ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-16
Tiauw Ki yang sudah lenyap kagetnya, berkata sambil merengut,
“Mengapa melarikan kuda cepat-cepat amat? Membikin kuda orang lain kaget setengah mati?”
Pemuda itu memandang sejenak ke arah Tiauw Ki, senyumnya berubah mengejek dan menghina, sinar matanya memandapg rendah seperti seekor harimau memandang anjing buduk.
Kalau tadinya Im Giok merasa tertarik dan kagum melihat pemuda tampan dan gagah ini, sekaligus rasa kagum dan sukanya lenyap bagaikan awan tertiup angin badai. Melihat senyum mengejek serta pandang mata yang membayangkan kesombongan besar penuh penghinaan kepada Tiauw Ki, sekaligus hati Im Giok mendongkol dan timbul rasa tidak sukanya kepada pemuda tampan ini.
Memang harus diakui bahwa dalam segala hal, pemuda asing ini jauh melebihi Tiauw Ki. Dia lebih tampan, jauh lebih gagah, dan juga pakaiannya lebih indah. Akan tetapi ia tidak mempunyai apa yang dimiliki Tiauw Ki, yakni kepribadian yang menarik, gaya sewajarnya yang penuh kecerdikan, kejujuran, dan kesetiaan.
Pemuda itu tidak lama memandang ke arah Tiauw Ki, sebaliknya cepat ia mengalihkan pandang matanya kepada Im Giok. Senyumnya berubah, tidak menyeringai penuh ejekan seperti tadi, akan tetapi senyum penuh madu memikat, senyum yang membuat parasnya makin tampan, dan sepasang matanya berseri penuh kagum dan terpikat.
“Pek-in-ma (Kuda Awan Putih) yang kutunggangi ternyata bisa mengenal keindahan dan kegagahan! Di dunia ini jarang terdapat paduan yang tepat, indah dan gagah. Nona, kau tidak saja memenuhi syarat paduan ini, bahkan melebihi…, jauh melebihi sehingga tidak berlebih-lebihan kalau kukatakan bahwa aku Lie Kian Tek selama hidupku baru sekali ini melihat paduan yang demikian sempurna!”
Im Giok maklum akan pujian ini, akan tetapi ia berpura-pura tidak mengerti dan berkata,
“Apakah maksud kata-katamu ini?”
Pemuda tampan ini tertawa sambil menoleh kepada kawan-kawannya yang sudah tiba di sana pula. “Cuwi (Tuan-tuan sekalian), berhenti sebentar dan lihatlah, pernahkah kalian melihat seorang yang begini cantik dan gagah?”
Lima orang yang mengawal pemuda ini, yang semuanya orang-orang setengah tua yang berpakaian indah dan bersikap gagah, memandang dan tersenyum.
“Memang cantik sekali akan tetapi kegagahan, hmm... banyak sekali orang yang berlagak gagah akan tetapi tiada guna, seperti gentong kosong dipukul bersuara namun tak berisi,” demikian kata seorang di antara mereka.
Pemuda itu tertawa, nampak giginya yang berbaris rapi dan putih bersih. “Ha-ha-ha, kau betul sekali, Ciang-lopek. Akan tetapi kau tidak tahu betapa nona ini tadi dengan gerakan indah dan luar biasa sudah menyelamatkan nyawa seorang yang benar-benar tidak ada gunanya! Eh, Nona, maksud kata-kataku tadi kalau disalin dengan lain kalimat berarti aku kagum sekali melihatmu sebab kau betul-betul cantik jelita dan gagah perkasa. Bolehkah aku mengetahui namamu, Nona? Dan kau hendak ke manakah?”
Ujung hidung yang kecil mancung itu bergerak, perlahan sekali dan hanya dapat terlihat oleh orang yang memperhatikan. Dan yang memperhatikan ujung hidung Ang I Niocu ini hanya Tiauw Ki seorang.
Pemuda ini cepat mengulur tangan dan menyentuh lengan Im Giok, lalu katanya kepada pemuda tampan itu, “Tuan, harap jangan mengganggu kami lagi dan hendaknya menjaga tata susila antara kaum pria dan wanita, pula memberi kebebasan kepada kami sebagai orang-orang yang bertemu di tengah perjalanan. Nona ini tidak bersalah, kenapa hendak diganggu?”
Pemuda itu menengok dan memandang kepada Tiauw Ki dari atas kudanya.
“Hah! Siapa yang mengajak bicara orang macam engkau?”
Im Giok sementara itu sudah bisa menekan perasaannya, maka ia lalu membalas isyarat Tiauw Ki dengan sentuhan perlahan pada tangannya, kemudian ia menjawab,
“Cuwi sekalian hendak mengetahui namaku? Aku she Kiang, seorang yang tak ternama. Aku hendak pergi ke Tiang-hai...”
“Ke Tiang-hai?” pemuda yang mengaku bernama Lie Kian Tek itu memotong, “Kiang-siocia, kebetulan sekali! Aku, Lie Kian Tek bersama kawan-kawanku ini pun hendak pergi ke Tiang-hai. Kau hendak memberi selamat kepada Suma-huciang untuk ulang tahunnya yang ke enam puluh ini, bukan?”
“Ulang tahunnya yang ke enam puluh?” tanya Im Giok merdu. “Ya, benar, begitulah! Akan tetapi aku pergi bersama dia ini, tidak bersama engkau.”
“Ha-ha-ha, alangkah lucu dan janggalnya! Kiang-siocia, kudamu dan kudaku patut jalan berdampingan, kau dan aku pun kiranya patut menjadi sahabat seperjalanan. Tetapi dia ini? Hmm, biar pun kudanya bagus, akan tetapi ia tidak patut menunggang kudanya itu, buktinya tadi belum apa-apa sudah jatuh dari kudanya. Ha-ha-ha!”
“Tuan Lie, kau akan menjadi tamu dari pamanku, kenapa kau menghina keponakannya?”
“Kau keponakan Suma-huciang?” tanya Lie Kian Tek sambil memandang dengan tajam.
“Aku yang bodoh memang keponakan luar dari Suma-huciang,” Gan Tiauw Ki menjawab dingin.
Pemuda yang mewah itu nampak tercengang dan mukanya segera berubah. Ia bertukar pandang dengan kawan-kawannya, kemudian dia menjura kepada Tiauw Ki dan berkata, “Maaf, maaf, kami tidak tahu bahwa Tuan adalah keponakan dari Suma-huciang. Sampai bertemu di dalam pesta.”
