ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-02
Kiang Liat tidak bisa berbuat sesuatu, oleh karena dia sudah tertotok dan lemas semua tubuhnya. Andai kata ia tidak tertotok, ia pun tentu takkan melawan, karena memang ia sudah merasa kalah bertaruh yang berarti bahwa dia harus menjalankan hidup seperti pengemis setahun lamanya, merantau ikut dengan Han Le yang sudah menjadi gurunya!
Sesudah Kiang Liat kini memakai pakaian pengemis, Han Le memandang dan tertawa, “Bagus, bagus! Kau sekarang kelihatan tampan, patut menjadi muridku!” Setelah berkata demikian, ia menyambar tubuh Kiang Liat dan sekali berkelebat saja ia lenyap bersama muridnya itu.
Cap-si Kaipangcu tidak berani mencegah, tapi pada saat itu kakek tua she Song berseru keras, “Han-taihiap, tunggu sebentar, lohu ada permohonan penting!”
Dalam sekejap mata saja, Han Le sudah kembali kelihatan di tempat itu dan tangannya masih mengempit tubuh Kiang Liat.
“Song Lo-kai, kau mau bicara apakah? Apa kau masih penasaran dengan keputusanku tadi?”
Song Lo-kai menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le. “Sungguh mati, Han-taihiap, lohu mana berani penasaran? Keputusan itu bahkan terlampau murah bagi lohu. Hanya ada permohonan lohu mengenai cucu lohu yang bersama Song Bi Li.”
Han Le memandang heran. “Apa maksudmu? Apa yang dapat kulakukan untuk seorang gadis yang menjadi cucumu itu?”
Song Lo-kai memandang kepada Kiang Liat yang masih lemas dan sedang dikempit oleh Han Le seperti seorang anak kecil, lalu berkata, “Nyawa lohu yang tidak berharga sudah diselamatkan oleh Kiang-enghiong dan kiranya sampai mati pun lohu yang sudah tua bangka ini tak akan dapat membalas budinya. Cucuku Bi Li hidup sebatang kara dan kini usianya sudah delapan belas tahun. Hanya seorang pemuda gagah perkasa dan berjiwa budiman seperti Kiang-enghiong ini saja yang kiranya akan dapat menjamin kesentosaan hidup cucuku itu. Oleh karena ini, lohu ingin menyerahkan cucuku yang bodoh itu kepada Kiang-enghiong.”
Han Le tertawa bergelak dan Kiang Liat biar pun tidak berdaya akan tetapi masih dapat mendengar semua ucapan ini sehingga mukanya menjadi merah sekali.
“Ha-ha-ha, maksudmu ini baik sekali, Song-lokai. Akan tetapi aku tak berkuasa dalam hal ini, hanya saja aku berjanji bahwa sesudah Kiang Liat menghabiskan pelajarannya yang setahun lamanya, aku akan menyuruhnya mencarimu agar kalian berdua bisa berunding sendiri.” Setelah berkata demikian, kembali ia berkelebat dan kali ini ia tidak kembali lagi.
Song-lokai girang sekali, dan sambil tertawa-tawa dia lalu berkata, “Cuwi-pangcu, silakan menjalankan hukuman cambuk kepadaku.”
Hukuman lantas dilakukan dan disesuaikan dengan keputusan Han Le. Pencambukan itu dilakukan hanya untuk memenuhi bunyi hukuman saja, dan Song-lokai hanya menderita lecet-lecet pada kulit punggungnya…..
********************
Kiang Liat sebetulnya adalah seorang pemuda yang kaya raya. Pada waktu orang tuanya meninggal dunia, mereka mewariskan sebuah rumah gedung yang megah dan dipenuhi dengan perabot rumah yang indah, selain ini masih banyak sawah ladang dan uang yang ditinggalkan.
Oleh karena Kiang Liat hidup seorang diri, hanya bersama seorang pelayan wanita tua yang menjadi inang pengasuhnya semenjak dia dilahirkan, maka kebutuhan hidupnya tak seberapa besar dan tentu saja hasil sawah ladangnya sudah lebih dari cukup baginya.
Hidupnya tidak mewah karena dia memang suka akan kesederhanaan, namun dia tidak sayang mengeluarkan uang, apa lagi untuk menolong orang dan untuk menjamu kawan-kawannya. Biasanya dia hidup senang, berpesiar atau merantau ke sana ke mari sampai bekal uangnya habis baru dia ingat untuk pulang ke rumahnya di kota Siankoan.
Kini sesudah dia bertemu dengan Han Le dan menerima hukuman selama setahun hidup sebagai pengemis, tentu saja pada mulanya dia merasa terhina dan bisa membayangkan bahwa dia akan sengsara sekali. Akan tetapi, alangkah girangnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa hidup seperti ini benar-benar bebas seperti burung di udara. Apa lagi ketika gurunya itu mulai menurunkan ilmu silat yang luar biasa sekali, dia girang bukan main.
Ia merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan Han Le, dan tidak saja ia menerima latihan ilmu silat, tetapi dia juga mendapatkan banyak pelajaran tentang kebatinan yang membuka matanya. Kini dia tidak berani memandang rendah kepada para pengemis itu, yang sesungguhnya menjadi pengemis bukan karena malas, akan tetapi sengaja hidup sebagai pengemis untuk menyatakan bela sungkawa akan keadaan rakyat yang banyak menderita.
Mereka adalah pengemis-pengemis, namun sekali-kali bukan tukang minta-minta belaka. Mereka minta-minta seolah-olah hanya untuk menguji apakah manusia-manusia di waktu itu masih ingat akan nasib sesama manusia. Dan di balik semua sandiwara ini, ternyata mereka adalah pendekar-pendekar yang tidak saja selalu siap sedia dengan tenaga dan kepandaian untuk menolong mereka yang sengsara, bahkan mereka selalu siap sedia pula untuk mengulurkan tangan menolong dengan sumbangan uang yang ternyata cukup banyak disimpan di dalam perkumpulan-perkumpulan pengemis itu!
