sudah merupakan pengakuan dirinya bahwa dia benar-benar merasa bingung, takut, dan gugup.
"Ehh, kau senyum-senyum saja, tidak lekas-lekas mengganti pakaian?" katanya menegur untuk menutupi rasa malunya.
Wi Wi Toanio mainkan bibirnya. "Mengapa aku harus berganti pakaian sebagai pelayan? Aku bukan pelawak yang hanya membikin para pelayan pada tertawa geli jika melihatku. Tidak, aku akan menghadapi musuh besarmu itu dengan pakaian ini."
Kai Seng menggeleng-geleng kepalanya. "Wi Wi, Jangan berlaku sembrono, lebih baik kita berhati-hati, siapa tahu Lu Kwan Cu itu benar-benar amat lihai!"
"Biar pun dia lihai, akan tetapi bukankah yang dia cari adalah engkau? Padaku dia tidak kenal dan tidak mempunyai urusan sesuatu, mengapa aku takut-takut menghadapinya? Dia tidak akan mengapa-apakan aku."
"Bukankah kau isteriku?" Kai Seng berkata jengkel.
Wi Wi Toanio tersenyum dan berkata menghibur, "Siapa bilang aku bukan isterimu? Akan tetapi mustahil kalau Lu Kwan Cu mengerti bahwa aku isterimu!"
Kai Seng merasa kalah dan tidak berani mendesak. Lagi pula apa yang diucapkan oleh isterinya itu memang tidak salah. Yang dicari oleh Lu Kwan Cu hanya dia, keturunan An Lu Shan. Isterinya tentu tidak akan diganggu oleh musuh besar itu.
"Kalau begitu, marilah kita keluar, lihat apakah para kauwsu sudah dapat mengusimya." Kai Seng tidak lupa membawa pedangnya, sedangkan Wi Wi Toanio masih tetap berlaku ayal-ayalan.
“Kau keluarlah dulu, aku tidak mau keluar sebelum berhias dan tukar pakaian. Masa baru saja bangun tidur, belum cuci muka dan belum apa-apa sudah disuruh keluar bertemu orang?”
Kai Seng makin mendongkol. Baginya, sehabis bangun tidur isterinya bahkan semakin cantik saja. Akan tetapi dia tak berani membantah karena memang bagi seorang wanita, sukarlah untuk disuruh keluar dari kamar sehabis bangun tidur, sebelum puas berhias dan mengganti pakaian.
“Jangan terlalu lama!” katanya dan dia bergegas keluar.
Pada saat Kai Seng tiba di luar, dia melihat tujuh orang jagonya itu sedang menghadapi seorang pemuda dan melihat pemuda ini, timbullah ketabahannya. Tidak disangkanya bahwa laporan pelayannya kemarin itu benar belaka. Pemuda ini berpakaian buruk dan miskin sekali, tubuhnya tidak begitu besar dan nampaknya lemah saja. Namun dia tidak berani berlaku sembrono dan hanya berdiri dan mendengarkan dari jauh.
“Sudah kukatakan berkali-kali, orang muda, bahwa majikan kami bukan orang yang kau cari itu. Dia benar bernama Kai Seng, akan tetapi nama keturunannya adalah Tan, bukan An,” kata kauwsu tertua yang masih terus mencoba untuk mengusir pemuda itu dengan alasan.
“Siapa pun juga yang kau cari, bagaimana kau berani berlaku kurang ajar dan berani mati mencari keributan di rumah Tan-wangwe?” bentak seorang kauwsu termuda yang kasar karena dia merasa berani dan marah melihat pemuda yang dipandangnya ringan ini.
Pemuda itu yang bukan lain adalah Kwan Cu, tertawa mengejek. Dia telah menemukan jejak musuh besarnya dan dia bukanlah seorang pemuda yang suka bertindak sembrono. Telah dicarinya keterangan yang jelas tentang An Kai Seng dan biar pun dia mendengar bahwa hartawan bernama Kai Seng di kota ini seorang ber-she Tan, namun dia masih tetap curiga dan menduga bahwa dia tentulah An Kai Seng yang mengubah namanya.
Apa lagi dia telah mendapat keterangan tentang wajah dan keadaan musuh besarnya itu, dan ketika dia menggunakan waktu sehari semalam di kota Jeng-tauw untuk menyelidik, dia mendengar bahwa wajah, dan bentuk badan hartawan Tan Kai Seng ini sesuai benar dengan keterangan yang dia dapat tentang musuh besarnya, yakni An Kai Seng. Kwan Cu memang berlaku sangat teliti dan tidak mau buru-buru turun tangan, hendak mencari kepastian lebih dulu.
“Aku tidak peduli apakah majikanmu itu she Tan, she An atau she Boan, akan tetapi aku hendak bertemu dengan majikanmu yang bernama Tan Kai Seng itu!” jawab Lu Kwan Cu atas pertanyaan para kauwsu yang berpakaian sebagai pelayan-pelayan itu.
“Hemm, kau berkeras kepala hendak bertemu dengan majikan kami, padahal kami sudah berkali-kali memberi tahu padamu bahwa majikan kami sedang pergi ke luar kota!” kata kauwsu tertua.
“Aku tidak percaya! Lekas panggil dia keluar, kalau tidak terpaksa aku akan mencarinya sendiri di dalam rumah ini.”
Kauwsu termuda marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Kwan Cu.
“Kau ini bocah masih ingusan yang tidak tahu diri! Kau hendak mencari majikan kami dan hendak memasuki rumah secara paksa pula, apakah kehendakmu? Apakah kau hendak merampok?”
Kwan Cu tersenyum sindir dan masih berlaku sabar dan tenang.
“Kalian hendak mengetahui apakah kehendakku? Dengarlah baik-baik. Kalau majikanmu itu benar-benar Kai Seng yang kucari-cari, memang benar aku hendak merampok. Akan tetapi bukan harta benda yang hendak kurampok, melainkan kepalanya!”
