ANG-I NIOCU (DARA BAJU MERAH) : JILID-19
Para pengeroyoknya menjadi kewalahan. Terlena sedikit saja atau terlalu dekat sedikit saja, pasti pedang di tangan Im Giok mendapatkan mangsa dan seorang pengeroyok langsung roboh. Mereka mengepung dari jauh dan Lie Kian Tek memberi aba-aba.
Maka tombak-tombak panjang dan jaring lebar segera dikeluarkan. Dengan dua macam senjata yang biasanya dipergunakan untuk menangkap harimau atau lain binatang buas ini, Im Giok kini dikepung! Timbul kegembiraan para prajurit itu dan seperti kalau mereka menangkap harimau, kini mereka bersorak-sorak dan mendesak Im Giok dengan tombak-tombak panjang dan jaring yang amat kuat itu.
Lie Kian Tek memang suka sekali memburu binatang, bukan untuk dibunuh akan tetapi ditangkap hidup-hidup. Maka setiap kali pergi dengan pasukannya, selalu anak buahnya tidak lupa membawa alat-alat menangkap binatang buas ini, yakni jaring serta tombak-tombak panjang.
Menghadapi serangan istimewa ini, Im Giok menjadi marah sekali, juga amat bingung. Ia mengamuk bagaikan singa betina, pedangnya menyambar-nyambar dan banyak tombak telah dapat ia patahkan dengan pedangnya. Akan tetapi pihak pengeroyok terlalu banyak.
Im Giok merasa gugup juga menghadapi pengeroyok yang bersorak-sorak itu. Karena itu, setelah melawan mati-matian, akhirnya ia tidak dapat mengelak lagi ketika jaring yang lebar dan kuat dilempar dan menimpanya dari atas. Bagaimana ia dapat mengelak kalau di depan belakang dan kanan kirl belasan tombak menghadangnya?
Ia membabat dengan pedangnya, akan tetapi jala atau jaring kedua kembali menimpa sehingga gadis itu kini benar-benar seperti seekor singa betina tertangkap! Saat Im Giok meronta terdengar suara kain robek dan terkejutlah gadis ini ketika mendapat kenyataan bahwa di sebelah dalam jaring ini dipasangi kaitan-kaitan kecil dari baja sehingga kalau ia berani meronta, tentu pakaiannya akan robek semua dan juga kulitnya akan terkait dan luka-luka. Oleh karena itu, terpaksa dia tidak berani bergerak dan memasang kuda-kuda setengah duduk, di atas tanah, di dalam jaring-jaring itu.
Para prajurit bersorak-sorak gembira sekali. Terdengar pula suara Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.
“Keluarkan dia dan ikat kaki tangannya!” perintahnya dan suaranya terdengar gembira sekali.
Akan tetapi perintah ini hanya mudah diucapkan, sebaliknya sangat sukar dilaksanakan. Para prajurit yang ingin sekali memegang dan membelenggu gadis jelita itu tadinya pada berebut maju. Celaka bagi mereka, lima orang menjerit roboh dan tak dapat bangun lagi. Seorang roboh ditendang, seorang terpukul oleh tangan kiri dan tiga orang lagi tertusuk pedang! Biar pun berada di dalam jaring, namun Im Giok masih tetap lihai dan sangat sukar didekati.
Melihat ini, Ceng-jiu Tok-ong menjadi marah sekali. Dia melompat maju dan secepat kilat tangannya bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah di punggung Ang I Niocu Kiang Im Giok. Dia mengira bahwa kalau diserang dari belakang, gadis yang berada di dalam jaring itu tentulah sukar mengelak lagi. Akan tetapi, akibatnya dia sendiri yang memekik kesakitan dan telapak tangannya terluka mengeluarkan darah.
Dalam keadaan terjepit seperti itu, hanya dengan mendengarkan suara angin pukulan, Ang I Niocu dapat menyusupkan pedangnya melalui bawah lengan kiri dan menyambut totokan lawan itu dengan ujung pedang!
Karuan saja telapak tangan Ceng-jiu Tok-ong menjadi terluka dan kakek ini berjingkrak-jingkrak saking marahnya. Ia lupa akan pesan Lie Kian Tek agar supaya gadis itu jangan dibunuh. Dalam kemarahannya, Ceng-jiu Tok-ong mencabut golok hijaunya yang beracun dan mengayun golok itu ke arah tubuh Ang I Niocu!
“Traaang...!”
Golok di tangan Ceng-jiu Tok-ong terpental membalik, bahkan hampir saja terlepas dari tangannya, membuat kakek ini melompat mundur dengan terkejut sekali. Pada saat itu, seorang nenek tua yang entah dari mana datangnya dan yang tadi telah menangkis golok Ceng-jiu Tok-ong dengan sepasang pedang yang berkilauan tajamnya, kini membabat jaring yang menutupi tubuh Im Giok.
Gadis ini sendiri pun dengan bersemangat lalu mengerjakan pedangnya, membabat dari dalam sehingga sebentar saja jaring itu rusak dan ia dapat melompat keluar. Di beberapa bagian tubuhnya terluka oleh kaitan, akan tetapi Im Giok tidak mempedulikannya.
Baik Im Giok mau pun Ceng-jiu Tok-ong dan semua orang yang berada di situ tak ada yang mengenal siapa gerangan nenek yang memegang sepasang pedang ini. Wajahnya keriputan, rambutnya sudah putih semua, namun gerakan-gerakannya masih sangat gesit dan lincah.
“Serbu...! Bunuh siluman ini!” Lie Kian Tek berseru keras.
Akan tetapi dia cepat mengangkat pedangnya ketika tiba-tiba nenek itu menyambar dan menyerangnya dengan pedang kiri, sedangkan pedang kanannya merobohkan dua orang prajurit yang menghalang di jalan! Lie Kian Tek cepat menangkis, tapi tangannya tergetar dan pedangnya terlempar! Sinar putih meluncur ke arah lehernya dan putera gubernur ini sudah meramkan mata.
Baiknya Ceng-jiu Tok-ong cepat datang menolong. Ditusuknya lambung nenek itu dengan golok hijaunya sehingga nenek itu terpaksa menarik kembali serangannya pada Lie Kian Tek, kemudian menghadapi Ceng-jiu Tok-ong. Mereka segera bertempur dengan hebat.