Sesudah menjadi murid Han Le, kepandaian Kiang Liat semakin maju dan matang. Kini seperti gurunya, jarang sekali ia mau mencabut pedangnya dan cukup dengan sebatang ranting kecil saja ia sudah mampu menjaga diri dan kalau perlu merobohkan tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai.
Kini terbukalah matanya betapa jauh perbedaan hidup antara orang-orang kaya raya dan orang-orang miskin, laksana bumi dengan langit. Terbuka pula matanya bahwa di dalam kemiskinan, ia bahkan banyak melihat orang-orang jujur dan berhati mulia.
Han Le adalah seorang yang berilmu tinggi. Melihat gerak-gerik ilmu pedang Kiang Liat, dia tidak ingin merusak kepandaian pemuda itu dengan memberi pelajaran ilmu pedang lain. Sebaliknya, ia hanya memberi pelajaran dari lukisan-lukisan pada dinding goa Pulau Pek-hio-to, mengajar gerakan-gerakan yang disesuaikan dengan ilmu pedang Kiang Liat sehingga kini ilmu pedang pemuda itu menjadi makin indah dan makin kuat.
Bahkan, dengan bantuan gurunya ini, akhirnya Kiang Liat bisa menciptakan ilmu pedang yang halus gerak-geriknya, tidak beda bagaikan orang menari-nari saja, akan tetapi di dalamnya terkandung kekuatan yang maha hebat.
Han Le membawa Kiang Liat merantau jauh dan selama satu tahun itu, banyak hal yang dilakukan oleh guru dan murid itu sehingga nama mereka makin meningkat tinggi dan menjadi terkenal di dunia kang-ouw. Kini nama Jeng-ciang-sian Kiang Liat amat disegani orang-orang kang-ouw, dan banyak orang tahu bahwa Kiang Liat sudah menjadi murid Han Le.
Setahun kemudian, Han Le dan muridnya berada di lembah Sungai Huang-ho, di dataran tinggi yang hijau segar, penuh tetumbuhan.
“Kiang Liat, waktumu telah lewat dan kau kini bebas. Kau boleh pulang dan agaknya kau sekarang sudah mengerti akan keadaan di dunia sehingga kelak kau tak akan melakukan kesalahan-kesalahan dalam tindakanmu.”
“Suhu, teecu masih ingin terus belajar kepada Suhu, kalau boleh, biar sepuluh tahun lagi teecu sanggup hidup seperti sekarang ini asal boleh menjadi murid Suhu,” jawab Kiang Liat.
Han Le tersenyum, “Kiang Liat, ketahuilah bahwa hanya karena aku suka kepadamu dan melihat bakatmu yang amat baik saja maka kau kuberi pelajaran ilmu silat itu. Namun sesungguhnya aku tidak berhak, karena ilmu silat yang kuajarkan kepadamu merupakan pecahan kecil dari isi Im-yang Bu-tek Cin-keng yang menjadi milik suheng-ku. Kau amat beruntung dapat bertemu dengan aku dan kini agaknya ilmu pedangmu sukar mendapat tandingan di dunia kang-ouw. Seorang laki-laki harus dapat memegang janji. Dahulu kita berjanji akan berkumpul selama satu tahun dan sekarang waktunya telah habis. Dan kau ingatlah, dulu aku berjanji kepada Kakek Song agar kau menemuinya untuk bicara soal perjodohan yang dia usulkan. Aku tidak mau berlaku lancang, soal perjodohan terserah padamu, hanya menurut pendapatku, Kakek Song itu adalah seorang tua yang memiliki semangat dan pribadi cukup baik. Kiranya cucunya tak akan mengecewakan. Akan tetapi semua keputusan terserah kepadamu sendiri, hanya kuminta supaya kau suka bertemu dengan dia agar janjiku terpenuhi.”
“Baiklah, Suhu. Terima kasih banyak atas segala pelajaran dan nasehat yang selama ini teecu terima dari Suhu. Setahun dekat dengan Suhu bagi teecu lebih berharga dari pada sepuluh tahun yang sudah-sudah.”
Pada saat itu, mendadak wajah Han Le berubah dan tiba-tiba pengemis sakti ini berseru keras sekali. Wajahnya nampak berseri girang dan juga kedua matanya terheran-heran. “Suheng…! Kau di sini…?”
Kiang Liat memandang ke arah gurunya memandang, namun dia tidak melihat sesuatu. Tiba-tiba dari jurusan itu, yang tidak kelihatan ada apa-apa, terdengar suara yang halus sekali, akan tetapi menusuk telinga karena mengandung tenaga luar biasa dan pengaruh besar.
“Sute, siapa anak muda itu?”
“Dia adalah Kiang Liat, muridku!”
Tiba-tiba saja debu mengebul dan tahu-tahu seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, sedikit lebih tua dari pada Han Le, berpakaian kusut sederhana akan tetapi tidak menyembunyikan kegagahan dan ketampanannya, telah berdiri di situ.
Kiang Liat memandang dengan mulut ternganga. Dia yang telah mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana sampai tidak mampu melihat dan mengikuti gerakan orang ini? Ibliskah dia?
Ketika laki-laki itu memandangnya, Kiang Liat hampir menundukkan mukanya. Demikian tajam pandangan mata itu menusuk matanya sendiri.
“Sute, kau kan tidak menurunkan Im-yang Bu-tek Cin-keng?” tanya orang itu.
Muka Han Le berubah dan kelihatan gugup. “Hanya sedikit, Suheng, bagian permainan pedang dan lweekang untuk memperkuat ilmu pedangnya sendiri, yakni ilmu pedang dari keluarga Kiang yang tersohor.”
“Hm, sute Han Le, betapa pun juga, kau telah berlaku sembrono sekali. Kau harus tahu bahwa ilmu kita itu sangat berbahaya kalau digunakan oleh orang yang beriman lemah. Sekarang kau sudah terlanjur menurunkan padanya, biar pun sedikit hal itu sudah berarti bahwa selamanya engkau dan aku harus selalu menyelidiki dan menjaga jangan sampai orang mempergunakannya tidak pada tempatnya!”
