ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-10


Beberapa kali Kiang Liat menarik napas panjang dan mukanya kelihatan sedih sekali. Terbayang di depan matanya betapa dahulu di waktu hujan seperti sekarang ini, ia duduk di kamar pinggir dengan isterinya, duduk menghadapi jendela terbuka dan bersama-sama melihat air huian turun. Alangkah mesra dan bahagianya waktu itu.

Mengingat akan semua kenangan ini, ditambah pula dengan bayangan wajah Im Giok yang tersenyum-senyum dan secara lucu menyebut-nyebut ‘pa-pa’ berkali-kali, air mata mengucur turun dari sepasang mata pendekar itu. Cepat-cepat ia mengusapnya dengan punggung tangan.

Tidak patut bagi seorang pendekar gagah mengucurkan air mata, pikirnya dengan hati dikeraskan. Akan tetapi percuma saja, hatinya sudah terlalu lama menderita sehingga ia tak dapat menahan lagi air matanya yang mengucur terus, menyaingi air hujan yang juga bercucuran dari atas.

Selagi Kiang Liat menumpahkan kesedihan hatinya seorang diri di ruang kelenteng itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara perlahan. Ketika ia mengangkat mukanya yang tadi ia sembunyikan di atas lutut, ia melihat seorang kakek pengemis sudah berdiri di depannya dengan sikap tenang.

“Suhu...!” Kiang Liat menjatuhkan diri berlutut dan buru-buru ia menghapus air matanya.

“Orang bodoh, kau pulanglah, isterimu menderita sakit, anakmu lenyap diculik. Menyiksa diri sendiri dan memaksa diri membenci keluarga, tidak mau pulang akan tetapi dirantau selalu berduka, benar-benar perbuatan yang amat pandir. Pulanglah kau!”

Sebelum Kiang Liat sempat bertanya, tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Kiang Liat maklum bahwa watak suhu-nya amat aneh, dan percuma saja kalau ia akan mengejar juga. Ia tak memikirkan lagi tentang suhu-nya, pikirannya penuh dengan berita yang diterimanya.

Mendengar isterinya sakit dan anaknya diculik orang, ia terkejut bukan main dan seketika itu timbullah rasa marah yang jauh lebih besar dari pada kesedihannya. Tanpa pedulikan hujan angin yang masih mengamuk di luar, di lain saat Kiang Liat sudah melompat dan berlari cepat menerjang hujan.

Berita mengejutkan yang disampaikan oleh Han Le kepada muridnya itu memang nyata. Semenjak ditinggal pergi oleh suaminya, Bi Li hidup dalam kedaan sengsara, menderita batinnya. Kalau saja tidak mengingat kepada puterinya, kiranya nyonya muda ini tak akan dapat menahan lebih lama lagi hidup di dunia. Baginya, derita lahir jauh dari suami masih dapat ditahannya, akan tetapi derita batinnya, yakni sangkaan suaminya bahwa dia telah berlaku jinah sebelum menjadi isterinya yang benar-benar terasa tak kuat ia menahan.

Setelah bertahun-tahun suaminya tidak pulang dan ia menerima ejekan dan sindiran dari orang-orang yang tidak suka kepada keluarga Kiang, Bi Li sering kali jatuh sakit. Selama empat tahun ini, perhiasan dan barang-barang berharga di rumah sudah banyak dijualnya untuk makan, membayar pelayan dan membeli obat dan keperluan lainnya. Keadaannya makin lama makin buruk.

Akan tetapi Bi Li tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri. Siang malam yang menjadi ingatannya hanyalah suaminya, Kiang Liat yang dirindukannya setiap saat. Hampir setiap malam Bi Li bersembahyang, memohon kepada Yang Maha Esa agar supaya suaminya dapat memaafkan kesalahannya dan dapat pulang kembali.

Akan tetapi sudah terlampau banyak bukti bahwa harapan manusia tidak selalu cocok, bahkan sebaliknya dengan kenyataan yang datang. Bukan Kiang Liat yang datang, akan tetapi seorang yang menambah beban deritanya, yakni Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat!

Wanita yang berusia hampir empat puluh tahun akan tetapi masih memiliki kecantikan seorang gadis remaja yang berusia dua puluhan ini datang tanpa diundang, malah tanpa diketahui orang, tahu-tahu sudah berada di kamar Bi Li seperti kedatangan seorang dewi atau seorang siluman!

Bi Li segera mengenalnya, maka biar pun amat terkejut, nyonya muda ini menjadi girang sekali. Ia segera maju berlutut, akan tetapi ia ditarik bangun oleh Pek Hoa Pouwsat.

“Adikku yang manis, kenapa kau kelihatan kurus dan pucat? Ah, kau bahkan tidak sehat kiranya...,” Pek Hoa berkata dengan suaranya yang merdu dan ramah.

Mendengar teguran ini Bi Li tidak dapat tahan lagi, lalu menangis tersedu-sedu. Dengan suara terputus-putus nyonya muda yang mengira bahwa ia berhadapan dengan seorang dewi kahyangan, menceritakan nasibnya yang amat sengsara, betapa dia dahulu tertipu oleh Cia Sun dan Ceng Si dan sekarang suaminya mengetahui semua rahasia sehingga marah-marah, membunuh Cia Sun dan pergi meninggalkannya.

Orang seperti Pek Hoa ini mana tahu akan rasa kasihan? Sebaliknya, di dalam hati ia merasa geli. Akan tetapi mulutnya berkata lain dan ia menghibur Bi Li.

“Mengapa susah-susah? Lebih baik mencari hiburan sendiri sambil memelihara anakmu. Mana anakmu?”

Sesudah melihat Im Giok yang usianya sudah menjelang enam tahun, Pek Hoa Pouwsat memandang dengan mata terbelalak kagum. Seorang anak perempuan yang berpakaian merah, dengan rambut hitam panjang dikuncir menjadi dua yang diikat dengan pita biru tergantung di depan pundak, sepasang mata yang bening dan berbentuk indah, bergerak-gerak membayangkan kecerdikan luar biasa, hidung yang mungil dan mancung nampak lucu sekali, mulutnya kecil dengan bibir merah segar, potongan muka bulat telur dengan dagu meruncing, sepasang pipi kemerahan.

Pendek kata, wajah seorang bocah perempuan yang sehat dan mungil sekali. Walau pun usianya baru enam tahun, Im Giok sudah memperlihatkan kecantikan dan setiap orang dengan mudah akan mengatakan bahwa bocah ini merupakan calon seorang gadis yang cantik luar biasa.

“Pek Hoa-cici, benar-benar anakku Im Giok ini seperti kau wajahnya...!” Bi Li mengulangi kata-kata yang sering kali ia katakan sebelum Pek Hoa datang berkunjung.

Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yang usianya sudah hampir empat puluh satu tahun, seorang wanita yang hidup menyeleweng melalui jalan kotor, tak pernah mengenal kebahagiaan rumah tangga dan kebahagiaan seorang ibu. Sekarang, pada waktu melihat Im Giok, tiba-tiba saja ia menjadi terharu.

Apa lagi sesudah mendengar ucapan Bi Li tadi, dia terpaksa mengerahkan tenaga untuk menahan jatuhnya air mata. Diam-diam dia berkata kepada diri sendiri bahwa anak inilah yang paling tepat untuk dijadikan muridnya!

Kedatangan Pek Hoa Pouwsat menghibur hati Bi Li. Dengan ramah nyonya muda ini lalu berusaha sedapat mungkin untuk menjamu tamunya dan pada malam hari itu, Pek Hoa Pouwsat dipersilakan tidur di dalam satu kamar dengan Bi Li dan Im Giok.

Ada pun Im Giok sendiri, ia amat suka kepada Pek Hoa Pouwsat. Ia memandang kepada tamu ini dengan matanya yang jeli, dan dengan berterang ia memuji, “Ibu, Bibi ini cantik sekali, ya?”

Pek Hoa menangkap dan mengangkatnya di atas pangkuan. “Anak yang baik, kelak kau bahkan lebih cantik dari pada aku atau ibumu,” katanya sambil mengusap-usap kepala Im Giok.

Beberapa kali ia meraba lengan, pundak, punggung, dan pangkal paha untuk memeriksa apakah bocah ini mempunyai bakat. Bukan main girang hatinya pada waktu ia mendapat kenyataan bahwa bocah ini memang bertulang pendekar, yakni mempunyai tubuh sehat, tulang-tulang kuat dan perjalanan darahnya baik sekali. Ditambah lagi dengan kecerdikan yang membayang di kedua mata anak ini, dapat diduga bahwa kelak tentu akan menjadi seorang pandai.

Untuk mengetahui isi hati dan pikiran anak itu, Pek Hoa lalu bertanya, “Im Giok sukakah kau menjadi muridku?”

Bocah itu melirik ke arah ibunya, lalu ia berkata dengan senyum lucu. “Belajar membaca dan menulis lagi, Bibi? Ahhh, ibu sudah mengajarku dan aku adalah orang yang paling malas belajar membaca dan menulis, demikian kata ibu. Bibi tentu akan kecewa kalau mengajarku, karena aku benar-benar malas dan tidak suka. Aku lebih senang belajar menjahit dan menyulam! Apa lagi menggambar atau bernyanyi, lebih senang lagi aku.”

Pek Hoa tertawa. “Kau suka belajar menari?”

Im Giok melompat turun dari pangkuan Pek Hoa, memandang kepada wajah tamu ini dengan mata berseri. “Menari seperti anak-anak wayang yang pernah kulihat bermain di kelenteng itu? Wah, aku senang sekali! Aku sudah minta ibu mengajarku, akan tetapi ibu tidak dapat. Bibi, kalau kau mau mengajarku menari, menyanyi, melukis, dan menyulam, aku suka sekali!”

“Apa kelak kau ingin menjadi anak wayang tukang menari?” tanya ibunya, pura-pura tak senang.

“Apa salahnya, ibu? Mereka itu cantik-cantik dan pandai. Buktinya banyak orang gemar menonton dan banyak orang memuji. Kalau tidak pandai masa disukai orang? Aku lebih suka ditonton dari pada menonton. Bibi, mau kau mengajarku?” Dengan sifat manja Im Giok menarik-narik tangan Pek Hoa dan ketiga orang itu tertawa-tawa.

Demikianlah, hati Bi Li gembira sekali mendapat teman seperti Pek Hoa ini dan sampai jauh malam mereka bercakap-cakap gembira. Akan tetapi, menjelang fajar, Bi Li terkejut mendengar suara anaknya memanggil.

Ia terbangun dan dilihatnya Pek Hoa sudah memondong Im Giok dan tamunya itu sekali bergerak telah ‘terbang’ ke jendela yang sudah terbuka. Bukan main kagetnya Bi Li, apa lagi Im Giok berkali-kali memanggil.

“Ibu...! Ibu...! Bibi, aku tidak mau pergi kalau ibu tidak ikut!”

“Enci Pek Hoa, kau hendak membawa anakku ke mana?” Bi Li mengejar dan bertanya kaget karena ia takut kalau-kalau anaknya dibawa ke kahyangan tempat para bidadari!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh nyaring dan lenyaplah sifat ramah-tamah dari Pek Hoa, terganti sifat mengejek dan tarikan air mukanya mengandung kekejaman luar biasa.

“Ha-ha-ha, Bi Li! Tak usah kau ribut-ribut. Anakmu tak perlu kau pikirkan lagi. Dia sudah menjadi anakku atau muridku dan akan kubawa pergi. Ha-ha-ha, mungkin dulu kau selalu membanggakan kecantikanmu, ya? Sekarang barulah kau tahu bahwa kecantikan tidak membawa bahagia. Bukan aku saja yang mengalami, akan tetapi kau juga... ha, kau juga, Bi Li. Tunggulah saja di rumah mengenang suami dan anak yang hilang!”

Sekali berkelebat tubuh Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, hanya gema suara ketawanya masih terdengar dari jauh seperti suara ketawa seorang siluman wanita!

Sejak tadi, Bi Li berdiri terpaku di lantai. Melihat Pek Hoa yang memondong puterinya berdiri di jendela sambil mengeluarkan kata-kata keji dan air mukanya yang menyeringai mengerikan itu, hati Bi Li seakan-akan berhenti berdetik.

Setelah Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, barulah Bi Li sadar. Ia menjerit dan memburu ke jendela, akan tetapi mana bisa dia mendapatkan Pek Hoa yang sudah melompat ke atas genteng dan berlari cepat sekali?

“Im Giok... anakku... Im Giok... kembalikanlah anakku... Im Giok...!”

Setelah memanggil-manggil hingga suaranya hampir habis, akhirnya Bi Li menjadi lemas. Dipaksanya berlari ke luar dan mengejar ke sana ke mari sambil terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh pingsan di luar rumah, dekat jalan, di atas tanah yang basah.

Sesudah matahari naik tinggi, baru ada para tetangga yang melihat keadaan Bi Li dan beramai-ramai mereka menolong nyonya muda yang bernasib malang ini. Akan tetapi, tubuh nyonya muda yang selama ini memang lemah dan sering sakit, tak dapat menahan serangan batin yang hebat ini.

