ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-26


Di pihak Bu-tong-pai yang hadir di situ, pemuda Go-bi-pai ini merupakan orang terpandai, demikian pula di pihak Kim-san-pai yang berada di situ, Thian Hok Cu merupakan jago terlihai. Oleh karena itu, pertempuran ini adalah pertempuran terakhir yang menentukan. Kalau pihak Kim-san-pai kalah, berarti tidak ada yang akan berani maju lagi dan mereka harus turun gunung. Sebaliknya, andai kata pemuda itu kalah, tentu hwesio Bu-tong-pai akan lari naik dan melaporkan hal ini kepada guru besar mereka.

Akan tetapi, akhirnya ternyata pula bahwa Liem Sun Hauw lebih unggul. Pemuda ini telah mewarisi ilmu silat yang aneh-aneh dari gurunya, yakni Thian Mo Siansu, ada pun Thian Mo Siansu sendiri sudah pernah menerima latihan oleh kakek sakti Hok Peng Taisu di Hong-lun-san.

Sesudah bertempur lebih dari lima puluh jurus, akhirnya Thian Hok Cu terpaksa harus mengakui keunggulan Sun Hauw dan tosu ini roboh pula oleh babatan pedang pada paha dan pukulan tangan kiri pada dadanya. Sun Hauw terpaksa merobohkannya dengan cara ini karena kalau tidak, kiranya dia sendiri yang akan termakan oleh pedang Thian Hok Cu yang lihai.

Demikianlah, para hwesio Kim-san-pai bersorak-sorak girang dan para tosu yang tinggal lima orang itu lalu memondong tubuh susiok mereka dan berlari turun gunung. Ada pun para hwesio Bu-tong-pai lalu mengantar Sun Hauw naik ke puncak di mana dia disambut oleh Lo Beng Hosiang yang mengerutkan keningnya ketika mendengar apa yang sudah terjadi.

Hwesio tua ini menggeleng-geleng kepalanya dan berkata penuh sesal,

“Ahh, mengapa terjadi hal seperti itu di lereng sini dan tak seorang pun memberi laporan kepada pinceng? Kalau pinceng tahu sejak tadi, tentu pinceng akan mencegah terjadinya pertempuran.”

“Mereka terlalu menghina, Suhu,” kata seorang hwesio. “Dua orang Suheng sudah roboh terluka dan kiranya teecu semua takkan ada yang dapat melawan dan terpaksa menelan hinaan dari orang-orang Kim-san-pai itu kalau saja Liem-enghiong ini tidak keburu datang menolong dan membersihkan nama kita.”

Lo Beng Hosiang memandang kepada pemuda tampan yang hadir di situ dan tadi telah memberi hormat kepadanya.

“Sicu dari manakah?” tanyanya singkat.

“Teecu bernama Liem Sun Hauw, anak murid Go-bi-pai. Teecu diutus oleh Susiok Twi Mo Siansu untuk menghadap Locianpwe dan untuk berusaha mendamaikan pertikaian yang terjadi antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai. Susiok berpesan bahwa semua ini adalah atas usul desakan Sin-taihiap Bu Pun Su yang menghendaki agar pada waktu sekarang ini kita melupakan segala kesalah pahaman dengan golongan sendiri, dan menghimpun persatuan guna membela negara serta melindungi rakyat dari ancaman perang. Karena hal itu, Susiok lalu menunjuk teecu untuk datang ke sini. Dan kebetulan sekali tadi teecu melihat pertempuran antara serombongan tosu Kim-san-pai dengan para hwesio di sini. Teecu sudah berusaha memisah, memohon kepada tosu-tosu Kim-san-pai untuk pulang, akan tetapi siapa kira, mereka itu justru berkeras memperlihatkan kepandaian sehingga terpaksa teecu menghadapi mereka. Selanjutnya mohon petunjuk Locianpwe, bagaimana pendapat Locianpwe dan usaha apa yang kiranya dapat dilakukan untuk mendamaikan pertikaian ini.”

Lo Beng Hosiang menghela napas lagi.

“Kau datang hendak mendamaikan urusan, akan tetapi kau bahkan melukai dua orang tosu Kim-san-pai. Bagaimana ini?”

“Teecu bertanggung jawab sepenuhnya akan hal ini,” jawab Sun Hauw gagah. “Teecu akan datang ke Kim-san-pai dan akan teecu jelaskan kepada Ketua Kim-san-pai disertai permintaan maaf.”

“Bagus, seorang laki-laki harus berani memikul akibat dari perbuatannya sendiri. Sayang kedua orang muridku Kang Bok Sian dan Kang Ek Sian sudah turun gunung, kalau saja mereka masih ada di sini, biar pun mereka itu bukan orang-orang yang menggunduli kepala mereka kiranya takkan terjadi keributan-keributan ini.”

Lo Beng Hosiang menulis sepucuk surat kepada Thian Beng Cu, lalu memanggil murid kepalanya, yakni hwesio gemuk pendek Ki Keng Hosiang dan menyuruh muridnya untuk membawa surat itu dan membawa semua hwesio yang pernah melakukan pertempuran dengan pihak Kim-san-pai, bersama Liem Sun Hauw menuju ke Kim-san!

“Serahkan surat pinceng ini kepada Thian Beng Cu, sampaikan salamku dan serahkan pula semua anak murid Bu-tong-pai yang pernah bertempur. Katakan kepada Thian Beng Cu bahwa dia boleh saja menghukum anak-anak murid Bu-tong-pai ini sebagai seorang paman guru!”

Liem Sun Hauw memuji kebijaksanaan Guru Besar Bu-tong-pai yang sungguh-sungguh hendak melenyapkan permusuhan sampai habis dengan jalan menyuruh semua anak muridnya datang ke Kim-san-pai menerima hukuman. Demikianlah Liem Sun Hauw lalu pergi ke Kim-san-pai bersama anak murid Bu-tong-pai itu dan seperti telah dituturkan di bagian depan, rombongan ini ketika sampai di lereng Bukit Kim-san, disambut oleh Ang I Niocu!