Han Le memandang kepada suheng-nya dengan mata penuh keheranan, apa lagi ketika ia kini melihat wajah suheng-nya amat kusut, matanya sayu dan kerut-merut pada wajah suheng-nya itu menunjukkan jelas bahwa suheng-nya telah mengalami penderitaan batin hebat selama ini. Sudah belasan tahun ia tidak bertemu dengan suheng-nya ini dan kini suheng-nya benar-benar telah berubah. Adatnya menjadi keras dan aneh. Akan tetapi, ia merasakan kebenaran ucapan suheng-nya itu dan ia pun mengangguk-angguk.
Orang itu lalu menghadapi Kiang Liat yang memandang kepadanya dengan perasaan tak senang. Sebelum orang itu bicara, Kiang Liat mendahului, bertanya kepada Han Le,
“Suhu, mohon memberi penerangan kepada teecu, siapakah adanya Lo-enghiong yang baru datang ini.”
“Bocah bodoh, dia inilah supek-mu. Dia suheng-ku bernama Lu Kwan Cu, berjuluk Bu Pun Su, ahli silat nomor satu di dunia ini!”
Kiang Liat terkejut bukan main. Tadi ia sudah menduga-duga ketika mendengar suhu-nya menyebut suheng kepada orang ini, akan tetapi dia masih penasaran dan sangsi, karena melihat orangnya, Bu Pun Su ini tidak begitu mengesankan sungguh pun kedatangannya tadi seperti siluman saja.
“Kiang Liat, berapa lama kau belajar kepada suhu-mu?”
Kiang Liat sudah menjatuhkan diri berlutut dan kini menjawab,
“Hanya satu tahun, Supek, karena menurut perjanjian memang teecu hanya boleh belajar satu tahun.”
“Perjanjian?” Lu Kwan Cu atau Bu Pun Su menoleh kepada Han Le.
Han Le tertawa dan menceritakan mengenai pertaruhan setahun yang lalu. Bu Pun Su mengerutkan keningnya yang tebal dan sudah mulai memutih.
“Tidak baik bagi seorang pemuda memiliki kesombongan dan terlalu keras. Orang-orang muda sering kali mendatangkan keributan di dunia, didorong oleh nafsunya sendiri tanpa mengingat akibat dari perbuatan yang ditunggangi oleh nafsu. Berdirilah kau!”
Kiang Liat berdiri, hatinya tidak enak.
“Cabut pedangmu!”
Kiang Liat ragu-ragu dan melirik ke arah Han Le, akan tetapi gurunya memberi isyarat dengan matanya agar pemuda itu menurut saja. Maka ia pun kemudian mencabut keluar pedangnya, pedang pusaka keturunan keluarga Kiang, memegang pedang itu lurus ke atas menempel jidat, tanda menghormat dan tidak mempunyai maksud buruk terhadap orang di depannya.
Akan tetapi Bu Pun Su tidak peduli kepadanya dan memerintah terus,
“Serang aku dengan pedangmu!”
Inilah keterlaluan, pikir Kiang Liat. Dia tidak mau berlaku kurang ajar dan lancang, maka bagaimana ia berani menyerang orang yang baru saja diperkenalkan kepadanya sebagai supek-nya?
“Hayo serang, bodoh!” Bu Pun Su membentak lagi dan bentakannya begitu berpengaruh sehingga di dalam tubuh Kiang Liat seakan-akan timbul aliran tenaga yang membuat dia otomatis bergerak!
Pedangnya menyambar, menusuk ke arah muka supek-nya itu. Namun dia segera ingat bahwa dia terlalu kurang ajar jika menyerang dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu selanjutnya ia mengendurkan gerakannya dan hanya memperlihatkan tipu-tipu serangan yang indah untuk membuktikan kepada supek-nya bahwa gurunya tidak memiliki murid secara sembarangan dan bahwa ia sebetulnya juga ‘berisi’!
Akan tetapi dia melihat Bu Pun Su sama sekali tidak menggerakkan kedua kaki, setapak pun tidak pindah dari tempat berdirinya semula. Kedua ujung lengan baju orang sakti itu bergerak-gerak ke depan dan bukan main hebatnya!
Dari sepasang tangan yang bersembunyi di dalam lengan baju itu lantas keluar tenaga luar biasa kuatnya sehingga angin tangkisannya saja selalu dapat menahan pedangnya. Pedangnya selalu terpental kembali seakan-akan terbentur pada benda yang amat keras.
“Jangan sungkan-sungkan, serang sungguh-sungguh!” Kembali Bu Pun Su membentak.
Kali ini Kiang Liat langsung menyerang dengan sungguh-sungguh. Bukan saja karena dia mendengar perintah ini, juga karena hatinya merasa penasaran sekali. Bagaimana orang dapat membikin semua serangan pedangnya tak berdaya hanya dengan hawa tangkisan belaka? Inilah aneh, seperti sihir atau dalam mimpi saja.
Ia mengerahkan seluruh lweekang-nya dan mengeluarkan tipu-tipu silat yang paling lihai. Ia mainkan pedangnya dengan ilmu pedang keluarga Kiang, ditambah dengan gerakan-gerakan halus dari ilmu silat yang ia pelajari dari Han Le.
Betul saja bahwa ilmu pedangnya memang hebat. Buktinya, Bu Pun Su kini tidak dapat menghadapinya dengan hawa tangkisan belaka, akan tetapi orang sakti itu bergerak ke sana ke mari dengan sangat lambat. Namun, betapa pun lambatnya gerakan kaki orang sakti itu, pedang di tangan Kiang Liat tak pernah mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju Bu Pun Su saja tidak dapat!
Setelah Kiang Liat menyerang sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba pemuda ini merasa telapak tangan yang memegang pedang sakit sekali sehingga dia terpaksa melepaskan pedangnya. Ketika dia memandang, pedangnya itu sudah terampas oleh gulungan ujung lengan baju Bu Pun Su!
Bu Pun Su sekarang tersenyum dan mengembalikan pedang yang diterima oleh Kiang Liat dengan muka merah.
“Harap Supek tidak mentertawakan kebodohan teecu dan mohon petunjuk,” kata Kiang Liat merendah. Kini dia merasa tunduk dan takut sekali kepada orang sakti ini yang ilmu kepandaiannya benar-benar luar biasa sekali ini.
