PENDEKAR SAKTI : JILID-47
Dusun Kiang-cee sudah bukan merupakan dusun lagi karena semua penghuninya sudah pindah, meninggalkan dusun yang menjadi kosong dan sunyi. Hal ini disebabkan karena dusun itu termasuk daerah pertempuran antara para pejuang dan tentara kaisar, maka penduduk menjadi ketakutan dan lari mengungsi.
Banyak pula di antara penduduk laki-laki yang masih muda menggabungkan diri dengan para pejuang rakyat yang sebagian besar terdiri dari kaum petani yang dipimpin oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang berjiwa patriot. Dusun itu dijadikan markas kalau malam dan kalau siang menjadi kosong karena semua penghuninya maju perang. Setelah kedatangan Ngo Lian Suthai dan muridnya yang tidak lain adalah Gouw Kui Lan, sebuah kuil kuno yang besar lalu dijadikan semacam ‘hospital’.
Semenjak tinggal di kuil Ngo Lian Suthai, Kui Lan mendapat banyak petuah dan akhimya dia membuka semua rahasianya kepada wanita suci itu. Ngo Lian Suthai menghibumya dan menyatakan bahwa dosa itu hanya dapat ditebus dan dicuci dengan jalan melakukan perbuatan-perbuatan baik lahir batin sebanyak mungkin. Maka dengan suka rela Kui Lan kemudian menjadi muridnya dan turut membantu perjuangan dengan jalan merawat para pejuang yang terluka dalam peperangan.
Pada hari itu di dalam dusun kedatangan dua orang pemuda yang datang dari jurusan yang berbeda. Pemuda pertama adalah The Kun Beng. Setelah mendengar bahwa Kui Lan berada di situ, orang muda ini langsung menuju ke kuil. la merasa amat menyesal akan semua perbuatannya dan ingin minta ampun kepada Kui Lan.
Akan tetapi karena seluruh cinta kasihnya sudah dicurahkan kepada Sui Ceng, sesudah mendapat pengampunan dia akan pergi lagi bertapa. Dia tahu bahwa tidak mungkin dia menjadi suami Sui Ceng setelah rahasianya terbongkar dan dia tidak mau pula menjadi suami Kui Lan karena memang dia tidak mencinta gadis ini.
Kebetulan sekali, baru saja dia tiba di depan kuil, dari lain jurusan datang Gouw Swi Kiat, suheng-nya!
"Bagus, Kun Beng, kau datang menebus dosa! Lekas-lekas kita menemui Lan-moi dan pernikahan akan dapat dilakukan di sini juga," kata Swi Kiat girang. Hati kakak ini tak lain hanyalah ingin menolong keadaan adiknya yang namanya tentu akan rusak apa bila tidak menjadi isteri Kun Beng.
"Bukan itu maksud kedatanganku, Suheng. Aku memang sengaja datang untuk mohon ampun dari adikmu, akan tetapi aku tak akan menikah dengan siapa pun juga."
Tentu saja Swi Kiat menjadi marah sekali, mukanya merah dan alisnya berdiri.
"Orang she The!" bentaknya menudingkan telunjuknya. “Apakah sampai saat ini, setelah rahasiamu diketahui oleh suhu, kau masih membandel dan tak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu? Kau harus mengawini adikku, apa bila tidak, terpaksa aku akan mengadu nyawa denganmu untuk menebus hinaanmu!" Dengan sangat marah Swi Kiat mencabut keluar senjatanya, yakni sepasang kipas maut yang amat lihai.
Walau pun menghadapi ancaman ini, Kun Beng sudah bulat hatinya. la menghela napas dan menjawab,
"Meski pun kau akan membunuhku, aku tak dapat memilih jalan lain, suheng. Kalau aku memaksa diri dan mengawini adikmu, aku hanya akan membikin dia menderita selama hidupnya, karena terus terang saja, aku tidak mencinta adikmu. Dahulu perbuatan kami dilakukan karena kami sudah mata gelap dan terdorong oleh nafsu jahat."
"Keparat, jadi kau mencinta Sui Ceng?"
Pada saat pertanyaan ini diajukan, datanglah Kwan Cu dan Sui Ceng, akan tetapi Kwan Cu cepat menarik tangan Sui Ceng, diajak bersembunyi di belakang tembok kuil sambil mengintai dan mendengarkan. Hati Sui Ceng berdebar ketika mendengar percakapan yang menyangkut namanya itu.
"Benar, Suheng. Aku mencinta Sui Ceng."
“Jahanam!"
"Mungkin aku memang jahanam, Suheng. Akan tetapi itulah suara hatiku dan aku tidak bisa melakukan sesuatu di luar suara hatiku."
"Pengecut besar, anjing tak kenal budi, kalau begitu biarlah kita mengadu nyawa di sini!" bentak Swi Kiat yang cepat menggerakkan sepasang kipasnya dan menyerang dengan hebat.
Kun Beng tentu saja sudah tahu benar akan kelihaian suheng-nya dan akan bahayanya sepasang kipas maut itu, maka sambil melompat mundur dia pun mencabut tombaknya.
Memang Pak-lo-sian Siangkoan Hai mempunyai dua macam keahlian yang membuat namanya terkenal sekali di kalangan kang-ouw, yakni permainan sepasang kipas maut dan permainan tombak. Sesuai dengan bakat masing-masing, kakek ini menurunkan pelajaran ilmu tombak kepada Kun Beng dan ilmu kipas kepada Swi Kiat. Akan tetapi tentu saja walau pun sudah mempunyai keahlian masing-masing, kedua orang muda itu mengenal baik ilmu senjata yang dua macam itu.
Pertandingan antara kakak beradik seperguruan ini berjalan hebat luar biasa, akan tetapi masih berat sebelah. Swi Kiat menyerang secara nekat dan dengan kemarahan yang meluap-luap. Hatinya terasa sakit sekali melihat Kun Beng yang sudah merusak nama baik adiknya dan kini tidak mau bertanggung jawab untuk membersihkan nama adiknya. Tujuannya hanya satu, membunuh atau terbunuh.
Sebaliknya, Kun Beng telah merasa akan kesalahan dan dosanya sehingga hatinya amat bersedih. Oleh karena itu tidak mengherankan apa bila permainan tombaknya tak selihai biasanya, bahkan boleh dibilang agak kalut. la selalu berada di fihak yang terserang dan segera terdesak hebat.
Saat yang membuka kesempatan baik bagi Swi Kiat tidak disia-siakan dan kipas tangan kirinya telah menotok pundak Kun Beng. Baiknya pemuda ini cepat mengelak sehingga hanya tulang pundaknya saja yang putus, karena apa bila mengenai urat nadi, pasti dia akan langsung tewas.