Pada saat melihat Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di tangan, Liem Sun Hauw menjadi terkejut, heran dan girang sehingga dia menyapanya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ang I Niocu sebaliknya menyindirnya, mengatakan pemuda ini menjadi ‘jago’ pihak Bu-tong-pai dan bermaksud untuk menghina Kim-san-pai.

Liem Sun Hauw menolak semua tuduhan itu dan menyatakan bahwa ia pun bertugas sama, yaitu mendamaikan antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, tetapi Ang I Niocu marah bukan main. Marah karena sekarang ia tahu bahwa pemuda tampan ini adalah pemuda yang diusulkan oleh almarhum ayahnya untuk menjadi calon suaminya! Pemuda yang dicap menjadi penyebab kematian kekasihnya, Gan Tiauw Ki beserta kematian ayahnya.

Ang I Niocu menahan-nahan nafsu marahnya dan hanya memaki Sun Hauw dengan kata-kata pedas,

“Kau bilang hendak mendamaikan, tetapi mengapa kau justru melukai dua orang tosu Kim-san-pai? Dan mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke puncak Bu-tong-san? Kenapa pula sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu Kim-san-pai? Hemm, kau mengandalkan apakah demikian sombong?”

Sun Hauw seperti orang tuli. Dia tidak memperhatikan semua kata-kata itu dan sepasang matanya seperti kena hikmat, tanpa berkedip memandang bibir indah yang berkata-kata. Kecantikan Ang I Niocu yang luar biasa itu benar-benar membikin Sun Hauw seperti gila. Apa lagi kalau dia ingat betapa ayah dari gadis jelita ini sudah memilihnya menjadi calon mantu!

“Jawab pertanyaanku!” Ang I Niocu membentak marah, mukanya agak merah karena ia maklum apa artinya pemuda itu menjadi termenung seperti patung.

Ada pun tujuh orang hwesio Bu-tong-pai yang terpilih sebagai orang-orang bertanggung jawab dalam pertikaian terhadap Kim-san-pang adalah hwesio-hwesio yang tingkatnya sudah tinggi, yakni anak murid Lo Beng Hosiang sendiri. Mendengar desakan Ang I Niocu kepada Liem Sun Hauw, seorang di antara mereka membela Sun Hauw yang kelihatan ‘mati kutunya’ menghadapi nona baju merah itu.

“Ang I Niocu, harap jangan salah sangka terhadap Liem-sicu. Dia ini betul-betul penolong kami dan bermaksud baik...”

“Siapa menyangkal bahwa dia itu penolong Bu-tong-pai? Akan tetapi sekali-kali aku tak percaya dia ini menjadi pendamai! Menolong sepihak namun memusuhi pihak lain sama sekali bukan sifat seorang pendamai, karena dia berat sebelah dan menghina orang lain dengan mengandalkan kepandaiannya yang dia kira tidak ada keduanya di kolong langit! Aku datang sebagai pendamai antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai, sudah pasti sekali aku tidak mau menghina Bu-tong-pai juga tidak mau memusuhi Kim-san-pai.”

Liem Sun Hauw menjadi serba salah dan memang kepandaian kata-katanya telah lenyap entah ke mana setelah ia berhadapan dengan Ang I Niocu. Dalam pandangannya, segala gerak-gerik Ang I Niocu menarik hati dan menambah kemanisan dan kecantikannya. Kini dimarahi oleh Ang I Niocu, dia hanya tundukkan mukanya yang sebentar merah sebentar pucat, seperti seorang anak nakal dimarahi oleh ibunya.

“Lihiap, untuk meredakan permusuhan, sekarang pinceng sekalian datang ke sini hendak menghadap Locianpwe Thian Beng Cu, dan Liem-sicu yang bertugas sebagai pendamai dari Go-bi-pai, ikut sebagai perantara,” kembali hwesio itu membela Sun Hauw.

“Jika Losuhu bertujuh datang hendak menghadap Ketua Kim-san-pai untuk menjernihkan suasana, hal itu amat baik dan patut dipuji, dan memang demikianlah seharusnya kalau orang hendak memperbaiki hubungan satu sama lain. Aku pun sedang hendak berangkat menemui Lo Beng Hosiang untuk mendamaikan urusan. Akan tetapi orang she Liem ini biar di sini jangan ikut masuk, dia tidak akan mendamaikan urusan bahkan mungkin akan mengacau lagi!”

“Niocu harap kau suka maafkan aku...,” akhirnya Sun Hauw dapat bicara kembali setelah menenteramkan hatinya yang berguncang. “Memang aku telah berlaku terburu nafsu dan melukai dua orang tosu Kim-san-pai dalam pibu yang terjadi di Bu-tong-san. Oleh karena itu maka kedatanganku ini pun hendak memohon ampun kepada Locianpwe Thian Beng Cu dan bersama para Suhu ini hendak menyerahkan diri menerima hukuman. Sekarang baru Niocu saja sudah tidak dapat memaafkan, apa lagi para tosu Kim-san-pai. Biarlah kalau begitu kau bunuh saja aku untuk menebus dosaku terhadap Locianpwe Sin-taihiap Bu-Pun Su...” Sambil berkata demikian, Sun Hauw melolos pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Ang I Niocu.

Gadis itu tak mau menerima pedang, malah agak heran dan terkejut mendengar pemuda itu menyebut-nyebut nama Bu Pun Su.

“Mengapa pula kau menyebut-nyebut nama Susiok-couw Bu Pun Su?” tanyanya wajar.