Ada pun Im Giok kini sudah dikepung lagi. Para prajurit sekarang maklum bahwa kalau tidak dibunuh, nona baju merah yang cantik jelita ini amat berbahaya, apa lagi sekarang tiba bantuan seorang nenek yang seperti setan. Mereka lalu beramai mengeroyok, yang pandai maju di depan, yang kurang pandai hanya membantu di belakang dengan tombak atau toya panjang.
Im Giok memutar pedangnya, kini dia menyerang dengan ganas dan sebentar saja lima orang pengeroyok roboh bergelimpangan. Oleh karena Ceng-jiu Tok-ong tidak dapat ikut mengeroyok, tentu saja bagi Im Giok para pengeroyok itu merupakan makanan lunak! Apa lagi gadis ini merasa sakit hati dan marah sekali telah menerima hinaan, sekarang pembalasan yang ia lakukan benar-benar hebat sehingga membuat para pengeroyoknya kalang kabut.
Pertempuran antara nenek itu melawan Ceng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh enam orang perwira juga dahsyat sekali. Kepandaian nenek itu tinggi bukan main, kedua pedangnya menyambar-nyambar amat ganasnya. Telah banyak orang yang roboh olehnya dan para perwira yang membantu Ceng-jiu Tok-ong sudah beberapa kali berganti orang.
Diam-diam Ceng-jiu Tok-ong amat kaget ketika memperhatikan permainan pedang nenek ini. Ia mengenal gerakan-gerakan ilmu pedang itu, akan tetapi jika ia melihat wajah yang keriputan ini, ia menjadi ragu-ragu.
“Tahan! Toanio, siapakah kau dan mengapa engkau memusuhi kami?” Ceng-jiu Tok-ong berseru.
Terdengar nenek itu tertawa dan semua orang menjadi terheran-heran mendengar suara ketawanya, begitu merdu seperti suara ketawa seorang gadis belasan tahun!
“Ceng-jiu Tok-ong, kini kau sudah menjadi kaki tangan pemberontak dan berani sekali menghina muridku. Benar-benar keterlaluan!” Seperti juga suara tawanya, kata-katanya ini diucapkan dengan suara yang merdu sekali!
Mendengar suara ini, Ceng-jiu Tok-ong dan Ang I Niocu hampir berbareng berseru,
“Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat...”
Nenek yang berambut putih dan berwajah keriputan itu sekali lagi tertawa merdu, namun nadanya mengejek.
“Pek Hoa... mengapa kau menyerangku? Dia itu muridmu, akan tetapi mengapa berani sekali melawanku? Biar pun demikian, kalau kau menghendaki, aku bisa mengampunkan dia. Mari kita bicara baik-baik, Pek Hoa...”
Akan tetapi Pek Hoa Pouwsat atau nenek buruk itu hanya tertawa terkekeh-kekeh dan tiba-tiba saja sepasang pedangnya bergerak secara aneh sekali! Gerakan ini disusul oleh seruan kaget dari para pengeroyoknya dan dalam beberapa gebrakan saja empat orang pengeroyoknya telah roboh dan tewas!
Ceng-jiu Tok-ong kaget setengah mati, apa lagi ketika ia menyaksikan sepasang pedang dari bekas muridnya ini yang benar-benar luar biasa sekali, gerakannya demikian indah dan halus, dan nenek yang tubuhnya masih nampak langsing itu bergerak-gerak seperti orang menari secara amat menggairahkan!
Meski hal ini nampak lucu karena nenek itu tua, namun tetap saja masih mendatangkan pengaruh yang luar biasa terhadap para pengeroyoknya. Inilah ilmu pedang ciptaan Pek Hoa Pouwsat yang dinamakan ilmu pedang Bi-jin Khai-i, ilmu pedang yang mengandung kekuatan sihir dan bahkan sudah berhasil merobohkan pendekar sakti seperti Han Le!
Juga Im Giok terheran-heran. Tidak salah lagi pendengarannyag suara itu adalah suara bekas gurunya, Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi dahulu Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yang amat cantik jelita bagai bidadari, kenapa sekarang menjadi seorang nenek-nenek tua sekali yang buruk?
Betapa pun juga, melihat kelihaiannya, kedatangan nenek yang membantunya ini sudah membuat hati Im Giok menjadi besar dan pedangnya menjadi cahaya bergulung-gulung bagai naga mengamuk. Untuk mengimbangi keindahan permainan sepasang pedang Pek Hoa Pouwsat, Ang I Niocu lalu mainkan limu pedangnya yang seperti tarian indah, akan tetapi kehebatannya luar biasa sekali sehingga tiap kali berkelebat tentu ada lawan yang roboh!
Betapa pun juga sepak terjang Im Giok masih belum ada artinya apa bila dibandingkan dengan Pek Hoa Pouwsat. Nenek ini benar-benar mengerikan sekali sepak terjangnya. Tiap kali pedang kanan atau kiri di tangannya berkelebat, bukan satu orang yang roboh, sedikitnya ada tiga orang yang roboh tak bernyawa lagi. Sebentar saja tempat itu berubah menjadi tempat yang mengerikan, di mana nampak mayat bertumpuk-tumpuk dan darah membanjir.
Ceng-jiu Tok-ong semakin terdesak hebat oleh sepasang pedang bekas muridnya sendiri itu. Ngeri dia memikirkan betapa dia terancam bahaya maut di tangan bekas muridnya sendiri. Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dahulu pada waktu Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat masih menjadi muridnya.
Pek Hoa adalah seorang anak perempuan yatim-piatu, oleh karena ayah bundanya yang menjadi kepala penyamun sudah tewas di dalam tangan Ceng-jiu Tok-ong. Melihat bocah perempuan yang berkulit halus putih dan berbibir merah itu, Ceng-jiu Tok-ong tertarik lalu membawanya pulang dan bocah berusia tujuh tahun ini diambil menjadi muridnya.
Pek Hoa lalu menjadi dewasa dalam asuhan orang yang berwatak bejat, bahkan Ceng-jiu Tok-ong tidak malu untuk mempermainkan muridnya sendiri sehingga semenjak kecil Pek Hoa telah diajarkan segala macam perbuatan buruk dan tak tahu malu. Akhirnya Pek Hoa pergi meninggalkannya dan kemudian ia mendengar bahwa bekas murid, dan juga bekas kekasihnya itu sudah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu dan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya.
Sekarang teringat akan ini semua, Ceng-jiu Tok-ong lantas mengeluarkan keringat dingin. Sangat boleh jadi bahwa Pek Hoa yang kini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw, dapat menduga bahwa dialah yang dulu telah membunuh ayah bunda dari Pek Hoa. Boleh jadi sekali bekas muridnya ini sekarang datang untuk membalas dendam!
