PENDEKAR SAKTI : JILID-44
Apakah yang terjadi? Tidak seorang pun mengetahuinya, bahkan Yok-ong hanya berseru perlahan kepada Kwan Cu. "Itulah asap berbisa obat pembius yang sering dipergunakan oleh penjahat dari See-than (negeri barat)! Heran, dari mana datangnya asap itu?"
Akan tetapi meski pun Kwan Cu juga tidak melihat siapa yang mempergunakannya, dia telah tahu dengan baik bahwa yang mengeluarkan obat bius itu tentulah Coa-tok Lo-ong, sute dari Hek-i Hui-mo sebab dulu di kuil tempat tinggal Siok Tek Tojin, dia sudah pernah mencium bau asap itu.
Hek-i Hui-mo tertawa bergelak ada pun Coa-tok Lo-ong cepat menciumkan obat penawar di depan hidung Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu. Dalam beberapa detik saja mereka ini telah siuman kembali dan menjadi amat terheran-heran.
Akan tetapi, Hek-i Hui-mo cepat menghampiri tubuh Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li, lalu menotok mereka sehingga sebelum orang lain bisa mencegahnya, kedua tulang pundak Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li sudah terlepas sambungannya! Mereka untuk beberapa lama tidak akan dapat bersilat sebelum tulang itu disambung kembali!
"Ji-wi Pai-cu dari Bu-tong dan Kim-san, sekarang musuh-musuh besar Ji-wi sudah roboh. Tidak membalas dendam sekarang, Ji-wi mau tunggu kapan lagi?" kata Kiam Ki Sianjin kepada ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
Akan tetapi kedua orang yang memiliki kedudukan tinggi dalam partai mereka ini, tentu saja merasa malu untuk membinasakan lawan yang sudah roboh karena pengaruh obat bius. Melakukan hal itu dianggap amat rendah. Akan tetapi jika tidak membunuh mereka sekarang, bukanlah hal yang mudah untuk merobohkan dua orang tokoh besar itu selagi mereka sadar. Karenanya, dua orang ketua partai ini menjadi ragu-ragu dan bersangsi.
"Kalau Ji-wi tidak tega, biarlah aku yang membunuh mereka!" Coa-tok Lo-tong berkata sambil melompat maju ke arah Kiu-bwe Coa-li dan serentak dia menggerakkan ularnya ke arah tenggorokan Kiu-bwe Coa-li!
“Bangsat rendah, pergilah kau!"
Tiba-tiba Coa-tok Lo-ong merasa ada sambaran angin yang dahsyat sekali dari samping. Karena dia tidak dapat mengelak lagi, dia membatalkan serangannya terhadap Kiu-bwe Coa-li dan mempergunakan tangan kirinya untuk menangkis.
"Dukkk!"
Dua tangan beradu dan Coa-tok Lo-ong terlempar sampai dua tombak lebih, akan tetapi Jeng-kin-jiu yang menyerangnya juga terpental ke belakang sampai empat kaki! Ternyata bahwa kehebatan tenaga dua orang tokoh ini hampir sama, akan tetapi ternyata bahwa tenaga raksasa dari Jeng-kin-jiu masih lebih unggul. Berkat tingginya lweekang mereka, adu tenaga tadi tidak mendatangkan luka di dalam tubuh.
"Jeng-kin-jiu, kau bukan orang luar lagi sekarang, akan tetapi pembantu pemberontak!" bentak Hek-i Hui-mo yang segera mengayun tongkat kepala naga dan menyerang kepala Jeng-kin-jiu.
"Bangsat Hek-i Hui-mo, apakah kau lupa akan perundingan kita dulu?" seru Jeng-kin-jiu sambil menangkis ayunan tongkat itu dengan toyanya.
Pertemuan tongkat dan toya yang digerakkan dengan tenaga raksasa ini menimbulkan suara keras hingga orang-orang yang berada di dekat situ merasai getaran yang hebat.
Seperti diketahui, dulu memang Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu keduanya membantu An Lu Shan. Bahkan ketika tokoh-tokoh besar yang berjiwa patriot seperti Ang-bin Sin-kai, Pak-lo-sian dan yang lain-lain datang menyerbu istana, mereka inilah yang melindungi An Lu Shan dan menyelamatkan nyawa kepala pemberontak itu.
Akan tetapi kemudian, melihat betapa rakyat Han berjuang terus, bahkan dipimpin oleh orang-orang pandai, mata Jeng-kin-jiu baru terbuka bahwa hal yang ia lakukan bukanlah main-main belaka. Ia boleh disuruh menghadapi tokoh-tokoh kang-ouw yang bagaimana pandai pun, akan tetapi menghadapi gelombang perjuangan rakyat bangsanya sendiri, dia bergidik dan merasa ngeri.
Oleh karena ini dia lalu mengadakan perundingan dengan kawan-kawannya, yakni Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw serta yang lain-lain, menyatakan kekhawatirannya karena ternyata bahwa yang mereka lindungi adalah musuh rakyat jelata, bukan musuh Kaisar Tang sebagaimana yang tadinya mereka kira.
Jeng-kin-jiu semenjak itu lalu mengasingkan diri di atas gunung, menyesali perbuatannya yang sudah membikin banyak orang gagah gugur termasuk Ang-bin Sin-kai. Sebaliknya, Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw dan yang lain-lain kembali kena dibujuk oleh Kiam Ki Sianjin sehingga mereka kini kembali membantu kaisar asing. Hal ini adalah karena Hek-i Hui-mo memang berdarah Tibet, maka dia tidak peduli akan perjuangan bangsa Han.
Kini dua orang tokoh besar yang sama gemuknya dan sama pula lihainya itu bertanding. Jika tadinya Kwan Cu sudah mau melompat maju melihat Coa-tok Lo-ong menggunakan asap obat bius, kini dia mengurungkan niatnya lagi. Kejadian itu semua terjadi demikian cepat dan kini pundak Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian telah tertotok, menggeletak dalam keadaan masih pingsan.
Melihat betapa fihak Pak-lo-sian kini tinggal Seng Thian Siansu ketua Kun-lun-pai yang amat tua itu, Kwan Cu sudah ingin sekali membantu mereka, akan tetapi kembali niatnya ini terpaksa dia tunda karena kini dia asyik menyaksikan pertarungan antara Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo. Hatinya berdebar tegang.
