ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-17
Pertempuran itu berjalan seru. Bagi orang-orang yang tidak tahu ilmu silat atau yang ilmu kepandaiannya masih rendah, memang pertandingan itu terlihat ramai dan menegangkan sekali. Akan tetapi bagi orang-orang yang kepandaiannya tinggi, makin lama pertempuran itu nampak makin menjemukan. Akhirnya terdengar suara teriakan sakit dan tubuh Coa Keng terlempar terkena tendangan Chi Liok dan menggelundung keluar dari panggung!
Orang-orang wanita yang tadinya masih menonton dengan muka khawatir mengeluarkan jeritan dan cepat-cepat mereka berbondong pergi meninggalkan panggung untuk duduk di tempat semula, menjauhi panggung. Hanya ada empat orang wanita termasuk Im Giok yang tidak beranjak pergi dan karena ini Im Giok dapat menduga bahwa tiga orang wanita di dekatnya itu tentulah orang-orang yang mengerti ilmu silat.
Dia melirik dan melihat bahwa tiga orang ini adalah seorang wanita tua yang memegang tongkat dan rambutnya diikat kain putih, sedangkan dua orang lainnya adalah gadis-gadis yang berpakaian sederhana akan tetapi cukup manis. Sikap mereka memang tak seperti orang-orang sembarangan dan Im Giok ingin sekali tahu siapa gerangan mereka bertiga ini.
Sementara itu, di atas panggung terjadi hal lain yang menggemparkan. Begitu tubuh Coa Keng terguling meninggalkan tempat itu, lantas berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di hadapan Chi-piauwsu sudah berdiri seorang kakek. Kakek ini satu kali menggerakkan tangan ke depan, Chi Liok langsung memekik dan terlempar keluar panggung!
“Orang-orang macam ini berani betul menjual lagak di atas panggung, benar-benar tidak menghormat kepada Suma-taijin, harap disuruh keluar tokoh Tiang-hai yang betul-betul memiliki kepandaian untuk bermain-main dengan aku. Barangkali Taijin sudah lupa lagi, aku adalah Ceng-jiu Tok-ong dari barat dan kini mewakili Shansi.”
Im Glok terkejut bukan main. Tadi ia tidak melihat kakek ini dan tiba-tiba kakek itu naik ke panggung, tentu untuk mengacau. Teringat olehnya bahwa Giam-ong-to Kam Kin, murid kakek ini pun sudah menjadi seorang komandan pasukan, tentu pasukan dari Gubernur Shansi! Kalau demikian, tentu Ceng-jiu Tok-ong menjadi kaki tangan Lie Kian Tek.
Mengingat sampai di sini, Im Giok lalu menengok ke arah Kian Tek. Akan tetapi ia tidak melihat pemuda itu dan kursinya kosong. Otomatis Im Giok teringat akan bungkusan yang disumbangkan oleh Tiauw Ki kepada Suma-huciang, maka dia menengok ke arah meja tempat menaruh barang-barang sumbangan.
Pada lain saat, tubuh Im Giok sudah lenyap, yang tampak hanya bayangan merah yang amat cepat. Gadis ini tadi melihat Lie Kian Tek berada di dekat meja dan tengah menegur seorang laki-laki yang dengan gerakan cepat sekali mengulur kedua tangan mengambil barang-barang berharga yang kecil-kecil dari atas meja!
Kedatangan Im Giok tak terlihat oleh mereka dan tahu-tahu orang laki-laki yang bertubuh kecil pendek itu berseru kaget ketika pundaknya ditotok orang. Akan tetapi dia ternyata lihai bukan main karena dia masih sempat mengelak dan walau pun totokan itu masih mengenai pundaknya, akan tetapi tidak berakibat apa-apa.
Im Giok yang tadi menotok merasa kaget dan sama sekali tak mengira orang itu demikian lihai, maka ia menyerang terus sambil membentak,
“Bangsat kecil, kau hendak mencuri apa?”
Dua kali lm Giok menyerang dan dua kali gagal karena Si Kate Kecil itu dengan amat lincahnya dapat mengelak dan hendak melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba Lie Kian Tek menendangnya sambil berseru,
“Kau hendak lari ke mana?”
Kembali secara mengagumkan sekali Si Kate itu mengelak dan mencoba untuk lari terus. Dua kali lagi Im Giok berusaha menangkapnya, sedangkan Lie Kian Tek sudah tiga kali mencoba untuk merobohkannya dengan serangan maut, namun semua dapat dielakkan oleh Si Kate itu.
“Copet, kau bikin gara-gara saja, tidak tahu kalau sedang kucari-cari!” tiba-tiba terdengar teguran orang.
Mendengar suara ini Si Kate lalu melesat dan tahu-tahu ia telah berada di belakang orang ini dan mencari perlindungan di belakang tubuhnya! Pada saat Im Giok dan Lie Kian Tek menengok, ternyata orang yang datang ini adalah Suma-huciang!
“Lie-kongcu, apakah kesalahan dia maka kau serang dia?” tanya Suma-huciang kepada Lie Kian Tek.
“Aku melihat dia menggeratak di meja dan hendak mencuri barang-barang sumbangan,” kata putera gubernur itu.
Suma-huciang menengok kepada Im Giok, “Dan kau, Nona, mengapa pula kau hendak menangkapnya?”
“Aku melihat dia mengambil barang-barang dari atas meja, Taijin,” jawab In Giok sambil mengerling ke arah Tiauw Ki yang juga menengok dan memandang ke arah mereka dari tempat duduknya di belakang panggung.
Suma-huciang tertawa. “Harap kalian memaafkan dia ini. Dia dijuluki Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti) dan di Tiang-hai sudah terkenal. Dia nakal akan tetapi tak pernah membawa pergi barang orang lain. Copet, kau mengambil apa saja? Hayo lekas keluarkan!”
Sin-touw-ong yang kate sekali tubuhnya itu tersenyum-senyum gembira seperti seorang pelawak, kemudian dia mengeluarkan banyak sekali benda dari sakunya yang ternyata banyak pula.
Benda-benda itu lalu dikeluarkan satu demi satu seperti tukang sulap dan Im Giok sendiri sampai terheran-heran karena sukar dipercaya bagaimana seorang kate seperti itu dapat menyimpan benda sebanyak itu tanpa kelihatan dari luar. Juga, yang membikin ia cemas, di antara benda-benda itu tidak terdapat bungkusan sumbangan Tiauw Ki yang ternyata telah lenyap dari atas meja!
“Segera kembalikan barang-barang itu, dan mari kau wakili Tiang-hai di atas panggung, Touw-ong,” kata Suma-huciang yang tidak pedulikan semua itu dan tidak memperhatikan barang apa yang mungkin hilang.