Sesudah berkata demikian, Lie Kian Tek membalapkan kudanya, diikuti oleh lima orang kawannya. Debu mengebul di belakang mereka sehingga Tiauw Ki dan Im Giok harus menutupi mulut dan hidung dengan ujung lengan baju.
“Manusia sombong...!” kata Ang I Niocu Kiang Im Giok.
“Sombong juga sudah sepatutnya karena dia adalah putera dari Gubernur Lie di Shansi,” jawab Tiauw Ki sambil menghapus debu dari mukanya sehingga kulit mukanya menjadi merah.
“Gan-kongcu...”
“Nona, harap kau jangan menyebut kongcu kepadaku, aku hanyalah seorang pemuda miskin biasa saja. Aku malu menerima sebutan ini.”
Im Giok tersenyum manis.
“Habis, aku harus menyebut bagaimana?” tanyanya.
“Walau pun kita baru tiga hari berkenalan, akan tetapi aku merasa seperti sudah seabad mengenalmu,” kata Tiauw Ki.
“Aduh, sudah berapa abadkah usiamu?” Im Giok menggoda.
Tiauw Ki tersenyum. “Sesungguhnya, Nona. Aku merasa seakan-akan sudah lama sekali mengenalmu.”
“Aku pun demikian, Gan-kongcu,” jawab Im Giok jujur. “Agaknya memang watak kita yang cocok.”
“Kita seperti saudara saja,” kata pula Tiauw Ki.
“Memang kau baik sekali.”
“Kalau begitu, mengapa kau tidak menyebut aku twako (kakak besar) saja? Dan aku akan menyebutmu adik, bukankah ini lebih tepat dan lebih enak didengarnya?”
Im Giok memandang. Tiauw Ki memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bibir tertutup, hati terbuka mengalirkan rasa yang hanya dapat ditangkap melalui sinar mata.
“Baiklah, Gan… Twako. Ehh, ya, aku lupa. Kau tadi mengaku di depan orang she Lie tadi sebagai keponakan Suma-huciang, bukankah kau telah membohong?”
“Memang aku tadi berbohong. Nama Suma-huciang amat disegani orang, biarpun dia itu putera seorang gubernur, tetap saja saja dia tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Suma-huciang. Karena itu, ketika melihat dia hendak kurang ajar padamu, aku terpaksa membohong untuk menutup mulutnya dan mengusir dia pergi.”
Im Giok tersenyum “Bagaimana nanti kalau dia bercakap-cakap dengan Suma-huciang dan menyebut-nyebutmu?”
“Tidak apa, selain aku tidak takut, juga tadi aku tak sudi menyebut nama, bagaimana dia bisa bicara tentang orang yang tak bernama?”
“Gan-twako, lain kali kau tak perlu mencoba melindungiku dengan jalan membahayakan dirimu sendiri. Aku tidak takut akan gangguan she Lie itu. Apa bila tadi aku mau, hemm... aku dapat membuat dia jungkir balik dari atas kudanya!” kata Im Giok gagah.
“Nona...”
“Lho, kau sendiri yang merubah sebutan, Twako...”
“O, ya! Maaf, begini, Siauw-moi...”
“Kenapa kau menyebutku Siauw-moi (Adik Cilik)? Aku tidak kecil lagi, Twako...”
“Ehh ya... Kiang-moi, sebenarnya aku pun percaya dan mengerti bahwa kau tidak takut kepadanya. Akan tetapi, orang she Lie itu amat terkenal lihai ilmu silatnya, sedangkan kalau terjadi keributan, hal itu amat tidak baik bagi tugasku.”
Im Giok mengangguk-angguk. “Aku mengerti, Twako, kalau tidak demikian, dan kalau aku tidak ingat akan tugasmu yang amat penting, apakah kau kira aku masih dapat menahan sabar menghadapi ocehan manusia sombong macam Lie Kian Tek itu?”
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Tiang-hai. Tidak lama kemudian mereka memasuki kota itu, sebuah kota yang besar dan ramai. Setelah mereka memasuki kota, nampak makin banyak orang yang agaknya datang dari luar kota, ada yang berkuda, berkereta, banyak pula yang berjalan kaki.
Mata Im Giok yang tajam dapat melihat betapa banyak orang-orang yang kelihatannya berkepandaian tinggi, seperti orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena ia sendiri belum terkenal, maka ia tidak dikenal orang dan hal ini melegakan hatinya.
“Gan-twako, mengapa kau tidak bilang bahwa hari ini Suma-huciang sedang merayakan hari lahirnya yang ke enam puluh tahun?” Im Giok menegur kawannya.
“Aku sendiri pun baru tadi mendengar dari mulut Lie Kian Tek,” jawab Tiauw Ki. “Akan tetapi hal ini lebih baik, aku dapat menghadap Suma-huciang dengan dalih menghaturkan selamat serta menghaturkan barang persembahan tanpa dicurigai orang lain. Agaknya Suma-huciang sengaja mengadakan pesta untuk mengumpulkan orang-orang, dan untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan.”
Im Giok memuji kecerdikan Gan Tiauw Ki. “Kalau begitu, kurasa kau akan menghadapi banyak bahaya, Gan-twako. Kulihat orang-orang yang datang ke kota ini hampir semua adalah orang-orang kang-ouw, dan di antaranya tentu banyak yang jahat. Ada baiknya kalau aku pun menghadiri pesta itu dan untuk memberi hormat dan selamat pula kepada Suma-huciang. Ada pun untuk barang hantaran, biarlah aku memberikan ini.”
Im Giok mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari emas dihias kemala indah. Melihat barang ini, Tiauw Ki berubah air mukanya dan kulit mukanya menjadi merah sekali. Im Giok tertegun.
“Ehh, Gan-twako, kau kenapakah?” tanyanya.
Muka Tiauw Ki makin merah. “Kiang-moi, alangkah tajamnya pandang matamu. Sedikit saja ada apa-apa terasa dalam hatiku, kau sudah tahu!”
Im Giok tertawa. “Kau pun tajam pandang matamu, Twako. Ketika aku marah dan hendak mendamprat orang she Lie, kau menyentuh tanganku dan melarangku marah-marah.”
