ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-11


“Ingatlah, laki-laki macam ini kalau tidak dibunuh, akhirnya justru akan mencelakakan kita sendiri. Kau tentu masih ingat akan ucapan-ucapan mereka tadi. Mereka ini kurang ajar, tidak menghormati wanita, tidak menghargai wanita. Mereka ini bisanya hanya menghina dan mengganggu wanita belaka, menganggap wanita seperti manusia peliharaan, seperti benda perhiasan, seperti baju atau topi, bahkan seperti sepatu mereka! Kelak kau harus menghukum dan membasmi laki-laki kurang ajar seperti ini. Mengerti?”

Im Giok masih kanak-kanak. Usianya baru enam tahun, akan tetapi dia memang cerdik sekali sehingga dia dapat menangkap maksud dari semua kata-kata Pek Hoa. Jiwa yang masih bersih, hati yang masih kosong itu kini terisi oleh ajaran-ajaran watak yang sangat berbahaya dan aneh dari Pek Hoa Pouwsat, siluman wanita murid Thian-te Sam-kauwcu.

Sedikit demi sedikit Pek Hoa hendak menjadikan anak yang disayangnya ini agar menjadi seperti dirinya! Cantik jelita, berilmu tinggi, ganas dan bebas melakukan apa saja tanpa peduli akan tata hukum atau tata susila. Apa saja dapat dilakukan oleh Pek Hoa asalkan ia menganggapnya benar dan hal ini menyenangkan hatinya!

Makin giranglah hati Pek Hoa setelah beberapa bulan kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat sebagaimana yang ia duga, Im Giok memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu silat. Semua teori dan dasar persilatan yang diajarkan kepadanya dapat dia terima dengan mudah, bahkan ketika ia mulai dilatih bersilat, gerakannya amat indah dan lemah gemulai seperti orang menari! Pek Hoa pun semakin sayang kepada muridnya ini, dan dengan giat ia mulai menurunkan ilmu kepandaiannya yang tinggi kepada Im Giok.

Hati Pek Hoa masih belum puas. Musuh besarnya terlalu banyak dan ia bercita-cita untuk membalas mereka semua. Ia harus membalas atas kematian tiga orang suhu-nya. Musuh besarnya yang harus dibalas adalah Kiang Liat, Han Le, Bu Pun Su, Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, The Kun Beng, dan orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun! Terlalu banyak. Akan tetapi, dapat kubalas seorang demi seorang, pikir Pek Hoa. Yang paling ditakutinya adalah Bu Pun Su seorang. Yang lain-lain sih tidak begitu berat.

Sekarang ia telah dapat membalas kepada orang yang pernah menolak cinta kasihnya, orang yang paling lemah di antara musuh-musuh besarnya, yakni Kiang Liat. Ia memang tidak punya niat untuk membunuh Kiang Liat, hanya ingin melihat Kiang Liat menderita. Oleh karena itu, dia sudah merasa cukup kalau sekarang dapat merampas Im Giok dan menjadikannya murid sehingga kelak Kiang Liat akan mendapat malu.

Karena maklum bahwa semua musuh besarnya, kecuali Kiang Liat, adalah tokoh-tokoh terkemuka yang sangat pandai dan lihai, untuk sementara waktu Pek Hoa tidak berani memperlihatkan diri dan tidak banyak beraksi di dunia kang-ouw. Ia maklum bahwa kalau hendak membalas sakit hati, ia harus memperdalam kepandaiannya lebih dahulu.

Di antara banyak macam kepandaian yang pernah ia pelajari dari Thian-te Sam-kauwcu, ada semacam kepandaian ilmu silat yang tadinya ia anggap rendah sehingga tidak begitu ia pelajari secara mendalam. Ilmu kepandaian ini adalah semacam ilmu silat yang khusus diciptakan oleh Pek-in-ong tokoh ke dua dari barat ini, khusus diciptakan untuk Pek Hoa, murid yang terkasih itu.

Seperti telah diketahui, tiga orang tokoh barat itu selain ahli ilmu silat tinggi, juga ahli ilmu sihir. Melihat muridnya yang cantik jelita, yang selain menjadi murid juga menjadi kekasih, Pek-in-ong lalu menciptakan ilmu silat yang sebenarnya bukan merupakan ilmu pukulan, tetapi merupakan ilmu silat yang diubah sedemikian rupa sehingga dalam setiap gerakan mengelak, menangkis, mau pun memukul menjadi gerakan tari yang dapat menjatuhkan iman seorang laki-laki. Gerakan yang demikian memikat dan lebih tepat apa bila disebut tarian yang melanggar kesopanan, tarian cabul yang dapat membangkitkan nafsu jahat dan dapat menyelewengkan hati pria yang tadinya bersih!

Dulu Pek Hoa tak begitu memperhatikan ilmu silat baru yang namanya juga mengerikan, yakni ilmu silat Bi-jin Khai-i (Wanita Cantik Membuka Pakaian)! Dianggapnya bahwa ilmu silat ini sengaja diciptakan oleh Pek-in-ong hanya untuk memuaskan nafsu hati guru ke dua ini saja, atau untuk melihat dia menari-nari menghibur hatinya.

Akan tetapi sekarang, setelah menghadapi musuh-musuh lihai dan memutar daya upaya untuk membalas dendam, ia teringat akan ucapan Hek-te-ong, tokoh pertama dari barat atau suhu-nya yang pertama ketika gurunya ini menyaksikan ia bermain Bi-jin Khai-i.

“Pek Hoa, sayang ilmu silat ciptaan Pek-in-sute ini tidak ada isinya. Ataukah kau yang tidak pernah berlatih sungguh-sungguh. Jika kau sudah dapat menangkap isinya dan kau mainkan dengan pengerahan tenaga rahasia, kiranya kelak akan dapat kau pergunakan merobohkan lawan yang ilmu silatnya jauh melebihi tingkatmu.”