“Sesungguhnya, tugasku ini adalah kehendak Sin-taihiap Bu Pun Su yang menyampaikan pesannya kepada Susiok Twi Mo Siansu melalui utusannya, yakni Lo-enghiong Kiang Liat yang akhirnya menjadi sahabat baikku. Aku dipilih oleh Susiok untuk mengerjakan tugas ini, tak tahunya karena kebodohanku aku bahkan membuat keadaan jadi semakin buruk. Kalau Sin-taihiap Bu Pun Su mendengar akan hal ini, apakah aku masih dapat diampuni? Kalau Kiang Lo-enghiong yang baik hati dan mulia itu mendengar, bukankah aku bisa mati saking maluku?”

Tentu saja Sun Hauw sengaja menyebut-nyebut nama Bu Pun Su dan Kiang Liat untuk mengambil hati gadis yang kecantikannya telah merobohkan hatinya itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa semua kata-katanya itu bahkan merupakan garam yang diulaskan pada luka di dalam hati Ang I Niocu, mendatangkan rasa perih dan sakit karena mengingatkan ia akan semua peristiwa duka yang dialaminya. Hal ini bahkan menambah kebenciannya terhadap Sun Hauw sehingga kalau mungkin di saat itu juga ia memenggal leher pemuda itu.

Akan tetapi pada saat itu, dari puncak bukit datang Thian Beng Cu ketua Kim-san-pai, diiringi oleh tosu-tosu muridnya, merupakan sebuah rombongan yang kereng dan agung. Para tosu Kim-san-pai yang berada di situ cepat memberi hormat kepada ketua mereka.

Dengan air muka tenang dan ramah, Thian Beng Cu memandang kepada para hwesio Bu-tong-pai yang tujuh orang itu, melempar pandang tak acuh kepada Sun Hauw, lalu berkata kepada para hwesio itu,

“Cu-wi Suhu dari Bu-tong-pai, harap tidak berkecil hati kalau pinto terlambat menyambut. Pesan apakah yang Cu-wi bawa dari sahabat Lo Beng Hosiang?”

Melihat sikap dan mendengar kata-kata Ketua Kim-san-pai ini, para hwesio Bu-tong-pai menjadi merah mukanya, malu kepada diri sendiri dan heran mengapa Ketua Kim-san-pai yang selama ini disangka sombong, ternyata seorang kakek yang baik hati dan ramah tamah. Serta merta mereka berlutut memberi hormat.

Kakek Kim-san-pai itu sudah begitu merendahkan diri, maka kini tanpa ragu-ragu lagi para hwesio Bu-tong-pai maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang tua yang berhati mulia dan tunduklah mereka.

Ki Keng Hosiang, pendeta gemuk pendek yang memimpin rombongan Bu-tong-pai itu lalu berkata, “Teecu bertujuh menerima titah Suhu untuk menghadap kepada Susiok, selain untuk menyerahkan surat serta menyampaikan salam dari Suhu, juga teecu yang sudah melakukan banyak dosa menghina saudara-saudara dari Kim-san-pai, sengaja datang menyerahkan diri untuk menerima hukuman.”

Thian Beng Cu menarik napas panjang, mengelus-elus jenggotnya. Wajahnya nampak gembira sekali dan apa bila diperhatikan, orang akan melihat sepasang matanya menjadi basah.

“Gurumu Lo Beng Hosiang adalah seorang bijaksana. Kalian tidak salah apa-apa, bahkan saudara-saudara mudamu dari Kim-san-pai yang keliru. Kesinikan surat dari suhu-mu supaya pinto dapat segera mengetahui petunjuk apa yang diberikan kepada pinto yang bodoh.”

Pada saat itu, Liem Sun Hauw yang merasa terharu menyaksikan pertemuan tokoh-tokoh dari kedua pihak yang saling mengalah, merasa malu terhadap Thian Beng Cu yang ternyata seorang kakek yang begitu halus dan baik hati. Ia pun lalu, berlutut dan berkata,

“Locianpwe, teecu Liem Sun Hauw utusan dari Go-bi-pai, karena cupat pengetahuan dan lancang, sudah salah tangan melukai dua orang tosu Kim-san-pai. Sekarang teecu sudah insyaf akan kesalahan sendiri dan menghadap untuk menerima hukuman.”

Thian Beng Cu menunda niatnya membaca surat dari Lo Beng Hosiang, memandang kepada Liem Sun Hauw dan mengangguk-angguk.

“Anak murid Go-bi-pai memang amat mengagumkan, masih begini muda sudah memiliki kepandaian tinggi, dan berani pula bertanggung jawab atas perbuatannya. Liem-sicu, jika kau tidak datang mengakui kesalahanmu, memang nama baik Go-bi-pai akan tercemar, akan tetapi dengan pengakuanmu ini, segala apa sudah beres. Di dalam pibu, kalah atau menang sudah lumrah, terluka atau tewas bukan hal aneh. Antara kau atau Go-bi-pai dengan kami tidak ada urusan apa-apa, habis sampai di sini saja.”

Sun Hauw menjadi girang sekali, akan tetapi kata-kata itu membuat ia makin tunduk dan malu. Thian Beng Cu lalu membuka surat dari Lo Beng Hosiang. Selain permintaan maaf bagi murid-muridnya, di dalam surat itu Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa mengenai pembunuhan atas diri Lai Tek, sebenarnya bukanlah perbuatan anak murid Bu-tong-pai, dan menurut dugaan Lo Beng Hosiang, tentunya dilakukan oleh pihak ke tiga yang ingin mengadu-dombakan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Oleh karena itu, Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa penjahat atau pihak ke tiga inilah yang harus dicari.

Thian Beng Cu menghadapi Ang I Niocu yang masih berdiri di situ. Ketika melihat betapa para hwesio mengaku salah dan betul-betul datang hendak menerima hukuman, gadis ini juga menjadi girang dan terharu. Tak disangkanya bahwa tugasnya dapat selesai dengan demikian mudahnya, apa lagi ketika ia melihat Sun Hauw juga menerima salah dan rela dihukum, kebenciannya terhadap pemuda ini agak berkurang.