“Bangsat rendah, kau terlalu sombong!” seru kauwsu termuda.
Oleh karena memandang rendah, secepat kilat dia mengirim serangan dengan pukulan tangan kanannya.
“Bagus, seorang pelayan memiliki kepandaian silat yang lumayan juga!” sindir Kwan Cu.
Ia cepat mengelak ke kiri dan sekali dia menggerakkan kaki, dia telah menendang pantat kauwsu termuda itu sehingga tubuh kauwsu yang tinggi besar itu terlempar dua tombak lebih, lalu jatuh mengeluarkan suara keras. Debu mengebul dan makin banyak lagi debu mengebul saat sambil meringis kesakitan, kauwsu itu bangun berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, bukan hanya untuk menghilangkan debu dari celananya saja, akan tetapi juga untuk memijit-mijit tulang belakang yang terasa sakit sekali!
Melihat betapa dalam segebrakan saja kauwsu itu bisa dilemparkan dengan mudah oleh pemuda ini, semua kauwsu segera mengerti bahwa lawan ini benar-benar berkepandaian tinggi. Serentak terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan gemerlapanlah sinar golok dan pedang yang berada di tangan tujuh orang kauwsu itu.
“Hm, hm, hm, bagus sekali. Para pelayan di sini tidak memegang sapu dan kee-mo-cing (kebutan bulu ayam), melainkan memegang golok dan pedang!” kata Kwan Cu menyindir lagi.
Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membuka mulut lebih banyak lagi karena dengan gerakan berbareng, tujuh orang kauwsu itu sudah menubruk dan menghujankan senjata mereka ke tubuh Kwan Cu.
Melihat gerakan mereka, maka semakin curigalah hati Kwan Cu. Sambil mempergunakan ginkang-nya mengelak, meloncat, dan kadang-kadang menggunakan tangan kaki untuk menangkis serangan, dia berkata lagi.
“Aha, tidak saja pelayan-pelayan bergolok dan berpedang, bahkan ilmu silat kalian sudah tinggi. Benar-benar hartawan majikanmu itu aneh sekali, seperti bangsawan-bangsawan di kota raja saja yang memelihara tukang-tukang pukul untuk melindungi dirinya!”
Para kauwsu itu terkejut melihat betapa pemuda itu berkelebat ke sana ke mari seperti burung saja gesitnya. Mereka mendesak makin rapat dan mainkan senjata mereka makin gencar. Ada pun Kai Seng yang melihat dari jauh, menjadi kecil hatinya karena pemuda itu benar-benar gesit sekali. Akan tetapi dia masih mengharapkan ada salah seorang di antara para kauwsunya akan berhasil melukai pemuda itu.
Akan tetapi sebentar saja harapannya ini lenyap dan diterbangkan oleh angin kenyataan. Pada saat semua senjata merangseknya, Kwan Cu melompat tinggi melalui kepala para pengeroyoknya ke kiri, kira-kira satu tombak jauhnya dari mereka.
Para kauwsu itu cepat membalikkan tubuh dan segera mengejarnya. Kauwsu termuda yang berdiri paling dekat, cepat menubruk dan mempergunakan gerak tipu Sian-jit Tit-lou (Dewa Menunjuk Jalan) menusuk ke arah dada Kwan Cu. Gerakan ini cepat dan kuat sekali.
Alangkah girangnya hati kauwsu muda ini ketika dia melihat pedangnya amblas ke dalam dada Kwan Cu sampai dekat gagangnya! Akan tetapi sebentar saja dia membelalakkan matanya penuh keheranan karena dada itu tidak mengucurkan darah, bahkan pemuda itu tersenyum-senyum mengejek.
Ketika dia melihat dengan jelas, tahulah dia bahwa pedangnya amblas antara dada dan lengan, tegasnya pedang itu dikempit dengan lengan oleh lawannya. Ia tadi tidak melihat hal ini dan mengira bahwa tusukannya berhasil karena pemuda itu tidak mengelak sama sekali dan gerakannya ketika mengempit pedang itu begitu cepat sehingga tidak sempat terlihat olehnya!
Kai Seng yang berdiri dan melihat dari jauh, karena dia memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada kauwsu muda itu, dapat melihat akan hal ini dan siang-siang dia sudah terkejut sekali. Itulah gerakan yang banyak persamaannya dengan gerakan Khai-ciang Kiap-kiam (Membuka Tangan Mengempit Pedang), sebuah gerakan yang tak dapat dilakukan oleh sembarang orang karena selain gerakan ini amat berbahaya sehingga salah sedikit saja dada dapat tertembus pedang, juga gerakan ini memerlukan ketajaman mata dan tenaga lweekang yang sudah sempurna!
Kauwsu muda itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencabut pedangnya yang kini terjepit oleh lengan Kwan Cu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Kwan Cu tersenyum-senyum dan tidak segaris pun urat mukanya memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaganya. Pada saat melihat para pengeroyok lain sudah mengejar dan menggerakkan senjata, Kwan Cu tiba-tiba melepaskan kempitannya dan membarengi mengayun tangan menjamah dagu kauwsu muda itu.
“Aduuhhh... awaaassss, jangan tusuk aku!” Kauwsu muda itu tubuhnya terlempar ke arah para kawannya sendiri.
Para kauwsu lainnya terkejut sekali dan cepat mereka menurunkan senjata agar jangan sampai menusuk kawan sendiri yang melayang ke arah mereka. Dengan cepat mereka melompat ke kanan kiri dan kasihan sekali, kauwsu muda itu tidak jadi menubruk kawan-kawannya dan...
“Ngekkk!”