Teringat akan semua ini, Ceng-jiu Tok-ong lalu berlaku nekad dan secara diam-diam dia mengeluarkan jarum-jarumnya yang beracun, juga mengeluarkan Cheng-tok-see (Pasir Hijau Beracun). Ia maklum bahwa ia tidak akan mendapat ampun dan pula tidak mungkin baginya untuk melepaskan diri lagi.
Maka, ketika Pek Hoa Pouwsat kembali merobohkan empat orang kawannya sehingga yang lain-lain menjadi gentar dan menjauhkan diri, Ceng-jiu Tok-ong cepat menggunakan kesempatan selagi Pek Hoa mencabut pedangnya dari tubuh lawan yang dirobohkan, segera menyerang bertubi-tubi. Jarum dan pasir beracun disambitkannya dan semua ini dibarengi dengar serangan golok Cheng-tok-to secara nekad dan mati-matian.
Pek Hoa Pouwsat terkejut juga menghadapi serangan ini. Dia berhasil menangkis golok dan mengelak ke kiri, terus menusukkan pedangnya yang tepat mengenai ulu hati bekas gurunya. Akan tetapi tiga batang jarum juga tepat mengenai leher, pundak, dan dadanya!
Tiga batang jarum ini adalah Cheng-tok-ciam dan Pek Hoa tahu bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Ia membiarkan jarum-jarum ini menelusup memasuki dagingnya dan sambil tertawa terkekeh-kekeh melihat gurunya berkelojotan lalu tewas, ia mengamuk terus!
Di lain pihak, dalam amukannya Im Giok melihat Lie Kian Tek berlari mendekati Tiauw Ki dengan pedang terangkat tinggi. Gadis ini maklum akan maksud putera gubemur ini, pasti hendak membunuh kekasihnya yang masih duduk tak berdaya karena luka-lukanya.
Cepat ia melompat laksana terbang dan tepat sekali datangnya ini. Terlambat sedikit saja tentu kekasihnya tidak dapat ditolong pula. Dengan perasaan gemas ia menangkis sambil mengerahkan tenaga.
Terdengar suara keras dan pedang di tangan Lie Kian Tek terbabat putus. Pada lain saat tubuh putera gubernur itu terlempar jauh terkena tendangan kaki Im Giok! Im Giok masih marah dan hendak mengejar tubuh Lie Kian Tek yang sudah pingsan itu supaya dapat dibunuhnya, akan tetapi ia dihadang oleh belasan orang perwira sehingga ia mengamuk lagi.
Para prajurit dan perwira-perwiranya melihat betapa Lie Kian Tek telah terluka hebat dan Ceng-jiu Tok-ong sudah tewas, menjadi lenyap semangat mereka. Apa lagi sudah terlalu banyak teman mereka yang tewas. Karena itu, sambil membawa tubuh Lie Kian Tek yang pingsan, mereka segera melarikan diri ke atas kuda dan membalapkan kuda tunggangan mereka!
Im Giok sudah merasa terlalu lelah untuk mengejar mereka. Sebaliknya, dia melihat Pek Hoa Pouwsat mengeluh, melepaskan sepasang pedangnya dan terhuyung-huyung mau roboh. Cepat Im Giok melompat dan memeluk wanita itu.
Melihat betapa Pek Hoa kini telah menjadi seorang wanita yang mukanya tua dan buruk seperti iblis, dan melihat pula betapa bekas gurunya ini sekarang menderita luka berat dalam usahanya menolong nyawanya, hati Im Giok menjadi terharu sekali. Kini semua kebencian yang timbul di hatinya terhadap bekas guru ini lenyap, berganti dengan kasih sayang yang hangat seperti yang dulu terkandung di hatinya terhadap bekas guru ini.
“Enci Pek Hoa...” bisiknya sambil memondong tubuh bekas gurunya itu, dibawa ke tempat yang bersih dari tumpukan mayat. Tiauw Ki menguatkan tubuh dan setengah merangkak ia pun menghampiri tempat itu.
Pek Hoa Pouwsat membuka matanya. Terlihatlah oleh Im Giok bahwa nenek ini memang benar-benar Pek Hoa Pouwsat gurunya. Sepasang mata yang bersinar-sinar dan bening bagus itu memang mata Pek Hoa. Tidak ada wanita kedua yang memiliki mata sebagus mata Pek Hoa, demikian pikir Im Giok. Ketika pandang matanya melihat luka pada leher, pundak, dan dada yang mengeluarkan darah hijau, Im Giok menahan isak.
“Enci Pek Hoa...!” bisiknya lagi.
Pek Hoa tersenyum dan terbukalah mulutnya yang ompong. Im Giok bergidik. Dahulu gigi Pek Hoa bukan main indahnya, berderet rapi dan putih bersih laksana mutiara.
“Im Giok, anak baik, kau makin cantik saja...”
Kemudian ia muntahkan darah yang wamanya hijau pula.
“Im Giok..., aku... aku takkan lama lagi dapat bertahan... kau cantik, sayang sekali kalau lenyap kecantikanmu... kau pergilah ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih), carilah telur Pek-tiauw... campur dengan obat ini... kau minum setengah tahun sekali... selama hidup kau akan tinggal muda dan cantik...”
Pek Hoa menghentikan kata-katanya dan tangannya mengeluarkan sebuah bungkusan, kemudian ia tertawa ha-ha-hi-hi, tampaknya geli dan seperti ada sesuatu yang amat lucu, tertawa terus akan tetapi suara ketawanya makin lama makin lemah sehingga akhirnya terhenti sama sekali!
“Enci Pek Hoa, kau mati karena aku... terima kasih...” bisik Im Giok di dekat telinga bekas gurunya dan tak tertahan pula dua titik air mata menetes di kedua pipinya.
Sayang sekali Im Giok tidak sempat mendengar tentang pengalaman Pek Hoa, tidak tahu mengenai riwayatnya sehingga dia menyimpan obat pemberian bekas gurunya itu tanpa ragu-ragu lagi. Kalau saja ia tahu... kiranya ia akan membuang obat itu jauh-jauh dengan ngeri hati.
Sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, setelah dikalahkan oleh Bu Pun Su dan terusir dari Pulau Pek-le-to, Pek Hoa Pouwsat pergi dengan hati perih sekali. Dia tidak berdaya menghadapi Bu Pun Su kakek sakti itu dan betapa pun sakit hatinya, ia tak dapat berbuat apa apa.