“Ang I Niocu, sebagai utusan Sin-taihiap Bu Pun Su, kau sudah mendengar dan melihat sendiri keadaan anak-anak murid Bu-tong-pai yang ternyata jauh lebih baik dibandingkan anak-anak murid Kim-san-pai. Karena kedatangan mereka inilah, maka segala kesalah pahaman telah dapat dibikin beres dan dihabiskan sampai di sini saja. Di dalam suratnya ini, Lo Beng Hosiang juga menyatakan bahwa pihak Bu-tong-pai betul-betul tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap diri Lai Tek, dan menduga bahwa tentu ada pihak ke tiga yang melakukan perbuatan itu untuk mengadu domba antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Tidak tahu bagaimanakah baiknya kalau menurut pendapat Niocu?”

“Soalnya sudah jelas bahwa memang tentu ada penjahat yang membunuh Lai Tek dan berbuat seakan-akan yang melakukan hal itu adalah dari pihak Bu-tong-pai. Akan tetapi, perbuatan penjahat itu mendatangkan kerugian lebih besar kepada pihak Bu-tong-pai dari pada kepada Kim-san-pai. Lai Tek anak murid Kim-san-pai tewas sebagai orang gagah dan tidak ada kecewanya, sebaliknya dengan perbuatan itu, nama baik Bu-tong-pai jadi tercemar. Oleh karena itu, menurut pikiranku, sudah menjadi kewajiban Bu-tong-pai untuk menyelidiki hal ini dan menangkap pembunuhnya. Sungguh pun begitu, demi kembalinya hubungan baik di antara kedua partai, yang sudah menjadi tugas yang kupikul menurut perintah Susiok-couw, aku akan turut berusaha pula untuk membongkar rahasia ini dan membekuk penjahatnya.”

Sun Hauw melompat berdiri, menjura kepada Thian Beng Cu, lalu menghadapi Ang I Niocu sambil berkata cepat,

“Niocu, cocok sekali petunjukmu tadi. Memang sudah seharusnya Bu-tong-pai mencuci bersih namanya dari perbuatan terkutuk penjahat yang membunuh Lai Tek itu. Dan untuk pekerjaan ini, biarlah aku yang akan melakukannya. Aku telah berlaku lancang dan biar pun aku diberi tugas menjernihkan suasana antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, ternyata aku bahkan mengeruhkan suasana. Sekarang ada pekerjaan ini, maka biarlah aku yang diwajibkan, hitung-hitung menebus dosaku!”

Ang I Niocu memandang kepada pemuda itu dengan tajam dan diam-diam ia harus akui bahwa Liem Sun Hauw adalah seorang pemuda yang bersemangat dan gagah. Pantas saja ayah suka kepada pemuda ini dan hendak menjodohkannya dengan aku, pikirnya. Kebenciannya terhadap pemuda itu makin berkurang saja.

“Bagaimana, Locianpwe? Apakah Locianpwe dapat menyetujui jika teecu yang mencoba untuk menangkap penjahat pembunuh Lai Tek-enghiong itu?” tanya Sun Hauw kepada Thian Beng Cu dengan suara mendesak.

Thian Beng Cu mengangguk-angguk dan tersenyum. “Liem-sicu, kau memang gagah dan kiranya tepat kalau kau yang mencarinya. Untuk hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Ang I Niocu tadi, pinto serahkan saja urusan ini kepada pihak Bu-tong-pai. Pinto hanya bisa menyampaikan terima kasih atas maksudmu yang mulia ini, Liem-sicu.”

“Kalau demikian, perkenankan teecu berangkat sekarang untuk membekuk batang leher pembunuh Lai Tek-enghiong!” kata Sun Hauw penuh semangat sambil mengerling pada Ang I Niocu.

Tiba-tiba terdengar suara orang, lemah-lembut terdengarnya, “Tidak usah, tidak usah... penjahat itu telah tertangkap...!”

Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di sana berdiri seorang tosu yang usianya kurang lebih lima puluhan tahun, gerak-geriknya halus, akan tetapi sinar matanya tajam berpengaruh.

“Eng Yang Cu-sute... kau baru datang...?” Thian Beng Cu berkata dengan suara girang. “Dan betulkah penjahat itu telah tertangkap?”

Tosu itu bukan lain adalah Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai yang menjadi sute termuda dari Thian Beng Cu dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada semua tokoh Kim-san-pai lainnya, akan tetapi yang selalu merantau. Tosu itu memberi hormat kepada suheng-nya lalu berkata,

“Memang benar, penjahat itu bukan lain adalah Siang-hek-pian (Sepasang Pian Hitam) Bwee Cat. Seperti Suheng tentu masih ingat, dahulu Siang-hek-pian Bwee Cat pernah memusuhi Kim-san-pai dan pernah jatuh oleh siauwte. Agaknya ia mengandung dendam sakit hati dan melihat salah paham yang timbul antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, dia lalu turun tangan, menewaskan muridku Lai Tek kemudian menggunakan nama Bu-tong untuk mengadu domba.”

“Sute yang baik, bagaimana kau bisa mengetahui ini semua dan bagaimana kau bilang bahwa dia itu sudah tertangkap?” tanya Thian Beng Cu dengan girang, sedangkan wajah Liem Sun Hauw menjadi muram sekali mendengar bahwa penjahat yang menjadi biang keladi pertikaian itu telah tertangkap.