Bu Pun Su sekarang tertawa lantas berpaling kepada Han Le, “Ahh, Sute. Benar-benar matamu awas sekali. Dalam setahun telah dapat menggerakkan pedang seperti itu, ahh, kalau dia mempelajari semua ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, bahkan aku sendiri tak akan mampu melawannya. Kiang Liat, kulihat walau pun kau mempergunakan pedang seluruhnya atas dasar ilmu silat pedang dari keluarga Kiang, namun isinya mengandung tenaga rahasia dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Oleh sebab itu, kau memang telah menjadi murid kami. Hal ini tidak boleh kau anggap main-main. Sekali saja kau menyeleweng dan mempergunakan ilmu untuk melakukan kejahatan, meski pun kau berada di tempat yang selaksa li jauhnya, aku sendiri akan mencarimu dan mencabut nyawamu agar ilmu dari kami tidak dipergunakan untuk kejahatan. Mengerti?”
“Teecu bersumpah takkan tunduk terhadap godaan iblis dan nafsu jahat!” kata Kiang Liat sambil mengedikkan kepalanya. Ia benar-benar merasa marah karena ketidak percayaan supek-nya terhadap dirinya ini.
“Bagus, akan kita lihat bersama. Apa bila benar-benar kau tidak mengecewakan menjadi murid kami, kelak kalau ada jodoh aku sendiri akan menambah satu dua ilmu pukulan kepadamu. Sute, mari kita pergi dari sini, aku punya urusan yang penting sekali untuk dibicarakan!” Setelah berkata demikian, dengan sekali berkelebat Bu Pun Su lenyap dari pemandangan mata Kiang Liat.
“Muridku, berhati-hatilah dan kau cari Song Lo-kai. Sampai bertemu kembali kalau ada jodoh!” Han Le juga berkata kemudian melompat dan lenyap untuk menyusul suheng-nya yang luar biasa itu.
Seperginya kedua orang sakti itu, Kiang Liat lalu berlutut ke arah mereka menghilang. Kemudian ia berdiri dan menarik napas berulang-ulang.
“Hebat… tadinya kukira bahwa kepandaian Suhu sudah tidak ada taranya di muka bumi ini. Tidak tahunya kepandaian Supek Bu Pun Su bahkan jauh lebih tinggi lagi! Ah, sayang sekali aku hanya mendapat kesempatan satu tahun. Kalau saja aku bisa menjadi murid Supek, alangkah senangnya…”
Kemudian, sesudah menyimpan pedangnya, sambil membawa sebatang ranting seperti suhu-nya, Kiang Liat pergi meninggalkan tempat itu dan menuju ke dusun Sui-chun di mana tinggal Song Lo-kai. Diam-diam ia merasa tidak enak dan sungkan-sungkan, sebab kepergiannya ini adalah untuk menghadapi Song Lo-kai yang mengusulkan pernikahan, padahal ia sama sekali belum memikirkan persoalan pelik ini.
Namun, ada juga sedikit keinginan tahu melihat macamnya cucu perempuan dari Song Lo-kai! Sedikit kok…..
********************
Song Lo-kai tinggal di Sui-chun, kini sudah menjadi seorang hartawan yang hidup berdua dengan cucunya, yakni Song Bi Li. Dahulunya Song Lo-kai sesuai dengan sebutannya, yakni lo-kai atau pengemis tua, adalah seorang pemimpin perkumpulan pengemis yang menjadi cabang atau anak buah dari Cap-si Kaipangcu.
Sejak cucunya kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal karena penyakit menular, kakek she Song ini sudah berubah pendiriannya. Tadinya dia memang tidak mempunyai tanggungan, hidup seorang diri dan senang hidup bebas sebagai pengemis. Akan tetapi, setelah anak dan mantunya meninggal dunia, dan Bi Li hidup seorang diri, ia memikirkan nasib cucunya itu.
Sungguh kebetulan sekali, Kakek Song mendapatkan sebuah surat wasiat tentang harta terpendam di sebuah goa rahasia. Dia pergi dan berhasil mendapatkan harta ini, maka ia lalu membeli rumah gedung dan sawah ladang, hidup sebagai hartawan besar. Kejadian inilah yang membuat dia ditangkap oleh Cap-si Kaipang dan hampir dibunuh kalau tidak tertolong oleh Kiang Liat.
Song Bi Li ternyata seorang gadis yang sangat cantik, berwajah ayu manis dan bertubuh langsing. Kulitnya putih halus dan pipinya kemerahan. Selain cantik jelita, juga dia sangat cerdas sehingga dengan mudah dia dapat menguasai kepandaian tulis dan baca, bahkan pandai sekali membuat sajak-sajak indah.
Di samping ini, dia pun sangat terkenal di kotanya dengan hasil sulamannya yang halus. Pendeknya di dalam kota Sui-chun, tidak ada gadis melebihi Bi Li cantik atau pandainya sehingga dia pun terkenal sebagai kembang kota Sui-chun. Lebih lagi sesudah kakeknya menjadi kaya raya, pakaiannya bagus-bagus, menambahkan kecantikannya.
Dua tahun yang lalu, ketika dia dan kakeknya baru pindah ke dalam gedung besar yang dibeli oleh kakek Song, terjadilah hal yang membuat hati Bi Li terguncang. Untuk pertama kalinya gadis yang pada waktu itu umurnya baru tujuh belas tahun, mengalami godaan asmara.
Waktu itu masih pagi sekali dan Bi Li berjalan-jalan di dalam kebun di belakang gedung kakeknya. Kebun ini masih kosong dan belum terpelihara, masih banyak pohon-pohon yang tidak berguna lagi bagi sebuah kebun yang seharusnya ditanami bunga-bunga yang indah.
Bi Li memang sedang memeriksa kebun ini untuk mengatur sendiri secara bagaimana kebun itu akan ditanami bunga-bunga, di mana harus membuat kolam dan sebagainya. Kakek Song memang sudah menyerahkan hal ini kepada cucunya.