Bi Li jatuh sakit berat. Karena tetangga yang mau menolong dan merawatnya juga amat miskin, terpaksa seluruh isi rumah dari Bi Li dijual untuk membeli obat dan keperluan lain. Keadaan Bi Li amat payah. Siapa yang dapat menolongnya?

Kakeknya sendiri, Song Lo-kai sudah meninggal dunia tak lama setelah Kiang Liat pergi. Nyonya muda yang hidup sebatang kara ini terserang sakit panas dan batuk-batuk, setiap saat dia hanya memanggil dan menyebut-nyebut nama suaminya dan anaknya.

Sebulan kemudian, Bi Li menghembuskan nafas terakhir. Tidak seorang pun menangisi kematiannya. Para tetangga yang cukup baik hati menjaga jenazahnya, hanya menarik napas panjang dan merasa kasihan.

Kegotong-royongan para tetangga yang miskin pulalah yang mencegah jenazah nyonya muda ini terlantar. Mereka bekerja sama dan dengan amat sederhana serta bersahaja, jenazah Bi Li dimasukkan dalam peti mati tipis dan disembahyangi sekedarnya.

Baru saja peti itu hendak diangkat orang untuk dibawa ke kuburan, tiba-tiba ada seorang wanita jembel datang berlari-lari kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan peti sambil menangis terlolong-lolong. Pakaiannya sangat kotor banyak tambal-tambalan, rambutnya awut-awutan, mukanya penuh debu dan lumpur sehingga ia menjijikkan sekali. Tidak ada seorang pun di antara para tetangga itu mengenalnya.

“Hujin... mengapa kau tega meninggalkan hamba...? Kini siapa yang akan merawat dan melayanimu Hujin? Bawalah hamba serta... Hujin, hamba... hamba mohon ampun atas segala dosa...” Wanita ini menangis sedih sekali.

Tiba-tiba ia berhenti menangis dan... tertawa bergelak!

“Ha-ha-ha-ha, Kiang Liat! Kau kehilangan anak dan isteri, bagus! Cia Sun, kau mampus dengan mata mendelik, salahmu sendiri. Ha-ha-ha!”

Sekarang baru para tetangga itu mengenalnya. Perempuan jembel yang otaknya sudah tidak beres ini bukan lain adalah Ceng Si.

Memang semenjak suaminya, Cia Sun, tewas oleh Kiang Liat, Ceng Si menjadi ketakutan selalu, takut kalau-kalau Kiang Liat juga akan mencari kemudian membunuhnya. Ia insyaf bahwa ia pun berdosa dalam urusan pemerasan terhadap Bi Li. Di samping rasa takut terhadap Kiang Liat, ia pun benci padanya. Ketika mendengar bahwa suaminya dibunuh oleh Kiang Liat, Ceng Si cepat-cepat melarikan diri ke luar kota.

Ia terjatuh ke tangan orang jahat. Karena Ceng Si memang masih muda dan mempunyai wajah cantik serta tubuh menarik, ia menjadi permainan orang-orang jahat. Selama tiga tahun lebih ia terjatuh dari satu ke lain tangan dan terperosok semakin dalam ke jurang kehinaan. Akhirnya, Ceng Si mulai berubah pikirannya.

Bajingan-bajingan yang mempermainkannya, melihat otaknya telah miring, tentu saja lalu menendangnya dan demikianlah, Ceng Si lalu hidup berkeliaran sebagai seorang wanita jembel yang gila! Kebetulan sekali ketika Bi Li menghembuskan napas terakhir, Ceng Si sudah tiba kembali di kota itu dan mendengar mengenai berita kematian Bi Li, wanita setengah gila ini lalu berlari-lari mendatangi rumah bekas majikannya.

Rumah gedung bekas tempat tinggal keluarga Kiang masih berdiri tegak, akan tetapi kini keadaannya amat menyeramkan. Rumah besar itu terlihat gelap dan kotor, penuh sarang laba-laba dan debu. Tak sebuah pun perabot rumah terlihat menghias rumah gedung itu, karena semua prabot rumah dijual oleh para tetangga untuk membiayai perawatan Bi Li ketika sakit dan meninggal.

Sungguh pun rumah itu sudah kosong tidak ada penghuninya, namun tidak seorang pun berani mengganggu apa lagi menjualnya, karena siapakah yang berani menjual rumah gedung milik keluarga Kiang?

Mereka semua tahu bahwa meski pun Kiang Liat pada waktu itu tidak ada di situ, akan tetapi kalau pendekar itu kembali dan melihat rumahnya dijual orang, tentu orang yang menjualnya itu tak akan diberi ampun. Semua orang di kota Sian-koan tentu saja sudah mengenal nama Kiang Liat sebagai seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi.

Semenjak meninggalnya Bi Li rumah itu dikosongkan saja. Akan tetapi tetap setiap hari sekali, kadang-kadang sore dan ada kalanya pagi-pagi, halaman depan rumah gedung kosong itu tentu disapu dan dibersihkan oleh seorang perempuan jembel gila, yakni Ceng Si!

Pada suatu pagi, kurang lebih satu pekan setelah Bi Li meninggal, Kiang Liat tiba di kota Sian-koan! Betapa pun gelisah hatinya mendengar dari gurunya bahwa puterinya sudah diculik orang dan isterinya sakit keras, akan tetapi Kiang Liat masih ingat untuk bertukar pakaian yang pantas sehingga pada waktu ia masuk kota Sian-koan, ia telah merupakan seorang laki-laki muda berpakaian seperti seorang pendekar yang gagah.

Tentu saja penduduk Sian-koan mengenalnya dan semua orang memandangnya dengan sinar mata berkasihan. Siapa yang tak merasa kasihan melihat orang laki-laki yang telah ditinggal mati isterinya dan anaknya diculik orang pula? Akan tetapi, semua orang merasa takut dan segan untuk menegur Kiang Liat, karena mereka tahu akan pembunuhan yang dilakukan oleh Kiang Liat kepada Cia Sun tanpa mereka ketahui latar belakangnya.

Namun, Kiang Liat juga tidak mempedulikan pandang mata semua orang itu. Ia bergegas menuju ke rumahnya. Akan tetapi, sesudah tiba di jalan depan rumah, ia berdiri terpaku dan mukanya menjadi pucat.

Rumahnya nampak seram sekali dan kosong. Dengan langkah lambat ia memasuki pintu pekarangan dan berjalan perlahan menuju ke ruang depan.

Tiba-tiba ia mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh, suara tawa seorang wanita. Cepat Kiang Liat memutar tubuh dan memandang ke sebelah kanan. Di bawah pohon ia melihat seorang wanita jembel memegang sebatang sapu, tertawa-tawa memandang kepadanya, bahkan kadang-kadang telunjuknya menuding ke arahnya, tampaknya perempuan itu geli sekali.