Semenjak tadi Sui Ceng memandang pertempuran itu dengan muka pucat. Dia terharu mendengar bahwa Kun Beng amat mencintanya, cocok dengan perasaan hatinya sendiri, akan tetapi dia pun penasaran menyaksikan sifat pengecut dari bekas tunangannya itu.
Ketika pertempuran terjadi, dia hanya memandang saja. Akan tetapi melihat Kun Beng terluka, hatinya tidak tega. Betapa pun juga harus ia akui bahwa ia mencinta pemuda ini dan tanpa dapat dipertahankan lagi, pada saat melihat Kun Beng terdesak hebat, ia lalu melompat dan pedangnya sudah menangkis kipas Swi Kiat.
Pemuda ini tertegun, akan tetapi melihat bahwa yang datang adalah Sui Ceng, marahnya makin menjadi. Wanita inilah yang menjadi gara-gara sehingga Kun Beng menolak untuk mengawini adiknya. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menyerang Sui Ceng dengan pukulan-pukulan maut dari sepasang kipasnya.
Akan tetapi sekarang dia menghadapi lawan yang amat tangguh, karena seperti juga dia, Sui Ceng amat marah dan melawan dengan sama hebatnya, tidak seperti Kun Beng tadi yang banyak mengalah.
Diam-diam Kwan Cu amat kagum melihat ilmu kipas yang dimainkan oleh Swi Kiat. Dari gerakannya, tahulah Kwan Cu bahwa sepasang kipas itu digunakan dengan dua tenaga yang berlawanan. Kipas kiri lemas dan halus gerakannya, mengandung tenaga Im yang mengandalkan lweekang tinggi, sedangkan kipas kanan kasar dan ganas, penuh tenaga Yang.
Perbedaan yang bertentangan inilah yang biasanya menyukarkan lawan, seakan-akan lawan menghadapi dua orang lawan yang berbeda kepandaian dan tenaganya. Pantas saja bahwa ilmu kipas ini disebut Im-yang Po-san dan kehebatannya tak ada keduanya dalam ilmu silat kipas pada masa itu.
Akan tetapi Sui Ceng bukanlah lawan yang empuk. Gadis ini adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li dan ilmu pedangnya hebat serta ganas. Apa lagi kini Sui Ceng juga sudah mengeluarkan sabuk merahnya sehingga dengan sepasang senjatanya ini, ia dapat pula mengimbangi senjata lawan. Sabuknya merupakan senjata yang lemas akan tetapi dapat pula dipergunakan untuk menotok jalan darah sehingga amat tepat untuk dipergunakan menghadapi senjata kipas di tangan Swi Kiat. Maka pertempuran yang terjadi sekarang lebih seru dari pada tadi.
Kwan Cu menjadi bingung dan juga berduka sekali. Pada saat dia mendapat kenyataan betapa Sui Ceng mencinta Kun Beng sehingga kini melupakan sakit hati dan masih mau membantu ketika melihat Kun Beng terancam bahaya, dia merasa sedih sekali. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa Kun Beng tidak mau menikah dengan Kui Lan yang berarti Sui Ceng juga tidak akan menikah selamanya, hatinya langsung tertindih perasaan duka dan kecewa yang hebat. Maka kini bingunglah dia.
Melihat Swi Kiat, dia amat kasihan dan kalau saja Swi Kiat tadi membunuh Kun Beng, tentu Kwan Cu takkan mau peduli. Sekarang dia melihat Swi Kiat bertempur mati-matian dengan Sui Ceng, bagaimana dia harus bertindak? Menghentikan pertempuran dengan Sui Ceng, pemuda ini tentu berkukuh hendak membunuh Kun Beng, dan Sui Ceng pasti akan melindungi Kun Beng dengan mati-matian. Apa akalnya?
Sebelum Kwan Cu yang kebingungan karena melihat pertempuran makin menghebat itu dapat mengambil keputusan, tiba-tiba berkelebat sosok bayangan dan terdengar seruan Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Berhenti, tahan senjata!"
Mendengar suara suhu-nya ini, Swi Kiat cepat-cepat melompat ke belakang dan segera menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu…!"
Sui Ceng juga menahan senjatanya, tanpa menghormat namun berdiri tegak. Sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api dan ia sama sekali tidak merasa takut biar pun menghadapi kakek yang luar biasa itu.
"Swi Kiat, apa artinya ini? Mengapa kau bertempur melawan Bun-siocia murid Kiu-bwe Coa-li?" tanya kakek itu sambil menyapu keadaan di situ dengan matanya. Melihat Kun Beng berada di situ dan terluka pundaknya, dia makin tidak mengerti.
"Suhu, teecu bertemu dengan Sute di sini lantas teecu minta pertanggungan jawabnya terhadap Lan-moi. Ketika Sute menolak, teecu berdua lalu bertempur mati-matian."
"Bagus, manusia macam Kun Beng memang harus dibikin mampus,” kata Pak-lo-sian, akan tetapi dalam suaranya terdengar nada sedih.
"Teecu berhasil melukainya, akan tetapi tiba-tiba muncul Bun-siocia yang membelanya dan teecu terpaksa melawannya."
Pak-lo-sian Siangkoan Hai menoleh kepada Sui Ceng dengan pandangan mata terheran-heran, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, "Sungguh hebat dan patut dipuji kesetiaan nona Bun. Melihat bangsat Kun Beng mengkhianati pertunangannya, dia masih tetap mencinta. Sukar dicari cinta kasih yang demikian besar!"
Wajah Sui Ceng menjadi merah sekali sampai ke telinganya. "Locianpwe, jangan bicara sembarangan! Dia itu bekas tunanganku yang dipilih oleh mendiang ibu, maka melihat dia hendak dibunuh orang dengan alasan dipaksa menikah, tentu saja aku tidak tinggal diam!"
Pak-lo-sian mengeluarkan jengekan dari hidungnya. "Hemm, dia itu bukan tunanganmu lagi dan dia adalah muridku yang murtad. Urusan antara kami guru dan murid, kau murid Kiu-bwe Coa-li ada sangkut-paut apakah? Bila aku mau membunuh muridku sendiri yang berdosa, kau mau apa?”
Setelah berkata demikian dengan langkah lebar Pak-lo-sian menghampiri Kun Beng yang melihat gurunya demikian marah, segera berlutut dengan kepala tunduk.
"Kun Beng kau sudah tahu akan dosamu?"