Bi Li dikawani oleh Ceng Si, seorang gadis yang menjadi pelayan di rumah gedung itu. Kakek Song sengaja membeli gadis ini dari keluarga miskin di dusun, tidak saja untuk menolong orang tua gadis ini, juga karena ia ingin supaya cucunya mempunyai seorang kawan bermain yang sebaya. Ceng Si seorang gadis yang cantik juga, sederhana dan amat penurut, lagi cinta kepada Bi Li yang semenjak itu menjadi majikannya.
“Ceng Si, di ujung barat itu harus didirikan satu bangunan kecil untuk dapat beristirahat, di depannya digali empang yang dipasangi jembatan melengkung. Di ujung timur harus digali empang ikan emas dan juga diisi tanaman bunga teratai. Kembang botan ditanam di sebelah sini dan kembang cilan di sebelah sana. Kau nanti jelaskan semua ini kepada tukang kebun yang memborong pekerjaan ini, dan kalau ada yang belum jelas, biar aku sendiri yang akan menerangkan kepadanya,” kata Bi Li sambil menunjuk ke sana ke mari dengan telunjuknya yang kecil terpelihara.
“Baik, Siocia. Menurut Lo-ya (Tuan Tua, maksudnya Kakek Song), tukang kebun akan datang siang nanti dan akan mulai dengan menebangi pohon-pohon yang berada di sini.”
“Jangan ditebang semua. Pohon yang di kanan itu, yang berjajar tiga, tebang tengahnya saja, tetapi biarkan yang dua tumbuh terus. Dan sekumpulan yang-liu (cemara) itu jangan ditebang, hanya buangi cabang-cabang yang sudah kerig. Yang lain boleh dibuang. Dan jangan lupa, taman ini harus dikelilingi dinding tembok yang cukup tinggi sehingga tidak kelihatan dari luar. Sekarang ini hanya dikelilingi pagar, malah banyak yang sudah bobol. Kalau penuh tanaman kembang tentu akan habis dicabuti anak-anak nakal dan dimakan ayam dan kerbauku.”
“Memang benar, Siocia (Nona). Belum lagi kalau ada maling masuk,” kata Ceng Si.
Ceng Si menutupi mulutnya dengan ujung lengan baju, tertawa. Akan tetapi ketawanya segera terhenti dan ia berkata perlahan, agak ketakutan. “Aduh, dia benar-benar datang, Siocia…”
Bi Li terkejut dan bertanya, “Kau bilang ada maling…?” Sambil berkata demikian, ia cepat membalikkan tubuh menengok ke arah pelayannya itu memandang.
Ternyata benar ada seorang laki-laki yang menerobos masuk ke dalam kebun itu melalui pagar yang telah rusak. Mula-mula Bi Li terkejut sekali sehingga mukanya berubah, akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya setelah melihat bahwa lelaki yang menerobos ke dalam kebun itu tidak kelihatan seperti orang jahat.
“Dia tidak kelihatan jahat, Ceng Si, apakah bukan tukang kebun yang hendak bekerja di sini?”
“Ssttt, kau terlalu. Mana orang seperti itu dianggap tukang kebun? Dia bukan maling dan bukan pula tukang kebun, lihat saja pakaiannya seperti seorang kongcu (tuan muda) dan orangnya begitu… begitu tampan!”
“Hush, genit kau…!” Bi Li mencela, akan tetapi diam-diam ia harus mengakui bahwa yang datang itu memang seorang pemuda yang tampan dan ganteng, yang berpakaian seperti seorang siucai (pelajar), yang sikapnya halus dan sopan.
Bi Li dahulu tinggal bersama orang tuanya di kampung, maka ia tidak seperti nona-nona hartawan dan bangsawan yang selalu bersembunyi di dalam gedung dan jarang bertemu dengan laki-laki asing, maka kini ia tidak merasa terlalu kikuk. Juga ia tidak takut karena waktu itu matahari sudah naik tinggi dan ia berada di situ dengan pelayannya, sungguh pun mereka merasa curiga ketika memandang kepada pemuda ini. Dia merasa seperti pernah melihat pemuda ini, hanya dia lupa lagi bila mana dan di mana.
Pemuda itu menghampiri mereka dan memandang kepada Bi Li dengan senyum manis. Dia nampak ramah-tamah dan matanya berseri-seri ketika dia memandang kepada Bi Li, sungguh pun alisnya berkerut seakan-akan ada sesuatu yang menyusahkan hatinya.
“Kau siapakah dan mengapa berani lancang memasuki kebun orang?” Bi Li menegur, suaranya ketus dan matanya bersinar marah.
Pemuda itu nampak kecewa sekali mendengar teguran gadis ini. Ia pun menjura dengan hormat, lalu berkata, suaranya seperti orang penasaran,
“Song-siocia, benar-benarkah kau sudah lupa padaku? Benar-benarkah, setelah kini kau menjadi kaya-raya, kau lupa akan kampung halamanmu dan sekalian orang miskin yang menjadi penghuninya?”
Bi Li semakin marah. “Aku tidak kenal padamu, lekaslah pergi dari sini, kalau Kongkong (Kakek) tahu kau menerobos ke sini, kau tentu akan dipukul!”
Pemuda itu berdiri tegak dan tersenyum duka. “Jangankan dipukul, dibunuh pun aku rela. Kongkong-mu yang kaya-raya, yang merampas kau dari dusun kami, sudah begitu tinggi hati untuk menghinaku, dan sekarang aku hanya ingin menyaksikan, apakah Nona Song Bi Li juga begitu tinggi hati seperti kongkong-nya?”
“Siapakah kau? Mengapa kau begini kurang ajar?” Bi Li memandang pemuda itu dengan alis dikerutkan.
“Nona, lupakah kau kepada orang yang pernah menuliskan sajak di dinding kuil di dusun kita?” pemuda itu berkata.
Bi Li memandang makin tajam dan kini berubahlah mukanya menjadi kemerahan.
“Ahh, kau... kau Cia-siucai...,” katanya gagap.
Terbayanglah semua pengalamannya pada saat ia masih tinggal di dusunnya. Ketika itu, kedua orang tuanya secara berturut-turut sudah meninggal dunia karena penyakit yang merajalela di dusun itu. Banyak orang dusun datang pada waktu jenazah ayah bundanya dirawat di dalam kuil, yaitu satu-satunya kuil di dusun itu, tempat di mana sebagian besar orang-orang yang meninggal diurus dan disembahyangi.