“Mudah saja, kulihat ujung hidungmu bergerak-gerak, aku sering kali melihat kau berhal seperti itu kalau merasakan sesuatu, maka aku dapat menyangka bahwa kau tentu akan marah terhadap orang she Lie itu.”
“Begitukah? Apakah ujung hidungku suka bergerak-gerak? Alangkah lucu dan anehnya. Tentu seperti hidung kuda!”
“Ahh, tidak Kiang-moi, bahkan lucu dan... dan manis sekali,” kata Tiauw Ki.
“Aah, sudahlah. Kau memang pandai memuji. Kau sendiri pun mudah dilihat. Mukamu merah seperti udang direbus, bagaimana aku tidak tahu bahwa kau memikirkan sesuatu? Lebih baik sekarang kau mengaku, kau sedang berpikir apakah?”
“Tusuk kondemu itu, Kiang-moi. Sayang sekali kalau diberikan kepada Suma-huciang.”
“Ahh, ini benda tidak begitu berharga, Twako.”
“Mungkin harganya tidak begitu tinggi, akan tetapi selama ini sudah menghias rambutmu, jadi... jadi... begitulah, amat berharga dalam pandanganku. Karena itu jangan diberikan sebagai hadiah, kalau hendak memberi hadiah, lebih baik kita beli saja di toko emas di kota ini, aku membawa bekal banyak uang Kiang-moi.”
Tiba-tiba muka Im Giok menjadi merah dan gadis ini merasa amat girang.
“Twako, aku sendiri tidak membawa uang. Tetapi aku tidak mau kalau kau membelikan barang hadiah itu untukku. Aku lebih suka memberikan tusuk konde ini dari pada aku harus menyusahkanmu membeli di toko.”
“Begini saja, Kiang-moi. Kalau kau begitu angkuh dan tidak mau menerima uangku untuk membeli barang tanda mata, bagaimana kalau... kalau... aku tukar saja tusuk kondemu itu? Sebagai gantinya aku membelikan barang hadiah yang jauh lebih mahal harganya untuk diberikan kepada Suma-huciang?”
Kembali dua pasang mata beradu dan keduanya bermerah muka.
“Sesukamulah, bagiku benda ini jatuh di tangan siapa saja pun tidak ada bedanya. Tentu saja… kalau berada di tanganmu lebih baik lagi.”
“Mengapa lebih baik, Kiang-moi?” Tiauw Ki mendesak.
“Mengapa? Ahh... kau mendesak dengan pertanyaan yang bukan-bukan.”
“Mengapa, Kiang-moi? Mengapa lebih baik?” kembali pemuda itu mendesak.
“Sstt, lihat, banyak orang memperhatikan kita. Mari kita pergi ke rumah penginapan dan berganti pakaian, lalu mengunjungi rumah Suma-huciang.”
Keduanya lalu mencari rumah penginapan, menyewa dua buah kamar, lalu berkemas. Tak lama kemudian keduanya keluar lagi dengan pakaian sudah ditukar pakaian bersih. Mereka pun mandi lebih dahulu sehingga sepasang orang muda itu nampak bersih dan tampan, benar-benar merupakan pasangan yang amat sedap dipandang.
Dengan diantar oleh Tiauw Ki, Im Giok mencari barang hadiah di toko emas dan akhirnya setelah memilih-milih lalu membeli sebuah kotak kuno berukir yang indah sekali dari toko perhiasan. Ia hendak memberikan tusuk kondenya kepada Tiauw Ki, akan tetapi pemuda itu menolak dan mengatakan nanti saja.
Kemudian dua orang muda itu pergi ke gedung pembesar Suma-huciang yang berada di tengah kota. Gedung itu besar dan bentuknya kuno, sebab semenjak beberapa keturunan Suma-huciang memang sudah menjabat pangkat dan berjasa kepada Kaisar. Jadi bukan semata karena kedudukannya maka Suma-huciang disegani oleh para pembesar lainnya, akan tetapi terutama sekali karena nama keluarganya yang semenjak dulu menjadi tokoh besar yang disayang oleh Kaisar karena setia dan berani mati membela negara.
Ketika mereka tiba di situ, ternyata sudah banyak sekali tamu memenuhi ruangan depan. Keadaan sungguh ramai dan meriah. Tambur, canang, suling dibunyikan orang, didahului suara biduan pria yang parau dan nyaring.
Di ruangan depan sebelah kiri ramai orang bermain judi, di sebelah kanan serombongan orang-orang tua bertanding minum arak sehingga suasana di kanan kiri ruangan itu amat ramai. Hanya di ruang tengah yang luas sekali itu berkumpul orang-orang muda yang duduk mengobrol sambil menghadapi makanan dan minuman.
Tuan rumah, Suma-huciang yang sudah berusia enam puluh tahun namun nampak masih gagah bermuka merah bagai muka Kwan Kong (tokoh Sam Kok yang terkenal), bertubuh tinggi besar, memakai pakaian kebesaran dengan pedang pemberian Kaisar tergantung pada pinggangnya, duduk di ruangan sebelah dalam di mana berkumpul tamu-tamu yang dipandang sebagai golongan tinggi dan terhormat.
Banyak sekali pelayan hilir mudik mengatur kelancaran pesta itu. Setiap orang tamu yang datang tentu disambut oleh pelayan yang berpakaian indah. Tamu baru ini dibawa masuk dan diantar menghadap Suma-huciang yang duduk di ruangan dalam, kemudian tamu ini menghaturkan selamat sekalian memberi hormat serta memberikan barang hadiah yang dibawanya, kemudian oleh pelayan ia dipersilakan duduk di ruangan yang tepat baginya. Pelayan penyambut ini adalah orang yang berpengalaman luas dan mengenal hampir semua tamu sehingga ia maklum ke mana ia harus membawa tamunya duduk.
Barang-barang sumbangan diletakkan di atas sebuah meja besar panjang yang ditilami sutera merah, diatur berjajar seakan-akan berlomba keindahannya dan kemahalannya. Tamu-tamu wanita yang jumlahnya paling banyak dua puluh lima orang, amat sedikit apa bila dibandingkan dengan jumlah tamu pria, duduk di dekat tempat sumbangan.