Sin-touw-ong cepat mengembalikan barang-barang itu di atas meja, kemudian ia berjalan menuju ke panggung bersama Suma-huciang. Im Giok memandang kepada Lie Kian Tek dengan penuh curiga, akan tetapi mukanya menjadi merah ketika dia melihat pemuda itu tengah memandangnya sambil tersenyum penuh arti!
“Nona, kau betul-betul gagah. Kau benar-benar mengagumkan dan dibandingkan dengan engkau, semua wanita yang berada di sini, juga yang berada di mana saja, semua tiada artinya! Nona, pertemuan ini benar-benar dapat dinamakan jodoh. Kau dan aku berjodoh, maukah kau ikut aku keluar dari tempat ini dan kita bercakap-cakap di tempat yang lebih sunyi dan dingin? Hubungan kita perlu dipererat dan...”
“Jahanam, tutup mulutmu!” Im Giok memaki marah.
Gadis ini lalu pergi ke tempat duduknya. Mukanya terasa panas sekali dan kedua pipinya merah sekali. Dia mendongkol bukan main. Kalau tidak ingat bahwa dia berada di tempat orang lain dan kalau saja ia tidak ingat akan tugasnya mengawal Tiauw Ki dan melakukan perintah Susiok-couw-nya, tentu dia tadi sudah memukul putera gubernur yang bermulut lancang itu.
Sementara itu, di atas panggung Ceng-jiu Tok-ong sekarang sudah berhadapan dengan Sin-touw-ong. Ceng-jiu Tok-ong tertawa bergelak dan berkata lantang,
“Ha-ha-ha, Suma-taijin bagaimanakah ini? Benar-benarkah Taijin mengajukan dia ini ke atas panggung?”
Ketika ia melihat pembesar itu mengangguk sambil tersenyum, Ceng-jiu Tok-ong menjadi marah. Dia merasa terhina sekali karena harus menghadapi seorang demikian tak berarti. Ditatapnya wajah Sin-touw-ong seperti seekor harimau menatap tikus.
“Kau ini manusia tiada guna, benar-benarkah kau sudah bosan hidup? Kau manusia tidak ternama, tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?”
Raja copet yang kate itu cengar-cengir laksana seorang badut. Ia memiliki bentuk muka yang lucu. Tubuhnya pendek kecil, matanya lebar dan hidungnya dapat bergerak-gerak. Apa lagi berhadapan dengan Ceng-jiu Tok-ong, benar-benar bagaikan seorang raksasa yang berhadapan dengan seorang katai.
“Aku memang tidak terkenal, akan tetapi kau... kau ini siapakah?” tanyanya memicingkan mata.
“Setan pendek, dengar baik-baik. Aku adalah Ceng-jiu Tok-ong!”
Si Kate menggerakkan kedua pundaknya. “Aku tidak ternama, kau pun tidak terkenal,” dia berkata acuh tak acuh.
“Bangsat, aku adalah tokoh besar dari barat. Di dalam dunia kang-ouw, siapakah yang tidak mengenal namaku?” Ceng-jiu Tok-ong membentak.
“Setan besar, kau tak mengenal namaku, aku pun tak mengenal namamu, siapa di antara kita yang paling tidak terkenal? Kau berjulukan Ceng-jiu Tok-ong (Raja Racun Bertangan Seribu), dan aku berjuluk Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti), sungguh kalau dibilang kita ini tidak terkenal, akan tetapi sebetulnya kau dan aku adalah raja-raja besar!”
Meledak suara ketawa para hadirin di situ mendengar kata-kata ini.
“Lo-enghiong, mengapa tidak lekas-lekas ratakan setan pendek itu dengan tanah? Injak saja kepalanya, habis perkara!” seorang kawan dari Lie Kian Tek berseru tak sabar lagi melihat jagonya dipermainkan oleh raja copet itu.
“Ya, ya, injaklah! Injaklah!” Sin-touw-ong mengejek.
Dia lantas memasang kuda-kuda rendah sekali di depan Ceng-jiu Tok-ong, seakan-akan mempersiapkan diri untuk diinjak. Kembali terdengar suara orang tertawa riuh, sungguh pun mereka yang telah mengenal kelihaian Ceng-jiu Tok-ong, juga merasa khawatir akan keselamatan Si Kate itu.
“Bangsat tukang copet, bersiaplah kau untuk mampus!” Ceng-jiu Tok-ong yang tak dapat menahan sabarnya lagi sudah maju menyerang.
Serangannya keras dan cepat sekali sehingga Sin-touw-ong terkejut setengah mati. Raja copet ini bukan orang biasa. Ia adalah seorang kang-ouw yang telah berpengalaman dan sebagai seorang maling dan copet, dia memiliki kepandaian istimewa, yakni kepandaian menjaga diri. Ia licin bagaikan belut dan gerakannya lincah, ditambah pula dengan bentuk tubuhnya yang pendek kecil, sukarlah bagi lawan untuk menyerangnya.
Tentu saja ia sudah pernah mendengar nama besar Ceng-jiu Tok-ong, akan tetapi ia tak mengira bahwa serangan lawannya akan sehebat itu. Cepat raja copet itu mengelak.
Akan tetapi Ceng-jiu Tok-ong adalah seorang tokoh besar dunia persilatan yang sudah lebih berpengalaman, maklum pula apakah yang diandalkan oleh lawannya. Maka ia tidak mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Setiap serangannya merupakan pukulan atau tendangan maut. Jangankan baru seorang seperti Sin-touw-ong, biar pun lebih tinggi kepandaiannya tak akan kuat menerima pukulan ini.
Im Giok memandang semuanya ini dengan hati berdebar. Gadis ini pernah bertemu dan bertempur dengan Ceng-jiu Tok-ong, maka dia tahu sampai di mana kelihaian kakek ini. Dan menurut pandangannya, walau pun Si Raja Copet memiliki kegesitan luar biasa dan ilmu silat yang berdasarkan pertahanan dan penjagaan diri, akan tetapi bila dibandingkan dengan Ceng-jiu Tok-ong, dia masih jauh sekali.
Ia dapat menduga bahwa Si Kate itu biar pun seorang pencopet, tentulah termasuk orang atau pembela Suma-huciang, jadi masih segolongan dengan pemuda pelajar Tiauw Ki. Lagi pula dia ingin sekali menyelidiki siapakah yang mengambil bungkusan Tiauw Ki yang disumbangkan kepada Suma-huciang karena tadi sudah lenyap dari atas meja. Si Kate itulah yang mengambilnya dan belum mengembalikannya? Ataukah Lie Kian Tek?