Yang lebih menyakitkan hatinya adalah karena ia sudah mengandung. Ia mendekati dan menggoda Han Le bukan sekali-kali karena ia mencinta pada pengemis sakti itu. Tadinya ia bermaksud menundukkan Han Le agar cita-citanya membalas dendam tercapai, agar ia mendapat pembantu yang lihai.
Memang ia berhasil, karena bukankah ia sudah berhasil menewaskan Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang dua orang tokoh Siauw-lim-pai, dan juga menewaskan Cin Giok Sianjin tokoh Kun-lun-pai atas bantuan Han Le! Sayang sekali bahwa biar pun mendapat bantuan dari Han Le, tetap saja ia tidak mampu mengalahkan Bu Pun Su yang amat lihai itu. Dan semua itu dibelinya dengan penghinaan hebat.
Tadinya ia hendak mengganggu Han Le, tidak tahunya ada juga rasa kasih sayang di dalam lubuk hatinya terhadap Han Le, apa lagi ia telah mengandung! Dan kini ia terusir dari pulau itu, terpisah dari Han Le dan sama sekali tidak dapat membalas dendamnya.
Bukan main marah dan kecewanya hati Pek Hoa. Ia bersembunyi di dalam hutan lebat, menanti saat kelahiran anak yang dikandungnya. Wanita ini memang berhati keras dan merupakan seorang yang luar biasa sekali. Tanpa bantuan siapa-siapa, dan hanya berkat lweekang-nya yang tinggi serta kepandaiannya yang sudah sampai di tingkat puncak, dia dapat melahirkan anak yang dikandungnya dengan selamat.
Akan tetapi apa yang terjadi? Setelah anaknya terlahir, terjadilah perubahan hebat pada dirinya! Kulitnya mengeriput, rambutnya yang hitam panjang berubah menjadi putih, dan sebaliknya kulitnya yang putih menjadi hitam dan tubuhnya menjadi kurus kering!
Sejak kecil Pek Hoa Pouwsat mengutamakan kecantikan. Untuk menjaga kecantikannya dia bahkan setengah tahun sekali makan telur Pek-tiauw yang dicarinya dengan susah payah. Dengan obat ini dia memang tidak pemah menjadi tua dan selalu tetap cantik dan muda.
Sekarang dia berubah menjadi sedemikian tua dan buruk, tentu saja hal ini merupakan pukulan yang hebat sekali baginya. Dia tidak mengira sama sekali bahwa khasiat obat itu akan musnah, bahkan sebaliknya merusak semua kecantikannya apa bila dia mempunyai anak!
Kini baru dia tahu dan saking marah dan sedihnya, Pek Hoa Pouwsat seperti orang gila lalu membanting mati anaknya sendiri! Kemudian ia lalu berlari-larian seperti orang gila, merantau ke sana ke mari sampai akhimya ia bertemu dengan Im Giok yang dikeroyok oleh Ceng-jiu Tok-ong dan orang-orangnya.
Melihat Ceng-jiu Tok-ong, timbullah kenang-kenangan lama yang membuat hatinya sakit, maka ia mengambil keputusan untuk membunuh bekas gurunya ini. Juga melihat Im Giok yang cantik jelita, Pek Hoa tersenyum seorang diri dan berkata,
“Dia harus menggantikan aku..., ha-ha, anak Kiang Liat harus merasai seperti aku pula...”
Demikianlah, Pek Hoa Pouwsat lalu menyerbu dan berhasil membunuh Ceng-jiu Tok-ong juga berhasil memberikan obatnya kepada Im Giok, sungguh pun untuk tercapainya dua maksud ini dia harus mengorbankan nyawanya.
Setelah Pek Hoa Pouwsat meninggal, Im Giok lalu menghampiri kekasihnya. Keduanya berpelukan dan keduanya mengeluarkan air mata.
“Aduh, Giok-moi, sama sekali aku tak mengira bahwa kita dapat bertemu dalam keadaan hidup,” kata Tiauw Ki.
Im Giok meraba muka Tiauw Ki yang penuh dengan luka-luka kecil akibat cambukan Lie Kian Tek, menjamah luka-luka itu dengan jari-jarinya yang halus, penuh kasih sayang.
“Kasihan sekali kau, Koko... kau maafkan aku yang telah meninggalkanmu seorang diri...”
“Tidak ada yang harus dimaafkan, adikku sayang. Aku memang sengaja membikin kau marah dan pergi, agar kau selamat...”
“Aku tahu, Koko, aku mengerti... alangkah besarnya kasih sayangmu kepadaku.”
“Aku mencintamu lebih dari mencinta jiwaku sendiri, Giok-moi...“
Sesudah keharuan mereka mereda, Tiauw Ki bertanya, “Nenek yang menolong kita itu, siapakah dia?”
“Dahulu, di waktu kecil, dia pemah menjadi guruku. Tadinya dia yang berjalan sesat, akan tetapi selalu aku tahu bahwa di dalam hatinya, ia sangat sayang kepadaku. Dan ternyata benar...” Suara Im Giok menjadi lambat penuh keharuan. “Dia mengorbankan nyawanya untukku... Aku harus merawat jenazahnya baik-baik, Twako. Ia harus dikubur baik-baik...”
Tiauw Ki menyetujui dan sibuklah mereka menggali lubang untuk mengubur mayat Pek Hoa Pouwsat.
“Bagaimana dengan mereka itu? Sudah sepatutnya mereka itu dikubur pula, bukankah mereka juga manusia?” Tiauw Ki menuding ke arah tumpukan mayat yang berserakan di sana-sini dan suaranya gemetar. Ngeri dia melihat mayat manusia yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu. Benar-benar hebat amukan Ang I Niocu dan Pek Hoa Pouwsat.
Im Giok memandang dan menarik napas panjang. “Tak mungkin, Koko. Bagaimana kita berdua sanggup mengubur mayat sebanyak itu? Apa lagi tanpa ada alat untuk menggali lubang.”
“Akan tetapi hatiku tidak menginginkan kalau mereka itu ditinggalkan begitu saja menjadi makanan binatang buas...,” Tiauw Ki membantah.
“Jangan khawatir, Koko. Penduduk di sekitar tempat ini tentu akan mengurusnya. Pula, mereka itu adalah anggota pasukan dari Lie Kian Tek, tentu kawan-kawan mereka akan datang kembali untuk mengurus mayat mereka. Terlebih lagi, kita harus cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini. Apa bila mereka datang lagi membawa bala bantuan, celakalah kita. Aku sudah kehabisan tenaga dan tak mungkin dapat melawan lagi...”