Dia terbanting ke atas tanah, untuk kedua kalinya pantatnya beradu dengan tanah. Akan tetapi kali ini amat kerasnya sehingga pecahlah kulit pantatnya, menimbulkan rasa sakit dan perih.
Akan tetapi kauwsu ini kebingungan karena dia tidak dapat memilih mana yang kurang sakitnya, dagu atau pantatnya. Dagunya yang tadi dijamah oleh lawannya terasa sakit bukan main sehingga dia merasa seolah-olah dagunya itu kini menjadi tebal seperti baru saja di sengat oleh dua puluh lima tawon berbisa! Karena kedua-duanya terasa sangat sakit, tangan kanannya mengaruk-garuk dagu, tangan kirinya memencet-mencet pantat, lakunya persis seperti seekor kera kepanasan!
Enam orang kauwsu yang lain segera menubruk dan amat marah melihat seorang kawan mereka dirobohkan. Akan tetapi Kwan Cu sudah siap sedia dan pemuda ini tidak mau membuang banyak waktu lagi.
Dia memang tidak ingin membunuh secara serampangan saja. Yang dicarinya adalah An Kai Seng seorang, orang-orang lain tidak masuk hitungan pembalasan dendamnya. Apa lagi para pelayan ini dianggapnya tak bersalah apa-apa, hanya menurut perintah majikan seperti boneka-boneka yang harus dikasihani karena tidak memiliki kebebasan.
Melihat datangnya enam orang itu, cepat-cepat Kwan Cu mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na. Kedua tangan dan kakinya bergerak aneh dan cepat sekali seperti sepak terjang seekor merak sakti sedang marah.
Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah berhasil merampas semua senjata dan tidak lupa pada saat merampas senjata, dia mengirim totokan, tendangan atau pukulan siku yang membuat enam orang kauwsu itu terlempar ke kanan kiri, terbanting lantas roboh seperti keadaan kauwsu termuda.
Tujuh orang kauwsu itu hanya dapat mengaduh-aduh. Bahkan ada pula yang tidak dapat mengeluarkan suara sama sekali, yakni mereka yang terkena totokan siku di bagian ulu hati sehingga sesak napas.
Kwan Cu melemparkan semua senjata yang dirampasnya dan cepat melompat ke arah ruangan depan untuk melakukan pemeriksaan dan hendak mencari orang yang menjadi majikan para pengeroyok tadi. Akan tetapi, sebelum dia melewati pintu ruangan depan, tiba-tiba dia mendengar sambaran angin.
Cepat ia mengelak sambil mengerahkan tenaga, mengulur tangan kanan, menggunakan sebuah gerak tipu dari Kong-ciak Sin-na untuk merampas pedang yang dengan cepat telah ditusukkan kepadanya. Akan tetapi dia amat terkejut melihat pedang itu cepat sekali ditarik kembali dan tidak dapat dirampasnya, bahkan pedang itu kini menyerangnya lagi dengan bacokan ke arah paha!
Kwan Cu melompat mundur lantas memandang. Penyerangnya adalah seorang pelayan pula yang masih muda dan yang memegang sebuah pedang yang berkilauan cahayanya. Ia tercengang dan diam-diam memuji dalam hatinya bahwa hartawan yang bernama Kai Seng itu benar-benar sangat hati-hati dan mempunyai banyak jago-jago yang tidak boleh dipandang ringan.
“Ahh... ternyata masih ada lagi kaki tangan jahanam she An yang begini lihai?” Kwan Cu berseru.
“Majikan kami she Tan, bukan she An. Kau orang kurang ajar lebih baik lekas minggat kalau tidak ingin mampus!” bentak pelayan itu yang sebenarnya bukan lain adalah An Kai Seng sendiri!
Sedikit pun Kwan Cu tidak menduga bahwa pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya ini adalah An Kai Seng, orang yang sedang dicari-carinya. Kalau saja sebelumnya dia tidak dikeroyok oleh kauwsu-kauwsu yang berkepandaian tinggi dan juga berpakaian sebagai pelayan, tentu dia akan bercuriga terhadap pelayan muda itu.
Tak pantas seorang pelayan berkepandaian setinggi itu. Akan tetapi, melihat kepandaian tujuh orang kauwsu yang mengeroyoknya, dia tidak merasa aneh lagi akan kepandaian pelayan muda berpedang ini. Agaknya memang musuh besarnya, An Kai Seng, sudah mendengar tentang usahanya untuk membalas dendam dan telah bersiap sedia menjaga diri, memelihara jago-jago silat yang pandai.
Ketika pelayan muda itu memutar pedangnya dan menyerangnya dengan hebat sekali, diam-diam Kwan Cu terkejut. Ia tidak boleh menyamakan pelayan ini dengan tujuh orang pelayan yang tadi mengeroyoknya, karena ilmu pedang yang dimainkan pelayan muda ini benar-benar lihai sekali dan terang bahwa itu adalah ilmu pedang yang diajarkan oleh seorang ahli silat tinggi kelas satu.
Diam-diam Kwan Cu merasa bersyukur bahwa dia sudah mempelajari ilmu silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, karena kalau saja dia hanya menerima latihan dari Ang-bin Sin-kai, agaknya belum tentu dia dapat mengalahkan pemuda ini, apa lagi kalau hanya bertangan kosong.
Baru berusaha untuk mencari musuh besar kongkong-nya saja ia telah berjumpa dengan orang-orang yang demikian lihai, apa lagi kalau dia kelak bertemu dengan musuh-musuh suhu-nya. Sungguh tugasnya tidak ringan dan mudah, baiknya dia telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sehingga dia boleh merasa tenang dalam menghadapi lawan-lawannya.