Teringat akan ini, Pek Hoa lalu melatih diri dengan ilmu silat Bi-jin Khai-i. Kini terbukalah ingatan dan matanya akan kelihaian serta keajaiban ilmu silat ini, maka diam-diam ia pun merasa bersukur sekali.

Selama empat tahun dia membawa Im Giok bersembunyi di sebuah puncak yang sunyi dari Pegunungan Cin-lin-san. Setiap hari, tiada bosannya Pek Hoa melatih diri sekaligus melatih muridnya pula.

Im Giok makin lama makin nampak kecantikannya. Akan tetapi setelah bertahun-tahun ia hidup bersama Pek Hoa, banyak sifat-sifat Pek Hoa yang menurun pula kepadanya. Yang terutama sekali adalah kesukaannya untuk berhias. Artinya, Im Giok kini menjadi seorang pesolek pula!

Anak ini semenjak kecil sudah dilatih cara menghias diri dan menjaga wajah serta tubuh agar selalu kelihatan bersih menarik. Bahkan pada suatu hari Im Giok melihat Pek Hoa mengeluarkan sebutir telur yang kemudian dipecahkan dan dicampur dengan semacam obat, lalu diminumnya!

“Ehh, Enci Pek Hoa. Biasanya kita makan telur setelah dimasak terlebih dahulu, mengapa kau minum telur mentah?”

“Kau tahu apa, Im Giok? Telur yang tadi kuminum dapat membuat aku selama hidup tidak akan menjadi tua!”

Im Giok yang baru berusia sepuluh tahun itu menggerak-gerakkan alisnya seperti cara Pek Hoa menggerakkan alisnya, gerakan yang amat genit meski pun harus diakui amat menarik hati pula. Memang, ada banyak gerak-gerik genit dari Pek Hoa, seperti caranya menggerakkan bibir pada waktu bicara dan cara senyumnya yang semuanya amat manis dan menarik, telah menurun kepada Im Giok!

“Enci Pek Hoa, aku selalu percaya kepadamu, akan tetapi sekali ini agaknya aku sukar untuk percaya. Bagaimana telur dapat membikin orang menjadi muda selamanya?”

Pek Hoa tersenyum dan kembali Im Giok melihat betapa manisnya senyum ini. Kembali diam-diam dia harus mengakui bahwa gurunya ini adalah seorang wanita yang cantik dan muda.

“Im Giok, yang biasa kita makan itu bukan telur seperti ini. Telur ini bukan sembarang telur, dan amat sukar didapatkan. Ini adalah telur burung rajawali putih yang hanya dapat ditemukan di daerah yang sangat sukar di utara. Yang kuminum tadi telur terakhir, maka kau akan kuajak ke sana untuk mencari telur ini.”

“Akan tetapi apa buktinya bahwa telur itu betul-betul dapat membuat orang selamanya menjadi tetap muda?”

“Kau lihat aku? Coba katakan, Im Giok, apakah aku tidak cantik?”

“Kau cantik sekali, Enci Pek Hoa.”

Pek Hoa tersenyum puas. “Kelak kau lebih cantik dari pada aku, Im Giok. Kau bilang aku cantik dan berapa kau kira usiaku?”

“Kalau kubandingkan dengan wanita-wanita lain yang pernah kita jumpai, paling banyak kau tentu berusia dua puluh tahun.”

Kembali senyum manis membayang bibir Pek Hoa yang merah tanpa gincu itu.

“Dua puluh tahun? Anak baik, usiaku sudah dua kali itu, lebih lagi...”

“Empat puluh tahun?” Im Giok berseru tidak percaya.

Pek Hoa mengangguk. “Inilah bukti khasiat telur pek-tiauw (burung rajawali putih).”

Im Giok menjadi girang sekali. “Marilah kita mencari telur seperti itu, Enci. Aku pun ingin muda selalu dan cantik seperti engkau.”

Demikianlah, sifat-sifat Pek Hoa banyak yang menurun kepada anak itu, dan memang benar seperti yang dikatakan oleh Pek Hoa, anak itu makin lama semakin cantik dan agaknya ia tidak akan kalah oleh Pek Hoa dalam kecantikan.

Im Giok juga amat suka mempercantik diri dengan pakaian indah. Pek Hoa yang sayang kepadanya sering kali datang membawa pakaian-pakaian indah dan mahal, terbuat dari sutera halus. Dan yang selalu dipilih oleh Im Giok adalah pakaian berwarna merah.

“Bagus, kau mempunyai kesukaan yang sama dengan aku pada waktu masih remaja, Im Giok. Aku pun suka akan warna merah. Warna merah membuat hati gembira dan dapat membesarkan nyali. Juga kau amat pantas memakai pakaian merah, cocok betul dengan kulitmu yang putih halus itu.”

Selain mewarisi beberapa sifat dan watak Pek Hoa, juga selama empat tahun ini, Im Giok sudah menerima pelajaran dasar-dasar ilmu silat tinggi. Bakatnya memang sangat luar biasa, apa lagi memang Pek Hoa mengajarnya dengan sungguh hati. Dalam waktu empat tahun saja, Im Giok sudah menjadi seorang anak yang lihai permainan pedangnya, malah kalau ia melihat Pek Hoa berlatih ilmu silat Bi-jin Khai-i, ia menonton dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh.

“Enci Pek Hoa, ilmu silat yang kau mainkan itu seperti tarian yang indah sekali. Aku ingin mempelajari ilmu silat itu Enci.”

Pek Hoa tiba-tiba menghentikan permainan silatnya, kemudian memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri.

“Hushh, kau anak kecil bagaimana bisa mempelajari ilmu silat ini? Ilmu silat ini hanya boleh dimainkan oleh seorang dara yang sudah dewasa.”