"Sudah, Suhu. Teecu berdosa besar dan menanti hukuman mati di tangan Suhu."
"Bangsat rendah! Mengapa kau tidak mau mempertanggung jawabkan kesalahanmu atas adik suheng-mu?"
"Apa bila teecu menikah dengan adik Suheng, teecu hanya akan merusak hidupnya dan hidup teecu sendiri. Di dalam dunia ini hanya dengan satu orang teecu mau menikah, yakni dengan tunangan teecu. Kalau tidak, lebih baik teecu tidak menikah. Kini terserah kepada Suhu memutuskannya."
"Busuk... busuk sekali! Kalau begitu, mengapa kau merusak nona Gouw Kui Lan? Hayo jawab!" bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan nada suaranya menunjukkan bahwa tiada pengampunan bagi Kun Beng.
Dengan kepala masih tunduk, pemuda itu menjawab lemah,
"Teecu sudah mengaku dosa, harap Suhu segera menjatuhkan hukuman."
"Hemm, kalau begitu matilah dengan tenang."
Pak-lo-sian Siangkoan Hai lalu mengangkat kipasnya dan hendak menjatuhkan pukulan kematian kepada muridnya.
“Tak boleh kau membunuh orang begitu saja!" tiba-tiba Sui Ceng membentak marah dan pedang serta sabuk merahnya bergerak cepat menyerang jalan darah di punggung kakek itu.
Terpaksa Pak-lo-sian menunda pukulan kepada muridnya, karena serangan Sui Ceng ini sungguh-sungguh berbahaya sekali. Sambil memutar tubuhnya, kipas yang tadi hendak dipergunakan untuk membunuh Kun Beng, bergerak cepat dan seketika itu juga pedang di tangan Sui Ceng terlempar jauh sementara sabuk suteranya putus menjadi dua!
"Pergilah dan jangan mencampuri urusan orang lain!" bentak Pak-lo-sian.
Akan tetapi, melihat kenekatan Kun Beng, Sui Ceng tidak tega untuk membiarkan saja pemuda yang dicintanya itu terbunuh. Dia menyerang kakek itu dengan pukulan tangan kanannya.
"Bukkk!"
Tangan Sui Ceng tepat membentur dada Pak-lo-sian, akan tetapi bukan Pak-lo-sian yang roboh, melainkan Sui Ceng sendiri yang terguling dan pergelangan tangannya terlepas sambungannya!
"Bun-siocia, jangan kau membelaku. Terima kasih banyak atas budimu, dan sampai mati aku orang she The tak akan melupakanmu," kata Kun Beng terharu.
Pak-lo-sian kembali mengangkat kipasnya untuk memukul Kun Beng, akan tetapi baru sampai di tengahnya, tiba-tiba kipasnya tertahan. la terkejut sekali karena merasa bahwa ada sambaran angin dahsyat yang memukul ke arah kipas itu sehingga tertahan.
Ketika dia menoleh, ternyata bahwa Lu Kwan Cu telah berdiri di hadapannya. Pak-lo-sian terkejut dan tahulah dia bahwa pendekar sakti yang masih muda ini yang telah menahan pukulan kipasnya.
"Orang muda, biar pun kau telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak patut kalau kau mencampuri urusanku dengan muridku sendiri. Apakah kau masih belum mengerti tentang aturan dan kepantasan sebagai seorang gagah? Apakah kau belum mengerti bahwa orang gagah tidak akan mencampuri urusan rumah tangga lain orang? Manusia jahanam ini adalah muridku sendiri, berarti dia termasuk keluargaku pula dan aku boleh melakukan apa saja terhadapnya tanpa campur tanganmu!"
"Maaf, Locianpwe. Boanpwe sudah berani turut mencampuri urusan Locianpwe karena boanpwe sangat kagum terhadap kegagahan dan sepak terjang Locianpwe yang sering kali dipuji-puji oleh mendiang suhu. Akan tetapi hari ini tanpa disengaja boanpwe akan melihat Locianpwe menurunkan tangan kejam pada murid sendiri. Locianpwe, boanpwe pernah mendengar ujar-ujar emas yang menyatakan bahwa orang yang tidak mencoba untuk memperbaiki kesalahan dalam perilaku hidupnya, dialah orang yang benar-benar salah. Kun Beng memang pernah melakukan perbuatan yang salah, akan tetapi dia telah mengakui hal itu dan benar-benar menyesal, maka tidak pantas kalau sampai dihukum mati."
"Kau tahu apa tentang hati manusia? Seorang manusia yang sudah mandah disesatkan oleh nafsu buruk hanyalah manusia lemah yang selalu akan mengotorkan dunia karena batinnya kurang teguh dan selalu akan menjadi korban nafsu iblis. Dia ini harus mati!"
"Boanpwe tidak bisa membiarkan saja Locianpwe melakukan pembunuhan pada seorang yang sudah bertobat, apa lagi murid Locianpwe sendiri," bantah Kwan Cu.
Bergerak-gerak jenggot Pak-lo-sian yang panjang. "Aha, kau sungguh sombong sekali, bocah she Lu. Kau kepala batu seperti si jembel Ang-bin Sin-kai gurumu itu. Mari, mari! Kita coba-coba sebentar dan kalau kau dapat menangkan aku, biarlah aku memandang mukamu memberi ampun kepada anjing ini."
Kwan Cu maklum bahwa dia tidak dapat mundur lagi. Dia telah bertindak terlalu jauh dan kini terpaksa dia harus melayani kakek ini yang dia tahu memiliki kepandaian tinggi sekali dan tidak boleh dibuat main-main. Akan tetapi apa boleh buat, dia melakukan semua ini sebenarnya bukan karena dia sayang kepada Kun Beng, melainkan karena dia hendak membela Sui Ceng, atau pendirian gadis ini. Dia tahu akan cinta kasih yang besar dalam hati Sui Ceng terhadap Kun Beng, maka dia merasa sangat berdosa telah memisahkan gadis ini dari tunangannya dan saat ini dia pergunakan untuk menebus dosanya.
Ketika Pak-lo-sian mengebutkan kipasnya ke arah mukanya, Kwan Cu cepat melangkah mundur dan mencabut sulingnya. Dia tidak mau mempergunakan pedang karena selain dia tidak mempunyai niat untuk bermusuhan dengan kakek ini, juga senjata kipas kakek itu lebih tepat dihadapi dengan senjata yang lebih halus dan lemas seperti sulingnya itu.