Dua orang ini juga termasuk pengeroyok-pengeroyok dan pembunuh-pembunuh Ang-bin Sin-kai. Apa lagi dia masih ingat betul bagaimana ketika dia masih kecil, dua orang tokoh besar ini pun pernah menawan dan ikut menyiksanya saat mereka memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Akan tetapi tiba-tiba terasa olehnya semacam perasaan yang aneh. Walau pun dia akui bahwa dua orang yang bertempur itu adalah musuh-musuh dan pembunuh gurunya, jadi keduanya juga musuh yang harus dia balas, namun melihat mereka berdua saling serang itu hati Kwan Cu condong kepada Jeng-kin-jiu dan dia mengharapkan kemenangan bagi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!
Hal ini sebetulnya tidak mengherankan bagi kita, karena ketika pertama kali muncul di dunia ramai, memang anak ini ditemukan oleh Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai, sebagai satu-satunya orang yang selamat dari kapal yang tenggelam oleh badai dan ombak. Lalu, bahkan Jeng-kin-jiu yang memberi nama Kwan Cu padanya sedangkan Ang-bin Sin-kai yang memberi nama keturunan Lu.
Biar pun tokoh-tokoh aneh itu tidak menyatakan, akan tetapi setidaknya Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai adalah seperti ‘ayah-ayah angkat’ bagi Kwan Cu. Tentu saja dia lebih sayang kepada Ang-bin Sin-kai karena pengemis sakti ini selain menjadi gurunya, juga sikapnya lebih baik terhadapnya.
Pada waktu Kwan Cu memperhatikan jalannya pertempuran, ternyata bahwa betapa pun lihainya Jeng-kin-jiu dengan toyanya, akan tetapi tongkat dan tasbih Hek-i Hui-mo masih lebih lihai lagi. Memang, dulu ketika mereka masih memperebutkan Kwan Cu dan rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tingkat atau ketangguhan ilmu silat mereka seimbang.
Akan tetapi, semenjak mendengar isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng salinan yang dibaca oleh pujangga Tu Fu, Hek-I Hui-mo lalu mendapat kemajuan yang hebat dan juga aneh, seperti halnya Kiu-bwe Coa-li yang juga ikut mendengarkan. Tadi ketika dikeroyok kalau saja tidak keburu Coa-tok Lo-ong melepaskan asap berbisa yang amat ampuh, agaknya tidak akan ada yang sanggup mengalahkan atau merobohkan Kiu-bwe Coa-li.
Kwan Cu yang melihat betapa Jeng-kin-jiu ternyata masih kalah setingkat, menjadi ikut penasaran. Dalam hal tenaga, agaknya Jeng-kin-jiu tidak kalah, akan tetapi ilmu tongkat dari Hek-i Hui-mo benar-benar aneh dan ditambah pula dengan tasbihnya yang laksana tangan maut menyambar-nyambar, keadaan Jeng-kin-jiu menjadi amat terdesak.
Tiba-tiba Kwan Cu mengeluarkan seruan tertahan, seruan yang mengandung kemarahan besar. Akan tetapi dia tidak berbuat sesuatu, karena kesadarannya mengingatkan bahwa yang bertempur adalah musuh-musuh besar gurunya.
Dia mengeluarkan seruan ketika melihat kecurangan yang terjadi dalam pertempuran itu. Tanpa disangka-sangka, Coa-tok Lo-ong menyerang Jeng-kin-jiu dengan senjata rahasia yang amat halus dan tidak dapat dilihat oleh mata.
"Itu jarum-jarum Coa-tok-ciam...," Yok-ong juga berseru perlahan.
Jeng-kin-jiu bukanlah seorang yang disebut tokoh nomor satu di selatan kalau dia tidak tahu akan serangan gelap ini. Biar pun jarum-jarum itu sangat halus dan tidak kelihatan oleh mata, akan tetapi dia masih dapat mendengar suara angin senjata rahasia ini dan cepat-cepat dia mengebutkan tangan baju sebelah kiri. Ia tidak dapat berbuat lain karena pada saat itu, Hek-i Hui-mo sedang melakukan serangan yang hebat dan mendesaknya, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyingkirkan diri.
Oleh karena ini, biar pun dia dapat mempergunakan ujung lengan baju menyampok jatuh banyak jarum-jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) tetapi sama sekali dia tidak dapat membebaskan diri dari ancaman jarum-jarum yang dilontarkan dalam gelombang ke dua. Tiga batang jarum hitam yang amat halus sudah mengenai tubuhnya, sebatang di paha, sebatang di pundak dan sebatang lagi merasuki punggungnya.
Kalau orang lain yang terkena jarum-jarum ini, tentu akan roboh pada saat itu juga. Akan tetapi Jeng-kin-jiu adalah seorang yang tubuhnya sudah dipenuhi oleh hawa murni dan tenaga lweekang-nya sudah dapat dia salurkan sampai ke ujung-ujung kuku. Karena itu, begitu merasa tiga bagian tubuhnya itu gatal-gatal dan sakit, dia cepat mempergunakan Ilmu Pi-khi Koan-hiat (Menutup Hawa Menghentikan Jalan Darah) sehingga racun dari Coa-tok-ciam yang memasuki tubuhnya tidak dapat menjalar, namun hanya mengeram di sekitar jarum itu saja.
Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa terkurung, Jeng-kin-jiu lalu memutar toyanya dengan tenaga raksasa, segera maju dan menyerang membabi-buta. Terutama sekali dia mengejar Coa-tok Lo-ong yang sudah melukainya dengan cara sangat curang itu.
Coa-tok Lo-ong terkejut sekali karena tahu-tahu hwesio gemuk bundar itu sudah tiba di depannya dan memukul dengan kerasnya. Dia mengelak dan berbareng dari samping menyabetkan ularnya ke arah dada Jeng-kin-jiu.
Akan tetapi, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mengulur tangan kiri, menangkap kepala ular itu dan sekali remas saja, hancurlah kepala ular itu! Berbareng dengan itu, kembali dia mengirim serangan dengan toyanya.