Melihat Sin-touw-ong sudah terdesak hebat, Im Giok lalu berlari mendekati panggung dan melompat ke atas panggung. Sekali ia mengulur tangan, ia telah dapat memegang leher baju Sin-touw-ong dan membawanya lompat ke dekat tempat Suma-huciang. Gerakan ini cepat sekali.
Ceng-jiu Tok-ong yang mengenal gadis itu seketika menjadi berubah air mukanya. Kakek ini merasa sangsi. Kepada gadis itu biar pun ia tahu amat lihai, ia masih belum jeri. Akan tetapi kalau ia teringat akan Bu Pun Su yang pernah menolong gadis itu, bulu tengkuknya langsung berdiri!
Semua orang menjadi gempar pada waktu melihat seorang gadis baju merah yang cantik, secara aneh telah menahan Si Raja Copet dan membawanya ke dekat Suma-huciang. Akan tetapi Im Giok tidak mempedulikan semua itu dan kepada Suma-huciang ia berkata,
“Taijin, tadi kulihat barang sumbangan dari Gan-twako telah lenyap, mungkin sekali dicuri oleh tukang copet itu!”
Tiauw Ki dan Suma-huciang saling bertukar pandang, kemudian pembesar itu tersenyum kepada Im Giok.
“Terima kasih, Nona. Jika Nona tidak maju, kiranya nyawa pencopet ini sudah melayang. Touw-ong, lekas kau haturkan terima kasih kepada penolongmu!”
Sin-touw-ong cengar-cengir, kemudian ia menjura berkali-kali di hadapan Im Glok sambil berkata,
“Nona yang cantik dan gagah perkasa, mataku sungguh buta tidak dapat melihat Bukit Thai-san! Akan tetapi aku tidak kalah terhadap setan beracun itu.”
“Kau tidak kalah? Jangan main-main!” Suma-huciang berkata menegur orangnya.
Si Tukang Copet mengeluarkan sebuah benda dari sakunya yang aneh dan segera Im Giok terkejut. Ternyata bahwa pencopet ini sudah berhasil mencopet golok pusaka milik lawannya, yakni, Cheng-tok-ong (Golok Racun Hijau).
“Inilah buktinya bahwa tadi aku tidak kalah dan ini pula, Nona. Kiranya ini obat penolak racun!” Kembali dirogohnya saku bajunya dan. keluarlah obat bubuk dalam botol tanah.
Im Giok merasa kagum bukan main. Biar pun ilmu silatnya belum begitu tinggi akan tetapi dalam hal ilmu mencopet, kiranya orang kate ini memang patut disebut Raja Copet Sakti!
Sementara itu, di atas panggung terdengar Ceng-jiu Tok-ong berteriak-teriak, “Ha-ha-ha, begitu sajakah jagoan dari Tianghai? Segala tukang copet dan tukang maling! Ha-ha-ha. Hayo, mana lagi jago Tiang-hai? Suma-taijin, apakah pertunjukan silat disudahi sampai di sini saja dengan pengakuan kalah dari pihakmu? Kalau begitu, biarlah kini kita menikmati pertunjukan tari-tarian dari kota raja. Ha-ha-ha!”
“Hemm, manusia itu menghina sekali,” kata Sin-touw-ong.
“Biarlah, lebih baik kita sudahi keributan ini,” usul Tiauw Ki.
Suma-huciang menghela napas. “Kalau saja aku bukannya tuan rumah dan tidak pantas sekali apa bila aku sendiri yang naik ke panggung, aku ingin sekali belajar kenal dengan kepandaian manusia sombong kaki tangan Gubernur Lie itu!”
Sambil berkata demikian, pembesar itu memandang kepada Im Giok. Gadis ini dapat menangkap arti pandang mata Suma-huciang. Kiranya pembesar ini bermata amat tajam. Sekali saja melihat bagaimana gadis itu menangkap Sin-touw-ong, ia maklum bahwa Im Giok memiliki kepandaian tinggi dan pasti dapat melawan Ceng-jiu Tok-ong. Akan tetapi karena baru saja dia kenal dengan gadis ini, apa lagi baru saja gadis ini telah bebaskan Sin-touw-ong dari ancaman bahaya maut di tangan lawannya, maka ia tidak berani minta kepada Im Giok untuk mewakilinya di atas panggung.
“Taijin, kalau memang Taijin menghendaki supaya aku mencuci nama Taijin yang dikotori oleh manusia itu, akan kulakukan sekarang juga.”
“Ahh, aku akan membikin repot saja, juga tidak enak terhadap Gan-siucai, karena kau dibawa olehnya,” kata pembesar itu.
“Tidak apa, Taijin. Justru karena Gan-twako mempunyai hubungan baik dengan Taijin, maka orang menghina Taijin seperti menghina Gan-twako dan berarti pula menghina aku sendiri,” kata Im Giok.
Ia kemudian cepat menghampiri panggung sambil membawa golok rampasan. Lebih dulu dengan sangat cepat gadis ini mengoleskan sedikit bubuk rampasan itu di bawah hidung sehingga ia lantas mencium aroma yang wangi sekali.
Dengan gerakan ringan Im Giok melompat ke atas panggung, disambut tepuk sorak para penonton. Dari atas panggung Im Giok dapat melihat muka Lie Kian Tek berubah pucat. Im Giok tidak pedulikan itu semua dan langsung dia menghadapi Ceng-jiu Tok-ong yang masih ragu-ragu karena mengira gadis ini datang dikawal oleh Bu Pun Su!
“Apa kau datang hendak melanjutkan pertandingan dahulu itu? Asal saja kau berani maju sendiri, jangan bawa-bawa orang tua!” katanya perlahan, hanya terdengar oleh Im Giok.
Gadis itu tersenyum, lalu berkata keras kepada orang banyak, “Si Sombong ini mengira bahwa dia telah menang dalam pertempuran melawan Sin-touw-ong. Padahal, kalau aku tidak datang dan membawa pergi Sin-touw-ong, kiranya Raja Copet itu kini telah berhasil mencopet isi perutnya tanpa ia mengetahui!”
“Bohong! Omongan apa ini? Dialah yang hampir saja mampus!” bantah Ceng-jiu Tok-ong marah.
Kiang Im Giok tersenyum manis. Dia lalu memperlihatkan golok yang dibawanya dengan mengacungkan senjata itu ke atas agar kelihatan oleh semua orang yang hadir.
“Tok-ong, kau lihat baik-baik, golok siapakah ini? Dan bungkusan obat penawar racun ini, punya siapa pula?”