Ada pun Pak-lo-sian Siangkoan Hai, di dalam hati kecilnya memang dia tidak tega untuk menewaskan Kun Beng karena di antara dua orang muridnya Kun Beng lah yang amat disayangnya. Tetapi sebagai seorang gagah, tentu saja dia merasa kurang adil terhadap Swi Kiat kalau dia tidak berbuat seolah-olah hendak membunuh Kun Beng.
Kini melihat campur tangannya Kwan Cu, diam-diam dia merasa girang sekali. Tidak saja dia mempunyai alasan kuat untuk membatalkan niatnya membunuh Kun Beng, tapi juga idam-idaman hatinya hari ini akan tercapai. Idam-idaman hati ingin menguji kepandaian pemuda yang aneh ini.
Sejak dia menyaksikan sepak terjang Kwan Cu, melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda ini menggulingkan tokoh-tokoh besar seperti Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong, dia merasa kagum bukan main. Ia merasa yakin bahwa pemuda ini tentu sudah mewarisi kepandaian dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tersohor itu. Maka ingin sekali dia mengukur kepandaian dan tenaga dengan ahli waris kitab itu.
Karena tahu bahwa Kwan Cu sudah memiliki kepandaian luar biasa dan bahkan lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaiannya sendiri, Pak-lo-sian tidak merasa malu-malu atau sungkan-sungkan lagi. la segera melakukan serangan dengan hebat, mengeluarkan seluruh tenaganya. Maka bukan main dahsyatnya gerakan sepasang kipasnya.
Tanpa terasa pula Sui Ceng dan dua orang murid Pak-lo-sian sendiri melangkah mundur untuk menjauhi tempat pertempuran, karena hawa pukulan yang keluar dari sepasang kipas itu terasa menyakitkan kulit muka, sebentar panas lantas sebentar dingin. Yang dingin keluar dari gerakan kipas kiri, yang panas dari kipas kanan. Inilah Im-yang Po-san yang dimainkan oleh seorang ahli yang telah mencapai puncak kesempurnaan ilmu kipas ini!
Kwan Cu diam-diam terkejut bukan main. Lihai sekali Dewa Utara ini, masih lebih lihai dari pada Hek-i Hui-mo kiranya. Biar pun di dalam goa di Pulau Pek-hio-to terdapat pula lukisan-lukisan tentang orang bersilat yang hampir sama dengan gerakan kakek ini, tapi harus dia akui bahwa gerakan kakek ini jauh lebih aneh dan hebat, sehingga biar pun dia berlaku waspada serta mainkan sulingnya dengan cepat, tetap saja dia terkurung oleh angin pukulan yang bergelombang datangnya dan tidak tentu sifatnya itu!
Kalau saja Kwan Cu tidak memiliki tubuh yang sudah penuh dengan tenaga murni atau sinkang yang tinggi, serta tidak mempunyai kewaspadaan sehingga dia dapat menduga tujuan setiap gerakan lawan, tentu dia harus mengakui keunggulan lawan.
Dengan mengumpulkan semangat dan mengerahkan seluruh tenaganya, Kwan Cu cepat memainkan sulingnya secara hebat, menurutkan tipu-tipu lihai dari isi pelajaran Im-yang Bu-tek Cin-keng, sedangkan tangan kirinya lalu bergerak-gerak mainkan Pek-in Hoat-sut. Dari kaki sampai ke jidatnya mengebulkan uap putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya!
Pak-lo-sian menahan seruan tertahan saking kagum dan herannya. Kakek ini tahu bahwa pukulan kipasnya tadi disertai tenaga sepenuhnya, tenaga lweekang yang sudah dia latih berpuluh tahun. Jaranglah orang dapat menahan sambaran angin pukulan kipas ini, akan tetapi anehnya, ketika angin pukulannya menyambar ke arah jalan darah di tubuh Kwan Cu, hawa itu terpental kembali jika bertemu dengan uap putih itu.
"Hebat sungguh Im-yang Bu-tek Cin-keng!" katanya perlahan.
Akan tetapi kini Kwan Cu betul-betul memperlihatkan ‘tanduknya’! Sulingnya digerakkan dengan sepenuh kegesitannya, sehingga jangan kata baru Pak-lo-sian seorang, biar pun dia dikeroyok oleh sepuluh orang Pak-lo-sian, kiranya sepuluh orang ini kepalanya akan pening dan pandangan matanya kabur.
Tubuh pemuda ini benar-benar lenyap dari pandangan mata, yang kelihatan hanya uap putih mengebul di sekeliling Pak-lo-sian dan diselingi oleh kelebatan sinar mengkilap dari sulingnya. Tak lama kemudian terdengar suara dua kali…
"Krakkk! Krakkk!"
Pak-lo-sian melompat mundur, tubuhnya terhuyung-huyung serta keningnya penuh peluh dingin, napasnya terengah-engah. Ketika Sui Ceng, Kun Beng dan Swi Kiat memandang, kakek ltu hanya memegang gagang kipas yang sudah hancur!
Kwan Cu menjura. Pemuda ini hanya merah mukanya dan dari kepalanya masih saja mengebul uap putih, akan tetapi dia tenang dan napasnya biasa saja.
"Pak-lo-sian Locianpwe benar-benar tidak bernama kosong."
"Cukup," Pak-lo-sian terengah-engah, "tak perlu kau merendahkan diri lagi. Benar-benar hebat! Selama hidupku baru kali ini aku menghadapi lawan seperti kau. Sungguh hebat! Kalau saja yang mengalahkan serta merusak kipas-kipasku ini bukan seorang ahli waris Im-yang Bu-tek Cin-keng, tentu aku si tua Pak-lo-sian ini akan langsung menghancurkan kepala sendiri."
"Locianpwe telah berlaku mengalah...," kata Kwan Cu.
Pada saat itu, dari jauh terdengar bunyi bergeletar dan hampir berbareng Pak-lo-sian dan Kwan Cu berkata,
"Kiu-bwe Coa-li datang "
Benar saja, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu wanita sakti itu telah berada di situ dengan cambuknya yang menggemparkan dunia kang-ouw, terayun-ayun di telapak tangannya. Dia melirik ke arah Kwan Cu, lalu berkata kepada Pak-lo-sian,
"Tua bangka utara, apa yang terjadi dengan kedua kipas mautmu?”
Terang sekali ucapan ini merupakan ejekan, akan tetapi Pak-lo-sian tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kiu-bwe Coa-li. Sudah berpuluh tahun kau tidak berhasil mengalahkan kedua kipasku, sebaliknya aku pun tidak berhasil mengalahkan cambukmu. Akan tetapi, hari ini aku mengaku bahwa ilmu kipasku masih amat rendah dan perlu diperbaiki lagi."