Di antara mereka yang datang ini, terdapat seorang pemuda sasterawan yang baru saja pulang kembali ke dusun setelah bertahun-tahun menempuh pelajaran dan ujian di kota raja. Pemuda ini adalah Cia Sun atau yang segera terkenal dengan sebutan Cia-siucai.
Bi Li tahu bahwa hampir semua gadis dusun itu merindukan Cia-siucai, memuji-mujinya karena bukan saja ia merupakan pemuda yang paling tampan di dusun itu, juga ia sangat pandai membuat sajak. Semua tulisan pada lian yang digantung di kuil, tulisan yang amat indah itu, seluruhnya adalah buatan Cia Sun.
Pada saat itu Cia Sun baru pertama kali melihat Bi Li dan pemuda ini menjadi tergila-gila. Tiada bosannya ia melirik ke arah gadis itu yang tengah menjalani upacara sembahyang. Seorang gadis yang rambutnya awut-awutan, mukanya pucat penuh air mata, seorang gadis yang patah hati dan putus harapan karena ditinggal mati oleh ayah bundanya, yang tentu akan jatuh pingsan dan sakit kala tidak dihibur oleh seorang kakek tua yakni Song Lo-kai, Kongkong-nya.
Cia Sun demikian tergila-gila sehingga ketika ia sudah terlalu banyak minum arak, tanpa peduli apa-apa ia lalu mengambil pit dan menuliskan beberapa baris sajak di atas tembok kuil, dilihat dan dikagumi oleh semua tamu yang datang melayat.
Bi Li sampai sekarang masih ingat bunyi sajak itu, karena pada waktu itu ketika melihat ribut-ribut ia pun lalu ikut membaca tulisan itu yang berbunyi demikian:
Layu pucat Teratai Putih,
Kehilangan sinar matahari.
Mengembang di empang tanpa kawan
Hati siapa takkan rawan?
Nona suci hidup seorang diri
Hati siapa takkan perih?
Kasihan kumelihatnya.
Hancur pilu hati dibuatnya.
Apakah dayaku, si bodoh hina ini
Untuk menghibur Teratai suci?
Sajak itu tentu saja dengan sangat mudah dapat diterka maksudnya. Semua orang yang berada di situ memang merasa kasihan kepada Bi Li, gadis yang menjadi yatim piatu dan bunyi sajak itu otomatis merupakan pengakuan dari Cia Sun bahwa begitu bertemu dengan Bi Li, ia telah jatuh cinta.
Akan tetapi, Song Lo-kai tidak senang membaca sajak itu, dan dengan muka masam ia menarik tangan Bi Li masuk ke dalam. Semenjak saat itu mereka tidak pernah bertemu muka kembali. Peristiwa yang terjadi sewaktu Bi Li berada di puncak kesedihan itu tentu saja tidak terlalu membekas pada hatinya dan ia pun sudah lupa akan peristiwa itu. Akan tetapi siapa kira, sekarang tiba-tiba saja pemuda itu muncul di hadapannya, dengan jalan menerobos kebun!
Sementara itu, ketika Cia Sun melihat Bi Li mengenalnya, dia menjadi girang sekali dan wajahnya yang tampan berseri-seri.
“Aduh, terima kasih kepada Kwan Im Pousat, ternyata kau juga memikirkan diriku yang hina ini, Nona Song...”
“Siapa bilang?” Bi Li membentak marah. “Cia-siucai, kau lancang sekali! Kau masuk ke sini tanpa permisi dan kau sudah mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya. Apa sebenarnya kehendakmu?”
“Kedatanganku hanya untuk mengulangi pernyataanku dahulu, Nona, yakni bahwa aku cinta kepadamu...”
“Tidak! Kurang ajar, pergi kau dari sini!” Bi Li membelalakkan matanya yang indah dan mukanya berubah-ubah, sebentar merah, dadanya berombak menahan gelora hatinya.
Cia Sun menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Li.
“Song-siocia, kakekmu telah menghinaku, telah menolak pinanganku, dan kini kau masih mengusirku pula?” Suara ini terdengar demikian lemah mengharukan sehingga Ceng Si yang mendengar ini menjadi pucat dan dua titik air mata membasahi pipinya.
Ada pun Bi Li ketika melihat pemuda itu tiba-tiba berlutut di depannya dan mengeluarkan kata-kata itu, menjadi makin bingung.
“Cia-siucai, jangan kau begini! Apa sih yang kau kehendaki?”
“Nona, Kongkong-mu dulu menolak pinanganku dengan alasan bahwa kau telah menjadi tunangan dengan orang lain. Aku bukan seorang yang tidak kenal aturan, aku tidak mau menjadi seorang yang tak kenal malu dan kurang ajar, katakanlah kepadaku secara terus terang, Nona, apakah betul kau sudah menjadi tunangan orang lain? Betulkah kau sudah bertunangan?”
“Kau peduli apakah dengan itu? Hal itu bukan urusanmu, Cia-siucai. Sudahlah, lebih baik kau lekas-lekas pergi dari sini.”
“Jawab dulu, Nona. Benar-benarkah kau sudah bertunangan dengan orang lain? Apa bila benar demikian, aku Cia Sun bersumpah tidak akan mau mengganggumu lagi.”
Bi Li tidak mampu menjawab. Dia memang belum bertunangan, hal ini dia ketahui benar, karena memang dahulu orang tuanya belum mengikat perjanjian dengan siapa pun juga. Namun, menjawab pertanyaan seorang pemuda asing begitu saja tentang pertunangan, bukanlah hal yang patut dilakukan oleh seorang gadis sopan.
Ceng Si melihat keraguan nonanya, maka ia yang mewakili Bi Li menjawab, “Sebenarnya Siocia belum bertunangan Cia-siucai. Sudahlah, harap kau sudi meninggalkan tempat ini, kalau diketahui oleh orang lain, bukankah hal ini buruk sekali bagi Siocia?”