Karena maklum bahwa kalau dia hanya mempergunakan tangan kosong serta mainkan Kong-ciak Sin-na dan Pek-in Hoat-sut saja agaknya akan memakan waktu lama sebelum dia mengalahkan pelayan ini, Kwan Cu segera mencabut sulingnya. Dia tidak mau lagi membuang banyak waktu menghadapi segala macam pelayan, betapa pun pandainya pelayan ini. Tenaga serta waktunya harus dihemat untuk menghadapi musuh-musuhnya kelak, karena dia tidak ingin membinasakan orang-orang yang tidak punya permusuhan dengannya.
"Jangan kau mengorbankan nyawa untuk bangsat An Kai Seng, keturunan orang Tartar yang sudah banyak membikin sengsara rakyat itu!" Kwan Cu berkata sambil memutar sulingnya.
Setelah kini dia menggunakan senjata, benar saja pelayan muda itu menjadi sibuk sekali. Gerakan pedangnya kacau-balau karena suling lawannya seperti telah berubah menjadi banyak sekali dan mengurung serta mendesak dirinya dari segala jurusan.
Setelah Kwan Cu dapat menangkap inti sari ilmu pedang lawannya yang amat ganas itu, tiba-tiba ia melakukan serangan kilat, menangkis pedang lawan dengan sulingnya sambil dibarengi dengan gerakan menggaet, ada pun tangan kirinya memukul ke arah pangkal lengan kanan lawan yang memegang pedang.
"Lepaskan senjata!" serunya nyaring sambil mengerahkan tenaganya.
Pedang dan suling bertemu di udara dan betapa pun pelayan muda itu mengeluarkan seluruh tenaganya, dia tetap tidak mampu menarik kembali pedangnya yang seolah-olah sudah berakar pada suling itu. Tiba-tiba dia merasa pangkal lengannya sakit dan lumpuh sehingga pedangnya terpaksa dia lepaskan!
Akan tetapi pelayan itu adalah An Kai Seng yang tentu saja merasa khawatir kalau-kalau pemuda ini akan terus menurunkan tangan maut kepadanya. Oleh karena itu, dia cepat mempergunakan tangan kirinya memukul dada Kwan Cu sambil mengerahkan tenaga lweekang-nya.
Tadinya Kwan Cu hanya akan merasa puas setelah merampas pedang saja. Akan tetapi melihat lawannya tlba-tiba memukul dengan pukulan maut yang amat berbahaya, dia lalu berseru,
"Pergilah!"
Pukulan tangan kiri ke arah dadanya itu sama sekali tidak ditangkisnya, hanya dengan tangan kirinya dia menyampok sambil mengeluarkan tenaga Pek-in Hoat-sut.
Pelayan muda itu menjerit, lantas tubuhnya terpental dua tombak dan jatuh bergulingan sampai tiga tombak lebih! Baiknya Kwan Cu memang tidak berniat mencelakakan orang ini, maka dia hanya jatuh dan terbanting babak belur saja, tidak mengalami luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi, pukulan pada pangkal lengannya tadi sudah membuat lengannya kaku dan tubuhnya yang terbanting terasa sakit-sakit.
"Bangsat kecil, jangan kurang ajar!" tiba-tiba saja terdengar suara merdu dan sinar yang berkeredepan menyambar ke arah tenggorokan Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut sekali karena gerakan pedang yang menyerangnya ini bahkan lebih gesit, cepat, serta kuat dari pada pedang pelayan muda yang baru saja dikalahkannya tadi. Bukan main, benar-benar musuh besar kongkong-nya ini sudah memelihara banyak sekali orang pandai, pikirnya sambil mengelak cepat dan menangkis pedang itu dengan sulingnya. Terdengar suara nyaring dan Kwan Cu merasa betapa tenaga lweekang dari penyerang ini bahkan lebih besar dari pada tenaga si pelayan muda tadi!
Dia cepat memandang dan seketika itu juga dia melongo. Di hadapannya berdiri seorang wanita muda yang berpakaian indah dan ketat, cantik jelita bukan main, seperti seorang bidadari turun dari kahyangan.
Tidak saja wajahnya yang putih halus kemerah-merahan itu memiliki tarikan yang sangat menarik hati dan memikat. Akan tetapi bentuk potongan tubuhnya sangat menggairahkan pula, juga sepasang mata wanita ini berkilauan penuh gairah hidup, bibirnya yang manis itu tersenyum simpul dan Kwan Cu mencium bau harum yang membuatnya berdebar.
Memang wanita ini cantik sekali, lebih cantik dari pada Gouw Kui Lan, malah masih lebih cantik dari pada Bun Sui Ceng sekali pun! Belum pernah Kwan Cu melihat gadis secantik ini, maka biar pun dia bukan seorang mata keranjang, namun dia tetap seorang pria dan melihat seorang wanita demikian cantik manisnya, setidaknya dia menjadi tertegun.
"Ehhh, mengapa kau memandang saja kepadaku begitu kurang ajar? Siapakah kau dan mengapa kau membikin kacau di sini?" Wanita cantik itu menegur, akan tetapi dengan mata berkedip-kedip bangga dan mulut tersenyum manis sekali.
Muka Kwan Cu menjadi merah sekali. la menahan napas untuk menenteramkan hatinya yang terguncang, lalu tanpa berani memandang langsung supaya tidak terpesona oleh wajah itu, dia menjawab,
"Namaku Lu Kwan Cu dan aku datang hendak mencari An Kai Seng. Akan tetapi para pelayan itu menyerangku sehingga aku terpaksa merobohkan mereka."
Tiba-tiba Kwan Cu mengangkat muka dan memandang pula, kini bukan karena kagum dan untuk menikmati wajah cantik itu, akan tetapi karena dia teringat akan keterangan orang bahwa musuh besarnya An Kai Seng itu mempunyai isteri yang amat cantik. Inikah isterinya itu?
"Siapakah kau dan di mana adanya An Kai Seng?"