Kiu-bwe Coa-li melirik ke arah Kwan Cu dan tiba-tiba ia melihat Sui Ceng ada di situ. la tertegun. Tadi ia melihat pertandingan dari jauh dan saking tertariknya ia sampai tidak melihat kehadiran Sui Ceng.
"Sui Ceng, ada apa kau di tempat ini?" la melirik pula ke arah Kun Beng dengan mata marah.
"Kiu-bwe Coa-li, muridmu itulah yang sudah menjadi gara-gara. Aku hendak membunuh muridku yang murtad, namun dia menghalangi sampai-sampai dia berani menyerangku. Akhimya kejadian itu memancing datangnya Lu-siauwhiap dan rusaknya kedua kipasku."
"Sui Ceng, ke manakah mukamu? Tidak tahu malu, urusan orang lain kau berani turut bercampur tangan. Tua bangka utara mau membunuh muridnya, biarlah jangan kita ikut campur. Hayo, sekarang kau harus pergi bersamaku!"
"Tidak, Suthai. Sebelum Pak-lo-sian Locianpwe berjanji tak akan membunuh orang yang sudah menderita batinnya, teecu tidak akan pergi dari sini."
Pak-lo-sian kembali tertawa bergelak, dan Kiu-bwe Coa-li marah dan malu bukan main. la menggerakkan pecutnya dan pecut yang berekor sembilan itu serentak melayang lantas memukul ke arah sembilan jalan darah di tubuh Sui Ceng.
"Kau pergi atau tidak?" bentak wanita sakti itu dengan suara menyeramkan.
"Suthai, jangan bunuh dia!" Tiba-tiba Kun Beng berseru keras dan meloncat ke depan, menghadang antara cambuk dan tubuh Sui Ceng.
Oieh karena itu, cambuk ini tidak jadi menuju di tubuh Sui Ceng, melainkan menghantam tubuh Kun Beng. Pemuda ini lantas terpental dan bergulingan sampai lima tombak lebih. Baiknya Kiu-bwe Coa-li tidak mau membunuh murid orang lain dan hanya ingin memberi hajaran saja, maka walau pun tubuhnya sakit-sakit dan terlempar jauh, Kun Beng tidak sampai terluka hebat.
"Sui Ceng, hayo kita pergi!" bentak pula Kiu-bwe Coa-li.
Sekarang suaranya lebih menyeramkan lagi karena nenek tua ini sudah hampir tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dibantah dan dibangkang oleh muridnya di hadapan orang lain benar-benar merupakan hal yang amat tidak enak dan memalukan.
Kwan Cu berkata, "Sui Ceng, kau pergilah. Pak-lo-sian Locianpwe sudah berjanji takkan membunuh Kun Beng…"
Kata-kata ini adalah untuk membujuk supaya Sui Ceng mau pergi karena Kwan Cu tahu benar bahwa sekali lagi menolak, Sui Ceng pasti akan menerima pukulan yang mungkin akan merenggut nyawanya oleh Kiu-bwe Coa-li.
Akan tetapi Sui Ceng benar-benar menggelengkan kepala lagi!
"Sebelum bertemu dengan Kui Lan, aku belum mau pergi."
Baru saja kata-kata ini selesai diucapkan, terdengar bunyi cambuk menyakitkan telinga. Kwan Cu melompat dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru kaget.
Ternyata bahwa sembilan ekor ujung cambuk dari Kiu-bwe Coa-li telah menyambar tepat ketika Sui Ceng menyatakan penolakannya untuk pergi tadi, akan tetapi Kwan Cu cepat melompat menghadang di jalan hingga ujung-ujung cambuk itu bukan menyambar pada Sui Ceng, melainkan ke tubuhnya seperti yang telah dilakukan oleh Kun Beng tadi.
Akan tetapi kalau gerakan Kun Beng tadi masih bisa dilihat oleh Kiu-bwe Coa-li sehingga nenek ini keburu mengubah arah cambuknya, adalah gerakan Kwan Cu sekarang begitu cepatnya, maka nenek itu tidak keburu lagi menahan pukulannya. Sembilan cambuk itu melayang dan menghajar sembilan jalan darah kematian di tubuh Kwan Cu.
Karena inilah Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru kaget. la maklum bahwa pukulan yang dilakukan oleh Kiu-bwe Coa-li ini adalah jurus yang paling berbahaya dari ilmu pecutnya dan tidak seorang pun tokoh persilatan di dunia ini yang berani menerima serangan jurus ini yang dia kenal sebagai jurus Kiu-coa Toat-beng (Sembilan Ular Pencabut Nyawa).
Bahkan Kiu-bwe Coa-li sendiri juga terkejut. Akan tetapi dia tidak dapat menarik kembali sambaran sembilan ujung cambuk itu, dia hanya dapat mengurangi tenaganya sehingga hanya dua pertiga tenaganya saja yang tersalur di ujung senjatanya yang lihai.
Akan tetapi seruan kaget Pak-lo-sian berubah menjadi seruan tertahan saking herannya, demikian pula Kiu-bwe Coa-li menjadi pucat setelah sembilan ujung cambuk itu tiba di tubuh Kwan Cu, ternyata tidak berakibat apa-apa!
Kwan Cu tetap tersenyum saja seakan-akan serangan hebat ini tidak terasa sama sekali olehnya. Padahal, secara diam-diam Kwan Cu tadi sudah mengerahkan seluruh tenaga dan sinkang-nya yang telah menjadi satu dengan perasaannya, otomatis menolak tenaga pukulan ini dan dia menambah perisai tubuhnya dengan pengerahan ilmu menutup jalan darah dan mengumpulkan hawa murni yang terasa hangat mengelilingi seluruh tubuh secara cepat sekali. Namun, tetap saja dia merasa kulit tubuh di mana cambuk itu tiba, panas-panas!
"Terima kasih atas petunjuk Suthai," kata Kwan Cu sambil menjura dan membungkukkan tubuhnya.
Gerakan ini amat diperlukan karena dengan membungkuk, dia bisa menggerakkan tubuh dan sinkang-nya berjalan lebih cepat untuk mengusir bekas-bekas pukulan yang betapa pun juga akan mendatangkan bahaya kalau tidak segera dilenyapkan.
Sampai lama Kiu-bwe Coa-li membelalakkan matanya. Belum pernah dia mengalami hal sehebat ini. Pukulan dengan jurus Kiu-coa Toat-beng diterima tanpa berkejap mata oleh pemuda ini!
"Sudahlah, aku sudah tua dan tak tahu malu! Lu-sicu, lain kali bila aku masih hidup, aku hendak mencoba kelihaianmu sekali lagi!" katanya sambil menggerakkan kedua kaki dan lenyaplah wanita sakti itu dari situ.