Ceng-jiu Tok-ong kaget bukan main dan meraba pinggangnya, ternyata golok di pinggang dan bungkusan obat di dalam saku telah lenyap!
“Bagaimana bisa berada di tanganmu?” tanyanya heran dan mukanya berubah merah.
“Siapa lagi kalau bukan Sin-touw-ong yang mengambilnya? Nah, kalau dia menghendaki, apakah dia tidak sanggup mengambil nyawamu dari pada mengambil dua benda ini dari tubuhmu? Benar-benar kau tak tahu diri. Apakah masih saja kau tidak mau terima kalah?” Dalam kata-kata ini Im Giok mengancam, lalu ia melemparkan golok dan bungkusan obat itu ke atas lantai panggung.
Ceng-jiu Tok-ong ragu-ragu. Dia masih jeri menghadapi Im Giok yang ilmu pedangnya amat lihai, juga ia takut setengah mati kalau memikirkan apakah Bu Pun Su tidak sedang bersembunyi di tempat itu dan akan muncul kalau sampai dia mendesak Im Giok. Kini, secara aneh sekali Si Kate itu telah berhasil mencopet golok beserta bungkusan obatnya. Benarkah Si Copet itu yang melakukan hal aneh ini?
Dia tadi sudah mendesak hebat, apa mungkin Si Kate itu sempat mencuri senjatanya? Siapa tahu kalau-kalau ini pun perbuatan Bu Pun Su, kiranya tidak ada hal tak mungkin! Mengingat sampai di sini, Ceng-jiu Tok-ong bergidik dan dia pikir lebih baik cepat mundur sebelum celaka. Sekarang ada kesempatan baik baginya untuk mundur tanpa mendapat malu.
Ia lalu membungkuk, mengambil senjata dan obatnya, lalu berkata sambil menjura, bukan kepada Im Giok melainkan kepada Sin-touw-ong.
“Kepandaian Sin-touw-ong lihai sekali, sungguh membuat orang kagum!” Setelah berkata begitu, Ceng-jiu Tok-ong lalu melompat turun dari panggung.
Im Giok tersenyum puas. Memang dia tidak menghendaki kalau pesta ulang tahun dari Suma-huciang itu berubah menjadi gelanggang pertempuran yang akan mengorbankan nyawa. Baiknya ia dapat mengusir mundur Ceng-jiu Tok-ong hanya dengan kata-kata dan gertakan belaka, tanpa menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa bila sampai terjadi pertempuran, walau pun ia tak akan kalah, akan tetapi juga bukan hal yang mudah untuk mengalahkan Ceng-jiu Tok-ong!
Gadis ini melompat turun dari panggung dan menghampiri Suma-huciang dan Gan Tiauw Ki. Pembesar itu menyambutnya dengan muka berseri.
“Baiknya ada Lihiap yang mencuci bersih nama kota Tiang-hai yang hendak dihina oleh orang lain,” katanya, kemudian pembesar ini berkata dengan suara lantang,
“Terima kasih kepada semua enghiong yang sudah menyumbangkan tenaga untuk turut meramaikan pesta ini. Sekarang tibalah gilirannya para penari yang akan memperlihatkan keindahan tarian mereka!”
Terdengar musik dibunyikan orang dan tak lama kemudian, tujuh orang gadis penari yang cantik jelita muncul di atas panggung, menari-nari dengan gerakan tubuh yang indah dan gemulai, membuat darah orang-orang muda yang hadir di sana tersirap ke muka serta denyut jantung menjadi cepat sekali. Perhatian semua tamu tercurah kepada para penari dari kota raja ini. Hal ini membuat Im Giok leluasa bicara dengan Tiauw Ki.
“Tidak apa, Giok-moi,” kata pemuda itu setelah mendengar akan kekhawatiran gadis itu tentang hilangnya bungkusan barang sumbangan.
“Bungkusan itu kosong tidak berisi suatu apa pun yang berharga. Surat dari Kaisar yang sesungguhnya tidak berada di situ, akan tetapi kuserahkan kepada Suma-huciang ketika kami bercakap-cakap tadi.”
Im Giok menjadi lega dan dia memandang dengan wajah berseri. Ia kagum sekali akan kecerdikan pemuda ini. Dengan demikian, surat rahasia itu tidak terampas oleh orang lain dan ini berarti tugas Im Giok mengawal pemuda serta suratnya berhasil baik. Kini surat sudah berada di tangan Suma-huciang, orang yang berhak, maka sudah tidak ada tugas apa-apa lagi di tempat itu.
“Kalau begitu, tugas kita sudah selesai. Kapan kita meninggalkan tempat ini?” tanyanya.
“Sebetulnya aku sendiri pun tidak suka tinggal terlalu lama di sini,” jawab Tiauw Ki sambil melempar kerling ke arah Lie Kian Tek seakan-akan hendak menyatakan bahwa ketidak senangan itu disebabkan oleh kehadiran putera gubernur itu. “Akan tetapi, Suma-taijin minta kepadaku untuk bermalam di sini malam ini dan besok hari baru kita meninggalkan tempat ini. Kuharap kau tidak keberatan, Adik Im Giok.”
“Keberatan sih tidak, asal saja malam ini tidak akan terjadi sesuatu atas dirimu,” kata Im Giok mengerutkan kening.
“Giok-moi yang baik, dengan adanya kau di sini, aku takut apakah?” Kata-kata ini disertai senyum dan pandang mata penuh arti, yang hanya dapat dimengerti oleh Im Giok.
Tiba-tiba gadis ini merasa jengah, mukanya kemerahan dan untuk sesaat ia tidak berani memandang langsung kepada Tiauw Ki.
“Aku hanya memenuhi perintah Susiok-couw...,” katanya kemudian perlahan.
Karena takut kalau-kalau keadaan mereka diperhatikan oleh orang lain, lalu mengalihkan pandang mata ke atas panggung di mana para penari sedang menunjukkan kepandaian mereka dengan indahnya.
Demikianlah, pesta berjalan terus dengan sangat lancar dan kejadian sebelum tari-tarian diadakan agaknya telah dilupakan orang. Bahkan dari pihak Lie Kian Tek sendiri agaknya tidak ada aksi-aksi selanjutnya.
Sesudah tari-tarian berhenti dan diganti dengan biduan-biduan istana yang menyanyikan lagu-lagu merdu, berangsur-angsur para tamu mengundurkan diri, berpamit kepada tuan rumah sambil menghaturkan terima kasih. Akhirnya Suma-huciang sendiri yang sudah tua merasa lelah dan minta maaf kepada para tamu yang masih hadir, mengundurkan diri untuk mengaso.