Wanita itu tertawa kecil sehingga giginya yang bagaikan mutiara berderet itu kelihatan sebentar, lalu tertutup kembali oleh sepasang bibirnya yang merah dan halus.
"Aku tidak kenal dengan segala An Kai Seng, dan tidak tahu dia berada di mana." Baru bicara sampai di sini, wanita itu melirik ke arah pelayan muda tadi yang sudah berdiri lagi sambil meringis kesakitan. Aneh sekali, wanita ini tersenyum geli dan memandang pula kepada Kwan Cu. "Hemm, kau malah sudah mengalahkan pelayanku itu?"
Sambil berkata demikian, wanita itu menudingkan jari telunjuknya ke arah pelayan tadi. Otomatis Kwan Cu ikut menengok ke arah pelayan muda tadi yang kini sudah berjalan terhuyung-huyung keluar dari pekarangan rumah.
Akan tetapi, gerakan lehernya untuk menengok itu mendatangkan kesempatan baik bagi wanita cantik tadi yang terus saja menusuk dengan pedangnya ke arah lambung Kwan Cu! Pemuda ini terkejut sekali dan cepat dia menggerakkan lengan, miringkan tubuh dan cepat pula menyampok pedang dengan sulingnya. Kembali terdengar suara keras dan pedang itu juga terpental kembali.
"Kau curang!" Kwan Cu menegur dengan hati mendongkol. Jika saja dia kurang hati-hati, serangan menggelap tadi tentu akan mendatangkan bahaya besar baginya.
"Siapakah kau?"
Wanita itu tersenyum mengejek dan sepasang matanya bergerak genit. Melihat dua mata ini, hati Kwan Cu berdebar dan dia mengaku bahwa sepasang mata ini lebih tajam dan lebih berbahaya dari pada sepasang pedang mustika! Maka dia cepat-cepat mengalihkan pandang dan tidak berani lagi menatap secara langsung!
"Kau datang ini hendak mencari orang atau hendak berkenalan dengan aku? Mengapa tanya-tanya nama segala macam?"
Celaka, pikir Kwan Cu. Perempuan ini tidak saja memiliki gaya dan kecantikan luar biasa yang dapat merobohkan hati laki-laki, juga lidahnya amat tajam dan pandai sekali bicara. Kwan Cu yang masih amat muda dan belum berpengalaman dalam menghadapi wanita, masih belum tahu bahwa seorang wanita seperti ini mempunyai kecerdikan dan muslihat yang lebih pandai dari pada seorang ahli perang.
Dengan muka merah sekali sampai ke telinga-telinganya, Kwan Cu membentak, "Jangan sembarangan bicara! Aku datang hendak menghancurkan kepala An Kai Seng dan kau lebih baik lekas menyingkir karena aku tidak suka menjatuhkan tangan kepada seorang wanita, apa lagi kalau kau tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan An Kai Seng."
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak kenal dengan An Kai Seng, yang ada di sini hanya Tan-wangwe, akan tetapi kau tidak percaya. Habis apa yang hendak kau lakukan?" tanya wanita itu sambil menatap wajah Kwan Cu yang tampan dan tenang.
"Aku harus melihat dulu orang yang bernama Kai Seng itu, hendak kulihat apakah dia orang yang kucari-cari ataukah bukan?"
"Jadi kau mau apa?" Wanita itu berkata menantang.
"Aku akan masuk dan memeriksa seluruh isi rumah ini."
Wanita itu tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih mengkilap.
"Kau... kau mengagumkan!"
Kwan Cu melengak dan tidak paham apa yang dimaksudkan oleh wanita ini. Akan tetapi wanita itu segera menyambung kata-katanya, kini dengan bentakan keras dan dengan pedang dilintangkan di depan dadanya.
"Dan kau sangat sombong! Kau mau menggeledah rumah orang begitu saja? Baru dapat kau lakukan kalau kau sudah dapat mengalahkan pedangku!" Ucapan ini ditutup dengan tusukan pedang yang sangat lihai, dan tusukan ini disusul oleh serangan-serangan lain yang cepat sekali.
Kwan Cu sudah dapat menduga akan kehebatan ilmu pedang wanita ini, maka dia tidak berlaku ayal dan cepat menggerakkan sulingnya menangkis dan mengelak. Serentetan serangan dari enam jurus dengan sangat mudahnya sudah dapat dihindarkan oleh Kwan Cu.
"Kau hebat!" Wanita itu memuji. "Coba kau tahan yang ini!"
Dengan gerakan tubuh yang amat indah bagaikan orang menari, dia lalu menggerakkan pedangnya pula, kini melakukan penyerangan dengan pedangnya. Serangan ini memang istimewa, dalam sejurus serangan ini terdapat tiga bagian yang dilakukan dengan tenaga berlainan dan dengan tujuan berlainan pula.
Tusukan pertama dilakukan dengan pengerahan tenaga mengikat, babatan ke dua yang menyusul dengan tenaga mengait, dan serangan ke tiga adalah tusukan ke arah kening di antara mata dengan dibarengi oleh pukulan tangan kiri dan lanjutan pemutaran pedang di depan mata lawan untuk mengacaukan lawan sehingga andai kata lawan masih dapat menghindarkan diri dari tiga kali serangan pedang, dia akan terkena oleh pukulan tangan kirinya!
"Hemm, inilah In-liong Sam-hian (Naga Awan Muncul Tiga Kali)! Kalau begitu kau murid Thian-san!" seru Kwan Cu.
Cepat sekali dia mengerahkan ginkang-nya untuk menghindarkan diri dari serangan yang susul-menyusul dan dia tahu hal ini amat berbahaya. la pernah mendengar dari Ang-bin Sin-kai mengenai ilmu-ilmu silat yang paling ampuh dan berbahaya dari berbagai cabang persilatan dan justru ilmu pedang inilah yang pernah dia dengar dari suhu-nya. Jika dulu dia hanya mendengar teorinya saja, setelah dia mempelajari ilmu kesaktian dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, sekarang sekali melihat saja tahulah dia bahwa ini adalah ilmu silat dari Thian-san-pai.