Im Giok merasa aneh dan kecewa. Setiap kali gurunya bersilat, ia memperhatikan secara diam-diam sehingga tanpa setahu Pek Hoa ia dapat memetik beberapa jurus dari ilmu silat ini, di bagian yang indah gerakannya. Im Giok tentu saja memandang ilmu silat ini dari segi keindahan dan dia ingin memetiknya untuk memperindah gaya dan gerakan ilmu silat yang dilatihnya. Memang nona cilik ini sangat suka akan tari-tarian dan akan segala yang indah-indah.

Pada suatu hari, Pek Hoa mengajak muridnya turun dari puncak tempat persembunyian itu. Kali ini, tidak seperti biasanya kalau mengajak muridnya turun gunung bertamasya ke dusun-dusun, Pek Hoa membawa buntalan pakaian dan menyuruh muridnya membawa semua pakaiannya pula.

“Enci Pek Hoa, kita akan pergi ke mana?” tanya Im Giok yang seperti semua anak-anak, amat girang diajak bepergian.

“Kita turun gunung dan pergi jauh, tidak kembali ke sini lagi.”

Hampir saja Im Giok bersorak kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan-tahan saja, menindas hatinya yang rindu kepada ibu dan rumahnya. Akan tetapi, sesudah mendapat latihan dari Pek Hoa, bocah ini pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Karena itu, betapa pun girang hatinya, pada wajahnya yang manis sekali itu sama sekali tak terlihat perubahan.

“Apakah Enci akan membawaku ke Sian-koan? Ataukah kita hendak mencari Ayah?”

Dua macam pertanyaan ini sudah meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan pertama ia menyatakan keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena ibunya tinggal di Sian-koan. Ada pun tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari Pek Hoa bahwa ayahnya telah pergi meninggalkan ibunya.

Ayahnya yang bernama Kiang Liat dan berjuluk Jeng-jiu-sian adalah seorang gagah di dunia kang-ouw yang suka merantau. Dia mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya sengaja pergi meninggalkan ibunya setelah ayahnya membunuh bekas kekasih ibunya!

“Sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dahulu sudah mempunyai seorang kekasih. Kekasihnya itu seorang sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih gagah dan lebih menyenangkan. Setelah bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan kekasih lama. Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu teringat akan kekasihnya dan hal ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan kekasih ibumu itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu.” Demikian Pek Hoa mengarang.

Hati Im Giok tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan sebaliknya mencela sikap ibunya, sungguh pun tak mungkin ia dapat membenci ibunya.

“Akan tetapi sekarang kabarnya ayahmu telah menjadi gila.”

Kata-kata ini membuat hati Im Giok merasa amat terharu sehingga pernah ia mengajukan permohonan kepada gurunya untuk pergi mencari ayahnya. Akan tetapi Pek Hoa selalu menjawab bahwa belum tiba waktunya bagi mereka untuk meninggalkan puncak gunung. Sekarang, begitu gurunya mengajak turun gunung, otomatis Im Giok mengajak gurunya mencari ibu atau ayahnya.

“Tidak, Im Giok. Kita tidak pergi ke Sian-koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku sedang mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-lun-san, kemudian ke kuil Siauw-lim-si untuk membalas sakit hati. Kau harus ikut!”

Tentu saja Im Giok tidak berani membantah.

“Ingatlah, Im Giok. Aku telah dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang kang-ouw yang selain sudah membunuh ketiga orang guruku, juga telah mendatangkan malu besar kepadaku. Kau ingatlah baik-baik nama musuh-musuh besarku itu. Akan tetapi, karena mereka itu lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang akan mencari dan membalasnya. Hanya terhadap satu orang, aku mengharapkan kau sebagai muridku kelak akan dapat membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu Pun Su.”

“Bu Pun Su...?” baru kali ini Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya sederhana sekali itu.

“Im Giok, jangan kau pandang rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun Su (Tiada Kepandaian), akan tetapi justru dialah orang yang paling lihai di antara semua musuhku. Aku sendiri tidak berdaya terhadap dia, dan kau orangnya yang kuharapkan kelak akan dapat membalasnya.”

Demikianlah, sambil menuturkan pengalamannya dahulu, Pek Hoa melakukan perjalanan bersama muridnya yang kini sudah cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, menuruni puncak bukit di mana mereka bersembunyi sambil berlatih silat selama empat tahun lebih.

Sesudah merasa yakin akan kelihaian ilmu silat baru yang dilatihnya, Pek Hoa berbesar hati dan berani muncul lagi. Yang ia takuti hanya dua orang, yakni pertama Bun Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su. Dia gentar menghadapi Bun Sui Ceng karena musuh besar ini adalah seorang wanita sedangkan ilmu silat Bi-jin Khai-i yang baru dia latih sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap lawan wanita.

Ada pun rasa gentarnya terhadap Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian pendekar sakti ini sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang ketiga orang suhu-nya sendiri! Karena itu, ia masih merasa ragu-ragu apakah ilmu silatnya yang baru itu akan dapat mengalahkan Bu Pun Su…..

********************

Tidak ada orang yang berjumpa dengan mereka, terutama sekali kaum pria, yang tidak memandang dengan penuh kekaguman pada pemandangan yang tak setiap saat mudah dilihat.

Seorang dara berbaju biru putih, cantik jelita dan nampaknya takkan lebih dari dua puluh tahun usianya. Rambutnya hitam panjang, digelung bagai model gelung dewi kahyangan, di sebelah kiri dihias setangkai bunga putih yang harum, yakni bunga Cilan, pada sebelah kanan terhias burung hong dari emas dan permata.

Sepasang anting-anting panjang bermata merah tergantung di bawah telinga, bergoyang dan bergerak membelai pipi menambah kemanisan. Pakaian dan sepatunya baru serta terbuat dari bahan mahal. Gagang sepasang pedang yang menempel pada punggung, dengan ronce-ronce pedang warna merah berkibar di atas pundak, membuat Si Cantik itu nampak gagah sekali. Sepasang pedang ini pula yang membuat tiap orang laki-laki hanya dapat memandang kagum, tidak berani bersikap kurang ajar.

