ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-18


Apa pun juga yang terjadi, mereka berpegang kepada semboyan nenek moyang mereka, yang bagaimana pun juga, ATURAN (Lee) di atas segala apa! Kesopanan dan kesusilaan termasuk dalam Lee ini dan karenanya mereka tetap sadar dan menjaga jangan sampai mengecewakan hati kekasihnya dengan pelanggaran tata susila yang dijunjung tinggi!

Dalam keadaan bagaikan setengah pulas itu, ternyata kelihaian Im Giok tidak berkurang. Pendengarannya memang amat tajam sehingga Tiauw Ki menjadi terheran ketika secara tiba-tiba Im Giok merenggutkan kepalanya yang tadinya bersandar pada dadanya sambil berkata,

“Koko, ada penunggang kuda datang...”

Tiauw Ki memperhatikan dan sampai lama setelah suara itu semakin mendekat baru dia mendengar derap kaki kuda.

“Ada tiga orang penunggang kuda,” kata pula Im Giok.

Dia sudah dapat membedakan suara itu sebelum orang-orangnya kelihatan, siap karena mengira bahwa yang datang ini tentu pihak musuh yang selalu mengancam keselamatan Tiauw Ki. Akan tetapi setelah tiga orang penunggang kuda itu muncul, ia bernapas lega.

Mereka itu ternyata adalah tiga orang wanita yang membalapkan kuda dan membuktikan bahwa ketiganya adalah ahli-ahli penunggang kuda yang mahir. Apa lagi ketika tiba di dekat Tiauw Ki dan Im Giok, ketiga orang penunggang kuda itu dapat menghentikan kuda mereka dengan serentak, hal ini lebih-lebih membuktikan bahwa mereka bertiga memiliki lweekang yang cukup kuat.

Setelah mereka mendekat, barulah Im Giok dan Tiauw Ki melihat dan mengenal mereka sebagai tiga orang wanita yang malam tadi ikut hadir pula dalam pesta yang diadakan di rumah Suma-huciang, yakni nenek yang pada kepalanya diikat kain putih dan memegang tongkat, bersama dua orang gadis manis yang sikapnya galak. Kini kedua orang gadis itu memandang kepada Tiauw Ki, lalu kepada Im Giok dengan pandangan mata terbelalak dan mengandung sinar kebencian.

Pada saat itu, Im Giok sedang berada dalam keadaan gembira dan bahagia, maka tentu saja muka cemberut dari dua orang gadis itu tidak terlihat olehnya. Sebaliknya, dengan senyum manis ia lalu menjura kepada mereka sambil berkata,

“Selamat bertemu di tempat ini! Apakah Sam-wi baru pulang dari rumah Suma-taijin?”

Nenek itu menjawab cepat-cepat, “Kau bermalam di rumah Suma-taijin. Kami bermalam di rumah penginapan.”

Im Giok menggerakkan alis agak heran melihat sikap ini, akan tetapi tetap tersenyum dan melanjutkan katanya dengan ramah,

“Ah, maaf. Maksudku, tentu Sam-wi baru meninggalkan Tiang-hai dan hendak ke mana?”

Tiba-tiba seorang di antara dua gadis itu, yang ada tahi lalatnya di dagu, membentak,

“Siapa sudi bicara dengan segala perempuan gila lelaki!”

Tiauw Ki menjadi pucat saking marahnya, dan Im Giok menjadi merah mukanya. Kedua matanya yang indah itu kini menyambar bagaikan cahaya kilat ke arah gadis itu. Meski suaranya tetap halus dan ramah, akan tetapi di dalam suara ini terkandung sesuatu yang dingin dan tajam menembus jantung.

“Cici yang baik, kau bilang apa?”

“Aku bilang kau perempuan cabul, gila lelaki!” Gadis bertahi lalat dagunya itu membentak lagi sambil mengangkat hidungnya, mengejek.

Im Giok masih tersenyum lebar.

“Alasannya?”

“Dari semula kau datang, kau sudah berdua dengan pemuda ini, sungguh memalukan. Kemudian kau bermanis-manis terhadap Suma-huciang, bahkan kau mencoba pula untuk memikat hati Lie-kongcu. Menyebalkan sekali!”

Im Giok memang cerdik luar biasa. Dari ucapan ini saja dia sudah dapat menerka apa yang menyebabkan gadis ini marah-marah seperti kemasukan setan. Senyumnya makin lebar dan sinar matanya berseri.

“Ahh, Cici yang baik, kau memutar balikkan kenyataan. Jelas sekali kulihat bahwa kaulah yang tergila-gila kepada Lie-kongcu, akan tetapi ia tidak memperhatikan tahi lalatmu yang menjijikkan itu, kau jadi marah-marah kepadaku!”

Mendengar ini, wajah gadis itu menjadi pucat, tetapi sebentar kemudian berubah merah. Mulutnya terbuka, matanya terbelalak, dan saking marahnya ia sampai-sampai tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Sesudah menenangkan hatinya, akhirnya dapat juga suaranya keluar. Diangkatnya cambuknya ke atas, dipukulkan kepala Im Giok didahului makiannya,

“Perempuan rendah, kau berani sekali memaki aku! Tidak tahu kau sedang berhadapan dengan siapa?”

“Hei, jangan pukul dulu!” Im Giok membentak, suaranya demikian berpengaruh sehingga wanita bertahi lalat itu menjadi kaget dan otomatis cambuk yang sudah diangkat itu tidak dipukulkan! “Teruskan dulu keteranganmu, sebenarnya siapakah kalian ini yang bersikap demikian tengik?”

Wanita itu menahan marahnya dan sengaja memperkenalkan nama dengan maksud agar Im Giok menjadi ketakutan. “Buka telingamu lebar-lebar, kami berdua adalah Kim-jiauw Siang-eng Kwan Ci-moi (Kakak Beradik Kwan yang Berjuluk Sepasang Garuda Berkuku Emas)! Dan dia itu adalah ibu kami Koai-tung Toanio. Siapa yang tidak mengenal kami dari Kong-thong-pai?”

Im Giok merasa geli sekali melihat gadis yang dogol dan otak-otakan ini, akan tetapi dia mengangkat kedua mata seakan-akan orang terkejut dan ketakutan.

“Aduh... tak tahunya aku berhadapan dengan tiga orang sakti dari Kong-thong-pai...,” kata Im Giok.