Wanita itu pun nampak terkejut dan kagum ketika Kwan Cu selain dapat menghindarkan diri dari serangannya yang dipilihnya paling hebat itu, juga dapat menduga tepat bahwa dia adalah anak murid Thian-san-pai. Akan tetapi dia hanya tertawa mengejek dan cepat melakukan serangan bertubi-tubi!
Kwan Cu merasa tidak perlu membuang waktu melayani wanita ini, akan tetapi karena ilmu pedang dari wanita itu memang lihai sekali, maka dia menjadi bingung. Apa bila dia tinggalkan, memang mudah saja baginya untuk melompat dan terus lari ke dalam rumah. Akan tetapi, lawannya ini tentu akan mengejarnya sehingga dia tidak leluasa melakukan penggeledahan.
Di samping ini, dia pun harus bertindak hati-hati karena siapa tahu kalau-kalau di dalam rumah dipasangi perangkap, karena ternyata bahwa pemilik rumah ini adalah orang yang menjaga diri baik-baik sehingga di situ terdapat banyak ahli silat yang pandai. Lagi pula, salahnya adalah karena dia tidak mau melukai perempuan ini, bukan hanya karena dia merasa tak enak hati untuk melukai seorang perempuan yang belum diketahuinya siapa dan dianggapnya tiada dosa, juga dia merasa tidak tega.
Tidak dapat disangkal pula bahwa kecantikan serta gaya wanita ini sedikit banyak sudah menarik hatinya. Kalau dia mau, memang agaknya dalam sepuluh jurus saja dia mampu merobohkan, akan tetapi tanpa melukainya adalah hal yang tidak begitu mudah.
Akhirnya dia mendapatkan akal. Dengan sulingnya dia melakukan serangan kilat dan…
"Breeettt!" robeklah baju wanita itu di bagian pinggang!
Wanita itu terkejut sekali karena suling lawannya seakan-akan telah mengenai tubuhnya, akan tetapi ternyata bahwa lawannya tak mau melukainya, dan suling itu diselewengkan sedikit sehingga bukan kulitnya yang robek melainkan bajunya. Akan tetapi serangan tadi benar-benar hebat sekali karena amat dekat dengan kulitnya sehingga bukan hanya baju luarnya, malah baju dalamnya ikut robek dan kulit pinggangnya yang putih itu kelihatan!
Karena mengalami kekagetan hebat, wanita itu menjadi tertegun dan Kwan Cu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Tangan kirinya bergerak dengan Ilmu Silat Kong-ciang Sin-na, sedangkan tangan kanan menggerakkan suling menotok ke arah pinggang.
Dalam sekejap mata saja pedang wanita itu sudah dirampasnya dan kedua kaki wanita itu menjadi kaku tidak dapat digerakkan lagi akibat totokan suling tadi! Sambil tersenyum Kwan Cu melemparkan pedang itu ke atas sehingga sambil mengeluarkan bunyi nyaring, pedang itu menancap pada langit-langit rumah. Sampai setengah lebih tergantung di situ sambil bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga sambitannya.
Wanita itu menangis! Tangan kirinya menutupi pinggang yang pakaiannya terbuka dan tangan kanan diremas-remasnya, akan tetapi kedua kakinya tetap tak dapat bergerak.
"Kubunuh kau manusia kurang ajar!" teriaknya berkali-kali.
Akan tetapi Kwan Cu tidak melayaninya dan hanya tersenyum sambil berlari memasuki rumah. Dia merasa kasihan dan juga geli. Akan tetapi, setelah melakukan pemeriksaan dengan cepat, teliti dan hati-hati, Kwan Cu menjadi kecewa.
Semua pelayan yang dia temui di dalam gedung itu mengatakan bahwa majikan mereka bernama Tan Kai Seng dan ketika itu sedang keluar rumah. Kwan Cu tidak suka berlaku kejam kepada para pelayan ini, akan tetapi untuk memuaskan hatinya yang kecewa dia memilih seorang pelayan laki-laki yang berwajah bodoh.
Cepat dia mencabut pedangnya, yakni pedang Liong-coan-kiam yang selama itu hanya disembunyikan di balik baju. Sekali sabet saja meja besar dan tebal di ruangan dalam itu terbabat dan terbelah menjadi dua. Kemudian dia memegang leher baju pelayan itu dan menempelkan pedangnya di atas hidung.
"Kalau kau tidak menjawab sejujurnya, pedang ini akan memutuskan hidungmu. Tidak itu saja, aku akan membikin semua kaki tanganmu buntung supaya selama hidup kau tidak akan dapat bekerja dan akan menjadi pengemis yang tidak dapat makan sendiri!"
"Ampun... Siauwya...," kata pelayan itu sambil menggigil ketakutan.
"Nah, katakan siapa sebetulnya majikanmu itu!"
"Hamba tidak membohong, Siauwya majikan hamba bernama Tan Kai Seng..."
"Di mana dia?"
"Tadi... tadi dia berada di sini..."
"Jangan bohong! Mana dia?" Kwan Cu membentak.
Dia mengerahkan sedikit tenaga pada tangan kirinya yang menggencet pundak pelayan itu. Pelayan itu meringis kesakitan, pundaknya serasa ditusuk jarum.
"Am... ampun, Siauwya... hamba tidak membohong. Tadi... tadi majikan hamba berada di sini, bahkan tadi keluar..."
Kwan Cu berpikir, kemudian membentak lagi, "Yang mana dia? Yang mana? Hayo cepat katakan!"
"Dia... dia yang tadi melawan Siauwya."