Kebetulan sekali mereka masih dapat menemukan dua ekor kuda yang tadinya telah lari kacau-balau. Maka, cepat mereka menunggang kuda ini dan melarikan kuda menuju ke utara, ke kota raja.
Di tengah perjalanan, Tiauw Ki berkata,
“Giok-moi, aku ingin sekali lekas-lekas menyelesaikan tugasku dan bersamamu pergi ke Sian-koan menemui ayahmu. Kalau... kau sudah menjadi isteriku, kau harus membuang jauh-jauh pedangmu dan selanjutnya kita hidup dalam damai dan tenteram. Aku tak bisa membiarkan isteriku merenggut nyawa manusia sedemikian banyaknya...!”
Im Giok tersenyum. Hatinya membantah, sebab dalam hal pertempuran, membunuh atau terbunuh adalah hal biasa. Akan tetapi ia tidak mau membantah dengan mulut karena maklum bahwa kekasihnya yang lemah itu baru saja terlepas dari bahaya maut dan baru mengalami sesuatu yang betul-betul menakutkan.
Perjalanan kemudian dilakukan secara cepat. Pada saat mereka lewat di sebuah kota, Im Giok membeli obat di toko obat untuk mengobati luka-luka kecil pada tubuh Tiauw Ki…..
********************
Kiang Liat yang melakukan perjalanan ke Go-bi-san untuk menyampaikan surat dari Bu Pun Su kepada Ketua Go-bi-pai tidak mengalami rintangan dan sampai di puncak gunung itu dengan selamat. Ia menghadap ciangbunjin dari Go-bi-pai, yakni Twi Mo Siansu, yaitu seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih dan sikapnya halus, tubuhnya tinggi kurus dan alisnya putih semua. Setelah membaca surat dari Bu Pun Su, kakek ini mengangguk dan tersenyum.
“Bu Pun Su benar-benar mengagumkan sekali. Sudah tua masih berhati muda, bergelora dan bersemangat. Jatuh-bangunnya sebuah kerajaan berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa, orang-orang seperti kita ini mau bisa apakah?”
Mendengar kata-kata ini, di dalam hatinya Kiang Liat tidak setuju sama sekali. Alangkah lemah dan pikunnya ketua Go-bi-pai ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani bilang apa-apa, hanya terus mendengarkan lebih lanjut. Juga para murid Go-bi-pai yang berada di situ, yang jumlahnya belasan orang, tidak ada yang mengeluarkan suara.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dan mengandung tenaga.
“Maafkan teecu, Susiok. Teecu sudah berani berlancang mulut dan ikut-ikutan berbicara dalam urusan yang sama sekali teecu tak berhak mencampuri. Akan tetapi, sungguh pun teecu tunduk dan setuju akan kata-kata Susiok tadi bahwa apa pun yang diusahakan oleh manusia, akhirnya keputusan berada di tangan Thian. Akan tetapi, sebagai manusia yang berakal budi, apa lagi yang menjunjung tinggi keadilan dan kegagahan seperti kita, teecu rasa sudah sepatutnya kalau kita berusaha demi keadilan dan kebajikan. Ada pun akibat dan keputusannya, memang terserah kepada Thian Yang Maha Kuasa. Maafkan kalau pendapat teecu keliru dan selanjutnya mohon petunjuk, Susiok.”
Semua orang memandang kepada pembicara ini, juga Kiang Liat. Ia melihat bahwa yang berbicara itu adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah, patut sekali menjadi seorang pendekar. Pakaiannya amat indah, pedangnya tergantung di pinggang, alisnya hitam dan matanya berapi-api. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun.
Jika Kiang Liat memandang dengan kagum dan tertarik kepada pemuda ini, adalah murid lain-lain Go-bi-pai yang berada di sana memandang dengan muka merah dan ada yang khawatir. Mereka menduga bahwa Twi Mo Siansu pasti akan marah sekali, karena sudah merupakan peraturan perguruan di situ bahwa para anak murid tidak sekali-kali boleh ikut mencampuri percakapan antara guru besar ini dengan tamu yang datang. Apa lagi untuk urusan yang besar dan yang belum dimengerti oleh para anak murid.
Akan tetapi pemuda ini sudah berlancang mulut. Dia tidak saja mencampuri percakapan, bahkan terang-terangan berani mencela pendirian Twi Mo Siansu!
Suasana menjadi sunyi…..
Tadinya Twi Mo Siansu menjadi merah mukanya, sepasang mata yang masih amat tajam berpengaruh itu memandang pada pemuda gagah itu dengan marah. Akan tetapi, ketika bertemu dengan wajah yang tampan terbuka, mata yang berani menentangnya penuh pengertian itu, wajah kakek ini melembut kembali dan ia tersenyum.
“Bagus sekali, Liem Sun Hauw. Meski pun pendirianmu itu pikiran orang muda dan tidak sejalan dengan pikiranku, akan tetapi aku setuju sekali! Kau murid Go-bi-pai dari luar kuil, tentu tidak tahu akan peraturan di dalam kuil, karena itu kelancanganmu itu masih dapat kumaafkan. Sayang Suheng sudah meninggal, kalau tidak tentu dia akan bangga sekali mendengar ucapan muridnya di depanku.” Kakek ini lalu tertawa dengan girang.
“Harap maafkan, Susiok. Sebenarnya teecu tadi sudah lancang bicara tanpa dipikir dulu, harap banyak maaf.”
“Tidak apa, tidak apa. Bahkan kebetulan sekali. Aku sedang berpikir-pikir siapa gerangan orangnya yang dapat mewakili aku. Sudah kukatakan tadi bahwa biar pun tidak sejalan dengan pikiranku, tapi aku setuju sekali dengan pendirianmu. Karena itu aku pun setuju dengan pendapat Bu Pun Su. Pendekar Sakti itu minta bantuanku agar supaya kita dari Go-bi-pai ikut mengamati-amati kalau-kalau ada pihak penyerang mendatangi dari utara, karena menurut pendapat Bu Pun Su, negara berada dalam bahaya dari ancaman musuh berbagai pihak. Hal ini bisa dilakukan oleh semua anak murid yang berada di sini dengan melakukan penjagaan di sepanjang tapal batas sebagai pengawas. Akan tetapi tentang permintaan yang kedua dari Bu Pun Su agar supaya aku turun gunung dan menghubungi kawan-kawan untuk memperkokoh persatuan dan melenyapkan pertikaian antara kawan sendiri, sungguh tidak dapat kulakukan. Kaulah, Sun Hauw, kau yang harus mewakili aku turun gunung!”