Kwan Cu menarik napas panjang. "Hemm, apakah artinya semua keributan ini? Orang yang dicurangi dan yang paling menderita dalam urusan ini adalah nona Gouw Kui Lan. Orang-orang berlancang hendak mengambil keputusan sendiri tanpa bertanya padanya. Benar-benar tidak adil!"
Kata-kata ini menyadarkan Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Memang tepat sekali ucapan ini. Mereka ribut-ribut karena Kun Beng telah melakukan hal yang amat tidak baik terhadap diri Gouw Kui Lan dan kini orang ramai-ramai datang untuk menghukum Kun Beng tanpa bertanya kepada nona Kui Lan sama sekali!
"Mari kita temui dia di dalam!" kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Semua orang mengikutinya masuk ke dalam kuil yang amat besar itu. Keadaan kuil sunyi saja dan pintu depan yang amat kuat dan tebal itu sukar sekali dibuka, agaknya dipalangi dari dalam. Tapi, dengan sekali dorong saja Pak-lo-sian berhasil mematahkan palangnya di sebelah dalam sehingga pintu pun terbuka!
Semua orang tertegun dan berdiri di ambang pintu, tidak bergerak seperti patung. Kalau di luarnya sunyi saja, di sebelah dalam kuil itu penuh orang. Sedikitnya ada tiga ratus orang terbaring di situ, orang-orang yang terluka dalam peperangan melawan penjajah.
Beberapa orang perawat sibuk sekali melayani mereka ini, dan di antara mereka yang paling sibuk adalah Ngo Lian Suthai dan... Gouw Kui Lan. Akan tetapi, ketika melihat Kui Lan, terdengar seruan dari mulut Swi Kiat.
"Lan-moi …!”
Nona itu menengok. Dia telah menjadi seorang nikouw muda (pendeta wanita) berkepala gundul. Melihat kakaknya, dia tersenyum. Akan tetapi mukanya berubah ketika ia melihat Kun Beng berada pula di situ.
"Kui Lan, mengapa kau telah menjadi nikouw...? Apa maksudmu?” teriak Swi Kiat sambil berlari menghampiri adiknya. “Aku datang untuk mengusahakan pernikahanmu dengan Kun Beng "
Merah wajah nikouw muda itu, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum penuh kesabaran dan ketenangan.
"Hushhh... Kiat-ko, omongan apa yang kau ucapkan itu? Lihatlah baik-baik, aku adalah seorang nikouw, bagaimana kau bisa bicara tentang pernikahan?”
Swi Kiat merasa ditampar mukanya, dia tak dapat menjawab dan menjadi bingung. Juga Kun Beng merasa terharu sekali. Penglihatan ini menikam ulu hatinya dan dia merasa betapa dosanya makin besar. Ia tahu bahwa masuknya Kui Lan menjadi nikouw adalah karena perbuatannya. Dua titik air mata tak terasa lagi turun membasahi pipinya.
Sui Ceng berdebar. Kemarahannya terhadap Kui Lan lenyap seketika, terganti oleh rasa kasihan. Ada pun Kwan Cu memandang dengan penuh kekaguman.
Di dalam kesunyian ini, terdengar Kui Lan berkata, suaranya lantang dan biasa saja, penuh kesabaran.
"Kiat-ko, Kui Lan yang dahulu sudah mati. Yang ada sekarang adalah Kui Lan Nikouw murid Ngo Lian Suthai. Tidak ada urusan sesuatu antara pinni (aku) dengan The-taihiap atau siapa pun juga."
"Adikku!" teriak Swi Kiat.
"Kiat-ko, aku sudah bersumpah menjadi orang beribadat, aku melupakan kehidupan lalu. Sudahlah, harap Cu-wi sekalian suka keluar dan jangan mengganggu orang-orang yang menderita luka, mereka ini adalah para pejuang rakyat, dan ..."
Tiba-tiba dari luar menerobos masuk beberapa orang laki-laki yang membawa senjata. Mereka ini adalah para prajurit pejuang rakyat yang cepat berkata,
"Ngo Lian Suthai, celaka. Pasukan kita terpukul hancur dan sebarisan musuh menuju ke sini. Mereka sudah mendengar bahwa kawan-kawan yang terluka berada di sini!"
Seorang di antara mereka menyambung. “Kita harus segera membawa kawan-kawan ini pergi dari sini, pertahanan sudah bobol dan kawan-kawan ini tentu akan menjadi korban semua!”
Tiba-tiba Kwan Cu berkata nyaring, "Pak-lo-sian Locianpwe! Kun Beng! Swi Kiat dan Sui Ceng. Kita semua harus malu! Rakyat berjuang melawan penjajah, bahkan nona Gouw sendiri membaktikan diri untuk membantu bangsa yang tertindas, sebaliknya kita semua ribut-ribut urusan tetek bengek! Dalam menghadapi bahaya bagi bangsa, urusan pribadi harus dilupakan, hayo kita gempur musuh!"
Kata-kata ini bagai aliran listrik menggetarkan jiwa kepahlawanan dalam diri orang-orang gagah itu. Pak-lo-sian berseru nyaring. "Mana musuh?! Akan kuhancurkan kepalanya!"
Beramai-ramai mereka lalu lari bersama para prajurit pejuang itu yang menjadi petunjuk jalan.
Benar saja, di tengah jalan mereka bertemu dengan puluhan pejuang yang melarikan diri, dikejar oleh barisan musuh yang lebih besar jumlahnya. Banyak di antara mereka yang terluka.
Pak-lo-sian segera memimpin mereka dan mengatur pertahanan. Teriakan disertai sorak sorai musuh sudah terdengar dekat. Pak-lo-sian mengatur kawan-kawan pejuang supaya bersembunyi di balik pohon-pohon, menghadang di dalam hutan.
Ketika barisan musuh yang terdiri dari dua ratus orang lebih itu tiba, Pak-lo-sian memberi aba-aba dan menyerbulah mereka, menghantam musuh. Kwan Cu, Kun Beng, Swi Kiat dan Sui Ceng mengamuk hebat! Tiap kali senjata mereka bergerak, tentu ada seorang serdadu penjajah roboh tak bemyawa lagi.
Biar pun kepandaian Kwan Cu lebih tinggi dari pada Pak-lo-sian, namun sepak terang pemuda ini tidak sehebat Pak-lo-sian, karena di dalam hatinya Kwan Cu penuh welas asih dan dia tidak tega menyebarkan maut, biar pun kepada musuh bangsanya. Maka dia hanya menotok dan merobohkan mereka tanpa merampas nyawanya.