Setelah minta maaf kepada tamu-tamu yang tersisa tak berapa banyak lagi dan menjura, Suma-huciang lalu mengajak Gan Tiauw Ki masuk ke dalam. Kepada Im Giok ia berkata, “Nona, kalau Nona hendak mengaso, sebuah kamar sudah tersedia. Silakan.”
Im Giok menjura kepada tiga orang wanita yang masih berada di situ, yakni nenek yang duduk dengan dua orang wanita muda dan nampak bukan orang-orang sembarangan itu. Semenjak tadi mereka diam saja, maka Im Giok juga tak mempedulikan mereka dan tidak tahu siapakah gerangan mereka ini.
Ketika tiga orang ini berjalan menuju ke ruangan dalam, mereka melewati tempat duduk Lie Kian Tek dan kawan-kawannya. Pemuda putera gubernur Shansi ini nampak tengah bercakap-cakap dengan Ceng-jiu Tok-ong. Suma-huciang berhenti dan menjura.
“Lie-kongcu, maafkan aku tak dapat melayani lebih lama karena terlalu lelah dan hendak mengaso. Kamar untuk Lie-kongcu beserta rombongan telah dipersiapkan di penginapan terbesar di kota ini. Silakan Kongcu bersenang-senang menikmati nyanyian di sini dan bila mana Kongcu ingin beristirahat, perintahkan saja kepada pelayan untuk menyediakan kendaraan.”
Lie Kian Tek tersenyum dan menjura, akan tetapi matanya melirik ke arah Im Giok.
“Terima kasih, memang sebentar lagi kami pun hendak beristirahat pula. Selamat tidur, Suma-taijin.”
Suma-huciang yang diiringi oleh Tiauw Ki dan Im Giok melanjutkan langkahnya menuju ke ruang dalam. Setelah tiba di ruangan yang sunyi ini, pembesar itu lalu berkata kepada Tiauw Ki,
“Gan-siucai, tentu kau masih ingat akan semua pesanku, bukan? Ada sedikit pesanku lagi harap disampaikan kepada Hong-siang, yaitu bahwa bahaya yang datang dari Shansi tidak begitu besar apa bila dibandingkan dengan bahaya yang mengancam dari Honan. Karena itu, terhadap Honan (Propinsi Honan) hendaknya ditaruh perhatian sepenuhnya dan jangan diabaikan.”
Tiauw Ki mengerutkan keningnya dan matanya memandang heran. Namun sebelum dia mengeluarkan pertanyaan, ia telah didahului oleh pembesar itu.
“Aku tahu mengapa engkau merasa heran, Gan-siucai. Memang nampaknya keadaan di Honan tenang-tenang saja, akan tetapi percaya sajalah, di dalamnya terdapat pengaruh yang kelak akan membahayakan kedudukan Kaisar. Aku tak dapat bicara panjang lebar lagi, harap kau mengaso dan besok segera menyampaikan pesanku. Hong-siang akan mengerti apa yang kau maksudkan.”
Terpaksa Tiauw Ki tidak membantah. Ia menjura dan berkata, “Baiklah, Taijin, akan saya perhatikan dan sampaikan semua pesan Taijin. Besok pagi-pagi saya serta Kiang-lihiap akan berangkat. Kalau tidak sampai berpamit, harap Taijin sudi memaafkan.”
Suma-huciang menoleh kepada Im Giok, tersenyum berkata, “Kau amat mengagumkan, Kiang-lihiap. Aku harus berterima kasih kepadamu. Benar-benar kau patut menjadi cucu murid Bu Pun Su, seorang sakti yang semenjak dulu aku kagumi. Tolong kau sampaikan hormatku kepada pendekar sakti itu kalau kau bertemu dengan dia.”
Im Giok menjadi jengah mendengar pujian ini dan dia cepat memberi hormat. Kemudian pembesar itu memasuki kamarnya, sementara kedua orang muda itu pun pergi ke kamar masing-masing yang sudah disediakan, sesudah mereka berjanji akan berangkat besok pagi-pagi pada waktu ayam jantan berkokok.
Malam hari itu Im Giok tak dapat tidur. Dia gelisah di dalam kamarnya. Ada kekhawatiran kalau-kalau akan terjadi sesuatu pada malam hari itu, sesuatu yang akan menimpa diri Suma-huciang atau Gan Tiauw Ki.
Ancaman terhadap diri Suma-huciang masih belum menggelisahkan hatinya. Akan tetapi kalau dia teringat bahwa tugas yang dibawa oleh Tiauw Ki bukanlah tugas ringan dan keselamatan anak muda itu selalu terancam, Im Giok menjadi gelisah. Bagaimana kalau ada bahaya mengancam diri pemuda itu?
Malam itu ia selalu memikirkan Tiauw Ki. Tiap saat hanya pemuda inilah yang memenuhi pikirannya. Tanpa disengaja bayangan Tiauw Ki selalu tampak di depan matanya, gema suara pemuda itu selalu berdengung di telinganya!
“Aku harus melindunginya, biar pun aku harus bertaruh nyawa!” pikir gadis yang sedang tergoda asmara ini.
Keputusan ini membuat Im Giok tidak berani merebahkan diri. Ia lalu duduk bersila di atas pembaringan dan beristirahat dengan cara bersemedhi. Menjelang subuh dia mendengar suara berkeresekan di atas genteng. Ia cepat membuka mata dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa.
Dia pun tidak mau lancang mengejar keluar, takut kalau-kalau hanya akan menimbulkan keributan belaka. Sayang sekali gadis ini tidak keluar, kalau ia melakukan hal ini, mungkin ia akan mencegah terjadinya hal yang mengerikan!
Tak lama kemudian, terdengar ayam jantan berkokok, saling sahut ramai sekali. Im Giok melompat turun dari pembaringan, menggantungkan pedang di pinggang, mengikatkan buntalan pakaian di punggung dan siap untuk berangkat. Karena ia tidak tidur, maka ia dapat bersiap-siap dengan cepat, bahkan tanpa menyisir rambutnya yang digelung indah, cukup memperkuat tali dan tusuk rambutnya saja.
Dia mendengar langkah kaki di luar pintunya. Cepat daun pintu kamarnya dia buka dan ternyata Tiauw Ki sudah berdiri di situ, juga sudah siap untuk berangkat.
Dua orang pelayan menghampiri mereka dan menjura sambil berkata, “Selamat pagi, Siauw-ya dan Siocia! Apakah berangkat sekarang?”
“Benar, Lopek. Tolong suruh tukang kuda mengeluarkan kuda kami dan menyediakan di depan.”
“Baik, Siauw-ya,” jawab pelayan-pelayan itu dengan girang sambil menerima dua potong uang perak sebagai hadiah dari Tiauw Ki.