Coa-tok Lo-ong cepat menyingkir dan sebentar saja Jeng-kin-jiu yang mengamuk seperti singa gila itu telah dikurung oleh Hek-i Hui-mo dan lain-lain. Bahkan kini para perwira ikut pula mengepungnya. Akan tetapi ternyata mereka ini mengantar nyawa secara sia-sia saja karena hanya dalam sekejap mata tangan Jeng-kin-jiu telah menghancurkan kepala beberapa orang pengeroyok.
"Mundur semua...!" berseru Kiam Ki Sianjin yang kini ikut mengepung pula. "Biarkan para cianpwe yang membunuh anjing gila ini!"
Akan tetapi semua keributan ini sebetulnya tak ada gunanya. Pada saat dia mengamuk, terpaksa untuk menyalurkan tenaga lweekang pada gerakan-gerakannya, kadang kala Jeng-kin-jiu harus melepaskan Ilmu Pi-khi Koan-hiat sehingga racun itu mulai menjalar di tubuhnya.
Maka tiba-tiba dia merasa kedua matanya gelap. Sambil meramkan mata, hwesio yang kosen ini masih saja mengamuk terus, dan dia hanya melindungi tubuh dan melakukan serangan semata-mata menurutkan pendengaran telinganya saja.
Akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Racun telah sampai di jantungnya dan tanpa mengeluarkan keluhan sedikit pun, Jeng-kin-jiu lalu roboh dan tewas dengan toya masih berada dalam genggaman tangannya! Melihat hal ini, semua orang tertegun dan untuk beberapa lama keadaan menjadi sunyi.
"Inilah orang yang benar-benar gagah perkasa, patut ditiru oleh kita semua. Demikianlah hendaknya sikap seorang gagah dan namanya takkan terlupa oleh keturunan kita!" kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang berulang-ulang.
Pada saat pertempuran tadi terjadi, Sui Ceng telah menghampiri gurunya dan berlutut di depan tubuh gurunya dengan muka sedih. Demikian pula Kun Beng dan Swi Kiat telah berlutut di depan Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Dua tokoh besar ini sudah siuman dari pingsannya dan kini mereka hanya memandang murid-murid mereka dengan senyum tawar. Mereka tak berdaya, dan meski pun mereka dengan bantuan murid-murid mereka dapat duduk, akan tetapi kedua pundak mereka tak dapat digerakkan lagi sehingga tak mungkin mereka sanggup menghadapi lawan dalam pertempuran.
"Sekarang boleh dilakukan hukuman terhadap Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian yang telah membunuh murid-murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai!" Coa-tok Lo-ong berkata nyaring tanpa mengenal malu sambil memandang pada dua orang ketua partai Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.
"Asal mereka telah mengaku dan memberi tahu kenapa mereka melakukan pembunuhan secara curang terhadap muridku, pinto sudah puas dan bersedia memaafkan mereka," kata Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai. Mendengar ucapan ini, Bian Kim Hosiang juga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang mendengar omongan itu lalu tertawa bergelak. Biar pun kedua pundak dan lengannya tidak dapat digerakkan lagi, namun tubuhnya masih kuat dan sekali menggerakkan kaki, dia sudah melompat berdiri, kedua muridnya berdiri di kanan-kirinya. Sikapnya masih gagah, hanya kedua lengannya saja yang tergantung tak berdaya.
"Kedua orang Ciangbunjin dari Bu-tong serta Kim-san agaknya sudah gila, buta atau memang sudah kembali menjadi anak-anak kecil. Aku Siangkoan Hai, selama hidup tidak pernah berbuat curang, sungguh pun sudah berkali-kali aku dicurangi orang seperti yang baru saja kualami ini. Maka dua orang Ciangbunjin harap membuka mata lebar-lebar dan mempergunakan pula otaknya!"
"Benar, kalian sudah ditipu oleh jahanam-jahanam tak tahu malu seperti Coa-tok Lo-ong, tapi masih keenakan saja, mana orang-orang macam kalian ini pantas menjadi ketua dari partai-partai besar?" kata Kiu-bwe Coa-li yang juga sudah berdiri.
Sui Ceng berdiri di sebelahnya dan kini cambuk berekor sembilan itu dipegang oleh Sui Ceng. Biar pun gadis ini masih agak lemah dan pundaknya masih terasa sakit, ia dengan gagah berdiri di samping gurunya, siap membelanya mati-matian.
Mendengar kata-kata Kiu-bwe Coa-li yang tanpa disengaja mendakwa kepada Coa-tok Lo-tong, sute dari Hek-i Hui-mo ini berubah mukanya. Akan tetapi Kiam Ki Sianjin yang mendalangi semua itu, menjadi khawatir sekali. Tokoh-tokoh besar yang pro rakyat kini sudah tidak berdaya, tidak membasmi mereka sekarang mau tunggu kapan lagi? Kalau mereka ini sudah tewas, berapa besar kekuatan pemberontak?
"Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li, biar pun kalian sekarang sudah dikalahkan, aku masih membuka kesempatan bagimu. Apa bila kalian suka tunduk dan berjanji akan membantu kami atau akan membujuk agar supaya para pemimpin pemberontak mengundurkan diri, kami akan memberi ampun kepada kalian dan murid-murid serta kawan-kawanmu."
"Bangsat tua, siapa sudi mendengar omongan-omonganmu? Mau bunuh lekas bunuh, habis perkara!" kata Kiu-bwe Coa-li dan biar pun kedua lengannya sudah lumpuh dan tak dapat digerakkan lagi, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat, ada pun sepasang kakinya siap pula untuk mengirim tendangan maut.
"Kiam Ki Sianjin, anjing penjilat belang! Apa sih sayangnya kalau tulang-tulangku yang keropos ini dihancurkan? Aku akan mati sebagai seorang gagah, bukan seperti kau yang kelak mampus seperti anjing penjilat kelaparan yang tidak dipakai lagi oleh majikanmu, penjajah asing!" Pak-lo-sian Siangkoan Hai mencaci.
Mendengar ini, naik darah Kiam Ki Sianjin dan dia lalu mencabut pedangnya. Dia adalah seorang tokoh besar yang berjulukan Pak-kek Sian-ong, bagaimana dia dapat menelan mentah-mentah hinaan ini?
"Kalau begitu mampuslah kalian!" bentaknya.