Sebaliknya, Pak-lo-sian benar-benar hebat. Sepasang kipasnya sudah rusak oleh Kwan Cu dan kini ujung lengan bajunya menyambar laksana sepasang kupu-kupu. Akan tetapi jangankan sampai terkena ujung lengan baju ini, baru terkena sambaran anginnya saja, para musuh terlempar dengan mata mendelik dan napas putus!
Para pejuang yang mendapat bantuan lima orang sakti ini terbangun semangatnya dan mereka juga turut mengamuk, bahkan yang sudah terluka masih ikut pula menghantam musuh. Sebentar saja, lebih separuh jumlah musuh sudah roboh malang melintang dan bertumpang tindih. Sebagian lagi segera melarikan diri dengan muka pucat, tidak tahan menghadapi para pendekar itu.
Akibat terbangun semangatnya oleh Gouw Kui Lan yang membaktikan dirinya untuk nusa bangsa, Pak-lo-sian dan empat orang muda itu tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka bahkan menunda keperluan lainnya dan semenjak saat itu, Pak-lo-sian terkenal sebagai pemimpin pejuang yang amat disegani. Mereka segera menggabungkan diri dengan para pejuang lain untuk membasmi barisan-barisan kaisar.
Berkat perlawanan pejuang rakyat yang gagah perkasa, akhirnya tumbanglah kekuasaan penjajah. Kaisar Si Cung, yakni pengganti Kaisar Sin Cong, juga mengerahkan barisan dan dengan bantuan suku bangsa Uighur, akhimya dapat merebut kembali kota raja dan mengusir penjajah.
Beberapa tahun kemudian, bangsa Tartar hanya merupakan kelompok kecil yang cerai berai dan melakukan kekacauan yang tidak berarti di sana-sini…..
********************
Sesudah melakukan tugas membantu perjuangan rakyat beberapa tahun lamanya, para orang gagah yang tidak gugur dalam peperangan kembali lagi ke tempat masing-masing, termasuk Pak-lo-sian yang mengajak Swi Kiat kembali ke utara.
Kun Beng yang mendapat pukulan batin hebat karena peristiwa dengan Gouw Kui Lan, melenyapkan diri, agaknya untuk menebus dosa.
Sui Ceng lalu menyusul gurunya, Kiu-bwe Coa-li untuk memperdalam ilmu silatnya serta mempelajari kebatinan. Hatinya masih terluka dan dia masih menderita patah hati serta duka, mengandung cinta kasih yang tidak tercapai.
Bagaimana dengan Kwan Cu, pendekar sakti itu? Pemuda ini menderita batinnya. Cinta kasihnya terhadap Sui Ceng mengalami kegagalan, membuat dia makin merasa jemu terhadap kehidupan. Meski pun usianya baru dua puluh empat tahun, namun dia seperti seorang yang jauh lebih tua.
Namun, semangat membalas dendam masih terkandung dalam hatinya, terhadap An Kai Seng, musuh besar yang tinggal satu-satunya itu. Oleh karena itu, setelah peperangan selesai dan pemerintah Tang berdiri kembali, Kwan Cu lalu mulai melakukan perjalanan untuk mencari musuh besarnya ini. Akhirnya dia mendapat berita bahwa An Kai Seng tinggal di kota An-keng di Propinsi An-hui. Segera dia menuju ke selatan untuk mencari musuh besarnya ini…..
********************
Kota An-keng terletak di tepi Sungai Yang-ce-kiang dan merupakan kota yang besar dan ramai. An Kai Seng tinggal di kota besar ini bersama isterinya dan tetap menggunakan nama Tan Kai seng. Tak seorang pun pernah mengira bahwa Tan Kai Seng ini adalah cucu dari An Lu Shan, si pemberontak yang sudah mendatangkan banyak sekali mala petaka kepada rakyat jelata.
Setelah mengetahui bahwa musuh besarnya, yakni Lu Kwan Cu yang amat lihai, begitu menghendaki nyawanya, An Kai Seng beserta isterinya telah memperdalam ilmu silatnya sehingga kepandaiannya jauh lebih maju kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia bertemu dengan Kwan Cu. Isterinya bahkan kembali belajar dari gurunya, yakni Lui Kong Nikouw, sedangkan An Kai Seng belajar dari beberapa orang guru silat yang pandai.
Tidak demikian saja, bahkan An Kai Seng yang kaya raya itu kini mendatangkan banyak jago-jago silat untuk menjadi pengawalnya dan menjaga keselamatannya. Juga Lui Kong Nikouw kini ditarik olehnya dan tinggal di kota An-keng.
Di samping Lui Kong Nikouw, masih ada tiga orang lagi yang dia amat andalkan, yakni tiga jago yang disebut Sin-to Sam-eng (Tiga Orang Gagah Bergolok Sakti). Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-si yang diusir dari partai itu karena melanggar peraturan. Dengan pandainya mereka dapat menyelundup ke Go-bi-san dan menjadi murid partai Go-bi-pai pula, akan tetapi lagi-lagi mereka diusir karena memang mereka bukan orang baik-baik.
Akan tetapi, sesudah menerima pelajaran ilmu silat dari kedua partai ini, ditambah pula dengan pengalaman-pengalaman mereka dan pergaulan mereka dengan kaum hek-to (penjahat), kepandaian tiga orang ini benar-benar amat lihai.
Yang tertua bemama Ang Kian dan berjuluk It-to-cilan (Setangkai Bunga Cilan), seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang ditakuti orang. Tiap kali melakukan perbuatan terkutuk, dia selalu meninggalkan sebatang cilan-piauw, yakni semacam senjata rahasia berbentuk bunga cilan, maka dia mendapat nama julukan It-to-cilan.
Orang ke dua bernama Yap Ki, seorang ahli mempergunakan racun sehingga dijuluki Tok-ong (Raja Racun), sedangkan orang ke tiga adalah adiknya sendiri bernama Yap Ek yang paling lihai ilmu goloknya di antara dua orang kawannya.
Tiga orang penjahat ini dengan menggabungkan ilmu silat Siauw-lim-si dan Go-bi, dapat menciptakan ilmu golok yang kemudian mereka namakan Sin-sam To-hiap (llmu Golok Tiga Serangkai Yang Sakti), nama yang benar-benar menggambarkan betapa sombong adanya tiga orang ini. Akan tetapi, memang ilmu golok mereka jarang ada yang dapat menandingi dan hal ini membuat mereka makin sombong dan tinggi hati.