"Apa?! Yang muda-muda dan berpakaian pelayan, memegang pedang...?".
Pelayan itu hanya mengangguk dengan tubuh menggigil ketakutan. Sesudah membuka rahasia majikannya, kini dia menjadi semakin ketakutan karena dia tahu bahwa apa bila majikannya mengetahui akan pengkhianatannya, dia akan menerima hukuman berat.
Kwan Cu terkejut mendengar ini dan dia merasa menyesal sekali. Tadi dia sudah curiga terhadap pelayan muda yang lihai ilmu pedangnya itu. Diakah An Kai Seng keturunan An Lu Shan? Mungkin sekali!
"Dan gadis muda yang pandai main pedang itu, siapa dia?"
"Dia adalah Wi Wi Toanio, isteri majikan hamba..."
Baru saja mendengar ini, Kwan Cu cepat melompat keluar lagi. Hemm, yang tahu akan rahasia hartawan muda bernama Kai Seng ini tentu hanya isterinya. Mungkin sekali An Kai Seng sudah mengubah she-nya menjadi Tan, dan hal ini tentu saja tidak diketahui oleh semua pelayan. Hanya isterinya yang tentu tahu akan hal ini!
Pada saat tiba di ruang depan, dia melihat wanita muda yang cantik tadi masih berdiri, sedang mengatur napas dan ternyata bahwa wanita itu telah berhasil membebaskan diri dari totokannya. Ia kaget dan memuji karena hanya dengan tenaga lwekang yang sudah tinggi saja orang dapat membebaskan totokan begitu cepatnya.
Ketika Wi Wi Toanio melihat Kwan Cu keluar lagi, dia cepat hendak melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan, Kwan Cu sudah berada di depannya.
"Jadi kaukah Wi Wi Toanio isteri dari An Kai Seng?" Kwan Cu bertanya dengan mata bersinar mengancam.
"Suamiku bernama Tan Kai Seng!" Wi Wi Toanio berkata dan mencoba untuk tersenyum, sungguh pun hatinya berdebar penuh rasa takut. Ia telah merasai sendiri betapa lihainya orang yang mau membunuh suaminya ini.
Kwan Cu menengok ke arah pelayan muda yang tadi sudah dikalahkannya, akan tetapi seperti yang sudah diduganya, pelayan muda itu kini tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan Wi Wi Toanio mempergunakan kesempatan selagi Kwan Cu menengok, untuk cepat melompat melarikan diri keluar.
"Kau hendak lari ke mana?" Kwan Cu segera mengejar dan di lain saat pemuda ini telah memegang pergelangan tangan Wi Wi Toanio.
"Lepaskan aku! Lepaskan!" la meronta-ronta dan mencoba untuk melepaskan tangannya, akan tetapi sia-sia, karena pegangan Kwan Cu amat kuatnya.
"Katakan dulu, siapa sebetulnya suamimu itu? Apakah dia bukan An Kai Seng keturunan An Lu Shan?" tanya Kwan Cu perlahan sambil mempererat pegangannya hingga wanita muda itu merasa seluruh lengannya sakit sekali.
Pada saat itu pula, para pelayan yang tadi ketakutan setengah mati, sudah keluar dan memandang dari pintu dengan muka pucat. Sementara itu, pelayan yang tadi diperintah oleh Kai Seng untuk memberitahukan kepada kawan-kawannya, sudah datang diiringkan oleh belasan orang laki-laki yang sudah memegang senjata tajam. Mereka ini menyerbu dari luar dan siap menolong Wi Wi Toanio yang dipegang tangannya oleh Kwan Cu.
Melihat ini, Wi Wi Toanio segera melakukan siasatnya yang amat cerdik. Dia kemudian merapatkan tubuhnya, tidak lagi mempedulikan rasa sakit pada tangannya dan sengaja merapatkan tubuhnya pada tubuh pemuda itu, lalu berteriak-teriak.
"Kau manusia kurang ajar! Kau hendak berlaku kurang sopan terhadapku? Lihat, lihatlah semua orang! Inilah orang yang mengaku bernama Lu Kwan Cu, seorang yang katanya pendekar muda berilmu tinggi! Akan tetapi dia hendak membujukku, mengajakku minggat bersama. Alangkah rendahnya!"
Kwan Cu merasa betapa tubuh wanita itu merapat dan dia kembali mencium bau yang amat harum. Ketika mendengar teriakan ini, dia terkejut sekali, wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya dan otomatis dia melepaskan pegangannya dan segera melangkah mundur.
"Kau bohong! Aku tidak berlaku kurang ajar, hanya mau tahu di mana perginya Kai Seng itu!" katanya mendongkol.
Sambil memijat-mijat pergelangan lengannya Wi Wi Toanio tersenyum mengejek. Dia lalu berkata pula perlahan, "Kalau kau memang gagah, carilah sendiri!" Lalu ia berjalan pergi.
Kwan Cu merasa bingung. Tentu saja dia dapat menangkap wanita itu, dibawa ke tempat sunyi untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya hartawan muda itu dan di mana tempat bersembunyinya. Akan tetapi kalau teringat akan teriakan nyonya muda tadi, dia menjadi merasa malu dan tidak enak sekali. Kalau sampai dia menangkapnya, tentu semua orang akan membenarkan kata-kata Wi Wi Toanio dan namanya akan menjadi busuk di dunia kang-ouw!
Sementara itu, kawan-kawan Kai Seng yang terdiri dari jago-jago silat di kota itu, sudah datang dan menyerbu Kwan Cu. Terpaksa pemuda ini lalu menggerakkan sulingnya. Dia tidak mau membuang banyak waktu dan sebentar saja terdengar suara keras, senjata-senjata tajam terlempar jauh dan orang-orang itu lantas berteriak-teriak kesakitan, roboh seorang demi seorang.