“Kau siapakah dan apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kiang Liat.

“Hi-hi-hi... Kiang Liat, kau sudah lupa lagikah padaku? Aku siapa? Ha-ha-ha, lucu sekali. Bukankah aku ini bekas kekasihmu yang bernama Ceng Si? Apakah engkau telah begitu pelupa?”

Kiang Liat terkejut dan tak terasa melangkah mundur dua tindak dengan hati kasihan dan ngeri.

“Ceng Si...! Kau... kau gila...? Mau apa kau di sini dan mana... mana Bi Li?”

Tiba-tiba Ceng Si menangis tersedu-sedu.

“Song-hujin sudah mati... kau yang membunuhnya... kau yang mencabut nyawanya... !”

Muka Kiang Liat makin pucat dan otomatis ia menoleh ke arah rumah gedungnya yang kosong dan kotor, lagi sunyi sekali, sama dengan perasaan hatinya yang terasa kosong dan sunyi.

“Ceng Si, kau mengacau, bagaimana aku bisa membunuhnya? Aku baru saja datang...”

Ceng Si memekik keras. Matanya memancarkan sinar kemarahan ketika dia melangkah maju dan seperti hendak memukul kepala Kiang Liat dengan sapunya.

“Kau lelaki jahanam! Kau manusia kejam! Kau telah membunuh suamiku dan sekarang... ha-ha-ha! Isterimu mati, anakmu lenyap, semua karena kejahatanmu sendiri! Kiang Liat, aku puas melihatmu sekarang, semua setan dan iblis sudah membalas kejahatanmu. Kau marah-marah meninggalkan isterimu, isteri yang berhati putih bersih dan suci! Kau kira dia bermain gila dengan Cia Sun? Ha-ha-ha, goblok sekali engkau! Bi Li dahulu seorang gadis suci bersih, mana bisa dia bermain gila dengan seorang laki-laki? Cia Sun sengaja memancingnya, untuk mendapatkan hartanya, dan aku menjadi pembantunya yang setia! Ha-ha-ha, Bi Li yang bodoh itu mudah saja kami tipu, mudah saja kami takut-takuti kalau tidak mau memberi harta benda akan kami adukan kepada suaminya yang tolol. Ha-ha, dan suaminya menjadi cemburu, membunuh Cia Sun lalu meninggalkannya.”

Ceng Si tadinya marah-marah, kemudian tertawa-tawa mengejek, dan akhirnya tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu.

“Kasihan Bi Li... kasihan Song-siocia nonaku yang manis budi... kasihan sekali karena ditinggal suami dan disakiti hatinya, dituduh yang bukan-bukan... kasihan sekali, hatinya hancur, hidupnya sengsara... semua karena Kiang Liat, jahanam yang telah membunuh suamiku...”

Makin banyak mendengar kata-kata Ceng Si, makin pucatlah muka Kiang Liat. Akhirnya ia tidak tahan dan sekali kedua tangannya digerakkan ia telah memegang kedua pundak Ceng Si, menekannya keras-keras sehingga perempuan itu menjerit kesakitan.

“Jangan bunuh aku...!” jeritnya sekali-kali dengan muka takut sekali. Rasa takut yang dulu membuatnya melarikan diri sekarang memenuhi hatinya lagi, maka ia menjerit-jerit minta ampun.

“Ceritakan semua tentang hubungan Bi Li dan Cia Sun!” bentak Kiang Liat. “Kalau kau bohong, kepalamu akan kuhancurkan di sini juga!”

“Ampun Kiang-wangwe... ampunkan hamba... sesungguhnya saya tidak salah apa-apa, yang salah adalah bangsat Cia Sun itulah. Dia yang dulu sengaja memancing Siocia dan membujukku. Dia bilang kalau Siocia bisa menikah dengannya, aku kelak akan ia ambil sebagai ji-hujin. Karena itu, aku lalu membujuk-bujuk Siocia yang masih muda dan hijau, kuserahkan surat-surat dan sajak-sajak indah dari Cia Sun dan memaksa Siocia untuk membalas surat-suratnya. Setelah itu, surat-surat dari Siocia itu disimpan dan digunakan sebagai alat pemeras. Siocia menjadi ketakutan sekali kalau-kalau surat-suratnya terlihat oleh Kiang-wangwe, maka segala permintaan kami berdua diturutinya saja. Telah banyak uang dan perhiasan yang dapat kami peras dari Siocia dan...”

Kata-kata Ceng Si berhenti sampai di sana saja, kemudian disambung dengan keluhnya mengaduh-aduh ketika tubuhnya terlempar dan menubruk batang pohon. Saking gemas dan tidak sanggup menahan kemarahan hatinya lagi, Kiang Liat telah melemparkan tubuh perempuan itu. Tadinya malah ia ingin membunuhnya, akan tetapi ia masih ingat bahwa wanita ini telah menjadi orang gila, hukuman yang sudah cukup hebat bagi hidupnya.

Dengan kedua kaki lemas, Kiang Liat berlari memasuki gedungnya. Berlari-lari memasuki kamar isterinya dan di depan ambang pintu ia terpaku dengan sepasang mata terbelalak. Seakan-akan ia melihat isterinya berdiri di tengah kamar.

“Bi Li, isteriku sayang... kau ampunkan dosaku, Bi Li...,” ia berbisik dan melangkah maju lalu menjatuhkan diri berlutut, kedua lengannya menubruk dan hendak memeluk dua kaki isterinya.

Akan tetapi, ia memeluk tempat kosong dan ketika ia mengangkat muka, ternyata di situ tidak ada siapa-siapa dan dia berlutut di tengah kamar yang kosong, kotor, dan penuh sarang laba-laba!

“Bi Li...” hatinya merasa tertusuk-tusuk dan di lain saat Kiang Liat terjungkal pingsan di tengah kamar itu.

Sudah terlalu lama Kiang Liat menahan tekanan batin yang maha dahsyat. Akhir-akhir ini ditambah lagi dengan penyiksaan diri secara sengaja, yakni sering kali ia mengosongkan perut. Bahkan sebelum pulang ke Siang-koan, sudah sepekan Kiang Liat tidak makan.

Sekarang, pukulan terakhir yang hebat, yang dilakukan oleh Ceng Si, merupakan tusukan yang jitu dan melukai jantungnya. Dia sangat mencinta Bi Li isterinya, kemudian karena cemburu dan kecewa, dia meninggalkan isterinya yang disangka dulu pernah melakukan penyelewengan kesusilaan itu dengan hati sakit sekali.