Ada pula beberapa orang tamu wanita yang duduk semeja dengan tamu-tamu pria. Tamu wanita seperti ini pasti orang-orang kang-ouw dan para ahli silat, mudah dilihat dari gerak gerik mereka, pakaian, dan pedang mereka. Bagi wanita yang sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, tidak ada lagi pantangan hubungan dalam pergaulan dengan kaum pria, sungguh pun hubungan ini amat terbatas oleh tata susila yang tetap dipegang teguh.
Tiauw Ki dan Im Giok disambut oleh pelayan penyambut yang menjura dengan senyum ramah-tamahnya.
“Selamat datang, Tuan Muda beserta Nona. Harap Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memberi tahukan nama dan alamat agar dapat melaporkan kedatangan Ji-wi kepada Taijin.”
“Terima kasih, Lopek. Tolong beri tahukan kepada Suma-taijin bahwa keponakannya she Gan dari kota raja datang berkunjung bersama seorang sahabat, yaitu Nona Kiang. Kami datang dari jauh sengaja hendak menghaturkan selamat,” jawab Tiauw Ki dengan suara tenang sewajarnya.
Pada saat pelayan itu mendahului mereka menuju ke ruangan dalam, Tiauw Ki berbisik kepada Kiang Im Giok sebagai jawaban atas pandang mata keheranan dari nona ini.
“Agar Suma-taijin mengerti bahwa yang datang tentu seorang yang istimewa dari kota raja.”
Diam-diam Im Giok memuji ketabahan dan kecerdikan pemuda ini mengatur siasat. Tiap meja yang dikelilingi tamu terdiam apa bila mereka lewat dekat, baru kemudian terdengar bisikan-bisikan disertai suara ketawa ketika mereka sudah lewat, tanda bahwa mereka menjadi pusat perhatian.
Baik Tiauw Ki mau pun Im Giok maklum bahwa lagi-lagi yang menjadi pusat perhatian para tamu pria ini, tentu Im Giok yang cantik! Akan tetapi gadis itu tak ambil peduli sama sekali, hanya ketika ia mulai masuk ke ruang dalam, sepasang matanya bergerak penuh perhatian dan terlihatlah olehnya putera gubernur yang bernama Lie Kian Tek bersama kawan-kawannya berada di dalam ruangan ini.
Ruangan ini paling lebar dan luas, dan di tengah-tengah terdapat sebuah panggung yang menempel pada dinding, dihias dengan kain sutera dan langkan-langkan indah. Agaknya akan diadakan pertunjukan di atas panggung, pikir Im Giok yang kemudian memindahkan perhatiannya kepada seorang tua yang berdiri mendengarkan laporan pelayan, kemudian menyambut kedatangan Tiauw Ki dengan wajah berseri dan melambaikan tangan.
“Aha, kiranya Gan-hiantit yang baru datang! Bagaimana keadaan ayahmu di kota raja? Baik-baik sajakah?”
Im Giok sampai menahan berdebarnya jantung ketika mendengar ini. Apakah Tiauw Ki betul-betul keponakan Suma-huciang, ataukah pembesar tua itu yang ikut-ikutan bermain sandiwara secara cerdik sekali?
“Terima kasih, Paman, terima kasih. Ayah baik-baik saja dan dari jauh menghaturkan selamat atas ulang tahun Paman disertai doa semoga Paman panjang usia dan hidup bahagia. Ada pun siauwtit sendiri pun menghaturkan selamat dan membawa sebuah benda tak berharga untuk sekedar sumbangsih dari siauwtit, mohon diterima.”
Pemuda itu mengeluarkan bungkusan dari saku bajunya, bungkusan sutera kuning yang besarnya hanya dua tiga kepalan tangan orang. Suma-huciang tertawa sambil menerima bungkusan itu.
“Aah, kau terlalu sungkan, Gan-hiantit, akan tetapi terima kasih atas kebaikanmu.”
Suma-huciang lalu memberikan bungkusan itu kepada seorang pelayan yang memang sudah berdiri di situ dan bertugas menerima barang-barang hadiah, kemudian pelayan itu menaruh bungkusan itu di tengah-tengah meja bersama dengan lain-lain hadiah.
Im Giok yang berpendengaran tajam sekali tiba-tiba saja merasa aneh. Suara berisik dari orang-orang bercakap-cakap di ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi sejenak, dan ketika ia menyapu ruangan dengan kerling matanya, ia melihat betapa semua orang mengarahkan pandang mata kepada bungkusan itu!
Akan tetapi dia mendengar suara Tiauw Ki memperkenalkannya kepada Suma-huciang, maka cepat dia menjura kepada pembesar itu dan berkata,
“Saya yang bodoh kebetulan sekali bertemu dengan Saudara Gan di tengah perjalanan. Mendengar bahwa Suma-taijin hendak merayakan hari ulang tahun ke enam puluh, saya memberanikan diri ikut dengan Saudara Gan dan ikut pula menghaturkan sedikit tanda mata yang tidak berharga.”
Dia mengeluarkan bungkusannya, yakni kotak kayu yang indah yang dibelinya dari toko perhiasan. Kembali kotak itu diterima oleh Suma-huciang dan segera dioperkan kepada pelayannya lalu disimpan di atas meja.
“Terima kasih, Kiang-siocia. Kau sungguh baik sekali. Silakan kalian orang-orang muda memilih tempat duduk yang enak. Maafkan aku tidak dapat melayani lebih lama karena harus menerima tamu-tamu baru yang datang.”
Tiauw Ki dan Im Giok menjura, lalu mengundurkan diri. Pelayan hendak mempersilakan mereka duduk di ruangan luar, akan tetapi Tiauw Ki berkata,
“Aku ingin duduk di ruangan ini, di dekat pamanku.”
Pelayan itu tak berani membantah karena betapa pun juga pemuda ini adalah keponakan Suma-huciang dan kiranya seorang keponakan sudah patut disejajarkan dengan ‘orang-orang besar’ di situ. Juga Im Giok sudah memilih tempat di sudut yang masih kosong dan kebetulan sekali, kursi yang dia duduki itu berada tepat di depan panggung yang masih kosong. Tiauw Ki duduk di seberang meja.
“Kau lihat kalau-kalau bungkusan tadi diambil orang,” bisiknya perlahan kepada Im Giok.
Nona ini maklum dan mengangguk dengan pandang matanya. Baginya hal ini mudah saja karena memang dia duduk dengan muka menghadap meja besar tempat menaruh barang-barang sumbangan.