Yang ke dua masih belum dewasa, baru berusia sepuluh atau sebelas tahun, akan tetapi sudah kelihatan luar biasa cantiknya. Dilihat sepintas lalu, wajahnya hampir sama dengan wajah dara yang dewasa itu, patut kiranya menjadi adiknya.

Akan tetapi kalau diperhatikan betul-betul nampak benar perbedaan yang jauh, terutama sekali pada sinar mata dan tekukan bibir. Juga gadis cilik ini sangat menarik hati setiap orang. Tidak saja manis dan jelita, juga amat gagah.

Pakaiannya serba merah, terbuat dari sutera indah pula. Rambutnya dikuncir dan dihias dengan pita merah pula. Juga pada punggung bocah perempuan ini kelihatan gagang sebatang pedang pendek dan langkah kakinya yang tegap serta lincah itu mendatangkan kesan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi seperti kawannya.

Pek Hoa dan Im Giok, dua orang wanita itu, di sepanjang jalan bergembira mengagumi pemandangan di kota-kota, terutama sekali Im Giok. Mereka tidak pedulikan pandangan mata kagum dari para laki-laki yang mereka jumpai di tengah perjalanan. Bagi Im Giok, semua pandang mata itu tidak ada artinya.

Akan tetapi tidak demikian dengan Pek Hoa. Sudah empat tahun lebih dia tidak pernah menghadapi pandang mata kagum dari para pria maka sekarang ia merasa gembira dan bangga bukan main. Nyata bahwa empat lima tahun tak mengurangi kecantikannya, tidak merubah usianya!

Ini semua berkat telur pek-tiauw yang benar-benar memiliki khasiat untuk membuat orang menjadi awet muda. Yang menyebalkan hati Pek Hoa adalah kenyataan bahwa tidak ada laki-laki yang cukup tampan dan gagah di antara mereka yang ia jumpai. Maka ia pun bersikap seperti Im Giok, tidak peduli sama sekali akan pandang mata orang-orang itu, melainkan tersenyum makin manis dan bangga.

Akan tetapi, setelah kembali terjun ke dunia ramai, timbul pula penyakit lama dalam diri Pek Hoa. Hati dan tangannya gatal-gatal kalau tidak melakukan perbuatan seperti yang dulu sering dilakukannya.

Mulailah Im Giok terkejut sekali ketika menyaksikan perbuatan gurunya. Sering kali pada waktu malam Im Giok diajak mendatangi rumah orang kaya di mana Pek Hoa mengambil barang berharga dan emas sekehendak hati sendiri. Bahkan di depan mata Im Giok, saat tuan rumah bangun dari tidur dan melihat pencurian yang dilakukan, Pek Hoa membunuh tuan rumah itu bagaikan orang membunuh semut saja!

“Enci Pek Hoa, mengapa setelah mengambil barangnya, kau masih membunuh orangnya yang tidak mempunyai dosa apa-apa?” Im Giok memprotes.

“Im Giok, kenapa kau ribut-ribut urusan mati hidupnya seorang manusia macam dia? Dia telah memergoki kita, ini artinya dia harus mampus. Orang macam dia, mati atau hidup apa sih artinya? Kita boleh berbuat sesuka kita, itulah hukum kang-ouw, siapa kuat dia yang menang!”

Jawaban ini meragukan hati Im Giok. Biar pun semenjak berusia enam tahun ia telah ikut Pek Hoa dan selalu melihat contoh-contoh buruk, namun Im Giok adalah keturunan orang baik-baik. Ibunya seorang wanita bijaksana, ayahnya pun seorang laki-laki gagah perkasa maka sedikitnya ia pun mempunyai watak yang baik dan gagah.

Menghadapi perbuatan yang keterlaluan dari Pek Hoa, hatinya memberontak. Apa lagi ketika dia melihat beberapa kali Pek Hoa tidak bermalam di kamar hotel dan diam-diam pergi meninggalkannya sampai semalaman suntuk dan keesokan harinya pagi-pagi baru datang dengan senyum-senyum aneh, ia menjadi makin curiga.

Namun ia tidak dapat menentang wanita yang menjadi pendidiknya ini. Betapa pun juga, ia harus mengakui bahwa Pek Hoa telah bersikap amat baik terhadapnya, amat baik dan penuh kasih sayang.

Beberapa pekan kemudian, Pek Hoa mengajak Im Giok masuk ke dalam pekarangan sebuah gedung besar di tengah kota Cin-an. Im Giok merasa heran karena biasanya apa bila Pek Hoa memasuki gedung besar, waktunya tengah malam dan jalan masuknya pun melalui genteng!

“Enci Pek Hoa, rumah siapakah ini?”

“Rumah seorang gagah bernama Kam Kin berjuluk Giam-ong-to (Si Golok Maut). Nanti kau harus sebut Susiok (Paman Guru) kepadanya.”

Kedatangan mereka segera disambut oleh tuan rumah, yaitu seorang laki-laki berusia tiga puluh lebih, tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya cukup gagah. Hanya sayangnya, pandang matanya kejam dan senyum bibirnya membayangkan watak mata keranjang dan curang.

“Aduuh, pantas saja aku bermimpi kejatuhan bulan!” laki-laki itu berseru sambil tertawa lebar dan kedua lengannya dibentangkan ketika ia menyambut Pek Hoa, seolah-olah siap hendak memeluknya. “Tidak tahunya benar saja dewiku yang jelita datang berkunjung...”

Kata-katanya berhenti ketika Pek Hoa mengerutkan alisnya dan memberi isyarat dengan matanya ke arah Im Giok, mencegah laki-laki itu bicara secara demikian bebas di depan Im Giok. Kam Kin, laki-laki itu, tertawa menyeringai dan ketika ia menengok ke arah Im Giok, sinar kagum terbayang dalam pandang matanya.