“Dalam perantauan siauwte mendengar mengenai pertikaian antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai dan siauwte sudah mendengar pula sebab-sebab pertikaian itu. Siauwte tidak percaya bahwa Bu-tong-pai akan dapat berlaku sekeji itu, maka siauwte teringat kepada Siang-hek-pian Bwee Cat. Apa bila ada orang yang hendak mencelakakan Kim-san-pai, kiranya hanya penjahat itulah yang menaruh dendam dan pernah menjadi pecundang. Siauwte lalu mencarinya dan sesudah berjumpa, betul saja bahwa dia yang melakukan pembunuhan terhadap Lai Tek, katanya untuk memancing siauwte supaya mencarinya. Kami bertempur dan ternyata selama ini ia telah mempertinggi ilmunya sehingga hampir saja siauwte kalah dan celaka dalam tangannya. Tidak heran bila Lai Tek mudah saja ia tewaskan, tidak tahunya penjahat itu sudah berguru lagi semenjak kalah di Kim-san-pai. Masih baik nasib siauwte, pada saat itu datang dua orang bersaudara, yakni Kang Bok Sian dan Kang Eng Sian. Dua orang pendekar muda ini ternyata adalah anak-anak murid Bu-tong-pai dan mereka pun telah mendengar pula tentang pertikaian antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Dari orang-orang kang-ouw mereka mendengar tentang Siang-hek-pian Bwee Cat yang menyombongkan perbuatannya, yakni sudah membunuh Lai Tek murid Kim-san-pai. Karena dua orang saudara Kang yang gagah perkasa itu telah mendengar pula akan sebab pertikaian kedua partai mereka lalu mengerti bahwa biang keladinya adalah Bwee Cat dan mencarinya. Kebetulan sekali siauwte terdesak dan mereka berdua turun tangan membantu. Barulah penjahat itu dapat dirobohkan, sayang sekali dalam keadaan tewas sehingga tidak mungkin siauwte seret ke sini untuk membuat pengakuan.”

Thian Beng Cu menggeleng-geleng kepalanya. Kemudian ia menoleh kepada para anak muridnya dan kepada tujuh orang hwesio Bu-tong-pai yang berada di situ, lalu berkata dengan suaranya yang halus berpengaruh,

“Kalian para murid-murid Kim-san-pai dan murid-murid Bu-tong-pai dengarlah baik-baik. Penuturan sute-ku Eng Yang Cu ini menjadi cermin bagi kalian. Kalian yang berada di sini ribut-ribut saling menuduh dan saling menyerang menurutkan hati panas. Sebaliknya Eng Yang Cu dan dua orang saudara Kang sebagai murid-murid Kim-san-pai dan Bu-tong-pai yang jauh dari sini, bahkan sudah bekerja sama untuk menangkap penjahat. Murid-murid Kim-san-pai, kalian tirulah sikap susiok kalian ini dan murid-murid Bu-tong-pai harap suka meniru perbuatan kedua saudara Kang yang gagah perkasa.”

Sementara itu, Liem Sun Hauw lalu berkata kepada Thian Beng Cu dengan muka muram,
“Locianpwe, ternyata bahwa teecu seorang yang tidak ada gunanya sama sekali, kalau lebih lama di sini hanya akan mengotorkan tempat saja. Mohon maaf sebanyaknya dan perkenankan teecu pergi. Cuwi Suhu dari Bu-tong-pai, tolong sampaikan rasa hormatku kepada Locianpwe Lo Beng Hosiang di Bu-tong-pai. Nona Ang I Niocu, aku telah banyak melakukan kesalahan terhadapmu, maaf...”

Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Liem Sun Hauw melompat dan pergi dari situ, berlari turun dari lereng Bukit Kim-san-pai.

Semua orang memandang dengan bengong dan diam-diam merasa kasihan juga kepada pemuda tampan dan gagah itu yang sebenarnya bukan bertindak salah, hanya kurang teliti dan kurang hati-hati.

“Saudara Liem, tunggu dulu!” Ang I Niocu berseru dan di lain saat dia sudah melompat sambil berkata, “Totiang, maafkan aku tak dapat lebih lama lagi tinggal di sini!”

Sebelum Ketua Kim-san-pai menjawab, tubuhnya sudah lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah berkelebat dan meluncur turun gunung.

“Siapa mereka itu?” tanya Eng Yang Cu kagum sekali melihat kehebatan dua orang muda itu.

“Yang pertama adalah Liem Sun Hauw, murid mendiang Thian Mo Siansu dari Go-bi-pai untuk mendamaikan urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Yang ke dua tadi adalah Ang I Niocu, puteri dari Jeng-jiu-sian Kiang Liat, Bu Pun Su adalah susiok-couw-nya dan dia pun datang atas perintah Bu Pun Su untuk maksud yang sama, yakni mendamaikan kedua partai.”

Eng Yang Cu menarik napas panjang. “Ahhh, anak-anak muda sekarang memang hebat. Kepandaian mereka tadi benar lihai, apa lagi nona baju merah tadi, ginkang-nya sudah sampai di tingkat yang melebihi kita...”

Semua yang ada di situ mengangguk-angguk. Sunyi sepi di tempat itu, hanya beberapa kali terdengar suara orang menarik napas panjang…..

********************

Liem Sun Hauw merasa amat malu. Ia kecewa sekali karena usahanya melakukan tugas yang diserahkan kepadanya oleh Twi Mo Siansu selalu menemui kegagalan. Dia bahkan membuat suasana semakin keruh dan sebelum ia dapat menebus kesalahannya, dengan menangkap biang keladi permusuhan, ia telah didahului oleh Eng Yang Cu!

Saking malu dan kecewanya dia lalu meninggalkan Kim-san-pai. Yang membuat dia malu sesungguhnya bukan terhadap orang lain, melainkan terhadap Ang I Niocu. Dia sudah tertarik dan jatuh hati kepada gadis ini, apa lagi setelah dia tahu bahwa gadis itulah yang dicalonkan menjadi isterinya oleh Kiang Liat. Dan sekarang di depan gadis itu ia kelihatan sebagai seorang yang bodoh!

Biar pun ia berlari cepat sekali, sebentar saja ia tersusul oleh Ang I Niocu. Tadi Sun Hauw mendengar suara panggilan Ang I Niocu, akan tetapi ia mengira bahwa gadis yang cantik tapi galak itu akan menyalahkan dan menyindirnya, maka ia tidak mau berhenti sebelum jauh dari para tokoh Bu-tong-pai dan Kim-san-pai.