Tamu-tamu baru masuk memberi selamat dan barang-barang sumbangan makin banyak sehingga memenuhi meja. Akhirnya habis juga aliran tamu, ada pun semua tempat sudah penuh oleh tamu. Hidangan-hidangan lezat dan arak-arak wangi dikeluarkan.
Kemudian salah seorang pengawal dari Suma-huciang angkat bicara mewakili pembesar itu menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kedatangan para tamu, kemudian mengumumkan bahwa untuk menghibur para tamu, akan dimainkan tari-tarian oleh para penari yang sengaja datang dari kota raja sebagai sumbangan dari Kaisar!
Pengumuman ini mendapat sambutan gempar dari semua hadirin, karena hal ini adalah sesuatu yang istimewa. Tidak sembarang orang pernah menonton pertunjukan luar biasa ini, yaitu para penari cantik jelita dari dalam istana!
Suma-huciang menjadi gembira sekali melihat sambutan para tamu maka pembesar tua ini bangkit berdiri, menjura dan berkata,
“Saudara-saudara sekalian, memang hal ini amat menggembirakan. Aku telah menerima karunia besar sekali dari Hongsiang, karunia yang sangat mengharukan hatiku dan yang selama hidup tidak akan kulupa. Dalam keadaan seperti ini Hongsiang masih mengingat hambanya yang sudah tua seperti aku, benar-benar hal yang amat menggembirakan dan mengharukan. Alangkah mulia hati Hongsiang.”
Suma-huciang menghentikan kata-katanya untuk menahan suaranya yang mulai bergetar saking harunya. Kemudian disambungnya lagi, kini air mukanya berseri.
“Ada kabar yang baik sekali, Saudara sekalian. Sebelum tari-tarian dari kota raja dimulai, Lie-kongcu putera dari Paduka Gubernur di Shansi, berkenan memberi hiburan dengan menyumbangkan tarian silat di hadapan suadara-saudara. Kiranya semua orang sudah mengenal atau mendengar betapa pandainya Lie-kongcu bermain silat. Nah, Lie-kongcu, silakan!”
Suma-huciang membungkuk ke arah Lie Kian Tek yang sudah bangkit berdiri disambut tepuk-sorak oleh para hadirin yang berada di situ. Kini semua tamu wanita memandang ke arah pemuda tampan ini dengan mata bersinar dan bibir tersenyum-senyum.
“Sebetulnya siauwte merasa amat malu menunjukkan kebodohan, akan tetapi demi untuk meramaikan pesta Suma-taijin, apa boleh buat!” katanya tersenyum manis.
Mendadak, sekali dia bergerak, tubuhnya melayang naik ke atas panggung! Jarak antara tempat dia berdiri dengan panggung ada enam puluh tombak, dan dia dapat melompat sedemikian rupa melewati kepala para tamu, betul-betul merupakan demonstrasi ginkang yang tak boleh dipandang ringan!
Tukang pemukul tambur, canang dan suling sudah siap dan kini terdengar suara musik dipukul gencar. Akan tetapi Lie Kian Tek memberi isyarat dengan tangan ke belakang sehingga tiba-tiba suara musik dipukul perlahan sekali.
“Cuwi sekalian, perkenankan siauwte masuk dulu untuk berganti pakaian,” kata pemuda ini dengan lagak dibuat-buat, kemudian dia berlari masuk melalui pintu sutera di dekat rombongan pemain musik.
Para tamu menjadi ribut, berebutan memilih tempat dekat panggung.
“Tamu wanita di depan!” terdengar suara orang.
Terpaksa tamu-tamu pria mengalah dan sebentar saja terciumlah bau harum serta suara berkereseknya pakaian ketika tamu-tamu wanita berlari-lari kecil memilih tempat duduk di depan panggung. Tentu saja otomatis Im Giok terkurung di tengah-tengah.
Sebelum para tamu wanita itu datang Tiauw Ki sudah berbisik, “Adik Im Giok, aku hendak mendekati Suma-huciang.”
Dan pemuda ini segera berdiri lalu pergi dari situ ketika para tamu wanita datang di depan panggung. Tidak hanya Tiauw Ki yang meninggalkan tempat itu, juga banyak tamu-tamu pria yang meninggalkan tempat duduknya lalu diberikan pada para tamu wanita, kecuali beberapa orang laki-laki yang bermuka tebal dan tidak tahu malu, tetap saja duduk di situ bahkan merasa kebetulan sekali! Oleh sebab itu, maka kepergian atau kepindahan Tiauw Ki ini tidak menarik perhatian orang.
Setelah semua orang mengambil tempat duduk, dengan kerling matanya Im Giok melihat bahwa Tiauw Ki benar-benar sudah dapat duduk di dekat Suma-huciang, bahkan juga di dekat panggung, sebelah kiri panggung di mana orang menyediakan tempat khusus bagi tuan rumah.
Sementara menanti munculnya Lie Kian Tek yang jelas sekali pada malam itu menarik hati orang banyak, terutama sekali hati para wanita yang hadir di sana, para penabuh musik membunyikan alat musik masing-masing sehingga keadaan menjadi ramai sekali.
Secara diam-diam Im Giok memperhatikan Tiauw Ki. Ia melihat pemuda itu menggerak-gerakkan tangan sambil bercakap-cakap asyik sekali dengan Suma-huciang yang tampak mengangguk-angguk.
Karena semua orang, atau hampir semua, boleh dibilang sedang mempercakapkan Lie Kian Tek yang menjadi populer itu, tentu orang mengira bahwa Tiauw Ki juga berbicara tentang pemuda itu dengan Suma-huciang. Apa lagi dalam kebisingan suara tambur dan canang, suara mereka sama sekali tidak dapat terdengar oleh orang lain.
Tidak lama kemudian terdengar tepuk tangan ketika Lie Kian Tek muncul dari belakang pintu sutera. Im Giok memandang dan diam-diam gadis ini harus mengakui bahwa Lie Kian Tek kelihatan gagah dan tampan sekali.
Dandanan Lie Kian Tek sebagai seorang pendekar besar pada jaman dulu benar-benar pantas sekali untuk wajahnya yang gagah tampan dan potongan tubuhnya yang tegap berisi. Pendeknya, pemuda she Lie itu potongan pendekar benar, pendekar seperti yang sering kali dijadikan kembang mimpi oleh para gadis remaja.