“Ji Kim, jangan menyombong!” tegur nenek itu yang mengerti bahwa Im Giok tadi hanya pura-pura saja ketakutan, sebetulnya sikap gadis baju merah itu adalah ejekan belaka.

“Hayo lekas berlutut dan minta ampun kepadaku!” gadis bertahi lalat yang bernama Kwan Ji Kim itu membentak, masih belum mengerti bahwa Im Giok hanya pura-pura takut saja.

“Kau datang-datang lantas memaki orang dan bersikap sombong, bagaimana aku harus berlutut? Jangankan kau baru Garuda berkuku emas, biar pun tahi lalatmu berubah emas aku tetap tak sudi berlutut!” jawab Im Giok, kini tidak berpurap-pura lagi.

Ji Kim marah sekali dan kini cambuk kudanya diayun cepat menghantam kepala Im Giok. Akan tetapi, Ang I Niocu Kiang Im Giok hanya miringkan tubuh dan secepat kilat tangan kirinya menyambar, dan pada lain saat cambuk itu telah berpindah ke tangannya. Sambil tersenyum Im Giok mempergunakan cambuk itu menghajar kedua kaki depan kuda yang ditunggangi oleh Kwan Ji Kim sehingga kuda itu roboh bertekuk lutut dan terpaksa Kwan Ji Kim melompat untuk menjaga diri agar tidak jatuh terjungkal!

“Kudamu lebih tahu adat!” Im Giok mengejek. “Tahu akan kesalahan nonanya sehingga mintakan maaf kepadaku.”

Kwan Ji Kim marah bukan main. Dicabutnya pedang yang tergantung pada pinggangnya, lalu diserangnya Im Giok dengan sengit. Namun, melihat gerakan nona ini, Im Giok hanya tersenyum dingin. Dengan gerakan indah sekali tubuhnya melenggok ke kiri, kemudian tangannya menyambar ke arah pipi lawan.

“Plakk...!”

Pipi gadis bertahi lalat itu telah kena ditampar sehingga ia terhuyung-huyung ke belakang setelah mengeluarkan jerit kesakitan. Sesudah ia dapat menguasai keseimbangan badan dan kembali berdiri tegak, ternyata pipi kanan Kwan Ji Kim telah bengkak menggembung sehingga muka yang manis itu kini menjadi lucu dan jelek!

“Setan betina, kau berani menyakiti adikku?!” Gadis ke dua melompat turun dari kuda dengan pedang terhunus pula.

Gerakan pedang ini jauh lebih cepat dari pada Kwan Ji Kim dan tusukan pedangnya lebih kuat lagi. Namun ia bukan lawan Im Giok, karena dengan amat mudahnya Im Giok dapat menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Tiba-tiba saja Im Giok merasa ada sambaran angin dingin dari kanan. Cepat ia melompat ke belakang dan tahu-tahu sebatang tongkat menyambar dengan dahsyatnya.

Im Giok maklum bahwa nenek yang memegang tongkat itu mempunyai kepandaian tinggi dan merupakan lawan berat, maka cepat ia pun mencabut pedangnya sambil berkata,

“Koai-tung Toanio! Kalau kau betul-betul seorang tokoh kang-ouw yang mengerti aturan dan seorang ibu yang baik, mengapa kau tidak menegur anak-anakmu yang kurang ajar sebaliknya bahkan ikut-ikut menyerangku? Ada permusuhan apakah di antara kita maka kalian begini mendesak padaku?”

Nenek itu menyeringai, kemudian berkata, suaranya tinggi serak, “Kemarin kau begitu sombong memamerkan kepandaian dan aku tidak sempat membuktikan. Sekarang ingin aku melihat sampai di mana kelihaianmu, jangan kau hanya berani menghina dua anakku yang bodoh. Majulah!”

Im Giok mengerti bahwa nenek ini bukan hanya hendak menjajal kepandaiannya, akan tetapi jika tidak membela anaknya yang sudah ia tampar tadi, tentu tersembunyi maksud lainnya. Ia pun tidak sudi memperlihatkan kelemahannya. Setelah orang menantangnya, ia harus melayani dan memperlihatkan kepandaiannya. Apa lagi di situ ada Tiauw Ki yang menyaksikan. Dicabutnya pedangnya dan dengan tenang dia berdiri memandang kepada tiga orang lawannya.

“Kalian hendak mencari perkara? Boleh saja, Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan seorang pengecut dan tak pernah menolak tantangan.”

Im Giok menanti serangan, tidak mau ia mendahului bergerak karena memang ia tidak mempunyai permusuhan dengan tiga orang ini.

Koai-tung Toanio mengeluarkan seruan keras, lantas tongkatnya diputar bagaikan kitiran cepatnya dan diterjangnya gadis baju merah yang berdiri tenang di hadapannya. Anaknya yang sulung, Kwan Twa Kim, juga maju menyerang dengan pedangnya.

Sekilas pandang saja tahulah Im Giok bahwa kepandaian nenek itu memang lihai, jauh lebih lihai dari pada puterinya, maka menghadapi pengeroyokan dua orang ini, lebih dulu ia harus mengalahkan yang lemah agar seluruh perhatiannya dapat dicurahkan kemudian kepada yang kuat.

Oleh karena itu pedangnya segera bergerak, merupakan tarian indah dan dengan halus gerakannya itu terbagi dua, yakni bersifat lembek apa bila menghadapi serangan tongkat Koai-tung Toanio, akan tetapi keras dan kuat menghadapi Kwan Twa Kim. Siasatnya ini berhasil baik sekali karena sebentar saja Kwan Twa Kim telah terdesak hebat, sedangkan tongkat Koai-tung Toanio belum juga dapat mendesaknya, bahkan beberapa kali tongkat di tangan nenek itu terbetot dan ‘diselewengkan’ sehingga membentur pedang anaknya sendiri apa bila bertemu dengan pedang Im Giok!

Beberapa jurus kemudian, terdengar suara keras dan pedang di tangan Kwan Twa Kim terlempar, disusul pekik kesakitan dari gadis ini. Ternyata bahwa lengan kanannya sudah keserempet pedang dan mengeluarkan darah.

“Twa Kim, mundur kau...!” ibunya berkata marah dan memperhebat gerakan tongkatnya, menyerang Im Giok dengan mati-matian.