Kini, tidak saja ia mendengar anaknya telah hilang diculik orang, bahkan mendengar pula isterinya itu telah meninggal dunia. Ini semua belum begitu hebat apa bila dibandingkan dengan pengakuan Ceng Si bahwa sebenarnya Bi Li sama sekali tidak berdosa, sama sekali tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik, bahkan dia sudah menjadi korban penipuan dan pemerasan Cia Sun dan Ceng Si!

Dan isterinya meninggal dunia karena sedih dan sengsara, akibat ditinggalkan suaminya! Jadi tepat sekali kata-kata Ceng Si si gila itu bahwa dialah yang membunuh isterinya sendiri.

Kiang Liat menggeletak pingsan di tengah kamar isterinya itu sampai lewat tengah hari. Ketika dia siuman dan dapat bergerak kembali, kamar itu sudah gelap.

Kiang Liat nanar seketika, tubuhnya panas, kepalanya pusing dan kedua kakinya gemetar lemas. Ia merangkak bangun, terhuyung-huyung dan ketika teringat olehnya akan segala sesuatu yang sudah dialaminya pagi tadi, bibirnya mengeluarkan keluhan, hatinya terasa disayat-sayat.

“Bi Li... Bi Li...”

Kedua matanya menjadi basah. Tak lama kemudian, ia merupakan seorang laki-laki yang layu, terhuyung-huyung keluar dari rumah gedung itu dengan langkah lemas.

Tetangganya, Empek Lai yang bekerja sebagai penjual sayur, memandangnya dengan sepasang mata berkasihan ketika Kiang Liat berdiri di depan pintu rumahnya.

“Lai-lopek, tolonglah kau tuturkan kepadaku apa yang kau tahu tentang hilangnya anakku Im Giok...,” kata Kiang Liat dengan suara hampir berbisik.

“Aah... Kiang-wangwe, marilah masuk. Silakan duduk... ah, sayang datangmu terlambat, Wan-gwe... kasihan anak dan isterimu...,” kata empek itu dengan suara bernada kasihan.

Kiang Liat menggeleng kepalanya, kata-kata empek itu makin menyedihkan hatinya.

“Lopek, tak usahlah, terima kasih. Katakan saja siapa yang telah menculik anakku…”

“Tak seorang pun di antara kami yang mengetahui dengan pasti, Wan-gwe. Kami temui Hujin telah menggeletak pingsan di atas tanah di luar rumahnya, kami menolongnya dan sesudah ia siuman dari pingsannya, ia jatuh sakit hebat. Dalam igauannya, kami hanya mendengar ia berkali-kali menyebut-nyebut namamu dan nama Nona Im Giok, kemudian ada juga ia menyebut nama Enci Pek Hoa dan minta kembali anaknya dari orang yang ia sebut Enci Pek Hoa...”

Keterangan ini menambah perih hati Kiang Liat. Apa lagi di bagian isterinya pingsan di luar rumah, kemudian bagian yang menceritakan betapa di dalam sakit menghadapi maut isterinya masih terus menyebut-nyebut namanya, ini sungguh-sungguh membuat hatinya berdarah dan sakit bukan main.

Kiang Liat tak dapat menahan lagi, terus saja ia membalikkan tubuh tanpa minta permisi lagi, lalu pergi dari situ dengan kaki limbung dan tangan kirinya menekan dada kiri yang terasa sakit sekali. Tidak lama kemudian ia terbatuk-batuk dan... darah segar keluar dari mulutnya!

“Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat…” demikian ia berbisik. “Anakku jatuh di tangannya... aku... aku harus hidup dan menolong anakku. Awas kau, siluman... aku akan mengadu nyawa denganmu...”

Dalam keadaan yang amat sengsara, dan kadang-kadang batuk-batuk sambil muntahkan darah, Kiang Liat meninggalkan kota Sian-koan, dalam perjalanan mencari Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, orang yang telah menculik Kiang Im Giok, puterinya…..

********************

“Bibi, aku mau kembali ke rumah ibu...!”

Suara ini terdengar nyaring dan keras. Kalau ada orang yang kebetulan berada di hutan lebat itu, pasti dia akan merasa terheran-heran mendengar suara ini, suara seorang anak perempuan.

Bagaimana seorang anak perempuan dapat berada di dalam hutan yang begitu liar dan luas? Apa lagi kalau orang itu melihat bahwa anak perempuan itu hanya berdua saja dengan seorang gadis yang cantik luar biasa. Dua orang perempuan, seorang gadis dan seorang bocah, berdua saja di dalam hutan yang terkenal banyak binatang buas dan perampok-perampok, ini benar-benar aneh!

Anak perempuan itu adalah Kiang Im Giok, puteri tunggal dari Kiang Liat dan Bi Li yang sudah diculik oleh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Malam tadi ketika sedang tidur nyenyak, diam-diam Im Giok telah didekati oleh Pek Hoa, ditekan jalan darahnya sehingga anak ini terus tidur seperti pingsan, tidak merasa sesuatu lagi.

Pada keesokan harinya, setelah pergi jauh dari kota Sian-koan, Pek Hoa menyadarkan gadis kecil itu. Im Giok merasa terheran-heran ketika mendapatkan dirinya berada dalam pondongan tamu yang cantik itu.

”Bibi, bagaimana kita bisa berada di sini? Kau hendak membawaku ke manakah?”

“Im Giok, anak baik, bukankah kau sudah mau menjadi muridku? Sebagai murid yang baik, kau harus ikut ke mana pun juga gurumu pergi.”

Akan tetapi Im Giok sudah teringat akan ibunya. Ia memberontak minta turun dan setelah ia diturunkan dari pondongan Pek Hoa, ia berkata keras,

“Bibi, aku mau kembali ke rumah ibu!”

Kata-kata ini dia ulangi terus dan sepasang matanya yang tajam itu menatap wajah Pek Hoa, seolah-olah hendak menjenguk isi hati wanita itu, untuk menetapkan apakah wanita itu baik atau jahat.

“Im Giok, bukankah kau sudah menyatakan suka untuk menjadi muridku? Ayahmu adalah seorang gagah, dan sebagai anaknya kau juga harus berwatak gagah, tak boleh menarik kembali janjimu.”

“Aku memang suka sekali menjadi muridmu, akan tetapi di rumah ibu. Aku tidak tega meninggalkan ibu seorang diri. Ibu sering kali sakit...”

Pek Hoa tersenyum. Diam-diam dia kagum sekali melihat anak itu. Cantik serta gagah, berdiri tegak menentangnya bagaikan seekor harimau kecil! Benar-benar seorang murid yang banyak harapan, pikirnya.

“Im Giok, jangan khawatir. Ibumu sudah kusembuhkan.”

“Bagaimana kau bisa menyembuhkannya, Bibi?” Im Giok memandang tidak percaya.