Irama musik berubah setelah pemuda ini muncul. Sekarang semua orang terdiam dan hanya memandang penuh perhatian ketika Lie Kian Tek memulai pertunjukannya dengan menjura ke arah Suma-huciang, kemudian kepada semua hadirin. Ketika pandangan matanya tertuju ke arah para penonton wanita, ia memberi kedipan mata kepada Im Giok.
Gadis ini membuang muka, akan tetapi dia melihat semua wanita muda yang berada di sana tertawa cekakak-cekikik sambil saling cubit, bersikap genit sekali. Im Giok menjadi sebal. Dia tahu bahwa Lie Kian Tek secara kurang ajar berkedip kepadanya dan para wanita itu masing-masing merasa diajak bermain mata oleh Lie Kian Tek sehingga timbul suasana yang menggelikan dan menjemukan itu.
Musik ditabuh dengan irama lambat dan Lie Kian Tek mulai bersilat. Pada mulanya dia bergerak lambat, ada pun pedangnya masih tergantung di pinggang. Pemuda ini memang pandai sekali dan berbakat sehingga setiap gerakannya merupakan tarian indah. Kadang kala tangannya memegang atau menyambar ujung ikat pinggang berkembang kemudian bergerak amat gagahnya.
Im Giok secara terus terang harus mengakui bahwa dia sangat tertarik dan suka melihat gerak-gerik pemuda itu, juga ilmu silat yang dimainkan itu bukanlah ilmu silat biasa, akan tetapi ilmu silat yang mempunyai dasar tinggi. Namun digerakkan secara lembut-gemulai sedap dipandang.
Dasar Im Giok sendiri seorang ahli seni atau seorang seniwati yang suka akan tari-tarian, kini menonton orang bermain silat seperti menari, karuan saja ia tertarik sekali. Ketika Lie Kian Tek kebetulan menghadap ke arah tempat dia duduk, pemuda itu kembali berkedip dan tersenyum kepadanya.
Im Giok mendongkol sekali, mengerutkan kening dan tanpa terasa tangan kirinya naik ke mulutnya untuk menahan bibirnya yang sudah hendak memaki marah. Akan tetapi dia dapat menekan perasaan mendongkolnya, bahkan dapat memaksa bibirnya tersenyum seakan-akan dia tertarik seperti orang-orang lain dan tidak melihat adanya isyarat-isyarat kurang ajar dari pemuda itu.
Lie Kian Tek bersilat semakin cepat dan tidak lama kemudian di atas panggung bagaikan ada beberapa orang yang bersilat. Gerakannya cepat sekali, dan semua itu tambah indah menarik karena diiringi suara musik yang gencar dan ramai. Tepuk tangan menyambut permainannya yang memang indah.
Lie Kian Tek makin bangga. Tiba-tiba dia berseru keras dan orang melihat berkelebatnya sinar pedang yang menyilaukan mata. Ternyata pemuda itu sudah mencabut pedangnya dan kini bersilat pedang dengan gerakan indah dan cepat. Pedang di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti seluruh tubuhnya.
Akan tetapi Im Giok yang bermata tajam dapat mengikuti setiap gerakannya dan biar pun ia harus memuji bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup baik, akan tetapi tidak begitu lihai kalau dilawan, atau pendeknya ia sanggup untuk menandingi pemuda itu dalam ilmu silat.
Mendadak Lie Kian Tek berseru keras dan mengakhiri ilmu pedangnya dengan gerakan menyambit. Inilah gerakan Sin-liong Hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Ekornya) semacam gerakan yang sukar dilakukan dan biasanya di dalam pertempuran hanya dilakukan oleh orang yang sudah sangat terdesak atau sudah terluka sehingga gerakan terakhir adalah dengan menimpukkan pedangnya. Pedang di tangan Lie Kian Tek meluncur cepat sekali dan tahu-tahu telah menancap di atas tiang yang berada di depan Suma-huciang, kurang lebih satu kaki di atas kepala pembesar itu!
Tadinya semua orang terkejut karena menyangka bahwa pedang itu ditimpukkan ke arah Suma-huciang, akan tetapi segera meledak tepuk tangan memuji ketika Suma-huciang tertawa-tawa sambil bertepuk tangan pula! Tiauw Ki yang duduk di dekat pembesar itu menjadi pucat dan dia kagum bukan main melihat ketenangan Suma-huciang yang masih dapat bertepuk tangan memuji, padahal baru saja dia mengalami kekagetan yang cukup menegangkan hati. Ia sudah biasa dan memiliki kepandaian silat tinggi pula, akan tetapi Tiauw Ki yang belum melihat kepandaiannya bersangsi apakah pembesar yang sudah tua ini mampu menandingi kepandaian Lie Kian Tek yang muda dan lihai.
“Kepandaian hebat, Lie-kongcu.” Suma-huciang berkata sambil tertawa kepada Lie Kian Tek yang masih membungkuk-bungkuk menerima pujian dan tepuk tangan. “Akan tetapi sayang, timpukanmu kurang keras sehingga pedang hanya menancap setengahnya saja pada tiang kayu. Apa bila dipergunakan dalam perang, kiranya tak akan dapat menembus baju perang musuh yang terbuat dari besi!”
Sambil berkata demikian, pembesar ini berdiri dari kursinya, menggunakan dua buah jari tangan kanan, yakni jari tengah dan telunjuk menjepit pedang yang menancap di tiang itu dan sekali betot pedang itu telah tercabut keluar! Lalu sambil tertawa ia memuji,
“Pedang bagus! Pedang bagus!”
Kemudian sambil menjura ia mengembalikan pedang itu kepada Lie Kian Tek, lalu duduk kembali di kursinya.
Tepuk tangan riuh menyambut demonstrasi tenaga lweekang yang hebat ini. Tiauw Ki memandang dengan melongo dan hampir saja pemuda ini menjulurkan lidahnya saking kagum dan heran. Im Giok tertegun. Tenaga lweekang seperti itu tidak mudah dilakukan oleh sembarang orang, pikirnya dan ia gembira bahwa pembesar yang menjadi ‘sahabat’ Tiauw Ki itu ternyata bukanlah orang lemah dan kiranya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Lie Kian Tek.