Akan tetapi tiba-tiba Seng Thian Siansu melompat dan pedangnya menangkis pedang di tangan Kiam Ki Sianjin.
"Nanti dulu, Kiam Ki Sianjin. Biar pun kawan-kawanku telah kalah oleh akal busuk, akan tetapi di fihakku masih ada aku orang tua. Kalau aku sudah kalah, boleh kalian berbuat sesuka hatimu terhadap kami. Hayo, majulah, aku menyediakan selembar nyawaku yang tidak berharga!"
Walau pun sudah sangat tua dan lemah, ketua Kun-lun-pai ini berdiri dengan gagahnya. Pedangnya sudah siap di tangan, melakukan gerakan Sian-jin Tit-louw (Dewa Menunjuk Jalan), membuka kuda-kudanya dengan tenang sekali.
Seng Thian Siansu adalah ketua Kun-lun-pai, yaitu seorang tua yang banyak dikenal dan disegani orang. Sebagai seorang ciangbunjin dari partai yang amat besar, dia dihormati sekali dan karenanya kali ini setelah dia yang maju, dari fihak Kiam Ki Sianjin tidak ada yang berani mengeroyok.
Akan tetapi mereka ini tidak menjadi gentar, karena para tokoh ini maklum bahwa Seng Thian Siansu yang sekarang berbeda dengan Seng Thian Siansu sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Kakek ini sudah terlalu tua dan kabarnya sudah beberapa kali menderita sakit tua sehingga amat lemah dan tidak memiliki tenaga besar lagi.
Toat-beng Hui-houw hendak mencari jasa, maka sambil tertawa-tawa dia melompat maju menghadapi Seng Thian Siansu.
"Aku mohon pengajaran dari Siansu yang namanya tersohor di kolong langit," katanya sambil menyeringai dan menggerakkan kedua tangan sehingga sepuluh kukunya terulur panjang.
Kemudian dengan gerakan cepat sekali dia maju menyerang dengan kedua tangannya yang digerakkan seperti seekor harimau mencakar. Tak ketinggalan pula kedua kakinya mengirim tendangan bertubi-tubi sehingga dia betul-betul terlihat seperti seekor harimau menyerang.
Seng Thian Siansu adalah seorang ketua dari partai besar, tentu saja kepandaiannya amat tinggi. Dia adalah ahli waris dari ilmu silat Kun-lun-pai dan tentang kepandaian, dia jauh lebih menang dari pada Toat-beng Hui-houw. Akan tetapi sayang sekali, sudah ada belasan tahun dia termakan oleh usia tua sehingga tenaganya sebagian lenyap dan juga kegesitannya berkurang banyak. Bagaikan sebatang pedang pusaka yang ampuh, apa dayanya kalau sudah dimakan karat?
Maka begitu pedangnya yang menangkis serangan Toat-beng Hui-houw terbentur oleh kuku tangan kakek seperti siluman ini, dia lantas merasa telapak tangannya tergetar dan pedangnya terpental. Dengan cepat Seng Thian Siansu terkurung dan terdesak hebat oleh Toat-beng Hui-houw yang menyerang sambil tertawa-tawa mengejek.
Akan tetapi dia salah kira kalau dapat dengan mudah mengalahkan kakek yang usianya sudah tinggi sekali itu. Ilmu pedang dari Seng Thian Siansu sudah mencapai tingkat yang mendekati kesempurnaan, maka daya tahannya juga sangat luar biasa.
Sayang sekali, seperti sudah dituturkan di atas, tenaga kakek ini sudah amat terbatas, demikian pula kecepatannya. Sebentar saja dia sudah mulai terengah-engah, akan tetapi dengan semangat penuh dia masih terus mempertahankan diri.
Kwan Cu sudah bergerak hendak melompat, akan tetapi kembali Yok-ong mencegahnya.
"Bagaimana kita bisa membantu kalau mereka bertempur satu lawan satu?" katanya.
Kwan Cu menjadi bingung. Semenjak tadi dia hendak membantu fihak Pak-lo-sian, akan tetapi kesempatan baik belum ada. Tentu saja dia pun harus tunduk pada Yok-ong yang mengemukakan alasan-alasan kuat. Sebagai orang gagah dia pun harus bisa memegang aturan.
Sekarang Seng Thian Siansu benar-benar terdesak hebat. Pada suatu saat, Toat-beng Hui-houw yang merasa penasaran sekali mengapa sebegitu lama belum juga dia mampu mengalahkan kakek tua renta itu, membentak keras dan tahu-tahu kedua tangannya bisa menangkap tangan ketua Kun-lun-pai itu yang memegang pedang.
Seng Thian Siansu merasa tangan kanannya sakit sekali bagaikan terjepit oleh jepitan baja. Kuku-kuku kedua tangan Toat-beng Hui-houw amblas ke dalam tangannya dan menghancurkan tangan itu. Akan tetapi, sambil menahan sakit, ketua Kun-lun-pai ini lalu menggunakan tangan kirinya untuk memukul sambil mengerahkan seluruh sisa tenaga terakhir ke arah dada Toat-beng Hui-houw.
"Blekkk!"
Toat-beng Hui-houw mengeluarkan gerengan seperti seekor macan terpukul. Tubuhnya terhuyung dan dia muntahkan darah segar. Biar pun tenaga kakek Kun-lun-pai itu tidak begitu besar, akan tetapi karena rasa sakit pada tangan kanannya, tenaganya bertambah dan pukulan itu hebat sekali.
Akan tetapi, dia sendiri terpaksa harus melepaskan pedangnya dan tangan kanannya sudah bukan berupa tangan lagi. Jari-jemarinya putus dan tangan itu hancur! Seng Thian Siansu maklum bahwa selain tangan kanannya hancur, juga darahnya telah kemasukan racun yang keluar dari kuku-kuku tangan Toat-beng Hui-houw, karena itu dia lalu duduk bersila meramkan mata, menanti datangnya maut dengan tenang.
Sebaliknya, Toat-beng Hui-houw akhirnya roboh pingsan. Pada saat semua orang masih bengong melihat pertempuran yang berakibat hebat itu, mendadak Sui Ceng melompat, menyambar pedang Seng Thian Siansu yang jatuh di atas tanah dan sebelum ada orang yang dapat mencegahnya, gadis ini mengayun pedang itu dan putuslah leher Toat-beng Hui-houw!