“Aha Pek Hoa-suci, muridmu ini benar-benar hebat dan manis sekali! Kalau kau seperti bunga cilan putih yang sudah mekar semerbak harum, muridmu ini adalah tunas cilan yang merah. Ha-ha-ha!”

Sekali pandang saja, Im Giok merasa benci kepada laki-laki yang menyambut mereka ini. Sungguh pun dia dapat menekan perasaannya, namun tetap saja wajahnya kehilangan serinya.

“Im Giok, beri hormat kepada Kam-susiok,” kata Pek Hoa.

Terpaksa Im Giok menjura untuk memberi hormat tanpa memandang wajah orang.

“Teecu Kiang Im Giok memberi hormat kepada Kam-susiok,” dia berkata sederhana lalu berdiri lagi di samping gurunya.

“Ha-ha-ha, bagus sekali. Orangnya manis, namanya indah dan suaranya merdu seperti gurunya.”

Kam Kin bertepuk tangan tiga kali dan dari dalam muncullah tiga orang wanita muda yang cantik-cantik. Mereka ini adalah pelayan-pelayan dari hartawan ini, akan tetapi pakaian mereka sesungguhnya sangat tidak patut bagi para pelayan, lebih pantas kalau mereka ini disebut selir-selir dari Kam Kin.

“Siapkan kamar yang bersih kemudian layani Nona Kiang Im Giok ini baik-baik,” katanya kepada mereka.

Sambil tertawa-tawa tiga orang perempuan muda itu lalu menggandeng tangan Im Giok dan ditariknya nona cilik ini ke dalam gedung. Tadinya Im Giok hendak menolak, akan tetapi Pek Hoa berkata, “Kau pergilah beristirahat, Im Giok. Tak usah sungkan-sungkan, kita berada di rumah sendiri. Besok pagi-pagi kita bertemu kembali di ruangan depan ini. Aku ada perundingan penting dengan susiok-mu.”

Terpaksa Im Giok ikut dengan tiga orang pelayan itu dan di belakangnya ia mendengar suara ketawa-ketawa dari Pek Hoa dan Kam Kin, kemudian lapat-lapat ia mendengar lagi sebutan-sebutan mesra dari mulut Kam Kin kepada gurunya.

Di dalam kamarnya Im Giok hampir menangis. Ia kecewa sekali. Kini makin terbukalah matanya dan walau pun dia belum berani menuduh gurunya sebagai seorang penjahat wanita cabul, akan tetapi kepercayaannya mulai berkurang dan hatinya mulai ragu-ragu. Ia tidak ragu lagi bahwa tuan rumah yang bernama Giam-ong-to Kam Kin ini bukanlah orang baik-baik.

Bagaimanakah gurunya bisa bergaul dengannya? Ia tidak dapat tidur sama sekali. Bocah yang baru berusia sepuluh tahun lebih ini mulai merasa sengsara dan gelisah. Ia amat merindukan ibunya, bahkan ia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana bentuk wajah ayahnya. Ketika ayahnya pergi meninggalkan ibunya, ia baru berusia dua tahun dan tak dapat mengingat lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya.

Ia mulai rindu kepada ibunya, kepada ayahnya, kepada kebebasan! Meski pun Pek Hoa sangat baik terhadapnya, namun ia tidak merasa bebas. Ia harus tunduk dan taat, harus menelan apa saja yang disuguhkan padanya. Semua perbuatan gurunya yang sebetulnya ia anggap sangat tidak patut dan tidak menyenangkan hatinya, mau tidak mau harus ia terima dan ia anggap baik, atau setidaknya, ia tidak boleh menyatakan pendapatnya.

Seperti biasa, di mana saja Pek Hoa membawanya, ia tidak pernah kekurangan makan. Di rumah gedung dari orang she Kam ini pun dia dilayani dengan baik-baik, bahkan dia disuguhi makanan-makanan lezat dan mewah. Akan tetapi, Im Giok tidak dapat merasai kenikmatan makanan itu, bahkan ia menelan semua makanan dengan paksa hanya untuk berlaku pantas karena ia sungkan menolak sambutan orang yang demikian baik.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Im Giok telah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan gurunya. Alangkah girangnya ketika pagi itu Pek Hoa sudah datang ke kamarnya dan berkata dengan wajah berseri,

“Im Giok, marilah kita berangkat! Kau akan melihat betapa aku memberi hajaran kepada seorang di antara musuh-musuh besarku.”

“Yang mana, Enci?” Im Giok bertanya, ikut merasa gembira karena hendak menyaksikan pertempuran.

“Hwesio-hwesio dari Siauw-lim-si, Kok Beng Hosiang dan dua orang hwesio muridnya. Kebetulan sekali dia dan muridnya berada di sebuah kelenteng tak jauh dari kota ini.”

Akan tetapi, kegembiraan Im Giok segera lenyap ketika ia melihat Giam-ong-to Kam Kin sudah menunggu di pekarangan rumah dengan tiga ekor kuda. Jelas bahwa laki-laki ini hendak ikut pergi pula!

Pek Hoa bermata tajam dan ia dapat melihat kerutan alis muridnya, karena itu ia cepat berkata,

“Susiok-mu akan ikut membantuku, Im Giok, kau naiki kuda yang putih itu, kelihatannya ia yang paling baik.” Kata-kata terakhir ini diucapkan oleh Pek Hoa untuk menyenangkan hati muridnya.

“Jangan yang itu. Kuda itu masih setengah liar. Lebih baik Im Giok naik yang ini!” Kam Kin cepat berkata sambil menuntun seekor kuda bulu hitam dan didekatkan kepada Im Giok.

Im Giok tidak biasa menunggang kuda. Akan tetapi sebagai murid seorang pandai yang sudah memiliki kepandaian lumayan, ia tidak merasa takut dan dengan gerakan ringan ia melompat ke atas punggung kuda hitam itu.