Selain ini dia pun hendak menguji ilmu lari cepat dari gadis itu dan diam-diam dia segera mengerahkan ilmu lari cepat yang paling diandalkan, yakni Liok-te Hui-teng (Lari Seperti Terbang di Atas Bumi), karena ia tahu bahwa gadis itu mengejarnya.

Akan tetapi alangkah kagumnya ketika tak lama kemudian gadis itu sudah menyusulnya. Bayangan merah berkelebat di samping kanannya dan di lain saat gadis itu telah berdiri beberapa tombak jauhnya di sebelah depan, tersenyum menghadang di jalan.

Ang I Niocu sengaja mengejar Sun Hauw karena gadis ini ingin sekali mendengar dari pemuda ini mengenai hubungan ayahnya dengan pemuda ini. Ingin dia mengetahui bagai mana pemuda ini bertemu dengan ayahnya dan bagaimana pula ayahnya sampai punya maksud menjodohkan dia dengan pemuda itu.

Selain ini, ia pun agak menyesal atas sikapnya yang menghina dan keras terhadap Sun Hauw, dan sekarang ternyata bahwa sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang yang menyombongkan kepandaian dan sengaja membantu Bu-tong-pai melakukan penghinaan terhadap Kim-san-pai. Semua pertengkaran yang terjadi hanya timbul diakibatkan kesalah pahaman.

Sungguh pun pada mukanya terbayang kemuraman, namun di dalam hatinya Sun Hauw merasa girang sekali melihat gadis itu. “Nona, apakah kau masih merasa penasaran? Aku sudah mengaku salah dan...”

“Saudara Liem, jangan kau salah sangka. Tadi kau menyebut nama ayahku. Di mana kau pernah bertemu dengan Ayah dan kapankah? Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang Ayah.”

Seketika wajah Sun Hauw berseri, hatinya berdebar-debar girang dan dia menarik napas lega.

“Aku bertemu kemudian berkenalan dengan ayahmu yang gagah perkasa dan mulia itu di Go-bi-san,” dia mulai bercerita, “ketika aku menghadap Susiok Twi Mo Siansu, kebetulan ayahmu datang dan menyampaikan pesan dari Sin-taihiap Bu Pun Su kepada Susiok-ku. Susiok lalu memilih aku untuk berusaha mendamaikan pertikaian antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai dan hal ini menimbulkan iri hati dan tidak senangnya beberapa orang anak murid Go-bi-pai. Aku sendiri biar pun anak murid Go-bi-pai, akan tetapi suhu-ku adalah seorang perantau dan hampir tidak mempunyai hubungan lagi dengan Go-bi-pai.”

Kemudian Sun Hauw menuturkan bagaimana dia telah diserang oleh tokoh Go-bi-pai Tek Le Tojin dan hampir celaka kalau saja dia tidak ditolong oleh Kiang Liat. Dan bagaimana perjalanannya ke Bu-tong-pai tertunda dan terlambat karena dia singgah di kampungnya dan terpaksa menunda perjalanan ke Bu-tong-san sebab dia harus terlebih dulu merawat ayahnya yang sedang sakit payah. Semua peristiwa ini sudah dituturkan di bagian depan dan kiranya tak perlu diulang pula.

“Demikianlah, Nona. Apakah ayahmu sudah pulang ke Sian-koan dan apakah kau telah bertemu dengan orang tua yang mulia itu?” Sun Hauw menutup penuturannya dan balas bertanya.

Ang I Niocu tak dapat menjawab, hanya mengangguk. Hatinya terasa bagai ditusuk-tusuk karena teringatlah dia akan segala peristiwa antara dia dan ayahnya yang menyebabkan kematian ayahnya.

Sun Hauw makin berdebar. Kalau gadis ini sudah bertemu dengan ayahnya, tentu sudah mendengar pula mengenai maksud pertalian jodoh itu. Matanya bersinar-sinar, mukanya merah ketika ia menatap wajah dara cantik jelita yang berdiri sambil menundukkan muka di depannya itu.

“Syukurlah jika ayahmu telah pulang, Nona. Kuharap saja orang tua yang gagah perkasa itu dalam sehat-sehat dan selamat. Ah, alangkah inginku menghadap Kiang-lo-enghiong, alangkah rindu hatiku bertemu muka dengan dia lagi. Aku amat menghormat dan memuja ayahmu, Nona, selembar nyawaku ini masih bisa berada di dalam tubuhku hanya berkat pertolongan ayahmu.”

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan sungguh-sungguh ini, Ang I Niocu menjadi sangat terharu. Ia meramkan kedua matanya dan merasa hatinya perih sekali. Ketika ia membuka lagi kedua matanya, ia tak dapat menahan air matanya yang mengucur deras. Cepat-cepat ia menggunakan ujung lengan baju untuk menutupi matanya dan mengusap air matanya.

“Ang I Niocu... kau kenapa…? Maafkan kalau aku kesalahan bicara...” Sun Hauw berkata kaget.

Ang I Niocu dapat menekan perasaannya dan kini menjadi tenang kembali.

“Saudara Liem, harap kau maafkan kelemahanku. Sebenarnya, perlu kiranya kau ketahui bahwa Ayah telah meninggal dunia tujuh bulan yang lalu.”

Tiba-tiba muka Sun Hauw menjadi pucat dan ia merasa seperti kehilangan semangatnya. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan biar pun ia tidak mengeluarkan suara, kedua pundaknya bergerak-gerak dan tahulah Ang I Niocu bahwa pemuda ini telah menangis!

Diam-diam ia menjadi terharu hadap pemuda ini, sekarang perasaan benci lenyap dan ia harus mengakui bahwa kecuali mendiang Gan Tiauw Ki, pemuda ini merupakan seorang pemuda pilihan dan baik, yang pernah ditemuinya.