“Toanio, kita tidak bermusuhan, mengapa kau begini nekat?” Im Giok menegur, hatinya tak senang melihat sikap nenek yang terlalu mendesak ini.

“Tutup mulut dan lihat tongkatku!” bentak Koai-tung Toanio yang dari penasaran menjadi marah sekali mengapa begitu lama belum juga ia dapat mengalahkan gadis muda ini.

Timbul kemarahan di hati Im Giok. Tadinya ia tidak suka merobohkan nenek ini yang tak mempunyai permusuhan sesuatu dengannya. Seorang tokoh kang-ouw sangat menjaga nama besarnya dan tahu bahwa kalau nenek itu sampai kalah olehnya, hal ini merupakan penghinaan besar bagi nenek yang keras hati ini. Tadinya dia mengharapkan nenek ini akan melihat gelagat dan mundur sendiri setelah menyaksikan kelihaiannya, tak tahunya nenek ini bahkan berlaku nekad dan menyerang mati-matian.

“Kau tidak boleh diberi hati!” Im Giok mencela.

Kini tiba-tiba saja gerakan pedangnya berubah. Pedangnya menyambar-nyambar dalam gerakan yang amat indah dan halus. Namun di dalam kehalusan ini tersembunyi gerakan-gerakan menyerang yang dahsyat bukan main. Inilah Sian-li Kiam-hoat atau ilmu pedang bidadari yahg indah dilihat namun berbahaya sekali dilawan.

Koai-tung Toanio tidak mau menyerah kalah begitu saja. Sungguh pun dia terkesiap juga menyaksikan ilmu pedang yang aneh ini, namun dia memutar tongkat semakin cepat dan mengerahkan segala kepandaian untuk rnengalahkan lawan. Tetapi, betapa pun juga ia berusaha, tetap saja sinar pedang yang perubahannya sukar diduga-duga itu, makin lama makin mendesak sinar tongkatnya dan makin lama ia merasa makin terkurung oleh sinar pedang yang bergulung-gulung dan yang membuat pandangan matanya berkunang.

“Pergilah!” terdengar seruan Im Giok.

Dengan gerakan cepat tangan kirinya sudah berhasil mencengkeram tongkat lawannya dan jika saja ia mau, pedangnya dapat ditusukkan. Akan tetapi Im Giok tidak bermaksud membunuh lawannya, maka sebagai gantinya pedang, ia hanya menendang.

Tubuh Koai-tung Toanio terlempar dan tongkatnya terampas. Namun kepandaian nenek ini memang tinggi. Biar pun ia sudah terluka oleh tendangan itu dan tubuhnya terlempar, ia masih mampu menjaga diri sehingga jatuhnya berdiri! Ia memandang kepada Im Giok dengan mata melotot marah. Kemudian ia melompat ke atas kudanya, diikuti oleh kedua orang puterinya.

“Toanio, ini tongkatmu ketinggalan!” Im Giok tertawa sambil melontarkan tongkat itu ke arah Koai-tung Toanio.

Tanpa menoleh nenek itu menghantam tongkatnya sendiri dengan tangan kanan. Segera terdengar bunyi keras dan tongkat itu patah menjadi dua, meluncur ke bawah kemudian menancap di atas tanah!

Im Giok menarik napas panjang. “Kepandaiannya tinggi dan mengagumkan, tapi sayang wataknya tidak patut sekali.”

Tiauw Ki menghampiri Im Giok dan memegang lengannya.

“Moi-moi, bukan main hebatnya engkau ini. Benar-benar aku kagum sekali melihatmu dan makin terasalah olehku betapa tiada gunanya aku ini. Aku seorang laki-laki yang lemah, sedangkan kau... ahh, kau benar-benar seorang bidadari yang sakti...”

“Husshhh, Twako. Ada pasukan berkuda datang!” Suara Im Giok terdengar agar khawatir pada waktu mengucapkan kata-kata ini dan merenggut lengannya terlepas dari pegangan Tiauw Ki.

Pemuda itu menoleh dan benar saja, segera terlihat debu mengepul tinggi mengiringkan pasukan berkuda yang datang dengan cepat. Setelah dekat, Im Giok dan Tiauw Ki saling pandang dengan muka berubah melihat bahwa pasukan berkuda terdiri dari empat puluh orang lebih itu dipimpin oleh Lie Kian Tek, Ceng-jiu Tok-ong, dan juga terdapat banyak perwira-perwira pembantu Suma-huciang, di antaranya terlihat juga Sin-touw-ong Si Raja Copet. Mereka semua kelihatan marah dan sekarang mereka telah berhadapan dengan Im Giok dan Tiauw Ki.

“Pembunuh keji, menyerahlah supaya kami tak usah menggunakan kekerasan!” kata Lie Kian Tek sambil mencabut pedangnya.

“Eh, tikus, kau memaki siapakah?” Im Giok membentak dengan marah. Ia masih merasa benci kepada kongcu yang ceriwis ini.

Lie Kian Tek tertawa bergelak dan menengok kepada kawan-kawannya.

“Lihat, pandai benar perempuan ini bermain sandiwara, seakan-akan dia suci bersih dan tidak tahu apa-apa. Ha-ha-ha!” kemudian dia memandang kepada Tiauw Ki dan berkata, “Pengkhianat pengecut! Kau mengaku sebagai keponakan Suma-huciang, tidak tahunya kau adalah penjahat besar yang datang dengan niat buruk. Kau tidak segera menyerah dan mengakui dosamu?”

Tiauw Ki mengerutkan kening dan bertanya,

“Kedosaan apakah yang telah kuperbuat?” dan terhadap Sin-touw-ong Siauw Hap, Raja Copet yang kate itu ia pun bertanya, “Siauw-sicu, sebetulnya ada apakah maka kau juga datang menyusulku? Apakah ada pesanan sesuatu dari Suma taijin?”

Si Kate yang sudah dikenal sebagai pembantu setia dari Suma-huciang itu terlihat amat bingung menghadapi Tiauw Ki dan Im Giok. Kemudian dia berkata dengan suara duka, “Suma-taijin telah meninggal dunia, tadi kami mendapatkan beliau sudah rebah di lantai kamarnya dengan leher putus!”

“Apa katamu...?!” Tiauw Ki meniadi pucat mukanya dan juga Im Giok terkejut bukan main.