Setelah belasan orang itu semua dibikin tak berdaya, Kwan Cu sudah tidak melihat lagi bayangan Wi Wi Toanio. Dia mendongkol sekali, merasa dipermainkan oleh wanita itu. Cepat dia mengejar dan mencari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan suami isteri itu di kota dan akhirnya ia mendapat keterangan bahwa mereka telah melarikan diri dengan perahu mereka ke laut!
Kwan Cu merasa menyesal sekali. Jauh-jauh dan sekian lama dia mencari, tetapi setelah bertemu, dia kena diakali. Musuh besarnya sudah bertemu dengan dia, bahkan telah dia kalahkan, akan tetapi dia tidak tahu bahwa dia itulah musuh besarnya sehingga dia tidak membunuhnya, bahkan tidak mau melukainya karena mengira bahwa dia adalah seorang pelayan biasa.
“Biarlah, aku pasti akan bisa menemukannya kembali," katanya sambil menghela napas.
Terbayanglah wajah yang cantik jelita dari Wi Wi Toanio, suaranya yang merdu, bentuk tubuhnya yang menggairahkan serta keharuman yang menawan hati masih tercium oleh hidungnya. Kembali Kwan Cu menarik napas panjang. Benar-benar seorang wanita yang cantik, pandai dan... berbahaya sekali…..
********************
Pada suatu hari, Kwan Cu beristirahat di luar sebuah hutan, duduk di bawah pohon dan berlindung dari panas terik matahari yang menggigiti kulit. Dengan ujung lengan bajunya dia menghapus peluh yang membasahi mukanya, peluh sehat yang dipaksa keluar oleh hawa panas matahari.
Seperti biasa, pada waktu menganggur ini dia memeriksa seluruh saluran darah di dalam tubuhnya, untuk membuka saluran yang terhalang jalannya. Dengan perlahan-lahan dia meraba-raba urat nadinya dan dengan totokan dia lalu menyempurnakan jalan darahnya.
Setelah mendapat kenyataan bahwa peredaran jalan darahnya sudah sempurna, dia lalu mengeluarkan sulingnya dan menyuling dengan asyiknya. Tidak ada hiburan yang lebih menyenangkan baginya dari pada meniup sulingnya. Otaknya telah penat berpikir tentang tugasnya, tentang musuh-musuh besar dari suhu-nya dan kongkong-nya.
An Kai Seng telah terlepas dari tangannya dan tidaklah mudah untuk mencarinya, karena tentu saja An Kai Seng akan menyembunyikan dan menjaga dirinya lebih baik, apa lagi dengan bantuan isterinya yang demikian cantik dan licin, kiranya akan makan waktu lama untuk dapat menemukannya kembali.
Terlebih dahulu dia akan mencari musuh-musuh besar gurunya dan teringatlah dia akan pemberitahuan Kiam Ki Sianjin bahwa pada Gouw-gwe Cap-gouw (bulan lima tanggal lima belas) akan diadakan musyawarah besar di puncak Tai-hang-san dan di sanalah dia akan dapat menjumpai musuh-musuh yang membunuh gurunya itu.
Pada waktu itu, bulan lima kurang beberapa hari lagi, jadi dia masih mempunyai waktu beberapa pekan. Oleh karena itu Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan menuju ke Tai-hang-san. Ia melakukan perjalanan cepat dan terus menerus, hanya beristirahat bila dia merasa lelah benar seperti siang hari itu.
Tanpa disengaja, Kwan Cu meniup suling mainkan lagu yang sering kali dimainkan oleh Hang-houw-siauw Yok-ong Si Raja Obat. Dia begitu saja mainkan lagu ini karena ketika tadi menyuling, pikirannya melayang kepada tabib aneh itu. Sulingnya adalah pemberian dari Yok-ong dan dia tidak tahu di mana adanya orang pandai itu sekarang.
Memikirkan Yok-ong, Kwan Cu diam-diam menduga apakah kiranya orang pandai itu akan sanggup menolong Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu bila sekiranya Raja Tabib itu berada di tempat terjadinya mala petaka yang menimpa diri kedua orang pendeta itu. Sambil menyuling, kini pikirannya melayang kembali dan terkenanglah dia akan peristiwa pembunuhan dua orang pendeta yang benar-benar merupakan teka-teki baginya itu.
Tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki menyanyikan lagu yang sedang dimainkan oleh Kwan Cu dengan sulingnya. Suara nyanyian ini merdu sekali sehingga Kwan Cu harus mengakui bahwa suara itu amat empuk. Dengan gembira Kwan Cu melanjutkan tiupan sulingnya dan sekarang terdengar paduan suara antara suling dan nyanyian orang itu, menyanyikan lagu yang sering kali dimainkan oleh Hang-houw-siauw Yok-ong.
Diam-diam Kwan Cu memuji tenaga khikang orang itu, karena orangnya belum kelihatan, namun suara nyanyiannya demikian keras dan nyaring. Dia tidak merasa heran bahwa orang itu dapat pula mendengar suara sulingnya karena dia tadi bermain suling dengan memakai tiupan tenaga khikang sehingga suara sulingnya dapat terdengar dari tempat jauh.
Kalau saja pada saat itu ada orang lain di situ, tentu orang ini akan menjadi amat heran karena suara suling dan nyanyian itu merupakan paduan suara yang menjadi satu, akan tetapi penyuling dan penyanyinya terpisah jauh!
Yang sangat menarik hati Kwan Cu adalah kata-kata dalam nyanyian itu, maka dia lalu mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan nyanyian itu sehingga terdengar jelas olehnya kata demi kata. Mendengar suara ini, Kwan Cu menjadi makin kagum karena dari kata-kata nyanyian ini dia mendapatkan kesan bahwa penyanyinya bukanlah orang sembarangan atau penyanyi biasa saja…..
Komentar
Posting Komentar