Pek Hoa tertawa memperlihatkan barisan gigi yang putih bagai mutiara di balik sepasang bibirnya yang merah sehat.

“Kau anak bodoh! Masih tidak percaya kepada kepandaian gurumu sendiri? Orang-orang menyebutku Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, tidak tahukah kau artinya?”

Biar pun baru berusia enam tahun, Im Giok sudah pandai membaca kitab dan ia mengerti akan arti huruf-huruf dan sebutan-sebutan.

“Artinya bahwa kau seorang Bidadari Cantik. Memang, kau cantik sekali, Bibi, lebih cantik dari ibu. Akan tetapi, apakah buktinya kau seorang bidadari yang pandai mengobati ibu? Kata orang, bidadari pandai terbang, apa kau bisa terbang?”

Kembali Pek Hoa tertawa dan memuji sifat teliti dari anak itu.

“Bagus, kau masih belum percaya apa bila belum melihat bukti. Sifat ini sangat baik dan harus kau pelihara selama hidupmu. Apa lagi ketika menghadapi kaum pria, kau jangan gampang percaya. Kau masih sangsi apakah aku bisa terbang? Tentu saja bisa. Kalau kau sudah melihat buktinya, apakah kau tidak akan rewel lagi dan mau ikut dengan aku tanpa banyak tanya?”

Im Giok memang masih kecil, baru enam tahun usianya. Akan tetapi dia seorang anak yang cerdik sekali. Ia semenjak kecil telah ditinggalkan oleh ayahnya yang berkepandaian tinggi, maka dalam hal ilmu silat tinggi, boleh dibilang ia masih buta. Maka tentu saja ia menganggap mustahil bagi seorang manusia untuk dapat terbang seperti bidadari atau burung.

Oleh karena ini, tanpa banyak sangsi lagi ia mengangguk. Ia rela meninggalkan ibunya untuk menjadi murid seorang bidadari yang pandai terbang, bukankah itu enak sekali? Ia bisa mengajak ibunya bertamasya ke... bulan!

“Kau lihatlah, bukankah di puncak pohon itu terdapat seekor burung kecil yang bulunya indah sekali?” tanya Pek Hoa sambil menunjuk ke atas.

Im Giok memandang dan sebentar saja sepasang matanya yang berpandangan tajam itu dapat melihat seekor burung dada kuning sedang berloncat-loncatan dari satu ranting ke ranting lain di puncak pohon yang tinggi.

“Aku melihat, burung dada kuning, bukan?”

“Bagaimana orang dapat menangkapnya?”

“Mana bisa ditangkap? Burung itu pandai terbang. Kalau kita memanjat pohonnya, tentu ia sudah lari terbang ketakutan,” jawab Im Giok.

“Nah, kau lihat baik-baik. Aku akan terbang ke atas pohon dan menangkapnya!”

Sebelum Im Giok mengeluarkan ucapan tidak percaya, Pek Hoa menggerakkan kedua lengannya dan tubuhnya melayang naik dengan gerakan cepat sekali sehingga Im Giok memandang ke atas dengan melongo.

Gadis cilik ini melihat betapa Pek Hoa betul-betul bagai seekor burung besar menyambar ke atas. Baju dan celananya yang terbuat dari sutera itu berkibar-kibar tertiup angin dan membuat ia kelihatan seperti seorang bidadari cantik jelita tengah terbang bermain-main dengan bunga dan burung.

Tentu saja sepasang mata Im Giok yang belum terlatih itu tidak dapat melihat bahwa Pek Hoa tentu saja sama sekali bukan ‘terbang’, melainkan melompat ke atas, menyambar dahan untuk menarik tubuh makin ke atas. Demikianlah, dari cabang ke cabang, Pek Hoa dapat membuat tubuhnya kelihatan bagaikan terbang. Ginkang-nya memang sudah tinggi sekali sehingga jangan kata Im Giok seorang bocah, biar pun orang dewasa kalau belum tajam pandangan matanya, tentu akan mengira dia benar-benar pandai terbang seperti bidadari.

Tidak lama kemudian, Pek Hoa melayang turun dan pada tangannya sudah tergenggam seekor burung kecil dada kuning yang tadi kelihatan oleh Im Giok. Im Giok tidak tahu bahwa Pek Hoa tadi telah menggunakan tenaga lweekang untuk menghantam burung itu.

Saat ia melompat ke atas, burung itu hendak terbang. Akan tetapi dengan menggerakkan tangan kanannya ke arah burung, Pek Hoa sudah berhasil membuat burung itu jatuh ke bawah yang segera ia sambar dengan tangan kiri.

Dalam anggapan Im Giok, Pek Hoa tadi tentu telah terbang, maka kini ia percaya bahwa Pek Hoa tentu seorang bidadari yang pandai. Maka ia cepat menjatuhkan diri dan berlutut sambil berkata,

“Pouwsat, teecu sekarang suka menjadi murid dan akan ikut pergi ke mana pun juga, asal teecu diajar terbang!”

Pek Hoa tertawa girang. “Bodoh, aku bukan bidadari, jangan memanggil pouwsat. Mulai sekarang kau menjadi muridku, kau harus mentaati semua perintahku, akan tetapi kau tidak boleh menyebut pouwsat, harus menyebut Enci Pek Hoa saja. Mengerti?”

Im Giok merasa heran. Akan tetapi dia juga lebih suka menyebut enci dari pada harus menyebut pouwsat.

“Baikiah, Enci Pek Hoa. Lekas kau beri pelajaran terbang padaku, Enci...”

Pada saat itu, terdengar suara orang-orang tertawa dan tak lama kemudian muncul tiga orang laki-laki dari semak-semak belukar. Mereka ini adalah tiga orang perampok yang berwatak kasar dan kejam. Usia mereka sedikitnya ada empat puluh tahun, dan ketiga-tiganya menakutkan sekali dengan cambang-cambang bauk dan tubuh kekar berotot.

“Siapakah mereka, Enci...?” Im Giok bertanya, agak kaget akan tetapi tidak takut.

“Diam dan lihatlah saja bagaimana aku menghadapi orang-orang macam ini,” kata Pek Hoa.

Sementara itu, ketiga orang perampok itu memang datang karena tertarik oleh suara Im Giok dan Pek Hoa. Tadinya mereka mengira bahwa tentu ada rombongan yang lewat dan di dalam rombongan terdapat wanita-wanitanya yang kini agaknya tengah beristirahat di situ dan bercakap-cakap. Oleh karena itu dengan hati-hati mereka lalu menghampiri dan mengintai, sebab biasanya rombongan yang lewat di hutan ini tentu dikawal oleh piauwsu (pengawal) yang pandai ilmu silat.