Mendengar ini, Cia Sun lalu membanting-bantingkan jidatnya pada tanah dan dia masih tetap berlutut.
“Penasaran! Penasaran! Nona Song, mengapa kakekmu begitu membenciku? Memang ia membohong dan menolak pinanganku? Ketahuilah, tanpa kau di sampingku, aku tidak akan dapat hidup lebih lama lagi! Lebih baik aku mati saja di sini, Song-siocia...”
Mendengar ini, muka Bi Li menjadi pucat sekali dan ia menahan mulutnya yang hendak berteriak. Kemudian ia membalikkan tubuh dan berlari pergi meninggalkan pemuda yang masih berlutut itu, berlari kembali ke dalam gedung.
Bi Li tiba di kamarnya dengan terengah-engah, mukanya pucat. Baiknya kongkong-nya tidak ada. Di rumah gedung itu baru ada dia dan Ceng Si saja, karena memang belum memanggil pelayan-pelayan lain.
Hatinya berdebar, tidak karuan rasanya. Ada rasa takut, bingung dan juga girang. Entah kenapa, mengingat betapa pemuda tampan dan pandai yang menjadi kebanggaan dusun dan menjadi rebutan serta impian para gadis dusun itu kini bertekuk lutut kepadanya, menyatakan cinta kasih yang demikian besar, benar-benar menggirangkan hatinya. Akan tetapi dia sendiri tidak mengerti perasaan apakah ini yang membuat dia menjadi merasa kebingungan.
Tak lama kemudian, Ceng Si menyusul masuk ke dalam kamar.
“Siocia, bagaimana ini baiknya?” pelayan muda dan cantik itu langsung berkata sambil meremas-remas tangan. “Dia tidak mau pergi…”
“Dia tidak mau pergi…? Habis bagaimana baiknya…?” Bi Li memandang kepada Ceng Si dengan bingung dan air matanya sudah mulai memenuhi pelupuk matanya.
“Siocia, dia harus dikasihani. Dia benar-benar mencinta kepada Siocia dengan sepenuh hati dan nyawanya. Dia bilang bahwa dia akan tetap berlutut di sana sampai mati kalau Siocia tidak mau menyatakan sesuatu untuk menjawab cintanya. Demikian yang ia bilang kepadaku, Siocia.”
Sekarang air mata menitik turun ke atas pipi Bi Li. Ia menjadi terharu dan juga bingung, ditambah rasa takut. Kalau sampai kongkong-nya atau ada orang lain tahu akan halnya pemuda itu, bukankah akan terjadi geger? Bukankah orang lain akan menyangka yang tidak-tidak terhadap dirinya? Sampai lama ia tidak menjawab.
Ahh, Bi Li memang seorang gadis yang masih hijau dan bodoh, yang selamanya belum pernah mengalami perasaan seperti itu. Kalau saja ia tahu apa yang baru saja terjadi ketika ia pergi meninggalkan Cia Sun, tentu akan lain sikapnya.
Begitu dia pergi, Ceng Si yang begitu melihat Cia Sun menyatakan cinta kasih terhadap nonanya, segera memegang pundak pemuda itu dengan lemah-lembut, berkata seperti bisikan mesra,
“Siucai, kenapa kau begitu lemah? Bangunlah, urusan ini bisa diatur bagaimana baiknya. Hatiku tidak kuat melihat kau begini sengsara, Kongcu...”
Mula-mula Cia Sun terheran, ia mengangkat muka dan memandang wajah pelayan yang cantik itu, kemudian sesudah dua pasang mata bertemu, tahulah pemuda ini akan suara hati Ceng Si. Dia menjadi sangat girang dan memeluk pundak Nona pelayan itu sambil berkata,
“Nona manis yang baik, benar-benarkah kau menaruh hati kasihan terhadap diriku yang malang ini?”
Ceng Si pura-pura melepaskan diri dan berkata dengan sikap genit,
“Cih, tak tahu malu! Baru saja Siocia pergi, hatinya telah berubah dan hendak membujuk aku, benar-benar lelaki tidak setia!”
Cia Sun segera menjura dan berkata dengan suara memohon, “Nona yang baik, siapa orangnya tidak akan mencinta kau yang begini manis? Kasihanilah aku, aku benar-benar lebih baik mati kalau Siocia-mu tidak mempedulikan aku. Bantulah aku, bujuk siocia-mu supaya dia sudi sedikit menaruh perhatian kepadaku, dan aku berjanji, kelak kalau aku berhasil menjadi suami siocia-mu, engkaulah orang pertama yang akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua)!”
Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, “Benar-benarkah janjimu ini? Atau hanya bujukan kosong belaka?”
“Demi langit dan bumi, aku bersumpah bahwa kelak apa bila aku berhasil menjadi suami Nona Song Bi Li, aku segera akan mengambil Nona... ehh, siapa namamu?”
Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, “Benarkah itu? Namaku, ehh, Ceng Si,” jawabnya cepat-cepat.
“Ceng Si nama yang manis.” Kemudian ia berdongak ke arah langit dan melanjutkan lagi sumpahnya, “Aku akan mengambil Nona Ceng Si yang manis sebagai ji-hujin! Nah, langit dan bumi menjadi saksi atas sumpahku. Lekaslah kau datangi siocia-mu dan bujuk agar supaya dia suka menaruh sedikit perhatian kepadaku dan suka memberi sedikit tanda mata.”
“Baiklah, akan tetapi awas, kalau kau membohongiku, jangan kira Ceng Si takkan dapat menuntut balas!” Pelayan itu segera pergi berjalan-jalan dan menuju ke kamar Bi Li.
Demikianlah, semua ini tentu saja Bi Li tidak tahu sama sekali. la mendengar dari Ceng Si bahwa Cia Sun masih berlutut dan tidak mau pergi, hatinya menjadi sangat terharu. Demikian besarnya kasih sayangnya kepadaku sehingga dia rela mengorbankan nyawa, pikir gadis ini.
“Habis, apa yang harus kulakukan, Ceng Si?” kemudian ia bertanya, minta nasehat pada pelayannya yang ia anggap lebih mengerti dalam urusan seperti ini.