Hanya dengan harta bendanya yang banyak serta senyum dan lirikan mata Wi Wi Toanio yang menggiurkan, maka An Kai Seng baru berhasil menarik ketiga orang ini menjadi sahabatnya atau lebih tepat disebut pengawal pribadinya. Ia juga maklum bahwa antara isterinya dan It-to-cilan Ang Kian yang berwajah tampan ada terjalin hubungan yang tidak seharusnya, akan tetapi An Kai Seng hanya dapat mengelus dada saja.
Kepandaian isterinya lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, sedangkan Ang Kian juga mempunyai kepandaian yang tidak mampu dilawannya. Apa lagi Ang Kian bersama kawan-kawannya merupakan pelindung-pelindungnya, maka dia merasa bahwa menjaga keselamatan diri sendiri lebih penting dari pada kebahagiaan rumah tangganya. Karena itu dia tidak mempedulikan lagi kepada isterinya, bahkan ditemani oleh kawan-kawannya ini, dia mulai mencari hiburan di luar dan memelihara banyak selir di luaran.
Selain melakukan penjagaan yang sangat kuat di rumahnya, juga di kota An-keng dan di sekitarnya, dia melepas banyak kaki tangan untuk menyelidiki kalau-kalau ada datang Kwan Cu musuh besarnya. Akan tetapi sampai beberapa tahun tidak ada kabar ceritanya tentang diri Kwan Cu. Paling akhir dia mendengar bahwa musuhnya itu membantu kaum pejuang, maka dia menganggap bahwa pemuda itu tentu telah gugur dalam peperangan. Hatinya mulai lega dan tenang.
Akan tetapi, alangkah terkejut hatinya ketika pada suatu hari dia mendapatkan kabar dari pengurus hotel Liok-an yang menjadi kaki tangannya pula bahwa di hotel itu telah datang seorang pemuda yang mengaku bernama Lu Kwan Cu! Kalau ada geledek menyambar pada waktu tengah hari, Kai Seng agaknya takkan sekaget itu. Cepat dia mengumpulkan jago-jagonya dan mengadakan perundingan.
"Belum tentu kalau yang datang itu adalah musuh besarmu, Tan-wangwe," kata Ang Kian menghibur. "Sebaiknya kita semua pergi ke hotel itu dan kau melihat sendiri apakah dia betul-betul musuh besarmu itu. Kalau ternyata betul, tak usah banyak ribut lagi kita terus membunuhnya.” Memang Ang Kian amat sombong dan memandang rendah pada musuh besar majikannya ini.
"Tak bisa, tak bisa!" kata Kai Seng yang sudah ketakutan. "Kalau benar dia Lu Kwan Cu, begitu melihat aku, tentu dia akan menyerangku!"
"Takut apa? Kita membawa kawan-kawan dan tak mungkin dia dapat mengalahkan kita," kata Yap Ki.
"Tidak tepat," lagi-lagi Kai Seng mencela, "lebih baik lekas panggil Kwa-sianseng."
Yang disebut Kwa-sianseng adalah seorang kaki tangannya yang selalu berpakaian mirip seperti sastrawan, dan memang betul ia merupakan seorang terpelajar yang terkenal ahli dalam melukis. Kalau melihat sesuatu, dia dapat melukisnya cepat dan cocok sekali.
Selain kepandaian ini, dia pun mengerti ilmu silat cukup tinggi sehingga di kota An-keng dia dijuluki Bun-bu Siang-pit. Senjatanya adalah siang-pit (sepasang pit) yang tidak saja lihai kalau digunakan untuk menggambar, akan tetapi juga lihai kalau dimainkan sebagai senjata.
Orang she Kwa ini dipanggil dan segera mendapat tugas untuk menyelidiki pemuda di hotel Liok-an yang bemama Lu Kwan Cu itu. Kwa-sianseng menerima tugas ini dengan senyum menyeringai, karena tiap kali mendapat tugas dari hartawan she Tan ini, selalu dia akan pulang dengan kantong penuh uang.
Pemuda yang datang di hotel Liok-an itu memang benar Lu Kwan Cu. Biar pun pemuda ini dapat menduga bahwa tentu di kota ini An Keng Seng mempunyai banyak kaki tangan dan mata-mata, namun dia sengaja menuliskan nama asli di buku tamu.
Apa yang dia takutkan? Pemuda ini merasa yakin akan kepandaiannya sendiri dan dia sudah merasa pasti bahwa betapa pun juga akhimya dia akan berhadapan muka dengan musuh besarnya. Sesudah membersihkan diri, dia segera pergi ke rumah makan untuk makan siang.
Seperti juga di hotel Liok-an, di rumah makan itu terdapat banyak pelayan yang amat memperhatikan dia. Dengan pandangan matanya yang sudah awas itu, Kwan Cu dapat membedakan perhatian orang biasa dan perhatian orang yang mengandung maksud tertentu. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihat dan makan dengan tenang, sungguh pun dia amat berhati-hati dan mencoba setiap masakan lebih dulu, menjaga kalau-kalau fihak musuh menaruh racun.
Di dalam rumah makan itu hanya ada beberapa orang tamu yang makan siang. Akan tetapi di antara mereka, hanya seorang yang menarik perhatian Kwan Cu dan diam-diam dia mengawasi gerak-gerik orang ini.
la melihat orang ini sebagai seorang sastrawan dan biar pun orang itu kelihatan makan minum seorang diri, namun dia tahu bahwa orang itu amat memperhatikannya. Tiba-tiba dia melihat orang itu mencorat-coret sehelai kertas dengan pitnya. Melihat pit itu, makin besar kecurigaan hati Kwan Cu. Pit itu gagangnya terbuat dari pada kuningan dan lebih tepat kalau dipergunakan sebagai senjata.
Akan tetapi Kwan Cu pura-pura tidak melihatnya dan mempercepat makannya. Setelah beres membayar, dia lalu keluar. Akan tetapi pada saat dia sengaja lewat di dekat meja sastrawan itu dan melirik ke atas mejanya, dia menjadi terkejut dan heran sebab biar pun orang itu cepat-cepat menutupi kertas yang dicoret-coretnya, tapi sekelebatan dia masih sempat melihat bahwa di atas kertas itu tergambar wajahnya sendiri!
Namun Kwan Cu dapat menekan perasaannya dan cepat melangkah keluar. Dia segera menyelinap dan bersembunyi di tempat yang agak jauh sambil memasang mata. Apakah kehendak sastrawan itu yang dapat menggambar mukanya demikian cepat dan demikian cocok?
Komentar
Posting Komentar