Terdengar suara ketawa dingin dari Lie Kian Tek. “Gan Tiauw Ki penjahat besar, jangan kau berpura-pura kaget. Kami bukan anak-anak kecil dan kami juga sudah tahu bahwa pembunuhan atas diri Suma-taijin adalah perbuatanmu dengan pengawalmu yang cantik. Malam tadi semua tamu pulang atau kembali ke rumah penginapan, hanya kau bersama pengawalmu saja yang bermalam di rumah Suma-taijin. Ada pula yang bermalam akan tetapi pada bagian lain, tidak seperti kalian yang bermalam di dekat kamar Suma-taijin di bawah satu wuwungan! Dan pula, kalau tamu-tamu lain masih ada pagi hari ini, kau dan pengawalmu tanpa pamit telah minggat pergi. Bukti-bukti sudah jelas apakah kau masih hendak menyangkal?”

“Bohong! Fitnah belaka!” Tiauw Ki memaki marah. “Siapa percaya akan tuduhan dusta ini? Aku dan nona ini sama sekali tidak tahu-menahu tentang pembunuhan itu dan malam tadi kami pun sudah berpamit kepada Suma-taijin!”

Lie Kian Tek tertawa bergelak. “Tidak ada pembunuh mengaku sudah membunuh orang, seperti juga tidak ada maling mengaku telah mencuri barang. Hayo tangkap orang ini, kita harus menyeretnya ke pengadilan!”

Didahului oleh Ceng-jiu Tok-ong, pasukan itu lalu bergerak menyerang. Gerakan Ceng-jiu Tok-ong cepat sekali dan sekali kakek ini melompat turun dari kudanya menubruk, di lain saat Tiauw Ki sudah diringkusnya dan sebuah totokan membuat pemuda itu lemas tidak berdaya lagi.

“Lepaskan dia!” Im Giok berseru.

Gadis ini marah sekali melihat perlakuan orang terhadap kekasihnya. Ia menerjang dan menyerang Ceng-jiu Tok-ong.

Kakek ini cepat-cepat menggerakkan tangan menangkis sambil mencabut goloknya yang bersinar hijau. Juga orang-orang lain sudah mencabut senjata, sedangkan Lie Kian Tek berteriak,

“Perempuan pemberontak, kaulah yang membunuh Suma-taijin!” Kata-kata ini membuat Im Giok marah sekali dan pada lain saat ia telah dikurung oleh banyak orang.

“Nona, lebih baik kau menyerah!” kata Sin-touw-ong Siauw Hap.

Dia merasa sayang sekali kalau sampai gadis ini terluka. Sebetulnya Raja Copet ini pun meragukan bahwa Im Giok telah membunuh Suma-huciang, akan tetapi bukti-buktinya memang memberatkan Tiauw Ki dan Im Giok sehingga sebagai alat negara ia pun harus ikut membantu menangkap pembunuh Suma-huciang.

Im Giok mengamuk. Gadis ini maklum bahwa keselamatan Tiauw Ki terancam bahaya besar sesudah terjatuh ke dalam tangan orang seperti Lie Kian Tek, karena itu ia hendak menolong pemuda kekasihnya itu dengan kekerasan.

Sebentar saja ia dikurung hebat sekali oleh Ceng-jiu Tok-ong, Sin-touw-ong dan perwira-perwira lain yang cukup tinggi kepandaiannya. Akan tetapi Im Giok tidak gentar. Untuk menolong Tiauw Ki, dia rela mengorbankan nyawa. Lebih baik mati bersama dari pada dia membiarkan kekasihnya dibikin celaka orang.

Akan tetapi keadaan lawan terlampau berat. Menghadapi seorang Ceng-jiu Tok-ong saja masih sulit ia mengalahkan, apa lagi dikeroyok pula oleh belasan orang. Memang, selain Ceng-jiu Tok-ong dan Sin-touw-ong, yang lain-lain hanya menyerang dari jarak jauh dan tidak berani terlalu mendekat, akan tetapi cara ini bahkan melelahkan Im Giok.

Gadis ini tak dapat merobohkan mereka yang mengeroyoknya dari jarak jauh, sedangkan untuk mengerahkan kepandaian melayani Ceng-jiu Tok-ong dan Sin-touw-ong, dia selalu diganggu oleh para pengeroyok yang menyerangnya dari jauh, baik dari kanan, kiri mau pun belakang.

“Giok-moi, menyerah saja, Giok-moi. Kita tidak berdosa, biar mereka membawa kita ke pengadilan!” Tiauw Ki berseru kepada Im Giok karena pemuda ini merasa gelisah sekali melihat kekasihnya dikeroyok oleh banyak orang dan terdesak hebat.

Mendengar ini, Im Giok pikir betul juga. Belum tiba saatnya buat melakukan pertempuran mati-matian. Mereka hanya diduga menjadi pembunuh dan di depan pengadilan mereka dapat menyangkal. Kalau nanti mereka tetap saja difitnah dan tidak ada jalan keluar lagi, barulah dia akan mempergunakan pedangnya. Maka cepat dia melompat keluar kalangan pertempuran dan membentak,

“Aku akan menyerah dengan syarat bahwa Gan-twako dan aku diberi kebebasan ikut ke tempat pengadilan. Aku tidak sudi dijadikan tawanan dan diikat!”

“Enak saja kau bicara!” Ceng-jiu Tok-ong membentak dan hendak menyerang lagi.

Akan tetapi Lie Kian Tek berkata, “Locianpwe, biar kita menerima syaratnya!”

Mendengar ini, Ceng-jiu Tok-ong membatalkan niatnya dan memandang dengan muka merah. Lie Kian Tek lalu menghadapi Im Giok dan berkata,

“Kami menerima syaratmu. Mari kau ikut dengan kami. Aku berjanji bahwa kalian berdua akan diperiksa dengan adil.”

Sambil berkata demikian, Lie Kian Tek tersenyum ramah kepada Im Giok. Dia berusaha mengambil hati gadis ini dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang manis. Akan tetapi Im Giok sama sekali tidak tertarik.

“Bebaskan Gan-twako terlebih dahulu!” katanya sambil menunjuk ke arah Tiauw Ki yang lemas terduduk di atas tanah. Pemuda ini sudah tertotok dan biar pun dapat bicara, akan tetapi tak mampu menggerakkan kaki tangannya!

“Locianpwe, harap bebaskan dia!” kata Lie Kian Tek kepada Ceng-jiu Tok-ong.