“Teecu siap sedia menjalankan perintah Susiok. Mohon nasehat dan petunjuk selanjutnya agar teecu dapat melakukan tugas dengan baik,” jawab pemuda itu dengan suara tegas dan bersemangat.
“Kau hubungi semua tokoh besar dunia kang-ouw dan katakan bahwa aku sendiri sudah menyatakan setuju sekali dengan pendapat Bu Pun Su bahwa pada saat seperti ini kita semua harus bersatu. Jangan sampai ada perpecahan di antara kita dan kalau misalnya ada, urusan itu harus diselesaikan dengan cara damai. Persatuan harus ditujukan untuk melindungi negara dan rakyat dari bahaya. Apa bila benar-benar terjadi perang, tentu akan muncul manusia-manusia jahat dan perlu sekali kita melindungi rakyat jelata dari penindasan mereka ini. Sampaikanlah salamku kepada mereka dan pertama-tama lebih tepat kalau kau pergi ke Bu-tong-san mengingat bahwa partai Bu-tong-pai pada waktu ini sedang ada urusan percekcokan dengan Kim-san-pai. Katakan kepada Lo Beng Hosiang ciangbunjin dari Bu-tong-pai bahwa jika dia mau mengadakan pertemuan damai dengan pihak Kim-san-pai, boleh mempergunakan kuil kita di Go-bi-san sini.”
“Teecu sudah ingat akan semua pesan dari Susiok dan akan mentaati,” kata Sun Hauw, pemuda gagah itu.
Seorang di antara para anak murid Go-bi-pai yang duduk di sana, tiba-tiba berdiri dan berkata dengan suara lantang,
“Maaf, Suhu. Teecu merasa kurang puas dengan diangkatnya Liem-sute sebagai wakil Suhu. Hal ini menyangkut nama baik partai kita, maka teecu merasa ragu-ragu apakah kelak nama baik partai kita tidak akan terancam bahaya. Liem-sute baru saja datang di Go-bi-pai, baru tiga hari, dan Suhu tahu bahwa dia adalah murid Thian Mo Siansu Supek hanya menurut pengakuannya sendiri. Bagaimana kalau dia itu sebenamya bukan murid Supek? Sungguh pun andai kata dia itu benar-benar murid Supek, masih belum boleh dia dianggap sebagai anak murid Go-bi-pai, mengingat bahwa antara Suhu dan Supek...”
“Cukup!” Twi Mo Siansu membentak.
Murid yang bicara tadi, yaitu seorang tosu pula yang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tak berani melanjutkan kata-katanya dan duduk kembali.
“Tek Sin, aku mengerti akan maksud kata-katamu. Tapi kita telah menerima tugas untuk menjadi tukang menggalang persatuan, bagaimana kita masih teringat akan perpecahan sendiri? Tidak, bagaimana pun juga, murid Suheng adalah murid Go-bi-pai pula. Ada pun keraguanmu tentang kemampuan Sun Hauw, memang tepat. Baiklah kau kuserahi tugas mengujinya apakah benar dia itu anak murid Go-bi-pai, dan apakah kiranya dia sudah cukup kuat untuk melakukan tugas mewakili aku.”
Tek Sin Tojin terkejut. Tak disangkanya bahwa ucapannya tadi membuat suhu-nya marah dan dia kini diharuskan menguji Liem Sun Hauw! Tek Sin Tojin adalah murid pertama dari Twi Mo Siansu dan tadi mendengar tugas mewakili suhu-nya diberikan kepada pemuda itu, tentu saja ia merasa tidak senang. Sekarang, ada jalan baginya untuk menunjukkan bahwa pandangannya tepat dan bahwa gurunya telah berlaku keliru menyerahkan tugas sepenting itu kepada seorang pemuda seperti Liem Sun Hauw yang baru saja datang dan mengaku sebagai murid Thian Mo Siansu.
“Teecu tidak berani menolak perintah Suhu,” katanya sambil berdiri, lalu katanya kepada Liem Sun Hauw. “Liem-sute, tentunya kau telah mendengar sendiri perintah Suhu bahwa pinto harus mengujimu. Oleh karena itu, marilah kita pergi ke lian-bu-thia (tempat berlatih silat).”
Liem Sun Hauw tersenyum dan menjura kepada tosu yang tubuhnya tinggi besar ini.
“Twa-suheng, siauwte mana berani menolak? Hanya mengharap belas kasihan Suheng supaya jangan berlaku terlalu keras terhadap siauwte yang masih hijau.” Sambil berkata demikian, Liem Sun Hauw lalu bersiap mengikuti Tek Sin Tojin pergi ke lian-bu-thia.
“Tidak usah ke lian-bu-thia, ruangan ini pun sudah cukup lebar jika hanya untuk menguji kepandaian saja, Tek Sin, kau coba kepandaian Sun Hauw ini di sini saja,” kata Twi Mo Siansu.
Semua anak murid Go-bi-pai lalu mengundurkan diri dan berdiri di pinggir untuk memberi tempat yang lega bagi dua orang yang hendak mengadu kepandaian itu. Juga Kiang Liat yang sebagai tamu tidak berani turut bicara lalu minggir.
Ia melihat Tek Sin Tojin sebagai seorang tosu tinggi besar yang jelas sekali mempunyai tenaga kuat dan dari pandang mata tosu ini dia dapat mengetahui bahwa Tek Sin Tojin mempunyai lweekang dan kepandaian yang tinggi. Maka diam-diam ia mengkhawatirkan keadaan pemuda tampan itu. Kiang Liat yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa Tek Sin Tojin merasa iri hati kepada Sun Hauw dan dalam ujian silat ini tentu saja tosu itu akan berusaha untuk membikin malu dan merobohkan Sun Hauw.
Liem Sun Hauw menanggalkan jubah luarnya dan kini ia berpakaian ringkas, menambah kegagahannya karena nampaklah bentuk tubuhnya yang bidang dan tegap. Dia berdiri di tengah ruangan menghadapi Tek Sin Tojin dengan tubuh sedikit direndahkan dan kepala ditundukkan, tanda menghormat kepada saudara tua.