Sesaat semua orang terkesima, akan tetapi segera gegerlah orang-orang yang berada di fihak Kiam Ki Sianjin. Beberapa orang melompat maju, bahkan Kiam Ki Sianjin sendiri berseru,
"Curang sekali...!"
Setelah memenggal kepala Toat-beng Hui-houw, Bun Sui Ceng lalu tertawa nyaring dan berkata, "Ibu, terbalaslah sudah dendam hatimu terhadap siluman ini!" Kemudian dengan air mata mengucur gadis ini berdiri dengan gagahnya menghadapi Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya.
"Bukan Seng Thian Siansu yang curang, akan tetapi aku sendiri, Bun Sui Ceng, yang sengaja memenggal kepala siluman ini untuk membalas sakit hati ibuku yang dulu tewas di tangannya. Siapa yang tidak terima, boleh maju! Untuk perbuatanku tadi, aku sanggup menghadapi segala akibatnya!"
"Tangkap dia!"
"Bunuh dia!"
"Basmi semua pemberontak!"
Teriakan-teriakan ini terdengar saling susul dan semua orang yang berada di fihak Kiam Ki Sianjin, kecuali orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, serentak bergerak hendak menggempur Sui Ceng dan yang lain-lain.
"Tahan dulu...!"
Tiba-tiba ada bayangan yang melayang dan menyambar-nyambar amat cepatnya, diikuti oleh bayangan lain yang juga amat gesitnya. Bayangan pertama adalah Kwan Cu yang tidak dapat menahan hatinya lagi, apa lagi ketika melihat betapa Sui Ceng berada dalam bahaya hendak dikeroyok.
Begitu tiba di tempat itu, Kwan Cu segera menggerakkan kedua tangannya ke arah para pengeroyok. Dengan amat cepat, tanpa dapat terlihat oleh lain orang, dia telah memukul mundur semua orang dengan pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut.
Kiam Ki Sianjin beserta kawan-kawannya hanya merasa adanya angin yang kuat sekali mendorong mereka mundur beberapa tindak dan ternyata tahu-tahu pemuda dusun yang tadi dianggap tolol telah berdiri menghadapi mereka sambil bertolak pinggang.
Ada pun bayangan kedua adalah Hang-houw-siauw Yok-ong. Berbeda dengan Kwan Cu, raja tabib ini dengan cepat luar biasa bagaikan burung menyambar-nyambar, telah dapat menyambar tubuh Thian Seng Siansu, kemudian berturut-turut ia juga menyambar tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li, dibawa ke belakang, kemudian tanpa mempedulikan sesuatu dia mengobati tokoh-tokoh yang terluka ini.
Pertama-tama dia mempergunakan obat untuk mengobati luka pada tangan Seng Thian Siansu karena keadaan kakek ini yang paling hebat. Sesudah menotok beberapa jalan darah, Yok-ong cepat memberi obat pada tangan yang rusak itu dan memasukkan pil ke dalam mulut kakek ini yang memandangnya dengan penuh keheranan dan kekaguman.
Setelah itu, barulah Yok-ong memeriksa pundak Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li. Karena dia sangat lihai dalam ilmu pengobatan, tulang pundak yang sudah terlepas dan kalau menurut ahli pengobatan lainnya baru akan sembuh sedikitnya dua pekan, sebentar saja Yok-ong sudah dapat menyambungnya dengan baik!
"Sayang masih tidak boleh mengerahkan tenaga lweekang di kedua lengan pada hari ini, harus menanti sampai dua hari," kata Yok-ong kepada dua orang tokoh itu.
"Ehh, muka hitam! siapakah kau yang sudah berpura-pura dungu dan bodoh, menyamar sebagai petani ini?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan heran sekali.
Pak-lo-sian tertawa. "Ha-ha-ha, di dunia ini yang sanggup mengobati orang dengan cara seperti ini hanyalah Hang-houw-siauw Yok-ong. Bukankah kau Yok-ong?"
Akan tetapi Yok-ong tak menjawab, hanya menudingkan telunjuk ke depan dan mukanya berubah terheran-heran sehingga dia menjadi bengong. Pak-lo-sian serta Kiu-bwe Coa-li juga memandang ke depan. Mereka melihat betapa Sui Ceng sudah mundur, juga kini Sui Ceng, Kun Beng, Swi Kiat dan dua orang anak murid Kun-lun-pai, juga memandang dengan bengong ke tengah lapangan adu silat tadi. Memang apa yang mereka lihat amat mengherankan hati mereka.
Kwan Cu dengan tangan bertolak pinggang sedang menghadapi Kiam Ki Sianjin beserta kawan-kawannya. Pemuda ini kelihatan marah sekali, akan tetapi mukanya terlihat amat lucu karena muka yang berwarna merah seperti udang direbus itu tidak dapat digerakkan sehingga seperti topeng saja.
"Kalian ini para pengkhianat bangsa dan anjing-anjing penjilat selalu memutar balikkan duduknya perkara. Diri sendiri pengecut dan curang mengatakan orang lain yang curang. Sungguh tak tahu malu!"
Karena Kwan Cu sengaja mengubah suaranya, Kiam Ki Sianjin tidak mengenalnya. Akan tetapi karena melihat betapa pukulan anak muda ini benar-benar lihai, dia berlaku sangat hati-hati dan menjawab,
"Bocah dusun! Bagaimana kau dapat berkata begitu? Memang fihak Pak-lo-sian curang sekali, jika tidak curang, kenapa gadis itu membunuh Toat-beng Hui-houw yang sedang tak berdaya?"
"Nona itu membunuh siluman Toat-beng Hui-houw bukan untuk mengeroyok dan bukan untuk berlaku curang. Kalian sudah mendengar sendiri bahwa ibunya dulu terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw! Pembalasan dendam tidak boleh dicampur-aduk dengan perbuatan curang. Andai kata kalian menganggapnya mengeroyok, biarlah hal itu dianggap sebagai pembalasan pula karena bukankah kalian tadi juga mengeroyok ketika kedua locianpwe Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian maju?"