Lie Kian Tek mengerutkan kening dan wajahnya yang tampan itu mulai berubah muram. Ia lalu menerima pedangnya dari tangan Suma-huciang, kemudian sambil menyeringai ia berkata, menjura kepada pembesar itu,
“Ahhh, nama besar Suma-taijin bukanlah nama kosong belaka, membuat siauwte takluk sekali. Hari ini adalah hari gembira sekaligus hari baik, maka untuk menambah meriah suasana, aku sangat mengharapkan supaya Taijin sudi menunjuk seorang jagoan untuk menunjukkan kepandaiannya di panggung ini. Selain untuk menambah pengalaman kami orang-orang Shansi, juga untuk sekedar perbandingan kegagahan antara kawan-kawan kita.”
Kata-kata ini sebenarnya bukan semata untuk menyatakan ketidak senangan hati putera Gubernur ini sebab tadi telah menerima celaan dari Suma-huciang, tapi pada hakekatnya mengandung segi politis yang mendalam.
Suma-huciang adalah seorang pembesar yang sangat setia kepada Kaisar, dan yang di daerah ini merupakan satu-satunya orang yang disegani oleh para pembesar yang korup dan yang hendak memberontak, karena mereka tahu bahwa Suma-huciang akan menjadi penghalang besar dan akan membela negara dengan nyawa. Dan para pemberontak itu pun tahu bahwa selain diri sendiri lihai. Suma-huciang mendapat dukungan banyak orang pandai di dunia kang-ouw, karena itu sejauh ini para pemberontak belum berani turun tangan mengganggu Suma-huciang.
Ada pun Lie Kiang Tek adalah putera Gubernur Shansi, gubernur di samping gubernur Propinsi Honan, merupakan orang terkemuka dan tokoh besar yang anti Kaisar! Tidak mengherankan kalau di dalam hati mereka terkandung rasa permusuhan besar, sungguh pun pada lahirnya kedua pihak belum berani berterang menyatakan rasa kebencian dan permusuhan.
Kini mendapatkan kesempatan baik, Lie Kian Tek sengaja mengeluarkan kata-kata untuk memancing keluarnya jago pembela Suma-huciang sehingga di samping untuk mengenal siapa pembela pembesar setia raja ini, juga untuk mengukur sampai di mana kelihaian mereka! Dilihat dari sini, ternyata bahwa Lie Kian Tek bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licin.
Suma-huciang bukan seorang pembesar kawakan yang sudah banyak pengalaman kalau kalau ia tidak mengerti akan maksud hati putera Gubernur ini. Sambil senyum ia berkata,
“Terima kasih kepada Lie-kongcu yang sudah begitu memperhatikan untuk memeriahkan pestaku ini.”
Suma-huciang lalu memberi isyarat kepada seorang tamu yang cepat berdiri dan menjura kepadanya. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus, sikapnya tenang dan matanya bersinar tajam.
Dia ini adalah seorang piauwsu (pengawal barang) di kota Tiang-hai yang sangat terkenal dan juga amat setia terhadap Kaisar, karena itu selalu membela Suma-huciang. Sesudah memberi hormat kepada Suma-huciang, dia segera berjalan menghampiri panggung dan dengan gerakan ringan melompat naik, menjura kepada Lie Kian Tek lalu berkata,
“Hamba Chi Liok menerima tugas dari Suma-huciang untuk memenuhi usul Lie-kongcu. Harap saja kebodohan hamba tak akan menjadi tertawaan para Enghiong dari Shansi.”
Lie Kian Tek tersenyum mengejek, “Aha, kiranya Chi-piauwsu yang akan menjadi wakil Tiang-hai. Bagus, sudah lama kami ingin menyaksikan kelihaian Chi-piauwsu. Silakan.”
Sesudah berkata begitu, Lie Kian Tek melepaskan penghias kepala dan melompat turun, memilih tempat duduk tidak jauh dari tempat duduk Im Giok, menoleh atau melirik sambil tersenyum kepada gadis itu, kemudian melepaskan jubah luarnya sehingga sekarang dia kembali memakai pakaiannya yang tadi sebelum ia bermain di atas panggung.
Para wanita melirik-lirik, kerling memikat menyambar-nyambar ke arahnya dan senyum simpul menghujani pemuda itu! Kian Tek melempar senyum dan membagi kerling kepada para wanita yang mengaguminya itu, lalu duduk dengan sikap angkuh, memandang ke arah panggung.
Sementara itu, musik sudah dibunyikan pula dan Chi Liok mulai bersilat tangan kosong. Gerakannya lambat saja dan jauh kalah menarik kalau dibandingkan dengan pertunjukan Lie Kian Tek tadi, maka di sana-sini lantas terdengar suara ejekan. Bahkan di antara para penonton wanita ada yang terkekeh menertawakan. Akan tetapi Im Giok melihat bahwa piauwsu itu adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang ringan.
Setiap gerak tangan mengandung tenaga lweekang yang cukup kuat, sedangkan bhesi kakinya bukan main. Sesudah menyelesaikan babak permainan ilmu silat tangan kosong, Chi-piauwsu segera mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang joan-pian (ruyung lemas) yang berwarna hitam.
Dia lalu bersilat dengan joan-pian ini. Kembali gerakannya lembut dan perlahan, namun joan-pian itu kadang-kadang mengeluarkan suara mengiuk, tanda bahwa gerakan senjata itu cepat dan mengandung tenaga besar.
Setelah selesai bersilat, Chi-piauwsu menjura kepada penonton dan berkata, ”Aku orang she Chi sudah memperlihatkan kebodohan, harap jangan ditertawakan mengingat bahwa aku naik ke panggung ini atas perintah Suma-taijin.” Ia lalu melompat turun dan kembali duduk di tempatnya semula.
Lie Kian Tek memberi isyarat dengan tangannya kepada seorang bermuka kuning yang tadi ikut mengantar ia datang, yakni salah seorang di antara lima orang kawannya. Orang bermuka kuning ini mengangguk sambil menyeringai, kemudian berseru keras,
“Suma-taijin, hamba mohon diberi kesempatan mewakili Shansi!”
Sebelum Suma-huciang menjawab, tubuhnya sudah melayang ke atas panggung dengan gerakan indah. Ternyata orang ini datang-datang mendemonstrasikan ginkang yang lihai.
Suma-huciang tertawa. “Boleh, boleh! Tak usah bertanya lagi, karena memang tiba giliran pihak Shan-si,” jawabnya.