Berbeda dengan Bi Li, di dalam hal ini Ceng Si lebih cerdik dan gadis pelayan ini lebih mengenal watak laki-laki seperti Cia Sun. Dia sudah dapat menduga ke mana maksud tujuan Cia Sun, bukan karena oleh kecantikan siocia-nya yang memang amat cantik itu, akan tetapi di samping ini mengandung maksud yang lebih besar, yakni hendak menjadi suami Bi Li yang menjadi ahli waris tunggal dari Song-loya yang kaya-raya!
Aku harus berlaku cerdik, pikir Ceng Si. Kalau kubujuk sehingga siocia menerimanya dan kemudian sebelum mereka menjadi suami isteri, Cia Sun menyia-nyiakannya, maka akan gagallah semua niatnya. Aku harus berusaha agar Siocia menjadi isterinya agar Cia Sun bisa diterima menjadi suami Bi Li dan kelak akan menjadi nyonya ke dua, akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua).
Kedudukan nyonya kedua di masa itu memang cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kedudukan nyonya ke tiga, ke empat atau seterusnya. Apa lagi bila dibandingkan dengan kedudukan pelayan biasa, tentu saja jauh lebih tinggi!
“Siocia, apakah… apakah Siocia juga… suka kepadanya?”
Wajah Bi Li menjadi merah sekali dan ia memandang kepada pelayannya dengan mata terbuka lebar. Maksudnya hendak marah, namun dia tidak dapat, karena wajah Ceng Si memperlihatkan sikap sungguh-sungguh, ada pun ia sedang bingung dan membutuhkan pertolongan pelayan ini.
“Aku tidak tahu, Ceng Si, aku... tidak tahu...”
“Siocia, Cia-kongcu itu benar-benar cinta kepada Siocia dan kalau ia dibiarkan saja, tentu ia akan berkeras tidak mau pergi!”
“Aduh, bagaimana kalau Kongkong datang dan melihat dia di sana?” Bi Li ketakutan.
“Apa lagi kalau ada orang luar melihatnya, tentu timbul persangkaan yang bukan-bukan.” Ceng Si menambah kebingungan siocia-nya dengan maksud agar nona majikannya itu terdesak betul-betut dan akhirnya akan menurut apa yang ia nasehatkan.
Benar saja, mendengar kata-kata pelayannya ini, Bi Li lalu menangis karena bingung dan cemas. “Ceng Si, apakah yang harus kulakukan? Tolonglah aku, Ceng Si!”
Pelayan muda yang cantik itu tersenyum di dalam hatinya. Baik Cia Sun mau pun Bi Li sudah minta tolong kepadanya, sudah dapat dipastikan bahwa kelak cita-citanya pasti tercapai, menjadi Ji-hujin yang kaya dan terhormat!
“Siocia, tak baik menemui padanya di kebun, akan tetapi tidak baik pula membiarkan dia begitu saja sehingga dia tidak mau pergi. Lebih baik Siocia menghibur hatinya dengan jalan memberi sesuatu agar ia puas dan mau pergi!”
“Memberi apa, Ceng Si? Apa yang dapat kuberikan agar ia mau pergi?”
Ceng Si berpikir-pikir. Memang akan lebih sempurna apa bila memberikan barang yang berharga, yang menjadi tanda atau bukti seperti misalnya hiasan rambut dari batu giok itu yang menghias rambut Bi Li yang hitam dan halus, akan tetapi hal itu terlalu berbahaya untuk pertama kalinya. Dia masih belum tahu akan isi hati Cia Sun, belum tahu apakah pemuda itu bersungguh-sungguh atau tidak.
“Lebih baik Siocia memberikan sapu tangan Siocia itu, supaya ia merasa bahwa Siocia menaruh kasihan kepadanya dan akulah yang akan membujuk-bujuknya agar dia mau pergi dari kebun.”
Bi Li tentu saja ragu-ragu dan mukanya menjadi merah sekali. Ia melihat sapu tangannya yang tersulam indah dan yang basah dengan air matanya. Akan tetapi tidak ada jalan lain yang lebih baik. Kalau pemuda itu nekat tidak mau pergi, lebih celaka lagi!
“Baiklah, kau berikan ini dan bujuk agar dia jangan berlaku nekad dan tidak mau pergi.”
Ceng Si dengan girang menerima sapu tangan itu dan membawa benda itu ke kebun, di mana Cia Sun telah menantinya. Untuk beberapa lama dua orang ini berunding, akhirnya Cia Sun pergi keluar melalui pagar kebun yang rusak.
Demikianlah. Ceng Si menjalankan siasatnya secara licin sekali. Sampai kebun itu sudah berubah menjadi taman yang indah dan dikelilingi pagar tembok, selalu pelayan ini yang mengadakan hubungan dengan Cia Sun.
Dengan amat cerdiknya Ceng Si menjaga sedemikian rupa sehingga Bi Li mau memberi benda-benda tanda mata, membalas surat-surat dan sajak-sajak pemuda itu, bahkan Bi Li yang bagaikan seekor lalat terjebak dalam sarang laba-laba berani bersumpah bahwa dia hanya akan bersuamikan Cia Sun!
Sampai dua tahun perhubungan ini berjalan diam-diam. Memang betul bahwa Bi Li tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar kesusilaan, karena memang gadis ini teguh menjaga kesopanan, dan ini sesuai pula dengan rencana Ceng Si, akan tetapi di dalam hatinya, gadis ini sudah membalas cinta kasih Cia Sun.
Tentu saja Cia Sun menjadi besar hati, karena meski pun dia pernah ditolak lamarannya oleh Kakek Song, namun kalau Bi Li tidak mau dinikahkan dengan orang lain dan kelak kakek itu meninggal dunia, akhirnya tetap dialah yang akan menjadi suami Bi Li dan bisa menguasai semua harta benda yang besar itu!
Akan tetapi, setelah Bi Li berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari tiba-tiba Kakek Song pulang bersama seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, yang berpakaian sebagai seorang pengemis, tambal-tambalan dan butut. Dan hebatnya, Bi Li dikenalkan kepada pemuda ini sebagai calon suaminya.....
Komentar
Posting Komentar