Kakek ini nampak ragu-ragu. Maka, Im Giok lalu melompat maju menghampiri Tiauw Ki dan sekali menepuk punggung pemuda itu, Tiauw Ki terbebas dari pengaruh totokan dan dengan bantuan Im Giok dapat berdiri lagi.

Wajah Tiauw Ki merah sekali karena diam-diam pemuda ini menyesal mengapa ia begitu lemah. Ia memandang kepada Im Giok dan meski pun mulutnya tidak berkata sesuatu, tapi sinar matanya menyatakan bahwa ia akan menyelamatkan mereka berdua apa bila mereka dihadapkan ke depan pengadilan. Im Giok maklum pula akan hal ini sebab ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah kepercayaan Kaisar dan tentu saja mempunyai pengaruh terhadap para hakim.

Lie Kian Tek berkata kepada Sin-touw-ong dan beberapa orang perwira yang datang dari Tiang-hai untuk pulang saja dan memberi laporan kepada para pembesar di Tiang-hai bahwa dua orang pembunuh sudah menyerah.

“Aku hendak membawa mereka ke kota raja,” berkata Lie Kian Tek. “Urusan membunuh Suma-huciang adalah urusan besar dan karenanya mereka harus diadili di kota raja!”

Karena kalah pengaruh dan kalah kedudukan, Sin-touw-ong serta para perwira menurut saja. Mereka lalu kembali ke Tiang-hai seperti yang diperintahkan oleh Lie Kian Tek.

Lie Kian Tek bersama Ceng-jiu Tok-ong dan anak buahnya lalu membawa Im Giok dan Tiauw Ki melanjutkan perjalanan. Tiauw Ki beserta Im Giok menunggang kuda di tengah-tengah rombongan sehingga mereka seakan-akan dikurung terus.

Wajah Tiauw Ki nampak berseri dan beberapa kali ia memandang kepada Im Giok sambil tersenyum geli. Im Giok membalas senyumnya. Gadis ini juga merasa geli akan ketololan Lie Kian Tek. Tiauw Ki datang dari kota raja dan menjadi kepercayaan Kaisar. Sekarang pemuda ini ditangkap dan hendak dihadapkan di depan pengadilan di kota raja! Ini sama halnya dengan menangkap seekor ikan dari kolam untuk dilepaskan di sungai besar!

Oleh karena inilah maka Im Giok juga tidak peduli ketika dia dikurung rapat-rapat dan memang sukar kalau sekaligus para pengurung itu menyerangnya. Juga dia tidak peduli ketika kurang lebih lima li kemudian, di sebuah persimpangan jalan muncul serombongan pasukan terdiri darl lima puluh orang lebih yang temyata adalah anak buah dari Lie Kian Tek pula dan yang kini menggabungkan diri menjadi barisan besar.

Akan tetapi, ketika mereka tiba di persimpangan jalan lagi dan Lie Kian Tek memimpin pasukannya membelok ke kiri, Tiauw Ki berseru keras,

“Hee! Mengapa ke kiri? Jalan ke kota raja adalah terus ke utara!”

Tiba-tiba pasukan itu bergerak dan lebih dari lima puluh batang tombak panjang sudah ditodongkan ke arah Im Giok! Terdengar Lie Kian Tek tertawa bergelak.

“Gan Tiauw Ki, kalau kau ingin selamat, keluarkan surat dari Suma-huciang untuk Kaisar dan berikan kepadaku!” kata putera gubemur itu.

Im Giok terkejut. Ia kini dapat menduga semuanya. Tak salah lagi bahwa Suma-huciang tentu dibunuh oleh kaki tangan orang she Lie ini dan kini teringatlah dia akan tiga orang wanita yang sudah bertempur dengannya tadi. Besar sekali kemungkinannya bahwa tiga orang wanita itulah yang membunuh Suma-huciang dan mereka itu tentulah kaki tangan orang she Lie ini pula.

Kemudian Lie Kian Tek sengaja menuduh Gan Tiauw Ki dan dia sehingga para perwira di Tiang-hai dapat ditipunya dan diajaknya menangkap Tiauw Ki. Kemudian putera gubernur yang amat licin itu sengaja menyuruh Sin-touw-ong dan lain perwira dari Tiang-hai untuk kembali ke Tiang-hai dan memberi tahu bahwa dia hendak mengantar Tiauw Ki ke kota raja untuk diadili! Hemm, kalau dilihat begini, ternyata bukan Lie Kian Tek yang bodoh, melainkan Tiauw Ki dan dia yang mudah ditipu dan sebaliknya orang she Lie itu ternyata cerdik dan penuh siasat!

Im Giok mencabut pedangnya, akan tetapi segera belasan ujung tombak yang runcing telah menempel pada tubuhnya dari kanan kiri dan depan belakang, demikian pula tubuh Tiauw Ki telah ditodong oleh belasan mata tombak!

Kembali terdengar Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.

“Ha-ha-ha, Nona manis! Sebelum kau bergerak, kau dan sahabatmu ini lebih dahulu akan menjadi mayat. Gan Tiauw Ki, lekaslah kau menjawab, pesanan apa yang kau dapat dari Suma-huciang untuk Kaisar?!”

Sudah gatal-gatal mulut Tiauw Ki untuk mengumpat cacian kepada putera gubernur itu. Ia tidak takut mati dalam menunaikan tugasnya. Akan tetapi pemuda ini menengok ke arah Im Giok dan gemetarlah seluruh tubuhnya.

“Lie Kian Tek, kau bebaskan dahulu Nona itu. Biarkan dia pergi dari sini. Dia tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kita dan dia bersamaku hanya kebetulan saja. Bebaskan dia dan aku akan mengaku semuanya kepadamu.”

“Bebaskan dia? Ha-ha-ha, kau kira aku begitu bodoh? Jika dia dibebaskan tentu dia akan menimbulkan keributan lagi.”

“Tidak! Aku yang tanggung kalau dia tidak akan menimbulkan keributan,” kata Tiauw Ki cepat-cepat dan pemuda ini menoleh kepada Im Giok sambil berkata, “Giok-moi, kuminta dengan sangat agar kau jangan mencampuri urusanku dan lebih baik kau segera pulang ke tempatmu sendiri.”