Dua orang muda ini lalu berjalan menuju ke luar dari gedung yang besar dan panjang ini.
“Enak tidurkah kau malam tadi, Giok-moi?” tanya Tiauw Ki kepada Im Giok.
“Enak juga. Dan kau?”
“Aku gelisah saja, entah mengapa. Agaknya karena hawa terlalu panas,” jawab Tiauw Ki.
Im Giok teringat akan bunyi di atas genteng. Kamar pemuda ini letaknya tidak jauh dari kamar Suma-huciang, maka dia lalu bertanya, “Twako, apakah kau tidak ada mendengar suara apa-apa malam tadi? Kalau kau tidak dapat tidur, tentunya kalau ada apa-apa kau mendengarnya.”
Tiauw Ki menggeleng kepala. “Tadinya aku pun takut kalau-kalau terjadi sesuatu, akan tetapi sukurlah, sampai aku tertidur, aku tidak mendengar apa-apa.”
Diam-diam Im Giok merasa lega, akan tetapi ia tidak puas dan masih curiga. Pemuda ini tidak mengerti ilmu silat, bagaimana ia dapat mendengar suara gerakan penjahat yang tinggi ilmu silatnya? Ia malam tadi mendengar suara yang ia tahu adalah suara kaki orang menginjak dan berjalan di atas genteng, orang yang ilmu ginkang-nya sudah tinggi sekali. Ataukah barangkali pendengarannya salah? Karena selanjutnya tidak ada suara apa-apa, ia tidak menyelidik lebih lanjut.
Sementara itu, pelayan-pelayan tadi sudah membawa kuda mereka ke depan gedung. Maka berangkatlah Tiauw Ki dan Im Giok pada pagi hari itu dalam keadaan cuaca masih remang-remang dan segala apa nampak berwarna kelabu.
Sampai lama mereka melarikan kuda berdampingan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Keduanya amat muram. Tanpa kata-kata mereka merasakan peristiwa duka yang mereka hadapi, yakni perpisahan.
Im Giok sudah selesai tugasnya mengawal pemuda itu menghadap Suma-huciang dan menyampaikan pesanan Kaisar, karenanya dia harus memisahkan diri. Tidak selayaknya seorang gadis seperti dia terus-terusan melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tanpa ada alasan yang kuat. Sekarang dia harus pulang ke Sian-koan, sedangkan Tiauw Ki tentunya hendak ke kota raja. Terpaksa mereka harus berpisah. Tak ada alasan untuk melakukan perjalanan bersama karena berbeda tujuan.
Tanpa berkata-kata keduanya maklum bahwa perjalanan mereka bersama hanya akan sampai di sungai kecil yang berada kurang lebih lima belas li di depan, di mana terdapat jalan simpangan dan di sana keduanya akan berpisah untuk melanjutkan perjalanannya masing-masing. Semakin dekat dengan sungai itu, otomatis keduanya memperlambat lari kudanya sehingga di lain saat kuda mereka hanya berjalan saja!
“Adik Im Giok, selanjutnya kau akan ke mana?” Tiauw Ki bertanya.
Sebuah pertanyaan yang aneh dan lucu karena keduanya sudah sama-sama mengetahui ke mana gadis itu akan pergi kalau tidak pulang ke rumah ayahnya di Sian-koan! Dan dari pertanyaan ini saja telah membayangkan keadaan hati pemuda itu, dan Im Giok maklum pula akan hal ini.
Memang cinta kasih itu aneh sekali. Biar pun pemuda dan gadisnya sama-sama selama hidupnya belum pernah mengalami buaian asmara dan baru kali itu mengalami perasaan yang amat aneh ini, akan tetapi keduanya seakan-akan sudah berpengalaman, keduanya sudah dapat menangkap maksud hati masing-masing hanya dengan rasa.
Kerling mata mengandung seribu bahasa mesra, senyum tipis membayangkan perasaan hati berdebar, gerak-gerik mengisyaratkan suara hati. Demikian tajamnya perasaan orang yang menghadapi pujaan hatinya, seakan-akan antara keduanya sudah ada kontak yang timbul oleh getaran-getaran perasaan.
Sungguh pun Im Giok maklum mengapa pemuda itu masih juga bertanya ke mana dia hendak pergi, ia menjawab juga perlahan sambil menundukkan muka,
“Aku hendak pulang ke Sian-koan. Dan kau... ke manakah, Twako?”
“Tentu ke kota raja... tugasku belum selesai. Sayang...”
Lama tidak terdengar mereka berkata-kata dan sunyi di pagi hari yang indah itu. Matahari belum kelihatan, akan tetapi cahayanya telah mulai mengusir kabut fajar dan menggugah alam yang terlelap dalam mimpi. Yang terdengar hanya suara kicau burung, diseling oleh derap kaki dua ekor kuda yang berjalan perlahan di atas jalan berbatu.
“Mengapa sayang, Twako?” Im Giok sudah membolak-balik pertanyaan ini beberapa kali di dalam hati sebelum ia mengeluarkan melalui bibirnya. Hatinya berdebar-debar menanti jawab, seperti seorang penjahat menanti pengucapan hukuman oleh hakim.
“Sayang karena... karena terpaksa kita harus berpisah.” Suara pemuda itu menggetar.
Tiba-tiba Im Giok menjadi merah mukanya, merah sampai ke telinganya. Mengingat akan keadaan dirinya sendiri, tiba-tiba Im Giok mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir perasaan malu dan jengah yang luar biasa ini, kemudian ketabahannya yang luar biasa dapat membuat dia menguasai diri lagi. Ia tersenyum dan dengan wajah ayu memandang Tiauw Ki.
“Twako, kau ini aneh. Ada waktu bertemu pasti ada pula waktu berpisah. Bukankah ada kata-kata para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa bertemu itu artinya berpisah? Atau jelasnya bahwa pertemuan adalah awal perpisahan?”
Tiauw Ki yang tiba-tiba menjadi lemas melihat senyum yang demikian manisnya, wajah yang berseri dan mata bersinar-sinar sehingga membuat baginya seakan-akan matahari sudah muncul setinggi-tingginya, menjadi seperti orang linglung.
“Mengapa demikian?”
Pertanyaan ini tak karuan juntrungnya, padahal sebagai seorang sastrawan, sudah tentu pemuda ini hafal akan semua filsafat kuno, tidak kalah oleh Im Giok. Akan tetapi pada waktu itu, otaknya seakan-akan tertutup dan ia tidak sadar apa-apa, yang ada hanyalah wajah yang luar biasa cantik jelitanya dari gadis yang berada di sampingnya.