Mereka segera berangkat. Kam Ki dan Pek Hoa menjalankan kuda berdampingan, ada pun Im Giok menjalankan kuda di belakang mereka. Dengan perasaan sebal dan muak dia melihat betapa sikap gurunya dan susiok-nya amat mesra. Di sepanjang jalan kedua orang itu bersendau-gurau dengan sikap amat mesra. Makin besarlah perasaan tak suka mendesak dalam hati Im Giok, rasa tidak suka terhadap orang yang selama ini ia anggap sebagai gurunya.

Memang benar apa yang dikatakan oleh Pek Hoa kepada Im Giok. Kok Beng Hosiang, tokoh ke tiga dari Siauw-lim-pai, murid ke dua dari Hok Bin Taisu yang dahulu ikut pula menyerbu Thian-te Sam-kauwcu bersama suheng-nya untuk mengambil kembali kitab yang tercuri, pada waktu itu sedang keluar dari Siauw-lim-si dan saat ini berada di sebuah kelenteng yang tidak jauh letaknya, menyebarkan Agama Budha di belakang kelenteng lain. Dalam perjalanan ini dia dikawani oleh dua orang muridnya. Hal ini diketahui oleh Kam Kin yang segera memberi tahu kepada Pek Hoa dan siap pula membantunya.

Kam Kin yang berjuluk Giam-ong-to adalah seorang bekas perampok tunggal yang kini sudah mengundurkan diri setelah berhasil mengumpulkan banyak harta kekayaan. Ia kini hidup sebagai seorang hartawan muda yang tidak beristeri, akan tetapi bukan rahasia lagi bahwa ia mempunyai banyak selir dan dia pun terkenal sebagai seorang hartawan mata keranjang yang tidak segan-segan mempergunakan harta mau pun kepandaiannya untuk merampas anak bini orang lain. Kalau pun orang tidak merasa takut terhadap pengaruh hartanya, tentu ia akan merasa gentar menghadapi goloknya, karena Kam Kin memang termasuk seorang ahli silat kelas tinggi.

Biar pun Kam Kin bukan murid Thian-te Sam-kauwcu, namun ia memang termasuk adik seperguruan dari Pek Hoa, karena Pek Hoa pernah pula menjadi murid Ceng-jiu Tok-ong (Raja Beracun Berlengan Seribu), seorang tokoh besar rimba persilatan di daerah barat. Sedangkan raja beracun ini adalah guru dari Kam Kin pula. Hanya bedanya, bila Kam Kin hanya menerima kepandaian silat dari Ceng-jiu Tok-ong, adalah Pek Hoa melanjutkan pelajaran dan berguru kepada banyak tokoh lainnya sehingga kepandaian Pek Hoa tentu saja lebih lihai dari pada kepandaian Kam Kin.

Semenjak berusia belasan tahun, Pek Hoa memang sudah bejat moralnya. Ketika masih berguru kepada Ceng-jiu Tok-ong, ia sudah jatuh hati kepada Kam Kin yang lebih muda dan memang tampan. Kedua orang ini bagaikan sampah dengan keranjang, cocok sekali dan sudah lama mempunyai perhubungan yang tidak bersih.

Lewat tengah hari mereka sampai di depan kelenteng yang dimaksudkan. Dengan tenang Pek Hoa melompat turun dari kudanya, diikuti oleh Kam Kin dan Im Giok, kemudian tiga ekor kuda itu diikat pada pohon yang tumbuh di halaman kelenteng.

Sunyi saja di kelenteng itu. Akan tetapi pada meja depan dipasangi lilin, tanda bahwa ada penghuninya di dalam kelenteng.

“Kok Beng Hosiang, keluarlah untuk menerima binasa!” Pek Hoa berseru keras.

Terdengar suara orang dari dalam kelenteng, lantas muncullah dua orang hwesio muda. Mereka merangkap kedua tangan di depan dan sebagai tanda penghormatan, lalu salah seorang di antara mereka bertanya,

“Sam-wi dari mana dan ada keperluan apa mencari Suhu yang sedang bersembahyang?”

“Kalian ini dua orang keledai gundul murid Kok Beng Hosiang? Bagus, berangkatlah dulu ke neraka untuk menyiapkan tempat bagi gurumu!” kata Kam Kin yang sudah mencabut goloknya sambil bergerak maju menyerang secara hebat sekali.

Im Giok terkejut bukan main, juga merasa penasaran dan ngeri, maka ia cepat melompat mundur dan berdiri di tempat jauh sambil menonton. Hatinya berdebar tidak karuan, dan kembali rasa tidak suka menyerang batinnya, kini bahkan demikian hebat sehingga mulai timbul benci di dalam hatinya kepada Pek Hoa dan Kam Kin.

“Ehh, ehhh, kau ini perampok atau orang gila?” hwesio muda itu berteriak marah sambil mengejek.

Kemudian secepat kilat kedua orang hwesio itu menyerang, yang pertama menendang ke arah sambungan lutut, yang kedua menghantam ke arah lambung. Mereka adalah anak murid Siauw-lim-pai yang sudah diperkenankan ikut guru mereka merantau, ini menjadi bukti bahwa kepandaian mereka bukan rendah, karena itu tentu saja mereka tidak mudah dirobohkan oleh serangan golok Kam Kin bahkan dapat pula membalas dengan serangan yang cukup berbahaya.

Sekali pandang saja Pek Hoa cukup maklum bahwa dia tidak perlu membantu sute-nya. Tingkat kepandaian sute-nya masih lebih tinggi dari kedua orang hwesio muda ini. Maka sekali menggerakkan tubuh, ia telah melompat di dekat Im Giok dan menonton jalannya pertempuran.