"Setan kecil! Apa bila kau memang murid seorang pandai dan mengaku sebagai seorang gagah atau pendamai, ternyata kau berat sebelah! Mungkin sekali Toat-beng Hui-houw membunuh ibu gadis itu, namun siapa tahu kalau memang ibu gadis itu ternyata adalah penjahat besar?"
Kwan Cu tertawa dan dia menjura kepada Kiam Ki Sianjin dengan penghormatan yang sifatnya mengejek.
"Harap Locianpwe suka mendengarkan dongenganku sebentar. Toat-beng Hui-houw itu adalah suheng dari Tauw-cai-houw, saikong yang berwatak keji dan suka makan daging anak-anak kecil. Maka, pada suatu hari pendekar wanita Pek-cilan Thio Loan Eng yang namanya sudah tersohor di seluruh penjuru dunia, menewaskan bangsat keji itu dengan pedangnya. Bukankah hal itu telah cukup adil? Lalu siluman tua ini, Toat-beng Hui-houw, melakukan pembalasan terhadap Pek-cilan Lihiap. Ini pun boleh-boleh saja karena dia memang suheng dari Tauw-cai-houw. Akan tetapi tahukah Locianpwe bagaimana cara Toat-beng Hui-houw membalas dendam? la menawan Pek-cilan Lihiap, kemudian selagi pendekar wanita itu masih hidup, dia menggigit lehernya dan mengisap darahnya sampai habis!"
Terdengar seruan-seruan kaget. Dua orang ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai beserta anak murid mereka bergidik mendengar perbuatan yang sangat keji dan di luar batas peri kemanusiaan ini! Bun Sui Ceng menjadi pucat dan dia mengeluarkan pertanyaan tanpa disadarinya.
"Siapa dia yang mengerti semua peristiwa itu?"
Pertanyaan ini terdengar pula oleh Kiam Ki Sianjin yang juga menjadi penasaran, maka tanyanya.
"Orang muda, siapakah namamu dan apa kehendakmu sekarang?"
"Namaku? Namaku ialah Ang-bin Siauw-bu-beng (Si Kecil Tak Bernama Yang Bermuka Merah). Dan kehendakku? Tak lain kedatanganku ini untuk mendongeng!"
Semua orang, baik dari fihak Kiam Ki Sianjin mau pun dari fihak Pak-lo-sian Siang-koan Hai, tak ada seorang pun yang pernah mendengar nama julukan Ang-bin Siauw-bu-beng, maka mereka memandang dengan heran. Apa lagi ketika Kwan Cu menyatakan bahwa kedatangannya untuk mendongeng!
Sui Ceng hampir tak dapat menahan ketawanya karena ia merasa amat lucu. Bagaimana bisa di tengah-tengah medan pertandingan mati-matian yang telah mengorbankan begitu banyak nyawa orang, pemuda muka merah yang buruk rupa ini bahkan datang hendak mendongeng? Sungguh menggelikan.
Akan tetapi Kiam Ki Sianjin marah bukan main. Dia adalah seorang ahli silat kelas satu, masa sekarang dia boleh dipermainkan begitu saja oleh seorang badut muda?
"Jangan kau main-main, lekas pergi kalau kau tidak ingin remuk tulang-tulangmu. Siapa sudi mendengar ocehan dan dongenganmu?"
Sambil berkata demikian, dia mendorong dengan kedua tangannya dengan sikap seperti orang mau mengusir. Akan tetapi, sebenarnya dalam dorongannya ini dia mengerahkan tenaga Jian-mo-kang yang luar biasa dahsyatnya.
Kwan Cu hanya merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah kedua tangannya lantas diangkat seperti orang yang mencegah orang lain hendak memukulnya.
Kiam Ki Sianjin terkejut bukan main. Tadi dia mengerahkan tenaga Jian-mo-kang dan dia tahu bahwa jangankan pemuda aneh ini, walau pun batu yang beratnya beribu kati akan terguling bila terkena dorongannya ini. Baru angin dorongannya saja sudah mengandung tenaga sedikitnya tiga ratus kati.
Akan tetapi, pemuda itu dengan merendahkan tubuh sambil mengangkat kedua tangan, ternyata dari angkatan tangan ini keluar sebuah tenaga tersembunyi yang dari bawah mendorong tangan Kiam Ki Sianjin ke atas sehingga dorongan tenaga Jian-mo-kang lewat di atas kepala Kwan Cu mengenai angin kosong! Daun-daun pohon yang berada di sebelah belakang Kwan Cu seperti tertiup angin pada waktu terkena sambaran tenaga Jian-mo-kang yang menyeleweng ke atas ini sehingga rontoklah banyak daun pohon itu!
"Locianpwe, ampunkan selembar nyawaku. Jangan bunuh aku dahulu sebelum boanpwe (aku yang rendah) selesai mendongeng," kata Kwan Cu sambil tersenyum. "Tadi sudah kuceritakan dongeng mengenai Toat-beng Hui-houw sehingga kita semua kini tahu akan macam orang itu dan kiranya sudah sepatutnya kalau nona yang lihai itu membunuhnya. Sebelum mendongeng mengenai para locianpwe yang kini masih hidup, aku akan mulai dengan yang sudah tewas, yakni Jeng-kin-jiu Locianpwe. Dia itu sekarang memang telah tewas sebagai seorang gagah, akan tetapi sangat disayangkan bahwa kematiannya itu merupakan penebusan dosa dari penyelewengan hidupnya. Sungguh amat disayangkan. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu merupakan seorang tokoh besar dari selatan yang biar pun amat aneh akan tetapi belum pernah berlaku curang dan jahat. Akan tetapi, seperti yang dikatakan oleh guru besar Khong Cu, musuh manusia yang paling berbahaya adalah diri sendiri! Melihat kehidupan mulia dan enak, Jeng-kin-jiu sudah kena dibujuk dan menjadi kaki tangan An Lu Shan, bahkan mengajar para pangeran, sama sekali tak peduli bahwa majikannya itu adalah penindas bangsanya. Kemudian, lebih celaka lagi, dengan kawan-kawannya yang sama-sama menyeleweng batinnya, dia melakukan pengeroyokan dan membunuh seorang pendekar besar yang namanya akan tetap wangi selama dunia ini berkembang, yaitu Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Ada pun Liok-te Mo-li nenek yang aneh itu, memang dia gagah perkasa dan lihai sekali, juga di waktu lampau dia selalu membasmi orang-orang jahat. Sayang dia terlalu ganas dan kejam, menyebar maut seenaknya saja, maka akhirnya ia pun tewas akibat kecurangan orang-orang jahat pula!"