“Gakhu...,” terdengar kata-kata dari mulut pemuda itu, hanya perlahan sekali

Wajah Ang I Niocu menjadi merah sekali ketika mendengar pemuda itu mengeluarkan kata-kata sebutan gakhu (ayah mertua) itu, akan tetapi kata-kata itu diucapkan perlahan sekali dan agaknya pemuda itu menahan hatinya supaya tidak mengeluarkan suara. lagi.

Memang di samping keharuan dan kesedihannya, Sun Hauw juga merasa bimbang dan gelisah. Calon mertuanya sudah meninggal dunia, apakah nona ini sudah tahu tentang perjodohan yang diikat? Bagaimana kalau Nona ini belum diberi tahu oleh ayahnya.

Ingin sekali ia bertanya kepada Ang I Niocu tentang ini, akan tetapi tentu saja ia merasa malu dan sungkan. Sebaliknya ia lalu menenangkan hatinya, diam-diam ia mengeringkan air matanya, lalu bangkit berdiri lagi. Kedua matanya masih basah dan mukanya merah.

“Niocu...,” suaranya serak dan pandang matanya kepada Ang I Niocu penuh perasaan kasih dan iba, “sungguh aku ikut berduka cita dan betapa kaget hatiku mendengar warta yang menyedihkan ini. Niocu, ayahmu demikian sehat dan gagah perkasa ketika bertemu dengan aku, bagaimana ia bisa meninggal dengan mendadak? Apa sebabnya?”

Jika saja masih ada kemarahan dan kebencian dalam hati Ang I Niocu terhadap pemuda ini, tentu dia akan menjawab dengan makian dan tuduhan bahwa pemuda inilah yang menjadi gara-gara kematian ayahnya. Akan tetapi sikap Sun Hauw mendatangkan kesan baik dalam hati Ang I Niocu dan gadis itu hanya menjawab singkat,

“Ayah meninggal karena sakit pada bagian jantungnya.”

Keduanya lalu berdiam diri agak lama. Sun Hauw tidak tahu harus berbuat atau berkata apa untuk menghibur nona itu. Akhirnya ia hanya dapat bertanya dengan perlahan,

“Niocu, apakah... apakah mendiang ayahmu ada meninggalkan sesuatu pesanan untuk aku...?”

Tentu saja Ang I Niocu dapat menangkap maksud dari pertanyaan itu, tentu pemuda ini hendak bertanya tentang maksud perjodohan yang direncanakan ayahnya. Akan tetapi ia hanya menggeleng kepala dan tidak berkata apa-apa.

“Niocu, apakah kau tidak mempunyai keluarga lain?”

Kembali Ang I Niocu menggeleng kepalanya.

“Kau sebatang kara di dunia ini?” pertanyaan ini penuh perasaan iba.

Ang I Niocu mengangguk, tidak berani mengeluarkan suara karena tahu bahwa suaranya tentu akan gemetar. Pertanyaan-pertanyaan ini telah membangkitkan kesedihan hatinya. Sampai lama Sun Hauw diam saja, penuh bimbang, ragu dan iba.

“Niocu, aku hendak melaporkan urusan Bu-tong-pai dan Kim-san-pai yang sudah selesai itu kepada Susiok di Go-bi-pai, setelah itu aku akan menghadiri pertemuan yang hendak diadakan oleh Sin-taihiap Bu Pun Su. Kalau aku boleh bertanya, kau hendak ke mana?”

“Aku juga harus menghadiri pertemuan di puncak Gunung Thai-san, seperti yang dipesan oleh Susiok-couw Bu Pun Su.”

Wajah Sun Hauw berseri. “Kalau begitu, Niocu, apa bila kau tak menganggap aku terlalu lancang dan kurang ajar, maukah kau mengijinkan aku mengiringkan perjalananmu? Kita sejalan, dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau dibolehkan melakukan perjalanan bersamamu.”

Karena sikap pemuda itu memang sangat baik dan menyenangkan hatinya, Ang I Niocu tidak merasa keberatan. Di atas dunia ini ia memang hidup sebatang kara, tiada keluarga tiada teman, sekarang ada pemuda yang baik hati dan sopan ini, mengapa dia menolak perjalanan bersama? Sedikitnya dia akan dapat menyelidiki dan mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya dari pemuda yang menjadi pilihan ayahnya ini.

Maka berangkatlah dua orang muda itu menuruni Bukit Kim-san dan dengan kepandaian mereka yang tinggi, mereka perjalanan cepat sekali. Sikap Sun Hauw benar-benar amat sopan dan baik sehingga Ang I Niocu makin suka kepadanya, meski pun sukar dikatakan bahwa gadis itu membalas cinta kasihnya. Sesudah kehilangan ayahnya dan Gan Tiauw Ki, memang amatlah sukar bagi Ang I Niocu untuk dapat mencinta pemuda lain.

Memang Sun Hauw seorang pemuda yang baik dan gagah. Tidak saja dia telah memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi dia juga amat pandai membawa diri. Perjalanan yang selama berbulan-bulan bersama Ang I Niocu menjadi ujian baginya. Walau pun dia sudah tergila-gila kepada Ang I Niocu, mabuk oleh kecantikan gadis ini yang memang sungguh luar biasa sehingga dia mencinta gadis ini dengan sepenuh hati dan perasaannya, tetapi belum pernah dia memperlihatkan sikap yang kurang ajar dan melanggar tata susila.

Bahkan, biar pun sepasang matanya selalu menyorotkan sinar cinta kasih yang berkobar-kobar, tetapi bibirnya tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun tentang perasaan yang terkandung dalam hatinya itu. Tiap malam, kalau Ang I Niocu sudah pulas di dalam kamar lain di penginapan, atau di dalam kamar pada sebuah kelenteng kosong di mana mereka bermalam, Sun Hauw gelisah tak dapat tidur.