Im Giok mendongkol bukan main. Dia anggap Pek Hoa dan Kam Kin keterlaluan sekali, datang-datang menyerang dua orang pendeta yang tidak terang apa kesalahannya. Akan tetapi tentu saja untuk membantu dua orang hwesio itu atau mencela Kam Kin ia tidak berani kepada gurunya. Untuk melampiaskan rasa kedongkolannya, dia sengaja berkata kepada gurunya,

“Enci Pek Hoa, tak tahunya julukan Susiok Giam-ong-to kosong belaka. Menghadapi dua orang hwesio bertangan kosong saja ia tidak mampu menjatuhkan!”

Mendengar ini, Pek Hoa menjadi merah mukanya. Kata-kata itu biar pun ditujukan untuk mengejek Kam Kin akan tetapi seperti juga menampar mukanya sendiri karena Kam Kin adalah sute-nya.

Dia memandang lagi ke arah pertempuran dan harus dia akui bahwa kiranya sute-nya itu masih agak lama untuk dapat mengalahkan dua orang lawannya. Maka dengan gemas sekali dia melompat mendekati tempat pertempuran, lalu mengayun tangan kiri sambil berseru,

“Sute, lekas robohkan mereka. Untuk apa main-main dengan dua ekor keledai macam ini?”

Gerakan tangan kiri Pek Hoa tadi bukanlah gerakan sembarangan, melainkan gerakan melepaskan Pek-hoa-ciam yang lihai. Segera kedua orang hwesio muda itu terhuyung-huyung dan dua kali golok besar di tangan Kam Kin berkelebat, muncratlah darah dan robohlah dua orang hwesio itu dengan leher terbacok dan nyawa melayang.

“Omitohud...! Siluman wanita Pek Hoa, kau benar-benar keji sekali dan tidak kenal tobat. Datang-datang kau telah membunuh murid-murid pinceng, benar-benar siluman jahat.”

Kata-kata ini disusul dengan keluarnya seorang hwesio gemuk yang memegang senjata rantai panjang. Dulu dalam pertempuran di lembah Sungai Yalu Cangpo, hwesio ini telah merasakan kelihaian Pek-in-ong, seorang di antara guru-guru Pek Hoa. Maka kali ini ia berlaku hati-hati menghadapi Pek Hoa, maklum bahwa wanita siluman ini lihai sekali, apa lagi senjata rahasianya.

Melihat musuhnya sudah berdiri di depannya, tanpa banyak cakap lagi Pek Hoa segera mencabut siang-kiamnya lantas melakukan serangan secepat kilat. Kok Beng Hosiang, hwesio gemuk itu, cepat pula menggerakkan senjata rantainya menangkis. Terdengarlah suara nyaring dan bunga api berpijar ketika pedang bertemu dengan rantai. Kemudian terjadilah pertandingan ilmu silat tinggi yang seru.

Im Giok tidak senang sekali melihat Kam Kin tadi membunuh dua orang hwesio muda, kini dia lebih gelisah melihat hwesio tua gemuk bertempur melawan gurunya. Kalau saja para pendeta itu bertempur dengan lain orang, bukan dengan gurunya, kiranya Im Giok akan turun tangan membantu pendeta-pendeta itu.

Biar pun baru empat lima tahun ia berlatih silat, namun berkat latihan sungguh-sungguh dan ilmu silat tinggi yang diturunkan oleh Pek Hoa, kepandaian Im Giok sudah lumayan dan nyalinya besar sekali. Kini melihat Kok Beng Hosiang bertempur melawan gurunya. Im Giok dapat menduga bahwa hwesio itu tidak akan menang.

Pertandingan itu cukup hebat. Sebagai tokoh ke tiga dari Siauw-lim-pai, kepandaian Kok Beng Hosiang tinggi sekali. Tenaga lweekang-nya sebenarnya masih mengatasi tenaga Pek Hoa, dan ilmu silatnya amat kokoh kuat serta tangguh dalam pertahanan.

Namun ia harus mengaku kalah gesit dan kalah cepat oleh nona itu. Gerakan Pek Hoa cepat sekali, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda sehingga Kong Beng Hosiang nampak terdesak.

Betapa pun juga, jago Siauw-lim-si ini sanggup mempertahankan diri sampai lima puluh jurus lebih sebelum pundaknya terserempet ujung pedang kanan Pek Hoa. Gerakan yang tadi dilakukan oleh Pek Hoa dalam penyerangan yang berhasil itu memang hebat sekali, mengandalkan ginkang yang sudah tinggi.

Sebuah serangan Kok Beng Hosiang dengan rantainya yang menyambar pinggang, bisa dia elakkan dengan lompatan indah dan cepat bagaikan burung tebang, kemudian selagi tubuhnya masih berada di udara, nona ini membalikkan tubuh dan sepasang pedangnya menyerang bertubi-tubi dari atas.

Kok Beng Hosiang sudah berusaha menangkis, namun dia kalah cepat sehingga pedang kanan Pek Hoa yang menyambar leher masih saja bisa menyerempet pundaknya. Darah membasahi jubah pendetanya.

Kok Beng Hosiang terhuyung ke belakang.

Sambil tertawa nyaring dan mengejek, Pek Hoa mendesak terus, siap memberi tusukan-tusukan terakhir. Tiba-tiba berkelebat bayangan dan…

“Traang!” pedang Pek Hoa yang sudah menyambar ke arah ulu hati Kok Beng Hosiang bertemu dengan sebatang pedang lain.

“Im Giok...!” Pek Hoa berseru marah sekali pada waktu melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah muridnya sendiri.

Melihat gurunya mendesak dan hendak membunuh hwesio tua gemuk, bocah ini tak bisa menahan perasaannya lagi, mencabut pedang pendek dan menangkis pedang Pek Hoa!

“Enci, untuk apa membunuh seorang pendeta yang suci? Dia sudah kalah terluka, tidak perlu didesak terus, Enci.”

“Bocah, kau lancang sekali!” Kam Kin melompat dan sekali bergerak dia telah merampas pedang Im Giok dan menyambar tubuh bocah itu, dipeluk pinggangnya terus dikempit.