Im Giok menjadi pucat mukanya. Ia merasa menyesal dan kecewa sekali melihat betapa pemuda pujaan hatinya kini tiba-tiba menjadi begitu lemah, mudah saja hendak mengaku seolah-olah sudah takut akan kematian. Pemuda macam ini tak patut menjadi kekasihnya dan dia merasa kecewa bukan main. Dua titik air mata membasahi matanya dan sudah akan menetes turun kalau saja dia tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaan.

“Jadi kau hendak mengaku semuanya? Hemm, baiklah, dan antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi...,” katanya dengan suara sayu sambil memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang.

Hatinya sakit sekali. Ia siap sedia mengorbankan nyawa untuk melindungi kekasihnya ini yang sedang menunaikan tugas penting dan mulia. Tidak tahunya sekarang kekasihnya menggigil menghadapi ancaman tombak!

“Lie Kian Tek, lekas kau bebaskan dia!” kata Tiauw Ki kepada putera gubemur itu tanpa mempedulikan sikap Im Giok.

Lie Kian Tek ragu-ragu. Ia tergila-gila kepada Im Giok dan mengaku di dalam hatinya bahwa ia jatuh cinta kepada gadis baju merah itu yang memiliki kecantikan begitu luar biasa sehingga baginya baru pertama kali ini selama hidupnya ia bertemu dengan gadis sejelita ini. Akan tetapi, dia pun perlu sekali memancing keterangan dari mulut Tiauw Ki tentang pesanan Suma-huciang.

“Lie Kian Tek, kalau kau tak mau membebaskannya, jangan harap kau dapat mendengar pengakuanku!” kata pula Gan Tiauw Ki kepada Lie Kian Tek.

Tiba-tiba Im Giok menjadi marah dan ia memandang kepada Tiauw Ki dengan mata yang berapi-api.

“Orang she Gan! Apakah kau kira aku takut mati? Tak perlu keselamatanku ditebus oleh pengakuanmu! Kalau aku mau pergi, siapa berani menghalangiku?”

Sambil berkata demikian, Im Giok menggerakkan kepala kudanya, lantas menerjang para pengepungnya sehingga para anggota pasukan itu cepat-cepat menyingkir.

Mereka semua merasa lega bahwa Lie Kian Tek tidak memberi aba-aba sesuatu, karena semua pengepung, kecuali Ceng-jiu Tok-ong, merasa kagum dan sayang sekali apa bila mereka harus turun tangan melukai gadis yang demikian cantik jelita. Ketika tadi mereka diharuskan menodongkan mata tombak kepada gadis itu, mereka merasa seolah-olah bersiap untuk disuruh merusak setangkai bunga yang amat cantik dan indah dipandang, bunga yang harum dan menimbulkan kasih sayang.

Sebaliknya, Im Giok merasa makin mendongkol karena Lie Kian Tek ternyata diam saja. Ia sengaja berlaku begini untuk memancing supaya Lie Kian Tek mengeluarkan aba-aba menangkapnya dan dia akan mengamuk mati-matian.

Memang Im Giok maklum bahwa seorang diri saja tidak mungkin ia dapat menang dalam menghadapi Ceng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh lima puluh orang prajuritnya. Akan tetapi untuk melindungi dan membela Tiauw Ki, ia siap mengorbankan nyawanya.

Kedongkolannya terutama sekali dikarenakan sikap Tiauw Ki yang seakan-akan hendak menolongnya dengan jalan menjadi pengkhianat! Memang sikap ini dapat dilakukan oleh seorang pemuda yang amat mencintanya, tetapi oleh Im Giok dianggap bukan perbuatan seorang gagah.

Membela kekasih boleh saja dengan taruhan nyawa, akan tetapi sama sekali tidak boleh mempertaruhkan kesetian terhadap negara dan mempertaruhkan nama kehormatan! Bila Tiauw Ki hendak menolongnya dengan jalan berkhianat, baginya itu bukan pertolongan, akan tetapi penghinaan besar!

Sebagai seorang kepercayaan Kaisar, seorang pemuda yang berjiwa patriot, seharusnya Tiauw Ki mengerti baik akan hal ini. Maka dengan hati marah dan mendongkol Im Giok lalu membalapkan kuda meninggalkan tempat itu!

Untuk sejenak Tiauw Ki memandang ke arah bayangan merah di atas kuda itu dengan muka pucat dan wajah muram. Akan tetapi setelah bayangan Im Giok tidak kelihatan lagi, wajahnya menjadi tenang dan pemuda ini kelihatan lega dan puas. Tadinya dia memang merasa sakit hati sekali melihat betapa Im Giok marah kepadanya, akan tetapi sesudah gadis itu pergi, hatinya sedikit terhibur.

Biarlah, pikirnya, apa pun juga yang menimpaku, asal dia itu selamat. Ia lalu memandang kepada Lie Kian Tek dengan mata bersinar dan mulut tersenyum mengejek.

“Gan Tiauw Ki, dia sudah kami bebaskan. Hayo kau lekas membuat pengakuanmu!” kata putera gubemur itu. Ia ingin Tiauw Ki menjawab cepat-cepat karena masih ada harapan di dalam hatinya untuk nanti mengejar dan menawan bunga cantik itu!

Sebaliknya dari menjawab cepat-cepat, Tiauw Ki tertawa bergelak.

“Lie Kian Tek, kau telah menyuruh orang membunuh Suma-huciang, lalu kau menangkap aku dan hendak memaksa aku mengaku tentang pesan Suma-huciang. Perbuatanmu ini benar-benar sudah melewati batas. Tidak tahukah kau, apakah hukuman untuk seorang pemberontak?”

“Bangsat besar!” Lie Kian Tek memaki dan tangannya menampar hingga Tiauw Ki yang pipinya kena ditampar hampir saja jatuh terguling dari kudanya. “Jangan banyak cakap, kau ingin hidup atau mampus? Kalau ingin hidup, lekas kau mengaku!”

Kembali Tiauw Ki tertawa. Bekas tamparan yang membuat pipinya menjadi matang biru itu tak dirasakannya. ”Pemberontak she Lie, kau kira aku tidak mengetahui akal bulusmu? Biar pun aku mengaku, kau tetap akan membunuhku juga.”

“Jahanam, apakah benar-benar kau tidak mau mengaku? Tadi kau sudah berjanji hendak mengaku bila aku membebaskan perempuan itu. Aku sudah membebaskannya, dan kau tidak bisa melanggar janji.”