Melihat betapa pemuda itu duduk di atas kudanya sambil memandang bengong padanya seperti orang kena sihir, Im Giok tersenyum makin lebar.
“Mengapa? Ehh, Gan-twako, tentu saja pertemuan adalah awal perpisahan, karena kalau tidak bertemu lebih dulu, bagaimana bisa berpisah?”
Jawaban yang merupakan kelakar ini membikin sadar Tiauw Ki dari lamunan. Ia menarik napas panjang dan berkata,
“Tepat sekali kata-katamu, Giok-moi. Dan inilah yang menyakitkan hatiku. Bagiku... berat sekali perpisahan ini. Kalau boleh aku ingin membuang jauh-jauh ucapan kuno itu, ingin kuganti...”
Im Giok mengangkat alisnya dan memandang lucu. “Ehm, apa kau ingin menyaingi para pujangga kuno dan merubah kata-kata mereka?”
“Ya, khusus tentang pertemuan itulah. Dengar aku merubahnya, dan ini terutama sekali untuk kita berdua, Adikku. Pertemuan bukanlah awal perpisahan, akan tetapi pertemuan adalah awal persatuan abadi. Bagaimana kau pikir, bukankah ini lebih tepat dan lebih baik?”
Im Giok menutup mulutnya menahan ketawa, kemudian melarikan kudanya.
“Ada-ada saja kau ini, Twako,” katanya seperti marah.
Akan tetapi suara ketawanya berlawanan dengan kata-kata yang seperti marah ini, maka Tiauw Ki juga membalapkan kudanya mengejar.
“Adik Im Giok, tunggu...! Kita tidak akan berpisah selamanya!” Tiauw Ki berani berteriak menyatakan perasaan hatinya ini saking gembiranya. Akan tetapi Im Giok yang timbul kembali rasa malu dan jengah, tidak mau menghentikan kudanya.
Karena kuda dibalapkan, sebentar saja tahu-tahu sudah sampai di sungai yang melintang di depan. Im Giok tersentak kaget dan menghentikan kudanya dengan tiba-tiba. Melihat sungai itu ia tersadar bahwa semua tadi bukan main-main, melainkan sungguh-sungguh perpisahan telah berada di depan mata! Dan ia pun menjadi berduka.
Alisnya berkerut, kegembiraannya lenyap sama sekali. Dia telah merasakan kebahagiaan luar biasa di dalam hatinya selama dekat dengan Tiauw Ki. Sekarang perpisahan dengan pemuda itu mendukakan hatinya.
“Giok-moi...!” Tiauw Ki juga sudah tiba di situ. Pemuda ini melompat turun dari kudanya. “Giok-moi, harap jangan tergesa-gesa. Begitu girangkah hatimu untuk meninggalkan aku maka kau tergesa-gesa?”
Im Giok melompat turun dari kudanya pula dan berkata, “Twako, janganlah kau berkata begitu...” Dalam suaranya kini terkandung sedu-sedan.
“Marilah kita gunakan saat terakhir ini untuk bercakap-cakap dan memberi kesempatan kepada kuda kita beristirahat,” kata Tiauw Ki yang membawa kudanya ke pinggir sungai di mana terdapat rumput yang hijau dan gemuk.
Im Giok meniru perbuatannya dan sesudah kedua ekor kuda itu makan rumput dengan lahapnya, mereka lalu mencari tempat duduk. Kebetulan sekali tidak jauh dari sana, di pinggir sungai kecil terdapat sebatang pohon yang teduh dan di bawah pohon terdapat batu-batu sungai yang besar dan bersih licin. Ke situlah dua orang ini berjalan perlahan.
Tiauw Ki duduk di atas sebuah batu besar, merenung ke arah air sungai. Im Giok juga duduk di atas batu tak jauh dari tempat pemuda itu duduk, bermain-main dengan ujung daun pepohonan yang tumbuh di dekatnya.
“Adik Giok, rasanya janggal dan aneh sekali jika kita harus berpisah di sini. Benar-benar heran sekali, bagiku terasa seakan-akan kita telah berkumpul selamanya, telah semenjak kecil, semenjak lahir... Giok-moi, benar-benar berat untukku harus berpisah darimu, tak sampai hatiku...”
“Habis, bagaimana, Twako. Kita harus mengambil jalan masing-masing. Kau ke kota raja dan aku pulang ke Sian-koan.”
“Memang semestinya demikian. Akan tetapi... ahh, rasanya sedikit pun juga aku tidak ada keinginan sama sekali untuk pergi ke kota raja. Kalau saja kau dapat pergi bersamaku ke kota raja atau aku pergi bersamamu ke Sian-koan...”
Im Giok melirik, mukanya merah dan hatinya berdebar senang.
“Mana boleh begitu, Gan-ko? Kau mempunyai tugas penting. Apa sih sukarnya? Kau ke kota raja dahulu dan sesudah tugasmu selesai, bukankah kau dapat mengunjungi aku di Sian-koan?”
Di dalam kata-kata ini terkandung sindiran yang dalam, seolah-olah Im Giok menyatakan bahwa ia akan menanti kedatangan pemuda itu di Sian-koan! Tiauw Ki yang cerdik dapat mengerti arti yang terkandung dalam kata-kata ini, maka saking girang perasaannya, dia menangkap kedua tangan gadis itu.
“Giok-moi…,” suaranya gemetar.
Selama hidupnya baru kali ini Im Giok merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Menurut kata hatinya, ingin ia menarik kembali kedua tangannya yang dipegang oleh jari jemari tangan yang gemetar dari pemuda itu, akan tetapi ia tak kuasa menarik tangannya seakan-akan semua tenaganya telah hilang! Dia hanya menundukkan muka dan bibirnya tersenyum malu.
“Giok-moi, betulkah kau akan menerimaku bila aku sewaktu-waktu datang ke Sian-koan!” suara Tiauw Ki perlahan dan halus penuh perasaan.
“Mengapa tidak?” Im Giok hanya menjawab singkat karena dia sendiri takut untuk bicara terlalu panjang, mendengar betapa suaranya sendiri gemetar!
“Tidak… tidak ada halangannya kalau… kalau aku…” Tiauw Ki tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya.
“Ada apakah, Gan-twako? Lanjutkanlah, mengapa begitu sukar?”
Tiauw Ki makin gagap menerima teguran ini. Ia mengigit bibirnya menenangkan hatinya lalu berkata nekad, “Bagaimana kalau kelak aku datang ke Sian-koan... dan...”
“Dan apa...?”
“Aku... aku hendak... meminangmu!” Lega hatinya setelah kata-kata yang mengganjal di kerongkongannya ini akhirnya terlepas juga.