“Liem-sute, pinto melihat ada pokiam (pedang pusaka) tergantung di pinggangmu. Dalam ujian ini, apakah kau hendak mempergunakan pedang?”
Liem Sun Hauw cepat menjura. “Siauwte menyerahkan pada kebijaksanaan Suheng saja, bagaimana cara Suheng hendak menguji, siauwte siap mentaati perintah.”
“Hemm, kalau begitu cabut pedangmu. Biar aku menghadapi pedangmu dengan tangan kosong saja.”
Liem Sun Hauw patuh. Dia menghunus pedangnya dan nampak sinar putih berkilauan, tanda bahwa pedang itu adalah pedang yang baik. Dia lalu memutar pedangnya dengan gerakan indah dan cepat, tahu-tahu pedang itu kini sudah dipegang di bagian pucuknya dan gagangnya disodorkan ke arah Tek Sin Tojin, tangan kiri dibuka terpentang di depan dada.
Melihat ini, Kiang Liat tahu bahwa meski pun kelihatannya aneh sekali memegang ujung pedang secara terbalik, akan tetapi gerakan ini bukanlah gerakan sembarangan dan tentu saja mempunyai arti tertentu.
“Ketika Suhu memberikan gin-kiam (pedang perak) ini kepada siauwte, Suhu berpesan supaya siauwte jangan sekali-kali mempergunakan pedang ini untuk menghina orang dan melawan orang bertangan kosong dalam pibu,” kata pemuda itu dengan sikap hormat.
Twi Mo Siansu mengangguk-angguk girang. “Ah kiranya Suheng masih ingat akan pesan Sucouw, masih ingat untuk mengajarkan peraturan ini kepada muridnya.”
Memang Go-bi-pai terkenal keras dengan peraturan-peraturannya. Di antaranya, seorang murid sama sekali tak boleh memamerkan ilmu pedangnya, juga tidak boleh menghadapi lawan dalam pibu (pertandingan persahabatan) yang bertangan kosong dengan pedang. Kalau terjadi lawan itu bertangan kosong menantang, ia harus menyerahkan pedang itu dengan sikap dan gerakan tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Sun Hauw ini. Tadi memang Tek Sin Tojin menguji apakah pemuda ini mengerti akan peraturan ini dan ternyata Sun Hauw mengerti baik!
“Kau hendak memberikan pedangmu padaku? Baik, kuterima dan awas terhadap caraku mengembalikannya!” kata Tek Sin Tojin.
Tangan kanannya menyambar dan pada lain saat pedang itu sudah berpindah ke dalam tangannya. Tosu tinggi besar itu lalu membuat gerakan melompat ke belakang, berjungkir balik tiga kali, kemudian pada jungkiran terakhir, ia menggerakkan tangannya dan pedang itu meluncur seperti anak panah menyambar ke arah dada Liem Sun Hauw!
Pemuda itu cepat meloloskan sarung pedangnya dan dengan gerakan yang indah namun cepat sekali ia menyambut pedang yang meluncur ke dadanya itu dengan sarung pedang dan... tepat sekali pedang itu masuk ke dalam sarungnya sehingga mengeluarkan suara keras! Indah sekali gerakan dua orang itu.
Tek Sin Tojin melakukan gerakan menyambit yang merupakan jurus terakhir dari ilmu pedang Go-bi-pai, yakni gerakan yang disebut Sin-liong Kian-hwe (Naga Sakti Mengulur Ekor) yang dimaksudkan untuk dipergunakan pada saat terakhir atau pada saat sudah amat terdesak oleh lawan yang lebih tangguh. Timpukan pedang yang tidak terduga-duga ini akan dapat menolong diri, kalau tidak berhasil merobohkan lawan, sedikitnya memberi kesempatan untuk melarikan atau menjauhkan diri!
Ada pun Sun Hauw yang sudah menduga lebih dulu, telah meloloskan sarung pedangnya dan cepat memperlihatkan kelihaiannya sebagai anak murid Go-bi-pai, melakukan jurus ilmu silat yang disebut Sin-liong Siu-cu (Naga Sakti Menyambut Mustika). Memang, dari gerakan ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sun Hauw benar-benar seorang anak murid Go-bi-pai yang jempol.
Ada pun Kiang Liat yang juga seorang ahli pedang terkemuka, melihat petunjukan ilmu pedang ini, diam-diam dia merasa kagum sekali. Ia sudah tahu bahwa Go-bi-pai memang sebuah perguruan yang memiliki ilmu pedang indah dan aneh-aneh, maka menyaksikan demonstrasi tadi, ia merasa gembira dan memuji,
“Bagus sekali!”
Ia tidak tahu bahwa memang di dalam ilmu pedang cabang Go-bi-pai terdapat pelajaran terakhir, yaitu bersilat dengan sarung pedang. Hal ini dipelajari untuk berjaga kalau-kalau pedang terampas lawan, maka biar pun dengan sarung pedang, masih dapat anak murid Go-bi-pai melakukan perlawanan hebat.
Sementara itu, sekarang Tek Sin Tojin dan Liem Sun Hauw sudah mulai bertempur dengan tangan kosong. Gerakan mereka cepat dan indah, setiap pukulan ditangkis atau dielakkan dengan tepat dan cepat. Dilihat sepintas lalu, mereka seakan-akan dua orang anak murid Gobi-pai yang sedang berlatih silat, akan tetapi sebenarnya bukan demikian, karena Tek Sin Tojin mendesak dan menyerang dengan sungguh-sungguh.
Sekali saja Liem Sun Hauw meleset dalam menangkis atau mengelak, dia akan terpukul dan mendapat luka di dalam tubuh yang tidak ringan! Akan tetapi ternyata Liem Sun Hauw hafal akan semua jurus serangannya sehingga pemuda ini dapat menangkis atau mengelak dengan tepat, kemudian melakukan serangan balasan sebagaimana mestinya dalam jurus dan gerak yang dilakukannya menghadapi suheng-nya ini.
Kalau tadi Kiang Liat merasa kagum melihat demonstrasi ilmu pedang, sekarang melihat ilmu silat tangan kosong yang diperlihatkan, ia tidak merasa heran atau kagum. Ilmu silat itu memang cepat dan indah, lagi kuat gerakannya, akan tetapi tidak terlalu hebat dan Kiang Liat merasa bahwa ilmu silatnya sendiri, ilmu silat keturunan keluarga Kiang atau ilmu silat yang ia dapat dari Han Le dan Bu Pun Su, tidak usah kalah menghadapi ilmu silat yang dimainkan oleh kedua orang itu.