“Siapa yang melanggar janji? Lie-siauwjin (manusia rendah she Lie), aku seorang laki-laki sejati, tidak biasa melanggar janji. Dengarlah, Suma-huciang berpesan kepadaku supaya terhadap manusia macam engkau aku menutup mulut dan jangan mengatakan apa-apa. Nah, begitulah pesannya kepadaku!”

“Keparat, kau menipuku!”

“Kau berani bicara tentang menipu? Kiranya aku hanya mencontoh perbuatanmu, orang she Lie. Kau membunuh Suma-huciang kemudian menghasut para perwira Tiang-hai dan menuduhku, kemudian kau menyuruh mereka kembali ke Tiang-hai dan pura-pura akan membawaku ke kota raja, semua itu bukankah akal busuk dan tipuan jahat? Aku hanya minta kau membebaskan Kiang-siocia agar supaya ia selamat dari tanganmu yang kotor dan jahat! Sekarang kau mau apa? Mau membunuhku? Bunuhlah, memangnya aku takut mampus? Mau siksa? Hayo, kau boleh lakukan apa saja. Pendeknya yang nyata, Kiang-siocia selamat dan rahasia Suma-huciang dengan Kaisar juga selamat!”

Bukan main marahnya Lie Kian Tek. Tangannya yang memegang cambuk kuda diayun. Terdengar ledakan keras dan Tiauw Ki terguling dari kudanya. Ketika ia merayap bangun, jidat dan lehernya terdapat bekas cambukan, merah biru dan mengalirkan darah.

Akan tetapi bibir pemuda ini masih tetap tersenyum, matanya bersinar-sinar dan ia berdiri tegak menanti datangnya siksaan selanjutnya yang akan mengantar nyawanya ke tempat asal. Sedikit pun ia tidak mengeluh dan sedikit pun tidak takut.

“Jahanam she Gan, kau masih tidak mau mengaku!”

Lie Kian Tek melompat turun dari kuda, diikuti oleh para pembantunya. Kini pasukan itu mengundurkan kuda-kuda yang berada di situ dan duduk menonton mengelilingi Tiauw Ki merupakan lingkaran yang lebar.

Tiauw Ki hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Lie Kian Tek menggulung lengan baju sebelah kanan dan menggenggam erat-erat gagang cambuknya.

“Kau mau mengaku atau tidak?” sekali lagi putera gubemur ini membentak.

Tiauw Ki yang berdiri di depannya hanya menggeleng kepala sambil tersenyum tabah. Lie Kian Tek mengangkat dan mengayun cambuknya.

“Tar! Tar! Tar!”

Tiga kali bertubi-tubi cambuk itu mengenai muka Tiauw Ki dan darah muncrat dari bibir serta hidung pemuda she Gan itu, namun dia masih berdiri tegak dan sedikit pun tidak mengeluh.

“Jahanam, kau masih keras kepala?” Sekali lagi Lie Kian Tek mengayun cambuknya, kini ke arah mata Tiauw Ki.

Tiauw Ki terhuyung. Sepasang matanya tak dapat dibuka lagi, pelupuk matanya menjadi bengkak! Lie Kian Tek terus memukul, bahkan kini tangan kirinya ikut pula meninju, maka robohlah Tiauw Ki.

Walau pun menggeliat-geliat saking sakitnya, tidak sedikit pun pemuda ini mengeluh dan masih mencoba untuk berdiri. Akan tetapi dia terjatuh lagi dan menunjang tubuh dengan kedua lengannya yang ditahan pada tanah.

Pukulan cambuk masih menghujani tubuhnya dan pakaiannya bagian atas sudah robek dan hancur. Nampak kulit punggung dan dadanya yang putih dan kini darah memenuhi kulit itu, membasahi pakaiannya yang compang-camping.

Akhirnya Lie Kian Tek menghentikan siksaannya. Diam-diam ia merasa ngeri juga melihat kekerasan hati Gan Tiauw Ki. Ia merasa lelah dan melempar cambuknya.

“Bedebah, benar-benar menggemaskan!” gerutunya. “Ceng-jiu Tok-ong Locianpwe, harap kau gantikan aku memaksa jahanam ini mengaku. Periksa dulu semua isi sakunya!”

Ceng-jiu Tok-ong melangkah maju dan cepat mengeluarkan semua isi saku baju Tiauw Ki. Akan tetapi dia tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Isi saku pemuda ini hanya dua buah kitab sajak serta beberapa helai kertas dan alat tulis. Dan akhirnya dari saku baju bagian dalam dikeluarkannya sebuah tusuk konde perak.

“Kembalikan itu kepadaku!” Tiauw Ki berseru marah sambil mengulurkan tangan hendak merampas tusuk konde itu, benda keramat pemberian Im Giok.

Akan tetapi mana dapat dia merampas benda yang berada di tangan Ceng-jiu Tok-ong? Sekali saja kakek itu menggerakkan tangan, Tiauw Ki telah didorong roboh dan benda itu diberikan kepada Lie Kian Tek yang menerimanya sambil tersenyum mengejek,

“Hemm, agaknya kau punya kekasih, ya? Bagus, apakah kau tidak ingin hidup untuk bisa bertemu lagi dengan kekasihmu itu?” Sambil berkata demikian, Kian Tek menekuk-nekuk tusuk konde dan agaknya hendak ia patahkan.

Terdengar gerengan marah dan tahu-tahu Tiauw Ki telah menubruknya dan secara nekat merampas kembali tusuk konde itu! Saking nekatnya, dia menjadi lupa akan segala dan kekuatannya bertambah. Hal ini tidak disangka oleh Lie Klan Tek dan kawan-kawannya sehingga Tiauw Ki yang lemah itu berhasil merampas kembali tusuk konde pemberian Im Giok.

“Kau boleh saja merampas segala yang ada padaku, akan tetapi benda ini hanya akan berpisah denganku bersama nyawaku!” kata Tiauw Ki sambil memegang tusuk konde itu dengan kedua tangannya dan menekannya di dekat dada kiri. Melihat kelakukan pemuda ini, Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.

“Locianpwe, kaulah yang memaksa dia bicara. Kau tentu ada akal yang baik!” katanya.

Ceng-jiu Tok-ong menyeringai sambil menghampiri Tiauw Ki. Kakek ini lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan ternyata bahwa yang dikeluarkannya itu ialah seekor ular berwarna hitam! Ular itu menggeliat-geliat di antara jari-jari tangannya dan lidah berwarna kemerahan terjulur keluar masuk.