Kadang-kadang dia hanya duduk bersandar pada meja sembahyang di dalam kelenteng dan melamun! Tentu saja yang terbayang hanyalah Ang I Niocu yang gagah perkasa dan cantik jelita, dan terbayanglah pula pertemuannya yang pertama kali dengan dara pujaan hatinya itu.

Kadang-kadang pemuda ini menjadi muram wajahnya, penuh kegelisahan dan kedukaan, kalau dia teringat betapa akan sengsara hidupnya kalau gadis itu kelak menolaknya! Dia pun merasa bingung mencari jalan bagaimana untuk bicara dengan Ang I Niocu tentang kehendak mendiang Kiang Liat mengenai tali perjodohan itu.

Oleh karena nama Ang I Niocu sudah mulai terkenal, apa lagi semenjak dia membasmi gerombolan perampok di Bukit Min-san itu, tidak ada penjahat yang berani sembarangan mengganggunya dalam perjalanan itu. Lebih-lebih karena di situ ada Liem Sun Hauw dan pemuda ini yang sudah lama merantau di dunia kang-ouw bersama mendiang suhu-nya, juga merupakan tokoh yang terkenal dan ditakuti penjahat.

Para kaum liok-lim mempunyai mata yang sangat awas dan telinga yang tajam. Mereka tak mau mengganggu orang-orang gagah yang sekiranya malah akan merugikan mereka sendiri.

Ketika mereka tiba di jalan simpangan yang dekat dengan kampung tempat tinggal Sun Hauw, pemuda itu berkata,

“Nah, di sinilah jalan yang menuju ke rumah ayahku, Niocu. Kau tentu tidak keberatan apa bila kita singgah sebentar, bukan? Aku harus menengok keadaan Ayah karena ketika kutinggalkan, dia baru saja sembuh dari sakit.”

Hal ini memang sering kali dikemukakan oleh Sun Hauw dalam perjalanan, yakni bahwa pemuda itu hendak singgah di kampung halamannya. Ang I Niocu tidak keberatan dan ia memang ingin sekali melihat keadaan keluarga pemuda ini.

Mereka membelok dan dengan cepat menuju ke kampung Peng-kan-mui. Akan tetapi, ketika mereka sampai di luar kampung itu, tiba-tiba Sun Hauw menghentikan kakinya dan mukanya berubah. Ang I Niocu juga berhenti dan menoleh, memandang heran kepada pemuda itu.

“Mengapa kita berhenti di sini?” tanyanya.

Mendadak Sun Hauw teringat akan sesuatu yang membuat hatinya berdebar cemas dan yang membuatnya tiba-tiba berhenti. Ia teringat akan Siok Lan, gadis yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi isterinya!

Ia mengajak Ang I Niocu ke rumahnya, bahkan bermaksud minta kepada ayahnya agar melamar gadis ini sebagai calon isterinya. Namun bagaimana dengan Siok Lan? Karena dahulu ayahnya sudah menetapkan perjodohannya dengan Siok Lan, maka urusan ini menjadi sulit dan harus dipecahkan dengan perlahan.

Kalau ia mengajak Ang I Niocu ke rumah ayahnya, bagaimana kalau terjadi hal-hal yang tak dikehendakinya? Bagaimana kalau andai kata ayahnya marah-marah dan Ang I Niocu mendengar tentang pertunangannya dengan Siok Lan? Bisa ribut dan tentu Ang I Niocu akan tersinggung, akan marah!

“Niocu, baru sekarang aku ingat dan betapa pun besar malu dan kecewaku kepadamu, terpaksa hal ini harus kukemukakan secara terus terang padamu. Kau tahu bahwa Ayah adalah seorang dusun yang kuno dan pendiriannya masih kolot. Kalau tiba-tiba saja aku datang bersama engkau, tentu ia akan menduga yang bukan-bukan dan mengira bahwa aku sudah menyeleweng. Hal ini bukan saja tidak baik bagiku, juga akan menyinggung perasaanmu. Oleh karena itu, aku harap kau sudi memaafkan aku, Niocu. Biarlah nanti aku yang masuk terlebih dahulu, memberi tahukan tentang perjalananku dan mengenai kunjunganmu, agar orang tua itu tidak salah paham dan bisa menyambut kunjunganmu.”

Wajah Ang I Niocu menjadi merah. Akan tetapi bagaimana dia bisa marah? Pemuda ini bicara dengan begitu terus terang dan secara terbuka, sehingga sama sekali tidak dapat disebut menghinanya, bahkan telah melindunginya dari keadaan yang benar-benar akan dapat menyinggung dan menghinanya, misalnya kalau tiba-tiba ayah pemuda itu lantas memaki-maki puteranya di depannya, tentu hal ini akan membuat dia merasa terhina. Oleh karena itu ia pun, tersenyum manis sekali dan berkata,

“Aku mengerti, Saudara Liem. Tidak apa, karena memang aku tidak berhak mengganggu orang tua itu. Kau masuklah ke kampung dan tengok orang tuamu. Biar aku berjalan-jalan di kampung ini melihat-lihat. Kiranya setengah hari cukup untuk melepas rindu kepada ayahmu, bukan? Nah, sekarang masih pagi. Nanti lewat tengah hari kita bertemu pula di luar kampung ini untuk melanjutkan perjalanan.”

Sun Hauw tidak berani banyak membantah. Masuklah dua orang muda itu ke kampung Peng-kan-mui dalam keadaan berpisah. Sun Hauw membelok ke kanan dan Ang I Niocu membelok ke kiri.

Kampung itu besar juga sehingga Ang I Niocu takkan merasa kesepian selama menanti Sun Hauw menyelesaikan kunjungannya ke rumah. Dia berjalan perlahan di sepanjang jalan kampung itu, tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang terheran-heran dan kagum melihatnya…..

********************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)