Si Muka Kuning tersenyum lalu menjura kepada penonton, kemudian berkata, suaranya lantang tinggi.
“Siauwte bernama Coa Keng, menerima titah Lie-kongcu mewakili Shansi. Akan tetapi, siauwte bukanlah seorang yang suka pamer. Ada banyak orang yang suka memamerkan sedikit kepandaian yang tak berarti, sebaliknya banyak pula orang yang tak perlu banyak pamer. Kalau orang berkepandaian seperti Lie-kongcu, patutlah jika diperlihatkan kepada orang banyak, karena memang indah dan mengagumkan, sedap dipandang. Akan tetapi ketika melihat Saudara Chi Liok tadi bersilat, betul-betul siauwte diam-diam menggeleng kepala. Siauwte tak mau berlaku seperti Saudara Chi Liok, mempertontonkan keburukan dan kebodohan sendiri.”
“Eh, Coa-kauwsu, kau naik ke panggung mau bersilat atau berpidato?” terdengar Chi Liok menegur. Orang-orang tertawa dan kali ini yang ditertawakan adalah Coa Keng sehingga muka yang kuning itu menjadi hijau.
“Chi-piauwsu, bermain silat seorang diri kurang menggembirakan. Untuk membuktikan bahwa kau tadi hanya menjual keburukan dan kebodohan sendiri, silakan kau naik ke sini dan mengawani aku bermain-main sebentar. Tentu akan lebih menggembirakan suasana, bukan? Ataukah, kau... takut?”
Inilah tantangan hebat. Chi Liok mendongkol sekali, akan tetapi piauwsu ini tidak berani sembarangan bergerak. Sikap Si Muka Kuning itu dia anggap kurang ajar sekali, akan tetapi ia tidak berani bersikap seperti itu di depan Suma-huciang. Maka ia memandang ke arah pembesar ini.
Bukan saja Chi Liok tidak berani bersikap kurang ajar, juga ia tahu siapa adanya Lie Kian Tek dan kawan-kawannya. Ribut dengan mereka hanya berarti memancing kekacauan besar, dan memancing timbulnya pertentangan besar antara mereka yang anti Kaisar dan pihaknya yang pro Kaisar yang memang sudah lama sekali diam-diam saling membenci.
Semenjak tadi sebelum keadaan meruncing, Suma-huciang telah bertukar pikiran dengan Tiauw Ki, bahkan sudah menerima pesanan Kaisar dan para pembesar tinggi di istana. Di antara beberapa nasehat yang dibawa oleh Tiauw Ki, juga pemuda ini menyampaikan kehendak kaum berkuasa di istana bahwa Suma-huciang diberi tugas untuk memancing sampai di mana tingkat pemberontakan Gubernur Shansi dan Honan terhadap Kaisar dan sampai di mana pula kekuatan mereka.
Kini dia menghadapi tantangan, tantangan untuk timbulnya keributan hebat, yang dia tahu sengaja dicetuskan oleh Lie Kian Tek. Agaknya memang pemuda putera gubernur itu datang hanya berdalih memberi selamat, akan tetapi sebetulnya sudah mendapat tugas dari ayahnya.
Inilah kesempatan baik, pikir Suma-huciang. Kesempatan untuk menguji serta melihat ‘isi hati’ musuh-musuhnya tanpa menimbulkan kesan bahwa keributan itu terjadi dikarenakan perasaan pribadi. Maka ia lalu mengangguk kepada Chi Liok.
Setelah melihat isyarat dari Suma-huciang bahwa dia boleh melayani Coa Keng, piauwsu itu menjadi gembira sekali. Tidak seperti tadi ketika mendemonstrasikan kepandaian di atas panggung ia bermain lambat-lambatan, kini sekali melompat dia sudah melayang ke atas panggung menghadapi Coa Keng!
Ia menjura, dibalas oleh Coa Keng. Dua jago berhadapan dan saling mengukur ‘isi’ lawan dengan pandangan mata. Penonton memandang tegang.
“Saudara Coa Keng, betulkah kau mengundang aku naik ke panggung untuk melayanimu bermain silat?” tanya Chi Liok, suaranya masih tenang.
Coa Keng tersenyum mengejek. “Kenapa tidak betul? Untuk meramaikan suasana pesta dan sebagai penghormatan kepada Suma-taijin, sudah sepatutnya bila kita bermain-main sebentar. Asal saja kau tidak takut, karena dalam permainan silat bersama kita berdua pasti maklum bahwa kemungkinan terluka besar sekali, bahwa ada kemungkinan terpukul tewas.”
“Ini sebuah tantangan!” Chi Liok menegur gemas.
“Kau takut?” Coa Keng menggerakkan alis, menghina.
“Orang sombong, kau sajakah yang memiliki keberanian? Baik, kuterima tantanganmu. Di sini banyak sekali yang melihat alangkah kurang ajarnya sikapmu, dan bahkan aku hanya membela diri, membela kepentingan nama taijin, nama daerah dan namaku sendiri. Kau mulailah!”
Coa Keng mengeluarkan suara nyaring dan mendadak dengan suara licik, sambil masih tertawa, ia langsung mengirim pukulan kilat ke arah lambung Chi Liok!
“Bukkk!”
Tubuh Chi Liok terpental dan hampir saja piauwsu ini roboh apa bila ia tidak lekas-lekas berpoksai dan berdiri lagi. Mukanya agak berubah, tapi pukulan tadi tidak mendatangkan luka dalam yang hebat karena ia masih keburu mengerahkan lweekang ke arah bagian yang akan terpukul.
“Kau curang!” bentaknya.
“Bukankah kau menyuruh aku mulai? Baru sekali pukul saja hampir roboh. Ha-ha-ha!”
“Rasakan ini!” Chi Liok menyerang tiba-tiba sebelum lawannya berhenti tertawa.
Pukulannya hampir saja mengenai leher di bagian yang berbahaya kalau saja Coa Keng tidak lekas-lekas miringkan tubuh sehingga yang terpukul hanya pundaknya. Namun ini cukup membuat Coa Keng terhuyung ke samping sebanyak tiga tindak sambil meringis karena pundaknya terasa sakit sekali.
“Kurang ajar kau!” bentaknya.
Dan di lain saat dua orang ini sudah saling gebuk, saling tendang dan bertanding secara kasar sekali.....
Komentar
Posting Komentar