Im Giok sejak tadi sudah menduga, akan tetapi setelah kata-kata itu diucapkan, mukanya yang cantik itu menjadi merah sekali, membuat sepasang pipinya kemerahan bagai buah tho masak, membikin dia nampak makin cantik jelita. Memang jarang ada gadis secantik Im Giok, apa lagi kalau yang memandangnya seorang yang jatuh hati kepadanya, dia laksana bidadari dari kahyangan saja!
“Bagaimana, Giok-moi...?” tanya Tiauw Ki.
Dengan sudut matanya Im Giok mengerling kepada pemuda itu, bibirnya yang manis itu tersenyum malu, lalu ia menundukkan muka kembali sambil berkata lirih, “Entahlah...”
Tiauw Ki menjadi makin berani melihat sikap gadis itu. Ia menggenggam kedua tangan yang kecil halus itu dengan erat dan menarik Im Giok mendekat. Karena gadis itu duduk di atas batu yang lebih rendah, maka setelah ditarik ia bersandar kepada paha Tiauw Ki.
“Giok-moi, bagaimana? Apakah kau keberatan kalau kelak kupinang?”
Bukan main malunya Im Giok dan ia pun tidak dapat membuka mulut menjawab. Sambil tersenyum-senyum malu dan wajah ditundukkan, dia hanya menjawab dengan gelengan kepala perlahan.
Tiauw Ki merasa diayun di sorga ke tujuh. Ingin dia melompat turun dari atas batu dan menari-nari kegirangan atau ingin dia mengangkat tubuh Im Giok dalam pondongannya dan diputar-putar.
Akan tetapi sebagai seorang pemuda terpelajar yang sopan ia tidak berani melakukan hal ini. Sebagai seorang pemuda yang tahu akan arti kesopanan dan kesusilaan, Tiauw Ki hanya memandang kepada wajah kekasihnya dengan mata bersinar, wajah berseri dan penuh kasih sayang.
“Terima kasih, Moi-moi, terima kasih. Akan tetapi, bagaimana kalau saudara-saudaramu tidak suka kepadaku dan tidak mau menerima?” Di dalam ucapan ini terkandung suara yang penuh kecemasan.
Maka Im Giok cepat mengangkat muka dan berkata tegas,
“Aku tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal. Yang ada hanya suci-ku Giok Gan Niocu Song Kim Lian!”
Tiauw Ki tersenyum lega, lalu tertawa kecil. “Ahh, suci-mu itu benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa dan berhati mulia, biar pun agak galak. Akan tetapi tentu saja tidak melawan kau baik dalam hal kegagahan, kemuliaan mau pun kecantikan.”
Im Giok hanya melempar senyum menghadiahi pujian kekasihnya ini.
“Akan tetapi, bagaimana kalau... kalau ayah bundamu tidak suka kepadaku? Ayahmu seorang gagah, tentu dia tidak suka mempunyai calon mantu seorang pemuda sekolah yang lemah...!” Kembali dalam suara pemuda itu terkandung kekhawatiran besar.
“Ibuku sudah tidak ada, dan Ayah... dia sangat sayang kepadaku, tidak mungkin Ayah membiarkan aku kecewa dan berduka.” Im Giok mengambil tusuk kondenya, kemudian memberikan benda itu kepada Tiauw Ki dengan suara halus, “Koko, inilah tusuk kondeku, harap kau simpan baik-baik.”
Tiauw Ki menerima benda itu dan menekannya di dada, lalu menciumnya dengan penuh kasih sayang. “Terima kasih, Moi-moi. Benda ini selamanya takkan berpisah dariku, akan kuanggap sebagai penggantimu. Dengan adanya tusuk konde ini, Moi-moi, hatiku akan terhibur. Hanya menyesal sekali, aku adalah seorang yang bodoh dan miskin pula, tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan kepadamu kecuali ini...”
Pemuda itu mengeluarkan sebuah kipas yang tidak begitu baik dari dalam saku bajunya. Sudah menjadi kebiasaan para siucai untuk selalu menyimpan kipas di sakunya.
“Kipas ini tadinya masih kosong, Moi-moi, seperti kosongnya hatiku. Sekarang kipas ini tidak seharusnya dibiarkan kosong seperti juga hatiku yang kini sudah penuh...”
Sambil berkata begitu, pemuda itu ‘menyulap’ keluar sebatang pit dan arang tintanya dari dalam saku bajunya. Diambilnya sedikit air dari sungai untuk membasahi arang tinta dan di atas batu itu dia menulis huruf-huruf indah di atas kipasnya yang putih bersih.
Im Giok hanya memandang saja semua yang dilakukan oleh kekasihnya ini dengan bibir tersenyum dan hati bungah. Dengan hati berdebar Im Giok membaca tulisan yang indah gayanya itu:
Tusuk konde dan kipas
menjadi saksi
bertemunya dua hati
di bawah pohon, di tepi sungai...
semoga cinta kasih kita
kekal abadi takkan berpisah,
sehidup semati...
Tiauw Ki memberikan kipas itu kepada Im Giok yang menerimanya dengan wajah berseri.
“Aduh indahnya tulisanmu, Koko...” katanya.
Akan tetapi Tiauw Ki hanya menatap wajahnya, nampaknya berduka.
“Kau mengapa, Twako?”
“Sayang pertemuan seindah ini harus diputuskan oleh perpisahan...” kata Tiauw Ki sambil memegang pundak gadis itu, ditariknya sehingga kembali Im Giok bersandar kepadanya.
“Hanya untuk sementara waktu, Koko. Bukankah kau segera akan ke Sian-koan setelah tugasmu selesai? Aku selalu menantimu di sana, Koko...”
Kata-kata ini terdengar begitu manis dan merdu oleh Tiauw Ki sehingga saking terharu hatinya, kedua mata pemuda itu sampai basah. Didekapnya kepala gadis itu ke dadanya lebih erat lagi dan sampai lama mereka tak bergerak, tenggelam ke dalam lautan madu asmara.
Biar pun keduanya diam tak bergerak, biar pun suasana di sekitar mereka sunyi senyap, namun suara daun pohon tertiup angin dan air sungai mengalir bagi mereka seperti suara musik mengiringi nyanyian surga yang amat merdu. Pohon, daun, batu, apa saja yang nampak di sekeliling mereka seakan-akan tertawa-tawa dan ikut beriang gembira.
Tiauw Ki dan Im Giok bagaikan mabuk oleh buaian ombak perasaan yang paling indah di antara segala macam perasaan, tapi keduanya masih sadar sepenuhnya dan ingat akan kesopanan dan kesetiaan.....
Komentar
Posting Komentar