Setelah mereka mengintai, hampir mereka tidak dapat percaya akan penglihatan sendiri. Bagaimana seorang wanita serta seorang bocah dapat berada di tengah hutan itu tanpa pengawal? Mereka segera melompat keluar dari semak-semak dan menghampiri Pek Hoa dan Im Giok.

Jika tadi tiga orang perampok itu sudah terheran-heran, kini setelah berhadapan dengan Pek Hoa dan Im Giok, mereka menjadi bengong. Tiga pasang mata yang kemerahan itu dibuka lebar-lebar, mengagumi wajah Pek Hoa yang luar biasa cantiknya itu. Kemudian, tiga buah kepala digerakkan saling pandang, lalu meledaklah suara ketawa mereka yang menyeramkan.

“Ha-ha-ha, Ji-te dan Sam-te, alangkah lucunya! Kita tiga orang laki-laki yang tidak takut menghadapi harimau betina, kini harus bersembunyi untuk mengintai, tak tahunya yang diintai hanyalah seorang bidadari cantik dan seorang anak mungil. Ha-ha-ha!”

Dua orang adik angkatnya tertawa-tawa geli pula, ada pun pandangan mata tak pernah dilepaskan dari wajah Pek Hoa, bahkan kini sikap mereka kurang ajar sekali.

“Twako, walau pun tadi kita menyusup-nyusup sambil bersembunyi-sembunyi, akan tetapi sama sekali tidak rugi. Meski aku disuruh menyusup-nyusup lagi sampai tertusuk-tusuk duri, aku bersedia asal bisa mendapatkan seorang bidadari seperti dia ini. Ha-ha-ha!”

“Huah, siauwte. Bunga indah seperti ini, mana mungkin Twako mau memberikan kepada kita? Bagiku, lebih baik aku mengambil bocah ini dan sesudah dipelihara beberapa tahun lagi saja, kiranya tidak akan kalah cantik oleh dara itu.”

Orang pertama, yang agak pendek tubuhnya dan yang paling tua, tertawa bergelak. “Ji-te memang benar sekali. Bunga ini indah dan cantik, selama hidupku sudah banyak aku memetik bunga, akan tetapi belum pernah aku melihat yang seindah ini. Ji-te dan Sam-te terpaksa kuminta supaya kali ini mengalah.” Kemudian ia melangkah maju menghampiri Pek Hoa yang masih berdiri memandang sambil tersenyum manis sekali.

“Aduh, Nona... senyummu itu... ahhh, kau bisa bikin orang menjadi gila dengan senyum seperti itu! Mari ikutlah dengan aku, Nona. Jangan kau takut-takut. Ketahuilah, jelek-jelek aku ini juga raja hutan ini, orang menyebutku Hek-lim-ong (Raja Hutan Hitam). Dua orang ini adalah adik-adikku, atau calon adik-adikmu, juga bukanlah sembarang orang karena kiranya tak ada keduanya orang-orang yang disebut Siang-san-houw (Sepasang Harimau Gunung) seperti mereka ini. Mari, Nona manis, mari kupondong agar kedua kakimu tidak lelah. Kau siapakah? Dari mana hendak ke mana?”

Dengan lagak dibuat-buat dan menjemukan sekali, Hek-lim-ong menghampiri Pek Hoa. Lagaknya demikian menjemukan dan menakutkan sehingga Im Giok menjadi ketakutan juga.

“Enci Pek Hoa, lekas kau usir mereka...,” katanya.

Mendengar ini, orang ke dua dari tiga sekawan ini, yaitu Twa-san-houw (Harimau Gunung Tertua), menyengir dan ikut melangkah maju.

“Aha, kiranya enci adik! Pantas saja yang kecil demikian cantik dan mungil, hampir sama dengan yang besar. Twako, kau tangkap yang besar, biar aku menangkap yang kecil.”

Sementara itu, biar pun bibirnya yang merah dan berbentuk indah tersenyum manis dan matanya bersinar-sinar, namun di dalam hatinya Pek Hoa sudah marah sekali sehingga dia merasa seakan-akan dadanya hendak meledak. Ia maklum bahwa kalau saja kini dia memperkenalkan nama dan julukannya, tiga orang ini kalau tidak lari tunggang-langgang tentu menjatuhkan diri berlutut minta ampun.

Akan tetapi ia tidak menghendaki terjadinya hal ini. Keinginan hatinya pada saat itu tak lain hanya membunuh tiga orang yang sudah menghinanya ini.

“Bagus! Bagus sekali kalian telah menyebutkan nama, karena kalau tidak, aku tentu akan selalu merasa kecewa. Sungguh tidak enak sekali mencabut nyawa orang-orang yang tak diketahui siapa namanya.”

Mendengar kata-kata ini, Ji-san-houw (Harimau Gunung ke Dua) tertawa terkekeh-kekeh.

“Ha-ha-ha-ha, alangkah lucunya! Mencabut nyawa? Heh-heh-heh, memang nyawa terasa tercabut kalau melihat senyumnya, melihat lirikan matanya, nyawaku rela tercabut kalau aku bisa...”

Kata-kata ini disusul oleh jeritan menyayat hati ketika tangan kiri nona ini bergerak dan sinar putih menyambar ke arah dada Ji-san-houw. Ketika Hek-lim-ong dan Twa-san-houw kaget memandang adik mereka, ternyata Ji-san-houw sudah rebah tidak bernyawa lagi, matanya mendelik dan dari mulut serta hidungnya mengalir darah menghitam. Ternyata dia sudah terkena serangan Pek-hoa-ciam (Jarum Bunga Putih) dari Pek Hoa, semacam am-gi (senjata rahasia) jarum putih berkepala bunga yang mengandung racun berbahaya sekali!

Suasana berubah seketika. Kalau tadi Hek-lim-ong dan Twa-san-houw tertawa-tawa geli, sekarang wajah mereka menjadi pucat sekali dan Twa-san-houw dengan amat marahnya mencabut senjata golok besar dari pinggang.

“Ehh, tidak tahunya setangkai bunga hutan liar, bukan sembarang bunga. Hayo lekaslah berlutut minta ampun kalau kau tidak ingin lehermu kupenggal sekarang juga!”

Benar-benar Twa-san-houw tidak dapat melihat keadaan. Hal ini bukan karena ia bodoh atau nekat, melainkan karena kepandaiannya masih tidak begitu tinggi sehingga ia tidak dapat menduga apakah yang telah menjadi sebab kematian Ji-san-houw.

“Cacing busuk, apakah kau tidak ingin menyusul kawanmu? Dengan cara bagaimana kau hendak menyusul dia? Hayo katakan, kau boleh pilih sendiri, ingin cepat atau lambat?” kata Pek Hoa dengan suara mengejek.