“Orang she Gan, sekali aku melepas ular ini dan menggigitmu, kau akan mengalami rasa nyeri yang tak pernah dialami orang lain. Tubuhmu akan sakit-sakit semua selama sehari penuh dan kau akan menderita sepenuhnya karena kau tidak akan pingsan atau pun mati sebelum sehari penuh. Maka lebih baik kau mengaku, rahasia apakah yang harus kau sampaikan kepada Kaisar. Kau hanya mengaku saja, tak seorang pun akan melihat atau mendengar pengakuanmu ini. Apa sih sukarnya?”

“Siluman tua, aku tidak takut mati! Sejak semula aku tidak takut akan ancaman kalian dan tadi aku bersikap lemah hanya untuk memberi kesempatan kepada Giok-moi menjauhkan diri. Setelah dia selamat, keberanianku lebih besar lagi. Kau mau siksa, mau bunuh, mau apa pun, sesukamulah, aku tetap pada pendirianku. Aku seorang laki-laki dan kematian hanya berarti kebebasan dari pada berdekatan dengan siluman-siluman semacam kalian ini!”

Wajah Ceng-jiu Tok-ong menjadi merah dan ia marah sekali.

“Kau memang tidak boleh dikasihani. Rasakanlah hukumanku!”

Akan tetapi, pada saat itu pula terdengar beberapa orang menjerit dan dua orang prajurit roboh ketika ada bayangan merah berkelebat menerjang lingkaran itu. Bayangan merah ini dengan gerakan luar biasa cepatnya sudah tiba di dalam lingkaran dan sinar pedang yang berkilauan menyerang Ceng-jiu Tok-ong. Kakek ini terkejut dan dalam gugupnya ia menangkis dengan ular hitam tadi.

“Crakk!” Tubuh ular itu terbabat putus dan Ceng-jiu Tok-ong berseru marah.

“Ang I Niocu, kau berani datang lagi?”

Memang, yang datang itu adalah Im Giok. Dengan cepat gadis ini lalu melompat ke dekat Tiauw Ki dan berlutut. Air matanya mengucur deras ketika ia melihat keadaan pemuda itu yang memandangnya dengan bibir tersenyum.

“Koko...,” katanya perlahan.

“Giok-moi, mengapa kau kembali...?”

“Koko, aku akan mencarikan kebebasan untuk kita berdua, kalau tidak... kita akan mati bersama.”

Im Giok cepat merangkul leher pemuda yang sudah berlepotan darah itu dan Tiauw Ki mengeluarkan suara sedu sedan yang tadi ditahan-tahannya. Ia terharu bukan main dan berbisik,

“Terima kasih, Moi-moi, hati-hatilah…”

Im Giok melepaskan pelukannya, lalu mendukung tubuh kekasihnya yang sudah lemas itu, disandarkannya di batang pohon yang tumbuh di situ. Semua orang melihat gerakan gadis ini dengan senjata siap-siap di tangan. Ada pula yang terharu menyaksikan adegan ini.

Kemudian Im Giok berdiri, pedang melintang di dada, mata berapi-api dan ia berkata,

“Sudah kulihat dan kudengar semua semenjak tadi. Lie Kian Tek, kau ternyata seorang pengkhianat dan pemberontak yang berhati buas laksana srigala. Lekas kau bebaskan Gan-twako, atau aku akan membuka jalan darah! Andai kata usahaku gagal, maka aku dan Gan-twako akan mati bersama di tempat ini, tetapi kiraku tidak sedikit orang-orangmu yang akan menghadap Giam-kun (Malaikat Maut) terlebih dulu sebelum aku roboh!”

Memang, tadi setelah dengan hati gemas dan mendongkol Im Giok meninggalkan Tiauw Ki bersama pasukan Lie Kian Tek, di tengah jalan Im Giok merasa tidak enak hati dan menyesal. Dia sudah menyerahkan hatinya kepada Tiauw Ki dan dia sudah percaya betul akan sifat jantan dalam diri kekasihnya itu. Mengapa tiba-tiba Kiauw Ti berubah menjadi seorang pengecut? Mengapa Tiauw Ki tidak percaya kepadanya dan apakah artinya mati kalau tidak mati berdua? Mengapa Tiauw Ki menyuruhnya dan membiarkannya pergi dan mengalah hendak membuka rahasia, hendak menjadi seorang pengkhianat?

“Tidak mungkin! Tidak mungkin dia mau berbuat itu,” pikir Im Giok dan ia menghentikan larinya kuda.

Setelah berpikir sejenak ia lalu melompat turun dari kudanya, menambatkan kendali kuda itu pada sebatang pohon dan berlarilah Im Giok ke tempat tadi. Ia mempergunakan ilmu lari cepat, dengan kepandaiannya yang luar biasa ia dapat mendekati pasukan itu sambil bersembunyi dan menyelinap di antara pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu.

Ia sempat menyaksikan Tiauw Ki disiksa dan sempat mendengarkan kata-kata Tiauw Ki, melihat pula betapa kekasihnya secara nekat merampas kembali tusuk konde pemberian darinya. Melihat semua ini, Im Giok tak dapat menahan mengalirnya air matanya.

Tepat seperti yang diduganya semula, Tiauw Ki tadi hanya menipu Lie Kian Tek untuk memberikan kesempatan kepadanya menyelamatkan diri. Pemuda itu sama sekali bukan seorang pengecut dan sama sekali bukan pengkhianat pula, bahkan telah membuktikan bahwa dia seorang yang berani mati, seorang gagah dan yang mencintanya sampai di saat terakhir!

Demikianlah, Im Giok lalu menghunus pedang dan menerjang masuk, dan kini dia sudah menghadapi Lie Kian Tek dan pasukannya dengan sikap tenang dan gagah. Ia tidak takut apa-apa karena maklum bahwa andai kata ia gagal, ia akan mati bersama kekasihnya!

“Kepung dan tangkap dia! Boleh lukai jangan bunuh!” Lie Kian Tek berseru.

Serentak Im Giok dikepung, didahului oleh Ceng-jiu Tok-ong yang menyerang dengan golok hijaunya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKAR REMAJA (BAGIAN KE-4 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR BODOH (BAGIAN KE-3 SERIAL BU PUN SU)

PENDEKAR SAKTI (BAGIAN PERTAMA SERIAL BU PUN SU)