Mendengar ucapan-ucapan Kwan Cu semakin mengacau, apa lagi melihat betapa kedua musuh besarnya, yakni Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian telah tertolong dan telah diobati oleh seorang kakek muka hitam yang aneh, Bian Kim Ho siang dan Bin Kong Siansu menjadi marah dan keduanya melompat maju.
"Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, dua manusia durhaka! Jangan kalian bersembunyi di balik kegilaan badut kecil ini. Kalian sudah sembuh? Hayo kita bertanding lagi sampai salah seorang di antara kita mampus!" bentak Bian Kim Hosiang.
"Fihak Pak-lo-sian sudah kalah semua, di sana tidak ada jagonya lagi. Menurut perjanjian mereka harus mengaku kalah kemudian mentaati perintah dan kehendak kami!" Kiam Ki Sianjin berkata keras, tanpa mempedulikan lagi kepada pemuda muka merah itu.
Pak-lo-sian dan Seng Thian Siansu saling pandang, lalu tersenyum pahit.
"Kiam Ki Sianjin, kami adalah orang-orang gagah yang sekali mengeluarkan ludah takkan dijilat lagi!"
Seng Thian Siansu mengangguk-anggukkan kepalanya yang semua rambutnya sudah putih. Mereka memang sudah tidak berdaya.
Kiu-bwe Coa-li sudah tak dapat menggerakkan dua lengannya, demikian pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Seng Thian Siansu sendiri tangannya sudah remuk, tak mungkin mampu berkelahi lagi. Murid-murid Pak-lo-sian juga terluka, demikian pula Sui Ceng murid dari Kiu-bwe Coa-li. Ada pun dua orang murid Kun-lun-pai kepandaiannya masih sangat jauh di bawah tingkat lawan. Mereka terpaksa harus mengaku kalah.
"Jadi kau sudah mengaku bahwa fihakmu kalah, Pak-lo-sian?" Kiam Ki Sianjin bertanya dengan muka kegirangan.
"Memang... kami..."
Tiba-tiba Kwan Cu melanjutkan kata-kata Pak-lo-sian ini dengan cepat.
"Kami belum lagi kalah! Aku Ang-bin Siauw-bu-beng mewakili fihak Pak-lo-sian Cianpwe menjadi jagonya!"
Mendadak Yok-ong melompat di dekat Kwan Cu. Semua orang lagi-lagi tertegun karena gerakan kakek muka hitam itu sedemikian cepatnya sehingga sekali melihat saja tahulah semua orang bahwa kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Siauw-bu-beng, tak boleh kau meninggalkan Lohu! Kalau kau yang muda berani maju, mengapa aku tidak?"
Yok-ong adalah seorang ahli silat yang kepandaiannya sudah hampir sempurna, maka tentu saja dia pun dihinggapi penyakit ‘gatal tangan’ seperti ahli-ahli silat lainnya apa bila melihat adu kepandaian, apa lagi menghadapi begitu banyak jago-jago silat. Maka dia tak dapat menahan hatinya untuk ‘main-main’ sebentar, dan di samping ini dia juga merasa khawatir melihat Kwan Cu menghadapi para tokoh besar itu. Dia tahu bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi berapa tinggikah kepandaian seorang bocah yang masih belum matang?
Yok-ong lalu menjura kepada Kiam Ki Sianjin setelah mengejapkan mata kepada Kwan Cu.
"Kiam Ki Sianjin, sudah lama sekali aku mendengar namamu yang menjulang setinggi awan. Sekarang, sungguh amat menyenangkan bertemu dengan kau yang hadir sebagai kaki tangan kaisar. Aku tak akan menyia-nyiakan waktu dan kesempatan ini, dan mohon petunjukmu dalam ilmu pukulan."
Kwan Cu maklum akan ‘penyakit’ ahli silat yang menghinggapi diri Yok-ong, maka sambil memainkan mata kepada dua orang ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, dia berkata,
"Ji-wi Locianpwe harap mundur dulu, nanti saja kalau tiba giliran kita, Ji-wi maju lagi!"
Kata-kata ini memanaskan perut Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai. Kalau saja yang mengeluarkan kata-kata main-main ini bukan seorang bocah, tentu dia sudah mengirim serangan. Akan tetapi Bin Kong Siansu sudah menarik tangannya diajak mundur.
Kwan Cu juga mundur. Akan tetapi dia berdiri tidak jauh di belakang Yok-ong, karena dia merasa curiga dan khawatir kalau-kalau Yok-ong akan dicurangi pula.
Walau pun Kiam Ki Sianjin dapat menduga bahwa kakek muka hitam ini lihai, akan tetapi sebagai seorang tokoh besar dia tidak sudi bertanding melawan orang yang tak terkenal, maka dia lalu menjura dan berkata,
"Sahabat telah mengetahui namaku yang rendah, tapi sebaliknya aku belum tahu dengan siapa aku berhadapan. Ini tidak adil sekali."
Yok-ong tertawa, suara ketawanya halus dan merdu seperti ketawa seorang yang amat sopan.
"Kiam Ki Sianjin, yang akan bergerak adalah tangan kaki kita, perlu apa memperkenalkan nama? Akan tetapi karena kau mendesak, baiklah. Namaku adalah Hek-bin Lo-bu-beng (Si Tua Tak Bernama Yang Bermuka Hitam)!"
Kwan Cu tertawa geli. Kiranya kakek Raja Tabib ini meniru dia, menambah kata-kata Muka Hitam di depan nama julukan baru, yakni Lo-bu-beng.
Kiam Ki Sianjin menjadi merah mukanya. "Hemm, kau dan bocah itu sengaja tidak mau memperkenalkan nama. Akan tetapi tak apalah. Apakah kau maju sebagai jago dari fihak pemberontak?"