Twa-san-houw mengeluarkan gerengan keras dan dia segera menyerbu, membacokkan goloknya ke arah leher Pek Hoa.

“Ji-te, jangan merusak mukanya yang cantik...!” Hek-lim-ong berseru mencegah.

Memang Hek-lim-ong ini mata keranjang sekali. Seorang wanita muda biasa sudah dapat membuatnya tergila-gila, apa lagi sekarang ia menghadapi seorang dara seperti Pek Hoa yang memang memiliki kecantikan seperti bidadari.

Maka, walau pun seorang kawannya sudah terbunuh oleh Pek Hoa, masih saja dia tidak menaruh hati benci kepada dara ini dan masih saja ia ingin memiliki nona yang jelita itu. Karena itu ia cepat mencegah ketika melihat Twa-san-houw menyerang nona itu dengan sungguh-sungguh.

Akan tetapi, dalam sekejap saja kekhawatiran Hek-lim-ong akan keselamatan nona cantik itu lenyap dan berganti menjadi perasaan gelisah akan keselamatannya sendiri. Dengan sepasang matanya ia menyaksikan kejadian yang benar-benar hebat.

Ketika tadi golok di tangan Twa-san-houw menyambar ke arah lehernya, Pek Hoa sama sekali tidak mengelak atau menangkis. Hanya kedua kakinya bergerak cepat luar biasa dan mengirim tendangan kilat ke arah bawah pusar lawannya. Hanya terdengar pekik dari mulut Twa-san-houw dan di lain saat, tubuh rampok itu terjengkang, goloknya berpindah tangan sedangkan nyawanya sudah melayang dan menyusul adiknya sebelum tubuhnya menyentuh tanah!

Kepandaian Hek-lim-ong tentu saja masih lebih tinggi dari pada kepandaian kedua orang kawannya yang sudah tewas. Gerakan yang dilakukan oleh Pek Hoa ketika merampas golok dan mengirim tendangan maut, membuka mata Hek-lim-ong. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang dara perkasa yang memiliki kepandaian silat tinggi.

Dalam sekejap mata nafsu hatinya untuk memiliki diri nona itu lenyap terganti nafsu hati untuk membunuh Pek Hoa dan melindungi keselamatan diri sendiri. Tanpa mengeluarkan suara lagi ia mencabut goloknya dan menyerbu, membacok dengan gerak tipu Tiong-sin Hian-in (Menteri Setia Persembahkan Cap Kebesaran). Bacokannya ini cukup cepat dan dilakukan dengan tenaga yang besar sekali.

Namun, Hek-lim-ong adalah seorang kasar dan bodoh. Ilmu silatnya hanyalah ilmu silat kampungan belaka, ilmu silat yang biasa dipelajari oleh penjahat-penjahat kecil. Dalam tiap perkelahian, Hek-lim-ong lebih mengandalkan tenaga dan keberanian serta gertakan belaka.

Sekarang dia menghadapi Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terpandai dan terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu. Sama saja halnya dengan sebuah semangka besar menghadapi sebilah pisau kecil!

Pek Hoa menggerakkan golok di tangan, yang tadi telah dia rampas dari Twa-san-houw, menangkis serangan lawan dengan pengerahan tenaga lweekang. Goloknya digerakkan dan begitu sepasang golok itu bertemu, Hek-lim-ong tak kuat memegang senjatanya lagi. Seakan-akan lengannya yang memegang golok terkena aliran yang membuat lengannya lumpuh dan kesemutan. Goloknya lantas terlepas dari tangan dan tanpa kenal malu lagi Hek-lim-ong membalikkan tubuh kemudian melarikan diri seperti dikejar setan.

Pek Hoa tertawa nyaring dan merdu. Tangan kanannya bergerak, golok meluncur dan Hek-lim-ong mengeluarkan jerit kematian yang panjang mengerikan, tubuhnya tersungkur ke tanah, akan tetapi dadanya tidak dapat menyentuh tanah karena tertahan oleh ujung golok. Ternyata golok yang dilontarkan oleh Pek Hoa tadi telah menembus punggungnya dan ujung golok sampai keluar dari dadanya!

Semua peristiwa ini disaksikan oleh Im Giok yang berdiri laksana patung, kedua matanya terbelalak lebar, kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar keras. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan orang mati, apa lagi orang terbunuh dengan cara demikian mengerikan. Sekarang ia memandang dengan mata penuh kengerian kepada Pek Hoa.

“Im Giok, kenapakah? Takutkah kau melihat semua ini?”

“Tidak takut, akan tetapi ngeri sekali Enci Pek Hoa. Kenapa kau membunuh mereka?”

“Mereka orang-orang jahat, harus dibunuh. Kelak kalau kau sudah besar dan mempunyai kepandaian seperti aku, kau pun harus membunuh orang-orang seperti ini.”

“Aku tidak akan berani melakukan, Enci Pek Hoa. Terlalu mengerikan.”

“Mengerikan? Apanya yang mengerikan? Coba kau tengok dan pandang muka mereka itu, bukankah lebih buas dari pada binatang hutan? Macam mereka, kalau tidak dibunuh, bagi kita, lebih-lebih bagi wanita muda, amat berbahaya, jauh lebih berbahaya dari pada binatang hutan.”

“Aku tidak berani melihat muka mereka!”

Tiba-tiba Pek Hoa menyambar lengan tangan Im Giok dan ditariknya anak itu ke dekat mayat Ji-san-houw. Mayat ini paling mengerikan karena mukanya menyeringai dan dari mulut hidung keluar darah hitam, tanda terkena senjata rahasia Pek-hoa-ciam.

“Buka matamu, lihat muka penjahat ini baik-baik. Hayo pandang!” kata Pek Hoa kepada Im Giok yang menutup matanya. “Im Giok, apakah pada hari pertama kau sudah lupa akan janjimu? Kau harus taat kepada semua perintahku, mengerti? Hayo buka matamu dan pandang baik-baik muka tiga orang laki-laki jahat ini!”

Im Giok terpaksa membuka matanya. Pek Hoa membawanya dekat sekali dengan mayat Ji-san-houw sehingga tercium olehnya bau yang amat tidak enak.

“Lihat! Pandang terus sampai muka ini kelihatan jahat dan buasnya olehmu. Kau tidak boleh merasa ngeri melihatnya, bahkan harus merubah rasa ngeri menjadi benci! Kau harus membenci laki-laki seperti ini. Harus! Pandang terus sampai kau tidak merasa ngeri lagi.”

Memang, obat paling manjur untuk mengatasi perasaan adalah kenekatan. Orang yang penakut akan menjadi berani kalau nekat.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)