Lima puluh jurus telah lewat dan belum juga Tek Sin Tojin dapat mendesak sute-nya, apa lagi mengalahkannya! Tiba-tiba saja tosu itu merubah gerakannya dan kagetlah Liem Sun Hauw. Biar pun ia sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat Go-bi-pai, tapi baru kali ini ia melihat ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin. Ilmu silat ini hebat sekali. Gerakannya seperti seorang kakek tua memberi pelajaran menulis dengan telunjuknya. Sebentar saja Liem Sun Hauw terdesak.
Akan tetapi pemuda ini mengeluarkan seruan keras dan ia pun merubah gerakannya. Kini Twi Mo Siansu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget ketika melihat ilmu silat yang cepat sekali gerakannya akan tetapi sama sekali bukan ilmu silat dari Go-bi-pai! Tadinya ia sudah hendak menegur murid kepala karena mengeluarkan ilmu silat ‘simpanan’. Ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin adalah ilmu silat Go-bi-pai yang khusus diajarkan kepada murid kepala yang kelak dicalonkan menjadi ketua apa bila ketua yang sekarang meninggal dunia, maka tidak boleh sembarangan dikeluarkan.
Bahkan Thian Mo Siansu sendiri pun tidak pernah diberi pelajaran ilmu silat ini, maka tentu saja Liem Sun Hauw tidak mengenalnya. Akan tetapi Twi Mo Siansu yang merasa senang melihat kegagahan Sun Hauw, tadinya ingin sekali tahu sampai berapa lama Sun Hauw dapat mempertahankan diri. Alangkah kagetnya pada waktu ia melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu silat yang luar biasa dan yang agaknya dapat menandingi ilmu silat simpanan Go-bi-pai itu!
“Tahan! Tek Sin dan Sun Hauw, cukuplah ujian ini!” seru Twi Mo Siansu. Dia khawatir kalau-kalau sampai terjadi korban dan dia merasa malu kalau sampai akhirnya Tek Sin Tojin kalah, apa lagi di sana terdapat seorang tamu.
“Tek Sin, bagaimana pendapatmu? Sudah puaskah kau?”
Tek Sin Tojin adalah seorang jujur. Dia cepat berlutut di depan suhu-nya dan berkata, “Dalam hal ilmu silat Go-bi-pai, Liem-sute sudah memperlihatkan bahwa dia benar-benar anak murid Go-bi-pai dan tidak kalah oleh teecu sendiri. Bahkan agaknya Liem-sute telah mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain yang lebih hebat!” Kata-kata ini mengandung sindiran bahwa sebagai murid Go-bi-pai, tidak selayaknya Sun Hauw menjadi murid partai lain tanpa seijin Ketua Go-bi-pai.
“Liem Sun Hauw, apakah kau juga menjadi murid dari partai lain?” tanya Twi Mo Siansu dengan suara kereng.
Sun Hauw berlutut, “Teecu hanya menjadi murid Suhu Twi Mo Siansu saja, tidak menjadi murid partai lain.”
“Sute, jangan kau berbohong! Kalau menjadi murid partai lain, lebih baik mengaku saja, mungkin Suhu masih dapat mempertimbangkan!” tegur Tek Sin Tojin.
“Mana siauwte berani membohong di depan Susiok, Suheng?”
“Ilmu silatmu dalam jurus-jurus terakhir bukanlah ilmu silat Go-bi-pai! Apakah kau hendak menyangkal?”
“Memang bukan ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi siauwte menerima pelajaran ilmu silat itu dari Suhu pula, dan Suhu katanya menerima ilmu silat itu dari seorang tokoh yang sakti bernama Hok Peng Taisu di Hong-lun-san.”
Twi Mo Siansu terkejut mendengar nama ini. Nama itu adalah nama seorang di antara tokoh-tokoh terkemuka yang dianggap sebagai tokoh-tokoh sakti di samping Bu Pun Su dan Han Le.
“Sun Hauw, mengapa kau tadi mengeluarkan ilmu silat itu? Apakah kau sengaja hendak memamerkannya dan menganggap bahwa ilmu silat itu lebih unggul dari pada ilmu silat Go-bi-pai?”
“Tidak sekali-kali teecu berani beranggapan demikian, Susiok. Tadi tiba-tiba saja teecu menghadapi serangan jurus-jurus ilmu silat yang sama sekali belum teecu kenal, yang amat hebat dan membingungkan teecu. Karena merasa bahwa tidak ada jurus ilmu silat Go-bi-pai yang teecu kenal bisa menghadapi serangan Suheng itu, maka terpaksa teecu mengeluarkan ilmu silat lain itu... harap Susiok sudi memaafkan.”
Twi Mo Siansu menarik napas panjang. “Sudahlah. Di dunia ini memang banyak sekali ilmu silat tinggi, mana bisa Go-bi-pai berani mengangkat dada mengagulkan kepandaian sendiri? Hanya pesanku, Sun Hauw, apa bila kau mengeluarkan ilmu silat yang tadi, kau sekali-kali tak boleh mengaku sebagai anak murid Gobi-pai! Pantangan besar bagi murid Go-bi-pai untuk mengandalkan penjagaan diri bukan dengan ilmu silat Go-bi-pai.”
”Teecu mentaati perintah Susiok,” kata Sun Hauw.
Twi Mo Siansu berpaling kepada Kiang Liat. “Sicu, sampaikan kepada sahabat baik Bu Pun Su bahwa permintaannya sudah kuterima dan kusetujui. Mengenai penjagaan di bagian utara, aku berianji akan mengerahkan anak murid Go-bi-pai. Dan tentang usaha mempersatukan sahabat-sahabat segolongan, kau lihat murid Liem Sun Hauw mewakili aku dan dia akan berusaha untuk mendamaikan urusan antara Kim-san-pai dan partai Bu-tong-pai.”
“Terima kasih, Locianpwe. Sesudah melihat sikap saudara muda Liem ini, saya merasa kagum dan tertarik. Karena perjalanan menuju ke Bu-tong-san sejalan dengan perjalanan saya, maka ingin sekali saya menemani Saudara Liem di perjalanan,” kata Kiang Liat.
Setelah membuat persiapan dan minta diri dari Twi Mo Siansu, maka berangkatlah Kiang Liat dan Liem Sun Hauw turun gunung…..
********************
Komentar
Posting Komentar