Im Giok yang tidak menduga sebelumnya tidak berdaya dan terpaksa ia hanya membikin tubuhnya kaku dalam kempitan susiok-nya yang tertawa-tawa menyebalkan.

Sementara itu, Pek Hoa terus mendesak Kok Beng Hosiang dengan kedua pedangnya. Kok Beng Hosiang melawan terus, namun dalam beberapa gebrakan saja, kembali ujung pedang Pek Hoa telah melukai lengannya.

“Hwesio keparat, mampuslah kau!” Pek Hoa menggerakkan sepasang pedangnya secara istimewa, menyerang dari kanan kiri dengan gerak tipu Kim-peng Tian-ci (Garuda Emas Mementang Sayap).

Kok Beng Hosiang yang sudah terluka mana dapat menjaga serangan yang datang dari kanan kiri dengan hebat ini? Ia tahu bahwa kali ini ia takkan dapat menghindarkan maut lagi, maka ia hanya menarik napas panjang.

“Pek Hoa Pouwsat, kau benar-benar keterlaluan sekali!” terdengar suara bentakan halus.

Pek Hoa mengeluarkan jerit kecil ketika pedangnya tiba-tiba saja terbentur oleh sesuatu sehingga terpental. Ia cepat melompat ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya tadi adalah sebatang ranting yang dipegang oleh seorang pengemis yang amat dikenalnya, yakni Han Le! Orang sakti itu tersenyum.

Han Le adalah seorang yang berwajah tampan dan menarik. Walau pun kini rambut dan jenggotnya tidak terpelihara, apa lagi pakaiannya seperti seorang jembel, namun setelah berhadapan muda dan memandang penuh perhatian, ternyatalah oleh Pek Hoa Pouwsat bahwa kulit muka itu bersih dan terawat baik-baik, merupakan wajah seorang jantan yang menggerakkan hati wanitanya!

Han Le dan Bu Pun Su merupakan dua orang yang paling berbahaya di antara semua musuhnya. Kini melihat Han Le sedang berdiri di hadapannya dengan ranting di tangan, bibir tersenyum dan wajah tenang, dua macam pikiran terlintas masuk kepala Pek Hoa Pouwsat.

Pertama bahwa Han Le seorang laki-laki yang sudah masak dan menarik hatinya. Kedua bahwa akan menguntungkan sekali baginya kalau ia dapat memikat hati musuh besar ini, selain ia dapat memuaskan hatinya, juga ia mendapat jalan untuk membalas dendam!

Dengan senyum yang manis sekali, Pek Hoa Pouwsat menghadapi Han Le, memainkan matanya yang sinarnya dapat membetot hati setiap pria, baru ia berkata,

“Ehh, kiranya Han Le Taihiap yang muncul. Kebetulan sekali, siauwmoi sudah lama sekali ingin mengunjungimu dan melihat-lihat keadaan Pulau Pek-le-to!”

Kulit muka di balik cambang itu memerah dan Han Le menekan perasaan hatinya yang berdebar aneh ketika ia melihat sikap Pek Hoa Pouwsat dan mendengar wanita cantik itu menyebut diri sendiri ‘siauwmoi’ (adinda)! Semenjak pertama kali bertemu dengan Pek Hoa Pouwsat, memang diam-diam di dalam hatinya Han Le kagum sekali dan merasa menyesal serta sayang mengapa seorang wanita demikian manis jelita telah tersesat dan menyeleweng jalan hidupnya.

Han Le adalah seorang yang tidak mudah tertarik oleh kecantikan wanita, bahkan sejak muda ia terkenal sebagai seorang pria pembenci wanita. Akan tetapi, kali ini menghadapi Pek Hoa Pouwsat yang segalanya serba cocok dengan seleranya, dan sangat menarik hatinya, Han Le harus mengerahkan segenap tenaga batinnya untuk menekan perasaan yang tergoncang.

Akan tetapi dengan pandang mata kereng Han Le menegurnya,

“Pek Hoa Pouwsat, mengapa kau melukai dan hendak membunuh hwesio Siauw-lim-si ini?”

Pek Hoa mengerling ke arah Kok Beng Hosiang yang masih sibuk mengobati lukanya, lalu tersenyum dan dengan tubuh digerak-gerakkan secara genit dan kepala dimiringkan, ia berkata kepada Han Le,

“Dia adalah musuh besarku, mengapa tidak harus kubunuh? Akan tetapi karena Han Le Taihiap datang dan melihat muka Taihiap, biarlah kali ini siauwmoi mengampuni kepala gundul ini. Kok Beng Hosiang, kau tidak lekas pergi dari sini? Apa menanti sampai aku bergerak lagi? Hayo pergi lekas!”

Kok Beng Hosiang sudah merasa bahwa ia takkan bisa menang menghadapi Pek Hoa Pouwsat. Biar pun kini ia melihat kedatangan Han Le, akan tetapi ia sudah dibikin malu dan tidak ada muka untuk berdiam terus di tempat itu.

“Kau telah menghina Siauw-lim-si, nantikan pembalasan kami!” katanya geram.

Hwesio ini segera pergi dengan langkah lebar. Akan tetapi dia tidak pergi jauh karena dia mengambil jalan memutar dan dengan sembunyi dia mengintai, ingin menyaksikan bagai mana Han Le memberi hajaran kepada Pek Hoa Pouwsat dan kawan-kawannya.

Kok Beng Hosiang diam-diam merasa sakit hati dan mendongkol sekali, maka ingin dia melihat wanita yang membikin malu padanya itu mendapatkan hajaran keras. Namun apa yang dilihat oleh hwesio Siauw-lim-si ini membuat sepasang matanya terbelalak lebar dan mukanya merah seperti kepiting direbus.

Kepalanya yang gundul licin berdenyut-denyut.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)