"Sesukamu, boleh saja kau menganggap begitu. Akan tetapi sebetulnya lebih tepat kalau dikatakan bahwa aku maju sebagai wakil dari mereka yang tertindas. Kiam Ki Sianjin, keluarkanlah pedangmu, aku sudah lama mendengar bahwa kau adalah seorang ahli pedang yang jempolan!"
Kiam Ki Sianjin diam-diam berpikir dan mencari akal. Kalau orang ini sudah tahu bahwa dia pandai main pedang, tentulah orang ini sudah bersedia terlebih dahulu menghadapi pedangnya, dan boleh dipastikan bahwa kakek muka hitam ini tentulah seorang ahli pula dalam penggunaan senjata pula.
"Tak perlu menggunakan senjata," katanya, "mari kita mengadu tenaga lweekang saja. Apakah kau berani menerima?"
Kiam Ki Sianjin adalah seorang yang semenjak muda meyakinkan ilmu lweekang sampai tingkat tinggi dan dalam hal kepandaian ini, kiranya dia tidak usah kalah oleh lima tokoh besar, yakni Pak-lo-sian, Jeng-kin-jiu, Ang-bin Sin-kai, Hek-i Hui-mo, dan Kiu-bwe Coa-li. Karena itu, mengira bahwa Si Muka Hitam ini ahli senjata, dia lalu memilih adu tenaga lweekang supaya mendapat kemenangan dengan mudah.
Yok-ong pura-pura terkejut dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Ayaaa... mengapa kau mengajak yang aneh-aneh?"
"Berani tidak?" tanya Kiam Ki Sianjin mendesak.
Kiam Ki Sianjin merasa girang karena melihat si muka hitam kelihatannya ragu-ragu dan terkejut. Jika si muka hitam menolak, berarti orang itu mengaku kalah dan boleh dihukum menurut sesuka hati yang menang.
"Apa boleh buat, kau tuan rumah dan aku tamu yang harus menghormati kehendak tuan rumah. Dengan cara bagaimana kau hendak mengajakku mengadu kekuatan itu?" tanya Yok-ong.
"Tidak berbahaya, sama sekali tidak berbahaya! Kita mengadu telapak tangan dan saling mendorong, siapa yang jatuh di atas tanah dia yang kalah!" kata Kiam Ki Sianjin sambil tertawa-tawa.
Semua orang terkejut. Memang ada banyak cara mengadu lweekang, akan tetapi yang paling berbahaya adalah adu lweekang dengan menempelkan telapak tangan dan saling mendorong. Dalam adu lweekang semacam ini, sembilan bagian orang yang kalah akan tewas atau setidaknya menderita luka dalam yang hebat sekali.
Akan tetapi anehnya, si muka hitam agaknya tidak mengerti akan bahaya itu dan dengan tertawa-tawa dia berkata,
"Aha, tidak tahunya kau akan mengajak aku main-main seperti anak kecil saja. Baiklah, memang aku pun tidak mempunyai niat buruk di dalam hatiku. Kalau menang baik, kalau kalah paling-paling hanya terdorong jatuh, apa susahnya?"
"Sahabat Lo-bu-beng, hati-hatilah! Dia memiliki tenaga Jian-mo-kang!" kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang juga merasa khawatir kalau-kalau si muka hitam yang amat pandai mengobati itu akan binasa di bawah tangan Kiam Ki Sianjin yang lihai.
Yok-ong menoleh dan tersenyum kepada jago tua dari utara itu.
"Biarlah, kami hanya bermain-main dan saling dorong saja, bukan saling pukul. Apa sih bahayanya?"
Akan tetapi pada waktu dia menoleh, Kiam Ki Sianjin sudah mengerahkan tenaga dan meluruskan kedua lengan ke depan, lalu membentak,
"Lo-bu-beng, bersiaplah!"
Yok-ong memutar tubuhnya dan bukan hanya dia, juga tokoh-tokoh lain yang hadir di situ maklum bahwa kembali Kiam Ki Sianjin sudah menggunakan kesempatan untuk mencari kedudukan yang lebih menguntungkan.
Dalam adu tenaga seperti ini, siapa yang mengerahkan tenaga dan meluruskan lengan terlebih dulu, dia berada dalam kedudukan menyerang, sedangkan yang menempelkan tangan dan meluruskan lengan terakhir berada dalam kedudukan menahan.
Akan tetapi agaknya si muka hitam ini tidak tahu akan hal ini, bahkan tanpa menarik napas panjang seperti orang yang hendak mengumpulkan tenaga lweekang, akan tetapi sambil tertawa-tawa dia lantas memasang kuda-kuda dengan tumit diangkat, kemudian meluruskan tangan menempelkan telapak tangan ke telapak tangan Kiam Ki Sianjin.
Begitu kedua telapak tangan menempel, Kiam Ki Sianjin lalu mengempos semangat dan napasnya, segera mendorong sambil mengerahkan tenaga Jian-mo-kang yang dahsyat. Tadi sudah dituturkan mengenai kehebatan tenaga Jian-mo-kang ini, yang hanya angin pukulannya saja sudah cukup untuk menggulingkan batu seberat tiga ratus kati dan kalau tangan itu menempel pada batu yang beratnya seribu kati, batu itu akan terdorong roboh.
Akan tetapi, pada saat tangannya menempel pada telapak tangan Yok-ong, dia merasa betapa telapak tangan si muka hitam itu lunak dan halus sekali seperti kapas! Ia terkejut dan tahu bahwa lawannya menggunakan Bian-ciang-kang (Telapak Tangan Kapas) yang menggunakan tenaga ‘lemas’ untuk menghadapi tenaga ‘keras’.
Menghadapi tenaga ini, Kiam Ki Sianjin kehilangan kekuasaan tenaganya, seakan-akan semua tenaga Jian-mo-kang yang dikerahkan itu ‘amblas’ dalam telapak tangan lawan, atau seperti sepotong besi yang berat masuk ke dalam air!
Cepat dia hendak menarik kembali telapak tangannya untuk mengubah gencetan dari arah lain. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika telapak tangannya itu telah ‘menempel’ pada telapak tangan si muka hitam, tidak dapat ditarik lepas! Telapak tangan lawannya itu seakan-akan mengeluarkan daya luar biasa yang menyedot kulit telapak tangannya sendiri.....
Komentar
Posting Komentar